Mengapa Kambuh?

Pengalaman sebagai hipnoterapis yang telah membantu klien sejak tahun 2005 memberikan saya sangat banyak pengalaman berharga dan pencerahan. Satu pertanyaan penting yang selalu muncul di benak saya adalah, “Mengapa klien kambuh atau relapse?”

Ada klien yang sudah sembuh namun beberapa minggu atau bulan kemudian kambuh. Saat kambuh kondisinya bisa sama seperti sebelumnya, bisa lebih ringan, dan ada juga yang justru lebih berat.

Jawaban umum yang kita dengar sebagai alasan klien kambuh adalah karena terapi  tidak tuntas. Selanjutnya bila dikejar dengan pertanyaan, “Apa yang dimaksud belum tuntas?”, jawabannya sangat beragam bergantung persepsi masing-masing.

Dalam artikel ini saya khusus mengulas, berdasar pengalaman klinis, mengapa klien kambuh dan apa saja yang perlu diperhatikan sehingga klien dapat sembuh dan tidak kambuh.

Sebelum saya membahas lebih jauh berikut saya sampaikan hal yang akan saya bahas dalam artikel ini yang menjadi alasan klien kambuh:

~ Tidak menemukan akar masalah (I.S.E.)
   - hipnoterapis tidak tahu caranya
   - hambatan dari pikiran sadar klien
   - hambatan dari pikiran bawah sadar klien
   - terapis menentukan ISE tanpa melakukan hipnoanalisis
   - terapis sengaja mengarahkan ISE ke Past Life
   - klien menentukan ISE
~ Terapi hanya menggunakan Direct Suggestion
~ Dianulir pikiran sadar klien
~ Dianulir pikiran bawah sadar klien
~ Dianulir sugesti dari figur dengan otoritas lebih tinggi
~ Tidak tuntas membersihkan emosi di ISE
~ Terapis salah dalam melakukan affect bridge
~ Simtom sama namun akar masalah berbeda
~ Aversion Therapy
~ Klien tidak mempertahankan perubahan positif yang telah dicapai
~ Terapi tidak tuntas karena klien dalam pengaruh obat
~ Tidak maksimal menggunakan Ego State Therapy

Tidak menemukan akar masalah (I.S.E.)

Setiap masalah pasti ada penyebab atau akar masalahnya. Tidak mungkin bisa ada asap tanpa ada api. Dalam hipnoterapi sangat penting untuk bisa menemukan akar masalah dan melakukan resolusi pada akar masalah.

Simtom masalah biasanya tidak serta merta timbul hanya setelah satu kejadian. Seringkali simtom muncul setelah klien mengalami serangkaian kejadian atau pengalaman yang mirip atau sama dengan nuansa emosi yang sama.

Pengalaman pertama yang membuat klien mulai peka dan menjadi landasan munculnya simtom disebut dengan Initial Sensitizing Event atau ISE. Sedangkan kejadian lanjutan, yang sama atau serupa, yang memperkuat emosi ISE disebut sebagai Subsequent Sensitizing Event (SSE).

Untuk menuntaskan masalah terapis, dengan teknik yang sesuai, harus bisa mencari dan menemukan ISE. Bila resolusi dilakukan hanya di SSE maka terapi tidak bisa tuntas dan simtom pasti akan muncul lagi.

Dari pengalaman saya selama ini ada beberapa kemungkinan terapis tidak berhasil menemukan ISE.

Hipnoterapis Tidak Tahu Caranya

Pertama, hipnoterapis tidak terlatih untuk melakukan pencarian ISE bukan karena ia tidak bersedia namun karena tidak tahu atau tidak menguasai tekniknya. Ketidakmampuan ini terjadi karena hipnoterapis memang tidak mendapat pelajaran atau teknik mencari dan menemukan ISE saat ia dalam pendidikan dan sertifikasi sebagai hipnoterapis.

Hambatan Dari Pikiran Sadar Klien

Seringkali terjadi, saat dalam kondisi deep trance, pikiran sadar klien melakukan intervensi dan tidak bersedia mengungkap data penting yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah klien.

Berbeda dengan pandangan kebanyakan orang yang mengira klien menjadi tidak sadar saat deep trance, yang benar adalah saat dalam kondisi deep trance pikiran sadar klien tetap aktif, klien tetap sadar, dan ia dapat memutuskan untuk tidak memberi informasi tertentu dan bila perlu klien bisa berbohong pada terapis.

Hambatan ini biasanya terjadi karena rapport yang terjalin antara terapis dan klien kurang maksimal sehingga klien tidak percaya sepenuhnya pada terapis atau takut rahasianya terungkap.

Hambatan Dari Pikiran Bawah Sadar Klien

Resistensi bisa juga muncul dari pikiran bawah sadar klien. Resistensi ini biasanya dilakukan pikiran bawah sadar klien demi kebaikan klien. Ini sejalan dengan salah satu fungsi pikiran bawah sadar yaitu menjaga dan atau melindungi seseorang dari hal yang ia, pikiran bawah sadar, pikir, rasa, pandang, atau persepsikan bahaya atau merugikan.

Biasanya pikiran bawah sadar tidak bersedia mengungkap data ISE yang mengandung muatan emosi negatif yang sangat intens karena ia merasa bila ini dilakukan akan berakibat sangat buruk pada klien.

Terapis Menentukan ISE tanpa Melakukan Hipnoanalisis

Saya menemukan beberapa kejadian terapis menentukan ISE hanya berdasar data yang dikumpulkan saat sesi wawancara. Hal ini tentu seringkali tidak valid. Dari pengalaman saya selama ini seringkali apa yang disampaikan pikiran sadar sangat berbeda dengan data yang terungkap saat klien dalam kondisi deep trance.

Ada juga terapis yang menentukan ISE hanya berdasar analisis tulisan tangan. Argumentasi terapis ini yaitu tulisan tangan adalah salah satu bentuk ideomotor response. Saya setuju dengan pendapat ini. Benar, tulisan tangan adalah ideomotor response. Namun tulisan tangan, dari pengalaman saya pribadi, tidak bisa digunakan untuk menentukan ISE.  

Saya berani mengungkapkan hal ini karena saya juga mendalami graphology. Saat dalam sesi pelatihan saya bertanya kepada trainer saya, yang juga sahabat baik saya dan adalah trainer graphology terbaik di Indonesia dan juga seorang hipnoterapis andal, “Apakah mungkin mengetahui ISE hanya dengan analisa tulisan tangan?”

Beliau dengan hati-hati dan bijaksana menjawab, “Kita dapat mengetahui seseorang sedang ada masalah atau tidak dengan menganalisis tulisan tangannya. Namun untuk mengetahui secara tepat akar masalahnya tidak bisa dengan menggunakan cara ini. Kita harus melakukan hipnoanalisis.”

Ada juga yang menggunakan kartu Tarrot untuk menemukan akar masalah atau ISE. Apakah dengan cara ini bisa berhasil? Saya tidak bisa berkomentar karena tidak mengerti cara kerja kartu Tarrot dan tidak pernah mencoba cara ini. Yang saya sarankan kepada sesama hipnoterapis adalah pastikan cara atau teknik yang Anda gunakan telah benar-benar teruji secara klinis, didukung data yang akurat, dan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi untuk menemukan ISE.

Untuk benar-benar bisa menemukan ISE terapis sebaiknya melakukan hipnoanalisis mendalam menggunakan teknik yang sesuai.

Terapis sengaja mengarahkan ISE ke Past Life

Ada beberapa hipnoterapis yang sangat antusias dan percaya bahwa akar dari hampir semua masalah berasal dari kehidupan lampau atau past life. Untuk itu, setiap klien yang mereka tangani selalu diarahkan dengan regresi ke kehidupan lampau. Dan seperti yang direncanakan klien “berhasil” menemukan akar masalahnya di kehidupan lampau. Klien merasa lega dan sembuh… sampai beberapa saat kemudian masalah yang sama muncul lagi.

Saya beberapa kali menangani klien seperti ini. Dari hasil hipnoanalisis diketahui akar masalahnya bukan dari kehidupan lampau tapi dari masa kecil di kehidupan sekarang. Dengan kata lain terapi sebelumnya tidak tuntas karena tidak menemukan akar masalah yang sesungguhnya.

Klien menentukan ISE

Walau jarang terjadi namun ini pernah dialami seorang rekan. Klien yang dalam posisi otoritas yang lebih tinggi dari terapis mendikte terapis untuk langsung memproses satu kejadian yang oleh klien dirasa atau diputuskan sebagai akar masalahnya. Hasilnya? Sudah tentu tidak maksimal.

Terapis, dalam situasi apapun, tidak boleh menerima “saran” klien mana yang ISE atau bukan. Masukan dari klien bisa menjadi catatan penting dalam proses terapi. Namun yang menentukan ISE adalah pikiran bawah sadar bukan pikiran sadar.

Terapi hanya menggunakan Direct Suggestion

Terapi yang hanya mengandalkan DS punya kekurangan. Pertama, seringkali klien “sembuh” karena simtom hilang. Hilangnya simtom belum tentu indikasi klien sembuh. Yang sering terjadi sugesti yang diberikan kepada klien sifatnya bukan menyelesaikan masalah namun hanya menekan simtom sehingga tidak muncul.

Analogi keadaan ini adalah sebagai berikut. Bayangkan ada sebuah tong penuh berisi air. Di atas tong ini ada sebuah bola voli penuh berisi udara. Anda berusaha “menghilangkan” bola voli ini dengan menekan bola masuk ke dalam air. Dari permukaan tampak bola sudah bilang. Namun yang sesungguhnya terjadi adalah bola “hilang” karena ditekan masuk ke dalam air. Saat Anda lelah dan tekanan berkurang atau hilang maka bola akan naik kembali ke permukaan.

Naiknya bola ini tidak hanya sekedar naik namun diiringi dengan kekuatan hebat mendesak ke atas dan bola bisa sampai melompat keluar dari permukaan air. Kondisi ini kami sebut dengan Bouncing Effect atau Efek Pembalikan. Dan biasanya saat simtom muncul kembali akan lebih parah dari sebelumnya. Ini yang sering terjadi pada perokok yang berhenti merokok karena hanya sekedar menggunakan DS atau will power. Mereka bisa berhenti merokok. Namun saat kambuh, mereka merokok jauh lebih banyak dari sebelumnya.

Hipnoterapis sering abai satu hal penting. DS yang diberikan sebenarnya adalah program yang bertujuan menghilangkan simtom. Kekuatan DS ini tentu harus jauh lebih besar dari kekuatan program yang memunculkan simtom. Kekuatan DS ditentukan beberapa faktor penting yaitu: level otoritas pemberi sugesti menurut persepsi klien, tingkat keyakinan dan rasa percaya diri si terapis, kedalaman hipnosis, motivasi dan pengharapan klien, tingkat kepercayaan klien pada terapis, intensitas emosi klien, dan repetisi.

Dianulir Pikiran Sadar Klien

Klien dapat kambuh bila hasil terapi dianulir oleh pikiran sadar klien. Ini biasanya terjadi pada klien yang kritis. Terapis bisa melakukan terapi dengan sangat baik. Namun bila selesai terapi pikiran sadar klien mulai bertanya-tanya, mulai ragu, atau merasa tidak berhasil masuk kondisi hipnosis maka ia akan mulai menganulir semua kerja terapis hingga akhirnya simtom muncul kembali.

Untuk mencegah hal ini maka terapis perlu melakukan edukasi klien saat masih dalam kondisi sadar normal khususnya saat wawancara.

Proses anulir juga bisa terjadi begitu klien dibawa keluar dari kondisi hipnosis setelah selesai terapi. Terapis pemula atau yang tidak berpengalaman akan mengira begitu klien buka mata atau dibimbing keluar maka klien sudah langsung kembali ke kesadaran normal.

Yang benar adalah saat baru keluar dari kondisi hipnosis, selama beberapa menit pertama klien belum keluar sepenuhnya. Saat itu ia masih dalam kondisi hypersuggestible. Terapis harus hati-hati berbicara dengan klien di momen ini agar jangan sampai menganulir hasil terapi.

Untuk mempersingkat kondisi hypersuggestible dapat menggunakan teknik khusus yang saya namakan instant emerging.

Dianulir Pikiran Bawah Sadar Klien

Proses terapi yang telah selesai dilakukan dan telah menunjukkan hasil positif sebaiknya diperkuat dengan memastikan tidak ada Bagian Diri klien lainnya yang menolak baik secara terbuka maupun diam-diam.

Menurut teori Ego Personality dalam diri manusia ada banyak Bagian Diri. Proses terapi dilakukan pada satu atau beberapa Bagian Diri. Setelah selesai terapi, sebelum membawa klien keluar, terapis dengan menggunakan teknik khusus harus bisa memastikan bahwa perubahan dan pencapaian positif ini diterima, disetujui, dan didukung oleh semua Bagian Diri. Bila sampai ada Bagian Diri lain yang menolak, dan ini tidak diketahui oleh terapis karena tidak dicek, maka besar kemungkinan klien akan kambuh.

Dianulir Sugesti dari Figur dengan Otoritas Lebih Tinggi

Hasil positif terapi juga dapat dianulir oleh seseorang yang dipandang oleh klien memiliki otoritas jauh di atas terapis yang melakukan terapi. Misalnya klien baru selesai terapi dan ia sebenarnya sudah sembuh. Namun saat bertemu dengan seseorang yang sangat ia hormati dan orang ini berkata bahwa apa yang klien lakukan dengan hipnoterapi adalah salah, hipnoterapi itu bohong, pseudo-science, hasilnya tidak efektif, atau menggunakan kuasa gelap maka pikiran bawah sadar klien menerima sugesti ini dan menganulir hasil terapi. Akibatnya klien kambuh.

Hipnoterapis yang cerdas sudah pasti mengantisipasi kemungkinan ini. Untuk itu ia perlu memberikan sugesti untuk mengunci perubahan positif yang telah dicapai sehingga semakin hari semakin kuat dan tahan “gempuran”.

Tidak tuntas membersihkan emosi di ISE

Setiap kejadian, apapun itu, sifatnya netral. Tidak ada yang baik maupun buruk. Baik atau buruk ditentukan oleh emosi yang muncul karena persepsi atau pemaknaan kita terhadap situasi atau kejadian itu.

Cara paling cepat dan mudah untuk menyelesaikan masalah adalah dengan menemukan dan menetralisir emosi yang melekat pada memori kejadian. Saat emosi berhasil dinetralisir maka klien akan tetap dapat mengingat kejadian itu, sebagai satu memori, namun ia sama sekali tidak terpengaruh. Dengan kata lain klien sembuh.

Masalah akan muncul bila terapis tidak tuntas menetralisir emosi yang muncul di kejadian yang mengganggu klien. Asumsi terapis pada umumnya di satu kejadian hanya muncul satu emosi. Misalnya klien dihina oleh seseorang. Klien merasa marah. Terapis berpengalaman akan menggali lebih dalam lagi untuk menemukan emosi-emosi lain yang mungkin dirasakan oleh klien. Terapis perlu proaktif bertanya.

Terapis Salah Dalam Melakukan Affect Bridge

Dalam melakukan regresi dengan affect bridge hipnoterapis menggunakan satu emosi spesifik untuk membawa klien mundur, menyusuri garis waktu dan rangkaian memorinya, untuk menemukan akar masalah (ISE).

Sangat jarang terjadi dalam satu kali regresi langsung ditemukan ISE. Biasanya untuk mencapai ISE klien akan mundur dan bertemu dengan beberapa SSE.

Ketidakakuratan regresi terjadi bila hipnoterapis tidak cermat mengamati affect atau emosi yang dirasakan klien. Misalnya emosi yang digunakan untuk regresi adalah marah. Saat mundur dan mencapai SSE bisa terjadi yang dirasakan klien adalah sedih. Kondisi ini tentunya akan membingungkan hipnoterapis mengingat emosi yang dirasakan di SSE tidak sejalan degan emosi awal yang digunakan untuk regresi.

Apakah ada yang salah dengan hal ini?

Tidak. Inilah emosi yang dirasakan klien dan hipnoterapis harus menghargainya. Regresi lanjutan dilakukan dengan menggunakan perasaan sedih untuk menemukan ISE. Bisa terjadi, walau tidak sering, saat di ISE ternyata emosi yang dirasakan klien berbeda dengan emosi awal saat regresi.

Hipnoterapis yang kurang berpengalaman dengan teknik affect bridge akan bersikeras “memaksa” klien mundur ke masa lalunya dengan menggunakan emosi awal, marah. Dan mengabaikan perasaan yang dimunculkan pikiran bawah sadar klien. Kondisi ini mengakibatkan regresi tidak akan mencapai ISE yang sebenarnya.

Simtom Sama namun Akar Masalah Berbeda

Ada juga klien yang “kambuh” namun setelah dicek ulang ternyata akar masalahnya berbeda. Bila ini yang terjadi maka klien tidak kambuh. Sebenarnya ia mengalami masalah baru namun dengan simtom yang sama.

Analoginya seperti ini. Saat sebuah tungku dari tanah liat berisi air, ditutup rapat, dan dipanasi terus menerus cepat atau lambat tekanan di dalam tungku akan meningkat sampai satu titik bila tekanan ini tidak dikeluarkan pasti akan terjadi ledakan hebat.

Untuk menghindari terjadinya kerusakan fatal maka dinding atau tutup tungku akan mengalami retak dan tekanan akan keluar dari celah ini. Uap yang keluar inilah simtom. Api yang membakar dasar tungku adalah emosi. Saat api padam maka klien sembuh.

Namun saat klien ada masalah lagi api tungkunya menyala dan kembali membakar tungkunya. Cepat atau lambat pasti akan terjadi uap keluar dari retakan yang sebelumnya telah terjadi. Keluarnya uap dari retakan yang sama memunculkan simtom yang sama seperti sebelumnya. Jadi, simtom sama namun akar masalah berbeda. Pikiran bawah sadar memilih simtom yang sudah ia kenal sebelumnya. Ini disebut dengan the path of least resistance.

Aversion Therapy

Aversion therapy adalah terapi dengan menggunakan ancaman. Misalnya seorang klien datang ke terapis untuk anger management. Klien ini mudah sekali marah dan ini cukup mengganggu hidupnya.

Bukannya melakukan edukasi pikiran bawah sadar atau mencari akar masalah, terapis memberikan sugesti baik dalam bentuk verbal maupun visual, saat klien dalam kondisi deep trance, hal-hal buruk yang bisa dialami klien bila ia terus mengulangi kebiasaan marahnya. Misal terapis mensugestikan klien akan gagal dalam usaha, kena penyakit jantung, tekanan darah tinggi, bisa meninggal, dan lain sebagainya.

Sugesti ini masuk ke pikiran bawah sadar klien dan sudah tentu akan dijalankan dengan baik karena ini semua demi kebaikan klien. Namun, dan ini yang luput dari pemikiran hipnoterapis, dalam perjalanan hidup klien bisa saja ia bertemu dengan seseorang yang pemarah, sukses bisnisnya, panjang usianya, dan tetap sehat.

Bila klien menemukan fakta seperti ini maka pikiran bawah sadarnya akan mulai berpikir ulang mengenai program yang dulu dimasukkan oleh terapis. Dan cepat atau lambat program ini akan dianulir dan klien kembali ke perilaku asal. Saat klien kembali ke perilaku sebelumnya biasanya akan lebih parah dari sebelumnya.

Dalam terapi, apapun alasannya, hindari penggunaan aversion therapy. Hipnoterapi tidak bertujuan membatasi hidup klien, membuatnya kehilangan kontrol hidup, namun justru membantu klien kembali menjadi pengendali hidupnya. Terapi yang baik memberdayakan klien melalui peningkatan kesadaran dan kebijaksanaan.

Klien tidak mempertahankan perubahan positif yang telah dicapai

Ini juga salah satu faktor yang membuat klien kambuh. Mindset kebanyakan klien adalah saat ia datang ke terapis maka terapislah yang bertanggung jawab membereskan masalahnya. Klien berpikir seolah-olah ia adalah mesin dan terapis adalah mekaniknya. Dan sekali sembuh maka selamanya pasti sembuh.

Mindset yang benar adalah klien perlu secara sadar mempertahankan dan memperkuat perubahan positif yang telah dicapai. Sama seperti orang yang sakit perut karena salah makan. Setelah sembuh, ia perlu selektif dan hati-hati dalam memilih makanan. Tidak boleh lagi sembarangan makan.

Contoh lain, bila misalnya seseorang sudah berhenti merokok maka ia perlu menjaga dirinya dan menghindari hal-hal yang bisa mendorong dirinya merokok lagi, misalnya berkumpul dengan rekan-rekan perokok. 

Terapi tidak tuntas karena Klien dalam pengaruh Obat

Ini sering terjadi pada klien yang minum obat penenang. Proses terapi menggunakan affect bridge membutuhkan emosi untuk mencapai akar masalah. Obat penenang membuat perasaan klien “tumpul” dan sulit merasakan emosinya.

Namun, bila hipnoterapis cukup sabar dan persisten biasanya emosi klien bisa muncul walau tidak terlalu intens. Saat emosi yang muncul ini diproses dan berhasil dihilangkan klien seolah-olah sudah sembuh. Yang terjadi adalah emosi yang diproses ini belum 100%. Bergantung pengaruh obat terhadap klien, emosi yang muncul bisa hanya 10%, 35%, 50%, namun pasti tidak pernah 100%.

Terapis perlu meminta klien untuk kembali untuk sesi lanjutan. Selain itu terapis juga perlu meminta klien untuk merasakan perubahan yang ia alami dan berkonsultasi dengan dokternya.

Bila tidak ada sesi lanjutan maka terapinya tidak tuntas. Selama masih minum obat klien terkesan sudah sembuh. Namun saat obat dihentikan simtom yang sama pasti akan muncul lagi akibat sisa emosi yang belum diproses.

Mengapa perlu konsultasi ke dokter?

Dari pengalaman kami menangani klien yang minum obat penenang, saat sebagian emosinya telah berhasil diproses, maka dosis obat yang sebelumnya pas untuk kondisi klien kini justru menjadi overdosis. Klien perlu berkonsultasi dengan dokter dengan harapan dokter akan menurunkan dosis obatnya. Hipnoterapis tidak boleh menyarankan klien untuk mengurangi dosis obat atau berhenti minum obat.

Terapis melanjutkan terapinya setelah dosis obat turun. Dengan turunnya dosis obat maka akan semakin banyak lagi emosi yang bisa muncul dan diproses. Demikian seterusnya sampai semua emosi berhasil diproses.

Tidak maksimal menggunakan teknik Ego State Therapy

Ego State Therapy adalah teknik terapi yang dilakukan dengan mengakses dan memproses Bagian Diri klien. Saat ini saya tidak lagi menggunakan istilah Ego State Therapy (EST) melainkan Ego Personality Therapy (EPT). Ego State adalah bagian atau komponen dari Ego Personality.

Namun, Ego State Therapy adalah istilah yang banyak digunakan dalam dunia hipnoterapi dan dalam uraian ini saya menggunakannya agar pembaca tidak bingung.

Teknik EST benar sangat efektif dalam membantu klien mengatasi masalahya. Namun teknik ini bukan panacea atau teknik yang bisa mengatasi semua masalah. Setiap teknik ada kelebihan dan keterbatasan.

Cara yang paling sering digunakan dalam EST adalah dengan memfasilitasi, mediasi, membujuk, mengedukasi, atau negosiasi dengan Bagian Diri yang membuat masalah sehingga bersedia berhenti membuat masalah dan mendukung klien.

Untuk melakukan hal ini hipnoterapis perlu cermat memastikan bahwa Ego State (ES) yang ia ajak bicara adalah benar ES yang membuat masalah. Seringkali yang muncul adalah ES yang lain.

Kesalahan lain yaitu terapis terlalu mudah percaya pada Ego State. Saat ES berkata ia bersedia mendukung klien atau memaafkan orang / pelaku yang telah menyakiti klien maka terapis terlalu cepat bergembira dan merasa telah berhasil menyelesaikan masalah klien. Terapis tidak melakukan uji hasil terapi untuk memastikan kebenaran pernyataan ES.

Yang seringkali terjadi adalah ES yang memegang emosi tertentu, yang mana emosi inilah yang membuat hidup klien susah, ternyata tidak bersedia memaafkan pelaku. Dalam hal ini ES berbohong pada terapis.

Pengalaman klinis saya mengantarkan saya pada satu pemahaman penting. ES tidak akan bersedia atau tidak bisa memaafkan dengan tulus atau mendukung klien selama emosi yang ia pegang belum dilepas. Jadi, hipnoterapis perlu menguasai teknik abreaction yang khusus dilakukan pada Ego State.



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.id/index.php?p=news&action=shownews&pid=113 pada tanggal 24 Oktober 2012