Strategi Menerapi Klien yang Fasih Bicara Beberapa Bahasa

Kemarin, saat dalam perjalanan pulang usai seminar “Pintar & Bijak Menghadapi Kanker” putri bungsu kami bertanya pada saya, “Pa, kenapa kalau terapi harus menggunakan bahasa Ibu?” Saya tidak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini mengingat usia putri bungsu kami yang masih belia, masih SMP kelas 2, dan juga tidak pernah ikut pelatihan hipnoterapi. Saya biasanya mendapat pertanyaan seperti ini dari alumni pelatihan hipnoterapi saya, bukan dari seorang anak remaja. Tentu saya kaget dan juga senang.

Saya memanfaatkan kesempatan baik ini untuk menerangkan tentang pikiran, proses tumbuh kembang anak, luka batin atau trauma, regresi, dan bahasa apa yang harusnya digunakan terapis bila klien mampu berkomunikasi fasih dalam beberapa bahasa. Walau usianya masih sangat muda untuk belajar atau tahu lebih banyak tentang hipnoterapi, saya yakin informasi yang masuk, lebih tepatnya dimasukkan, ke pikiran bawah sadarnya melalui uraian saya, suatu saat nanti pasti akan bermanfaat baginya. Dalam istilah teknis saya melakukan seeding.

Sebagai terapis tentu suatu saat kita pasti akan bertemu klien yang fasih bicara dalam beberapa bahasa. Saya pernah mendapat klien yang saat kecil tinggal di Indonesia. Ia pindah ke Singapore saat SMP dan selanjutnya ke Amerika hingga usai kuliah. Klien kemudian belajar bahasa Mandarin selama tiga tahun di Cina. Jadi, klien ini lebih fasih bahasa Inggris dan Mandarin daripada bahasa Indonesia.

Apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini agar terjalin rapport yang baik dengan klien dan dapat dilakukan terapi yang efektif?

Sebagai terapis, walau saya mampu bicara dalam beberapa bahasa, namun yang saya benar-benar fasih hanya dua, bahasa Indonesia dan Inggris. Dengan demikian saya tidak bisa menggunakan bahasa Mandarin untuk terapi. Dan seperti yang saya jelaskan di atas, klien lebih fasih bahasa Inggris dan Mandarin daripada bahasa Indonesia. Komunikasi awal via email antara saya dan klien juga dilakukan dalam bahasa Inggris. Klien mengisi intake form juga dalam bahasa Inggris.

Saat klien jumpa saya di AWG Institute, ia langsung menggunakan bahasa Inggris. Saya memutuskan untuk mengikuti klien dan menggunakan bahasa Inggris. Setelah selesai melakukan wawancara, menggali data yang saya butuhkan, saya memulai proses terapi. Semua saya lakukan dalam bahasa Inggris.

Sesuai dengan masalahnya, saya menggunakan teknik age regression untuk membawa klien mundur dan menemukan akar masalahnya. Regresi pertama membawa klien mundur ke usia 10 tahun. Saya langsung berganti bahasa dari Inggris ke Indonesia. Selanjutnya saya terus menggunakan bahasa Indonesia sampai saya berhasil membimbing klien menemukan akar masalahnya di usia 2 tahun.

Pertanyaannya adalah mengapa saya berganti bahasa saat klien mundur ke usia 10 tahun?

Ini adalah strategi terapi. Dari sesi wawancara saya tahu klien pindah ke Singapore saat masuk SMP di usia 12 tahun. Berarti, saat teregresi ke usia 10 tahun, ia masih di Indonesia dan bahasa yang ia gunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia, bukan Inggris.

Dengan menggunakan bahasa Indonesia saya bertujuan mempertahankan klien pada usia 10 tahun sebagai persiapan untuk regresi lanjutan. Alasan lain adalah dengan saya menggunakan bahasa Indonesia berarti yang benar aktif saat itu, menjawab pertanyaan dan berkomunikasi dengan saya, adalah Ego Personality (EP) anak atau Inner Child, bukan Diri klien yang dewasa. 

Bila saya tetap menggunakan bahasa Inggris maka bisa terjadi saat teregresi ke usia 10 tahun, misalnya terjadi revivifikasi tipe 1 dan sifatnya komplit, maka klien tidak mengerti bahasa yang saya gunakan. Ia ke Singapore di usia 12 tahun dan menjadi fasih bahasa Inggris setelah lebih dewasa. Kemungkinan lain, saat klien teregresi ke usia 10 tahun dan saya tetap menggunakan bahasa Inggris maka klien akan mengalami progresi, maju kembali ke saat sekarang akibat bahasa yang saya gunakan.

Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah saya akan mengalami kendala saat melakukan teknik gestalt, misalnya berbicara dengan introject ibu, ayah, atau siapa saja yang terlibat di ISE (akar masalah), bila ternyata mereka tidak mengerti bahasa Inggris.

Penggunaan bahasa ibu sangat penting khususnya dalam proses abreaksi yang melibatkan ekspresi verbal. Tentu akan sangat beda rasanya bila kita mengungkap emosi, misal perasaan kesal, marah, jengkel, sakit hati, terluka, dan sebagainya, menggunakan bahasa ibu daripada bahasa asing. Ekspresi verbal menggunakan bahasa ibu membuat kita dapat benar-benar merasakan dan menghayati emosi sehingga proses abreaksi bisa berjalan lancar dan tuntas.

Dalam proses terapi yang menggunakan regresi dan revivifikasi, kondisi ideal adalah klien mengalami revivifikasi tipe 1 dan sifatnya parsial. Penggunaan bahasa yang tidak tepat dengan usia kronologis dan proses akuisisi bahasa dapat mengakibatkan klien yang semula sudah mengalami revivifikasi tipe 1, parsial, berubah menjadi revivifikasi tipe 2. Bila ini terjadi maka proses abreaksi tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan karena klien tidak dapat merasakan emosinya.

Bagaimana bila ternyata saat teregresi klien mundur ke usia di mana ia tidak bisa bahasa Indonesia, Inggris, atau Mandarin dan hanya bisa bahasa daerah atau dialek? Ini tetap dapat diselesaikan dengan kreatifitas dan teknik yang sesuai.

Usai melakukan proses abreaksi dan restrukturisasi pikiran bawah sadar, klien dibawa kembali ke masa sekarang. Di tahap ini saya kembali menggunakan bahasa Inggris karena berkomunikasi dengan Diri klien yang dewasa, bukan Inner Child.  

Bagaimana bila misalnya klien adalah orang asing dan hanya bisa bahasa Inggris sedangkan terapis tidak bisa? Solusinya sangat mudah. Rujuk klien ke rekan sejawat yang fasih bahasa Inggris, gitu aja kok repot.



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.id/index.php?p=news&action=shownews&pid=169 pada tanggal 8 September 2013