Menyiapkan Sukses Anak dengan Vaksin Stres

Setiap orangtua pasti paham benar pentingnya vaksin untuk kesehatan anak. Sejak lahir hingga usia tertentu bayi/anak rutin diberi vaksin. Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu.

Vaksin biasanya adalah berupa bibit penyakit yang telah dilemahkan atau dimatikan dan dimasukkan ke dalam tubuh dengan tujuan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi spesifik. Pemberian vaksin tidak akan mengakibatkan tubuh menjadi sakit namun justru menguatkan. Dengan demikian di kemudian hari bila anak terpapar virus atau bakteri tertentu, yang mana ia telah atau pernah diberi vaksinnya, anak akan tetap sehat karena sistem kekebalan tubuhnya bisa mengatasi virus atau bakteri ini.

Manusia terdiri atas tubuh dan pikiran. Selama ini orangtua pasti ingat untuk memberi vaksin untuk kesehatan tubuh fisik. Lalu, bagaimana dengan vaksin pikiran? Apakah ada vaksin pikiran? Bila ada, bagaimana bentuknya, siapa yang memproduksi vaksin ini, berapa dosis aman yang bisa diberikan pada anak?

Memahami Stres

Berbeda dengan yang dipahami kebanyakan orang, tidak semua stres berakibat buruk. Secara teknis kita mengenal empat jenis stres yaitu eustres, distres, hiperstres, dan hipostres.

Faktor yang menyebabkan stres disebut stresor. Stresor dapat berupa faktor internal atau eksternal atau stimuli yang mengakibatkan stres, seperti faktor fisik, biologis, lingkungan, situasi, kejadian, peristiwa, dan spiritual.

Eustres adalah stres jangka pendek yang memberikan kekuatan. Eustres adalah jenis stres yang bersifat menantang namun masih dapat dikendalikan. Eustres justru meningkatkan antusiasme, kreativitas, motivasi, dan aktivitas fisik. Eustres adalah stres positif yang terjadi saat kita membutuhkan motivasi dan insprasi.

Saat mengalami eustres kita memandang atau merasa suatu kejadian atau situasi sebagai peluang, dan ada pengharapan positif, menantang namun menyenangkan. Dengan demikian kita punya pilihan.

Distres adalah stres yang dipandang atau dirasa terlalu berat dan sulit untuk diatasi. Kita merasa situasi atau kejadian yang dialami sebagai sesuatu yang membingungkan dan tidak ada harapan untuk mengatasi atau mengubahnya. Individu yang mengalami stres ini merasa atau percaya dirinya terperangkap dan tidak bisa meninggalkan atau keluar dari situasi ini, merasa tidak berdaya dan frustrasi.

Ada dua tipe distres yaitu stres akut dan kronis. Stres akut adalah stres yang intens yang muncul dan hilang dengan cepat. Stres kronis adalah stres yang berlangsung dalam waktu yang lama, bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Dan ini adalah jenis stres yang paling destruktif.

Hiperstres terjadi bila seseorang didorong melampaui kemampuannya untuk bertahan dan mengatasi tekanan. Hiperstres muncul sebagai akibat dari kondisi beban berlebih (overload) atau bekerja terlalu keras. Saat seseorang mengalami hiperstres, bahkan hal kecil saja dapat memicu respon emosi yang sangat kuat. Hal yang tampak sepele dapat membuat seseorang yang mengalami hiperstres "meledak", marah besar, atau menangis hebat. 

Hipostres adalah kebalikan dari hiperstres. Hipostres terjadi saat seseorang merasa hidupnya monoton, tidak ada tantangan dan membosankan. Orang yang mengalami hipostres sering gelisah dan tidak bersemangat, apatis.

Informasi detil pengaruh stres terhadap kesehatan dapat Anda baca di buku saya The Miracle of MindBody Medicine terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Stres, Otak, dan Pembelajaran

Dari uraian singkat di atas mengenai stres tampak bahwa manusia membutuhkan stres, dalam batas dan kadar tertentu, untuk bisa berkembang. Dan memang demikianlah kita dirancang. Penelitian di bidang neurosains memvalidasi hal ini.

Otak bersifat plastis, senantiasa berubah mencerminkan lingkungan tempat individu berada. Dengan kata lain, arsitektur otak menjelaskan dan adalah refleksi dari lingkungan yang membentuknya. Lingkungan ideal untuk perkembangan otak adalah lingkungan yang kaya stimulasi, penuh tantangan terkendali, dan kompleks yang meningkatkan pembelajaran dan pertumbuhan otak. Sebaliknya lingkungan yang buruk adalah lingkungan miskin stimulasi dan tanpa tantangan.

Lingkungan awal tempat anak hidup dan kualitas relasi interpersonal dengan pengasuh utamanya terekam dengan sangat kuat di otak anak melalui proses pembentukan jaringan neuron yang selanjutnya memengaruhi otak dalam memroses memori, emosi, dan ikatan emosi anak dengan orang lain.

Hasil penelitian pada otak hewan yang dibesarkan dalam lingkungan kaya stimulasi menunjukkan perbedaan signifikan, lebih banyak neuron, lebih banyak koneksi antarneuron, lebih banyak pembuluh darah kapiler, dan lebih banyak aktivitas mitokondria, dibandingkan hewan di lingkungan miskin stimulasi. Lingkungan kaya stimulasi ini memberikan stres positif, eustres, yang memicu pertumbuhan neuron dan jaringan neuron di otak.

Stres ektrim atau berlebih menghambat proses belajar dan pertumbuhan otak. Stres yang ringan hingga moderat sangat baik menstimulasi hormon pertumbuhan neuron dan mengakibatkan meningkatnya produksi sel otak di wilayah yang terlibat dalam proses belajar.

Otak yang sehat dan bekerja optimal adalah otak yang terus bertumbuh dan wilayah otak yang mengatur/mengendalikan fungsi emosi, kognisi, sensasi, serta perilaku semakin terintegrasi.

Dalam proses tumbuh kembang, anak perlu dipapar pada stres yang berulang, terukur, aman, dalam konteks interpersonal yang mendukung. Dengan demikian semakin lama tingkat toleransi stres anak menjadi semakin meningkat. Regulasi emosi yang fleksibel dan seimbang semakin mendorong keberlanjutan kemampuan otak untuk mengatasi situasi atau kejadian yang membangkitkan emosi yang intens, dan memungkinkan terjadinya pembelajaran berkelanjutan dan integrasi berbagai wilayah dan fungsi otak. 

Keberhasilan mengatasi tantangan (baca: stres) yang dialami dalam hidup akan membuat individu semakin mampu menghadapi dan mengatasi tantangan atau stres lanjutan yang semakin berat dan kompleks. Ini semua memacu pertumbuhan dan integrasi jaringan neuron.

Faktor genetik walau berpengaruh namun tidak terlalu besar dalam pertumbuhan dan perkembangan jaringan neuron. Masih dari data riset, diketahui bahwa 70% dari stuktur genetik individu "ditambahkan" setelah kelahiran.

Kondisi Anak 

Anak-anak saat ini sangat sering mengalami stres berlebih. Stres pertama akibat perlakuan orangtua yang seringkali, karena tidak mengerti proses tumbuh kembang yang benar, menggunakan parameter yang salah untuk mengukur perkembangan anak. Ada orangtua yang menuntut anak untuk disiplin, mandiri, bersikap baik dan manis, tidak boleh rewel, padahal anak masih sangat kecil. Intinya, orangtua menuntut anak untuk sudah bisa atau mampu mencapai kondisi sikap, mental, atau emosi di atas usia anak.

Salah satu penyebab stres berlebih pada anak, dari temuan dan pengalaman klinis kami, adalah orangtua tidak memberikan perhatian dan kasih sayang yang seharusnya anak terima. Ada suami dan istri yang hanya siap menjadi papa dan mama namun tidak siap menjadi orangtua. Orangtua tipe ini, disadari atau tidak, melakukan pemiskinan emosi anak. Mereka sibuk bekerja, sibuk sendiri, tidak mengisi tangki cinta anak secara berkala. Semua ini mengakibatkan stres pada anak yang tampak dalam simtom perilaku anak.

Sumber stres lainnya adalah sekolah. Beban akademik yang cukup tinggi, kurangnya waktu bermain, tekanan dari sekolah dan orangtua pada anak agar mencapai prestasi yang baik semuanya akan memengaruhi anak dan dapat berakibat sangat buruk.

Belum lagi orangtua yang suka membandingkan anak dengan anak temannya. Biasanya bila dilakukan pembandingan maka yang dibandingkan selalu kelemahan atau kekurangan anak dengan kelebihan anak lain. Orangtua lalu “memotivasi”, lebih tepatnya menuntut, anak untuk bisa semakin meningkatkan prestasi dengan belajar lebih keras, ikut les macam-macam. Orangtua tipe ini akan sangat bangga bila anaknya bisa meraih prestasi gemilang walaupun anak belum tentu senang dengan capaian ini.

Mencermati hal ini, apa hal terbaik yang bisa kita, selaku orangtua, lakukan untuk anak-anak kita?

Saat anak mengalami kendala atau masalah, baik itu di rumah atau di sekolah, ini adalah stres. Stres ini bisa eustres atau distres. Stres ringan yang sebenarnya baik untuk anak, eustres, bisa dengan cepat berubah menjadi distres bila anak merasa tidak mampu, tidak berdaya, atau tidak bisa mengatasinya. Sebaliknya, distres dapat berubah menjadi eustres bila anak mendapat dukungan dari kedua orangtuanya.

Mengapa distres bisa berubah menjadi distres? Ingat, distres adalah stres yang dialami individu di mana ia merasa atau percaya dirinya terperangkap dan tidak bisa meninggalkan atau keluar dari situasi ini, merasa tidak berdaya dan frustrasi. Saat orangtua turut campur, memberi dukungan, membantu mengarahkan solusi maka perasaan tidak berdaya ini berganti dengan harapan pasti. Distres berubah menjadi eustres. Di sinilah dibutuhkan pendampingan berkelanjutan dari orangtua sampai anak benar-benar kuat.

Ada banyak kasus yang pernah saya tangani, klien anak atau remaja yang mengalami perasaan tertekan, frustrasi, insomnia, mimpi buruk tiap malam, tidak semangat hidup, mogok sekolah, ternyata mereka dulunya sekolah di luar negeri saat usia masih sangat muda. Ada yang masih usia enam tahun sudah di sekolahkan di Singapore. Ada yang SMP sudah dikirim ke luar negeri.

Anak-anak ini ternyata mengalami hambatan, tekanan, atau masalah yang sebenarnya normal, biasa-biasa saja, namun karena tidak ada tempat curhat, tidak ada yang mendengar, tidak ada yang bisa memberi dukungan, saran, bimbingan, atau solusi, akibatnya mereka masuk ke tahap learned helplessness.

Satu kondisi yang juga sangat tidak baik bagi anak adalah hipostres. Di sini anak benar-benar dilindungi oleh orangtua. Anak tidak boleh stres sama sekali. Semua masalah mereka ditangani oleh orangtua.

Ada anak yang ribut dengan temannya di sekolah, saat pulang cerita ke ibunya, yang marah dan tidak terima justru ibunya. Padalah si anak sudah baikan dengan temannya. Besoknya, si ibu mencari teman anaknya dan melabrak teman ini di sekolah. Ada lagi anak yang PR-nya banyak tapi orangtua yang sibuk membantu mengerjakannnya. Ini tentu sangat tidak mendidik.

Saya ingat dulu salah satu putri kami pulang sekolah dengan kondisi lututnya terluka. Saat ditanya apa yang terjadi putri kami menjelaskan bahwa ia didorong oleh salah satu temannya.

Saya sarankan agar ia lebih hati-hati kalau jumpa teman ini dan bila mau didorong lagi saya sarankan putri kami untuk bersikap tegas dan melawan, jangan hanya diam. Kalau perlu laporkan temannya ke wali kelas atau kepala sekolah. Urusan anak biarlah anak yang selesaikan. Orangtua tidak perlu ikut-ikut.

Anak perlu diberi atau diijinkan mengalami stres yang terkontrol. Orangtua perlu mendampingi anak saat ia mengalami atau menjalani “pelatihan” stres ini. Bila anak mampu mengatasi stresnya maka ini akan sangat baik. Ia tahu ia bisa, mampu, cakap, dan kompeten. Berikutnya bila mengalami stres dengan kadar yang sama maka ia pasti bisa mengatasinya sendiri.

Vaksin stres perlu diberikan pada anak secara bertahap. Sama seperti berlatih beban. Saat masih baru berlatih, kita menggunakan beban yang ringan. Semakin lama otot kita menjadi semakin kuat dan terlatih dan beban bisa semakin ditingkatkan.

Demikian pula vaksin stres. Bila diberikan pada waktu dan dosis yang sesuai akan melatih otot mental anak sehingga semakin lama semakin kuat. Otot mental ini akan sangat besar manfaatnya bagi anak saat ia dewasa kelak, saat menghadapi berbagai masalah yang mungkin terjadi dalam hidupnya, saat mengatasi tekanan pekerjaan, saat melakukan goal setting dan bekerja keras mewujudkan impian-impiannya.

Salah satu contoh vaksin stres adalah dengan mengijinkan anak merasa kecewa karena permintaannya tidak dikabulkan. Tidak semua permintaan anak harus atau perlu dikabulkan. Biasanya, orangtua yang permisif, atau yang merasa bersalah karena tidak bisa memberi waktu pada anaknya, berusaha menebus rasa bersalahnya dengan memberikan anak apapun yang anak inginkan. Berbagai kemudahan ini justru membuat anak rentan terhadap stres di kemudian hari.



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.id/index.php?p=news&action=shownews&pid=202 pada tanggal 1 Maret 2014