Memahami Hipnosis Secara Saintifik

Banyak ilmuwan yang telah menginvestasikan sangat banyak waktu mereka untuk memelajari gelombang otak.  Saat ini telah berhasil dihimpun banyak data penting mengenai gelombang otak dan hubungannya dengan kondisi kesadaran manusia.  Secara umum kita mengenal empat jenis gelombang otak dengan fungsinya masing-masing.

Gelombang beta, dengan frekuensi 12 – 25 Hz, adalah gelombang yang aktif saat kita berpikir. Gelombang ini mewakili kondisi sadar. Kisaran frekuensi beta yang lebih tinggi (high beta) mengindikasikan kondisi kecemasan. Alfa, 8 – 12 Hz, adalah gelombang yang muncul saat seseorang dalam kondisi sadar tapi rileks, waspada tapi pasif, atau saat kita menutup mata. Alfa berperan sebagai jembatan yang menghubungkan pikiran sadar dan pikiran bawah sadar/nirsadar. Alfa tidak selalu muncul dalam setiap saat. Salah satu kondisi tidak ada alfa yaitu saat kita tidur lelap. Alfa juga tidak muncul/ada saat seseorang sangat tegang, takut, atau marah. Dengan demikian orang yang sugestif biasanya lebih rileks. Theta, 4 – 8 Hz, adalah wilayah pikiran bawah sadar dan delta, 0,5 – 4 Hz, adalah wilayah pikiran nirsadar.

Saat dalam kondisi hipnosis terjadi penurunan sangat signifikan gelombang beta dan peningkatan gelombang alfa, theta, dan atau tanpa delta. Sedangkan delta akan sangat jelas saat subjek berada dalam kondisi deep trance dan mengalami emosi tertentu.

Banyak orang bingung mengenai kondisi hipnosis karena mendapat masukan atau informasi dari sumber-sumber yang tidak kredibel. Salah satunya adalah mispersepsi bahwa saat dalam kondisi hipnosis subjek hipnosis akan tidak sadar, tidak berdaya, dan tidak bisa mendengar atau tidak bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Kondisi yang sebenarnya adalah justru saat dalam kondisi deep trance fokus subjek menjadi sangat tajam. Dari pengukuran dengan DBSA, dan ini saya demonstrasikan di kelas pelatihan Scientific EEG & Clincial Hypnotherapy yang diselenggarakan Quantum Hypnosis Indonesia, tampak jelas bahwa saat subjek masuk ke kondisi deep trance gelombang low beta tetap aktif walaupun sangat minim, amplitudo rendah pada kisaran 5-10 microvolt.

Aktifnya gelombang beta ini berfungsi sebagai jalur komunikasi antara dunia di dalam diri subjek (pikiran bawah sadar/nirsadar) dan dunia di luarnya. Jika sampai terjadi beta sama sekali tidak ada maka jalur komunikasi antara dunia luar dan dunia di dalam diri akan terputus. Subjek tidak akan bisa diajak berkomunikasi.

Hasil pengukuran DBSA juga menunjukkan bahwa saat deep trance maka amplitudo semua gelombang turun drastis. Gelombang yang dominan aktif hanya delta dan theta. Alfa tetap aktif hanya sebagai jembatan untuk menyalurkan informasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar (beta) sehingga informasi ini bisa diproses saat dilakukan restrukturisasi program pikiran. Jika alfa sampai “menghilang” maka terjadi alpha blocking sehingga informasi dari “bawah” tidak bisa naik ke “permukaan”. Kondisi ini biasanya berhubungan dengan adanya muatan yang hendak disembunyikan oleh pikiran bawah sadar karena dianggap riskan bila diketahui pikiran sadar.

Banyak orang yang salah saat berpikir bahwa kondisi hipnosis adalah sama dengan relaksasi fisik. Yang benar kondisi hipnosis adalah relaksasi pikiran, dengan atau tanpa perlu relaksasi fisik. Induksi yang digunakan untuk membawa subjek/klien masuk ke kondisi hipnosis umumnya hanya menggunakan relaksasi fisik seperti Progressive Relaxation Induction. Relaksasi fisik adalah langkah awal untuk membantu seseorang masuk ke kondisi relaksasi pikiran.

Saat seseorang mengalami abreaction atau catharsis, yang tampak dalam bentuk klien menangis keras, teriak, kejang-kejang, marah-marah, atau bahkan sampai “ngamuk”, apakah ia masih dalam kondisi trance? Apakah pikirannya tetap rileks?

Ini pertanyaan yang cukup “mengganggu” saya karena jujur beberapa waktu lalu saya belum punya jawabannya. Nah, dengan DBSA kini saya bisa melihat apa yang sesungguhnya terjadi pada gelombang otak saat seseorang mengalami abreaction/catharsis.

Saat abreaction sebenarnya klien semakin masuk ke kondisi trance. Pada saat ini semua gelombang muncul dengan amplitudo beta yang sangat tinggi pada kedua hemisfir. Besarnya tegangan listrik (yang dinyatakan dalam microvolt) gelombang beta ini jauh di atas kondisi normal. “Sesuatu” terjadi di pikiran dan memperkuat amplitudo beta. Amplitudo delta yang tinggi menggambarkan emosi yang sangat intens yang dialami klien. Theta juga demikian, yang mewakili memori yang diakses saat itu. Dan alfa sudah tentu juga ada dan sangat aktif karena berfungsi sebagai “penghantar” informasi dari pikiran bawah sadar/nirsadar ke pikiran sadar dan demikian sebaliknya.

Selain menggunakan EEG para peneliti juga menggunakan piranti lain yang sangat canggih yaitu fMRI atau Functional Magnetic Resonance Imaging. Salah satu ilmuwan yang menggunakan fMRI untuk meneliti fenomena hipnosis adalah Gruzelier.

Gruzelier dan rekannya memelajari aktivitas otak 12 subjek yang sangat sugestif dan 12 yang kurang sugestif dengan menggunakan fMRI. Dalam uji ini kedua kelompok diminta menyelesaikan tugas kognitif standar.

Gruzelier menemukan bahwa otak subjek yang sugestif saat berada dalam kondisi hipnosis menunjukkan aktivitas yang signifikan di daerah anterior cingulate gyrus dibandingkan dengan otak subjek yang tidak begitu sugestif. Kelompok yang sangat sugestif juga menunjukkan aktivitas otak yang tinggi di sisi kiri dari prefrontal cortex daripada kelompok yang kurang sugestif. Ini adalah bagian otak yang berhubungan dengan proses berpikir level tinggi dan perilaku.

Gruzelier menyimpulkan, dalam kondisi hipnosis, bagian otak ini harus bekerja jauh lebih keras untuk mencapai hasil kognitif yang sama. Dengan kata lain selama dalam kondisi hipnosis otak mampu melakukan hal-hal yang berbeda dibandingkan saat kondisi normal.

Penelitian lain yang dilakukan Christina Liossi, psikolog dari University of Wales, terhadap 80 pasien kanker, usia antara 6 dan 16 tahun, menemukan bahwa dalam kondisi hipnosis para pasien ini mengalami rasa sakit yang sangat berkurang jika dibandingkan dengan anak-anak normal, yang menjalani terapi serupa, tanpa bantuan kondisi hipnosis (kontrol).

Penelitian lain yang dilakukan di Universitas Montreal Kanada, menggunakan pemindai PET (Positron Emission Tomography), akhirnya mampu menjawab pertanyaan mengapa hipnosis bisa digunakan untuk mengurangi rasa sakit (mental analgesia) dan menghilangkan rasa sakit (mental anesthesia).

Beberapa ilmuwan, sebelumnya menduga bahwa subjek penelitian berpura-pura dan berbohong kepada peneliti bahwa mereka tidak merasakan sakit saat bagian tertentu tubuh mereka diberi stimulasi yang sebenarnya cukup menyakitkan. Namun, berkat pemindai PET para ilmuwan dapat melihat apa yang sesungguhnya terjadi di otak subjek dan bagaimana rasa sakit bisa “dihilangkan” melalui sugesti tertentu.

Pemindai PET adalah semacam sinar X subatomic yang dapat mendeteksi peredaran darah dan menunjukkan bagian otak yang paling aktif pada suatu saat. Alat ini bekerja paling baik dengan pelacak radioaktif yang disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah.

Dalam riset ini, penelitinya bukan seorang hipnoterapis, tapi seorang dokter yang membacakan script sugesti yang telah disiapkan dengan tujuan membuat subjek rileks. Sebelum script dibacakan tangan subjek dimasukkan ke dalam air yang cukup panas dan dilihat apa yang terjadi di otaknya. Selanjutnya setelah subjek benar-benar rileks peneliti kembali memasukkan salah satu tangan subjek ke dalam air yang cukup panas, yang bila dalam kondisi normal subjek pasti tidak akan bisa menahannya.

Saat sebelum hipnosis bila tangan subjek dimasukkan ke dalam air yang panas maka di satu bagian otaknya muncul titik berwarna merah sebagai indikasi sinyal rasa sakit diterima oleh otak. Saat dalam kondisi rileks (hipnosis) titik berwarna merah ini hilang dan subjek tidak merasakan apapun. Jelas sekali bawah sakit bukan dirasakan oleh tubuh tetapi oleh otak. Hipnosis, dari penelitian ini, terbukti mampu memengaruhi otak sehingga subjek tidak merasakan rasa sakit yang seharusnya ia rasakan bila dalam kondisi normal. 

Ilmuwan lain, Kossylan dan Thompson, dari Universitas Harvard melakukan penelitian, dengan menggunakan mesin pemindai (scanner) PET (Positron Emission Tomography) untuk melihat apa yang terjadi pada otak seseorang saat berada atau mengalami kondisi hipnosis. Pemindaian dilakukan dengan mengukur aliran darah di otak sehingga diketahui apa yang sesungguhnya terjadi.Dalam riset ini para subjek penelitian ditunjukkan benda berbentuk segi empat dengan warna tertentu dan mereka, secara mental, diminta menghilangkan warna dari benda yang mereka lihat. Selanjutnya subjek yang sama ditunjukkan gambar segi empat berwarna abu-abu dan diminta untuk memberi warna pada gambar itu dengan menggunakan pikiran (imajinasi) mereka.

Saat tidak dalam kondisi hipnosis, saat subjek diminta untuk melihat warna, tidak peduli apakah mereka bisa melihat atau tidak, maka akan tampak aktivitas di hemisfir kanan. Saat mereka diminta untuk melihat warna abu-abu maka juga terjadi perubahan aktivitas di otak kanan mereka. Eksperimen ini diulangi dengan subjek dalam kondisi hipnosis.

Hal yang menarik saat subjek dalam kondisi hipnosis dan diminta melakukan eksperimen ini tampak jelas aktivitas baik di hemisfir kiri maupun hemisfir kanan.Peneliti ini berhipotesis bahwa saat dalam kondisi hipnosis, saat diminta untuk melihat, maka yang menerima perintah ini adalah otak kiri. Sedangkan otak kanan akan aktif saat subjek menerima perintah melihat warna, baik saat berada di dalam kondisi hipnosis maupun tidak dalam kondisi hipnosis.

Hal ini sangat menarik karena otak kiri berhubungan dengan logika dan rasional. Sedangkan otak kanan berhubungan dengan warna. Tapi dalam eksperimen ini otak kiri justru aktif dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan  oleh otak kanan. Kossylan menyatakan bahwa hal ini berarti hipnosis mengubah pengalaman sadar dalam cara yang tidak mungkin bisa dilakukan bila kita tidak dalam kondisi hipnosis.



Dipublikasikan di https://adiwgunawan.id/index.php?p=news&action=shownews&pid=46 pada tanggal 21 Juli 2010