The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Usai seminar “Hipnoterapi Klinis: Solusi Efektif untuk Masalah Emosi & Perilaku” di Denpasar beberapa waktu lalu, saya mendapat pertanyaan dari tiga peserta melalui email. Di seminar ini saya menjelaskan bahwa di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH) saya mengajarkan dua teknik utama untuk mencari, menemukan, dan menyelesaikan akar masalah: regresi berbasis afek dan teknik EP. Mereka bertanya tentang teknik terapi yang saya ajarkan dan praktikkan, khususnya teknik ego personality atau yang mereka sebut dengan teknik ego state.
Inti pertanyaan mereka adalah mereka sudah belajar teknik ego state, sudah mempraktikkannya, tapi hasilnya masih kurang maksimal. Dari tanya jawab yang terjadi, saya simpulkan ada dua hal yang menjadi kendala mereka. Pertama, mereka kurang fasih dalam berkomunikasi dengan EP. Kedua, bila EP berhasil dipanggil keluar, teknik yang mereka gunakan untuk membantu klien berubah adalah hanya melakukan negosiasi dengan EP penyebab masalah. Dan seringkali EP bersikeras pada pendiriannya, tidak bersedia berubah. Bila ini terjadi, terapis menyerah.
Dalam artikel ini saya menyebut Bagian Diri sebagai Ego Personality (EP). Bagi pembaca yang familiar dengan istilah ego state (ES), untuk mudahnya, EP sama dengan ES.
Perlu disadari bahwa saat terapis berbicara dengan klien, sebenarnya yang terjadi adalah ia sedang berkomunikasi dengan satu EP. EP ini yang mendorong klien jumpa terapis untuk mengatasi masalah. Sementara yang membuat masalah adalah EP lain. Dengan demikian terapis perlu memiliki kecakapan untuk mengundang keluar atau mengaktifkan atau memunculkan EP yang ingin diproses.
Cara Mengaktifkan EP
Ada banyak cara untuk mengaktifkan EP. Idealnya, proses komunikasi dengan EP dilakukan dalam kondisi hipnosis, lebih baik hipnosis dalam, untuk dapat mengakses EP yang tinggal di kedalaman. Berikut ini adalah cara yang bisa digunakan:
Mengaktifkan EP adalah keterampilan yang perlu dikuasai dengan baik oleh terapis. Dengan aktifnya EP tidak berarti masalah klien serta merta selesai. Ini barulah langkah awal. EP yang telah aktif perlu divalidasi untuk memastikan bahwa benar EP inilah yang memunculkan simtom atau membuat masalah dalam diri klien.
Setelah EP muncul, langkah berikutnya adalah penyelesaian masalah. Teknik yang sangat sering digunakan, namun kurang efektif, adalah dengan hanya melakukan negosiasi dengan EP. Terapis mewakili klien berbicara dengan EP, bisa juga terapis memfasilitasi komunikasi antara klien dan EP, dan meminta EP berhenti melakukan apa yang selama ini ia lakukan sehingga klien tidak lagi bermasalah. Contohnya, bila klien adalah perokok, maka terapis akan berbicara dengan EP yang membuat klien merokok, misal sebut saja sebagai EP Perokok, agar berhenti merokok. Bila EP Perokok setuju berhenti merokok, masalah klien juga selesai.
Teorinya seperti ini. Dalam praktiknya, tidak semudah teori. Seringkali EP Perokok punya tujuan, alasan, agenda tersendiri yang membuat ia merokok. Negosiasi, rayuan, atau bujukan terapis seringkali tidak membuahkan hasil. Dalam banyak kasus, setelah EP Perokok setuju berhenti merokok, benar klien juga berhenti merokok. Namun ini hanya berlangsung satu atau dua hari. Setelahnya, klien kembali merokok.
Untuk mengatasi hal ini terapis butuh teknik lain, selain negosiasi. Ada banyak cara untuk melunakkan EP sehingga akhirnya setuju untuk mendukung hidup klien. Teknik-teknik ini sangat penting untuk dikuasai agar terapi berbasis EP efektif dan tuntas. Pada beberapa kasus, terjadi EP berlapis (multilayer). Bahkan pernah dijumpai empat lapis EP. Artinya, EP yang pertama muncul, sebut saja sebagai EP A, dikendalikan oleh EP B. EP B dikendalikan oleh EP C, dan EP C dikendalikan oleh EP D. Masalah klien hanya bisa terselesaikan bila terapis mampu mengakses EP D dan membuat EP ini bersedia menuruti permintaan klien.