The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Kehendak Bebas dan Hipnoterapi

27 Januari 2016

Hipnoterapi saat ini telah berkembang pesat di tanah air. Banyak yang telah terbantu dengan hipnoterapi mengatasi beragam masalah yang berhubungan dengan emosi dan perilaku. Namun, masih ada juga yang sangat alergi atau sebisa mungkin menghindari hipnoterapi karena pemahaman yang kurang tepat. Salah satunya, hipnoterapi melanggar kehendak bebas.

Ada calon klien, pria usia 28 tahun, yang mengalami gangguan emosi berat sejak 10 tahun lalu akibat patah hati. Selama sepuluh tahun orangtuanya mencoba berbagai cara untuk bisa membantu anaknya mengatasi masalah ini. Namun hasilnya belum seperti diharapkan. 

Salah satu anggota keluarga, yang kebetulan mengerti hipnoterapi, menyarankan agar anak ini dibawa ke hipnoterapis. Namun orangtuanya menolak. Beberapa kali disarankan ke hipnoterapis, orangtuanya bergeming. Saat ditanya mengapa ia tetap tidak mengijinkan anaknya dibantu dengan hipnoterapi, ia beragumentasi bahwa hipnoterapi melanggar kehendak bebas individu. Oleh sebab itu, hipnoterapi tidak baik dan harus dihindari.

Benarkah demikian? Benarkah hipnoterapi melanggar kehendak bebas seseorang? Apakah benar dalam proses terapi, klien dalam “penguasaan” dan “kendali” hipnoterapis sehingga tidak bisa berbuat apa-apa?

Untuk bisa memahami artikel ini dengan baik, perlu diperjelas terlebih dahulu makna kehendak bebas dan hipnoterapi.

Kehendak bebas adalah kemampuan untuk membuat keputusan dalam memilih bagaimana seseorang bertindak, bebas dalam menentukan perilaku, bebas dalam menentukan apa yang terbaik dari berbagai opsi yang ada, dalam kondisi sadar dan sepenuhnya bebas dari tekanan saat membuat keputusan.

Sedangkan hipnoterapi terdiri atas dua kata, hipnosis dan terapi. Hipnosis adalah kondisi kesadaran spesifik. Dengan demikian, hipnoterapi, menurut definisi Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, adalah terapi, bisa menggunakan teknik apa saja, yang dilakukan dalam kondisi kesadaran spesifik, terutama di kedalaman profound somnambulism.

Pemahaman yang kurang tepat tentang proses hipnoterapi mungkin didapat dari tayangan televisi dan juga berbagai publikasi media massa yang menggambarkan kondisi subjek yang lemah, tidak berdaya, seolah-olah di bawah kendali atau penguasaan operator.

Namun yang terjadi sebenarnya tidak seperti ini. Pengalaman klinis saya membantu klien sejak tahun 2005 dan juga berdasar pengalaman praktik para hipnoterapis AWGI yang, secara kolektif, telah menerapi lebih dari 100.000 klien, membuktikan bahwa dalam proses terapi klien sadar sepenuhnya, memegang kendali penuh atas apapun yang ia jawab atau pikir, dan dapat menghentikan terapi kapanpun ia kehendaki. Terapis tidak bisa memaksakan proses terapi tanpa persetujuan klien.

Berikut ini saya beri contoh konkrit dari pengalaman pribadi saya membantu klien. Seorang anak muda usia 20 tahun, sebut saja, Anto, datang ke saya dan minta diterapi agar bisa berhenti merokok. Sehari Anto menghabiskan tiga pak rokok.

Pertanyaan saya, “Apakah keputusan Anto untuk berhenti merokok adalah satu bentuk kehendak bebas?”

Jawabannya, "Ya, ini bentuk kehendak bebas Anto karena ia datang ke terapis atas inisiatifnya sendiri, bukan terapis yang minta Anto datang untuk diterapi."

Lalu, bagaimana proses terapi berjalan?

Berdasar informasi yang Anto tulis di Intake Form, saya mewawancarai Anto secara mendalam, dalam kondisi sadar normal. Yang saya tanyakan antara lain sudah berapa lama ia merokok, mengapa ia dulu merokok, mengapa saat ini ia memutuskan berhenti merokok, apakah ini keputusan yang ia buat sendiri secara sadar atau atas permintaan, desakan, rayuan, bujukan, paksaan atau tekanan orang lain. 

Dari hasil wawancara saya dapatkan informasi bahwa keputusan berhenti merokok dibuat atas kesadaran Anto sendiri, tanpa pengaruh, paksaan, atau tekanan dari siapapun. Dengan demikian, sesuai definisi di atas, berhenti merokok adalah kehendak bebas Anto. 

Setelah dirasa cukup mendapat data atau informasi yang dibutuhkan barulah saya mulai melakukan terapi. Tentu untuk melakukan terapi, sesuai protokol yang saya gunakan, Quantum Hypnotherapeutic Protocol (QHP), saya membimbing klien masuk ke kondisi profound somnambulism terlebih dahulu. Ini adalah syarat yang harus dipenuhi agar proses terapi berdasar QHP dapat berjalan lancar dan membuahkan hasil maksimal dan stabil untuk jangka panjang.

Setelah klien berada di kedalaman profound somnambulism, sebelum saya melakukan terapi, saya permisi dan mohon ijin kepada pikiran bawah sadar (PBS) klien apakah diperkenankan membantu klien. Untuk memastikan bahwa PBS klien setuju, saya mengulangi pertanyaan sampai tiga kali. Bila PBS klien tidak setuju atau tidak mengijinkan, apapun alasannya, terapi tidak boleh diteruskan.

Setelah mendapat ijin, saya berkomunikasi dengan PBS perihal keinginan Anto berhenti merokok. Dan saya sungguh kaget saat PBS menyatakan tidak setuju bila Anto berhenti total merokok. PBS hanya mengijinkan dikurangi menjadi satu pak per hari.

Ini tentu tidak sejalan dengan keinginan Anto. Anto datang minta dibantu untuk berhenti total. Sedangkan PBS hanya setuju bila dikurangi dari tiga menjadi satu pak per hari.

Saya tentu tidak bisa dan tidak boleh membuat keputusan untuk Anto. Jadi, saya bertanya dan mengkomunikasikan keinginan PBS kepada Anto. Selanjutnya Anto memutuskan dan setuju untuk tetap merokok, mengikuti permintaan PBS, tapi maksimal sehari hanya enam batang.

Setelah mendapat keputusan dari Anto, saya melakukan negosiasi dan reedukasi PBS. Akhirnya PBS setuju dengan keinginan Anto.  

Dari cerita di atas, ada tiga pertanyaan penting untuk dijawab. Pertama, apakah proses terapi di atas menghormati atau melanggar kehendak bebas Anto? Kedua, sebenarnya kehendak bebas ini adalah ranah pikiran sadar atau bawah sadar? Ketiga, bila keinginan pikiran sadar dan bawah sadar berbeda, mana yang terapis ikuti?

Klien, dengan kehendak bebas datang ke terapis dan menyatakan mau berhenti merokok. Ternyata, PBS klien juga punya kehendak bebas yang berbeda. Lalu, yang mana sebenarnya kehendak bebas yang benar-benar kehendak bebas?

Saya pernah diminta menerapi anak muda, juga untuk berhenti merokok. Yang minta anak ini diterapi adalah mamanya. Sedangkan si anak sendiri belum mau berhenti merokok.

Apa yang saya lakukan? Apakah saya menerima order dari si Ibu?

Walau yang membayar biaya terapi adalah ibunya, saya tegas menolak permintaan ini. Bila saya menerima permintaan ini, inilah yang disebut dengan pelanggaran kehendak bebas.

Ada lagi kasus di mana pria muda, usia sekitar 30 tahun, datang ke saya karena diminta oleh tantenya, yang kebetulan kenal saya. Masalahnya, anak muda ini gay.

Saat jumpa saya, pertanyaan yang saya ajukan padanya, “Apakah Anda mau berubah dari gay dan menjadi pria seperti yang diharapkan keluarga Anda? Apakah Anda merasa nyaman dan bahagia dengan kondisi Anda?”

Saya mendapat jawaban tegas darinya, “Saya merasa sangat nyaman dengan diri saya dan belum berpikir untuk berubah.”

Saya katakan padanya bahwa saya menghargai keputusannya dan tidak perlu melakukan apapun. Kami hanya diskusi selama hampir dua jam.

Masih ada banyak contoh kasus berbeda namun pendekatan yang kami gunakan sama. Intinya, protokol QHP yang saya gunakan dan juga digunakan hipnoterapis AWGI sangat menghormati kehendak bebas setiap klien. 

Dari uraian di atas sangat jelas bahwa hipnoterapi yang kami praktikkan sangat menjunjung tinggi dan menghormati kehendak bebas klien. 

_PRINT