The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Mengapa Anak Mengalami Kesulitan Belajar?

1 Maret 2014

Ada satu asumsi yang salah mengenai proses belajar. Pada umumnya kita berasumsi bahwa bila guru mengajar maka murid pasti belajar. Benarkah demikian? Tentu saja tidak. Mengajar merupakan satu proses. Belajar juga satu proses tersendiri. Di antara mengajar dan belajar terdapat jurang pemisah yang cukup lebar. Tugas kita sebagai orangtua dan pendidik adalah menyediakan jembatan penghubung sehingga terjadi koneksi antara mengajar dan belajar. 

Asumsi adalah menerima sesuatu sebagai hal benar tanpa memeriksa atau memastikan kebenarannya. Jadi, kalau kita berpikir dan bertindak hanya berdasar asumsi maka jadinya ya seperti sekarang ini. Guru dan orangtua frustrasi karena telah mengajar dengan sungguh-sungguh sedangkan murid atau anak tidak mengerti dan belum bisa menyerap apa yang diajarkan. Guru dan orangtua frustrasi, murid atau anak depresi.

Jurang pemisah ini terutama karena guru/orangtua tidak mengerti gaya belajar. Gaya belajar adalah cara yang dirasa paling menyenangkan dan mudah dalam menyerap suatu informasi. Sebenarnya ada lima cara untuk belajar yaitu belajar berdasar indera penglihatan (visual), indera pendengaran (auditori), gerakan/perabaan (kinetetik), indera penciuman (olfaktori), dan indera rasa (gustatori). Lima jalur masuk informasi ini adalah kelima indera kita. Sebenarnya ada satu lagi yaitu melalui pikiran kita. 

Setiap jalur punya karakteristik sendiri. Pada umumnya yang paling sering digunakan hanya tiga jalur yaitu visual, auditori, dan kinestetik. 

Anak yang visual belajar melalui penglihatan. Anak yang auditori senang belajar dengan membaca sambil mengeluarkan suara atau malah tidak boleh ada suara sama sekali. Sedangkan anak kinestetik senang belajar sambil bergerak. Kombinasi yang umum terjadi adalah visual-auditori, visual-kinestetik, dan auditori-kinestetik.

Anda pasti pernah menemukan anak yang tidak bisa duduk diam saat belajar. Tipe ini adalah tipe kinestetik. Atau mungkin anak anda suka sekali belajar bila anda membacakan materinya. Tipe ini adalah tipe auditori. Dan ada juga yang bisa duduk dan belajar dengan tenang. Yang ini tipe visual. 

Untuk lebih jelas mengenai gaya belajar dan aplikasinya dalam proses pembelajaran saya menyarankan anda membaca buku saya Born to be a Genius dan Genius Learning Strategy. 

Singkat kata belajar menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dan merupakan proses yang cukup menyakitkan bagi kebanyakan anak karena tiga hal berikut:
1. Karena kita tidak tahu proses belajar yang benar
2. Karena kita tidak pernah belajar, diajar, atau mengajarkan cara belajar yang benar
3. Karena gaya mengajar tidak sejalan dengan gaya belajar

Tiga Level Sistem Belajar

Proses belajar yang kita lakukan sebenarnya terdiri dari tiga level:

1. Sistem Diri (Self System), meliputi aspek relevansi, kemampuan, dan emosi.

2. Sistem Metakognisi (Metacognitive System), meliputi aspek penetapan goal pribadi,           keputusan untuk terus maju, dan bekerja dengan penuh semangat.

3. Sistem Kognisi (Cognitive System), meliputi aspek memproses informasi untuk menyelesaikan tugas.

Setiap proses belajar selalu terjadi dengan urutan seperti di atas, dimulai dengan Sistem Diri, kemudian ke Sistem Metakognisi, dan baru akhirnya ke Sistem Kognisi.

Sebelum saya teruskan saya ingin mengajukan satu pertanyaan untuk anda, ”Pernahkah anda bertemu dengan anak, atau mungkin anak anda sendiri, yang sulit menghafal suatu materi pelajaran, misalnya IPS atau kosakata bahasa Inggris, namun anak yang sama mampu menghafal nama semua pemain sepak bola, plus nomor punggung, dari tim sepak bola kesayangannya?” 

Atau anda mungkin pernah bertemu dengan anak yang mengalami kesulitan menghafal materi pelajaran tertentu namun ia mampu menghafal materi pelajaran lain dengan mudah dan cepat? 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal otak yang digunakan, untuk menghafal materi pelajaran dan nama pemain sepak bola, adalah sama. Logikanya, kalau otaknya sama maka seharusnya anak bisa menghafal semua materi pelajaran, kan?

Masalah muncul karena dalam proses belajar aspek paling penting yaitu Sistem Diri (Self System) seringkali terabaikan. Mungkin anda, guru atau orangtua, justru baru tahu mengenai hal ini sekarang. 

 

SISTEM DIRI (Self System)

Semua proses belajar dimulai di Sistem Diri. Sistem ini meliputi tiga aspek yaitu relevansi, kemampuan, dan emosi. Apa hubungannya dengan proses belajar? Oh, sangat erat. 

Mari kita lihat relevansi. Mengapa anak sulit belajar? Karena anak merasa bahwa apa yang ia pelajari tidak ada gunanya bagi hidupnya. Dengan kata lain anak tidak melihat relevansi bahan ajar dengan hidupnya. Contohnya? Misalnya anak diminta menghafal nama menteri kabinet. Otak anak akan sangat sulit menyerap informasi ini karena anak berpikir, ”Untuk apa sih saya harus menghafal nama-nama orang yang saya nggak kenal. Trus... kalau sudah bisa dihafal apa gunanya untuk saya?”

Kasusnya akan berbeda bila ia menghafal nama pemain sepak bola atau nama bintang sinetron. Mengapa bisa berbeda? Karena teman-temannya juga punya hobi sama. Nonton sepak bola atau sinetron. Jadi, kalau pas diskusi mengenai ”pelajaran” sepak bola atau ”pelajaran” sinetron si anak bisa terlibat aktif dan memiliki pengetahuan di ”pelajaran” ini. Menghafal nama pemain sepak bola atau artis sinetron sangat relevan bagi hidupnya. Anda jelas sekarang?

Aspek kedua adalah kemampuan. Saat anak merasa tugas yang diberikan terlalu berat, atau anak merasa tidak mampu karena tidak tahu caranya, atau anak merasa waktu yang tersedia untuk mengerjakan tugas itu tidak cukup, atau apapun alasannya sehingga membuat anak merasa tidak mampu atau tidak berdaya, akan mengakibatkan turunnya motivasi dan anak tidak akan mau belajar. Lha, buat apa belajar kalau materinya ”sulit” untuk dikuasai atau dikerjakan? Saya menulis kata sulit dalam tanda kutip karena bisa jadi memang materi pelajarannya benar-benar sulit atau sulit itu hanya dalam persepsi si anak saja. Kalau perasaan tidak mampu ini terus dialami anak maka akan terjadi yang disebut dengan ”learned helplessness” atau ”ketidakberdayaan yang dipelajari”.

Aspek ketiga yaitu emosi. Proses belajar haruslah menjadi perjalanan yang menyenangkan bagi anak. Namun yang terjadi saat ini adalah lebih banyak anak yang stress, merasa takut, atau mengalami trauma akibat proses belajar yang tidak berpihak pada anak. Anak sering mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan. Anak sering mengalami emosi negatif. Akibatnya, belajar menjadi kegiatan yang dihindari, kalau tidak boleh dikatakan dibenci, oleh anak. 

Apabila anak mengalami pengalaman menyenangkan, mengalami kegembiraan, tantangan positif, mendapat pujian, dan rasa ingin tahu yang tinggi saat belajar maka secara otomatis anak ingin mengulangi lagi pengalaman positif ini. Inilah sumber motivasi belajar intrinsik. Kepuasan belajar, perasaan diri mampu, bisa, puas karena dapat menguasai bahan ajar adalah reward paling berharga untuk hasil kerja keras anak. Dengan demikian anak tidak perlu dimotivasi dengan sogokan atau reward yang tidak perlu. 

Hal yang sama berlaku untuk kita, orang dewasa. Tidak ada satupun orang yang ingin mengalami kembali kejadian atau pengalaman yang menyakitkan. Kita semua selalu ingin merasa senang dan bahagia. Ini adalah motivasi hidup yang paling mendasar.

Intinya, bila anak merasa materi yang akan dipelajari tidak relevan atau berguna untuk hidupnya, anak merasa sulit atau tidak mampu, dan ada muatan emosi negatif pada pengalaman belajar, maka pikiran anak, lebih tepatnya pintu gerbang pikiran bawah sadar, akan langsung menutup. Akibatnya, belajar bisa dilakukan namun informasi tidak bisa masuk ke memori dan tidak terjadi internalisasi. 

Sistem Metakognisi (Metacognitive System)

Setelah Sistem Diri berjalan dengan baik maka secara otomatis Sistem Metakognisi juga akan baik. Sistem Metakognisi meliputi aspek penetapan goal pribadi, keputusan untuk terus maju, dan bekerja dengan penuh semangat. 

Anak yang telah timbul semangat belajarnya karena merasa materi yang dipelajari relavan, ia merasa mampu, dan menyukai bahan ajar dengan sendirinya akan belajar dengan semangat yang tinggi. 

Dengan bekal semangat yang tinggi anak akan bekerja keras, dengan hati riang gembira, dan belajar untuk mencapai target pembelajaran yang telah ditetapkan. Walaupun mengalami hambatan si anak akan maju terus. 

Sistem Kognisi (Cognitive System)

Sistem Kognisi, yang meliputi aspek memroses informasi untuk menyelesaikan tugas, adalah hal yang dilakukan anak saat belajar. Aktifitas ini yang selama ini dikenal dengan ”belajar”. 

Inilah sistem yang terlihat dari luar. Anak duduk belajar atau membaca materi pelajaran. Namun, dari penjelasan sebelumnya, sistem ini hanyalah lanjutan dari dan dipengaruhi oleh dua sistem sebelumnya yaitu Sistem Diri dan Sistem Metakognisi. 

Dari penjelasan di atas tampak bahwa apabila kedua sistem terdahulu, Sistem Diri dan Sistem Metakognisi, tidak berjalan dengan baik maka secara otomatis Sistem Kognisi akan terpengaruh. Dengan kata lain akan mengalami kesulitan belajar. 

Contoh kesulitan belajar yang umumnya dialami anak adalah rasa bosan, stress, mengantuk, tidak fokus, sulit konsentrasi, sulit menyerap informasi, mudah lupa, dan masih banyak keluhan lain.

Pada tahap inilah, saat anak belajar, barulah kita bisa mengajarkan teknik-teknik belajar seperti teknik menghitung cepat, teknik mencatat dengan mind mapping, teknik menghapal (dengan segala variannya), teknik membaca cepat, atau teknik-teknik lainnya. Semua teknik ini tidak akan bisa memberikan hasil maksimal bila kedua sistem yang mendasari kerja sistem kognisi tidak berjalan baik. 

Ini juga menjawab pertanyaan dan kebingungan banyak orangtua mengapa anaknya sudah dileskan di berbagai kursus atau bahkan dileskan pada guru sekolahnya sendiri tapi prestasi akademiknya tetap tidak bisa meningkat signifikan. 

Bahkan pernah ada satu kasus di mana anak mendapat bocoran soal, soal ujiannya persis sama dengan soal bocoran ini, tapi hasil ujian anak tidak bisa lebih dari 70. Lho, kok bisa begini? Ini karena adanya mental block besar dalam diri anak. 

 

 

Mental Block

Apa sih mental block itu? Mental block adalah kepercayaan yang bersifat menghambat kita dalam menggunakan potensi diri secara optimal. Untuk mudahnya begini. Pernahkah anda mendengar anak berkata ”Belajar itu sulit dan membosankan”, ”Saya nggak bisa bahasa Inggris”, ”Saya bodoh matematika”, ”Matematika hanya untuk anak yang otaknya encer”, ”Nilai IPS saya selalu jelek”, dan masih banyak ungkapan negatif lainnya? 

Setiap pernyataan di atas mencerminkan kepercayaan (belief) anak terhadap dirinya sendiri dan kemampuannya di bidang tertentu. Pada saat anak menerima hal ini sebagai suatu kebenaran maka pada saat itu pula telah tercipta mental block dalam diri anak. 

Lalu, apa pengaruh mental block terhadap prestasi anak? Sungguh dahsyat pengaruhnya. Anak dengan mental block seperti ini digaransi akan mengalami kesulitan belajar. 

Dari pengalaman saya membantu dan menangani anak ”bermasalah” saya sampai pada satu simpulan penting. Tidak ada seorangpun yang bodoh. Yang ada adalah anak yang ”diprogram” menjadi anak yang bodoh. Kalau saya boleh lebih keras berbicara tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang ”dipaksa” menjadi bodoh. 

Anda mungkin bingung dan bertanya, ”Apa maksudnya anak ”diprogram” atau ”dipaksa” menjadi bodoh?”. 

Penjelasan singkatnya seperti ini. Misalnya, anak diajar matematika dan anak tidak mengerti. Ada banyak faktor yang membuat anak tidak mengerti. Misalnya karena gaya mengajar guru tidak sama dengan gaya belajar anak. Sebab lain, karena proses belajar dasar-dasar matematika yang salah. Anak tidak diajar secara konkrit, tapi langsung dihajar (bukan diajar, lho) dengan pendekatan yang bersifat abstrak. 

Penjelasan lebih detil sebagai berikut. Jean Piaget, filsuf dan psikolog perkembangan dari Swiss, membagi perkembangan kognisi menjadi beberapa tahap berdasarkan usia:

0 – 2 thn tahap Sesori Motor
2 – 7 thn tahap Pra Operasi
7 – 12 thn tahap Operasi Konkrit
12 – 15 thn tahap Operasi Formal

Apa jadinya bila materi pelajaran diberikan kepada anak kita ternyata tidak sesuai dengan usia dan perkembangan kognisinya? Ya sudah tentu akan berakibat negatif. 

Saat anak masih di sekolah dasar, usia 7 – 12 tahun, materi pelajaran seharusnya lebih bersifat konkrit, bukan abstrak. Nah, khusus di bidang matematika, anak biasanya mengalami kesulitan karena materi pelajaran diajarkan tanpa mengindahkan kebutuhan anak belajar secara konkrit. 

Apa maksudnya? Coba kita lihat bagaimana anak kita belajar konsep angka dan jumlah. Cara yang benar adalah anak dikenalkan dengan benda konkrit yang ia kenal. Misalnya kelereng, sendok, bola, permen, sedotan minuman, pensil, atau kerikil. Nah, saat mengajar angka 1, 2, 3, dan seterusnya, harusnya ada benda yang bisa anak pegang dan manipulasi. Dengan demikian proses belajarnya benar yaitu konkrit. Angka, yang abstrak, masuk ke pikiran anak melalui benda konkrit. 

Bila menggunakan benda konkrit maka anak bisa belajar menggunakan tiga gaya belajar sekaligus, visual, ia melihat bendanya, auditori, ia mendapat penjelasan dari gurunya, dan kinestetik, ia bisa memegang bendanya. Bila ini yang terjadi dijamin anak pasti fokus belajarnya.

Dari konkrit, setelah konsepnya dimengerti, barulah kita bergeser ke semi abstrak. Yang dimaksud dengan semi abkstrak adalah kita mengajar anak dengan menggunakan gambar, misalnya dengan kartu. Di kartu, selain ada angka juga ada gambar. 

Setelah itu barulah kita bergeser ke abstrak yaitu hanya menggunakan angka saja. Jadi proses belajar yang benar adalah dari konkrit, semi abstrak, ke abstrak. 

Salah satu kesulitan terbesar anak dalam belajar matematika adalah saat mereka harus mengerjakan soal cerita. Wah... ini sungguh menjadi momok bagi anak. 

Sebagai sesama orangtua dan pendidik saya bisa memahami kesulitan anak. Mengapa anak mengalami kesulitan? Lha, bagaimana bisa mengerjakan soal cerita kalau dasar matematikanya saja belum kuat dan kemampuan linguistik anak masih kurang. Celakanya lagi banyak guru, yang karena hanya mengikuti buku paket, memberikan soal cerita pada anak SD kelas 2. Anak kita tidak bisa mengerjakan soal bukan karena bodoh namun secara perkembangan kognisi, kemampuan logika berpikir, dan kemampuan bahasa memang belum bisa. Biar dipaksa dengan memberikan les atau pelajaran tambahan anak tetap akan mengalami kesulitan. 

Apa akibatnya bila anak langsung belajar dengan pendekatan abstrak? Anak pasti bingung dan tidak mengerti. 

Selanjutnya anak yang tidak mengerti, tidak menguasai dasar matematika, tidak menguasai konsep dengan benar, diberi ujian. Hasilnya? Ya sudah tentu nilainya jelek. Nilai yang jelek ini kalau terjadi berkali-kali, ditambah lagi dengan ”pujian” yang didapat anak dari guru dan orangtua yang hanya mementingkan nilai tapi tidak mementingkan proses, akhirnya mengkristal menjadi kepercayaan yang menyatakan ”Saya tidak bisa matematika. Saya memang bodoh matematika”. 

Begitu kepercayaan ini terbentuk dan diterima pikiran bawah sadar anak maka ia akan mengarahkan anak untuk mewujudkanya menjadi suatu realita. Hasilnya? Anak benar-benar menjadi bodoh matematika. Nah inilah yang dinamakan mental block.

Ini contoh matematika. Bagaimana dengan pelajaran lain? Sama saja. Ada anak yang trauma dengan pelajaran yang mengutamakan hapalan. Anak tidak bisa menghapal karena tidak diajarkan strategi menghapal yang benar. 

Dan yang lebih menyedihkan lagi, seringkali guru meminta jawaban yang persis sama dengan catatan atau yang ada di buku. Saya beberapa kali menangani anak yang frustrasi karena tidak bisa menjawab persis seperti yang diminta gurunya. Anak ini sampai remedi 5X tetap tidak bisa. 

Adalah lebih penting untuk mengajar anak mengerti daripada sekedar tahu dengan cara menghapal. Saat ini hanya dengan melakukan Googling anak bisa dapat informasi sangat banyak. Yang penting anak merasa senang belajar. Bila ia merasa senang maka dorongan untuk mengulangi pengalaman menyenangkan, ini yang disebut motivasi, akan membuat anak menguasai materi dengan bbaik

Anak adalah ANUGERAH dari Tuhan yang dipercayakan kepada kita, orangtua dan pendidik. Dan tugas utama kita, selaku orangtua dan pendidik, adalah memberikan kasih sayang, pendidikan, dukungan, bimbingan, rasa aman, sehingga anak tumbuh dengan budi PEKERTI yang baik dan benar sebagai bekal kehidupannya kelak, sehingga mampu menjalani hidup penuh makna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, dan bagi masyarakat. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bertaqwa dan bermanfaat bagi orang lain. 

Membaca penjelasan saya sejauh ini, apa simpulan Anda? Anak kita memang bodoh ataukah mereka dipaksa atau dibuat bodoh? 

_PRINT