The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Dalam dua tahun terakhir, saya melihat peningkatan sangat signifikan dalam efektivitas protokol hipnoterapi yang digunakan para hipnoterapis AWGI. Setelah saya telaah secara mendalam, peningkatan ini ternyata bukan sekadar hasil keterampilan terapis atau pengalaman praktik yang bertambah, tetapi berasal dari sesuatu yang jauh lebih dalam: penguatan medan morfik, sebuah pola informasi bersama yang terbentuk ketika banyak praktisi menjalankan protokol yang sama secara konsisten.
Menurut Rupert Sheldrake (2009, 2012), pola perilaku atau proses yang dilakukan secara berulang oleh banyak orang dapat menciptakan suatu “medan resonansi” yang mempermudah siapa pun yang terhubung dengannya untuk melakukan hal yang sama dengan lebih cepat dan efektif.
Inilah yang kami yakini terjadi pada protokol hipnoterapi AWGI. Semakin sering protokol ini dipraktikkan, semakin kuat pula "jejak" informasinya, sehingga praktisi menjadi lebih intuitif, lebih presisi, dan hasil terapinya menjadi lebih efektif dan kuat.
Tahap Wawancara: Ternyata Di Sini Banyak Perubahan Terjadi
Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Secara umum, ia memiliki lima tahap utama:
Hipnoterapi diawali dengan sesi Pengawalan, bermula dari klien mencari tahu tentang terapis, menghubungi terapis untuk membuat janji bertemu, hingga bertemu dengan terapis di ruang praktik.
Saat di ruang praktik, sesi diawali dengan intake interview atau wawancara mendalam. Dalam proses wawancara, terapis mengumpulkan informasi tentang situasi dan kondisi klien, mengenali klien secara lebih mendalam, membantu klien merumuskan masalah secara presisi, membangun kepercayaan (trust / rapport), menjawab pertanyaan-pertanyaan klien, melakukan edukasi, serta mengukur tingkat kesiapan dan kesediaan klien menjalani terapi.
Sesi wawancara yang dilakukan hipnoterapis AWGI umumnya berlangsung antara 1,5 hingga 2 jam. Setelah terapis merasa cukup dalam mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk membantu klien secara optimal, sesi dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu induksi.
Di tahap ini terapis, atas izin klien, menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis. Terapis selanjutnya melakukan uji kedalaman kondisi hipnosis dan pendalaman untuk memastikan klien telah berhasil mencapai kedalaman yang menjadi syarat dilakukan terapi berbasis hipnoanalisis. Terapi secara resmi dilakukan di tahap tiga.
Di tahap inilah terapis melakukan kerja yang sesungguhnya, membantu klien mengatasi masalahnya dengan cara mencari dan menemukan akar masalah, melakukan edukasi pikiran bawah sadar, dan resolusi trauma secara tuntas. Setelahnya terapis AWGI akan melakukan empat uji hasil terapi untuk memastikan masalah klien benar-benar telah berhasil diselesaikan secara tuntas. Ini adalah proses terapi yang umumnya terjadi di ruang praktik kami.
Selama ini, kami menemukan bahwa perubahan besar baru terjadi setelah klien masuk kondisi hipnosis dan dilakukan terapi. Namun, dalam dua tahun terakhir, muncul temuan yang mengejutkan: banyak perubahan justru terjadi di tahap pertama, yaitu saat wawancara mendalam, bahkan sebelum proses induksi hipnosis dilakukan.
Wawancara yang kami lakukan tidak hanya mencari informasi, membangun relasi, melakukan edukasi, tetapi secara sadar dirancang untuk menyentuh sistem saraf, pikiran, dan emosi klien dengan tujuan terapeutik.
Mengapa Wawancara Bisa Sangat Terapeutik?
1. Wawancara Mengaktifkan Rasa Aman (Neuroception)
Dalam teori polivagal, Stephen Porges (2011, 2021) menjelaskan bahwa tubuh manusia memiliki kemampuan otomatis untuk merasakan apakah suatu situasi aman atau mengancam, tanpa perlu dipikirkan secara sadar. Ia menyebutnya neuroception.
Selama wawancara terapeutik AWGI, nada suara terapis yang tenang, sikap yang penuh empati, ritme dialog yang pelan dan teratur, vibrasi positif serta energi kehadiran yang menenangkan, semuanya bersatu menciptakan suasana yang secara halus memberi sinyal kepada sistem saraf klien bahwa ia berada dalam kondisi yang aman dan dapat dipercaya.
Ketika rasa aman ini muncul, sistem saraf klien memasuki keadaan optimal untuk mengalami perubahan. Dalam kondisi seperti ini, pikiran bawah sadar menjadi jauh lebih terbuka dan fleksibel, lebih mampu menerima dan memproses informasi baru, serta lebih siap untuk melepaskan pola-pola lama yang sebelumnya dipertahankan sebagai mekanisme perlindungan. Pada titik inilah tubuh dan pikiran secara alami “memutuskan” bahwa ini adalah momen yang tepat untuk berubah.
2. Hubungan yang Selaras Membentuk Integrasi Otak (Interpersonal Neurobiology)
Daniel Siegel (2010, 2020) menjelaskan bahwa hubungan manusia yang hangat dan selaras memiliki kemampuan langsung untuk memengaruhi cara kerja otak. Ketika terapis hadir sepenuhnya di hadapan klien, mendengarkan dengan perhatian penuh, dan mampu menyelaraskan diri dengan kondisi emosional klien, maka tercipta sebuah pengalaman hubungan yang menumbuhkan co-regulation, yaitu proses ketika emosi klien dan terapis saling menstabilkan satu sama lain.
Dalam momen ini juga terjadi attunement, ketika terapis dan klien berada dalam frekuensi emosional yang sama; muncul pula resonance, di mana perasaan dan pengalaman batin terhubung secara mendalam, serta akhirnya terbentuk integrasi jaringan otak, sebuah proses yang memungkinkan berbagai bagian otak bekerja lebih harmonis.
Keempat proses ini, co-regulation, attunement, resonance, dan integrasi neural, mendorong otak klien untuk memandang masalahnya dari sudut yang berbeda. Tidak jarang, hanya dengan mengalami pemahaman baru yang muncul dari kualitas hubungan tersebut, beban emosional lama langsung mereda, bahkan sebelum sesi hipnoterapi formal dimulai.
3. Aktivasi Mekanisme Proteksi Pikiran Bawah Sadar (PBS)
Pikiran Bawah Sadar (PBS) pada dasarnya memiliki satu fungsi utama: melindungi diri individu (Gunawan, 2012). Seperti dijelaskan oleh Cozolino (2014) dan Schore (2012, 2021), PBS terus bekerja menjaga keseimbangan emosi dan keselamatan psikologis, bahkan ketika individu tidak menyadarinya.
Selama wawancara terapeutik, ketika klien mulai merasakan suasana yang benar-benar aman, mengalami peningkatan kesadaran, mendapatkan pemahaman baru, melihat masalahnya dengan cara yang berbeda, PBS menangkap bahwa pola lama yang selama ini dijaga, meski penuh tekanan atau sudah tidak adaptif, tidak lagi diperlukan.
Pada titik ini, PBS secara natural dan sukarela melakukan reorganisasi internal: ia melepaskan pola lama dan menggantinya dengan pola baru yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih bermanfaat bagi kesejahteraan klien.
Inilah alasan mengapa kami sering menemukan klien yang menyatakan bahwa masalah mereka mulai membaik, bahkan tuntas, meskipun mereka belum memasuki proses hipnosis formal. Perubahan tersebut muncul sebagai respons spontan PBS yang memilih jalan baru demi melindungi dan memulihkan diri.
4. Resonansi Kesadaran dan Morfik Bekerja Bersama
Ketika wawancara dilakukan dengan terstruktur, sistematis, dan presisi, terapis sebenarnya tidak sekadar mengajukan pertanyaan atau mencatat jawaban. Di bawah permukaannya, terapis sedang membangun struktur pemahaman baru yang membantu klien melihat dirinya sendiri secara lebih jelas.
Melalui cara bertanya yang terarah, penjelasan yang relevan, dan refleksi yang tepat, terapis perlahan menyusun kerangka berpikir baru yang memampukan klien memahami pengalaman emosionalnya dengan sudut pandang yang berbeda.
Pengalaman yang selama ini dirasakan sebagai beban atau luka emosional diberi ruang baru dalam narasi klien, sebuah “peta” baru untuk memahami apa yang sedang terjadi di dalam dirinya. Dengan demikian, klien mulai melihat bahwa persoalan yang ia anggap “membingungkan” atau “tidak bisa diubah” ternyata memiliki logika psikologis yang bisa dipahami dan diurai.
Di saat yang sama, intensi terapis, yakni niat batin yang jernih untuk membantu, sikap kehadiran yang selaras, dan fokus penuh pada kesejahteraan klien, menghasilkan kualitas energi relasional yang ditangkap oleh pikiran bawah sadar (PBS) klien. Energi ini memberi sinyal bahwa perubahan adalah sesuatu yang sangat perlu dan aman untuk dilakukan demi kebaikan dan kesejahteraan klien.
Semua elemen ini diterima oleh PBS sebagai tanda bahwa pola lama yang penuh tekanan sudah tidak relevan lagi. Ketika pemahaman baru dan energi intensi yang selaras ini masuk ke dalam diri klien, PBS mulai bekerja melakukan reorganisasi internal.
Proses ini kemudian “beresonansi” dengan medan morfik AWGI, suatu pola informasi kolektif terapeutik yang telah terbangun dari lebih dari 140.000 sesi terapi yang dijalankan dengan protokol yang sama sejak tahun 2005. Resonansi ini memperkuat arah perubahan karena PBS didukung oleh pola penyembuhan yang sudah mapan.
Hasilnya, perubahan yang terjadi bukan hanya cepat, tetapi juga mendalam dan stabil. Banyak klien menggambarkan pengalaman ini sebagai “pencerahan”, “tiba-tiba lega”, atau “seperti beban yang hilang begitu saja”.
Implikasi bagi Pendidikan Hipnoterapis AWGI
Temuan ini semakin meneguhkan prinsip yang selalu saya ajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH), yakni bahwa wawancara yang dilakukan dengan benar bukan sekadar persiapan menuju terapi, melainkan sudah merupakan terapi itu sendiri.
Ketika terapis hadir sepenuhnya di hadapan klien, dengan perhatian yang tidak terbagi, empati yang tulus, dan kemampuan bertanya yang terstruktur serta terarah, sesuatu yang jauh lebih dalam mulai terjadi. Klien tidak hanya menjawab pertanyaan, tetapi memasuki proses refleksi yang lebih jernih, membuka ruang batin yang selama ini mungkin tertutup oleh ketegangan, beban, atau pola pikir yang mengurungnya.
Dalam suasana wawancara yang aman dan selaras ini, kesadaran klien mulai meningkat. Ia mulai melihat hubungan antara pengalaman masa lalu, reaksi emosional saat ini, dan cara pikir yang selama ini ia gunakan untuk menafsirkan dunianya.
Pemahaman baru ini secara alami membawa kelegaan emosional, sebuah pelepasan dari ketegangan yang mungkin sudah disimpan bertahun-tahun. Seiring dengan itu, cara pandangnya mulai bergeser; sesuatu yang dulu tampak gelap, berat, atau tidak terpecahkan, kini terlihat dengan sudut pandang yang lebih luas dan dewasa.
Proses ini sering kali memicu transformasi spontan dari dalam diri klien. Ada yang menyadari bahwa ia tidak lagi marah, tidak lagi takut, atau tidak lagi menahan sesuatu yang selama ini mengekangnya.
Ada pula yang tiba-tiba merasa lebih ringan, lebih bebas, atau lebih damai, seakan beban yang lama melekat tiba-tiba terangkat. Masalah yang sebelumnya terasa sangat berat kehilangan daya emosionalnya dan tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang mengancam.
Pada titik ini, perubahan telah terjadi, bukan karena sugesti hipnosis, tetapi karena wawancara terapeutik itu sendiri telah mengaktifkan mekanisme penyembuhan internal yang sangat kuat dalam diri klien.
Referensi:
Cozolino, L. (2014). The neuroscience of human relationships: Attachment and the developing social brain (2nd ed.). W. W. Norton & Company.
Gunawan, A. W. (2012). Workbook Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy. [Manual pelatihan tidak dipublikasikan].
Porges, S. W. (2011). The polyvagal theory: Neurophysiological foundations of emotions, attachment, communication, and self-regulation. W. W. Norton & Company.
Porges, S. W. (2021). Polyvagal safety: Attachment, communication, self-regulation. W. W. Norton & Company.
Schore, A. N. (2012). The science of the art of psychotherapy. W. W. Norton & Company.
Schore, A. N. (2021). The development of the unconscious mind. W. W. Norton & Company.
Sheldrake, R. (2009). Morphic resonance: The nature of formative causation (4th ed.). Park Street Press.
Sheldrake, R. (2012). Science set free: 10 paths to new discovery. Deepak Chopra Books.
Siegel, D. J. (2010). Mindsight: The new science of personal transformation. Bantam Books.
Siegel, D. J. (2020). The developing mind: How relationships and the brain interact to shape who we are (3rd ed.). Guilford Press.

Dalam dua tahun terakhir, saya melihat peningkatan sangat signifikan dalam efektivitas protokol hipnoterapi yang digunakan para hipnoterapis AWGI. Setelah saya telaah secara mendalam, peningkatan ini ternyata bukan sekadar hasil keterampilan terapis atau pengalaman praktik yang bertambah, tetapi berasal dari sesuatu yang jauh lebih dalam: penguatan medan morfik, sebuah pola informasi bersama yang terbentuk ketika banyak praktisi menjalankan protokol yang sama secara konsisten.
Menurut Rupert Sheldrake (2009, 2012), pola perilaku atau proses yang dilakukan secara berulang oleh banyak orang dapat menciptakan suatu “medan resonansi” yang mempermudah siapa pun yang terhubung dengannya untuk melakukan hal yang sama dengan lebih cepat dan efektif.
Inilah yang kami yakini terjadi pada protokol hipnoterapi AWGI. Semakin sering protokol ini dipraktikkan, semakin kuat pula "jejak" informasinya, sehingga praktisi menjadi lebih intuitif, lebih presisi, dan hasil terapinya menjadi lebih efektif dan kuat.
Tahap Wawancara: Ternyata Di Sini Banyak Perubahan Terjadi
Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Secara umum, ia memiliki lima tahap utama:
Hipnoterapi diawali dengan sesi Pengawalan, bermula dari klien mencari tahu tentang terapis, menghubungi terapis untuk membuat janji bertemu, hingga bertemu dengan terapis di ruang praktik.
Saat di ruang praktik, sesi diawali dengan intake interview atau wawancara mendalam. Dalam proses wawancara, terapis mengumpulkan informasi tentang situasi dan kondisi klien, mengenali klien secara lebih mendalam, membantu klien merumuskan masalah secara presisi, membangun kepercayaan (trust / rapport), menjawab pertanyaan-pertanyaan klien, melakukan edukasi, serta mengukur tingkat kesiapan dan kesediaan klien menjalani terapi.
Sesi wawancara yang dilakukan hipnoterapis AWGI umumnya berlangsung antara 1,5 hingga 2 jam. Setelah terapis merasa cukup dalam mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk membantu klien secara optimal, sesi dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu induksi.
Di tahap ini terapis, atas izin klien, menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis. Terapis selanjutnya melakukan uji kedalaman kondisi hipnosis dan pendalaman untuk memastikan klien telah berhasil mencapai kedalaman yang menjadi syarat dilakukan terapi berbasis hipnoanalisis. Terapi secara resmi dilakukan di tahap tiga.
Di tahap inilah terapis melakukan kerja yang sesungguhnya, membantu klien mengatasi masalahnya dengan cara mencari dan menemukan akar masalah, melakukan edukasi pikiran bawah sadar, dan resolusi trauma secara tuntas. Setelahnya terapis AWGI akan melakukan empat uji hasil terapi untuk memastikan masalah klien benar-benar telah berhasil diselesaikan secara tuntas. Ini adalah proses terapi yang umumnya terjadi di ruang praktik kami.
Selama ini, kami menemukan bahwa perubahan besar baru terjadi setelah klien masuk kondisi hipnosis dan dilakukan terapi. Namun, dalam dua tahun terakhir, muncul temuan yang mengejutkan: banyak perubahan justru terjadi di tahap pertama, yaitu saat wawancara mendalam, bahkan sebelum proses induksi hipnosis dilakukan.
Wawancara yang kami lakukan tidak hanya mencari informasi, membangun relasi, melakukan edukasi, tetapi secara sadar dirancang untuk menyentuh sistem saraf, pikiran, dan emosi klien dengan tujuan terapeutik.
Mengapa Wawancara Bisa Sangat Terapeutik?
1. Wawancara Mengaktifkan Rasa Aman (Neuroception)
Dalam teori polivagal, Stephen Porges (2011, 2021) menjelaskan bahwa tubuh manusia memiliki kemampuan otomatis untuk merasakan apakah suatu situasi aman atau mengancam, tanpa perlu dipikirkan secara sadar. Ia menyebutnya neuroception.
Selama wawancara terapeutik AWGI, nada suara terapis yang tenang, sikap yang penuh empati, ritme dialog yang pelan dan teratur, vibrasi positif serta energi kehadiran yang menenangkan, semuanya bersatu menciptakan suasana yang secara halus memberi sinyal kepada sistem saraf klien bahwa ia berada dalam kondisi yang aman dan dapat dipercaya.
Ketika rasa aman ini muncul, sistem saraf klien memasuki keadaan optimal untuk mengalami perubahan. Dalam kondisi seperti ini, pikiran bawah sadar menjadi jauh lebih terbuka dan fleksibel, lebih mampu menerima dan memproses informasi baru, serta lebih siap untuk melepaskan pola-pola lama yang sebelumnya dipertahankan sebagai mekanisme perlindungan. Pada titik inilah tubuh dan pikiran secara alami “memutuskan” bahwa ini adalah momen yang tepat untuk berubah.
2. Hubungan yang Selaras Membentuk Integrasi Otak (Interpersonal Neurobiology)
Daniel Siegel (2010, 2020) menjelaskan bahwa hubungan manusia yang hangat dan selaras memiliki kemampuan langsung untuk memengaruhi cara kerja otak. Ketika terapis hadir sepenuhnya di hadapan klien, mendengarkan dengan perhatian penuh, dan mampu menyelaraskan diri dengan kondisi emosional klien, maka tercipta sebuah pengalaman hubungan yang menumbuhkan co-regulation, yaitu proses ketika emosi klien dan terapis saling menstabilkan satu sama lain.
Dalam momen ini juga terjadi attunement, ketika terapis dan klien berada dalam frekuensi emosional yang sama; muncul pula resonance, di mana perasaan dan pengalaman batin terhubung secara mendalam, serta akhirnya terbentuk integrasi jaringan otak, sebuah proses yang memungkinkan berbagai bagian otak bekerja lebih harmonis.
Keempat proses ini, co-regulation, attunement, resonance, dan integrasi neural, mendorong otak klien untuk memandang masalahnya dari sudut yang berbeda. Tidak jarang, hanya dengan mengalami pemahaman baru yang muncul dari kualitas hubungan tersebut, beban emosional lama langsung mereda, bahkan sebelum sesi hipnoterapi formal dimulai.
3. Aktivasi Mekanisme Proteksi Pikiran Bawah Sadar (PBS)
Pikiran Bawah Sadar (PBS) pada dasarnya memiliki satu fungsi utama: melindungi diri individu (Gunawan, 2012). Seperti dijelaskan oleh Cozolino (2014) dan Schore (2012, 2021), PBS terus bekerja menjaga keseimbangan emosi dan keselamatan psikologis, bahkan ketika individu tidak menyadarinya.
Selama wawancara terapeutik, ketika klien mulai merasakan suasana yang benar-benar aman, mengalami peningkatan kesadaran, mendapatkan pemahaman baru, melihat masalahnya dengan cara yang berbeda, PBS menangkap bahwa pola lama yang selama ini dijaga, meski penuh tekanan atau sudah tidak adaptif, tidak lagi diperlukan.
Pada titik ini, PBS secara natural dan sukarela melakukan reorganisasi internal: ia melepaskan pola lama dan menggantinya dengan pola baru yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih bermanfaat bagi kesejahteraan klien.
Inilah alasan mengapa kami sering menemukan klien yang menyatakan bahwa masalah mereka mulai membaik, bahkan tuntas, meskipun mereka belum memasuki proses hipnosis formal. Perubahan tersebut muncul sebagai respons spontan PBS yang memilih jalan baru demi melindungi dan memulihkan diri.
4. Resonansi Kesadaran dan Morfik Bekerja Bersama
Ketika wawancara dilakukan dengan terstruktur, sistematis, dan presisi, terapis sebenarnya tidak sekadar mengajukan pertanyaan atau mencatat jawaban. Di bawah permukaannya, terapis sedang membangun struktur pemahaman baru yang membantu klien melihat dirinya sendiri secara lebih jelas.
Melalui cara bertanya yang terarah, penjelasan yang relevan, dan refleksi yang tepat, terapis perlahan menyusun kerangka berpikir baru yang memampukan klien memahami pengalaman emosionalnya dengan sudut pandang yang berbeda.
Pengalaman yang selama ini dirasakan sebagai beban atau luka emosional diberi ruang baru dalam narasi klien, sebuah “peta” baru untuk memahami apa yang sedang terjadi di dalam dirinya. Dengan demikian, klien mulai melihat bahwa persoalan yang ia anggap “membingungkan” atau “tidak bisa diubah” ternyata memiliki logika psikologis yang bisa dipahami dan diurai.
Di saat yang sama, intensi terapis, yakni niat batin yang jernih untuk membantu, sikap kehadiran yang selaras, dan fokus penuh pada kesejahteraan klien, menghasilkan kualitas energi relasional yang ditangkap oleh pikiran bawah sadar (PBS) klien. Energi ini memberi sinyal bahwa perubahan adalah sesuatu yang sangat perlu dan aman untuk dilakukan demi kebaikan dan kesejahteraan klien.
Semua elemen ini diterima oleh PBS sebagai tanda bahwa pola lama yang penuh tekanan sudah tidak relevan lagi. Ketika pemahaman baru dan energi intensi yang selaras ini masuk ke dalam diri klien, PBS mulai bekerja melakukan reorganisasi internal.
Proses ini kemudian “beresonansi” dengan medan morfik AWGI, suatu pola informasi kolektif terapeutik yang telah terbangun dari lebih dari 140.000 sesi terapi yang dijalankan dengan protokol yang sama sejak tahun 2005. Resonansi ini memperkuat arah perubahan karena PBS didukung oleh pola penyembuhan yang sudah mapan.
Hasilnya, perubahan yang terjadi bukan hanya cepat, tetapi juga mendalam dan stabil. Banyak klien menggambarkan pengalaman ini sebagai “pencerahan”, “tiba-tiba lega”, atau “seperti beban yang hilang begitu saja”.
Implikasi bagi Pendidikan Hipnoterapis AWGI
Temuan ini semakin meneguhkan prinsip yang selalu saya ajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH), yakni bahwa wawancara yang dilakukan dengan benar bukan sekadar persiapan menuju terapi, melainkan sudah merupakan terapi itu sendiri.
Ketika terapis hadir sepenuhnya di hadapan klien, dengan perhatian yang tidak terbagi, empati yang tulus, dan kemampuan bertanya yang terstruktur serta terarah, sesuatu yang jauh lebih dalam mulai terjadi. Klien tidak hanya menjawab pertanyaan, tetapi memasuki proses refleksi yang lebih jernih, membuka ruang batin yang selama ini mungkin tertutup oleh ketegangan, beban, atau pola pikir yang mengurungnya.
Dalam suasana wawancara yang aman dan selaras ini, kesadaran klien mulai meningkat. Ia mulai melihat hubungan antara pengalaman masa lalu, reaksi emosional saat ini, dan cara pikir yang selama ini ia gunakan untuk menafsirkan dunianya.
Pemahaman baru ini secara alami membawa kelegaan emosional, sebuah pelepasan dari ketegangan yang mungkin sudah disimpan bertahun-tahun. Seiring dengan itu, cara pandangnya mulai bergeser; sesuatu yang dulu tampak gelap, berat, atau tidak terpecahkan, kini terlihat dengan sudut pandang yang lebih luas dan dewasa.
Proses ini sering kali memicu transformasi spontan dari dalam diri klien. Ada yang menyadari bahwa ia tidak lagi marah, tidak lagi takut, atau tidak lagi menahan sesuatu yang selama ini mengekangnya.
Ada pula yang tiba-tiba merasa lebih ringan, lebih bebas, atau lebih damai, seakan beban yang lama melekat tiba-tiba terangkat. Masalah yang sebelumnya terasa sangat berat kehilangan daya emosionalnya dan tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang mengancam.
Pada titik ini, perubahan telah terjadi, bukan karena sugesti hipnosis, tetapi karena wawancara terapeutik itu sendiri telah mengaktifkan mekanisme penyembuhan internal yang sangat kuat dalam diri klien.
Referensi:
Cozolino, L. (2014). The neuroscience of human relationships: Attachment and the developing social brain (2nd ed.). W. W. Norton & Company.
Gunawan, A. W. (2012). Workbook Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy. [Manual pelatihan tidak dipublikasikan].
Porges, S. W. (2011). The polyvagal theory: Neurophysiological foundations of emotions, attachment, communication, and self-regulation. W. W. Norton & Company.
Porges, S. W. (2021). Polyvagal safety: Attachment, communication, self-regulation. W. W. Norton & Company.
Schore, A. N. (2012). The science of the art of psychotherapy. W. W. Norton & Company.
Schore, A. N. (2021). The development of the unconscious mind. W. W. Norton & Company.
Sheldrake, R. (2009). Morphic resonance: The nature of formative causation (4th ed.). Park Street Press.
Sheldrake, R. (2012). Science set free: 10 paths to new discovery. Deepak Chopra Books.
Siegel, D. J. (2010). Mindsight: The new science of personal transformation. Bantam Books.
Siegel, D. J. (2020). The developing mind: How relationships and the brain interact to shape who we are (3rd ed.). Guilford Press.

Terapi Fobia Spesifik Sesi Tunggal dengan The Heart Technique
Oleh: Dyah Ayu Permatasari Gunawan, Lina Natalya, Nadia Sutanto
Sumber:
Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, Volume 14 No. 1, April 2025, hal. 54-64
http://doi.org/10.21009/JPPP.141.06
Abstract
The Heart Technique is claimed by its users and creator to be effective in overcoming specific phobias in just 20 to 30 minutes. This study aims to test the effectiveness of The Heart Technique in online settings toward specific phobias. The research used two-group pretest–posttest design in individual and group sessions. The participants were 130 people aged 18-58 years, domiciled in Indonesia, selected using purposive sampling. The measuring instruments are Subjective Unit of Distress (SUD) and Severity Measure for Specific Phobia- Adult. The results of the Wilcoxon Signed-Rank Test analysis showed that there was a significant decrease in the measurement of the two measuring instruments of specific phobia (p<0.05). Individual and group sessions were able to significantly reduce the severity of the phobia to a neutral or non-phobic category, however this technique was more effective in individual sessions as seen from the Mann Whitney-U test (p<0.05). The results showed that The Heart Technique can be used as an alternative solution to overcome psychological problems, especially phobias.
Keywords: Emotional Problem, Specific Phobia, The Heart Technique, Therapeutic Effectiveness
Abstrak
The Heart Technique diklaim oleh pengguna dan penciptanya, efektif mengatasi fobia spesifik dalam waktu 20 hingga 30 menit saja. Penelitian ini bertujuan menguji keefektifan The Heart Technique secara daring terhadap fobia spesifik. Metode penelitian menggunakan desain two-group pretest–posttest design pada sesi individu dan kelompok. Partisipan berjumlah 130 orang berusia 18-58 tahun, berdomisili di Indonesia, dipilih menggunakan purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Subjective Unit of Distress (SUD) dan Severity Measure for Specific Phobia-Adult. Hasil analisis Wilcoxon Signed-Rank Test menunjukkan penurunan signifikan pada pengukuran kedua alat ukur fobia spesifik (p<0.05). Sesi individu dan kelompok mampu menurunkan secara signifikan tingkat keparahan fobia hingga menjadi netral atau kategori bukan fobia, namun teknik ini lebih efektif dalam sesi individu yang dapat dilihat dari uji Mann Whitney-U (p<0.05). Hasil penelitian menunjukkan The Heart Technique dapat digunakan sebagai solusi alternatif untuk mengatasi permasalahan psikologis, terutama fobia.
Kata Kunci: Fobia Spesifik, Keefektifan Terapi, Permasalahan Emosi, The Heart Technique.
1. Pendahuluan
Fobia merupakan sebuah program pikiran di bawah sadar, terdiri atas dua komponen, yaitu: kumpulan memori dan emosi negatif yang melekat dengan skala intensitas minimal menengah hingga tinggi. Program pikiran tersebut menjadi aktif ketika terpicu stimulus yang dapat berbentuk seperti objek atau situasi asli, cerita, gambar, ataupun imajinasi individu. Kondisi fobia ini menyebabkan individu secara aktif menghindari objek atau situasi fobia tersebut (American Psychiatric Association, 2013). Fobia spesifik memiliki lima kategori stimulus, yaitu: hewan, situasi, darah-injeksi-luka, lingkungan alam, dan objek atau situasi lainnya yang tidak termasuk pada keempat kategori sebelumnya.
Survei World Health Organization (WHO) memberikan hasil penelitian prevalensi fobia pada sampel sebanyak 124,902 orang dari 22 negara (Wardenaar et al., 2017). Survei tersebut menunjukkan sebanyak 5.5% individu masuk dalam kategori mengalami fobia dengan prevalensi 12 bulan dan sebanyak 7.4% individu masuk pada kategori prevalensi seumur hidup. Berdasarkan data prevalensi tersebut diketahui dari 124,902 individu, terdapat 6,869 hingga 9,242 individu yang hidupnya terganggu oleh fobia spesifik, sehingga perlu dipikirkan cara yang efektif dan efisien untuk membantu individu dengan gangguan fobia spesifik.
Melanjutkan, survei menyatakan bahwa wanita memiliki peluang lebih tinggi mengalami fobia spesifik dibandingkan pria (American Psychiatric Association, 2013; Wardenaar et al., 2017). Peneliti melakukan survei awal dan didapatkan data yang serupa dengan penelitian Wardenaar et al. dan American Psychiatric Association. Survei awal ini dilakukan dengan menyebarkan survei di media sosial yang ditujukan pada responden yang memiliki fobia spesifik. Responden yang mengisi survei diberikan penjelasan singkat tentang fobia spesifik dan kemudian bila responden merasa penjelasan yang diberikan sesuai dengan kondisinya maka dapat melanjutkan mengisi data diri, menjawab pertanyaan fobia apa saja yang dimiliki dan sudah berapa lama mengalaminya, perasaan yang dirasakan terhadap objek atau situasi fobia, dan apakah pernah mencoba mengatasi fobia yang dialami.
Survei oleh Wardenaar et al. (2017) juga memberikan data prevalensi fobia spesifik 12 bulan dan seumur hidup di mana pada wanita lebih tinggi 7.7% (9,617 orang) dan 9.8% (12,241 orang), dibandingkan pada pria 3.3% (4,122 orang) dan 4.9% (6,120 orang). Hasil survei ini sejalan dengan hasil penelitian American Psychiatric Association (2013) dan hasil survei awal oleh peneliti di mana sebanyak 75.76% (75 orang) wanita menyatakan mengalami fobia dan pria sebanyak 24.24% (24 orang). Data American Psychiatric Association (2013) juga melaporkan dari individu yang mengalami fobia, 75% memiliki lebih dari satu macam fobia. Data survei awal penelitian ini juga memberikan hasil 53.53% responden menyatakan memiliki lebih dari satu macam fobia dan di antaranya, pada kategori fobia spesifik yang berbeda.
DSM V menyatakan individu yang mengalami fobia spesifik akan merasakan takut dan cemas (American Psychiatric Association, 2013), namun hasil survei awal peneliti menunjukkan emosi negatif yang dirasakan oleh individu tidak hanya kedua emosi itu saja. Hasil survei awal menyatakan para responden juga merasakan jijik, tertekan, tidak mampu, geli, capek, sedih, muak, benci, dan masih banyak emosi negatif lainnya terhadap fobianya. Selain itu, emosi-emosi ini juga memberikan pengaruh pada tubuh fisik mereka. Respon fisik ketika berhadapan dengan stimulus fobia yang dilaporkan antara lain adalah jantung berdebar kencang, gemetar, panik, pusing, gatal-gatal, mual, dan masih banyak lagi.
Kerugian-kerugian yang dialami individu dengan fobia tidak berhenti pada kondisi fobia mempengaruhi pikiran, emosi, dan tubuh secara negatif saja, namun kondisi ini juga mengganggu kehidupan individu. Fobia spesifik dapat menjadi pencetus munculnya gangguan emosi lainnya seperti gangguan kecemasan umum, panik, dan depresi mayor (Lieb et al., 2016; Sancassiani et al., 2019). Salah satu contoh ekstrim individu yang mengalami fobia adalah seorang individu dengan fobia kecoak, setiap kali melihat kecoak di jalan, individu tersebut dapat memberikan respon panik dan berlari ke tengah jalan (Gunawan, 2020). Meskipun tipe gangguan kecemasan ini umum dialami masyarakat, data survei awal juga mengungkapkan 98.98% responden tidak berupaya secara aktif mencari bantuan untuk sembuh dari kondisi ini. Rata-rata responden melaporkan memilih untuk menghindar (active avoidance) atau menahan perasaan negatif (contoh: rasa takut dan cemas) ketika berhadapan dengan stimulus dan/ atau memberanikan diri dengan melakukan paparan diri (exposure). Salah satu alasan yang dapat menjelaskan individu dengan fobia tidak mencari bantuan profesional adalah karena dibutuhkan banyak sesi dengan durasi yang lama pada setiap sesi untuk menyembuhkan fobia.
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat beberapa teknik psikoterapi yang sering digunakan untuk mengatasi fobia spesifik. Teknik cognitive-behavioral therapy (CBT) melalui 12 sesi yang masing- masing sesi berdurasi 60 menit (Riddle-Walker et al., 2016) dan teknik time intensive CBT dilakukan dalam 8 sesi di mana durasinya memiliki variasi dari 90 menit hingga 4 jam per sesi (Keyes et al., 2020). Teknik exposure therapy dilakukan dalam durasi 3 jam selama 1 sesi (Botella et al., 2016; Miloff et al., 2019). Penelitian- penelitian psikoterapi di atas mampu menyembuhkan fobia, namun ini dicapai setelah partisipan melalui bersesi-sesi intervensi dan/atau durasi intervensi yang lama dengan derajat capaian yang berbeda juga. Selain itu, belum ditemukan penelitian yang menguji efektivitas teknik terapi terhadap seluruh kategori fobia spesifik. Oleh karenanya, penelitian ini memiliki tujuan menguji efektivitas The Heart Technique pada semua kategori fobia spesifik.
The Heart Technique merupakan teknik terapi yang menggabungkan teori dan pendekatan ego personality, hipnoterapi, motivasi pikiran bawah sadar, trauma dan tubuh, sistem meridian, beserta neurosains. The Heart Technique bekerja dengan menghilangkan emosi yang melekat pada memori yang menjadi penyebab fobia. The Heart Technique dapat menyembuhkan beragam masalah emosi, termasuk fobia (Gunawan, 2018b). Teknik ini memiliki keunggulan yaitu teknik ini sederhana, mudah untuk dipelajari dan dipraktekkan pada orang lain ataupun pada diri sendiri karena teknik ini diciptakan untuk tujuan swaterapi, dan dapat mengatasi masalah emosi, fobia, dalam waktu relatif singkat yaitu berkisar 20 hingga 30 menit. Pada dasarnya teknik terapi ini dilakukan oleh individu terhadap diri mereka sendiri dengan mengikuti panduan protokol terapi yang tertera di buku atau dengan bantuan tuntunan terapis yang mengikuti protokol di buku The Heart Technique. Dengan demikian, individu memiliki peran aktif dalam proses menyembuhkan dirinya sendiri.
Ribuan orang telah membeli buku The Heart Technique dan mempraktikkan teknik ini sejak tahun 2018. Selain itu juga terdapat banyak pelatihan The Heart Technique yang telah diselenggarakan untuk masyarakat umum seperti di Jakarta dengan 1,100 peserta dan Medan dengan 1,300 peserta (Gunawan, 2018a), Palembang (Tribun Sumsel, 2018), di sekolah dengan peserta murid dan guru (Rumah Sejahtera, 2018; 2019b); di sekolah tinggi (Rumah Sejahtera, 2019a), dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk membandingkan keefektifan The Heart Technique ketika dilakukan secara individu dan kelompok. Penelitian ini dilakukan secara daring agar dapat menjangkau partisipan di seluruh Indonesia melalui teknologi internet. Alasan lain adalah dengan pertimbangan alasan kesehatan yang pada saat penelitian ini dilaksanakan masih pada masa pandemi COVID-19.
Penelitian ini memiliki dua hipotesis, yaitu: 1) The Heart Technique yang dilakukan secara daring efektif mengatasi fobia spesifik dan 2) Tidak ada perbedaan efektivitas terapi The Heart Technique secara kelompok dan individu.
2. Metode Penelitian
Penelitian eksperimen ini menggunakan two group pretest-posttest design yang dilakukan secara daring. Tahapan penelitian ini dimulai dengan, pertama, merancang kuesioner online menggunakan media Google Form. Kuesioner online terdiri atas penjelasan penelitian, informed consent, identitas diri partisipan, pertanyaan tentang fobia spesifik yang dialami, berapa lama partisipan mengalami fobia spesifik tersebut, dan dua alat ukur sebagai pertanyaan pre-test, yang juga digunakan lagi pada post-test.
Penelitian ini menggunakan dua alat ukur untuk melihat perubahan kondisi partisipan terhadap fobia yang dialaminya, yaitu Subjective Unit of Distress (SUD) dan Severity Measure for Specific Phobia-Adult. SUD merupakan sistem penilaian ketidaknyamanan emosional individu terhadap suatu peristiwa secara subjektif. SUD menggunakan skala 0 (tenang) hingga 100 (kondisi cemas intens dan terburuk) (Wolpe & Lazarus, 1966 dalam Tanner, 2012). SUD ini juga merupakan alat asesmen yang menjadi bagian dari protokol The Heart Technique yang digunakan sebelum, saat, dan sesudah proses intervensi dilakukan. SUD yang digunakan pada The Heart Technique menggunakan skala 0 hingga 10. Pengukuran SUD diambil langsung dari buku The Heart Technique (Gunawan, 2018b). Pertanyaan dimulai dengan kalimat “Coba Anda menutup mata dan ingat kembali objek atau situasi yang membuat Anda mengalami fobia, yang ingin Anda atasi. Berapakah intensitas emosi yang Anda rasakan? Intensitas ini dinyatakan dengan angka 0 hingga 10. Angka 0 artinya Anda sama sekali tidak merasakan apapun, sementara angka 10 artinya emosi ini sangat intens (kuat) Anda rasakan.”
Severity Measure for Specific Phobia-Adult merupakan alat ukur yang dibuat oleh Craske et al. (2013) berdasarkan DSM V dan dipublikasi oleh American Psychiatric Association. Berbeda dengan alat ukur lainnya yang hanya mengukur secara spesifik satu jenis atau kategori fobia, alat ukur ini dirancang untuk mengukur seluruh jenis fobia spesifik yang dimiliki individu. Peneliti melakukan forward translation (dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia) dan modifikasi pada alat ukur ini sehingga alat ukur ini menggunakan 9 butir pertanyaan dan 10 pilihan respon, dengan pilihan skoring 1 (Sangat tidak menggambarkan diri saya) hingga 10 (Sangat menggambarkan diri saya). Reliabilitas alat ukur yang memiliki unidimensi ini pada setting non-klinis adalah α = 0.93 (tinggi) (LeBeau et al., 2012) dan α = 0.90 (tinggi) (Knappe et al., 2014) dan pada setting klinis yaitu α = 0.96 (tinggi) (LeBeau et al., 2012).
Peneliti juga melakukan uji reliabilitas pada alat ukur dan mendapatkan hasil konsisten dengan hasil reliabilitas LeBeau et al. (2012) dan Knappe et al. (2014), dengan Alpha Cronbach > 0.7 yaitu α = 0.925 (tinggi) dan nilai CITC > 0.3 (CITC = 0.468 - 0.894). Hasil pengukuran konsistensi butir menandakan bahwa alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult siap digunakan dan hasilnya dapat dipercaya memberikan pengukuran yang akurat. Pertanyaan pada alat ukur ini dimulai dengan pernyataan “Saat saya mengingat atau membayangkan bertemu atau berhadapan dengan objek, atau berada di situasi yang membuat saya mengalami fobia, maka saya...”, dilanjutkan dengan butir alat ukur, dan pemberian pilihan jawaban menggunakan skoring 1 hingga 10.
Pada tahap kedua, pengambilan data penelitian, proses ini dimulai dengan menyebarkan informasi penelitian beserta pre-test sesi individu di media sosial (Facebook, Instagram, dan Line). Setelah data terkumpul, peneliti melakukan screening atau seleksi partisipan penelitian berdasarkan hasil self report calon partisipan. Pemilihan partisipan menggunakan teknik purposive sampling di mana partisipan terpilih setelah memenuhi kriteria inklusi yang ditentukan berdasarkan hasil pre-test yang disebarkan melalui berbagai media sosial. Kriteria inklusi penelitian ini adalah: (1) Individu kategori dewasa, berusia minimal 18 tahun; (2) Memenuhi kriteria diagnostik DSM V yaitu mengalami fobia spesifik selama minimal 6 bulan terakhir atau lebih; (3) Memiliki minimal skala 6 pada Subjective Unit of Distress (SUD) terhadap fobia yang dimilikinya; (4) Memiliki tingkat minimal kategori sedang pada Severity Measure for Specific Phobia-Adult; (5) Tidak memiliki gangguan mental lainnya; (6) Mengikuti sesi intervensi ini atas kehendak diri sendiri dan bersedia mengikuti hingga selesai.
Partisipan penelitian eksperimen ini berjumlah total 130 orang, di mana 30 orang (5 laki-laki dan 25 perempuan) merupakan partisipan penelitian sesi individu dan 100 orang (27 laki-laki dan 73 perempuan) merupakan partisipan sesi kelompok. Rata-rata partisipan penelitian sesi individu berusia 35 tahun dengan SD = 10,813. Rata-rata partisipan penelitian sesi klasikal berusia 34 tahun dengan SD = 9,449. Para partisipan penelitian ini berasal dari berbagai pulau di Indonesia. Partisipan sesi kelompok, terbanyak berasal dari Jawa dengan jumlah 73 orang, Sumatera 11 orang, Bali 7 orang, Kalimantan 4 orang, Sulawesi 2 orang, dan masing- masing 1 orang untuk pulau Papua, Sumbawa, dan Timor. Partisipan sesi individu yang berasal dari Jawa terdapat 20 orang, masing-masing 2 orang dari pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Riau. Adapun dari pulau Sumatera, Bali, Lombok, dan Papua masing-masing 1 orang. Kategori fobia spesifik tertinggi yang dimiliki oleh partisipan penelitian, sebesar 34.62% (45 orang) adalah binatang. Diikuti dengan kategori situasi, sebesar 33.08% (43 orang). Selanjutnya, kategori kondisi natural lingkungan sebesar 18.46% (24 orang), situasi lain sebesar 9.23% (12 orang), dan terakhir darah-injeksi-luka sebesar 4.62% (6 orang).
Seluruh partisipan penelitian menggunakan teknik intervensi The Heart Technique. Teknik ini terdiri atas lima tahapan (1) Identifikasi Masalah, (2) Over Energy Correction, Reset Jalur Energi, & Tracing, (3) Priming the Subconscious for Change, (4) Reset Jalur Energi & Tracing, dan (5) Pelepasan Emosi. Penelitian ini mengikuti sesuai dengan tahapan protokol terapi yang tertera dalam buku The Heart Technique (Gunawan, 2018b).
Seluruh sesi penelitian dilakukan secara daring dan sesi intervensi menggunakan aplikasi Zoom. Penggunaan Zoom memiliki kelebihan partisipan dapat mengikuti sesi intervensi dari mana saja, tanpa batasan geografi. Di sisi lain, kelemahan dari penggunaan Zoom adalah peneliti harus membayar biaya langganan aplikasi dan partisipan harus menyiapkan kuota internet yang cukup untuk mengikuti sesi intervensi. Sesi intervensi individu, yaitu satu sesi one on one antara terapis dan partisipan, dilakukan selama 60 menit dengan pembagian waktu 30 menit sesi perkenalan, penjelasan fobia dan 5 tahapan The Heart Technique. Selanjutnya 30 menit sesi intervensi yaitu partisipan melakukan 5 tahapan The Heart Technique yang dipandu oleh terapis, tanya-jawab, dan penutup. Terapis sesi intervensi individu adalah pencipta The Heart Technique dan psikolog klinis aktif.
Adapun sesi kelompok dilakukan dalam bentuk satu sesi webinar yang dibawakan oleh pencipta The Heart Technique. Sesi kelompok ini berdurasi 90 menit dengan pembagian waktu 60 menit sesi perkenalan, penjelasan fobia dan 5 tahapan The Heart Technique. Selanjutnya 30 menit sesi intervensi yaitu partisipan melakukan 5 tahapan The Heart Technique yang dipandu oleh pencipta The Heart Technique, tanya-jawab, dan penutup. Sesi kelompok diberikan durasi di awal yang lebih lama dibandingkan sesi individu dengan tujuan memberikan waktu para partisipan untuk bergabung sebelum sesi intervensi dimulai. Ini dilakukan dengan tujuan seluruh partisipan dapat mengikuti rangkaian terapi dengan lengkap. Setelah sesi intervensi selesai, peneliti menyebarkan tautan post-test secara langsung.
Setelah proses pengambilan data selesai, peneliti melanjutkan pada tahapan analisis data dan terakhir, menulis simpulan penelitian. Hasil uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov mendapatkan hasil Sig. = 0.036 (p < 0.05), yang berarti data tidak berdistribusi normal sehingga analisis data penelitian menggunakan teknik non-parametrik. Analisis data menggunakan uji beda Wilcoxon signed-rank test untuk hipotesis 1, yang membandingkan hasil nilai rata-rata pre-test dan post-test. Hipotesis 2 menggunakan uji Mann Whitney-U untuk membandingkan dua nilai rata-rata pada dua kelompok independen, yaitu sesi individu dan kelompok. Analisis data menggunakan program SPSS for Mac versi 25. Hipotesis diterima dan ada perbedaan jika nilai p-value kurang dari sama dengan 0.05 (sig ≤ 0.05).
Penelitian yang dilakukan tidak mengajukan kaji etik dikarenakan penelitian ini dilakukan saat peneliti melakukan studi S1 Psikologi di Universitas Surabaya, di mana para mahasiswa S1 diperbolehkan melanjutkan penelitian setelah lulus ujian Seminar Proposal Penelitian. Penelitian ini memiliki Ethical Eligibility Declaration - Ethics Clearance for Conducting Research yang ditandatangani oleh dosen pembimbing sebagai bukti penelitian ini tidak menyalahi kaidah etik dan disupervisi secara ketat oleh dosen pembimbing.
3. Hasil dan Diskusi
Hasil pengukuran penelitian ini terdiri atas uji pada skor SUD dan skor alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult. Pada Tabel 1, dapat dilihat data pre-test dan post-test dari sesi individu, kelompok, dan data gabungan. Dapat dilihat berdasarkan selisih skor antara skor pre-test dan post-test di kedua alat ukur, terdapat penurunan skor tingkat keparahan fobia spesifik secara signifikan baik pada sesi individu dan kelompok setelah menjalani sesi intervensi dengan The Heart Technique. Dengan demikian dapat disimpulkan The Heart Technique efektif digunakan untuk menyembuhkan fobia. Dilakukan uji analisis statistik Wilcoxon Signed-Rank Test untuk melihat perbedaan mean pre-test dan post-test baik pada sesi individu dan kelompok yang dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 3 dilakukan uji analisis statistik Mann Whitney-U untuk membandingkan perbedaan mean antara kedua kelompok.
Tabel 1. Statistik deskriptif
|
Alatukur |
Tipe Data |
Sesi intervensi |
Min |
Max |
Mean |
SD |
|
SUD |
Pre-Test |
Gabungan |
6 |
10 |
8.4154 |
1.42396 |
|
|
|
Individu |
8 |
10 |
9.3667 |
0.80872 |
|
|
|
Kelompok |
6 |
10 |
8.1300 |
1.44708 |
|
|
Post-Test |
Gabungan |
0 |
5 |
0.3385 |
0.83112 |
|
|
|
Individu |
0 |
2 |
0.0667 |
0.36515 |
|
|
|
Kelompok |
0 |
5 |
0.4200 |
0.91210 |
|
Severity Measure for Specific Phobia- Adult |
Pre-Test |
Gabungan |
42 |
90 |
67.9385 |
13.66984 |
|
|
Individu |
73 |
90 |
80.5667 |
5.47523 |
|
|
|
Kelompok |
42 |
90 |
64.1500 |
13.11054 |
|
|
Post-Test |
Gabungan |
9 |
54 |
13.1846 |
8.47686 |
|
|
|
|
Individu |
9 |
15 |
9.6333 |
1.51960 |
|
|
|
Kelompok |
9 |
54 |
14.2500 |
9.38016 |
Tabel 2. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed-Rank Test
|
|
|
Sesi Individu |
|
|
|
Alat Ukur |
Asymp. Sig. |
Z/ Wilcoxon |
Mean Pre-test |
Mean Post-test |
|
SUD |
0.001 |
-4.898 |
9.3667 |
0.667 |
|
Severity Measure for Specific Phobia-Adult |
0.001 |
-4.787 |
80.5667 |
9.6333 |
|
|
|
Sesi Kelompok |
|
|
|
Alat Ukur |
Asymp. Sig. |
Z/Wilcoxon |
Mean Pre-test |
Mean Post-test |
|
SUD |
0.001 |
-8.718 |
8.1300 |
0.4200 |
|
Severity Measure for Specific Phobia-Adult |
0.001 |
-8.683 |
64.1500 |
14.2500 |
Tabel 3. Hasil analisis statistik Mann Whitney-U
|
Alat ukur |
Asymp. Sig. |
U (Mann-Whitney U) |
Mean Sesi Individu |
Mean Sesi Kelompok |
|
SUD |
0.014 |
1194.500 |
55.32 |
68.56 |
|
Severity Measure for Specific Phobia-Adult |
0.003 |
1020.500 |
49.52 |
70.30 |
Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil uji analisis Wilcoxon Signed-Rank Test, yaitu terdapat perbedaan signifikan antara hasil pre-test dan post-test di mana kedua alat ukur memiliki p = 0.001 (p<0.05). Pada sesi individu, alat ukur SUD menunjukkan perbedaan signifikan skor antara pengukuran pre-test (M = 9.3667) dengan pengukuran post-test (M = 0.667) (Z = -4.898). Hasil uji statistik Wilcoxon Signed-Rank Test pada alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult sesi individu, memiliki hasil konsisten dengan SUD, di mana terdapat perbedaan signifikan skor antara pengukuran pre-test (M = 80.5667) dengan pengukuran post-test (M = 9.6333) (Z = -4.787).
Pada sesi kelompok, alat ukur SUD memberikan hasil perbedaan signifikan skor pengukuran pre-test (M = 8.1300) dengan pengukuran post-test (M = 0.4200) (Z = -8.718). Hasil ini konsisten dengan hasil tes alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult yang mengalami penurunan skor secara signifikan dari pre-test (M = 64.1500) ke post-test (M = 14.2500) (Z = -8.683).
Pada Tabel 3 dapat dilihat hasil uji Mann Whitney-U pada kedua alat ukur memiliki hasil ppost-test antara sesi individu dan sesi kelompok. Hasil uji pada SUD The Heart Technique, ditemukan ada perbedaan signifikan skor antara sesi individu (Mdn = 55.32) dengan sesi kelompok (Mdn = 68.56) (U = 1194.500, p = 0.014). Adapun hasil uji pada Severity Measure for Specific Phobia-Adult juga memberikan hasil konsisten dengan SUD, yaitu ada perbedaan signifikan skor antara sesi individu (Mdn = 49.52) dengan sesi kelompok (Mdn = 70.30) (U = 1020.500, p = 0.003, p < 0,05). Dengan demikian, hipotesis tidak ada perbedaan keefektifan terapi The Heart Technique pada sesi kelompok dan individual, ditolak. Dilihat dari nilai mean, sesi individu lebih efektif dibandingkan dengan sesi kelompok.
Penelitian ini juga membandingkan frekuensi emosi partisipan terhadap objek atau situasi fobia (Tabel 4), frekuensi wilayah tubuh merasakan sensasi emosi (Tabel 5), dan frekuensi simtom fisik (Tabel 6) yang dapat dilihat pada lampiran. Pada setiap tabel dapat dilihat penurunan frekuensi yang signifikan yang dilaporkan para partisipan dan bahkan banyak tipe emosi, sensasi di wilayah tubuh, maupun simtom fisik yang sebelumnya dirasakan karena fobia, seusai sesi intervensi sudah tidak lagi dirasakan dan dialami oleh para partisipan.
4. Diskusi
Hasil uji Wilcoxon Signed-Rank Test menerima hipotesis pertama (p = 0.001; p < 0.05). Hasil pengujian menunjukkan terdapat penurunan skor tingkat keparahan fobia spesifik secara signifikan ketika membandingkan skor pre-test dan post-test.
Pada sesi individu, skor rata-rata pre-test SUD adalah 9.3667, di mana skor pre-test SUD tersebut termasuk kategori sangat parah dan mendekati batas skor tertinggi yaitu 10. Kemudian skor rata-rata pada post-test menjadi 0.667 yang mendekati batas skor terendah yaitu 0, termasuk dalam kategori bukan fobia atau netral. Hasil perubahan skor SUD sesi individu konsisten dengan alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult. Skor rata-rata pre-test sesi individu alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult adalah 80.5667, termasuk dalam kategori sangat parah, mendekati nilai skor tertinggi yaitu 90. Kemudian skor rata-rata partisipan menurun, dengan perubahan rata-rata Severity Measure for Specific Phobia-Adult di post-test menjadi 9.6333, yang mendekati batas skor terendah yaitu 9, termasuk dalam kategori bukan fobia atau netral.
Pada sesi kelompok, skor rata-rata pre-test SUD adalah 8.1300, termasuk kategori sangat parah karena skor tersebut mendekati skor 10 yang merupakan batas skor tertinggi. Kemudian setelah sesi intervensi, perubahan skor dapat terlihat secara langsung, dengan perubahan rata-rata SUD di post-test menjadi 0.4200, termasuk dalam kategori bukan fobia atau netral. Skor ini mendekati batas skor terendah yaitu 0. Sama dengan pada sesi individu, hasil alat ukur SUD konsisten dengan alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult. Skor rata-rata pre-test Severity Measure for Specific Phobia-Adult sesi kelompok adalah 64.1500, termasuk dalam kategori parah. Skor rata-rata pada post-test menjadi 14.2500, termasuk dalam kategori bukan fobia atau netral.
Hasil skor post-test sesi individu dan sesi kelompok, pada alat ukur SUD dan Severity Measure for Specific Phobia-Adult menunjukkan hasil rata-rata partisipan termasuk dalam kategori bukan fobia. Hasil pengukuran ini dapat memberikan kesimpulan yaitu The Heart Technique yang dilakukan secara daring efektif mengatasi fobia spesifik.
The Heart Technique efektif dilakukan secara daring (online), dapat dijelaskan oleh tiga alasan: Pertama, di awal sesi intervensi dimulai, terapis memberikan penjelasan mengenai fobia, The Heart Technique, dan cara The Heart Technique bekerja untuk menyelesaikan fobia. Penjelasan ini membantu partisipan untuk memahami dan membangun cara pandang yang tepat terkait fobia, penyebab fobia, proses yang akan dijalani, dan hasil yang akan dicapai dengan menggunakan The Heart Technique. Terapis menganalogikan fobia sebagai sebuah beban yang dapat dilepaskan dengan mudah di sesi intervensi ini. Kedua, terapis memberikan instruksi yang jelas dan contoh-contoh secara langsung untuk diikuti. Ketiga, terapis menanyakan kondisi diri partisipan selama sesi intervensi berlangsung. Terakhir, terapis juga memberikan sesi tanya-jawab untuk memastikan partisipan memahami instruksi dan perihal terkait The Heart Technique.
Edukasi tentang kondisi fobia yang dialami dan juga bagaimana The Heart Technique dapat membantu kondisi peserta bersifat terapeutik. Pencapaian edukasi yang telah dilakukan pada penelitian ini dapat dijelaskan oleh manfaat dari psikoedukasi. Psikoedukasi dapat meningkatkan secara positif kondisi yang dialami individu, menurunkan stigma yang dibuat pada diri sendiri, membuat individu mau mengikuti rangkaian intervensi, dan meningkatkan keterlibatan individu dalam penanganan kondisi yang dialaminya (Motlova et al., 2017). Partisipan yang mendapatkan pengetahuan baru dapat meningkatkan ekspektasi dirinya untuk sembuh.
Keberhasilan The Heart Technique menurunkan tingkat keparahan fobia baik pada sesi individu maupun kelompok disebabkan proses yang terjadi pada setiap partisipan adalah sama. Proses ini berlangsung di pikiran bawah sadar, di mana The Heart Technique mengaktifkan memori beserta emosi yang menjadi penyebab fobia ketika partisipan membayangkan atau mengingat objek atau situasi fobia yang dialaminya, dan kemudian emosi tersebut dinetralisir. Ketika emosi negatif dinetralisir, memori yang tadinya membuat individu merasakan emosi negatif (fobia) berubah menjadi netral. Selain itu, teknik terapi ini sesungguhnya dilakukan partisipan pada diri mereka sendiri dengan mengikuti tuntunan terapis, bukan dilakukan terapis terhadap partisipan, sehingga partisipan memiliki peran aktif untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Keberhasilan The Heart Technique tidak berhenti pada penurunan skor yaitu dengan membandingkan nilai pre-test dan post-test. Efek keberhasilan teknik terapi ini juga dapat dilihat dari partisipan yang melaporkan perubahan tipe emosi (Tabel 4), wilayah tubuh yang merasakan emosi (Tabel 5), dan simtom fisik (Tabel 6) ketika membayangkan objek atau situasi fobia yang dialaminya saat pre-test dan post-test. Pada Tabel 4 dapat dilihat dari 28 jenis emosi negatif yang dirasakan menjadi tersisa 8 jenis pada post-test dengan jumlah partisipan yang melaporkan menurun drastis. Selain itu, hasil post-test juga menunjukkan terdapat 117 partisipan yang melaporkan merasa netral terhadap objek atau situasi fobia mereka dan disertai emosi positif. Sebagai contoh pada hasil pre-test para partisipan melaporkan tipe emosi yang paling banyak dirasakan adalah cemas (98 orang) dan di post-test menjadi tersisa hanya 8 orang yang merasakannya, emosi ngeri dari 75 partisipan menjadi tersisa 1 partisipan, merasa tidak berdaya dari 57 partisipan menjadi 0 partisipan, dan masih banyak lagi perubahan yang dialami partisipan.
Perubahan pada aspek emosi dari negatif menjadi netral terhadap fobia dapat dijelaskan menggunakan teori- teori pembentuk The Heart Technique. Pertama, teori ego personality, instruksi di dalam protokol The Heart Technique mampu dengan tepat mengaktifkan ego personality yang memegang informasi, memori kejadian, dan seluruh emosi partisipan terhadap fobia yang dialaminya. Dengan ego personality tersebut aktif, maka terapis mengetahui fobia yang ingin disembuhkan dan diselesaikan telah tepat sasaran (Daharnis et al, 2021). Kedua, instruksi The Heart Technique untuk mengingat kejadian fobia tersebut, membuat reseptor yang terletak di sistem meridian menjadi lebih rentan untuk diintervensi. Dengan reseptor menjadi reseptif dan titik akupuntur K27 (kidney-27) diketuk berulang kali, memberikan efek depotensiasi terhadap reseptor pada jalur saraf yang memunculkan emosi negatif dan mengakibatkan emosi negatif ternetralisir (Hui et al, 2000; Eden & Feinstein, 2006; Feinstein, 2008).
Ketiga, teknik ini memanfaatkan fungsi proteksi pikiran bawah sadar yaitu bekerja untuk memproteksi diri individu dari segala hal yang dipikirkan, dipersepsikan, dirasa, dipercaya, diasumsikan, dan diyakini merugikan atau membahayakan diri individu baik dari sisi pikiran maupun fisik (Banyan & Kein, 2001; Erickson, 2005; Gunawan, 2018b; Tebbetts, 1987). Melalui penyusunan pertanyaan dalam protokol The Heart Technique yang sedemikian rupa, yang merupakan bagian dari Tahapan (3) Priming the Subconscious for Change, teknik ini meningkatkan motivasi pikiran bawah sadar untuk merubah situasi individu, yaitu sembuh dari fobia yang dialaminya. Terakhir pada Tahapan (5) Pelepasan Emosi, menggunakan perpaduan metafora dan sistem meridian. The Heart Technique menetralisir seluruh emosi baik pada lokasi primer maupun sekunder (Gunawan, 2018b). Lokasi primer adalah lokasi wilayah tubuh yang merasakan emosi, yang dilaporkan di pre-test oleh para partisipan. Adapun lokasi sekunder merupakan lokasi emosi yang sebelumnya tidak disadari dimiliki oleh partisipan.
Hasil intervensi dengan The Heart Technique juga memberikan perubahan pada wilayah tubuh yang merasakan sensasi emosi oleh partisipan, yang dapat dilihat pada Tabel 5. Sebanyak 101 dari 130 partisipan penelitian ini melaporkan tidak merasakan sensasi di wilayah tubuh manapun setelah menjalani sesi intervensi. Sebanyak 29 partisipan lainnya masih melaporkan merasakan sensasi di beberapa wilayah tubuh. Perbandingan data pre-test dan post-test adalah sebagai berikut: 76 partisipan melaporkan merasakan sensasi di wilayah dada saat pre-test dan data post-test menyatakan hanya tersisa 7 partisipan. Area kepala dari 60 partisipan menjadi tersisa 9 partisipan, area kaki dari 47 partisipan menjadi tersisa 3 partisipan, dan masih banyak lagi perubahan pada wilayah tubuh.
Selanjutnya, melihat pada Tabel 6, perubahan jumlah partisipan yang melaporkan simtom fisik adalah sebagai berikut: Jantung berdebar dari 93 partisipan menjadi tersisa 10 partisipan, gemetar dari 60 partisipan menjadi tersisa 3 partisipan, napas memburu dari 49 partisipan menjadi 0 partisipan, mau menangis dari 40 partisipan menjadi 0 partisipan, dan masih banyak tipe simtom fisik lainnya yang partisipan menyatakan tidak merasakannya setelah melalui sesi intervensi di post-test.
Simtom fisik, atau sensasi fisik, adalah bentuk dari keberadaan emosi, dengan intensitas tertentu, yang tinggal di wilayah tubuh tertentu (Levine & Frederick, 1997; Nummenmaa et al., 2014). Intensitas sensasi yang dirasakan di tubuh berjalan sebanding dengan intensitas emosi yang dirasakan oleh individu (Nummenmaa et al., 2018). Semakin intens emosi yang dirasakan, semakin kuat sensasi yang dirasakan di tubuh individu. Semakin rendah intensitas emosi, maka semakin pudar sensasi yang dirasakan di tubuh. Maka, ketika partisipan melaporkan intensitas emosi sudah menurun hingga menjadi nol, partisipan tidak akan merasakan sensasi di tubuh mereka (Nummenmaa et al., 2014).
Terdapat dua alasan yang menjelaskan mengapa partisipan masih melaporkan merasakan sensasi di tubuh, meskipun intensitas emosi terhadap fobia telah menjadi nol. Pertama, bagian tubuh partisipan sedikit lebih lambat untuk melepas “sisa” sensasi di tubuh fisik, dan ini wajar tergantung keunikan setiap individu. Solomon dan Kohn (2014) menjelaskan durasi adaptasi, adaptor merekrut classical receptive field dan sinyal normalisasi, antar individu dapat berbeda. Maka, “sisa” sensasi fisik tersebut akan pudar dengan sendirinya dalam beberapa menit atau jam kemudian. Alasan kedua adalah karena di lokasi fisik tersebut tinggal lebih dari satu macam emosi (Nummenmaa et al., 2014), baik yang berasal dari fobia atau dari pengalaman traumatik lainnya. Nesting (bersarang) adalah kondisi di mana beberapa emosi tinggal di satu tempat di wilayah tubuh. Ketika partisipan mengaktifkan emosi di wilayah tersebut, partisipan dapat secara tidak sengaja mengaktifkan emosi lain yang tinggal di wilayah tubuh yang sama. Emosi-emosi lain tersebut yang menyebabkan partisipan masih merasakan sensasi fisik walaupun intensitas emosi terhadap fobia sudah dinetralisir dengan The Heart Technique.
Keefektifan The Heart Technique ketika diaplikasikan secara daring terhadap fobia spesifik, menjadi salah satu nilai kelebihan teknik ini. The Heart Technique merupakan teknik intervensi yang efektif, cepat dan mudah dipraktikkan secara daring, bagi pengguna. Hasil penelitian The Heart Technique efektif diaplikasikan secara daring ini dapat menjadi referensi untuk pembahasan teknik intervensi berbasis daring untuk mengatasi fobia, karena selama ini tidak banyak ditemukan data dan pembahasan terkait. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Mor et al., 2021; Peñate & Fumero, 2015; Rondung et al., 2018) yang menyatakan teknik terapi berbasis psikologi berbasis internet dapat dengan efektif membantu menyelesaikan kondisi fobia spesifik.
Meneliti lebih jauh, berikut penjelasan keefektifan The Heart Technique pada partisipan sesi individu dan kelompok. Analisis uji statistik deskriptif pada Tabel 1 menunjukkan rata-rata skor sesi individu dan kelompok pada pre-test ketika dibandingkan dengan hasil post-test menurun secara signifikan. Dengan demikian dapat disimpulkan, The Heart Technique efektif membantu dalam menyembuhkan fobia yang dialami para partisipan baik dari sesi individu maupun kelompok.
Keefektifan The Heart Technique ini dapat dilihat pada sesi individu dan kelompok, akan tetapi hasil uji Mann Whitney U memberikan hasil uji hipotesis p < 0.05, baik untuk alat ukur SUD (p = 0.014) maupun Severity Measure for Specific Phobia-Adult (p = 0.003). Hasil uji hipotesis ini menolak hipotesis kedua, yang berarti terdapat perbedaan keefektifan terapi The Heart Technique pada sesi individu dan kelompok. Meskipun hipotesis kedua penelitian ini ditolak, The Heart Technique terbukti efektif menyelesaikan dan/ atau menurunkan tingkat keparahan fobia pada sesi kelompok.
Perbedaan hasil sesi individu dan kelompok dapat dijelaskan oleh tantangan yang muncul pada sesi kelompok. Peneliti telah mencoba meminimalisir situasi yang berada di luar kontrol peneliti, seperti dengan memberikan pemberitahuan proses intervensi membutuhkan ruangan yang tenang dan tidak terganggu, sebelum sesi intervensi dilakukan. Namun, terdapat tiga tantangan yang dihadapi pada sesi kelompok. Ketiga tantangan ini sesuai dengan penjelasan Weinberg (2020) yang menyatakan sesi kelompok yang dilakukan secara daring memiliki tantangan tersendiri.
Pertama, setiap partisipan memiliki situasi tempat tinggal yang bervariasi. Kedua, partisipan merasa kurang mendapatkan eye-to-eye contact atau kontak mata antara partisipan dan terapis. Terakhir, peserta cenderung tidak berpartisipasi atau tidak aktif dalam sesi intervensi. Dampak dari tantangan ini adalah partisipan terdistraksi karena kondisi rumah yang kurang kondusif, beberapa partisipan tidak berpartisipasi aktif selama sesi intervensi berlangsung yang dapat dilihat dari kamera yang tidak dinyalakan ataupun tidak menjawab pertanyaan terapis selama sesi intervensi berlangsung. Berdasarkan laporan, partisipan terdistraksi karena lingkungan di rumah, membuat mereka tidak dapat mengikuti dengan penuh protokol The Heart Technique. Partisipan tidak aktif selama proses intervensi memberikan dampak terapis tidak dapat membantu partisipan jika mereka tidak mengikuti dengan benar rangkaian sesi intervensi ataupun jika partisipan salah mengerti instruksi yang diberikan.
Terakhir, beberapa partisipan melaporkan merasa ragu terhadap The Heart Technique yang dilakukan secara singkat namun efektif mengatasi fobia yang dialaminya. Para partisipan menyatakan rasa ragu terhadap The Heart Technique ini disebabkan para partisipan telah membawa beban emosi, fobia ini, selama bertahun-tahun, sedangkan hanya dalam waktu singkat The Heart Technique dapat membantu menghilangkannya. Perasaan ragu tersebut memberikan dampak partisipan berpikir kalau mereka masih merasakan emosi negatif terhadap fobia yang dialaminya. Sebagai contoh, salah satu partisipan menyatakan ia merasa nyaman dengan kondisi fobia dialaminya dan ingin menurunkan SUD-nya hanya hingga skala SUD 2 dari 10. Meskipun terapis memberikan penilaian bahwa ini dapat diturunkan hingga skala SUD 0 (netral), namun terapis menghargai keinginan partisipan. Peneliti melakukan konfirmasi pada para partisipan yang menyatakan ragu dan mendapatkan hasil dari aspek simtom fisik maupun sensasi yang dirasakan di wilayah tubuh tertentu pada pre-test, sudah tidak dirasakan lagi setelah partisipan menjalani sesi intervensi. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa para partisipan bukan ragu terhadap hasil intervensi, namun lebih termasuk bingung dan/ atau sulit percaya dan menerima kenyataan fobia yang dialami bertahun-tahun dapat disembuhkan dalam waktu 20 hingga 30 menit saja.
Oleh karena itu, The Heart Technique memiliki kelemahan yaitu pengguna teknik ini bila tidak percaya dapat mengatasi masalahnya, merasa ketika menggunakan teknik ini terlalu mudah untuk membawakan perubahan, atau teknik ini terlalu mudah untuk mengatasi permasalahan, akan melaporkan tidak sepenuhnya sembuh dari permasalahan yang dimilikinya. Begitu juga dengan pengguna teknik ini yang tidak memiliki niat dan keinginan untuk mengatasi permasalahan yang dialami, maka perubahan atau proses penyembuhan yang diterima tidak akan maksimal. Terakhir, kelemahan dari The Heart Technique adalah apabila pengguna teknik ini memiliki kendala kesehatan pada area tangan, seperti cedera, terkilir, keseleo, atau patah, maka mereka akan kesulitan mengikuti gerakan tertentu yang menjadi bagian dari teknik ini, sebagai contoh di Tahap (2) OverEnergy Correction, Reset Jalur Energi, & Tracing.
5. Kesimpulan
The Heart Technique adalah teknik terapi alternatif yang dapat diaplikasikan untuk mengatasi permasalahan emosional, termasuk kelima kategori fobia spesifik, dengan cepat dan mudah. Aplikasi The Heart Technique efektif digunakan secara online (daring) dan menyembuhkan fobia hanya dengan satu sesi intervensi. Kesimpulan ini dapat dilihat dari hasil uji statistik perbadingan rata-rata skor partisipan di pre-test dengan skor post-test setelah diberikan teknik intervensi The Heart Technique menurun secara drastis (p = 0.001; p < 0.05). Penurunan skor ini terjadi pada seluruh partisipan sesi individu dan sesi kelompok, baik pada alat ukur SUD dan juga Severity Measure for Specific Phobia-Adult. Mengikuti lima tahap The Heart Technique, emosi-emosi negatif yang dirasakan ketika berhadapan dengan objek atau situasi fobia yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar individu diaktifkan dan kemudian dinetralisir. Dengan emosi telah menjadi netral, maka sensasi fisik yang dulunya juga muncul ketika berhadapan dengan objek atau situasi fobia, tidak akan dirasakan lagi. Inti cara kerja The Heart Technique adalah partisipan berperan aktif dalam proses terapi. Oleh karena itu, teknik terapi ini dapat diaplikasikan secara efektif pada proses daring baik pada sesi individu maupun kelompok. The Heart Technique dapat digunakan sebagai pilihan teknik terapi yang efektif untuk membantu permasalahan emosi, seperti fobia spesifik.
Saran pada penelitian selanjutnya adalah untuk mengambil data follow up agar mengetahui konsistensi hasil terapi. Penelitian selanjutnya juga dapat mengaplikasikan The Heart Technique ini pada gangguan emosional lainnya, baik terhadap emosi negatif maupun terhadap emosi positif. Keterbatasan penelitian ini adalah penelitian ini tidak melakukan follow-up terhadap kondisi diri para partisipan seusai sesi intervensi selesai, sehingga tidak ada data terkait konsistensi hasil terapi antar waktu dan uji efek terapeutik. Selain itu, penelitian ini dilakukan secara online atau daring sehingga peneliti tidak dapat mengontrol situasi ruangan setiap partisipan dan ini memberikan pengaruh pada hasil terapi.
6. Referensi
LAMPIRAN
Tabel 4. Frekuensi emosi partisipan terhadap objek atau situasi fobia
|
Emosi |
Pre-Test |
|
Post-Test |
|
|
|
|
|
Frekuensi |
Persentase |
Frekuensi |
Persentase |
|
1 |
Cemas |
98 |
17.10% |
8 |
3.64% |
|
2 |
Ngeri |
75 |
13.09% |
1 |
0.45% |
|
3 |
Merasa tidak berdaya |
57 |
9.95% |
0 |
0% |
|
4 |
Tertekan |
53 |
9.25% |
2 |
0.91% |
|
5 |
Jijik |
45 |
7.85% |
9 |
4.09% |
|
6 |
Frustasi |
38 |
6.63% |
1 |
0.45% |
|
7 |
Takut |
37 |
6.46% |
3 |
1.36% |
|
8 |
Kesal |
27 |
4.71% |
0 |
0% |
|
9 |
Jengkel |
24 |
4.19% |
0 |
0% |
|
10 |
Sedih |
23 |
4.01% |
0 |
0% |
|
11 |
Benci |
22 |
3.84% |
1 |
0.45% |
|
12 |
Capek |
19 |
3.32% |
3 |
1.36% |
|
13 |
Sebal |
17 |
2.97% |
0 |
0% |
|
14 |
Muak |
11 |
1.92% |
0 |
0% |
|
15 |
Marah |
7 |
1.22% |
0 |
0% |
|
16 |
Panik |
7 |
1.22% |
0 |
0% |
|
17 |
Malu |
3 |
0.52% |
0 |
0% |
|
18 |
Kaget |
2 |
0.35% |
0 |
0% |
|
19 |
Berdosa |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
20 |
Curiga |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
21 |
Gelisah |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
22 |
Ingin menghancurkannya |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
23 |
Kecewa |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
24 |
Menyesal |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
25 |
Tegang |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
26 |
Waspada |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
27 |
Lega/ plong/tidak ada beban lagi |
0 |
0% |
43 |
19.55% |
|
28 |
Senang/bahagia/hati enak |
0 |
0% |
12 |
5.45% |
|
29 |
Damai/nyaman/relax/tenang |
0 |
0% |
8 |
3.64% |
|
30 |
Ragu |
0 |
0% |
5 |
2.27% |
|
31 |
Percaya diri/berani menghadapi objek atau situasi fobia |
0 |
0% |
5 |
2.27% |
|
32 |
Semangat |
0 |
0% |
1 |
0.45% |
|
33 |
Terharu |
0 |
0% |
1 |
0.45% |
|
34 |
Tidak merasakan emosi negatif |
0 |
0% |
117 |
53.18% |
|
|
Total |
573 |
100% |
220 |
100% |
Tabel 5. Frekuensi wilayah tubuh merasakan sensasi emosi
|
Wilayah Tubuh |
Pre-Test |
|
Post-Test |
|
|
|
|
|
Frekuensi |
Persentase |
Frekuensi |
Persentase |
|
1 |
Dada |
76 |
20.82% |
7 |
4.61% |
|
2 |
Kepala |
60 |
16.44% |
9 |
5.92% |
|
3 |
Kaki |
47 |
12.88% |
3 |
1.97% |
|
4 |
Tangan |
46 |
12.60% |
7 |
4.61% |
|
5 |
Perut |
45 |
12.33% |
7 |
4.61% |
|
6 |
Leher |
38 |
10.41% |
7 |
4.61% |
|
7 |
Pundak |
29 |
7.95% |
7 |
4.61% |
|
8 |
Punggung |
13 |
3.56% |
2 |
1.32% |
|
9 |
Hati |
2 |
0.55% |
1 |
0.66% |
|
10 |
Hidung |
2 |
0.55% |
0 |
0% |
|
11 |
Telinga |
2 |
0.55% |
0 |
0% |
|
12 |
Lengan |
1 |
0.27% |
1 |
0.66% |
|
13 |
Lutut |
1 |
0.27% |
0 |
0% |
|
14 |
Mulut |
1 |
0.27% |
0 |
0% |
|
15 |
Tenggorokan |
1 |
0.27% |
0 |
0% |
|
16 |
Tumit |
1 |
0.27% |
0 |
0% |
|
17 |
Tidak merasakan apapun |
1 |
0% |
101 |
66.45% |
|
Total |
365 |
100% |
152 |
100% |
Tabel 6. Frekuensi simtom fisik
|
Simtom Fisik |
Pre-Test |
|
Post-Test |
|
|
|
|
|
Frekuensi |
Persentase |
Frekuensi |
Persentase |
|
1 |
Jantung berdebar |
93 |
24.09% |
10 |
7.09% |
|
2 |
Gemetar |
60 |
15.54% |
3 |
2.13% |
|
3 |
Tangan/kaki/badan terasa dingin |
51 |
13.21% |
5 |
3.55% |
|
4 |
Napas memburu |
49 |
12.69% |
0 |
0% |
|
5 |
Mau menangis |
40 |
10.36% |
0 |
0% |
|
6 |
Keringat dingin |
34 |
8.81% |
0 |
0% |
|
7 |
Mual/mau muntah |
28 |
7.25% |
2 |
1.42% |
|
8 |
Merinding |
8 |
2.07% |
2 |
1.42% |
|
9 |
Gatal |
4 |
1.04% |
0 |
0% |
|
10 |
Lemas |
4 |
1.04% |
0 |
0% |
|
11 |
Sesak Napas |
4 |
1.04% |
0 |
0% |
|
12 |
Pusing |
3 |
0.78% |
2 |
1.42% |
|
13 |
Perut tidak nyaman |
2 |
0.52% |
1 |
0.71% |
|
14 |
Tangan/kaki/badan terasa kaku |
2 |
0.52% |
1 |
0.71% |
|
15 |
Tegang |
2 |
0.52% |
0 |
0% |
|
16 |
Konsentrasi berkurang |
1 |
0.26% |
0 |
0% |
|
17 |
Mata bergetar |
1 |
0.26% |
0 |
0% |
|
18 |
Badan ringan & enak |
0 |
0% |
2 |
1.42% |
|
19 |
Terharu/Menangis lega |
0 |
0% |
2 |
1.42% |
|
20 |
Tidak ada simtom fisik |
0 |
0% |
111 |
78.72% |
|
|
Total |
386 |
100% |
141 |
100% |

Kecemasan bukan sekadar rasa takut tanpa alasan atau akibat dari “ketidakseimbangan kimia otak”. Ia merupakan hasil interaksi kompleks antara pengalaman emosional, cara otak memproses stres, dan program bawah sadar yang terbentuk dari pengalaman masa lalu (McEwen, 2007; McEwen & Morrison, 2013).
Dalam pandangan neurosains modern dan hipnoterapi klinis, kecemasan muncul ketika terjadi ketidakharmonisan antara sistem limbik dan korteks prefrontal. Sistem limbik berperan sebagai pusat deteksi bahaya dan reaksi emosional, sedangkan korteks prefrontal (PFC) berfungsi mengatur emosi dan berpikir rasional. Saat stres berlangsung lama, keseimbangan antara keduanya terganggu, dan sistem emosional mengambil alih kendali (McEwen & Morrison, 2013; Herman & Tasker, 2016).
Pengalaman, stres, dan emosi terbukti mengubah kimia, struktur, dan fungsi otak (McEwen & Morrison, 2013). Inilah sebabnya mengapa kecemasan dapat bertahan lama meski ancaman sudah berlalu, otak membentuk pola respons baru yang terus aktif bahkan tanpa stimulus eksternal.
Otak dalam Mode Siaga: Aktivasi Poros HPA
Ketika seseorang menghadapi peristiwa traumatis seperti kehilangan, penolakan, atau tekanan berat, amigdala, pusat deteksi bahaya di otak, segera mengaktifkan hipotalamus dan memulai reaksi stres melalui poros HPA (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal) serta sistem saraf otonom.
Prosesnya berlangsung sebagai berikut:
1. Hipotalamus melepaskan corticotropin-releasing hormone (CRH).
2. Kelenjar pituitari menanggapi dengan melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH).
3. Kelenjar adrenal memproduksi kortisol dan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) melalui aktivasi sistem simpatis.
Hormon-hormon ini menjaga tubuh tetap waspada menghadapi ancaman. Namun, jika aktivasi ini berlangsung terus-menerus, poros HPA menjadi hiperaktif dan tubuh hidup dalam kondisi siaga berkepanjangan. McEwen (2007) menyebut kondisi ini sebagai allostatic load, kelelahan sistem stres akibat paparan berulang tanpa pemulihan, yang menimbulkan perubahan struktural dan fungsional di amigdala, hipokampus, dan PFC (Herman & Tasker, 2016).
Dalam keadaan ini, amigdala menjadi terlalu sensitif, sementara PFC kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan emosi. Pikiran pun menjadi tidak stabil, sulit fokus, mudah terganggu, dan terus berputar memikirkan bahaya yang belum tentu nyata.
Disregulasi Neurotransmiter: Serotonin, GABA, dan Norepinefrin
Stres kronis menimbulkan perubahan kompleks pada sistem neurotransmiter otak. Aktivitas serotonin dan GABA, dua neurotransmiter yang berperan menenangkan sistem saraf, cenderung menurun, sementara aktivitas norepinefrin dan dopamin meningkat di wilayah-wilayah otak yang terlibat dalam kewaspadaan dan respons terhadap ancaman, terutama di korteks prefrontal dan sistem limbik (Savitz, Lucki, & Drevets, 2009; Arnsten, 2015; Liu et al., 2014).
Perubahan-perubahan ini menyebabkan sistem limbik menjadi hiperreaktif, sedangkan PFC melemah. Akibatnya, individu sulit memusatkan perhatian, mudah terdistraksi, dan rentan terjebak dalam pola pikir negatif berulang.
Peran SSRI dan Batasannya
Dalam praktik medis, dokter sering meresepkan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) untuk menstabilkan sistem serotonin. Obat ini membantu menurunkan aktivitas amigdala terhadap stimulus negatif dan menormalkan keseimbangan suasana hati (Schuyler et al., 2012). Penelitian pencitraan otak (neuroimaging) juga menunjukkan bahwa SSRI menurunkan hiperaktivitas amigdala pada individu dengan gangguan kecemasan dan depresi (Arnone et al., 2020).
Namun, farmakoterapi hanya menyentuh lapisan biologis, bukan akar emosional. Akar kecemasan yang bersumber dari memori emosional bawah sadar tetap memerlukan penyembuhan melalui pendekatan psikoterapeutik yang menjangkau lapisan emosi terdalam.
Trauma, Emosi yang Tertahan, dan Program Bawah Sadar
Dalam pendekatan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis yang dikembangkan oleh Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), trauma tidak dianggap sebagai peristiwa masa lalu semata, tetapi sebagai program emosional aktif di pikiran bawah sadar.
Emosi seperti takut, marah, kecewa, atau kehilangan tersimpan dalam sistem limbik dan membentuk emotional memory. Saat individu menghadapi situasi yang mirip, amigdala memicu kembali respons bahaya yang sama.
Semakin sering siklus ini berulang, kadar kortisol meningkat, dan kemampuan berpikir rasional menurun. Akibatnya, muncul gejala seperti kecemasan kronis, mudah lupa, dan kelelahan mental (McEwen, 2007; Sousa & Almeida, 2012).
Beberapa individu memiliki kerentanan biologis bawaan yang dikaitkan dengan peningkatan kecenderungan sifat cemas (Lesch et al., 1996) dan, dalam sebagian penelitian, berperan sebagai moderator antara paparan stres kehidupan dan timbulnya gejala depresi (Caspi et al., 2003), meskipun hasil tersebut tidak selalu konsisten pada meta-analisis berikutnya (Risch et al., 2009).
Saat Cemas, Pikiran Menjadi Tidak Tenang
Ketika amigdala terlalu aktif dan PFC melemah, kemampuan berpikir logis menurun. Seseorang menjadi:
• Sulit fokus dan berkonsentrasi,
• Mudah terdistraksi,
• Terjebak dalam overthinking,
• Sulit membuat keputusan dengan tenang.
Studi menunjukkan bahwa kecemasan, melalui gangguan kendali perhatian (attentional control), menurunkan efisiensi dan, pada kondisi tertentu, efektivitas kinerja memori kerja (working memory), karena perhatian mudah teralihkan oleh sinyal ancaman (Eysenck et al., 2007; Owens et al., 2012). Dalam kondisi ini, otak cenderung beroperasi dalam mode bertahan hidup, bukan mode reflektif.
Jalan Pemulihan: Integrasi Biologis dan Psikologis
Otak manusia bersifat plastis; ia dapat menata ulang koneksi saraf melalui pengalaman dan kesadaran baru (McEwen & Morrison, 2013). Pemulihan kecemasan yang efektif memerlukan dua arah:
1. Pendekatan biologis, seperti penggunaan SSRI, latihan pernapasan, tidur cukup, dan teknik relaksasi untuk menurunkan aktivitas poros HPA serta menyeimbangkan sistem saraf (Herman & Tasker, 2016).
2. Pendekatan psikologis, seperti hipnoterapi berbasis hipnoanalisis yang membantu klien mengakses pikiran bawah sadar, melepaskan emosi yang tertahan, dan membangun makna baru atas pengalaman masa lalu.
Setelah muatan emosional diproses, sistem limbik menjadi tenang, poros HPA kembali stabil, dan keseimbangan neurokimia pun pulih secara alami.
Pulih Seutuhnya
Kecemasan bukan tanda kelemahan, melainkan pesan dari tubuh dan pikiran bahwa sistem sedang mencari keseimbangan. Ketika seseorang mulai menyadari, memproses, dan menyembuhkan akar emosinya, aktivasi HPA menurun, amigdala stabil, dan korteks prefrontal kembali aktif. Pikiran menjadi lebih jernih, fokus meningkat, dan rasa aman tumbuh dari dalam diri.
Pulih seutuhnya tidak lahir dari obat semata, tetapi dari keselarasan antara pikiran sadar, bawah sadar, dan tubuh biologis. Inilah esensi penyembuhan sebagaimana diajarkan dalam program pendidikan hipnoterapis profesional Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH): menyatukan psikologi kedalaman (depth psychology), neurosains, dan kesadaran dalam satu proses transformasi yang utuh.
Referensi:

Dalam salah satu penelitian yang menarik tentang self-affirmation, para peserta diminta melakukan sesuatu yang sangat sederhana, namun bermakna: mengingat kembali satu pengalaman pribadi yang berhubungan dengan nilai hidup (value) yang penting bagi mereka.
Nilai ini bisa berupa kejujuran, kasih sayang, tanggung jawab, kreativitas, atau bentuk lain dari makna yang mereka pegang teguh dalam hidup.
Instruksi yang diberikan berbunyi: “Pikirkan satu pengalaman yang pernah Anda alami yang melibatkan nilai (value) Anda.”
Setelah itu, peserta diminta untuk membayangkan diri mereka berada di dalam pengalaman itu kembali, melihat, mendengar, dan merasakan setiap detail yang muncul. Mereka diajak mengingat kapan peristiwa itu terjadi, bagaimana situasinya, serta bagaimana perasaan mereka terhadap pengalaman tersebut, baik saat itu maupun sekarang.
Pendekatan ini bertujuan agar peserta benar-benar terhubung dengan nilai inti diri mereka, bukan hanya mengingat secara kognitif. Proses ini membangkitkan emosi positif dan perasaan bermakna, sehingga area otak yang berhubungan dengan pemrosesan diri (self-related processing) dan penghargaan (reward system) menjadi aktif.
Aktivasi tersebut kemudian diamati melalui pemindaian fMRI untuk melihat bagaimana otak merespons pengalaman afirmasi diri yang intens dan personal.
Sebagai pembanding, peserta di kelompok kontrol juga mendapat tugas berpikir, tetapi tanpa diminta memikirkan pengalaman yang berhubungan dengan nilai pribadi.
Mereka hanya diminta memikirkan hal-hal netral atau aktivitas sehari-hari, sehingga tidak menimbulkan resonansi emosional yang sama.
Dengan format seperti ini, penelitian Cascio dkk. (2016) berhasil menunjukkan bahwa self-affirmation yang bersifat reflektif dan emosional, bukan sekadar pengulangan kalimat positif, yang dapat mengaktifkan bagian otak yang terkait dengan makna diri dan motivasi (seperti ventromedial prefrontal cortex dan ventral striatum).
Dari penelitian ini, para ilmuwan menemukan sesuatu yang luar biasa. Ketika seseorang merenungkan nilai-nilai yang penting baginya, bagian otak yang berhubungan dengan pengenalan diri dan penghargaan diri menjadi lebih aktif.
Area yang berperan dalam memahami diri (medial prefrontal cortex) dan yang terlibat dalam memberi makna serta penghargaan terhadap sesuatu yang berharga (ventral striatum dan ventromedial prefrontal cortex) menunjukkan peningkatan aktivitas yang nyata.
Dengan kata lain, saat seseorang mengingat nilai hidup yang ia cintai, otaknya tidak sekadar berpikir, namun benar-benar “menyala” di wilayah yang memproses makna dan kebahagiaan.
Menariknya, efek ini tidak hanya terjadi di laboratorium. Aktivitas otak yang meningkat tadi ternyata juga berkaitan dengan perubahan perilaku nyata. Setelah melakukan self-affirmation, peserta penelitian menjadi lebih aktif secara fisik, lebih bersemangat menjalani hari, dan lebih sedikit menghabiskan waktu hanya duduk diam atau tidak bergerak.
Artinya, self-affirmation tidak hanya membuat seseorang merasa nyaman atau bangga sesaat. Lebih dari itu, ia benar-benar mengubah cara otak bekerja dan mendorong seseorang bertindak lebih positif dalam hidupnya.
Penelitian ini juga menemukan hal menarik lainnya. Ketika seseorang memikirkan nilai-nilai dirinya dalam konteks masa depan, tentang siapa dirinya akan menjadi, apa yang ingin ia perjuangkan, dan hal-hal apa yang ingin ia wujudkan, efeknya menjadi jauh lebih kuat.
Refleksi yang berorientasi pada masa depan menyalakan area otak yang sama, namun dengan intensitas yang lebih besar. Seolah otak memberi sinyal: “Inilah arah yang berarti. Inilah hidup yang ingin dijalani.”
Dengan kata lain, merenungkan pertanyaan sederhana seperti “Siapa saya akan menjadi?” atau “Apa yang benar-benar penting bagi saya di masa depan?” bisa memberikan daya tambahan yang memperkuat efek penyembuhan dan transformasi diri.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pengalaman banyak orang yang menemukan ketenangan dan kekuatan baru setelah kembali menyadari nilai-nilai terdalam dalam dirinya.
Ketika seseorang berhenti sejenak untuk mengingat apa yang benar-benar bermakna, apa yang ia hargai, cintai, dan perjuangkan, maka bukan hanya pikirannya yang berubah, tetapi juga getaran di dalam dirinya.
Self-affirmation adalah bentuk “penyembuhan melalui kesadaran.” Ia menyalakan bagian diri yang sering terlupakan di tengah kesibukan hidup.
Dan ketika seseorang menyadari nilainya, ia berhenti mencari pengakuan dari luar, karena ia telah menemukannya di dalam dirinya sendiri.
Pada akhirnya, self-affirmation, dalam konteks perenungan terhadap nilai kehidupan, bukan sekadar metode psikologis. Ia adalah panggilan lembut untuk kembali pulang ke diri sendiri, ke ruang batin yang penuh syukur, penuh cinta, dan penuh kesadaran. Dari sinilah perubahan sejati bermula. Inilah pendekatan berbasis kesadaran yang menjadi fondasi utama hipnoterapi yang kami, para hipnoterapis AWGI, praktikkan.
-
(Cascio, C. N., O’Donnell, M. B., Tinney, F. J., Lieberman, M. D., Taylor, S. E., Strecher, V. J., & Falk, E. B. (2016). Self-affirmation activates brain systems associated with self-related processing and reward and is reinforced by future orientation. Social Cognitive and Affective Neuroscience, 11(4), 621–629. https://doi.org/10.1093/scan/nsv136)