The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Masa libur menjelang akhir tahun saya manfaat untuk lebih banyak membaca dan belajar. Saya perlu mendapatkan penguatan dari hasil riset dan literatur terkait protokol terapi baru yang sedang saya susun.
Jadi ceritanya begini. Kita tahu bahwa pengaruh pikiran bawah sadar (PBS) terhadap diri kita sangat signifikan. Isi PBS termanifestasi dalam bentuk kualitas hidup dan juga kondisi fisik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Candace Pert, Ph.D., penulis buku Molecules of Emotion, dan audiobook Your Body Is Your Subconscious Mind, yang menjelaskan hubungan antara pikiran dan tubuh.
PBS memengaruhi kondisi fisik, ini tidak bisa dimungkiri atau dibantah. Kami menemukan, dalam praktik hipnoterapi, PBS bisa membuat individu sakit atau sembuh. Ini yang disebut psikosomatis. Pikiran atau psikis (pysche) memengaruhi kondisi tubuh soma (tubuh).
Saya berpikir, apakah bisa sebaliknya? Apakah bisa kita menggunakan fisik untuk memengaruhi PBS? Bila bisa, bagaimana caranya?
Artinya, untuk memasukkan data atau memberi perintah spesifik kepada PBS yang berdampak terapeutik, kita tidak perlu melakukan induksi hipnotik untuk menembus faktor kritis pikiran sadar (PS), seperti yang dilakukan dalam hipnoterapi. Dengan kata lain, ini semua dilakukan dalam kondisi sadar normal, tidak membutuhkan kondisi trance.
Lama saya mencari jawaban atas pertanyaan ini. Dan jujur, ini tidak mudah. Namun, secara intuitif, saya yakin ini bisa dilakukan.
Bila ini bisa dilakukan, muncul pertanyaan baru: Seberapa aman dan efektif strategi ini mampu mengatasi masalah klien? Apakah ini bisa untuk mengatasi masalah yang kompleks dan berat?
𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐒𝐮𝐥𝐢𝐭 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡?
Dalam upaya membantu klien berubah, hipnoterapis harus bisa menyampaikan pesan perubahan (sugesti) ke PBS. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Hipnoterapis harus bisa menembus faktor kritis PS. Ini adalah rintangan pertama yang harus diatasi dalam upaya membantu klien berubah. Fungsi faktor kritis adalah menjaga agar data di PBS tidak mudah diubah.
Jadi, bila dalam kondisi sadar normal, saat faktor kritis PS masih aktif, terapis memberi sugesti ke PBS klien, sebelum sugesti ini masuk ke PBS, ia akan diperiksa oleh faktor kritis. Bila ternyata data (sugesti) ini tidak sejalan dengan data yang telah ada di PBS, dengan serta merta sugesti ini akan ditolak. Semakin besar upaya terapis memasukkan sugesti, semakin kuat penolakan faktor kritis.
Tingkat keaktifan faktor kritis berbanding terbalik dengan tingkat kedalaman kondisi hipnosis (trance) yang berhasil dicapai klien. Semakin dalam kondisi hipnosis, semakin lemah faktor kritis.
Kondisi ideal atau terbaik yang sebaiknya dicapai adalah faktor kritis PS, untuk sementara waktu, berhenti bekerja atau tidak aktif. Ini hanya bisa terjadi dalam kondisi hipnosis (sangat) dalam.
Dalam kondisi ini, sugesti yang diberikan tidak lagi dikritisi oleh faktor kritis dan dengan leluasa bisa menjangkau PBS.
Apakah setelah sugesti berhasil menjangkau PBS, ia akan langsung dilaksanakan oleh PBS? Jawabannya, tidak.
Faktor kritis PS adalah rintangan pertama. Di dalam PBS sendiri terdapat empat filter mental yang juga berfungsi mengkritisi sugesti yang masuk. Hanya bila sugesti berhasil melewati empat filter ini, ia diterima oleh PBS dan siap dilaksanakan.
Namun, masih ada faktor lain yang harus diperhitungkan. Sugesti yang berhasil menjangkau PBS, setelah melewati faktor kritis PS dan empat filter mental PBS, harus bisa mengatasi penolakan dan perlawanan dari data lama (program) yang telah ada di PBS.
Misalnya klien adalah orang yang sangat tidak percaya diri. Ia tidak percaya diri sejak kecil. Dalam upaya membantu klien berubah, terapis memberi klien sugesti "Saya percaya diri".
Katakanlah sugesti "Saya percaya diri", setelah berhasil melewati faktor kritis PS dan empat filter mental PBS, berhasil menjangkau PBS, diterima sepenuhnya, dan akan dilaksanakan PBS. Bagaimana dengan data lama yang menyatakan "Saya tidak percaya diri", yang telah tersimpan di PBS klien selama puluhan tahun?
Temuan kami menyatakan bahwa setiap data ini memiliki kekuatan. Kami menggunakan angka 0 - 10, di mana 0 artinya sama sekali tidak ada kekuatan, dan 10 artinya kekuatan maksimal.
Sugesti "Saya percaya diri" yang baru masuk ke PBS, biasanya memiliki kekuatan yang masih kecil, lemah, tidak akan bisa bekerja optimal karena ia mendapat perlawanan atau ditolak, dan bahkan bisa dianulir oleh data "Saya tidak percaya diri" yang telah sangat lama berdiam di PBS dan berkekuatan 10.
Ini menjawab pertanyaan mengapa ada begitu banyak praktik hipnoterapi yang hanya mengandalkan sugesti, tidak efektif.
Hipoterapis pada umumnya hanya fokus pada upaya menembus faktor kritis, menggunakan teknik induksi dan skrip sugesti. Ada sangat banyak varian teknik induksi, namun tujuannya satu, menembus faktor kritis, menuntun klien berpindah dari kondisi sadar normal ke kondisi hipnosis (trance).
Upaya menembus faktor kritis akan sangat optimal bila terapis mengerti dan mampu melakukan uji kedalaman kondisi hipnosis secara akurat dan presisi, terutama menggunakan indikator mental yang menunjukkan kedalaman hipnosis dalam, bukan sekadar indikator fisik (napas melambat dan ritmik, tubuh rileks dan terasa berat, menelan ludah, REM, wajah datar, sklera mata merah) yang adalah indikasi kedalaman dangkal.
Kekuatan data lama di PBS dipengaruhi oleh beberapa faktor: siapa yang memasukkan data ini (imprint), pada usia berapa data ini dimasukkan atau masuk ke PBS, pengulangan dan penguatan, data-data tambahan yang bersifat mendukung kebenaran data, intensitas emosi yang menyertai data, dan Ego Personality yang terlibat.
𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐌𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡?
Dengan menyadari dan memerhatikan benar dinamika PBS, saya berusaha merumuskan protokol terapi yang mampu menjangkau PBS melewati jalur fisik, tanpa harus berhadapan dengan faktor kritis PS, empat filter mental PBS, dan secara menyeluruh menetralisir kekuatan data lama sehingga perintah (sugesti) yang diberikan pada PBS berkekuatan penuh dan dilaksanakan tanpa mendapat hambatan.
Protokol ini telah saya ujicobakan pada peserta pelatihan Quantum Life Transformation® (QLT) akhir November 2024. Ada peserta yang menyampaikan keluhan pada saya. Masalahnya, sejak tahun 2020, setiap kali ia makan kenyang, ia langsung merasa mual dan mau muntah. Akibatnya, ia hanya berani makan dalam porsi kecil.
Saya tanya apa yang ia inginkan, dan ia menjawab ingin bisa makan kenyang tapi tetap nyaman. Saya menggunakan protokol baru ini dan memasukkan perintah ke PBS-nya berupa perintah: Saat saya makan dan kenyang, perut dan kondisi saya tetap nyaman.
Proses memasukkan sugesti ini ke PBS-nya berlangsung singkat. Hasilnya? Saat makan malam, ia bisa makan sampai kenyang dan perasaan mual atau ingin muntah tidak lagi ia alami atau rasakan.
Satu keberhasilan ini tentu sangat menggembirakan dan membuka peluang untuk penyempurnaan dan aplikasi untuk masalah lain.
Saya teringat saat dulu, di tahun 2015, merancang protokol The Heart Technique® (THT). Saya butuh waktu sekitar tiga tahun untuk melakukan ujicoba dan menyempurnakan protokolnya, hingga akhirnya THT diajarkan pada publik untuk pertama kali di Juni 2018.
THT saat ini telah berkembang menjadi tiga versi: THT 2.0 untuk publik, THT 3.0 khusus untuk hipnoterapis AWGI, dan THT 4.0 (The Ultimate Heart Technique) yang berbasis energi medan morfik. Saya pribadi lebih banyak menggunakan THT 2.0.
Besar harapan saya, protokol terapi ini nantinya bisa digunakan untuk membantu klien mengatasi masalah emosi, perilaku, dan fisik dengan cara yang mudah, efektif, aman, dan tuntas.
Tulisan ini terinspirasi dari diskusi saya dengan salah satu hipnoterapis AWGI beberapa waktu lalu. Sejawat ini gemar membaca tulisan pakar trauma dari luar negeri, salah satunya Bessel van der Kolk, MD. Dari bacaan-bacaan ini ia mulai terpapar dengan informasi tentang neurosains dan psikologi, dan tertarik untuk mempelajarinya. Ia bertanya apakah saya merekomendasi ia untuk mendalami neurosains. Bila saya merekomendasi, ia minta saran sebaiknya belajar ke siapa atau lembaga mana di luar negeri.
Kisah perjalanan pembelajaran sejawat ini membawa saya mundur ke masa awal saya dulu praktik hipnoterapi. Saya dulu juga sempat mendalami secara otodidak neuropsikologi.
Secara ringkas, bisa dijelaskan bahwa neurosains adalah ilmu yang mempelajari sistem saraf, termasuk struktur, fungsi, perkembangan, dan hubungannya dengan perilaku serta pikiran manusia. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku, pikiran, dan proses mental manusia serta bagaimana faktor biologis, sosial, dan lingkungan memengaruhinya.
Dengan demikian, neuropsikologi adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara fungsi otak dan perilaku, termasuk bagaimana kerusakan atau gangguan pada otak memengaruhi emosi, kognisi, dan tindakan seseorang.
Tujuan saya belajar neuropsikologi adalah untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kompetensi terapeutik saya. Dan setelah saya membaca cukup literatur yang membahas topik ini, saya akhirnya memutuskan untuk mundur dan kembali hanya fokus pada hipnoterapi. Meskipun demikian, sesekali saya masih membaca buku teks dan artikel jurnal tentang neuropsikologi untuk menambah pengetahuan dan wawasan.
Mengapa Saya Berhenti Mendalami Neuropsikologi?
Dalam berbagai literatur yang saya pelajari, memang dijelaskan bagian-bagian otak beserta fungsinya, serta apa yang terjadi pada otak seseorang saat ia mengalami kondisi mental atau gangguan psikologis tertentu. Saya belajar dengan penuh antusiasme dan berharap dapat mengaplikasikan pengetahuan ini ke dalam praktik hipnoterapi.
Saya berharap di dalam literatur ini juga dijelaskan teknik mengatasi gangguan psikologis berlandaskan neurosains. Saya membaca penjelasan tentang penyebab kondisi seperti PTSD, skizofrenia, gangguan kecemasan, bipolar, dan gangguan depresi mayor, yaitu adanya abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak.
Bergantung kondisi dan jenis gangguan, umumnya, solusi yang disarankan adalah dengan pemberian obat-obatan, pembedahan otak, stimulasi otak dalam (deep brain stimulation / DBS), terapi paparan realitas virtual (VR), electroconvulsive therapy (ECT), terapi cahaya terang (bright light therapy), neurofeedback, terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy / CBT), dan desensitisasi sistematis.
Berikut ini adalah ringkasan informasi tentang penyebab depresi, yang saya dapatkan dari mempelajari buku neuropsikologi terbitan tahun 2021 setebal 2548 halaman:
"Sebuah meta-analisis oleh Chuanjun Zhuo dan koleganya (2019) mengidentifikasi perubahan otak yang khas terkait dengan depresi, terutama pada area berikut:
Lobus frontal: Penurunan materi abu-abu (gray matter), khususnya pada orbitofrontal cortex (OFC).
Lobus temporal: Penurunan volume, terutama di hipokampus.
Lobus parietal: Termasuk posterior cingulate cortex, yang mengalami penurunan ketebalan kortikal.
Para penulis ini juga merangkum perubahan dalam jaringan otak yang berhubungan dengan depresi dan menemukan adanya penurunan koneksi antara korteks prefrontal dengan area kortikal temporal, korteks prefrontal dengan amigdala dan hipokampus.
Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun perubahan struktural atau fungsional tunggal pada otak yang dapat digunakan untuk mendiagnosis depresi.
Meskipun saat ini tidak lagi sepopuler studi MRI, penelitian menggunakan PET (Positron Emission Tomography) telah menunjukkan bahwa tingkat keparahan depresi mayor berkorelasi dengan penurunan aliran darah dan metabolisme di anterior cingulate cortex (ACC) dan ventromedial prefrontal cortex. Aliran darah di area ini meningkat pada pasien depresi yang telah sembuh.
Studi PET juga menunjukkan adanya peningkatan abnormal metabolisme glukosa di amigdala dan orbitofrontal cortex, yang berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala depresi.
Amigdala bertugas memberikan makna emosional terhadap rangsangan. Aktivitas amigdala merangsang pelepasan kortisol, yang menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan aktivitas poros HPA (hipotalamus-pituitari-adrenal) pada depresi. Peningkatan aktivitas di orbital cortex berkaitan dengan upaya untuk memodulasi atau menghambat aktivitas amigdala."
Sebagai hipnoterapis, informasi di atas sama sekali tidak bisa saya aplikasikan ke dalam praktik hipnoterapi. Saya bukan dokter, psikiater, atau psikolog klinis. Saya tidak memiliki kompetensi melakukan prosedur yang disarankan, seperti pemberian obat, pembedahan, dan yang lainnya. Namun, satu hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana terapi psikologi bisa digunakan, sampai tahap tertentu, untuk membantu mengatasi gangguan psikologis.
Dan mengingat saya mendalami hipnoterapi, saya simpulkan, sampai tahap tertentu, hipnoterapi bisa membantu mengatasi kondisi tidak kondusif yang dialami individu, khususnya di aspek emosi dan perilaku.
Saya sempat belajar neurofeedback di Los Angeles, Amerika. Dua kali saya ke Amerika mendalami ilmu ini. Dan hasilnya, saya bisa membantu klien melalui stimulasi otak menggunakan mesin EEG yang dirancang khusus untuk tujuan ini. Namun ini juga saya tinggalkan karena saya menemukan bahwa untuk masalah emosi dan perilaku, penggunaan hipnoterapi memberi dampak jauh lebih cepat dan signifikan.
Saya menyadari, neurosains adalah disiplin ilmu yang sangat kompleks, dan tidak mungkin bisa saya kuasai sepenuhnya hanya dengan belajar secara otodidak atau sekadar ikut pelatihan. Jadi, daripada saya membuang waktu belajar sesuatu yang akhirnya juga tidak banyak manfaatnya, lebih baik saya fokus pada hipnoterapi.
Alasan utama saya tidak secara khusus mengajarkan neurosains hipnosis dan hipnoterapi di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH), yaitu saya tidak memiliki kompetensi di bidang keilmuan ini, dan pengetahuan terkait neuropsikologi tidak bisa saya integrasikan ke dalam protokol atau teknik-teknik hipnoterapi saya. Namun bagi peserta SECH yang berminat mendalami neuropsikologi, saya dengan senang hati memberi mereka judul-judul buku dan artikel jurnal untuk mereka pelajari sendiri. Dan tentunya, bila saya memiliki ebook atau file-nya, pasti saya berikan juga.
Berlandaskan fakta dan temuan di ruang praktik, di luar faktor genetik, saya percaya sepenuhnya bahwa abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak adalah akibat, bukan sebab.
Individu pada awalnya dalam kondisi baik. Dengan demikian, kondisi otaknya juga baik. Namun, dalam proses tumbuh kembang ia mengalami pengalaman atau kejadian traumatik yang akhirnya mengguncang kondisi otaknya, yang semula normal hingga akhirnya menjadi abnormal.
Dari perspektif hipnoterapi, kami bisa melakukan resolusi pada pengalaman traumatik ini. Hipotesis saya, bila ini berhasil dilakukan, kondisi otaknya akan kembali normal.
Kami, sebagai hipnoterapis, karena tidak memiliki piranti untuk menelisik kondisi otak, lebih fokus pada memerhatikan perubahan perilaku pascaterapi. Misalnya, ada klien datang pada kami dengan masalah serangan panik (panic attack), ledakan kemarahan (anger outburst), fobia yang tidak rasional, ketakutan berlebih dalam situasi sosial (social anxiety), trauma, atau gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Kondisi ini terjadi karena pembajakan amigdala (amydala hijack), yaitu saat amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab atas respons emosional, "mengambil alih" kendali sebelum korteks prefrontal (bagian otak yang lebih rasional) memiliki kesempatan untuk memproses informasi secara logis.
Dengan hipnoterapi, kami bisa membantu klien mengatasi masalahnya dengan cara menemukan dan memproses tuntas akar masalah atau kejadian penyebab simtom. Saat klien sembuh, secara otomatis ia terbebas dari amygdala hijack .
Kembali pada pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini: Perlukah Hipnoterapis Belajar Neurosains?
Bila tujuannya untuk menambah pengetahuan atau wawasan, tentu sangat boleh. Namun bila yang diharapkan adalah setelah mendalami neuropsikologi, kompetensi hipnoterapi meningkat secara luar biasa, saran saya, tidak usah buang waktu belajar neurosains secara mendalam.