The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Terapi Fobia Spesifik Sesi Tunggal dengan The Heart Technique
Oleh: Dyah Ayu Permatasari Gunawan, Lina Natalya, Nadia Sutanto
Sumber:
Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, Volume 14 No. 1, April 2025, hal. 54-64
http://doi.org/10.21009/JPPP.141.06
Abstract
The Heart Technique is claimed by its users and creator to be effective in overcoming specific phobias in just 20 to 30 minutes. This study aims to test the effectiveness of The Heart Technique in online settings toward specific phobias. The research used two-group pretest–posttest design in individual and group sessions. The participants were 130 people aged 18-58 years, domiciled in Indonesia, selected using purposive sampling. The measuring instruments are Subjective Unit of Distress (SUD) and Severity Measure for Specific Phobia- Adult. The results of the Wilcoxon Signed-Rank Test analysis showed that there was a significant decrease in the measurement of the two measuring instruments of specific phobia (p<0.05). Individual and group sessions were able to significantly reduce the severity of the phobia to a neutral or non-phobic category, however this technique was more effective in individual sessions as seen from the Mann Whitney-U test (p<0.05). The results showed that The Heart Technique can be used as an alternative solution to overcome psychological problems, especially phobias.
Keywords: Emotional Problem, Specific Phobia, The Heart Technique, Therapeutic Effectiveness
Abstrak
The Heart Technique diklaim oleh pengguna dan penciptanya, efektif mengatasi fobia spesifik dalam waktu 20 hingga 30 menit saja. Penelitian ini bertujuan menguji keefektifan The Heart Technique secara daring terhadap fobia spesifik. Metode penelitian menggunakan desain two-group pretest–posttest design pada sesi individu dan kelompok. Partisipan berjumlah 130 orang berusia 18-58 tahun, berdomisili di Indonesia, dipilih menggunakan purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Subjective Unit of Distress (SUD) dan Severity Measure for Specific Phobia-Adult. Hasil analisis Wilcoxon Signed-Rank Test menunjukkan penurunan signifikan pada pengukuran kedua alat ukur fobia spesifik (p<0.05). Sesi individu dan kelompok mampu menurunkan secara signifikan tingkat keparahan fobia hingga menjadi netral atau kategori bukan fobia, namun teknik ini lebih efektif dalam sesi individu yang dapat dilihat dari uji Mann Whitney-U (p<0.05). Hasil penelitian menunjukkan The Heart Technique dapat digunakan sebagai solusi alternatif untuk mengatasi permasalahan psikologis, terutama fobia.
Kata Kunci: Fobia Spesifik, Keefektifan Terapi, Permasalahan Emosi, The Heart Technique.
1. Pendahuluan
Fobia merupakan sebuah program pikiran di bawah sadar, terdiri atas dua komponen, yaitu: kumpulan memori dan emosi negatif yang melekat dengan skala intensitas minimal menengah hingga tinggi. Program pikiran tersebut menjadi aktif ketika terpicu stimulus yang dapat berbentuk seperti objek atau situasi asli, cerita, gambar, ataupun imajinasi individu. Kondisi fobia ini menyebabkan individu secara aktif menghindari objek atau situasi fobia tersebut (American Psychiatric Association, 2013). Fobia spesifik memiliki lima kategori stimulus, yaitu: hewan, situasi, darah-injeksi-luka, lingkungan alam, dan objek atau situasi lainnya yang tidak termasuk pada keempat kategori sebelumnya.
Survei World Health Organization (WHO) memberikan hasil penelitian prevalensi fobia pada sampel sebanyak 124,902 orang dari 22 negara (Wardenaar et al., 2017). Survei tersebut menunjukkan sebanyak 5.5% individu masuk dalam kategori mengalami fobia dengan prevalensi 12 bulan dan sebanyak 7.4% individu masuk pada kategori prevalensi seumur hidup. Berdasarkan data prevalensi tersebut diketahui dari 124,902 individu, terdapat 6,869 hingga 9,242 individu yang hidupnya terganggu oleh fobia spesifik, sehingga perlu dipikirkan cara yang efektif dan efisien untuk membantu individu dengan gangguan fobia spesifik.
Melanjutkan, survei menyatakan bahwa wanita memiliki peluang lebih tinggi mengalami fobia spesifik dibandingkan pria (American Psychiatric Association, 2013; Wardenaar et al., 2017). Peneliti melakukan survei awal dan didapatkan data yang serupa dengan penelitian Wardenaar et al. dan American Psychiatric Association. Survei awal ini dilakukan dengan menyebarkan survei di media sosial yang ditujukan pada responden yang memiliki fobia spesifik. Responden yang mengisi survei diberikan penjelasan singkat tentang fobia spesifik dan kemudian bila responden merasa penjelasan yang diberikan sesuai dengan kondisinya maka dapat melanjutkan mengisi data diri, menjawab pertanyaan fobia apa saja yang dimiliki dan sudah berapa lama mengalaminya, perasaan yang dirasakan terhadap objek atau situasi fobia, dan apakah pernah mencoba mengatasi fobia yang dialami.
Survei oleh Wardenaar et al. (2017) juga memberikan data prevalensi fobia spesifik 12 bulan dan seumur hidup di mana pada wanita lebih tinggi 7.7% (9,617 orang) dan 9.8% (12,241 orang), dibandingkan pada pria 3.3% (4,122 orang) dan 4.9% (6,120 orang). Hasil survei ini sejalan dengan hasil penelitian American Psychiatric Association (2013) dan hasil survei awal oleh peneliti di mana sebanyak 75.76% (75 orang) wanita menyatakan mengalami fobia dan pria sebanyak 24.24% (24 orang). Data American Psychiatric Association (2013) juga melaporkan dari individu yang mengalami fobia, 75% memiliki lebih dari satu macam fobia. Data survei awal penelitian ini juga memberikan hasil 53.53% responden menyatakan memiliki lebih dari satu macam fobia dan di antaranya, pada kategori fobia spesifik yang berbeda.
DSM V menyatakan individu yang mengalami fobia spesifik akan merasakan takut dan cemas (American Psychiatric Association, 2013), namun hasil survei awal peneliti menunjukkan emosi negatif yang dirasakan oleh individu tidak hanya kedua emosi itu saja. Hasil survei awal menyatakan para responden juga merasakan jijik, tertekan, tidak mampu, geli, capek, sedih, muak, benci, dan masih banyak emosi negatif lainnya terhadap fobianya. Selain itu, emosi-emosi ini juga memberikan pengaruh pada tubuh fisik mereka. Respon fisik ketika berhadapan dengan stimulus fobia yang dilaporkan antara lain adalah jantung berdebar kencang, gemetar, panik, pusing, gatal-gatal, mual, dan masih banyak lagi.
Kerugian-kerugian yang dialami individu dengan fobia tidak berhenti pada kondisi fobia mempengaruhi pikiran, emosi, dan tubuh secara negatif saja, namun kondisi ini juga mengganggu kehidupan individu. Fobia spesifik dapat menjadi pencetus munculnya gangguan emosi lainnya seperti gangguan kecemasan umum, panik, dan depresi mayor (Lieb et al., 2016; Sancassiani et al., 2019). Salah satu contoh ekstrim individu yang mengalami fobia adalah seorang individu dengan fobia kecoak, setiap kali melihat kecoak di jalan, individu tersebut dapat memberikan respon panik dan berlari ke tengah jalan (Gunawan, 2020). Meskipun tipe gangguan kecemasan ini umum dialami masyarakat, data survei awal juga mengungkapkan 98.98% responden tidak berupaya secara aktif mencari bantuan untuk sembuh dari kondisi ini. Rata-rata responden melaporkan memilih untuk menghindar (active avoidance) atau menahan perasaan negatif (contoh: rasa takut dan cemas) ketika berhadapan dengan stimulus dan/ atau memberanikan diri dengan melakukan paparan diri (exposure). Salah satu alasan yang dapat menjelaskan individu dengan fobia tidak mencari bantuan profesional adalah karena dibutuhkan banyak sesi dengan durasi yang lama pada setiap sesi untuk menyembuhkan fobia.
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat beberapa teknik psikoterapi yang sering digunakan untuk mengatasi fobia spesifik. Teknik cognitive-behavioral therapy (CBT) melalui 12 sesi yang masing- masing sesi berdurasi 60 menit (Riddle-Walker et al., 2016) dan teknik time intensive CBT dilakukan dalam 8 sesi di mana durasinya memiliki variasi dari 90 menit hingga 4 jam per sesi (Keyes et al., 2020). Teknik exposure therapy dilakukan dalam durasi 3 jam selama 1 sesi (Botella et al., 2016; Miloff et al., 2019). Penelitian- penelitian psikoterapi di atas mampu menyembuhkan fobia, namun ini dicapai setelah partisipan melalui bersesi-sesi intervensi dan/atau durasi intervensi yang lama dengan derajat capaian yang berbeda juga. Selain itu, belum ditemukan penelitian yang menguji efektivitas teknik terapi terhadap seluruh kategori fobia spesifik. Oleh karenanya, penelitian ini memiliki tujuan menguji efektivitas The Heart Technique pada semua kategori fobia spesifik.
The Heart Technique merupakan teknik terapi yang menggabungkan teori dan pendekatan ego personality, hipnoterapi, motivasi pikiran bawah sadar, trauma dan tubuh, sistem meridian, beserta neurosains. The Heart Technique bekerja dengan menghilangkan emosi yang melekat pada memori yang menjadi penyebab fobia. The Heart Technique dapat menyembuhkan beragam masalah emosi, termasuk fobia (Gunawan, 2018b). Teknik ini memiliki keunggulan yaitu teknik ini sederhana, mudah untuk dipelajari dan dipraktekkan pada orang lain ataupun pada diri sendiri karena teknik ini diciptakan untuk tujuan swaterapi, dan dapat mengatasi masalah emosi, fobia, dalam waktu relatif singkat yaitu berkisar 20 hingga 30 menit. Pada dasarnya teknik terapi ini dilakukan oleh individu terhadap diri mereka sendiri dengan mengikuti panduan protokol terapi yang tertera di buku atau dengan bantuan tuntunan terapis yang mengikuti protokol di buku The Heart Technique. Dengan demikian, individu memiliki peran aktif dalam proses menyembuhkan dirinya sendiri.
Ribuan orang telah membeli buku The Heart Technique dan mempraktikkan teknik ini sejak tahun 2018. Selain itu juga terdapat banyak pelatihan The Heart Technique yang telah diselenggarakan untuk masyarakat umum seperti di Jakarta dengan 1,100 peserta dan Medan dengan 1,300 peserta (Gunawan, 2018a), Palembang (Tribun Sumsel, 2018), di sekolah dengan peserta murid dan guru (Rumah Sejahtera, 2018; 2019b); di sekolah tinggi (Rumah Sejahtera, 2019a), dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk membandingkan keefektifan The Heart Technique ketika dilakukan secara individu dan kelompok. Penelitian ini dilakukan secara daring agar dapat menjangkau partisipan di seluruh Indonesia melalui teknologi internet. Alasan lain adalah dengan pertimbangan alasan kesehatan yang pada saat penelitian ini dilaksanakan masih pada masa pandemi COVID-19.
Penelitian ini memiliki dua hipotesis, yaitu: 1) The Heart Technique yang dilakukan secara daring efektif mengatasi fobia spesifik dan 2) Tidak ada perbedaan efektivitas terapi The Heart Technique secara kelompok dan individu.
2. Metode Penelitian
Penelitian eksperimen ini menggunakan two group pretest-posttest design yang dilakukan secara daring. Tahapan penelitian ini dimulai dengan, pertama, merancang kuesioner online menggunakan media Google Form. Kuesioner online terdiri atas penjelasan penelitian, informed consent, identitas diri partisipan, pertanyaan tentang fobia spesifik yang dialami, berapa lama partisipan mengalami fobia spesifik tersebut, dan dua alat ukur sebagai pertanyaan pre-test, yang juga digunakan lagi pada post-test.
Penelitian ini menggunakan dua alat ukur untuk melihat perubahan kondisi partisipan terhadap fobia yang dialaminya, yaitu Subjective Unit of Distress (SUD) dan Severity Measure for Specific Phobia-Adult. SUD merupakan sistem penilaian ketidaknyamanan emosional individu terhadap suatu peristiwa secara subjektif. SUD menggunakan skala 0 (tenang) hingga 100 (kondisi cemas intens dan terburuk) (Wolpe & Lazarus, 1966 dalam Tanner, 2012). SUD ini juga merupakan alat asesmen yang menjadi bagian dari protokol The Heart Technique yang digunakan sebelum, saat, dan sesudah proses intervensi dilakukan. SUD yang digunakan pada The Heart Technique menggunakan skala 0 hingga 10. Pengukuran SUD diambil langsung dari buku The Heart Technique (Gunawan, 2018b). Pertanyaan dimulai dengan kalimat “Coba Anda menutup mata dan ingat kembali objek atau situasi yang membuat Anda mengalami fobia, yang ingin Anda atasi. Berapakah intensitas emosi yang Anda rasakan? Intensitas ini dinyatakan dengan angka 0 hingga 10. Angka 0 artinya Anda sama sekali tidak merasakan apapun, sementara angka 10 artinya emosi ini sangat intens (kuat) Anda rasakan.”
Severity Measure for Specific Phobia-Adult merupakan alat ukur yang dibuat oleh Craske et al. (2013) berdasarkan DSM V dan dipublikasi oleh American Psychiatric Association. Berbeda dengan alat ukur lainnya yang hanya mengukur secara spesifik satu jenis atau kategori fobia, alat ukur ini dirancang untuk mengukur seluruh jenis fobia spesifik yang dimiliki individu. Peneliti melakukan forward translation (dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia) dan modifikasi pada alat ukur ini sehingga alat ukur ini menggunakan 9 butir pertanyaan dan 10 pilihan respon, dengan pilihan skoring 1 (Sangat tidak menggambarkan diri saya) hingga 10 (Sangat menggambarkan diri saya). Reliabilitas alat ukur yang memiliki unidimensi ini pada setting non-klinis adalah α = 0.93 (tinggi) (LeBeau et al., 2012) dan α = 0.90 (tinggi) (Knappe et al., 2014) dan pada setting klinis yaitu α = 0.96 (tinggi) (LeBeau et al., 2012).
Peneliti juga melakukan uji reliabilitas pada alat ukur dan mendapatkan hasil konsisten dengan hasil reliabilitas LeBeau et al. (2012) dan Knappe et al. (2014), dengan Alpha Cronbach > 0.7 yaitu α = 0.925 (tinggi) dan nilai CITC > 0.3 (CITC = 0.468 - 0.894). Hasil pengukuran konsistensi butir menandakan bahwa alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult siap digunakan dan hasilnya dapat dipercaya memberikan pengukuran yang akurat. Pertanyaan pada alat ukur ini dimulai dengan pernyataan “Saat saya mengingat atau membayangkan bertemu atau berhadapan dengan objek, atau berada di situasi yang membuat saya mengalami fobia, maka saya...”, dilanjutkan dengan butir alat ukur, dan pemberian pilihan jawaban menggunakan skoring 1 hingga 10.
Pada tahap kedua, pengambilan data penelitian, proses ini dimulai dengan menyebarkan informasi penelitian beserta pre-test sesi individu di media sosial (Facebook, Instagram, dan Line). Setelah data terkumpul, peneliti melakukan screening atau seleksi partisipan penelitian berdasarkan hasil self report calon partisipan. Pemilihan partisipan menggunakan teknik purposive sampling di mana partisipan terpilih setelah memenuhi kriteria inklusi yang ditentukan berdasarkan hasil pre-test yang disebarkan melalui berbagai media sosial. Kriteria inklusi penelitian ini adalah: (1) Individu kategori dewasa, berusia minimal 18 tahun; (2) Memenuhi kriteria diagnostik DSM V yaitu mengalami fobia spesifik selama minimal 6 bulan terakhir atau lebih; (3) Memiliki minimal skala 6 pada Subjective Unit of Distress (SUD) terhadap fobia yang dimilikinya; (4) Memiliki tingkat minimal kategori sedang pada Severity Measure for Specific Phobia-Adult; (5) Tidak memiliki gangguan mental lainnya; (6) Mengikuti sesi intervensi ini atas kehendak diri sendiri dan bersedia mengikuti hingga selesai.
Partisipan penelitian eksperimen ini berjumlah total 130 orang, di mana 30 orang (5 laki-laki dan 25 perempuan) merupakan partisipan penelitian sesi individu dan 100 orang (27 laki-laki dan 73 perempuan) merupakan partisipan sesi kelompok. Rata-rata partisipan penelitian sesi individu berusia 35 tahun dengan SD = 10,813. Rata-rata partisipan penelitian sesi klasikal berusia 34 tahun dengan SD = 9,449. Para partisipan penelitian ini berasal dari berbagai pulau di Indonesia. Partisipan sesi kelompok, terbanyak berasal dari Jawa dengan jumlah 73 orang, Sumatera 11 orang, Bali 7 orang, Kalimantan 4 orang, Sulawesi 2 orang, dan masing- masing 1 orang untuk pulau Papua, Sumbawa, dan Timor. Partisipan sesi individu yang berasal dari Jawa terdapat 20 orang, masing-masing 2 orang dari pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Riau. Adapun dari pulau Sumatera, Bali, Lombok, dan Papua masing-masing 1 orang. Kategori fobia spesifik tertinggi yang dimiliki oleh partisipan penelitian, sebesar 34.62% (45 orang) adalah binatang. Diikuti dengan kategori situasi, sebesar 33.08% (43 orang). Selanjutnya, kategori kondisi natural lingkungan sebesar 18.46% (24 orang), situasi lain sebesar 9.23% (12 orang), dan terakhir darah-injeksi-luka sebesar 4.62% (6 orang).
Seluruh partisipan penelitian menggunakan teknik intervensi The Heart Technique. Teknik ini terdiri atas lima tahapan (1) Identifikasi Masalah, (2) Over Energy Correction, Reset Jalur Energi, & Tracing, (3) Priming the Subconscious for Change, (4) Reset Jalur Energi & Tracing, dan (5) Pelepasan Emosi. Penelitian ini mengikuti sesuai dengan tahapan protokol terapi yang tertera dalam buku The Heart Technique (Gunawan, 2018b).
Seluruh sesi penelitian dilakukan secara daring dan sesi intervensi menggunakan aplikasi Zoom. Penggunaan Zoom memiliki kelebihan partisipan dapat mengikuti sesi intervensi dari mana saja, tanpa batasan geografi. Di sisi lain, kelemahan dari penggunaan Zoom adalah peneliti harus membayar biaya langganan aplikasi dan partisipan harus menyiapkan kuota internet yang cukup untuk mengikuti sesi intervensi. Sesi intervensi individu, yaitu satu sesi one on one antara terapis dan partisipan, dilakukan selama 60 menit dengan pembagian waktu 30 menit sesi perkenalan, penjelasan fobia dan 5 tahapan The Heart Technique. Selanjutnya 30 menit sesi intervensi yaitu partisipan melakukan 5 tahapan The Heart Technique yang dipandu oleh terapis, tanya-jawab, dan penutup. Terapis sesi intervensi individu adalah pencipta The Heart Technique dan psikolog klinis aktif.
Adapun sesi kelompok dilakukan dalam bentuk satu sesi webinar yang dibawakan oleh pencipta The Heart Technique. Sesi kelompok ini berdurasi 90 menit dengan pembagian waktu 60 menit sesi perkenalan, penjelasan fobia dan 5 tahapan The Heart Technique. Selanjutnya 30 menit sesi intervensi yaitu partisipan melakukan 5 tahapan The Heart Technique yang dipandu oleh pencipta The Heart Technique, tanya-jawab, dan penutup. Sesi kelompok diberikan durasi di awal yang lebih lama dibandingkan sesi individu dengan tujuan memberikan waktu para partisipan untuk bergabung sebelum sesi intervensi dimulai. Ini dilakukan dengan tujuan seluruh partisipan dapat mengikuti rangkaian terapi dengan lengkap. Setelah sesi intervensi selesai, peneliti menyebarkan tautan post-test secara langsung.
Setelah proses pengambilan data selesai, peneliti melanjutkan pada tahapan analisis data dan terakhir, menulis simpulan penelitian. Hasil uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov mendapatkan hasil Sig. = 0.036 (p < 0.05), yang berarti data tidak berdistribusi normal sehingga analisis data penelitian menggunakan teknik non-parametrik. Analisis data menggunakan uji beda Wilcoxon signed-rank test untuk hipotesis 1, yang membandingkan hasil nilai rata-rata pre-test dan post-test. Hipotesis 2 menggunakan uji Mann Whitney-U untuk membandingkan dua nilai rata-rata pada dua kelompok independen, yaitu sesi individu dan kelompok. Analisis data menggunakan program SPSS for Mac versi 25. Hipotesis diterima dan ada perbedaan jika nilai p-value kurang dari sama dengan 0.05 (sig ≤ 0.05).
Penelitian yang dilakukan tidak mengajukan kaji etik dikarenakan penelitian ini dilakukan saat peneliti melakukan studi S1 Psikologi di Universitas Surabaya, di mana para mahasiswa S1 diperbolehkan melanjutkan penelitian setelah lulus ujian Seminar Proposal Penelitian. Penelitian ini memiliki Ethical Eligibility Declaration - Ethics Clearance for Conducting Research yang ditandatangani oleh dosen pembimbing sebagai bukti penelitian ini tidak menyalahi kaidah etik dan disupervisi secara ketat oleh dosen pembimbing.
3. Hasil dan Diskusi
Hasil pengukuran penelitian ini terdiri atas uji pada skor SUD dan skor alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult. Pada Tabel 1, dapat dilihat data pre-test dan post-test dari sesi individu, kelompok, dan data gabungan. Dapat dilihat berdasarkan selisih skor antara skor pre-test dan post-test di kedua alat ukur, terdapat penurunan skor tingkat keparahan fobia spesifik secara signifikan baik pada sesi individu dan kelompok setelah menjalani sesi intervensi dengan The Heart Technique. Dengan demikian dapat disimpulkan The Heart Technique efektif digunakan untuk menyembuhkan fobia. Dilakukan uji analisis statistik Wilcoxon Signed-Rank Test untuk melihat perbedaan mean pre-test dan post-test baik pada sesi individu dan kelompok yang dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 3 dilakukan uji analisis statistik Mann Whitney-U untuk membandingkan perbedaan mean antara kedua kelompok.
Tabel 1. Statistik deskriptif
|
Alatukur |
Tipe Data |
Sesi intervensi |
Min |
Max |
Mean |
SD |
|
SUD |
Pre-Test |
Gabungan |
6 |
10 |
8.4154 |
1.42396 |
|
|
|
Individu |
8 |
10 |
9.3667 |
0.80872 |
|
|
|
Kelompok |
6 |
10 |
8.1300 |
1.44708 |
|
|
Post-Test |
Gabungan |
0 |
5 |
0.3385 |
0.83112 |
|
|
|
Individu |
0 |
2 |
0.0667 |
0.36515 |
|
|
|
Kelompok |
0 |
5 |
0.4200 |
0.91210 |
|
Severity Measure for Specific Phobia- Adult |
Pre-Test |
Gabungan |
42 |
90 |
67.9385 |
13.66984 |
|
|
Individu |
73 |
90 |
80.5667 |
5.47523 |
|
|
|
Kelompok |
42 |
90 |
64.1500 |
13.11054 |
|
|
Post-Test |
Gabungan |
9 |
54 |
13.1846 |
8.47686 |
|
|
|
|
Individu |
9 |
15 |
9.6333 |
1.51960 |
|
|
|
Kelompok |
9 |
54 |
14.2500 |
9.38016 |
Tabel 2. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed-Rank Test
|
|
|
Sesi Individu |
|
|
|
Alat Ukur |
Asymp. Sig. |
Z/ Wilcoxon |
Mean Pre-test |
Mean Post-test |
|
SUD |
0.001 |
-4.898 |
9.3667 |
0.667 |
|
Severity Measure for Specific Phobia-Adult |
0.001 |
-4.787 |
80.5667 |
9.6333 |
|
|
|
Sesi Kelompok |
|
|
|
Alat Ukur |
Asymp. Sig. |
Z/Wilcoxon |
Mean Pre-test |
Mean Post-test |
|
SUD |
0.001 |
-8.718 |
8.1300 |
0.4200 |
|
Severity Measure for Specific Phobia-Adult |
0.001 |
-8.683 |
64.1500 |
14.2500 |
Tabel 3. Hasil analisis statistik Mann Whitney-U
|
Alat ukur |
Asymp. Sig. |
U (Mann-Whitney U) |
Mean Sesi Individu |
Mean Sesi Kelompok |
|
SUD |
0.014 |
1194.500 |
55.32 |
68.56 |
|
Severity Measure for Specific Phobia-Adult |
0.003 |
1020.500 |
49.52 |
70.30 |
Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil uji analisis Wilcoxon Signed-Rank Test, yaitu terdapat perbedaan signifikan antara hasil pre-test dan post-test di mana kedua alat ukur memiliki p = 0.001 (p<0.05). Pada sesi individu, alat ukur SUD menunjukkan perbedaan signifikan skor antara pengukuran pre-test (M = 9.3667) dengan pengukuran post-test (M = 0.667) (Z = -4.898). Hasil uji statistik Wilcoxon Signed-Rank Test pada alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult sesi individu, memiliki hasil konsisten dengan SUD, di mana terdapat perbedaan signifikan skor antara pengukuran pre-test (M = 80.5667) dengan pengukuran post-test (M = 9.6333) (Z = -4.787).
Pada sesi kelompok, alat ukur SUD memberikan hasil perbedaan signifikan skor pengukuran pre-test (M = 8.1300) dengan pengukuran post-test (M = 0.4200) (Z = -8.718). Hasil ini konsisten dengan hasil tes alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult yang mengalami penurunan skor secara signifikan dari pre-test (M = 64.1500) ke post-test (M = 14.2500) (Z = -8.683).
Pada Tabel 3 dapat dilihat hasil uji Mann Whitney-U pada kedua alat ukur memiliki hasil ppost-test antara sesi individu dan sesi kelompok. Hasil uji pada SUD The Heart Technique, ditemukan ada perbedaan signifikan skor antara sesi individu (Mdn = 55.32) dengan sesi kelompok (Mdn = 68.56) (U = 1194.500, p = 0.014). Adapun hasil uji pada Severity Measure for Specific Phobia-Adult juga memberikan hasil konsisten dengan SUD, yaitu ada perbedaan signifikan skor antara sesi individu (Mdn = 49.52) dengan sesi kelompok (Mdn = 70.30) (U = 1020.500, p = 0.003, p < 0,05). Dengan demikian, hipotesis tidak ada perbedaan keefektifan terapi The Heart Technique pada sesi kelompok dan individual, ditolak. Dilihat dari nilai mean, sesi individu lebih efektif dibandingkan dengan sesi kelompok.
Penelitian ini juga membandingkan frekuensi emosi partisipan terhadap objek atau situasi fobia (Tabel 4), frekuensi wilayah tubuh merasakan sensasi emosi (Tabel 5), dan frekuensi simtom fisik (Tabel 6) yang dapat dilihat pada lampiran. Pada setiap tabel dapat dilihat penurunan frekuensi yang signifikan yang dilaporkan para partisipan dan bahkan banyak tipe emosi, sensasi di wilayah tubuh, maupun simtom fisik yang sebelumnya dirasakan karena fobia, seusai sesi intervensi sudah tidak lagi dirasakan dan dialami oleh para partisipan.
4. Diskusi
Hasil uji Wilcoxon Signed-Rank Test menerima hipotesis pertama (p = 0.001; p < 0.05). Hasil pengujian menunjukkan terdapat penurunan skor tingkat keparahan fobia spesifik secara signifikan ketika membandingkan skor pre-test dan post-test.
Pada sesi individu, skor rata-rata pre-test SUD adalah 9.3667, di mana skor pre-test SUD tersebut termasuk kategori sangat parah dan mendekati batas skor tertinggi yaitu 10. Kemudian skor rata-rata pada post-test menjadi 0.667 yang mendekati batas skor terendah yaitu 0, termasuk dalam kategori bukan fobia atau netral. Hasil perubahan skor SUD sesi individu konsisten dengan alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult. Skor rata-rata pre-test sesi individu alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult adalah 80.5667, termasuk dalam kategori sangat parah, mendekati nilai skor tertinggi yaitu 90. Kemudian skor rata-rata partisipan menurun, dengan perubahan rata-rata Severity Measure for Specific Phobia-Adult di post-test menjadi 9.6333, yang mendekati batas skor terendah yaitu 9, termasuk dalam kategori bukan fobia atau netral.
Pada sesi kelompok, skor rata-rata pre-test SUD adalah 8.1300, termasuk kategori sangat parah karena skor tersebut mendekati skor 10 yang merupakan batas skor tertinggi. Kemudian setelah sesi intervensi, perubahan skor dapat terlihat secara langsung, dengan perubahan rata-rata SUD di post-test menjadi 0.4200, termasuk dalam kategori bukan fobia atau netral. Skor ini mendekati batas skor terendah yaitu 0. Sama dengan pada sesi individu, hasil alat ukur SUD konsisten dengan alat ukur Severity Measure for Specific Phobia-Adult. Skor rata-rata pre-test Severity Measure for Specific Phobia-Adult sesi kelompok adalah 64.1500, termasuk dalam kategori parah. Skor rata-rata pada post-test menjadi 14.2500, termasuk dalam kategori bukan fobia atau netral.
Hasil skor post-test sesi individu dan sesi kelompok, pada alat ukur SUD dan Severity Measure for Specific Phobia-Adult menunjukkan hasil rata-rata partisipan termasuk dalam kategori bukan fobia. Hasil pengukuran ini dapat memberikan kesimpulan yaitu The Heart Technique yang dilakukan secara daring efektif mengatasi fobia spesifik.
The Heart Technique efektif dilakukan secara daring (online), dapat dijelaskan oleh tiga alasan: Pertama, di awal sesi intervensi dimulai, terapis memberikan penjelasan mengenai fobia, The Heart Technique, dan cara The Heart Technique bekerja untuk menyelesaikan fobia. Penjelasan ini membantu partisipan untuk memahami dan membangun cara pandang yang tepat terkait fobia, penyebab fobia, proses yang akan dijalani, dan hasil yang akan dicapai dengan menggunakan The Heart Technique. Terapis menganalogikan fobia sebagai sebuah beban yang dapat dilepaskan dengan mudah di sesi intervensi ini. Kedua, terapis memberikan instruksi yang jelas dan contoh-contoh secara langsung untuk diikuti. Ketiga, terapis menanyakan kondisi diri partisipan selama sesi intervensi berlangsung. Terakhir, terapis juga memberikan sesi tanya-jawab untuk memastikan partisipan memahami instruksi dan perihal terkait The Heart Technique.
Edukasi tentang kondisi fobia yang dialami dan juga bagaimana The Heart Technique dapat membantu kondisi peserta bersifat terapeutik. Pencapaian edukasi yang telah dilakukan pada penelitian ini dapat dijelaskan oleh manfaat dari psikoedukasi. Psikoedukasi dapat meningkatkan secara positif kondisi yang dialami individu, menurunkan stigma yang dibuat pada diri sendiri, membuat individu mau mengikuti rangkaian intervensi, dan meningkatkan keterlibatan individu dalam penanganan kondisi yang dialaminya (Motlova et al., 2017). Partisipan yang mendapatkan pengetahuan baru dapat meningkatkan ekspektasi dirinya untuk sembuh.
Keberhasilan The Heart Technique menurunkan tingkat keparahan fobia baik pada sesi individu maupun kelompok disebabkan proses yang terjadi pada setiap partisipan adalah sama. Proses ini berlangsung di pikiran bawah sadar, di mana The Heart Technique mengaktifkan memori beserta emosi yang menjadi penyebab fobia ketika partisipan membayangkan atau mengingat objek atau situasi fobia yang dialaminya, dan kemudian emosi tersebut dinetralisir. Ketika emosi negatif dinetralisir, memori yang tadinya membuat individu merasakan emosi negatif (fobia) berubah menjadi netral. Selain itu, teknik terapi ini sesungguhnya dilakukan partisipan pada diri mereka sendiri dengan mengikuti tuntunan terapis, bukan dilakukan terapis terhadap partisipan, sehingga partisipan memiliki peran aktif untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Keberhasilan The Heart Technique tidak berhenti pada penurunan skor yaitu dengan membandingkan nilai pre-test dan post-test. Efek keberhasilan teknik terapi ini juga dapat dilihat dari partisipan yang melaporkan perubahan tipe emosi (Tabel 4), wilayah tubuh yang merasakan emosi (Tabel 5), dan simtom fisik (Tabel 6) ketika membayangkan objek atau situasi fobia yang dialaminya saat pre-test dan post-test. Pada Tabel 4 dapat dilihat dari 28 jenis emosi negatif yang dirasakan menjadi tersisa 8 jenis pada post-test dengan jumlah partisipan yang melaporkan menurun drastis. Selain itu, hasil post-test juga menunjukkan terdapat 117 partisipan yang melaporkan merasa netral terhadap objek atau situasi fobia mereka dan disertai emosi positif. Sebagai contoh pada hasil pre-test para partisipan melaporkan tipe emosi yang paling banyak dirasakan adalah cemas (98 orang) dan di post-test menjadi tersisa hanya 8 orang yang merasakannya, emosi ngeri dari 75 partisipan menjadi tersisa 1 partisipan, merasa tidak berdaya dari 57 partisipan menjadi 0 partisipan, dan masih banyak lagi perubahan yang dialami partisipan.
Perubahan pada aspek emosi dari negatif menjadi netral terhadap fobia dapat dijelaskan menggunakan teori- teori pembentuk The Heart Technique. Pertama, teori ego personality, instruksi di dalam protokol The Heart Technique mampu dengan tepat mengaktifkan ego personality yang memegang informasi, memori kejadian, dan seluruh emosi partisipan terhadap fobia yang dialaminya. Dengan ego personality tersebut aktif, maka terapis mengetahui fobia yang ingin disembuhkan dan diselesaikan telah tepat sasaran (Daharnis et al, 2021). Kedua, instruksi The Heart Technique untuk mengingat kejadian fobia tersebut, membuat reseptor yang terletak di sistem meridian menjadi lebih rentan untuk diintervensi. Dengan reseptor menjadi reseptif dan titik akupuntur K27 (kidney-27) diketuk berulang kali, memberikan efek depotensiasi terhadap reseptor pada jalur saraf yang memunculkan emosi negatif dan mengakibatkan emosi negatif ternetralisir (Hui et al, 2000; Eden & Feinstein, 2006; Feinstein, 2008).
Ketiga, teknik ini memanfaatkan fungsi proteksi pikiran bawah sadar yaitu bekerja untuk memproteksi diri individu dari segala hal yang dipikirkan, dipersepsikan, dirasa, dipercaya, diasumsikan, dan diyakini merugikan atau membahayakan diri individu baik dari sisi pikiran maupun fisik (Banyan & Kein, 2001; Erickson, 2005; Gunawan, 2018b; Tebbetts, 1987). Melalui penyusunan pertanyaan dalam protokol The Heart Technique yang sedemikian rupa, yang merupakan bagian dari Tahapan (3) Priming the Subconscious for Change, teknik ini meningkatkan motivasi pikiran bawah sadar untuk merubah situasi individu, yaitu sembuh dari fobia yang dialaminya. Terakhir pada Tahapan (5) Pelepasan Emosi, menggunakan perpaduan metafora dan sistem meridian. The Heart Technique menetralisir seluruh emosi baik pada lokasi primer maupun sekunder (Gunawan, 2018b). Lokasi primer adalah lokasi wilayah tubuh yang merasakan emosi, yang dilaporkan di pre-test oleh para partisipan. Adapun lokasi sekunder merupakan lokasi emosi yang sebelumnya tidak disadari dimiliki oleh partisipan.
Hasil intervensi dengan The Heart Technique juga memberikan perubahan pada wilayah tubuh yang merasakan sensasi emosi oleh partisipan, yang dapat dilihat pada Tabel 5. Sebanyak 101 dari 130 partisipan penelitian ini melaporkan tidak merasakan sensasi di wilayah tubuh manapun setelah menjalani sesi intervensi. Sebanyak 29 partisipan lainnya masih melaporkan merasakan sensasi di beberapa wilayah tubuh. Perbandingan data pre-test dan post-test adalah sebagai berikut: 76 partisipan melaporkan merasakan sensasi di wilayah dada saat pre-test dan data post-test menyatakan hanya tersisa 7 partisipan. Area kepala dari 60 partisipan menjadi tersisa 9 partisipan, area kaki dari 47 partisipan menjadi tersisa 3 partisipan, dan masih banyak lagi perubahan pada wilayah tubuh.
Selanjutnya, melihat pada Tabel 6, perubahan jumlah partisipan yang melaporkan simtom fisik adalah sebagai berikut: Jantung berdebar dari 93 partisipan menjadi tersisa 10 partisipan, gemetar dari 60 partisipan menjadi tersisa 3 partisipan, napas memburu dari 49 partisipan menjadi 0 partisipan, mau menangis dari 40 partisipan menjadi 0 partisipan, dan masih banyak tipe simtom fisik lainnya yang partisipan menyatakan tidak merasakannya setelah melalui sesi intervensi di post-test.
Simtom fisik, atau sensasi fisik, adalah bentuk dari keberadaan emosi, dengan intensitas tertentu, yang tinggal di wilayah tubuh tertentu (Levine & Frederick, 1997; Nummenmaa et al., 2014). Intensitas sensasi yang dirasakan di tubuh berjalan sebanding dengan intensitas emosi yang dirasakan oleh individu (Nummenmaa et al., 2018). Semakin intens emosi yang dirasakan, semakin kuat sensasi yang dirasakan di tubuh individu. Semakin rendah intensitas emosi, maka semakin pudar sensasi yang dirasakan di tubuh. Maka, ketika partisipan melaporkan intensitas emosi sudah menurun hingga menjadi nol, partisipan tidak akan merasakan sensasi di tubuh mereka (Nummenmaa et al., 2014).
Terdapat dua alasan yang menjelaskan mengapa partisipan masih melaporkan merasakan sensasi di tubuh, meskipun intensitas emosi terhadap fobia telah menjadi nol. Pertama, bagian tubuh partisipan sedikit lebih lambat untuk melepas “sisa” sensasi di tubuh fisik, dan ini wajar tergantung keunikan setiap individu. Solomon dan Kohn (2014) menjelaskan durasi adaptasi, adaptor merekrut classical receptive field dan sinyal normalisasi, antar individu dapat berbeda. Maka, “sisa” sensasi fisik tersebut akan pudar dengan sendirinya dalam beberapa menit atau jam kemudian. Alasan kedua adalah karena di lokasi fisik tersebut tinggal lebih dari satu macam emosi (Nummenmaa et al., 2014), baik yang berasal dari fobia atau dari pengalaman traumatik lainnya. Nesting (bersarang) adalah kondisi di mana beberapa emosi tinggal di satu tempat di wilayah tubuh. Ketika partisipan mengaktifkan emosi di wilayah tersebut, partisipan dapat secara tidak sengaja mengaktifkan emosi lain yang tinggal di wilayah tubuh yang sama. Emosi-emosi lain tersebut yang menyebabkan partisipan masih merasakan sensasi fisik walaupun intensitas emosi terhadap fobia sudah dinetralisir dengan The Heart Technique.
Keefektifan The Heart Technique ketika diaplikasikan secara daring terhadap fobia spesifik, menjadi salah satu nilai kelebihan teknik ini. The Heart Technique merupakan teknik intervensi yang efektif, cepat dan mudah dipraktikkan secara daring, bagi pengguna. Hasil penelitian The Heart Technique efektif diaplikasikan secara daring ini dapat menjadi referensi untuk pembahasan teknik intervensi berbasis daring untuk mengatasi fobia, karena selama ini tidak banyak ditemukan data dan pembahasan terkait. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Mor et al., 2021; Peñate & Fumero, 2015; Rondung et al., 2018) yang menyatakan teknik terapi berbasis psikologi berbasis internet dapat dengan efektif membantu menyelesaikan kondisi fobia spesifik.
Meneliti lebih jauh, berikut penjelasan keefektifan The Heart Technique pada partisipan sesi individu dan kelompok. Analisis uji statistik deskriptif pada Tabel 1 menunjukkan rata-rata skor sesi individu dan kelompok pada pre-test ketika dibandingkan dengan hasil post-test menurun secara signifikan. Dengan demikian dapat disimpulkan, The Heart Technique efektif membantu dalam menyembuhkan fobia yang dialami para partisipan baik dari sesi individu maupun kelompok.
Keefektifan The Heart Technique ini dapat dilihat pada sesi individu dan kelompok, akan tetapi hasil uji Mann Whitney U memberikan hasil uji hipotesis p < 0.05, baik untuk alat ukur SUD (p = 0.014) maupun Severity Measure for Specific Phobia-Adult (p = 0.003). Hasil uji hipotesis ini menolak hipotesis kedua, yang berarti terdapat perbedaan keefektifan terapi The Heart Technique pada sesi individu dan kelompok. Meskipun hipotesis kedua penelitian ini ditolak, The Heart Technique terbukti efektif menyelesaikan dan/ atau menurunkan tingkat keparahan fobia pada sesi kelompok.
Perbedaan hasil sesi individu dan kelompok dapat dijelaskan oleh tantangan yang muncul pada sesi kelompok. Peneliti telah mencoba meminimalisir situasi yang berada di luar kontrol peneliti, seperti dengan memberikan pemberitahuan proses intervensi membutuhkan ruangan yang tenang dan tidak terganggu, sebelum sesi intervensi dilakukan. Namun, terdapat tiga tantangan yang dihadapi pada sesi kelompok. Ketiga tantangan ini sesuai dengan penjelasan Weinberg (2020) yang menyatakan sesi kelompok yang dilakukan secara daring memiliki tantangan tersendiri.
Pertama, setiap partisipan memiliki situasi tempat tinggal yang bervariasi. Kedua, partisipan merasa kurang mendapatkan eye-to-eye contact atau kontak mata antara partisipan dan terapis. Terakhir, peserta cenderung tidak berpartisipasi atau tidak aktif dalam sesi intervensi. Dampak dari tantangan ini adalah partisipan terdistraksi karena kondisi rumah yang kurang kondusif, beberapa partisipan tidak berpartisipasi aktif selama sesi intervensi berlangsung yang dapat dilihat dari kamera yang tidak dinyalakan ataupun tidak menjawab pertanyaan terapis selama sesi intervensi berlangsung. Berdasarkan laporan, partisipan terdistraksi karena lingkungan di rumah, membuat mereka tidak dapat mengikuti dengan penuh protokol The Heart Technique. Partisipan tidak aktif selama proses intervensi memberikan dampak terapis tidak dapat membantu partisipan jika mereka tidak mengikuti dengan benar rangkaian sesi intervensi ataupun jika partisipan salah mengerti instruksi yang diberikan.
Terakhir, beberapa partisipan melaporkan merasa ragu terhadap The Heart Technique yang dilakukan secara singkat namun efektif mengatasi fobia yang dialaminya. Para partisipan menyatakan rasa ragu terhadap The Heart Technique ini disebabkan para partisipan telah membawa beban emosi, fobia ini, selama bertahun-tahun, sedangkan hanya dalam waktu singkat The Heart Technique dapat membantu menghilangkannya. Perasaan ragu tersebut memberikan dampak partisipan berpikir kalau mereka masih merasakan emosi negatif terhadap fobia yang dialaminya. Sebagai contoh, salah satu partisipan menyatakan ia merasa nyaman dengan kondisi fobia dialaminya dan ingin menurunkan SUD-nya hanya hingga skala SUD 2 dari 10. Meskipun terapis memberikan penilaian bahwa ini dapat diturunkan hingga skala SUD 0 (netral), namun terapis menghargai keinginan partisipan. Peneliti melakukan konfirmasi pada para partisipan yang menyatakan ragu dan mendapatkan hasil dari aspek simtom fisik maupun sensasi yang dirasakan di wilayah tubuh tertentu pada pre-test, sudah tidak dirasakan lagi setelah partisipan menjalani sesi intervensi. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa para partisipan bukan ragu terhadap hasil intervensi, namun lebih termasuk bingung dan/ atau sulit percaya dan menerima kenyataan fobia yang dialami bertahun-tahun dapat disembuhkan dalam waktu 20 hingga 30 menit saja.
Oleh karena itu, The Heart Technique memiliki kelemahan yaitu pengguna teknik ini bila tidak percaya dapat mengatasi masalahnya, merasa ketika menggunakan teknik ini terlalu mudah untuk membawakan perubahan, atau teknik ini terlalu mudah untuk mengatasi permasalahan, akan melaporkan tidak sepenuhnya sembuh dari permasalahan yang dimilikinya. Begitu juga dengan pengguna teknik ini yang tidak memiliki niat dan keinginan untuk mengatasi permasalahan yang dialami, maka perubahan atau proses penyembuhan yang diterima tidak akan maksimal. Terakhir, kelemahan dari The Heart Technique adalah apabila pengguna teknik ini memiliki kendala kesehatan pada area tangan, seperti cedera, terkilir, keseleo, atau patah, maka mereka akan kesulitan mengikuti gerakan tertentu yang menjadi bagian dari teknik ini, sebagai contoh di Tahap (2) OverEnergy Correction, Reset Jalur Energi, & Tracing.
5. Kesimpulan
The Heart Technique adalah teknik terapi alternatif yang dapat diaplikasikan untuk mengatasi permasalahan emosional, termasuk kelima kategori fobia spesifik, dengan cepat dan mudah. Aplikasi The Heart Technique efektif digunakan secara online (daring) dan menyembuhkan fobia hanya dengan satu sesi intervensi. Kesimpulan ini dapat dilihat dari hasil uji statistik perbadingan rata-rata skor partisipan di pre-test dengan skor post-test setelah diberikan teknik intervensi The Heart Technique menurun secara drastis (p = 0.001; p < 0.05). Penurunan skor ini terjadi pada seluruh partisipan sesi individu dan sesi kelompok, baik pada alat ukur SUD dan juga Severity Measure for Specific Phobia-Adult. Mengikuti lima tahap The Heart Technique, emosi-emosi negatif yang dirasakan ketika berhadapan dengan objek atau situasi fobia yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar individu diaktifkan dan kemudian dinetralisir. Dengan emosi telah menjadi netral, maka sensasi fisik yang dulunya juga muncul ketika berhadapan dengan objek atau situasi fobia, tidak akan dirasakan lagi. Inti cara kerja The Heart Technique adalah partisipan berperan aktif dalam proses terapi. Oleh karena itu, teknik terapi ini dapat diaplikasikan secara efektif pada proses daring baik pada sesi individu maupun kelompok. The Heart Technique dapat digunakan sebagai pilihan teknik terapi yang efektif untuk membantu permasalahan emosi, seperti fobia spesifik.
Saran pada penelitian selanjutnya adalah untuk mengambil data follow up agar mengetahui konsistensi hasil terapi. Penelitian selanjutnya juga dapat mengaplikasikan The Heart Technique ini pada gangguan emosional lainnya, baik terhadap emosi negatif maupun terhadap emosi positif. Keterbatasan penelitian ini adalah penelitian ini tidak melakukan follow-up terhadap kondisi diri para partisipan seusai sesi intervensi selesai, sehingga tidak ada data terkait konsistensi hasil terapi antar waktu dan uji efek terapeutik. Selain itu, penelitian ini dilakukan secara online atau daring sehingga peneliti tidak dapat mengontrol situasi ruangan setiap partisipan dan ini memberikan pengaruh pada hasil terapi.
6. Referensi
LAMPIRAN
Tabel 4. Frekuensi emosi partisipan terhadap objek atau situasi fobia
|
Emosi |
Pre-Test |
|
Post-Test |
|
|
|
|
|
Frekuensi |
Persentase |
Frekuensi |
Persentase |
|
1 |
Cemas |
98 |
17.10% |
8 |
3.64% |
|
2 |
Ngeri |
75 |
13.09% |
1 |
0.45% |
|
3 |
Merasa tidak berdaya |
57 |
9.95% |
0 |
0% |
|
4 |
Tertekan |
53 |
9.25% |
2 |
0.91% |
|
5 |
Jijik |
45 |
7.85% |
9 |
4.09% |
|
6 |
Frustasi |
38 |
6.63% |
1 |
0.45% |
|
7 |
Takut |
37 |
6.46% |
3 |
1.36% |
|
8 |
Kesal |
27 |
4.71% |
0 |
0% |
|
9 |
Jengkel |
24 |
4.19% |
0 |
0% |
|
10 |
Sedih |
23 |
4.01% |
0 |
0% |
|
11 |
Benci |
22 |
3.84% |
1 |
0.45% |
|
12 |
Capek |
19 |
3.32% |
3 |
1.36% |
|
13 |
Sebal |
17 |
2.97% |
0 |
0% |
|
14 |
Muak |
11 |
1.92% |
0 |
0% |
|
15 |
Marah |
7 |
1.22% |
0 |
0% |
|
16 |
Panik |
7 |
1.22% |
0 |
0% |
|
17 |
Malu |
3 |
0.52% |
0 |
0% |
|
18 |
Kaget |
2 |
0.35% |
0 |
0% |
|
19 |
Berdosa |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
20 |
Curiga |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
21 |
Gelisah |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
22 |
Ingin menghancurkannya |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
23 |
Kecewa |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
24 |
Menyesal |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
25 |
Tegang |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
26 |
Waspada |
1 |
0.17% |
0 |
0% |
|
27 |
Lega/ plong/tidak ada beban lagi |
0 |
0% |
43 |
19.55% |
|
28 |
Senang/bahagia/hati enak |
0 |
0% |
12 |
5.45% |
|
29 |
Damai/nyaman/relax/tenang |
0 |
0% |
8 |
3.64% |
|
30 |
Ragu |
0 |
0% |
5 |
2.27% |
|
31 |
Percaya diri/berani menghadapi objek atau situasi fobia |
0 |
0% |
5 |
2.27% |
|
32 |
Semangat |
0 |
0% |
1 |
0.45% |
|
33 |
Terharu |
0 |
0% |
1 |
0.45% |
|
34 |
Tidak merasakan emosi negatif |
0 |
0% |
117 |
53.18% |
|
|
Total |
573 |
100% |
220 |
100% |
Tabel 5. Frekuensi wilayah tubuh merasakan sensasi emosi
|
Wilayah Tubuh |
Pre-Test |
|
Post-Test |
|
|
|
|
|
Frekuensi |
Persentase |
Frekuensi |
Persentase |
|
1 |
Dada |
76 |
20.82% |
7 |
4.61% |
|
2 |
Kepala |
60 |
16.44% |
9 |
5.92% |
|
3 |
Kaki |
47 |
12.88% |
3 |
1.97% |
|
4 |
Tangan |
46 |
12.60% |
7 |
4.61% |
|
5 |
Perut |
45 |
12.33% |
7 |
4.61% |
|
6 |
Leher |
38 |
10.41% |
7 |
4.61% |
|
7 |
Pundak |
29 |
7.95% |
7 |
4.61% |
|
8 |
Punggung |
13 |
3.56% |
2 |
1.32% |
|
9 |
Hati |
2 |
0.55% |
1 |
0.66% |
|
10 |
Hidung |
2 |
0.55% |
0 |
0% |
|
11 |
Telinga |
2 |
0.55% |
0 |
0% |
|
12 |
Lengan |
1 |
0.27% |
1 |
0.66% |
|
13 |
Lutut |
1 |
0.27% |
0 |
0% |
|
14 |
Mulut |
1 |
0.27% |
0 |
0% |
|
15 |
Tenggorokan |
1 |
0.27% |
0 |
0% |
|
16 |
Tumit |
1 |
0.27% |
0 |
0% |
|
17 |
Tidak merasakan apapun |
1 |
0% |
101 |
66.45% |
|
Total |
365 |
100% |
152 |
100% |
Tabel 6. Frekuensi simtom fisik
|
Simtom Fisik |
Pre-Test |
|
Post-Test |
|
|
|
|
|
Frekuensi |
Persentase |
Frekuensi |
Persentase |
|
1 |
Jantung berdebar |
93 |
24.09% |
10 |
7.09% |
|
2 |
Gemetar |
60 |
15.54% |
3 |
2.13% |
|
3 |
Tangan/kaki/badan terasa dingin |
51 |
13.21% |
5 |
3.55% |
|
4 |
Napas memburu |
49 |
12.69% |
0 |
0% |
|
5 |
Mau menangis |
40 |
10.36% |
0 |
0% |
|
6 |
Keringat dingin |
34 |
8.81% |
0 |
0% |
|
7 |
Mual/mau muntah |
28 |
7.25% |
2 |
1.42% |
|
8 |
Merinding |
8 |
2.07% |
2 |
1.42% |
|
9 |
Gatal |
4 |
1.04% |
0 |
0% |
|
10 |
Lemas |
4 |
1.04% |
0 |
0% |
|
11 |
Sesak Napas |
4 |
1.04% |
0 |
0% |
|
12 |
Pusing |
3 |
0.78% |
2 |
1.42% |
|
13 |
Perut tidak nyaman |
2 |
0.52% |
1 |
0.71% |
|
14 |
Tangan/kaki/badan terasa kaku |
2 |
0.52% |
1 |
0.71% |
|
15 |
Tegang |
2 |
0.52% |
0 |
0% |
|
16 |
Konsentrasi berkurang |
1 |
0.26% |
0 |
0% |
|
17 |
Mata bergetar |
1 |
0.26% |
0 |
0% |
|
18 |
Badan ringan & enak |
0 |
0% |
2 |
1.42% |
|
19 |
Terharu/Menangis lega |
0 |
0% |
2 |
1.42% |
|
20 |
Tidak ada simtom fisik |
0 |
0% |
111 |
78.72% |
|
|
Total |
386 |
100% |
141 |
100% |

Kecemasan bukan sekadar rasa takut tanpa alasan atau akibat dari “ketidakseimbangan kimia otak”. Ia merupakan hasil interaksi kompleks antara pengalaman emosional, cara otak memproses stres, dan program bawah sadar yang terbentuk dari pengalaman masa lalu (McEwen, 2007; McEwen & Morrison, 2013).
Dalam pandangan neurosains modern dan hipnoterapi klinis, kecemasan muncul ketika terjadi ketidakharmonisan antara sistem limbik dan korteks prefrontal. Sistem limbik berperan sebagai pusat deteksi bahaya dan reaksi emosional, sedangkan korteks prefrontal (PFC) berfungsi mengatur emosi dan berpikir rasional. Saat stres berlangsung lama, keseimbangan antara keduanya terganggu, dan sistem emosional mengambil alih kendali (McEwen & Morrison, 2013; Herman & Tasker, 2016).
Pengalaman, stres, dan emosi terbukti mengubah kimia, struktur, dan fungsi otak (McEwen & Morrison, 2013). Inilah sebabnya mengapa kecemasan dapat bertahan lama meski ancaman sudah berlalu, otak membentuk pola respons baru yang terus aktif bahkan tanpa stimulus eksternal.
Otak dalam Mode Siaga: Aktivasi Poros HPA
Ketika seseorang menghadapi peristiwa traumatis seperti kehilangan, penolakan, atau tekanan berat, amigdala, pusat deteksi bahaya di otak, segera mengaktifkan hipotalamus dan memulai reaksi stres melalui poros HPA (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal) serta sistem saraf otonom.
Prosesnya berlangsung sebagai berikut:
1. Hipotalamus melepaskan corticotropin-releasing hormone (CRH).
2. Kelenjar pituitari menanggapi dengan melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH).
3. Kelenjar adrenal memproduksi kortisol dan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) melalui aktivasi sistem simpatis.
Hormon-hormon ini menjaga tubuh tetap waspada menghadapi ancaman. Namun, jika aktivasi ini berlangsung terus-menerus, poros HPA menjadi hiperaktif dan tubuh hidup dalam kondisi siaga berkepanjangan. McEwen (2007) menyebut kondisi ini sebagai allostatic load, kelelahan sistem stres akibat paparan berulang tanpa pemulihan, yang menimbulkan perubahan struktural dan fungsional di amigdala, hipokampus, dan PFC (Herman & Tasker, 2016).
Dalam keadaan ini, amigdala menjadi terlalu sensitif, sementara PFC kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan emosi. Pikiran pun menjadi tidak stabil, sulit fokus, mudah terganggu, dan terus berputar memikirkan bahaya yang belum tentu nyata.
Disregulasi Neurotransmiter: Serotonin, GABA, dan Norepinefrin
Stres kronis menimbulkan perubahan kompleks pada sistem neurotransmiter otak. Aktivitas serotonin dan GABA, dua neurotransmiter yang berperan menenangkan sistem saraf, cenderung menurun, sementara aktivitas norepinefrin dan dopamin meningkat di wilayah-wilayah otak yang terlibat dalam kewaspadaan dan respons terhadap ancaman, terutama di korteks prefrontal dan sistem limbik (Savitz, Lucki, & Drevets, 2009; Arnsten, 2015; Liu et al., 2014).
Perubahan-perubahan ini menyebabkan sistem limbik menjadi hiperreaktif, sedangkan PFC melemah. Akibatnya, individu sulit memusatkan perhatian, mudah terdistraksi, dan rentan terjebak dalam pola pikir negatif berulang.
Peran SSRI dan Batasannya
Dalam praktik medis, dokter sering meresepkan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) untuk menstabilkan sistem serotonin. Obat ini membantu menurunkan aktivitas amigdala terhadap stimulus negatif dan menormalkan keseimbangan suasana hati (Schuyler et al., 2012). Penelitian pencitraan otak (neuroimaging) juga menunjukkan bahwa SSRI menurunkan hiperaktivitas amigdala pada individu dengan gangguan kecemasan dan depresi (Arnone et al., 2020).
Namun, farmakoterapi hanya menyentuh lapisan biologis, bukan akar emosional. Akar kecemasan yang bersumber dari memori emosional bawah sadar tetap memerlukan penyembuhan melalui pendekatan psikoterapeutik yang menjangkau lapisan emosi terdalam.
Trauma, Emosi yang Tertahan, dan Program Bawah Sadar
Dalam pendekatan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis yang dikembangkan oleh Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), trauma tidak dianggap sebagai peristiwa masa lalu semata, tetapi sebagai program emosional aktif di pikiran bawah sadar.
Emosi seperti takut, marah, kecewa, atau kehilangan tersimpan dalam sistem limbik dan membentuk emotional memory. Saat individu menghadapi situasi yang mirip, amigdala memicu kembali respons bahaya yang sama.
Semakin sering siklus ini berulang, kadar kortisol meningkat, dan kemampuan berpikir rasional menurun. Akibatnya, muncul gejala seperti kecemasan kronis, mudah lupa, dan kelelahan mental (McEwen, 2007; Sousa & Almeida, 2012).
Beberapa individu memiliki kerentanan biologis bawaan yang dikaitkan dengan peningkatan kecenderungan sifat cemas (Lesch et al., 1996) dan, dalam sebagian penelitian, berperan sebagai moderator antara paparan stres kehidupan dan timbulnya gejala depresi (Caspi et al., 2003), meskipun hasil tersebut tidak selalu konsisten pada meta-analisis berikutnya (Risch et al., 2009).
Saat Cemas, Pikiran Menjadi Tidak Tenang
Ketika amigdala terlalu aktif dan PFC melemah, kemampuan berpikir logis menurun. Seseorang menjadi:
• Sulit fokus dan berkonsentrasi,
• Mudah terdistraksi,
• Terjebak dalam overthinking,
• Sulit membuat keputusan dengan tenang.
Studi menunjukkan bahwa kecemasan, melalui gangguan kendali perhatian (attentional control), menurunkan efisiensi dan, pada kondisi tertentu, efektivitas kinerja memori kerja (working memory), karena perhatian mudah teralihkan oleh sinyal ancaman (Eysenck et al., 2007; Owens et al., 2012). Dalam kondisi ini, otak cenderung beroperasi dalam mode bertahan hidup, bukan mode reflektif.
Jalan Pemulihan: Integrasi Biologis dan Psikologis
Otak manusia bersifat plastis; ia dapat menata ulang koneksi saraf melalui pengalaman dan kesadaran baru (McEwen & Morrison, 2013). Pemulihan kecemasan yang efektif memerlukan dua arah:
1. Pendekatan biologis, seperti penggunaan SSRI, latihan pernapasan, tidur cukup, dan teknik relaksasi untuk menurunkan aktivitas poros HPA serta menyeimbangkan sistem saraf (Herman & Tasker, 2016).
2. Pendekatan psikologis, seperti hipnoterapi berbasis hipnoanalisis yang membantu klien mengakses pikiran bawah sadar, melepaskan emosi yang tertahan, dan membangun makna baru atas pengalaman masa lalu.
Setelah muatan emosional diproses, sistem limbik menjadi tenang, poros HPA kembali stabil, dan keseimbangan neurokimia pun pulih secara alami.
Pulih Seutuhnya
Kecemasan bukan tanda kelemahan, melainkan pesan dari tubuh dan pikiran bahwa sistem sedang mencari keseimbangan. Ketika seseorang mulai menyadari, memproses, dan menyembuhkan akar emosinya, aktivasi HPA menurun, amigdala stabil, dan korteks prefrontal kembali aktif. Pikiran menjadi lebih jernih, fokus meningkat, dan rasa aman tumbuh dari dalam diri.
Pulih seutuhnya tidak lahir dari obat semata, tetapi dari keselarasan antara pikiran sadar, bawah sadar, dan tubuh biologis. Inilah esensi penyembuhan sebagaimana diajarkan dalam program pendidikan hipnoterapis profesional Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH): menyatukan psikologi kedalaman (depth psychology), neurosains, dan kesadaran dalam satu proses transformasi yang utuh.
Referensi:

Dalam salah satu penelitian yang menarik tentang self-affirmation, para peserta diminta melakukan sesuatu yang sangat sederhana, namun bermakna: mengingat kembali satu pengalaman pribadi yang berhubungan dengan nilai hidup (value) yang penting bagi mereka.
Nilai ini bisa berupa kejujuran, kasih sayang, tanggung jawab, kreativitas, atau bentuk lain dari makna yang mereka pegang teguh dalam hidup.
Instruksi yang diberikan berbunyi: “Pikirkan satu pengalaman yang pernah Anda alami yang melibatkan nilai (value) Anda.”
Setelah itu, peserta diminta untuk membayangkan diri mereka berada di dalam pengalaman itu kembali, melihat, mendengar, dan merasakan setiap detail yang muncul. Mereka diajak mengingat kapan peristiwa itu terjadi, bagaimana situasinya, serta bagaimana perasaan mereka terhadap pengalaman tersebut, baik saat itu maupun sekarang.
Pendekatan ini bertujuan agar peserta benar-benar terhubung dengan nilai inti diri mereka, bukan hanya mengingat secara kognitif. Proses ini membangkitkan emosi positif dan perasaan bermakna, sehingga area otak yang berhubungan dengan pemrosesan diri (self-related processing) dan penghargaan (reward system) menjadi aktif.
Aktivasi tersebut kemudian diamati melalui pemindaian fMRI untuk melihat bagaimana otak merespons pengalaman afirmasi diri yang intens dan personal.
Sebagai pembanding, peserta di kelompok kontrol juga mendapat tugas berpikir, tetapi tanpa diminta memikirkan pengalaman yang berhubungan dengan nilai pribadi.
Mereka hanya diminta memikirkan hal-hal netral atau aktivitas sehari-hari, sehingga tidak menimbulkan resonansi emosional yang sama.
Dengan format seperti ini, penelitian Cascio dkk. (2016) berhasil menunjukkan bahwa self-affirmation yang bersifat reflektif dan emosional, bukan sekadar pengulangan kalimat positif, yang dapat mengaktifkan bagian otak yang terkait dengan makna diri dan motivasi (seperti ventromedial prefrontal cortex dan ventral striatum).
Dari penelitian ini, para ilmuwan menemukan sesuatu yang luar biasa. Ketika seseorang merenungkan nilai-nilai yang penting baginya, bagian otak yang berhubungan dengan pengenalan diri dan penghargaan diri menjadi lebih aktif.
Area yang berperan dalam memahami diri (medial prefrontal cortex) dan yang terlibat dalam memberi makna serta penghargaan terhadap sesuatu yang berharga (ventral striatum dan ventromedial prefrontal cortex) menunjukkan peningkatan aktivitas yang nyata.
Dengan kata lain, saat seseorang mengingat nilai hidup yang ia cintai, otaknya tidak sekadar berpikir, namun benar-benar “menyala” di wilayah yang memproses makna dan kebahagiaan.
Menariknya, efek ini tidak hanya terjadi di laboratorium. Aktivitas otak yang meningkat tadi ternyata juga berkaitan dengan perubahan perilaku nyata. Setelah melakukan self-affirmation, peserta penelitian menjadi lebih aktif secara fisik, lebih bersemangat menjalani hari, dan lebih sedikit menghabiskan waktu hanya duduk diam atau tidak bergerak.
Artinya, self-affirmation tidak hanya membuat seseorang merasa nyaman atau bangga sesaat. Lebih dari itu, ia benar-benar mengubah cara otak bekerja dan mendorong seseorang bertindak lebih positif dalam hidupnya.
Penelitian ini juga menemukan hal menarik lainnya. Ketika seseorang memikirkan nilai-nilai dirinya dalam konteks masa depan, tentang siapa dirinya akan menjadi, apa yang ingin ia perjuangkan, dan hal-hal apa yang ingin ia wujudkan, efeknya menjadi jauh lebih kuat.
Refleksi yang berorientasi pada masa depan menyalakan area otak yang sama, namun dengan intensitas yang lebih besar. Seolah otak memberi sinyal: “Inilah arah yang berarti. Inilah hidup yang ingin dijalani.”
Dengan kata lain, merenungkan pertanyaan sederhana seperti “Siapa saya akan menjadi?” atau “Apa yang benar-benar penting bagi saya di masa depan?” bisa memberikan daya tambahan yang memperkuat efek penyembuhan dan transformasi diri.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pengalaman banyak orang yang menemukan ketenangan dan kekuatan baru setelah kembali menyadari nilai-nilai terdalam dalam dirinya.
Ketika seseorang berhenti sejenak untuk mengingat apa yang benar-benar bermakna, apa yang ia hargai, cintai, dan perjuangkan, maka bukan hanya pikirannya yang berubah, tetapi juga getaran di dalam dirinya.
Self-affirmation adalah bentuk “penyembuhan melalui kesadaran.” Ia menyalakan bagian diri yang sering terlupakan di tengah kesibukan hidup.
Dan ketika seseorang menyadari nilainya, ia berhenti mencari pengakuan dari luar, karena ia telah menemukannya di dalam dirinya sendiri.
Pada akhirnya, self-affirmation, dalam konteks perenungan terhadap nilai kehidupan, bukan sekadar metode psikologis. Ia adalah panggilan lembut untuk kembali pulang ke diri sendiri, ke ruang batin yang penuh syukur, penuh cinta, dan penuh kesadaran. Dari sinilah perubahan sejati bermula. Inilah pendekatan berbasis kesadaran yang menjadi fondasi utama hipnoterapi yang kami, para hipnoterapis AWGI, praktikkan.
-
(Cascio, C. N., O’Donnell, M. B., Tinney, F. J., Lieberman, M. D., Taylor, S. E., Strecher, V. J., & Falk, E. B. (2016). Self-affirmation activates brain systems associated with self-related processing and reward and is reinforced by future orientation. Social Cognitive and Affective Neuroscience, 11(4), 621–629. https://doi.org/10.1093/scan/nsv136)

Selama berabad-abad, manusia memahami bahwa pikiran dan tubuh saling berhubungan. Namun, baru dalam beberapa dekade terakhir ilmu pengetahuan mampu menjelaskan bagaimana perasaan (emosi), keyakinan (belief), dan pengalaman batin benar-benar dapat memengaruhi sel, gen, dan sistem imun tubuh. Penjelasan modern mengenai hubungan ini lahir dari dua cabang ilmu yang berkembang pesat: epigenetika dan psikoneuroimunologi (PNI).
Kedua bidang ini memberi dasar ilmiah yang kuat untuk menjelaskan mengapa hipnoterapi, khususnya yang menggunakan pendekatan hipnoanalisis, mampu membantu klien pulih dari gangguan emosional maupun fisik melalui resolusi trauma dan perubahan keadaan emosi di tingkat pikiran bawah sadar.
Epigenetika: Gen Bukan Takdir, Melainkan Respons yang Dapat Berubah
Istilah epigenetics diperkenalkan pertama kali oleh Conrad Waddington melalui karya klasik The Epigenotype (1942), yang menjelaskan bagaimana gen berinteraksi dengan lingkungan dalam membentuk fenotipe (Waddington, 1942). Namun, epigenetika baru berkembang pesat sejak tahun 1990-an ketika para ilmuwan mulai memahami bahwa ekspresi gen dapat berubah tanpa mengubah urutan DNA itu sendiri (Bird, 2007; Weinhold, 2006).
Setiap sel tubuh mengandung DNA yang sama, tetapi hanya sebagian gen yang “menyala” sementara yang lain “padam”. Epigenetika bekerja seperti sistem on–off switch yang mengatur kapan suatu gen aktif atau tidak, melalui mekanisme seperti metilasi DNA, modifikasi histon, dan regulasi RNA non-koding.
Yang menarik, ekspresi gen tidak hanya dipengaruhi oleh nutrisi atau toksin lingkungan, tetapi juga oleh pikiran, emosi, dan pengalaman psikologis. Penelitian menunjukkan bahwa stres kronis dapat meningkatkan metilasi pada gen NR3C1, reseptor glukokortikoid yang mengatur respons stres, sehingga membuat tubuh lebih sensitif terhadap stres dan gangguan regulasi emosi (McGowan et al., 2009).
Sebaliknya, praktik meditasi, relaksasi, dan emosi positif seperti syukur terbukti menurunkan ekspresi gen proinflamasi serta meningkatkan gen perbaikan sel melalui mekanisme epigenetik, khususnya modifikasi histon dan penurunan aktivitas histone deacetylases (HDAC2, HDAC3, dan HDAC9) (Kaliman et al., 2014).
Epigenetika dengan demikian menegaskan bahwa gen bukanlah takdir, melainkan sistem adaptif yang merespons lingkungan internal dan eksternal. Pikiran, emosi, dan kesadaran termasuk di dalamnya.
Psikoneuroimunologi: Jaringan Komunikasi Pikiran, Saraf, dan Imun
Bidang psikoneuroimunologi (PNI) muncul pada akhir tahun 1970-an berkat temuan klasik Robert Ader dan Nicholas Cohen, yang menunjukkan bahwa respons imun dapat “dikondisikan” secara psikologis, artinya otak dan sistem imun berkomunikasi dua arah (Ader & Cohen, 1975).
Temuan ini membuka jalan bagi penelitian lanjutan yang menemukan hubungan langsung antara sistem saraf, hormon, dan kekebalan tubuh (Felten et al., 1987; Pert, 1997). Melalui studi anatomi dan fisiologi, David L. Felten dan rekan-rekannya memetakan jalur saraf simpatis yang terhubung langsung ke organ-organ imun seperti limpa dan kelenjar limfa, menunjukkan adanya komunikasi saraf-imun yang nyata (Immunological Reviews, 1987).
Melalui sumbu hipotalamus–pituitari–adrenal (HPA), stres psikologis menstimulasi pelepasan hormon kortisol. Dalam jangka pendek, kortisol membantu adaptasi terhadap stres. Namun, bila berlangsung kronis, kadar kortisol yang tinggi atau disregulasi justru menurunkan sensitivitas reseptor imun dan memicu peradangan sistemik (Sapolsky, 2004).
Sebaliknya, keadaan emosi yang tenang mengaktifkan sistem saraf parasimpatik dan meningkatkan tonus saraf vagus. Jalur ini menekan produksi sitokin proinflamasi, khususnya TNF-α, melalui mekanisme yang dikenal sebagai cholinergic anti-inflammatory reflex (Tracey, 2002).
Kajian lanjutan oleh Pavlov dan Tracey (2012) serta Koopman et al. (2016) memperluas temuan ini dengan menunjukkan bahwa jalur vagal juga menekan pelepasan sitokin lain seperti IL-6 dan IL-1β, yang berperan penting dalam inflamasi sistemik. Dengan kata lain, tubuh sembuh lebih cepat ketika pikiran damai dan hati tenang.
Emosi dan Trauma: Tubuh Menyimpan Apa yang Tidak Selesai
Dalam dua dekade terakhir, pemahaman mengenai hubungan emosi dan tubuh semakin diperdalam oleh tokoh-tokoh seperti Peter A. Levine, Bessel van der Kolk, dan Robert C. Scaer.
Levine (1997) dalam bukunya Waking the Tiger: Healing Trauma menjelaskan bahwa pengalaman traumatik yang tidak terselesaikan meninggalkan residu energi dalam sistem saraf. Energi ini tidak hilang, melainkan terjebak sebagai muatan fisiologis yang membuat tubuh tetap waspada seolah bahaya masih mengintai.
Van der Kolk (2014) menguatkan gagasan ini dalam bukunya The Body Keeps the Score. Menurutnya, trauma tidak hanya tersimpan dalam pikiran, tetapi juga dalam tubuh, dalam pola napas, ketegangan otot, dan respons refleks. Selama residu energi ini belum dilepaskan, otak bawah sadar terus menafsirkan kondisi tubuh sebagai ancaman yang belum selesai, sehingga sistem saraf tetap berada dalam mode fight, flight, atau freeze dan terus memicu produksi hormon stres.
Pemikiran ini kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh Robert Scaer (2001, 2014) dalam The Body Bears the Burden: Trauma, Dissociation, and Disease. Ia menunjukkan bahwa trauma yang tidak terselesaikan menyebabkan respon pertahanan tubuh yang terjebak dalam keadaan “freeze”, menghasilkan disosiasi dan perubahan neurofisiologis yang nyata pada otak, sistem saraf otonom, serta sumbu HPA (hypothalamic–pituitary–adrenal axis). Energi pertahanan yang tidak terselesaikan ini menimbulkan ketidakseimbangan antara sistem saraf simpatetik dan parasimpatetik, sehingga tubuh tetap berada dalam mode siaga bahkan ketika bahaya sudah berlalu.
Scaer menegaskan bahwa reaksi trauma yang tidak selesai dapat termanifestasi sebagai berbagai gangguan psikosomatis dan penyakit kronis, mulai dari migrain, fibromialgia, gangguan pencernaan, hingga penyakit autoimun, karena tubuh secara harfiah “membawa beban” pengalaman emosional yang belum terselesaikan. Dengan kata lain, setiap trauma meninggalkan jejak biologis yang dapat diamati melalui perubahan pola saraf, hormon, dan imunologi.
Kondisi stres kronis semacam ini memiliki konsekuensi epigenetik dan imunologis yang nyata: gangguan keseimbangan hormon, penurunan sistem imun, peningkatan inflamasi, bahkan perubahan ekspresi gen yang mengatur emosi dan metabolisme.
Pandangan ini sejalan dengan temuan Candace B. Pert (1999), ilmuwan penemu reseptor opiat, yang menyatakan bahwa “the body is the subconscious mind.” Melalui penelitiannya mengenai jaringan neuropeptida dan reseptor yang tersebar di seluruh sistem saraf, endokrin, dan imun, Pert menjelaskan bahwa emosi tidak hanya terjadi di otak, tetapi juga termanifestasi di seluruh tubuh sebagai sinyal biokimia yang menyimpan memori emosional. Temuan ini menjadi fondasi bagi psikoneuroimunologi, memperlihatkan bahwa pengalaman emosional dapat mengubah fungsi seluler dan respons imun melalui jalur molekuler. Pandangan Pert menegaskan bahwa penyembuhan sejati menuntut keterlibatan tubuh dalam proses regulasi emosi dan kesadaran bawah sadar.
Bukti Ilmiah: Hipnosis dan Perubahan Biomarker
Sejumlah penelitian klinis menunjukkan bahwa hipnosis dan hipnoterapi berpengaruh langsung terhadap biomarker biologis yang berkaitan dengan stres, inflamasi, dan sistem imun.
Teknik yang digunakan dalam seluruh penelitian tersebut umumnya berbasis sugesti dan guided imagery, mencakup induksi relaksasi, visualisasi penyembuhan organ, serta pemberian sugesti positif terkait fungsi fisiologis. Pendekatan ini bersifat direktif dan simptomatik, dengan fokus pada reduksi stres serta modulasi fisiologis.
Hipnoterapi dan Hipnoanalisis: Mengakses dan Menyembuhkan di Pikiran Bawah Sadar
Pemahaman modern tentang keterhubungan antara pengalaman traumatis, emosi yang tidak terselesaikan secara tuntas dan tersimpan di tubuh, serta pengaruhnya terhadap sistem tubuh, seperti yang dinyatakan oleh Levine (1997), van der Kolk (2014), dan Scaer (2001, 2014) memberikan dasar ilmiah yang kuat bagi pendekatan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis yang dikembangkan oleh Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI) melalui Quantum Hypnotherapeutic Protocol.
Dalam pendekatan ini, tubuh dipandang sebagai manifestasi dari dinamika pikiran bawah sadar. Melalui Dual Layer Therapy, terapis menuntun klien menemukan akar emosional yang belum terselesaikan di pikiran bawah sadar, kemudian menetralkannya hingga tubuh, pikiran, dan sistem saraf kembali ke keadaan homeostatik.
Dengan demikian, pandangan dan temuan Levine (1997), Pert (1999), van der Kolk (2014), Scaer (2001, 2014), dan pendekatan hipnoanalisis AWGI bertemu pada satu titik kebenaran: penyembuhan sejati hanya dapat terjadi ketika emosi yang tersimpan di tubuh dan pikiran bawah sadar diselesaikan hingga tuntas, bukan sekadar dikendalikan di permukaan kesadaran.
Berbeda dengan teknik yang digunakan dalam penelitian pengaruh hipnosis pada biomarker di atas, hipnoterapi berbasis hipnoanalisis memberikan jalan langsung untuk menjangkau lapisan terdalam dari pengalaman emosional manusia, yaitu pikiran bawah sadar (subconscious mind). Di sinilah tersimpan memori implisit, asosiasi emosional, engram, dan pola reaksi otomatis yang terbentuk sejak masa kanak-kanak.
Dalam kondisi hipnosis, fungsi faktor kritis pikiran sadar menurun drastis. Klien dapat menelusuri kembali peristiwa masa lalu yang mengandung muatan emosi kuat dan melihatnya dari sudut pandang baru yang lebih dewasa, aman, dan penuh penerimaan. Ketika emosi seperti marah, takut, benci, dendam, terluka, bersalah, atau sedih dihadirkan kembali dan dilepaskan dengan aman, dan engram bermasalah berhasil dinetralisir, sistem saraf memperoleh sinyal baru bahwa ancaman telah berakhir.
Proses ini bukan hanya perubahan psikologis, melainkan juga perubahan biologis. Resolusi emosi menormalkan aktivitas sumbu HPA, menurunkan kortisol, menenangkan sistem limbik, dan mengaktifkan sistem parasimpatik. Efek domino ini memengaruhi ekspresi gen melalui mekanisme epigenetik dan memperkuat respons imun tubuh sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Rossi (2002).
Temuan Empiris AWGI
Para hipnoterapis di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), melalui pengalaman praktik klinis sejak tahun 2005 yang telah mencakup lebih dari 130.000 sesi terapi, menemukan pola yang konsisten.
Emosi-emosi negatif yang berasal dari pengalaman traumatis di masa lalu yang belum terproses secara tuntas, menetap atau berdiam di bagian tubuh tertentu, termasuk di organ. Terdapat dua lokasi tempat menetapnya emosi: primer dan sekunder.
Pada lokasi tertentu dapat berdiam hanya satu emosi negatif, tetapi bisa juga banyak emosi negatif (nesting), baik yang berasal dari satu kejadian maupun beberapa kejadian.
Di mana emosi-emosi ini menetap, di situ pula mereka memberi dampak negatif terhadap kondisi fisik atau fungsi organ. Selama emosi-emosi tersebut tetap berada di lokasi ini, mereka terus-menerus mengganggu.
Ketika emosi-emosi negatif yang intens dan tersimpan lama di pikiran bawah sadar berhasil diproses dan dilepaskan secara tuntas, banyak klien melaporkan terjadinya perbaikan signifikan pada kondisi fisik mereka. Hal ini juga diamati pada berbagai keluhan kronis yang sebelumnya telah mendapatkan penanganan medis, namun masih memerlukan dukungan tambahan dari sisi psikologis dan emosional.
Temuan lapangan ini sejalan dengan mekanisme ilmiah yang dijelaskan dalam kajian epigenetika dan psikoneuroimunologi: perubahan kondisi emosional di bawah sadar dapat memengaruhi sistem saraf, hormonal, dan imun, serta mendukung proses penyembuhan biologis secara menyeluruh.
Dengan demikian, hipnoanalisis bekerja di dua level sekaligus: psikologis, melalui restrukturisasi makna pengalaman; dan biologis, melalui penataan ulang sistem saraf, hormonal, serta imun.
Dari Pikiran ke Sel: Jalur Integratif Penyembuhan
Proses penyembuhan melalui hipnoterapi sejatinya berlangsung sebagai suatu rangkaian yang saling terjalin erat antara dimensi psikologis dan biologis. Ketika klien mengalami intervensi emosional dalam sesi hipnoterapi, terjadi pelepasan muatan emosi lama (abreaksi) disertai restrukturisasi makna terhadap pengalaman masa lalu, yang menghasilkan resolusi trauma. Pelepasan ini menandai perubahan mendalam pada tingkat pikiran bawah sadar: sistem saraf memperoleh sinyal baru bahwa peristiwa yang dahulu dianggap berbahaya kini telah selesai, aman, dan tidak lagi mengancam.
Ketika makna lama digantikan dengan persepsi baru yang lebih adaptif, sistem saraf otonom beralih dari dominasi simpatis, yang memicu respons fight or flight, menuju aktivasi sistem parasimpatik yang menenangkan. Pergeseran ini memulihkan keseimbangan fisiologis: napas melambat, detak jantung menurun, dan tubuh masuk ke keadaan relaksasi yang memfasilitasi regenerasi.
Dalam kondisi ini, perubahan juga terjadi pada tingkat hormonal dan biokimiawi. Kadar kortisol yang sebelumnya tinggi akibat stres menurun, sementara hormon seperti oksitosin dan DHEA meningkat, menciptakan keadaan internal yang mendukung perasaan aman, keterhubungan, dan pemulihan jaringan tubuh.
Sinyal biokimia yang tercipta melalui proses ini kemudian menjangkau inti sel, memengaruhi aktivitas gen melalui mekanisme epigenetik. Pola metilasi DNA dan modifikasi histon pada gen-gen yang terkait stres dan inflamasi dapat berubah, menonaktifkan ekspresi gen proinflamasi sekaligus mengaktifkan gen perbaikan sel dan homeostasis.
Efek dari perubahan ini kemudian meluas ke seluruh sistem tubuh melalui jalur psikoneuroimunologis. Sistem imun menjadi lebih seimbang, produksi sitokin proinflamasi menurun, dan proses perbaikan jaringan berjalan lebih efisien. Dengan demikian, penyembuhan yang berawal dari restrukturisasi emosi di tingkat pikiran bawah sadar berlanjut hingga ke tingkat seluler dan molekuler.
Kesimpulan
Epigenetika dan psikoneuroimunologi memberikan dasar ilmiah yang menjelaskan bagaimana hipnoterapi dapat bekerja secara mendalam dalam mendukung proses pemulihan fisik dan emosional. Melalui resolusi trauma serta pembentukan makna baru di pikiran bawah sadar, terjadi normalisasi sistem saraf, perbaikan regulasi hormon, dan perubahan ekspresi gen yang menurunkan inflamasi serta meningkatkan keseimbangan fisiologis tubuh.
Temuan empiris para hipnoterapis AWGI sejak tahun 2005 turut menunjukkan bahwa perubahan emosional yang mendalam sering kali disertai perbaikan kondisi fisik, menegaskan keterkaitan erat antara pikiran dan tubuh. Dengan demikian, hipnoterapi sejatinya dapat diposisikan sebagai pendekatan komplementer yang dijalankan secara selaras dengan penanganan medis, psikologis, dan spiritual, guna mewujudkan penyembuhan yang holistik dan berkelanjutan..
Dengan memahami hubungan ini, hipnoterapi tidak hanya menjadi seni transformasi psikologis, tetapi juga bagian dari ilmu penyelarasan biologis dan kesadaran manusia, yang berkontribusi pada terciptanya keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan kesejahteraan mental.
Referensi:

Tulisan ini terinspirasi dari pertanyaan yang diajukan oleh salah satu calon peserta program pendidikan hipnoterapis profesional Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH): apakah dalam materi SECH juga diajarkan hypnotic language patterns atau pola bahasa hipnotik dan teknik coaching?
Sebelum menjawab pertanyaannya, saya balik bertanya: dalam praktik sebagai hipnoterapis, mengapa Anda merasa perlu belajar pola bahasa hipnotik dan coaching?
Calon peserta ini ternyata telah belajar NLP dan coaching, namun belum pernah belajar hipnoterapi. Menurutnya, bila saya mengajarkan pola bahasa hipnotik dan coaching di kelas SECH, hal ini akan sangat meningkatkan tingkat keberhasilannya dalam membantu klien.
Benarkah demikian? Di awal karier saya sebagai hipnoterapis, pada tahun 2005, saya juga sempat berpikir hal yang sama. Saya berusaha mempelajari pola bahasa hipnotik dengan membaca banyak buku, dengan harapan hal itu akan memudahkan saya menjangkau pikiran bawah sadar (PBS) klien. Saat itu saya belum menyusun skrip Adi W. Gunawan Induction.
Saya juga berusaha belajar coaching untuk memaksimalkan hasil terapi. Namun kenyataannya, hasil yang saya peroleh sangat jauh dari harapan. Karena terlalu fokus menerapkan pola bahasa hipnotik, saya justru menjadi sibuk mengamati kata demi kata yang diucapkan oleh klien, lalu berusaha menyesuaikan jawaban atau intervensi saya dengan “rumus” pola bahasa hipnotik. Akibatnya, saya kehilangan spontanitas, kehilangan aliran, dan terapi terasa kaku serta tidak natural.
Saat hasil terapi tidak optimal, saya segera mencoba strategi coaching dengan pemikiran bahwa perubahan memang membutuhkan waktu lebih lama dan perlu diperkuat oleh klien di rumah dengan menjalankan saran saya. Namun ternyata, meskipun pendekatan ini saya lakukan dengan sungguh-sungguh, hasil yang muncul tetap sangat minim.
Tiga tahun lamanya saya jatuh bangun melakukan praktik hipnoterapi dengan hasil yang mengecewakan. Saya bahkan sempat berpikir untuk berhenti total dari dunia hipnoterapi karena merasa bidang ini terlalu sulit dan bukan untuk saya. Namun di titik itulah saya mulai menyadari bahwa yang perlu saya ubah bukanlah bidangnya, melainkan cara berpikir, kerangka kerja, dan perspektif saya.
Saya kembali ke dasar: apa sebenarnya definisi hipnosis dan hipnoterapi?
Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis, dengan menggunakan teknik atau strategi apa pun yang efektif untuk mencapai tujuan terapeutik. Sedangkan hipnosis sendiri adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar yang diikuti dengan diterimanya suatu perintah tertentu oleh pikiran bawah sadar (Hypnosis is the bypass of the critical factor of the conscious mind, followed by the establishment of acceptable selective thinking).
Berdasarkan definisi ini, untuk bisa mencapai tujuan terapeutik demi kebaikan klien, saya membutuhkan dua hal utama: pertama, kondisi hipnosis; kedua, teknik atau strategi yang mampu melakukan perubahan di level PBS. Selama ini saya berusaha menjangkau PBS klien hanya dengan mengandalkan pola bahasa hipnotik. Hasilnya, pikiran saya justru menjadi semakin ruwet dan terapi kehilangan kedalaman.
Setelah membaca banyak buku, mengikuti pelatihan, dan mempelajari video dari luar negeri, saya sampai pada sebuah simpulan yang sangat mencerahkan: menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis sejatinya sangat mudah. Tidak perlu repot menggunakan pola bahasa hipnotik. Kuncinya ada pada ketulusan terapis, rasa percaya (trust) klien kepada terapis, serta kesediaan (willingness) dan kesiapan (readiness) klien untuk menjalani terapi.
Dengan kata lain, yang paling utama adalah bagaimana terapis membangun rasa percaya dalam diri klien terhadap terapis dan proses yang akan dijalani. Dan syarat mutlak sebelum bisa membangun rasa percaya klien adalah: terapis terlebih dahulu harus percaya pada kemampuan dirinya sendiri, bahwa ia sungguh memiliki kompetensi terapeutik untuk membantu klien mengatasi masalah.
Rasa percaya pada kemampuan diri ini tidak bisa dibangun secara instan. Ia hanya bisa lahir dari proses pendidikan yang benar: pendidikan hipnoterapis yang berkualitas, terstruktur, sistematis, disertai supervisi praktik yang ketat dan berkelanjutan. Tanpa fondasi ini, seorang terapis akan selalu mencari pegangan pada pola bahasa atau teknik permukaan yang hanya bersifat kosmetik.
Saat seorang terapis benar-benar tahu bahwa ia memiliki kompetensi terapeutik yang tinggi, keyakinan ini akan terpancar melalui keseluruhan dirinya. Bukan hanya dari kata-kata yang ia ucapkan, tetapi juga dari bahasa tubuh, ekspresi wajah, sinar mata, energi, dan vibrasi. Semua ini ditangkap oleh pikiran bawah sadar klien, bahkan tanpa kata-kata.
Dengan demikian, seorang hipnoterapis yang berkompeten sejatinya tidak sekadar menggunakan pola bahasa hipnotik, melainkan menghadirkan sebuah “pola hipnotik” yang menyeluruh, yang langsung menyentuh PBS klien. Ini tentu jauh lebih efektif dan berdampak signifikan dibanding sekadar memainkan kata-kata tertentu.
Dari pencerahan ini saya akhirnya sadar bahwa kata-kata yang diucapkan oleh hipnoterapis hanyalah pelengkap. Ia bukan faktor utama, melainkan pengiring dalam menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis yang dalam.
Penting untuk dibedakan antara ketepatan diksi terapeutik dengan pola bahasa hipnotik generik. Bahasa presisi memang wajib agar tidak muncul sugesti negatif (nocebo), namun ketergantungan pada “rumus pola bahasa” justru berisiko mengalihkan fokus dari akar masalah. Protokol AWGI menekankan bahwa komunikasi presisi adalah fondasi, tetapi transformasi sejati lahir dari intervensi kausal di PBS.
Perjalanan saya kemudian membawa saya mendalami pemikiran dua tokoh besar dunia hipnoterapi: Gil Boyne dan Dave Elman. Dari sana, saya belajar dan mulai menyusun skrip induksi yang menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis dalam dengan mudah, efektif, dan elegan. Skrip ini terus saya kembangkan hingga kini menjadi Adi W. Gunawan Induction, yang saat ini digunakan oleh para hipnoterapis AWGI.
Skrip AWG Induction terkini adalah hasil sintesis dari pengetahuan, pengalaman, wawasan mendalam, serta temuan praktik selama belasan tahun. Ia juga diperkaya dari pembelajaran yang saya terima dari guru-guru saya seperti Anna Wise, Tom Silver, dan Randal Churchill, serta diperkuat dengan hasil pengukuran pola gelombang otak menggunakan mesin EEG yang saya miliki.
Karena alasan inilah saya tidak mengajarkan materi coaching di kelas SECH. Protokol hipnoterapi AWGI menargetkan upaya maksimal dalam membantu klien adalah empat sesi saja. Mengingat proses perubahan dilakukan di kedalaman PBS, yang mengendalikan 90–95% diri klien, maka perubahan yang dicapai seharusnya langsung memberi dampak nyata dalam hidupnya, tanpa memerlukan coaching tambahan.
Paradigma yang saya gunakan dalam praktik hipnoterapi, dan ini juga menjadi landasan kerja semua hipnoterapis AWGI, sederhana tetapi tegas: bila terapi efektif, maka tidak perlu ada coaching. Coaching hanya muncul sebagai “tambal sulam” ketika terapi yang dijalani klien sebenarnya tidak efektif, namun terapis tidak berani mengakui hal ini.
Dalam konteks ini, yang dimaksud coaching adalah model pendampingan berkelanjutan untuk “menambal” terapi yang tidak menyentuh akar masalah. Dengan penegasan ini, jelas bahwa coaching versi AWGI bukan sekadar tidak diajarkan, melainkan tidak relevan karena terapi sudah selesai di level kausal.
Untuk menjamin dan memverifikasi efektivitas intervensi yang dilakukan oleh hipnoterapis AWGI serta memastikan bahwa masalah klien telah teratasi, protokol hipnoterapi AWGI mensyaratkan dilakukannya uji hasil terapi sebanyak empat kali menggunakan strategi yang berbeda. Apabila klien berhasil melewati keempat uji hasil tersebut, maka dapat dipastikan bahwa permasalahan yang dihadapi telah terselesaikan secara tuntas.
Rangkaian empat kali uji hasil ini menjadi standar mutu dalam protokol AWGI, sekaligus pembeda mendasar dibanding praktik hipnoterapi singkat atau generik yang tidak menekankan validasi hasil. Dengan prosedur ini, hipnoterapis AWGI dapat memastikan bahwa perubahan yang dicapai klien benar-benar nyata, bertahan lama, dan memberikan dampak positif dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah calon peserta ini mendengar jawaban saya, ia akhirnya mengerti dan tidak lagi berharap saya mengajar materi pola bahasa hipnotik dan coaching di kelas SECH.
Di penghujung diskusi, ia menyampaikan sebuah pertanyaan tambahan: buku apa saja yang sebaiknya ia baca untuk memperdalam pemahaman mengenai pola bahasa hipnotik.
Saya menyambut pertanyaan itu dengan gembira, karena menunjukkan adanya semangat belajar yang tulus. Dengan senang hati, saya kemudian merekomendasikan beberapa judul buku yang dahulu pernah saya pelajari dengan cermat pada masa awal perjalanan saya.
Namun, saya juga menegaskan bahwa buku-buku tersebut kini telah saya tinggalkan, sebab seiring dengan pertumbuhan pengalaman, penelitian, dan pemahaman yang lebih mendalam, saya menemukan pendekatan yang jauh lebih efektif, praktis, dan menyeluruh dibanding sekadar berpegang pada pola bahasa hipnotik semata, yaitu protokol hipnoterapi AWGI dengan pendekatan Dual Layer Therapy, yang kini telah diperkuat dengan mengintegrasikan teknik-teknik berbasis kesadaran, energi medan morfik, dan vibrasi.
Berikut ini judul buku yang saya sarankan untuk ia baca:
The Structure of Magic 1 (John Grinder dan Richard Bandler)
The Structure of Magic 2 (John Grinder dan Richard Bandler)
The Deep Trance Training Manual (Igor Ledochowski)
Hypnotic Language: Its Structure and Use (John Burton & Bob G. Bodenhamer Dmin)
Conversations With Milton Erickson, M.D. Volume 1: Changing Individuals (Jay Haley / Editor)
Conversations With Milton Erickson, M.D. Volume 2: Changing Couples (Jay Haley / Editor)
Conversations With Milton Erickson, M.D. Volume 3: Changing Children & Families (Jay Haley / Editor)
Patterns Of The Hypnotic Techniques Of Milton H. Erickson, M.D. (Richard Bandler dan John Grinder)
The Legacy of Milton Erickson: Selected Papers of Stephen Gilligan (Stephen Gilligan)
Finding True Magic: Transpersonal Hypnosis & Hypnotherapy / NLP (Jack Elias)
Covert Hypnosis: An Operator's Manual for Influential Unconscious Communication in Selling, Business, Relationships and Hypnotherapy (Kevin Hogan)
Get The Life You Want: The Secrets To Quick & Lasting Life Change With Neuro-Linguistic Programming (Richard Bandler)
Training Trances: Multi-Level Communication In Therapy And Training (John Overdurf & Julie Silverthorn)
Magic Words and Language Patterns (Karen Hand)
Therapeutic Conversation (Stephen Gilligan & Reese Price)

Dalam ranah psikologi dan hipnoterapi, konsep ego state telah lama dikenal. Namun, terminologi ini sering disalahpahami seolah-olah hanya sekadar “bagian peran”, “skenario imajiner”, atau state yang dimainkan klien. Untuk menghindari bias semantik, Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI) menggunakan istilah yang lebih tepat, yaitu Ego Personality (EP).
Ego Personality didefinisikan sebagai bagian diri yang memiliki sistem pemikiran, emosi, perilaku, dan memori spesifik yang relatif konsisten, membawa seperangkat pengalaman, keyakinan, dan respons khas terhadap situasi tertentu. EP saling terhubung oleh prinsip tertentu, namun dipisahkan oleh batas-batas yang bersifat semipermiabel dengan derajat kedalaman dan fleksibilitas yang bervariasi. Pada satu waktu tertentu, satu EP dapat menjadi executive dan mengambil alih kesadaran, sehingga individu merasakan dirinya sebagai “aku” melalui perspektif EP tersebut (Federn, 1952; Watkins & Watkins, 1997; Gunawan, 2012).
Dengan demikian, Ego Personality bukanlah sekadar “topeng sosial”, melainkan entitas psikologis yang dapat diakses, diobservasi, dan bahkan diukur melalui berbagai indikator psikologis maupun fisiologis.
Kesalahpahaman: EP Hanya Bermain Peran?
Banyak orang menganggap EP hanyalah hasil sugesti atau permainan peran (role play) yang dilakukan klien dalam kondisi hipnosis dan bersifat sesaat. Pandangan ini muncul karena fenomena EP sering kali menyerupai akting: perubahan intonasi suara, bahasa tubuh, sikap, perilaku, bahkan gaya berbicara. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa EP melibatkan pergeseran internal yang otentik.
Dalam praktik terapi, saat satu EP muncul ke permukaan dan aktif (executive), terjadi perubahan menyeluruh pada emosi, sikap, pola pikir, hingga respons tubuh klien. Hal ini serupa dengan temuan dalam penelitian tentang dissociative part atau identity state pada klien dengan Dissociative Identity Disorder (DID).
Praktik AWGI: Bukti Klinis Sejak 2005
Sejak tahun 2005, AWGI telah menerapkan Ego Personality Therapy dalam berbagai sesi hipnoterapi. Hingga kini, tercatat lebih dari 130.000 sesi konseling dan terapi dilakukan oleh para hipnoterapis AWGI dengan pendekatan ini.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa:
Fenomena ini konsisten terjadi lintas kasus dan latar belakang, sehingga memberikan dasar empiris bahwa EP adalah realitas psikologis dan fisiologis, bukan sekadar permainan peran.
Validasi Ilmiah: Bukti Neurofisiologis dan Biomarker
Temuan klinis AWGI sejalan dan diperkuat oleh berbagai penelitian internasional yang menunjukkan bahwa pergantian identitas (EP) membawa perubahan neurofisiologis nyata. Beberapa studi penting antara lain:
1. fMRI dan PET pada DID
2. Resting-State fMRI
Schlumpf dkk. (2014) menemukan bahwa bahkan saat istirahat, pola konektivitas otak berbeda antara apparently normal part (ANP) dan emotional part (EP). Perbedaan ini tidak muncul pada kontrol sehat yang mencoba berpura-pura.
3. EEG
4. Biomarker Psikofisiologi
Konsekuensi Terapeutik
Temuan ini memiliki implikasi besar:
Kesimpulan
Ego Personality bukanlah sekadar konsep abstrak atau permainan peran. Ia adalah struktur psikologis nyata yang bisa diamati dalam praktik klinis maupun dibuktikan melalui riset neurofisiologis. Sejak tahun 2005, AWGI telah mempraktikkan Ego Personality Therapy secara konsisten dengan hasil klinis yang sangat baik.
Didukung oleh lebih dari 130.000 sesi terapi dan diperkuat dengan bukti ilmiah dari fMRI, EEG, hingga biomarker otonom, kini jelas bahwa Ego Personality adalah fenomena psikologis-fisiologis yang valid.
Dengan memahami dan bekerja melalui Ego Personality, terapi bukan lagi sekadar mengubah perilaku di permukaan, melainkan menyentuh inti bawah sadar yang sesungguhnya mengendalikan kehidupan manusia.

Kerusuhan, penjarahan, dan tindak kekerasan dalam sebuah demonstrasi bukanlah kebetulan. Semua itu merupakan hasil dari hukum psikologi massa yang bekerja sangat kuat. Gustave Le Bon, dalam bukunya The Crowd: A Study of the Popular Mind (1895), menyebut era modern sebagai Era of Crowds, di mana massa menjadi kekuatan sosial dan politik yang menentukan.
Ketika individu melebur dalam massa, logika pribadi melemah, tanggung jawab berkurang, dan emosi kolektif mengambil alih sebagai penggerak utama kesadaran bersama. Orang yang biasanya rasional dapat dengan mudah terseret gelombang kemarahan, ketakutan, atau euforia yang menyebar cepat bak api di padang kering. Satu pidato emosional, satu provokasi kecil, atau bahkan satu simbol tertentu sudah cukup untuk mengubah suasana damai menjadi kekacauan.
Situasi menjadi semakin berbahaya ketika massa terdiri atas individu yang telah lama memendam kemarahan, ketidakpuasan, rasa tidak berdaya, dan tekanan hidup. Ketika mereka bersatu, energi negatif yang terkumpul dapat meledak menjadi tindakan kolektif yang kuat, pasti, dan destruktif.
Fenomena ini dijelaskan Le Bon dengan istilah deindividuasi: hilangnya identitas pribadi dan rasa tanggung jawab ketika seseorang merasa anonim di tengah jumlah besar. Dalam kondisi ini, individu lebih berani melakukan tindakan ekstrem yang biasanya mereka hindari. Selain itu, terjadi pula penyebaran emosi (emotional contagion), di mana rasa marah, takut, atau euforia cepat menular dari satu orang ke orang lain, memperkuat intensitas suasana kolektif. Kombinasi keduanya menjadikan massa sangat mudah terdorong ke arah perilaku destruktif.
Kekuatan Repetisi dan Simbol
Le Bon menegaskan bahwa massa lebih mudah dipengaruhi oleh sugesti daripada logika. Slogan yang diulang-ulang, meski tanpa dasar fakta, lama-kelamaan diterima sebagai kebenaran. Familiaritas menciptakan keyakinan, hingga nalar kritis berhenti bekerja. Simbol visual bahkan lebih kuat. Spanduk, bendera, warna, atau tanda tertentu mampu menyatukan orang dan membangkitkan emosi bersama dengan kekuatan yang melampaui argumen rasional. Simbol adalah bahasa instan yang langsung menembus kesadaran tanpa penjelasan.
Peran Sentral Pemimpin Massa
Massa tidak bisa bergerak tanpa pemimpin. Pemimpin yang karismatik tidak perlu menawarkan solusi rasional; cukup dengan mencerminkan amarah, harapan, atau ketakutan kolektif, ia sudah mampu mengarahkan energi massa. Kehendaknya melebur menjadi kehendak massa. Bila ditambah dengan wibawa atau prestise, kemampuan berpikir kritis massa semakin lumpuh dan digantikan oleh kepatuhan buta.
Massa Menginginkan Kepastian, Bukan Kebenaran
Massa mendambakan kepastian, bukan kerumitan atau nuansa abu-abu. Jawaban sederhana seperti “kawan atau lawan”, “bisa atau tidak” jauh lebih mudah diterima dibanding penjelasan yang rumit. Karena itu, ideologi radikal atau janji manis yang penuh ilusi sering kali lebih menarik daripada fakta yang kompleks. Le Bon mencatat, massa lebih mudah terikat pada ilusi yang memberi kenyamanan emosional daripada pada kebenaran yang membawa ketidaknyamanan.
Mengelola Dinamika Massa untuk Perubahan Konstruktif
Memahami psikologi massa adalah kunci untuk meredam potensi kerusuhan. Yang paling efektif bukanlah menumpuk argumen panjang, tetapi mengendalikan emosi. Pendekatan persuasif yang menenangkan lebih mampu meredam ketegangan. Simbol perdamaian dapat digunakan untuk menurunkan tensi, tokoh yang dihormati bisa dilibatkan untuk menenangkan, dan tindakan represif yang kasar sebaiknya dihindari karena hanya memperbesar amarah.
Le Bon menambahkan bahwa massa juga bisa diarahkan ke arah positif. Massa yang sama yang bisa menjadi destruktif, juga bisa menjadi heroik ketika digerakkan oleh semangat pengorbanan, cinta tanah air, atau keyakinan religius. Energi kolektif yang besar bisa dipakai untuk membangun, bukan menghancurkan.
Kesimpulan
Massa menjadi beringas bukan karena setiap individunya jahat, melainkan karena hukum psikologi massa membuat emosi lebih dominan daripada nalar. Dalam massa, individu kehilangan kendali diri, larut dalam sugesti, dan mudah terpengaruh oleh simbol, repetisi, serta kepemimpinan karismatik. Dengan memahami dinamika ini, kita bisa melihat peristiwa sosial secara lebih jernih, sekaligus mengarahkan energi kolektif agar tidak menuju kehancuran, melainkan perubahan yang damai, konstruktif, dan bermakna.
Menurut Gustave Le Bon, peradaban dibangun oleh minoritas kreatif, tetapi dapat dihancurkan oleh massa yang tersulut. Karena itu, memahami psikologi massa bukan hanya tugas akademisi, tetapi juga syarat penting bagi pemimpin, pendidik, dan masyarakat yang ingin menjaga peradaban tetap berdiri.


Dalam praktik hipnoterapi, relasi antara terapis dan klien bukan hanya berlangsung pada tingkat sadar dan kognitif. Di balik dialog dan interaksi yang tampak, terdapat dinamika tak sadar yang sering kali lebih menentukan arah dan kedalaman proses terapeutik.
Dua fenomena penting yang muncul dari dinamika ini adalah transferensi dan kontratransferensi. Keduanya merupakan bagian alami dari hubungan terapeutik yang mendalam, dan perlu dipahami secara cermat agar tidak menjadi jebakan yang menyimpangkan arah terapi, melainkan menjadi pintu masuk menuju pemahaman dan penyembuhan yang lebih dalam dan tuntas.
Apa Itu Transferensi?
Transferensi adalah fenomena psikologis di mana klien secara tidak sadar memproyeksikan perasaan, sikap, dan pola perilaku dari hubungan masa lalunya (terutama dengan figur otoritas atau orang tua) kepada terapis di masa kini. Klien mungkin mulai melihat terapis sebagai figur ayah yang peduli, ibu yang kritis dan menghakimi, mantan pasangan yang mengkhianati, atau bahkan sahabat yang dipercaya sepenuhnya, meskipun terapis tidak pernah berperilaku demikian.
Sebagai contoh, seorang klien yang memiliki masalah otoritas dengan ayahnya mungkin secara otomatis merasa defensif atau menolak saran terapis pria, meskipun saran tersebut bertujuan baik. Atau, klien yang merindukan kasih sayang ibu mungkin menjadi sangat bergantung pada terapis wanita, mencari validasi, dan merasa kecewa jika terapisnya tidak memenuhi ekspektasi emosional tersebut. Transferensi bisa positif (cinta, idealisasi) atau negatif (kemarahan, permusuhan, kecurigaan).
Apa Itu Kontratransferensi?
Sebaliknya, kontratransferensi adalah respons emosional tak sadar dari terapis terhadap klien, sering kali sebagai reaksi terhadap transferensi klien atau karena resonansi terhadap pengalaman pribadi terapis sendiri. Terapis mungkin merasa terlalu ingin melindungi klien muda karena mengingatkannya pada anak sendiri, atau merasa jengkel terhadap klien karena mengingatkan pada sosok dari masa lalu yang pernah melukai dirinya.
Kontratransferensi bisa muncul dalam bentuk dorongan untuk “menyelamatkan” klien, ketertarikan emosional atau fisik, atau keinginan untuk menyenangkan klien secara berlebihan. Respons ini, bila tidak dikenali dan dikelola dengan baik, dapat mengaburkan objektivitas, proses terapi, dan profesionalisme terapis.
Mengapa Fenomena Ini Terjadi?
Fenomena ini terjadi karena sifat alamiah dari proses terapi itu sendiri. Terapi, khususnya hipnoterapi yang melibatkan keadaan mental yang sangat sugestibel dan rentan, menciptakan lingkungan yang intens secara emosional. Klien datang dengan masalah pribadi yang serius, dan terapis menjadi sosok yang dipercaya, memegang otoritas, dan memberikan harapan.
Dalam kondisi psikologis yang rentan ini, pikiran bawah sadar (PBS) klien cenderung mengaktifkan skema hubungan lama sebagai cara untuk memahami dan berinteraksi dengan figur baru yang signifikan.
Bagi terapis, berinteraksi secara mendalam dengan berbagai emosi dan cerita klien dapat memicu resonansi dengan pengalaman pribadi mereka sendiri, seringkali di luar kesadaran.
Dalam perspektif psikodinamika, baik transferensi maupun kontratransferensi merupakan manifestasi dari struktur kepribadian dan dinamika tak sadar.
Transferensi terjadi ketika bagian ego yang terluka atau belum tuntas dalam diri klien mencari "panggung baru" untuk menyelesaikan konflik masa lalu melalui figur substitusi—dalam hal ini, terapis. Ini adalah bagian dari sistem regulasi emosional bawah sadar yang mencoba "menyembuhkan diri" melalui hubungan yang baru.
Kontratransferensi muncul ketika aspek dalam diri terapis—yang belum sepenuhnya terintegrasi atau disembuhkan—terpicu oleh respons emosional dari klien, sehingga sistem bawah sadar terapis ikut "beresonansi".
Makna Resonansi dalam Konteks Terapi
Resonansi dalam konteks psikologi dan terapi merujuk pada fenomena ketika emosi atau pengalaman seseorang membangkitkan respons emosional serupa dalam diri orang lain. Dalam proses terapi, resonansi terjadi ketika ekspresi klien menyentuh bagian dalam diri terapis—mungkin luka lama, nilai hidup, atau pengalaman relasional tertentu—sehingga membangkitkan respons emosional yang kuat.
Resonansi ini bisa memperdalam empati, membangun koneksi batin, dan menjadi sumber pemahaman yang otentik. Namun, resonansi juga dapat memicu kontratransferensi jika tidak disadari, karena respons terapis bukan lagi berasal dari ruang profesional yang jernih, melainkan dari bagian dirinya yang belum pulih atau belum terintegrasi.
Perspektif Ego Personality
Dari perspektif psikodinamika, khususnya teori Ego Personality (EP), transferensi dan kontratransferensi dipahami sebagai manifestasi dari struktur kepribadian dan dinamika bawah sadar yang belum tuntas. Teori ini menjelaskan bahwa kepribadian manusia tidak bersifat tunggal dan utuh secara permanen, melainkan tersusun atas berbagai bagian diri atau Ego Personality yang terbentuk dari pengalaman hidup, terutama yang bersifat emosional dan relasional.
Transferensi terjadi ketika satu atau lebih bagian diri (EP) dalam diri klien—yang pernah mengalami trauma, penolakan, atau luka emosional—secara tidak sadar teraktivasi saat klien berinteraksi dengan terapis.
EP yang sebelumnya dorman membawa muatan emosi, baik positif maupun negatif, dan mencari penyelesaian atas dinamika yang belum tuntas di masa lalu. Dalam konteks ini, terapis dipersepsikan oleh EP sebagai figur substitusi, seperti orang tua, guru, pasangan, atau figur otoritatif lain yang berkaitan dengan pengalaman emosional tersebut. Akibatnya, relasi terapeutik dapat menjadi pengulangan skenario psikologis lama, dengan harapan bawah sadar bahwa melalui hubungan baru ini, konflik lama diharapkan dapat diselesaikan.
Hal serupa juga dapat terjadi dalam diri terapis. Ketika terapis mengalami kontratransferensi, sesungguhnya yang sedang terjadi adalah aktifnya bagian diri tertentu dalam dirinya—EP yang membawa luka, kebutuhan, atau konflik batin yang belum selesai. Emosi yang muncul bukan lagi semata sebagai respons profesional, melainkan reaksi personal yang dipicu oleh resonansi dengan EP dalam diri klien. Dengan kata lain, dua sistem bawah sadar saling berinteraksi dan memengaruhi.
Resonansi inilah yang menjadikan dinamika transferensi dan kontratransferensi begitu halus, intens, sekaligus kompleks. Jika tidak disadari, hal ini dapat mengaburkan batas profesional dan membelokkan arah terapi. Namun jika dikenali dan dikelola dengan jernih, resonansi ini justru dapat menjadi pintu masuk untuk pemahaman mendalam—baik terhadap diri klien, maupun terhadap dinamika intrapsikis terapis itu sendiri.
Dalam kerangka ini, kesadaran penuh (sati), refleksi diri, dan supervisi menjadi elemen penting untuk memastikan bahwa proses terapeutik tetap berada dalam jalur yang sehat, berintegritas, dan berorientasi pada pemulihan klien.
Tanggung Jawab Penuh Ada pada Terapis
Penting untuk ditegaskan bahwa tanggung jawab untuk mengenali, memahami, dan mengelola transferensi dan kontratransferensi sepenuhnya berada di tangan terapis. Klien berada dalam posisi rentan dan tidak memikul tanggung jawab etis terhadap dinamika yang muncul. Justru karena kerentanannya inilah, batas profesional harus dijaga dengan sangat ketat.
Seorang terapis perlu mengembangkan sati—kesadaran penuh yang jernih dan stabil—untuk mengamati gerak-gerik pikiran, sensasi fisik, atau dorongan emosional yang timbul dalam proses terapi dan interaksinya dengan klien. Kesadaran ini merupakan benteng utama agar terapis tidak larut atau melebur dalam relasi yang menyimpang. Ini membutuhkan pelatihan, refleksi, dan disiplin emosional yang berkelanjutan.
Cara Mengatasi dan Menjaga Profesionalisme
Mengelola transferensi dan kontratransferensi bukan berarti menghindarinya, melainkan memanfaatkannya sebagai bagian dari kerja terapeutik yang sadar dan terarah. Beberapa langkah penting:
1. Pengenalan dini: Terus mengamati sinyal emosional dalam diri dan klien. Reaksi ekstrem, perasaan terlalu senang, jengkel, ingin menyelamatkan, atau keinginan untuk melampaui batas relasi adalah tanda yang harus dicermati.
2. Supervisi profesional: Diskusi dengan sesama terapis atau supervisor sangat membantu untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih objektif dan mencegah keterlibatan emosional pribadi.
3. Terapi personal untuk terapis: Terapis yang sehat secara emosional lebih mampu menjaga batas profesional dan menghadapi dinamika klien dengan jernih.
4. Menetapkan batas tegas: Waktu, tempat, komunikasi, dan interaksi harus dijaga dalam koridor profesional yang jelas.
5. Edukasi klien bila perlu: Dalam kasus tertentu, mendiskusikan transferensi secara terapeutik justru bisa membantu klien mengenali pola relasi dan menyembuhkan luka lama.
6. Fokus pada tujuan terapi: Menjaga orientasi terapi tetap pada sasaran yang disepakati adalah cara efektif untuk mencegah pergeseran relasi.
7. Mengacu pada kode etik profesi: Terapis wajib menjadikan kode etik sebagai kompas utama dalam setiap interaksi dengan klien.
Risiko Etis Bila Tidak Diwaspadai
Bila tidak dikelola dengan cermat, transferensi dan kontratransferensi dapat mengaburkan batas profesional. Relasi terapeutik bisa bergeser menjadi relasi personal, emosional, bahkan romantik. Ini tidak hanya melanggar kode etik yang serius, tetapi juga dapat melukai klien, menciptakan ketergantungan emosional baru, dan merusak proses pemulihan yang sedang dibangun. Kode etik dirancang untuk melindungi klien yang rentan dan menjaga integritas profesi.
Penutup
Transferensi dan kontratransferensi bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan dinamika yang perlu dikenali, dipahami, dan dikelola dengan bijaksana. Dalam praktik hipnoterapi, di mana hubungan yang terjalin sering kali sangat mendalam dan menyentuh lapisan bawah sadar, kesadaran profesional terapis menjadi penjaga utama integritas proses penyembuhan.
Hipnoterapis yang kompeten tidak lari dari dinamika ini, tetapi menghadapinya dengan keberanian, kejujuran, dan integritas. Dengan perhatian penuh (sati) yang konstan, supervisi yang teratur, refleksi pribadi yang jujur, serta komitmen teguh pada batas profesional dan kode etik, transferensi dan kontratransferensi justru bisa menjadi jendela untuk memahami diri klien secara lebih mendalam, sekaligus menjadi cermin bagi pertumbuhan pribadi terapis.
Inilah esensi menjadi terapis yang benar-benar hadir: dengan hati yang terbuka, kesadaran yang jernih, dan tanggung jawab yang utuh. Sebuah praktik hipnoterapi yang tidak hanya efektif, tetapi juga beretika dan bermakna.