The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Live Therapy Sebagai Landasan Kompetensi Terapeutik

5 Juni 2024

Salah satu sejawat hipnoterapis AWGI, alumnus SECH tahun 2023, kirim pesan melaporkan kasus yang ia tangani. Kasus pertama, fobia terbang dengan pesawat. Kasus ini di permukaan tampak sederhana, namun di baliknya terdapat akar masalah serius. Kasus kedua, klien dengan kecenderungan melakukan tindakan bunuh diri. Ia mampu menangani keduanya dengan sangat baik dan tuntas, masing-masing dalam satu sesi terapi. Hasil tindak lanjut pada kedua klien ini, sebulan kemudian, didapatkan hasil bahwa keduanya sangat baik dan stabil kondisinya.

Sejawat ini secara khusus menyampaikan terima kasih karena saat mengikuti pendidikan hipnoterapis di AWGI, ia berkesempatan tidak hanya menonton dan mempelajari video rekaman live therapy, juga terutama ia menyaksikan langsung live therapy yang saya lakukan di depan kelas.

Menurutnya, dengan menyaksikan live therapy ia belajar cara cepat membangun relasi terapeutik yang kuat, membangun rasa percaya dan aman dalam diri klien sehingga klien bersedia terbuka dan menceritakan masalahnya.

Ia menjadi lebih cermat dan teliti saat mendengar cerita klien dan mengamati bahasa tubuh dan ekspresi wajah klien sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Ia mendapat "feel" bagaimana sikap, perhatian, keyakinan dan hati terapis saat membantu klien di ruang praktik.

Dan yang juga sangat penting, ia menyaksikan langsung, belajar, dan mengerti cara efektif dan efisien dalam menggunakan strategi dan teknik terapi seturut dinamika yang terjadi di ruang praktik. Menurutnya, ia mengerti bagaimana menjadi peka, tanggap, dan lentur dalam membantu klien. Pembelajaran ini berdampak signifikan dan memampukan dirinya bekerja optimal membantu klien.

Saya menyadari bahwa proses hipnoterapi sangat kompleks. Sejak pertama kali saya mengajar hipnoterapi di tahun 2008, hingga saat ini, saya menetapkan live therapy di depan kelas sebagai salah satu syarat mutlak untuk membangun kompetensi terapeutik setiap peserta didik.

Berdasar pengalaman saya belajar dan membangun kecakapan terapi, terapis pemula tidak akan bisa membangun kompetensi terapeutik tinggi hanya dengan mendapat pelajaran di kelas, baca workbook, nonton video, dan kemudian langsung praktik mandiri. Bila ini yang terapis pemula lakukan, sama seperti saya dulu, yang terjadi adalah kebingungan, tak tahu arah, dan akhirnya mengalami kegagalan berulang.

Hipnoterapis pemula sangat butuh melihat langsung proses terapi yang benar agar mereka memilik basis data yang kuat sebagai acuan dan tolok ukur (benchmark). Mereka juga butuh mendapat bimbingan berkelanjutan hingga akhirnya mencapai standar kompentensi yang ditetapkan.

Di kelas SECH saya menunjukkan langsung aplikasi ilmu yang diajarkan di kelas ke dalam praktik nyata. Masalah yang saya tangani tidak boleh masalah ringan atau sederhana seperti fobia. Masalahnya harus cukup kompleks sehingga teknik yang diajarkan di kelas dapat dipraktikkan dan ditunjukkan dengan segala dinamikanya.

Saat peserta didik melihat langsung teknik yang mereka pelajari berhasil membantu klien mengatasi masalah, pengalaman dan bukti ini menumbuhkan rasa percaya diri kuat bahwa mereka pun pasti bisa.

Saya melakukan total empat sesi live therapy di depan kelas, dengan klien yang berasal dari luar peserta. Jika klien adalah peserta workshop, proses terapinya tidak dapat menunjukkan dinamika yang terjadi di ruang praktik, karena peserta mengenal saya sebagai pengajar dan figur otoritas. Sebaliknya, jika klien berasal dari luar dan tidak mengenal saya, proses terapi berjalan persis seperti yang terjadi di ruang praktik saya.

Di kelas SECH saya hanya mengajarkan teknik yang saya gunakan di ruang praktik. Teknik-teknik ini telah teruji aman dan efektif mengatasi masalah klien dengan cepat dan tuntas. Saya tidak mengajarkan teknik yang belum pernah saya gunakan, walau di berbagai literatur diklaim efektif. Teknik yang saya ajarkan adalah intisari dari hasil belajar, praktik, dan temuan kami sejak tahun 2005 hingga kini.

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis, saya punya banyak sekali teknik untuk kasus berbeda. Misal, untuk menangani klien yang mengalami fobia, saya gunakan teknik A. Untuk masalah kecemasan, teknik B. Masalah adiksi, teknik C. Untuk insomnia, teknik D. Kebiasaan menunda, teknik E, dan seterusnya.

Karena ada banyak teknik yang harus saya ingat, saya sering mengalami kebingungan. Setiap kali menangani klien, saya tidak dapat fokus mendengarkan dan memahami masalah mereka, karena pikiran saya justru sibuk memikirkan teknik mana yang akan saya gunakan.

Kondisi ini menjadi semakin rumit bila ternyata masalah klien bersifat multilayer atau berlapis. Misal klien mengalami adiksi rokok. Dari hasil wawancara diketahui klien merokok karena stres. Ia stres karena sedang ada masalah di pekerjaan. Bila seperti ini kondisinya, teknik apa yang akan digunakan?

Akhirnya, saya memutuskan untuk menyederhanakan proses terapi. Melalui proses yang tidak mudah, selama tiga tahun saya mengamati dan mempelajari setiap masalah klien untuk menemukan pola. Saya juga membaca buku dan artikel jurnal. Dengan memahami pola-pola tersebut, penanganan setiap masalah dapat menggunakan protokol yang sama, meskipun dengan dinamika yang berbeda.

Pola yang saya temukan, untuk setiap masalah (simtom) pasti ada sebab (akar masalah). Bila ada asap, pasti ada api. Cari, temukan, dan padamkan apinya, maka asap dengan sendirinya pasti hilang.

Dengan logika yang sama, jika saya bisa membantu klien mencari, menemukan, dan menyelesaikan akar masalahnya, maka masalah klien akan berhasil diatasi. Setelah hati-hati dan cermat menelaah serta mengujicobakan berbagai teknik, merujuk pada buku teks, artikel jurnal, serta pengalaman dan temuan di ruang praktik, saya akhirnya memutuskan untuk fokus hanya pada dua teknik utama. Semua teknik lainnya, yang sebelumnya cukup merepotkan, saya tinggalkan.

Dua teknik ini, dengan varian strateginya, telah diterapkan dalam lebih dari 130.000 sesi konseling dan terapi selama hampir 20 tahun dengan hasil yang sangat baik. Teknik-teknik ini terus diperbarui dan ditingkatkan berdasarkan temuan dan pembelajaran kami, para hipnoterapis AWGI.

Mengingat proses pendidikan yang sangat intensif, saya mewajibkan setiap peserta didik untuk hadir dan mengikuti program pendidikan hipnoterapis SECH secara lengkap dan utuh selama 110 jam tatap muka atau 10 hari. Jika ada peserta yang, karena alasan tertentu, tidak dapat hadir meskipun hanya setengah hari, sesuai ketentuan, mereka harus mengundurkan diri.

Seluruh proses pendidikan SECH dilaksanakan secara tatap muka dan tidak dapat dilakukan secara daring (online), karena proses belajar tidak hanya sekadar melihat atau mendengar apa yang disampaikan oleh pengajar seperti yang terjadi dalam pembelajaran daring.

Proses belajar yang baik dan benar melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ada perbedaan yang signifikan dalam hal pengalaman dan dampak antara pembelajaran daring dan tatap muka. Hal ini juga berlaku untuk menyaksikan live therapy, baik secara daring maupun langsung di kelas.

Hipnoterapis pemula, yang dibekali dengan rasa percaya diri yang tinggi, mampu melaksanakan praktik sesuai protokol dengan hasil yang sangat baik. Ini tidak hanya membangun kompetensi terapeutik mereka tetapi juga semakin meningkatkan dan memperkuat rasa percaya diri mereka.

Sebaliknya, hipnoterapis yang kurang percaya diri atau meragukan kemampuan dan kompetensinya karena tidak menerima pendidikan dan bimbingan yang tepat, tidak akan mampu melaksanakan hipnoterapi dengan benar dan efektif. Semakin mereka tidak percaya diri, semakin tidak efektif terapi yang mereka lakukan.

Hipnoterapis tidak kompeten bisa saja mendapat klien lewat promosi yang dilakukan di media sosial. Namun, bila ia berulang kali gagal membantu klien-kliennya, rasa percaya dirinya pasti akan terdampak hingga akhirnya ia memutuskan berhenti praktik. Tentunya ini sangat disayangkan, mengingat investasi waktu, tenaga, dan biaya yang telah ia keluarkan, dan terutama jumlah hipnoterapis profesional masih sangat sedikit di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Terapi Singkat

30 Mei 2024
Bila bisa cepat, aman, dan tuntas, mengapa harus lama? Ini adalah pemikiran saya dulu saat pertama kali belajar hipnoterapi, terinspirasi dari salah satu buku yang saya baca di tahun 1993, Awaken The Giant Within karya Anthonny Robbins (1992).
 
Salah satu bab buku ini berjudul Can Change Happen In An Instant? Toni Robbins menjelaskan bahwa perubahan perilaku dapat terjadi secara instan. Tentu, yang dimaksud instan bukan dalam sekejap mata, tetap butuh proses. Intinya, perubahan yang dimaksud terjadi dalam waktu jauh lebih singkat daripada bila menggunakan terapi konvensional.
 
Dalam upaya menemukan jawaban apakah benar perubahan, lewat proses terapi, bisa terjadi dalam waktu singkat, saya berusaha mendapatkan informasi dengan membaca banyak literatur, khususnya tentang psikoterapi. Umumnya, untuk mengubah perilaku dengan psikoterapi konvensional membutuhkan waktu lama, belasan hingga puluhan sesi, dan biaya yang tidak sedikit. Ini tentu sangat membebani klien.
 
Para pelopor psikoterapi sesungguhnya sadar akan kondisi ini. Mereka ingin bisa memberikan layanan terapi efektif berdurasi singkat. James Gustafson, dalam bukunya berjudul The Complex Secret of Brief Psychotherapy (1986), memberikan tinjauan komprehensif atas kerja para pelopor psikoterapi singkat.
 
Tiga Gelombang Psikoterapi Singkat
 
Jeffrey Magnavinta (1993) mengindentifikasi tiga gelombang dalam perkembangan psikoterapi singkat. Gelombang pertama diawali oleh terapi singkat yang dilakukan Sigmund Freud. Freud menyembuhkan impotensi yang dialami komposer Gustav Mahler lewat perbincangan yang mereka lakukan sambil jalan kaki di sore hari. Masuk dalam gelombang pertama, nama besar seperti Otto Rank dan Sándor Ferenczi. Demikian pula Franz Alexander and Thomas French di tahun 1940an. Alexander dan French mengenalkan konsep pengalaman emosional korektif, dan menganjurkan terapi yang fokus pada tujuan terapi.
 
Gelombang kedua pelopor psikoterapi singkat bercirikan fokus yang lebih kuat pada manajemen pertahanan psikologis. Tokoh yang berpengaruh di era ini adalah Wilhelm Reich. Tulisannya dalam buku Character Analysis (1949) berdampak besar terhadap para pemikir di zamannya, karena ide untuk menembus "baju besi" karakter (character armor), atau pertahanan psikologis, dominan dalam model terapi ini.
 
Gelombang ketiga psikoterapi dipengaruhi mekanisme fundamental psikoterapi singkat yang digagas Gustafson (1984) dengan prinsip kerja berfokus pada tema utama yang mendasari masalah, penanganan resistensi, dan penyediaan kecakapan yang dibutuhkan klien.
 
Psikoterapi Masa Kini
 
Danny Wedding dan Raymond, J. Corsini, dalam Current Psychotherapies 11th ed.,(2019), menyatakan terdapat empat belas jenis psikoterapi yang umum dipraktikkan saat ini: psikoterapi psikodinamika, psikoterapi Adlerian, terapi berpusat pada klien (client centered therapy), terapi rasional emotif, terapi perilaku (cognitive therapy), terapi kognitif (cognitive therapy), psikoterapi eksistensial, terapi Gestalt, psikoterapi interpersonal, terapi keluarga, terapi berbasis mindfulness, psikoterapi positif, psikoterapi integratif, dan psikoterapi multikultural.
 
Selain jenis psikoterapi di atas, masih terdapat psikoterapi lain yang sangat disarankan untuk didalami, terapi penerimaan dan komitmen (Acceptance and Commitment Therapy / ACT) dan terapi perilaku dialektis (Dialectic Behavior Therapy / DBT).
 
Setiap jenis psikoterapi memiliki sejarah, landasan teori, paradigma, pendekatan, strategi dan tekniknya sendiri untuk membantu klien mengatasi masalah. Masing-masing digunakan sesuai kondisi dan kebutuhan untuk memberi hasil dan dampak terapeutik optimal pada klien.
 
Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Mengubah Perilaku?
 
Perubahan perilaku ternyata bukanlah hal yang mudah. Penelitian yang dilakukan oleh James Prochaska mengungkapkan bahwa perubahan perilaku memerlukan waktu yang panjang (Prochaska, Rossi, dan Wilcox, 1991).
 
Secara khusus, dalam kasus adiksi, berdasarkan sampel yang beragam dari individu yang berhasil mengubah perilaku mereka, dibutuhkan waktu rata-rata tujuh tahun dengan dua hingga tiga kali kambuh sebelum perubahan perilaku tersebut menjadi stabil dan permanen (Prochaska, DiClemente, dan Norcross, 1992).
 
Data klasik menunjukkan bahwa sekitar 70% individu yang telah berhasil mengubah perilaku seperti berhenti merokok, berhenti menggunakan obat terlarang, atau berhenti minum minuman beralkohol kembali ke perilaku lama mereka dalam waktu satu tahun (Hunt dkk., 1971). Penelitian lebih baru menunjukkan hasil yang serupa (Hughes dkk., 2004; Kirshenbaum dkk., 2009).
 
Untuk perilaku lain seperti fobia dan kesedihan mendalam, waktu yang diperlukan untuk berubah sangat bervariasi. Secara umum, individu sering membutuhkan waktu satu hingga dua tahun untuk mengenali masalah, mengambil tindakan untuk berubah, dan mempertahankan perubahan yang telah dicapai.
 
Penelitian tentang perubahan perilaku yang dilakukan selama tiga puluh tahun menyimpulkan dua temuan penting yang menjelaskan mengapa perubahan perilaku sulit dilakukan. Pertama, mengubah atau mengganti perilaku lama dengan perilaku baru tidak serta-merta menghapus perilaku lama. Kedua, perubahan perilaku bisa sangat spesifik tergantung pada konteks di mana perubahan itu terjadi (Bouton, 2014).
 
Apa yang Dimaksud Terapi Singkat?
 
Menurut James Mann (1973), terapi singkat adalah terapi yang berlangsung maksimal 12 sesi. Sementara ada pula yang menyatakan bahwa terapis tidak bisa menentukan jumlah sesi yang harus dijalani klien karena setiap masalah bersifat unik dan butuh penanganan berbeda.
 
Jeffrey Binder, William Henry, dan Hans Strupp (1987) lebih menekankan pentingnya sikap sadar waktu (time-limited attitude) daripada menetapkan jumlah sesi secara kaku. Menurut mereka, terapis perlu senantiasa menyadari pentingnya membatasi terapi untuk waktu sesingkat mungkin yang dapat dicapai. Dengan kata lain, terapis bertujuan memberikan hasil terbaik kepada sebanyak mungkin orang dalam waktu sesingkat-singkatnya (Lazarus dan Messer, 1991, p.153).
 
Terapi singkat, menurut hemat saya, mengacu pada bentuk layanan di mana terapis memiliki kesadaran terhadap waktu dan hasil, dengan fokus pada tujuan terapeutik yang spesifik. Terapis berpartisipasi secara aktif dalam proses terapi yang aman dan efektif, serta berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan terapi dalam waktu sesingkat mungkin dengan hasil yang bertahan lama. Jumlah sesi bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klien. Dengan definisi ini, sejatinya psikoterapi apa pun dapat menjadi terapi singkat.
 
Terapi singkat tidak berarti terapis mendesak klien untuk berubah dengan layanan terapi yang sengaja dibuat singkat, misal hanya berdurasi 60 menit, sehingga klien terburu-buru dan menjadi tidak nyaman menjalani proses terapi. Terapi singkat artinya tidak satu sesi lebih dari yang diperlukan klien untuk berubah.
 
Hipnoterapi Singkat
 
Setiap proses terapi merupakan bentuk kerja sama yang setara antara terapis dan klien. Terapis, dengan persetujuan klien, memfasilitasi proses yang diperlukan agar klien dapat berubah, sementara klien harus siap, bersedia, dan sepenuh hati mengikuti arahan yang diberikan oleh terapis.
 
Untuk mencapai hasil terapi terbaik dalam waktu singkat, diperlukan dua komponen utama: kompetensi terapeutik terapis dan kesiapan serta kesediaan klien untuk berubah.
 
Dari sisi terapis, efektivitas terapi sangat dipengaruhi oleh jenis hipnoterapi yang dipraktikkan. Terdapat dua mazhab utama dalam hipnoterapi: hipnoterapi berbasis sugesti dan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis.
 
Secara umum, hipnoterapis yang mengandalkan sugesti sebagai sarana untuk mencapai perubahan biasanya memerlukan jumlah sesi yang cukup banyak, bisa melebihi 10 sesi, untuk membantu klien berubah. Durasi setiap sesi berkisar antara 60 hingga 90 menit.
 
Semakin kompleks masalah klien, semakin banyak sesi yang dibutuhkan. Jenis hipnoterapi ini kurang efektif dalam menangani masalah berat dan kompleks, yang melibatkan emosi negatif yang intens seperti luka batin, trauma, kesedihan mendalam, pelecehan seksual, kemarahan yang ditekan, stres kronis, dan sebagainya.
 
Sebaliknya, hipnoterapi berbasis hipnoanalisis jauh lebih efektif dan efisien dalam mengatasi masalah klien karena metode ini bekerja dengan prinsip mencari, menemukan, dan menyelesaikan akar masalah secara tuntas.
 
Hipnoterapi singkat, sesuai standar Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology® (AWGI), menggunakan pendekatan hipnoanalisis yang membutuhkan antara satu hingga empat sesi perlakuan. Durasi setiap sesi berkisar antara tiga hingga empat jam.
 
Untuk dapat menjalankan hipnoterapi singkat ini, kami hanya bekerja dengan klien yang siap dan bersedia berubah. Untuk menilai kesiapan dan kesediaan klien berubah, kami menggunakan The Transtheoretical Model (Stages of Change) yang diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an oleh peneliti James Prochaska dan Carlo DiClemente (1994, pp. 38-50).
 
The Transtheoretical Model menjelaskan enam tahap perubahan yang dilalui seseorang untuk berubah:
 
Tahap 1. Prakontemplasi
Tahap 2. Kontemplasi
Tahap 3. Determinasi
Tahap 4. Aksi
Tahap 5. Pemeliharaan
Tahap 6. Terminasi
 
Di tahap satu, Prakontemplasi, individu tidak mengetahui, tidak menyadari, atau menyangkal keberadaan masalah. Di tahap dua, Kontemplasi, individu tahu dan bersedia menerima keberadaan masalah. Namun ia masih belum merasa perlu berubah atau tidak tahu apa yang sebaiknya ia lakukan dengan kondisi yang ia alami.
 
Individu di tahap satu dan dua tidak bisa dibantu berubah karena mereka tidak siap dan tidak (belum) bersedia berubah.
 
Bila klien yang telah berada di tahap kedua, Kontemplasi, datang jumpa kami, hipnoterapis AWGI, untuk konsultasi, kami tidak akan langsung melakukan terapi. Kami akan bantu dan siapkan pikiran bawah sadar klien untuk berubah dengan strategi khusus. Dengan demikian klien secara sadar dan sukarela berpindah dari tahap dua ke tahap tiga.
 
Saat individu berada di tahap tiga, Determinasi, ia membuat keputusan dan siap berubah. Ia membuat perencanaan apa yang harus dilakukan untuk berubah, misal, mencari informasi dengan membaca buku, menghadiri pelatihan, menonton video YouTube, mencari pihak yang bisa membantunya, seperti dokter, psikiater, psikolog, terapis, konselor, pendoa, life coach, atau yang lain.
 
Di tahap empat, Aksi, individu melakukan upaya perubahan seturut yang telah ia putuskan. Di sini ia jelas akan tujuan yang hendak dicapai dan komit menjalani prosesnya dengan sungguh-sungguh.
 
Tahap lima, Pemeliharaan, adalah tahap individu secara sadar bertanggung jawab melakukan upaya pemeliharaan dan penguatan perubahan yang telah ia capai.
Tahap enam, Terminasi, adalah tahap di mana individu tidak lagi perlu melakukan upaya apa pun untuk menjaga perubahan yang telah ia capai karena perubahan ini telah stabil, menetap, dan menjadi dirinya yang baru.
 
Dari pengalaman dan temuan kami di ruang praktik, terapi yang menggunakan pendekatan, teknik, atau strategi apa pun dapat menjadi terapi singkat apabila klien, saat bertemu dengan terapis, berada pada tahap tiga, yaitu Determinasi.
 
Ini sebabnya, dalam protokol hipnoterapi AWGI, sangat ditekankan pentingnya menyiapkan klien, khususnya pikiran bawah sadarnya, untuk mendukung proses terapi yang akan dijalani, dengan memberi edukasi yang cukup dan dibutuhkan klien, membangun kesadaran klien, menjalin relasi terapeutik yang kuat antara terapis dan klien, dan membangun kepercayaan dan rasa aman dalam diri klien.
Baca Selengkapnya

Resistensi dalam Hipnoterapi

12 Mei 2024

Hipnoterapi adalah kerjasama hipnoterapis dan klien dalam upaya pemberdayaan diri, peningkatan kualitas hidup, dan kesejahteraan klien. Kita tentu berharap proses hipnoterapi berjalan dengan mudah, lancar, dan efektif. Namun, pada kenyataannya, tidak semua proses terapi berlangsung semulus yang diharapkan. Salah satu hambatan utama dalam hipnoterapi adalah resistensi.

Resistensi, dalam banyak literatur tentang hipnosis dan hipnoterapi, merujuk pada sikap dan perilaku klien yang kurang kooperatif atau cenderung menentang proses terapi yang sedang dijalani. Perilaku ini dapat menghambat efektivitas terapi dan mempersulit pencapaian hasil yang diharapkan.

Berdasar pengalaman dan temuan kami, para hipnoterapis AWGI, resistensi terjadi tidak hanya pada klien, juga pada terapis. Dalam proses terapi, resistensi dapat terjadi hanya pada klien, hanya pada terapis, atau pada keduanya secara bersamaan.

𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐓𝐞𝐫𝐚𝐩𝐢𝐬

Resistensi pada terapis, sering tidak disadari karena terapis lebih fokus pada resistensi klien. Resistensi ini menghambat terapis mencapai kinerja optimal. 

Resistensi pada terapis dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, misalnya: terapis mampu melakukan terapi dengan efektif, tetapi kesulitan mendapatkan klien-klien baru; terapi yang dilakukan tidak efektif; terapis jarang mendapatkan klien meskipun telah berusaha mempromosikan diri melalui berbagai cara; klien sering membatalkan janji atau tidak muncul untuk sesi terapi; atau terapis merasa tidak nyaman menetapkan biaya jasa profesi yang sejalan dengan pengalaman dan kompetensinya. 

Jika ditelisik lebih dalam, resistensi pada hipnoterapis seringkali bersumber dari kepercayaan negatif yang menghambat (limiting belief). Kepercayaan negatif ini, perasaan tidak cakap, tidak mampu, tidak percaya diri, takut gagal, takut salah, tercipta karena hipnoterapis tidak mendapatkan pendidikan, bimbingan, dan supervisi yang memadai untuk menjadi hipnoterapis profesional berkompetensi terapeutik tinggi. 

Selain itu, resistensi juga bisa muncul karena terapis merasa dirinya tidak layak atau tidak pantas menerima biaya jasa profesi (fee) yang sesuai dengan kualitas layanan yang diberikan.

Terapis bisa beralasan terapi yang ia lakukan semata untuk tujuan kemanusiaan, membantu sesama. Namun dalam hati, sejujurnya, ia berharap mendapat penghargaan yang layak berupa biaya jasa profesi yang sepadan. Alasannya terkesan mulia, namun sesungguhnya ia merasa dirinya tidak layak dan tidak berharga. Kondisi ini sering tidak disadari atau diakui oleh terapis. 

Sangat penting bagi setiap hipnoterapis untuk mengidentifikasi resistensi dalam diri mereka dan segera menetralisirnya. Hanya dengan cara ini mereka mampu dan dimampukan membangun dan mengembangkan diri menjadi hipnoterapis profesional yang mampu memberi dampak positif dan nyata bagi masyarakat. 

𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐊𝐥𝐢𝐞𝐧

Resistensi pada klien bisa bersumber dari pikiran sadar (PS), pikiran bawah sadar (PBS), atau keduanya. Dalam konteks tahapan terapi, resistensi dapat muncul pada salah satu atau beberapa tahap, yaitu: wawancara, induksi, pendalaman, intervensi, dan terminasi.

Resistensi yang bersumber dari PS biasanya mudah dikenali karena klien menunjukkan sikap tidak kooperatif sejak awal. 

Resistensi yang bersumber dari PBS jauh lebih kompleks karena berkaitan dengan proses dan dinamika yang terjadi di PBS klien selama proses terapi berlangsung. Bentuk resistensi ini bisa sangat halus dan tidak terlihat secara langsung, tetapi bisa memengaruhi respons klien terhadap terapi, termasuk reaksi yang tidak terduga atau penolakan terhadap sugesti atau arahan yang diberikan oleh terapis. 

Resistensi klien yang terjadi di tahap wawancara mengakibatkan ia tidak terbuka atau jujur dalam menyampaikan masalah atau kondisinya. Mereka juga membatasi informasi yang diberikan kepada terapis dengan menjawab pertanyaan secara singkat atau seadanya, membuat proses wawancara menjadi kurang efektif.

Jika resistensi terjadi pada tahap induksi atau pendalaman, klien akan kesulitan atau tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis dalam. Biasanya, terapis akan mengganti strategi, teknik, atau menggunakan skrip lain untuk membantu klien masuk kondisi hipnosis. Namun, berdasarkan pengalaman kami, pendekatan ini sering kali tidak efektif. 

Resistensi pada tahap intervensi mengakibatkan strategi atau teknik terapi yang digunakan menjadi tidak efektif. Bentuk resistensi ini bisa berupa penolakan terhadap sugesti yang diberikan, PBS menjadi tidak responsif, klien tidak bersedia mengikuti arahan terapis, atau klien keluar dari kondisi hipnosis. 

Ketika ini terjadi, terapis harus mengevaluasi pendekatan mereka dan perlu mengambil langkah lain untuk mengatasi resistensi dan membangun hubungan terapeutik yang lebih kuat dengan klien.

Terapi yang mengandalkan sugesti biasanya didasarkan pada asumsi bahwa PBS adalah satu unit yang utuh. Sugesti diberikan kepada PBS dengan harapan akan mengubah kontennya dan menghasilkan perubahan pada perilaku atau kondisi klien. Namun, dalam kenyataannya, PBS terdiri dari unit-unit kepribadian independen yang memiliki pemikiran dan tujuan yang berbeda-beda. Kami menyebutnya sebagai Ego Personality (EP).

Ketika sugesti yang diberikan ke PBS tidak sesuai dengan tujuan atau agenda dari satu atau beberapa EP dominan, sugesti tersebut akan ditolak atau diabaikan. Ini adalah salah satu bentuk resistensi atau perlawanan PBS yang bisa terjadi saat terapi.

Selain itu, resistensi juga dapat muncul dalam bentuk gejala emosional atau fisik yang mengganggu proses terapi, hingga akhirnya terapi harus dihentikan. Contohnya, klien bisa mengalami kecemasan yang meningkat, serangan panik, sakit kepala, napas sesak, atau rasa tidak nyaman fisik signifikan lainnya saat menjalani terapi. 

Oleh karena itu, terapis perlu berhati-hati dan fleksibel dalam pendekatannya, memahami bahwa resistensi berasal dari dinamika internal dalam PBS, dan berupaya menemukan cara untuk mengatasi hambatan ini agar terapi dapat berlangsung secara efektif.

Bentuk resistensi pada tahap terminasi, salah satunya, adalah ketika klien sulit atau enggan keluar dari kondisi hipnosis. Ini juga merupakan bentuk resistensi yang bersumber dari PBS. Klien mungkin merasa nyaman berada dalam kondisi hipnosis, atau mungkin ada aspek dari pengalaman hipnoterapi yang membuat mereka enggan kembali ke kondisi sadar normal. Resistensi ini bisa menjadi tantangan bagi terapis saat mengakhiri sesi terapi.

Untuk mengatasi resistensi di tahap terminasi, terapis perlu memiliki strategi yang efektif untuk memastikan klien dapat keluar dari kondisi hipnosis dengan aman dan nyaman. 

𝐄𝐬𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢

Resistensi, apa pun bentuk dan variannya, baik yang terjadi pada terapis maupun klien, sebenarnya memiliki basis emosi yang sama: rasa takut.

Ada cara mudah untuk mengidentifikasi sumber rasa takut ini dan menghilangkannya, tetapi ini di luar cakupan pembahasan dalam tulisan ini. Namun, begitu rasa takut ini dinetralisir, proses terapi menjadi lebih mudah dan lancar.

Memahami bahwa resistensi seringkali berasal dari rasa takut dapat membantu terapis untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan klien dan mengatasi hambatan dengan pendekatan yang lebih empatik. Terapi yang efektif membutuhkan kepercayaan dan rasa aman, sehingga mengatasi rasa takut menjadi langkah penting untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam terapi.

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis sekitar 20 tahun lalu, saya memelajari banyak teknik untuk mengatasi resistensi klien. Teknik-teknik ini tersimpan rapi di dalam "kotak peralatan terapi" saya dan siap digunakan bila dibutuhkan. Namun, pada masa itu, saya belum menyadari bahwa resistensi utama yang harus diatasi adalah resistensi pada diri saya sebagai terapis.

Seiring berjalannya waktu, dengan semakin banyak belajar dan praktik, saya akhirnya menemukan cara mudah mengatasi resistensi, baik pada diri saya sebagai terapis maupun pada klien. 

Resistensi pada terapis harus diatasi secara internal, bisa dengan menggunakan teknik swaterapi yang sesuai atau dengan bantuan terapis lainnya.

Sementara untuk klien, saya mengadopsi strategi berbeda dari yang umumnya dijelaskan dalam literatur. Biasanya, terapis mengatasi resistensi klien dengan mengarahkan pikiran klien untuk fokus pada resistensinya, terutama pada tahap induksi. Strategi ini memang efektif dan saya juga pernah menggunakannya.

Namun, resistensi juga sering muncul di tahap intervensi, yang berasal dari PBS klien. Hal ini tentu saja mengganggu proses terapi, menjadikannya lebih panjang dan melelahkan, baik bagi klien maupun bagi terapis.

Saya akhirnya menyadari bahwa cara terbaik mengatasi resistensi klien adalah dengan menyiapkan klien secara menyeluruh, baik di aspek PS maupun PBS, agar siap dan bersedia menjalani proses terapi sepenuh hati.

Persiapan ini dilakukan melalui edukasi terstruktur dan sistematis kepada klien, dimulai jauh sebelum mereka bertemu dengan terapis, dan dilanjutkan hingga pertemuan di ruang praktik.

Di ruang praktik kami, dengan memberikan edukasi yang tepat kepada klien, mereka mendapatkan pemahaman yang benar dan memberdayakan, serta menjadi siap dan bersedia menjalani sesi terapi dengan sungguh-sungguh. 

Seringkali, dengan pemahaman ini, kesadaran klien meningkat, memampukan mereka untuk melihat masalahnya dari sudut pandang yang lebih konstruktif, memberdayakan, dan akhirnya masalah klien luruh dan terselesaikan dengan sendirinya tanpa perlu intervensi dari terapis.

Baca Selengkapnya

Kondisi Hipnosis Sebagai Syarat Hipnoterapi

6 Mei 2024

Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis untuk menangani masalah medis atau psikologis. Sementara hipnosis adalah kondisi kesadaran melibatkan perhatian terfokus dan berkurangnya kesadaran periferal yang bercirikan peningkatan kapasitas respons terhadap sugesti. Kedua definisi ini ditetapkan American Psychological Association (APA) Divisi 30 di tahun 2014 (Elkins dkk, 2015, p.6-7).

Hipnoterapi adalah terapi, menggunakan teknik atau metode apa saja, dilakukan di dalam kondisi hipnosis, untuk mencapai tujuan terapeutik spesifik. Hipnosis adalah kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2017).

Seturut definisi di atas, salah satu syarat hipnoterapi adalah klien harus berada dalam kondisi hipnosis selama proses terapi berlangsung. Ada empat cara umum untuk memasuki kondisi hipnosis: dilakukan sendiri, dibantu orang lain, menggunakan obat atau zat kimia tertentu, dan secara spontan.

Dalam konteks hipnoterapi, proses klien beralih dari kondisi kesadaran normal ke kondisi hipnosis disebut induksi. Terdapat banyak varian teknik induksi. Namun secara umum, terbagi menjadi empat kategori: induksi instan, induksi cepat, induksi panjang, dan induksi berbasis emosi.

Di kalangan hipnoterapis terdapat pemahaman salah bahwa hipnosis adalah sesuatu yang terapis lakukan pada klien. Klien masuk kondisi hipnosis karena kerja atau upaya terapis menggunakan skrip atau teknik tertentu. Klien hanya pasif dan semuanya adalah tanggung jawab terapis. Pemahaman salah ini juga saya alami dulu di awal karir saya sebagai hipnoterapis.

Berdasar pengalaman dan temuan di ruang praktik, saya merevisi pemahaman ini. Pemahaman yang benar, menjadi landasan praktik saya dan diajarkan di kelas pendidikan dan sertifikasi hipnoterapis profesional, 𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇), yaitu hipnosis adalah sesuatu yang klien lakukan pada dirinya sendiri, atas persetujuan dan izin klien, dengan mengikuti tuntunan terapis. Klien aktif dan ikut serta dalam proses induksi yang difasilitasi terapis. 

Agar dicapai hasil terapi optimal, terapis selain wajib mampu melakukan induksi dengan efektif, juga perlu memahami kondisi, kedalaman, pendalaman, kestabilan, dan fenomena hipnosis. 

Terapis profesional tidak sekadar baca skrip induksi. Setiap induksi yang terapis lakukan bertujuan menuntun klien mencapai kedalaman hipnosis spesifik, seturut masalah yang hendak diselesaikan dan teknik terapi yang digunakan. 

Dari temuan kami, para hipnoterapis AWGI, bila syarat dan kondisinya terpenuhi, klien dengan sangat mudah masuk dan bertahan di kondisi hipnosis, sedalam yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalahnya. Sebaliknya, klien akan bertahan sedangkal yang dibutuhkan, demi mempertahankan keselamatan dan kesejahteraan hidupnya. 

Terapis pemula biasanya melengkapi dirinya dengan banyak skrip atau teknik induksi untuk "menghadapi" klien mereka. Pendekatan ini sangat tidak disarankan karena bisa mengakibatkan terapis bingung dalam memilih skrip dan tidak fokus. 

Sementara terapis profesional dan berpengalaman mengandalkan dan menggunakan satu atau dua skrip induksi yang telah teruji efektif menuntun klien masuk kondisi hipnosis dalam. 

Pendalaman adalah teknik yang terapis gunakan untuk menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis yang lebih dalam lagi. Terdapat tiga teknik pendalaman yang biasanya digunakan dalam praktik hipnoterapi: verbal, visual, dan gabungan keduanya. 

Teknik pendalaman verbal adalah dengan melakukan penghitungan, bisa dengan hitungan naik atau turun. Sementara pendalaman visual adalah dengan meminta klien membayangkan ia menuruni tangga, naik eskalator, atau lift. Cara lain, klien diminta membayangkan berada di tempat kedamaian. Teknik pendalaman berbasis visual sering tidak efektif dan bisa kontraproduktif. 

Dalam penentuan kedalaman kondisi hipnosis, mayoritas hipnoterapis menggunakan fenomena fisik yang klien alami sebagai parameter, seperti napas melambat dan ritmik, wajah datar, tubuh rileks, tangan terasa berat bila diangkat, atau ada jeda dalam menjawab.  

Fenomena fisik ini tidak akurat karena hanya berlaku bagi klien dengan tipe sugestibilitas fisik, tidak untuk klien dengan tipe sugestibilitas emosi atau intelektual. Terapis profesional menggunakan parameter yang bersifat universal, berlaku untuk klien bertipe sugestibilitas fisik maupun emosi. 

Untuk menentukan kedalaman kondisi hipnosis, terapis perlu melakukan uji kedalaman, baik yang sifatnya terbuka (overt) atau tersamar (covert), dengan merujuk pada skala kedalaman. Terdapat banyak skala kedalaman hipnosis yang disusun oleh pakar hipnoterapi atau lembaga riset terkemuka, masing-masing menggunakan skala berbeda. 

Dari hasil penelusuran literatur diketahui sejauh ini terdapat 25 skala kedalaman hipnosis. Beberapa di antaranya: Davis-Husband Scale, Friedlander-Sarbin Scale, Lecron-Bordeaux Scale, The Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Children Hypnotic Susceptibility Scale, Standford Clinical Case for Adults, Standford Clinical Scale for Children, Barber Suggestibility Scale, Barber Creative Imagination Scale, Heron Depth Scale, Hartman Depth Scale, The Arons Scale, Harvard Group Scale, Long Standford Scale, dan Hypnotic Induction Profile. 

Dari 25 skala hipnosis yang dijelaskan di atas, dalam dunia hipnosis dan hipnoterapi, terutama di Indonesia, yang paling dikenal adalah skala Davis dan Husband yang terdiri 30 kedalaman, terbagi menjadi lima jenjang: insusceptible, hypnoidal, light trance, medium trance, dan deep trance (profound somnambulism).

Dalam praktik membantu klien, dari pengalaman kami, hipnoterapis perlu menggunakan satu skala kedalaman sebagai acuan, tidak bisa menggunakan bebeberapa skala sekaligus, karena setiap skala, yang disusun oleh pakar atau lembaga berbeda, menggunakan jumlah kedalaman dan fenomena hipnosis berbeda. 

Seorang terapis tidak hanya harus terampil dalam membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis dalam, tetapi juga perlu mampu menjaga klien dalam kondisi hipnosis ini selama terapi berlangsung. Hipnosis bukanlah kondisi yang statis, melainkan dinamis. Klien dapat mengalami fluktuasi pada tingkat kedalaman tertentu. Oleh karena itu, terapis harus cermat dalam mengamati dan menilai kedalaman hipnosis yang sedang dialami klien.

Kegagalan dalam proses terapi sering terjadi bukan karena teknik terapinya tidak efektif, tetapi karena kedalaman dan kestabilan kondisi hipnosis yang dialami klien tidak memenuhi syarat untuk terapi yang efektif.

Baca Selengkapnya

Wawasan Sebagai Determinan Keefektifan Hipnoterapi

22 April 2024

Tujuan utama setiap hipnoterapis adalah ia mengalami perkembangan dan pemberdayaan diri, melalui pendidikan hipnoterapi yang ia jalani, sehingga mampu membantu klien-kliennya, melalui proses konseling dan atau terapi yang aman, nyaman, relatif singkat, efektif, berdampak positif signifikan dan bertahan lama. 

Terapis pemula fokus pada teori, teknik, strategi yang digunakan dalam membantu klien mencapai tujuan terapi. Pada tahap selanjutnya, terapis yang telah berkembang wawasannya menyadari bahwa semua teknik dalam hipnoterapi harus dipraktikkan dalam hubungan interpersonal yang konstruktif, dan bahwa dalam analisis akhir, keberhasilan atau kegagalan terapi lebih ditentukan oleh sikap, kepedulian, kasih, dan hati terapis saat berhubungan dengan klien daripada apa yang ia lakukan pada klien. 

Ini menjelaskan mengapa dua praktisi menggunakan teknik yang identik namun yang satu mencapai hasil yang jauh lebih baik daripada yang lain. 

Walau tujuan hipnoterapi adalah membantu klien mengatasi masalah emosi atau perilaku, dalam hipnoterapi sejatinya terdapat dua strategi penanganan masalah, menggunakan sugesti dan hipnoanalisis. 

Hipnoterapi berbasis sugesti mengandalkan pemberian sugesti kepada klien dalam kondisi hipnosis. Pemberian sugesti dilakukan saat klien jumpa terapis di ruang praktik, dan ada pula yang direkam dan klien diminta mendengarnya berulang kali di rumah, dengan harapan sugesti ini akan memberi dampak positif dan masalah klien berhasil diatasi. Hipnoterapi berbasis sugesti bersifat "memasukkan" (putting-in). 

Hipnoterapi berbasis hipnoanalisis cukup kompleks dan butuh kecakapan tinggi agar dapat dilakukan dengan benar dan efektif. Ia mengandalkan kejelian dan rangkaian strategi untuk menelisik pikiran bawah sadar (PBS), mencari, menemukan, dan melakukan resolusi akar masalah. Hipnoterapi jenis ini bersifat "menarik keluar" (pulling-out). 

Terlepas dari jenis hipnoterapi yang dipraktikkan, syarat mutlak agar proses hipnoterapi berjalan lancar, klien harus berada dalam kondisi hipnosis dengan kedalaman tertentu, bergantung teknik yang digunakan dan tujuan terapi yang hendak dicapai. 

Untuk itu, terapis harus mampu menuntun klien masuk kondisi hipnosis, melakukan uji kedalaman dan memvalidasi kondisi hipnonis yang klien capai, serta mampu mempertahankan klien di rentang kedalaman optimal selama proses terapi berlangsung, dengan durasi antara satu hingga empat jam dalam satu sesi.  

Untuk uji kedalaman dan validasi kondisi hipnosis yang dicapai para klien, hipnoterapis AWGI menggunakan tiga uji kedalaman spesifik mengacu pada Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, skala kedalaman hipnosis yang yang disusun tahun 2010. 

Hipnoterapi berbasis hipnoanalisis, selain mampu mengungkap materi memori yang tersembunyi atau direpresi jauh di kedalaman PBS, juga mampu melakukan resolusi akar masalah hingga akhirnya klien mencapai pemahaman mendalam tentang apa yang ia alami, wawasan (insight) konstruktif, resolutif, integratif, dan bersifat memberdayakan dirinya. 

Wawasan inilah kunci pengikat semua proses yang klien alami selama sesi terapi dan membuat hasil terapi menjadi sangat kuat dan mampu bertahan lama. Wawasan selain bersifat meningkatkan kesadaran juga menguatkan klien sehingga di masa mendatang bila klien mengalami hal serupa atau sama dengan yang dulu ia alami, kejadian serupa ini tidak lagi berdampak negatif pada klien. 

Wawasan ini tidak bisa diberikan oleh terapis pada klien, dalam bentuk sugesti. Wawasan terbaik muncul sebagai hasil proses terapi yang berpusat pada klien (client centered), setelah klien mengalami pengalaman emosional korektif tuntas. 

Dari temuan kami di ruang praktik, agar benar efektif dan berdampak optimal bagi kebaikan dan kesejahteraan klien, wawasan harus tercipta pada diri individu di usia dan momen kejadian akar masalah, tidak hanya di tataran intelektual, namun ia harus berdasarkan pengalaman, melibatkan respon afektif, motorik serta kognitif sebagai satu kesatuan.  

Baca Selengkapnya

Belajar Untuk Menjadi Cerah Dan Bijak

23 Januari 2024
Salah satu kegiatan yang sangat saya nikmati adalah sarapan pagi bersama istri dan anak-anak kami. Di kesempatan ini kami biasanya diskusi ringan membahas topik-topik hangat.
 
Saya gunakan kesempatan ini untuk cerita tentang hidup, kehidupan, sukses, nilai-nilai kebaikan, kemoralan, spiritualitas, terapi, dan hal-hal lain yang bermanfaat.
 
Pagi ini kami diskusi tentang sikap dan proses belajar yang baik dan benar. Saya sampaikan pada putri kami bahwa sejatinya ilmu itu sangat luas dan tiada batas. Apa yang kita tahu saat ini, hanya seperti sebutir pasir di hamparan pantai nan luas.
 
Untuk bisa terus maju, berkembang, dan menjadi diri terbaik, proses belajar harus berlanjut, tidak boleh berhenti. Kita harus menjadi pembelajar seumur hidup. Dan ini tentu belajar yang terarah, selektif, terstruktur, dan konsisten.
 
Saya jelaskan, ada begitu banyak pakar dan ilmuwan menghasilkan pemikiran, pengetahuan, dan teori. Kita perlu sungguh-sungguh belajar dan memutuskan untuk mendalami pemikiran pakar atau teori yang sejalan dan dibutuhkan untuk kegiatan praktis guna mencapai tujuan spesifik.
 
Kita, tidak bisa belajar semua atau sekadar menggabungkan satu teori dengan teori lain tanpa memiliki landasan pengetahuan yang benar dan kuat.
 
Bila suatu teori yang dijadikan acuan ternyata tidak bisa memberi hasil seperti yang diharapkan, atau justru menghambat upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, karena teorinya sudah usang dan ada teori baru yang lebih valid, teori lama ini harus segera ditinggalkan dan kita belajar teori baru. Bila perlu, kita membangun teori baru.
 
Yang jadi masalah adalah bila orang sudah belajar satu teori, kemudian ia merasa pintar, hebat, paling benar dan menutup diri dari informasi lain yang bisa jadi adalah informasi benar, berharga, bermanfaat.
 
Orang ini berpikiran sempit dan berhenti bertumbuh. Apalagi bila ia mulai menghakimi orang lain yang tidak sejalan dengan dirinya sebagai orang yang salah.
 
Kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya relatif, tentatif, tidak mutlak. Artinya, kebenaran ini bisa berubah. Hal yang saat ini diyakini benar, suatu saat nanti bisa salah.
 
Sangat naif bila seseorang yang belajar teori tertentu, memperlakukan teori ini sebagai kebenaran mutlak, dan menghakimi teori lain salah, padahal ia belum mendalami teori lain ini.
 
Lebih memprihatinkan lagi bila ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup di satu bidang tertentu, dengan keterbatasan pengetahuannya, menolak atau menghakimi hal yang bukan bidang keahliannya.
 
Penolakan seseorang terhadap hal baru atau yang tidak sejalan dengan teori yang ia pegang, yang ia yakini benar, sangat bisa dipahami dan dijelaskan dari persepektif ilmu pikiran, khususnya terkait sifat dan cara kerja pikiran bawah sadar (PBS).
 
Salah satu kebutuhan utama manusia adalah konsistensi. Bila ia menerima hal baru, yang tidak sejalan dengan teori yang ia yakini benar, maka dalam hal ini ia telah bertindak tidak konsisten. Dan ini sangat mengganggu dirinya dan dianggap bisa meruntuhkan eksistensi dirinya.
 
Ia tidak meyadari bahwa teori yang ia pelajari, yang ia yakini benar, sejatinya hanyalah ide atau produk pikiran. Teori bukan dirinya dan dirinya bukan teori.
 
Satu pernyataan Andrew Greeley sangat perlu direnungkan, "Science is a faith-based system with gatekeepers ever ready to persecute its heretics" atau "Sains adalah sebuah sistem berbasis keyakinan dengan para penjaga gerbang yang senantiasa siap menganiaya para bidah / orang sesat."
 
Harusnya, pola pikir ilmuwan sejati adalah mengikuti data, bahkan bila ternyata data ini tidak sejalan dengan teori. Saya beri beberapa contoh, bagaimana seringkali pionir atau orang yang berbeda pemikiran atau karya mendapat cemooh atau dirundung oleh sejawat atau komunitas, karena sesungguhnya karya atau pemikiran mereka jauh melampaui zamannya.
 
Di tahun 1890an, Willem Einthoven, seorang dokter Belanda, mulai mengukur medan elektromagnetik jantung manusia. Ia mulai membuat alat yang disebut galvanometer. Einthoven menghadapi banyak skeptisisme dan pertentangan dari rekan sejawat dan komunitasnya.
 
Bagi banyak rekan medisnya, yang terbiasa melihat hanya pada materi, gagasan tentang medan energi yang tak terlihat, tampak sebagai sesuatu yang mencurigakan.
 
Percobaan pertamanya tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Mesinnya berbobot 270 kg dan membutuhkan lima orang untuk mengoperasikannya. Sistem radiator berisi air diperlukan untuk mendinginkan elektromagnet kuat yang menjadi tumpuannya.
 
Setelah bertahun-tahun bekerja keras, Einthoven berhasil mengembangkan galvanometer yang jauh lebih sensitif daripada galvanometer manapun yang ada pada saat itu. Ia mampu menghubungkan subjek dan mengukur detak jantung mereka. Dia akhirnya membangun teori substansial tentang bagaimana jantung berfungsi dan apa arti pembacaan elektrokardiogram (EKG) untuk diagnosis dan pengobatan.
 
Einthoven mengabaikan para pengkritiknya dan terus bekerja. Ia memenangkan hadiah Nobel di bidang kedokteran pada tahun 1924. Ia mengilhami pencarian medan energi otak, yang ditemukan pada tahun 1926. Para peneliti kemudian dapat memetakan medan energi bahkan pada satu sel.
 
Kisah lain, dokter Hans Berger. Pada tahun 1929, setelah menyempurnakan peralatan dan keterampilannya, Hans Berger mendeskripsikan dua gelombang otak pertama yang pernah ditemukan: alfa dan beta.
 
Sayangnya, karya Berger ini bertentangan dengan teori otak yang lazim dalam pengobatan saat itu, dan karyanya ditolak oleh sebagian besar sejawatnya.
 
Ilmuwan Inggris dan Amerika percaya bahwa apa yang Berger ukur hanyalah artefak listrik. Salah satu ilmuwan menulis bahwa ia sangat skeptis terhadap kemungkinan merekam sesuatu yang penting dari permukaan otak.
 
Hans Berger dipaksa pensiun dari jabatan profesor di universitas dan kesehatannya memburuk. Ia mengalami depresi dan akhirnya bunuh diri di tahun 1941.
 
Baru setelah para peneliti kesadaran mulai menyelidiki hubungan antara pikiran dan otak pada tahun 1960an, mesin EEG mulai digunakan secara luas. Saat ini mesin EEG digunakan untuk memetakan kondisi kesadaran, fungsi otak, dan menemukan gelombang-gelombang baru, antara lain gamma.
 
Contoh lain adalah yang terjadi di tahun-tahun awal Gary Craig mengajar teknik ciptaannya, Emotional Freedom Technique (EFT). EFT adalah teknik terapi berbasis energi, menggunakan ketukan pada titik-titik meridian, sangat efektif mengatasi banyak masalah emosi.
 
Saat itu, saya ingat betul dan mengalami sendiri, para pihak "arus utama" menolak keras EFT dan menyatakan bahwa EFT tidak efektif, klien sembuh hanya karena kebetulan, hanya karena efek plasebo, tidak ilmiah, dan hanya berdasar pseudosains. Walau sudah ada begitu banyak data, hasil yang memvalidasi keefektifan EFT, tetap saja para pihak "arus utama" bergeming menolak keras.
 
Namun, masyarakat atau pengguna teknik ini, yang merasakan manfaat atau hasilnya, tetap menggunakan EFT karena memang hasilnya sangat fenomenal.
 
Saat itu saya pernah diskusi dengan sejawat pengajar di salah satu universitas, yang mengambil posisi menolak EFT. Ia beralasan bahwa cara kerja EFT tidak bisa dijelaskan dengan teori yang ia pelajari.
 
Saya tanya sejawat ini, bila memang teori yang ia pelajari tidak bisa menjelaskan cara kerja EFT, mengapa ia masih berpegang teguh pada teorinya, mengapa tidak belajar teori baru. Ia tidak menjawab pertanyaan saya dan tetap bergeming bahwa EFT adalah pseudosains.
 
Sejawat ini mengalami refleks Semmelweis, yaitu kecenderungan refleks untuk menolak bukti atau pengetahuan baru yang bertentangan dengan norma, keyakinan, atau paradigma yang sudah ada. Orang yang mengalami refleks Semmelweis sebenarnya terpenjara oleh pikirannya sendiri.
 
Saat ini, EFT diterima dan diakui sebagai salah satu teknik terapi yang sangat efektif dan ilmiah. Ada banyak buku mengulas EFT. Ada banyak penelitian aplikasi EFT untuk mengatasi banyak masalah emosi dan perilaku. Hasil penelitian ini juga telah diterbitkan di banyak jurnal ilmiah.
 
Penolakan pada hal-hal baru, terutama yang sifatnya disruptif, mengganggu kestabilan tatanan yang telah ada, adalah hal yang lumrah dan pasti terjadi.
 
Walau perubahan adalah keniscayaan, orang sering menentang dan tidak bersedia berubah, karena untuk berubah butuh kesediaan dan kesiapan, proses, upaya, dan kita harus belajar lagi. Ini yang seringkali membuat orang tidak nyaman.
 
Saya tutup diskusi pagi hari dengan pesan bahwa tujuan belajar bukan sekadar mendapat pengetahuan, menjadi pintar, tapi menjadi cerah dan bijak. Dan ciri orang cerah dan bijak adalah berpikiran terbuka, terus belajar, bertumbuh, dan tetap rendah hati.
 
Demikianlah adanya...
Demikianlah kenyataannya...
Baca Selengkapnya

Menurut Saya.......

8 Januari 2024

Seorang sahabat sedang menulis tesis dengan topik aplikasi hipnoterapi untuk depresi. Ia minta saran dan masukan saya, dan rujukan literatur yang akan digunakan dalam penyusunan tesisnya. 

Salah satu pertanyaan penting yang ia tanyakan pada saya adalah tentang definisi hipnosis dan hipnoterapi. 

Saya jelaskan bahwa setiap pakar, seturut pemahamannya, merumuskan definisinya sendiri. Dan ini bisa dipahami dari perspektif perkembangan keilmuan hipnosis dari waktu ke waktu yang terus mengalami kemajuan. 

Definisi hipnosis oleh para pakar di tahun 1880an, 1900an awal, 1920 - 1950, 1950 - 1980an, dan di tahun 2000an walau secara prinsip ada kesamaan, terdapat nuansa berbeda. Masing-masing pakar tentu mendefinisikan hipnosis seturut pemahamannya. Saya sarankan ia mengutip definisi yang berasal dari para pakar hipnosis modern, karena ini yang paling relevan. 

Selain itu, saya juga jelaskan bahwa definisi yang paling kuat dijadikan rujukan adalah yang dikeluarkan organisasi terkemuka, khususnya American Psychological Association (APA) Divisi 30, Society of Psychological Hypnosis. 

APA adalah organisasi ilmiah dan profesional terkemuka di bidang psikologi di Amerika Serikat, beranggotakan lebih dari 146.000 peneliti, pendidik, dokter, konsultan, dan mahasiswa. 

APA telah tiga kali merumuskan definisi hipnosis, tahun 1993, 2003, dan terakhir 2014, sebagai acuan para praktisi dan peneliti pengguna hipnosis dalam kegiatan mereka. 

Menurut APA, 𝐡𝐢𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐨𝐧𝐝𝐢𝐬𝐢 𝐤𝐞𝐬𝐚𝐝𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐥𝐢𝐛𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐡𝐚𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐟𝐨𝐤𝐮𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐮𝐫𝐚𝐧𝐠𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐬𝐚𝐝𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐢𝐟𝐞𝐫𝐚𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐜𝐢𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐧𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐩𝐚𝐬𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐫𝐞𝐬𝐩𝐨𝐧𝐬 𝐭𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐬𝐮𝐠𝐞𝐬𝐭𝐢 (Elkins dkk, 2015, p.6). Dan 𝐝𝐞𝐟𝐢𝐧𝐢𝐬𝐢 𝐡𝐢𝐩𝐧𝐨𝐭𝐞𝐫𝐚𝐩𝐢 (𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐡𝐢𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐤𝐥𝐢𝐧𝐢𝐬) 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐦𝐚𝐧𝐟𝐚𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐡𝐢𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐩𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐝𝐢𝐬 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐩𝐬𝐢𝐤𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐬 (p.7).

Saya mendefinisikan hipnosis sebagai kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2017).

AWGI dan APA Divisi 30 sama-sama menyatakan bahwa hipnosis adalah kondisi kesadaran, karena memang demikianlah adanya, sesuai dengan yang kami temukan dan alami di ruang praktik saat menangani klien di lebih dari 130.000 sesi konseling dan terapi. 

Kondisi kesadaran ini bisa terjadi dan dialami individu secara alamiah, dan bisa juga dengan proses induksi, baik yang dilakukan oleh terapis pada klien (heterohipnosis), atau yang dilakukan sendiri (swahipnosis).

Sementara definisi hipnoterapi, menurut AWGI, adalah terapi, menggunakan teknik atau metode apa saja, yang dilakukan di dalam kondisi hipnosis, untuk mencapai tujuan terapeutik (Gunawan, 2017).

Hipnosis sebagai kondisi kesadaran divalidasi dengan pengukuran gelombang otak. Saya beruntung mendapat kesempatan belajar ke pakar hipnoterapi Tom Silver dan pakar meditasi Anna Wise.

Tom Silver selama lebih dari 20 tahun menggunakan mesin EEG khusus mengukur gelombang otak klien-kliennya. Tom bisa tahu dengan sangat akurat kondisi kedalaman hipnosis setiap kliennya berdasar pola dan komposisi gelombang otak yang tampil di layar komputernya. 

Berdasar data ini, Tom mencipta teknik luar biasa yang memampukan ia untuk "mencabut" emosi langsung dari pikiran bawah sadar klien, tanpa harus memproses memori atau akar masalah. Teknik ini hanya bisa bekerja efektif di kedalaman hipnosis sangat spesifik. Saya beruntung mendapat kesempatan belajar teknik ini langsung dari Tom di tahun 2009.

Anna Wise, selama lebih dari 35 tahun, mengukur gelombang otak klien-kliennya, membimbing mereka masuk kondisi meditatif sangat dalam menggunakan mesin EEG Mind Mirror. Saya belajar dengan Anna Wise di tahun 2009. 

Selanjutnya saya menggunakan dua mesin EEG ini mengukur gelombang otak para subjek di pelatihan saya, mendapat banyak data penting, korelasi antara kondisi hipnosis, kesadaran, memori, emosi, pola dan komposisi gelombang otak, dan akhirnya sampai pada satu simpulan yang menjadi dasar merumuskan definisi hipnosis. 

Saya jelaskan pada sahabat ini, definisi hipnosis versi APA dan AWGI tentu beda dengan definisi yang dinyatakan oleh para pakar hipnosis generasi lama. Tidak ada yang salah dengan masing-masing definisi, karena definisi ini seturut zamannya. Yang kita gunakan, terutama dalam penulisan tesis, tentu adalah definisi terkini. 

Saya beri penguatan pada sahabat ini. Saya bilang, suatu saat nanti, bila ia telah benar-benar mencapai level kepakaran mumpuni dan diakui di dunia hipnosis / hipnoterapi, ia boleh dan berhak menetapkan definisinya sendiri. Ia tidak harus ikuti definisi orang lain. 

Memang di awal, kita menulis dengan merujuk pada definisi pakar sebelumnya. Biasanya kita akan menulis "Menurut ......, hipnosis adalah.......". 

Suatu hari nanti, saya katakan padanya, ia akan menulis artikel dengan kalimat, "Menurut saya........, hipnosis adalah........."

Ini yang saya sangat nantikan. Selama ini kebanyakan orang hanya mengutip dan selalu bilang, "Menurut...........", dan sangat jarang atau hampir tidak pernah saya jumpa tulisan, "Menurut saya.......". 

Saya doakan ia bisa segera tuntas melakukan pengumpulan data dan menyelesaikan penulisan tesisnya dan memberi kontribusi positif untuk kemajuan hipnosis dan hipnoterapi di Indonesia. 

Baca Selengkapnya

Gelombang Otak, The Awakened Mind, dan Meditasi

22 Desember 2023

Saya pertama kali belajar gelombang otak dan manfaatnya di tahun 1993 saat mengikuti pelatihan The Silva Method, di Surabaya, dengan Pak Lasmono Dyar.

Selama lima hari, dengan bimbingan Beliau, saya belajar masuk ke kondisi alfa optimal, dan menggunakan kondisi ini untuk beragam tujuan.

Ketertarikan belajar dan mendalami, pengukuran, pola, dan makna gelombang otak semakin menguat saat saya belajar hipnosis dan hipnoterapi di tahun 2005. Saya beli banyak buku yang membahas gelombang otak di Amazon.

Di tahun 2005 saya berangkat ke Lugano, Swiss, belajar pengukuran gelombang otak menggunakan mesin EEG Brainwave 1, di The Alpha Learning Institute, dengan Prof. Sean Adam. Ini pelatihan intensif selama empat hari.

Empat tahun kemudian, tahun 2009, saya mendapat kesempatan bertemu, belajar, dan berguru langsung dengan Anna Wise, di Berkeley. Saya belajar tentang gelombang otak, karakteristik setiap gelombang otak, komposisi gelombang otak dan kesadaran, meditasi, dan pengukuran gelombang otak menggunakan mesin EEG Mind Mirror, melalui pelatihan privat dan sangat intensif selama 14 hari.

Di tahun yang sama, saya belajar pengukuran gelombang otak menggunakan mesin EEG DBSA di Camarillo, dengan Tom Silver. Ini pelatihan privat dan intensif selama dua hari tentang pola gelombang otak, kedalaman kondisi hipnosis, hipnoterapi, dan kesadaran.

Di tahun 2010 dan 2013 saya belajar neurofeedbeck di EEG Institute, Woodland Hills, California, total selama 9 hari, dengan Sue dan Sigfried Othmer, dua pakar, peneliti, dan pengajar terbaik di bidang ini.

Menggunakan empat mesin EEG dengan tujuan khusus, saya melakukan pengukuran gelombang otak, melihat pola dan korelasi gelombang otak dan kesadaran, dan selanjutnya menerapkannya dalam menyusun protokol induksi hipnosis Adi W. Gunawan Induction yang diajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH) dan protokol meditasi The Awakened Mind.

Saya sungguh beruntung karena diterima sebagai murid Anna Wise sebelum Beliau berpulang. Beliau menerima saya sebagai murid, setelah melakukan pengecekan gelombang otak saya, khususnya delta.

Saya katakan bahwa saya sangat beruntung karena Anna Wise mengajari saya intisari pengetahuan, temuan, pengalaman, pemahaman dari hasil penelitian dan pengembangan yang ia lakukan selama lebih dari 35 tahun, beserta teknik-teknik luar biasa dalam melatih dan mencapai pola gelombang otak "awakened" atau "terbangun". 

Secara sederhana, pengukuran gelombang otak menggunakan dua parameter: frekuensi dan amplitudo. Frekuensi menggunakan angka antara 0,1 hingga 100 dengan satuan Hertz (Hz). Sementara amplitudo (daya) menggunakan angka antara 10 hingga 100, dengan satuan microvolt. Menggunakan Mind Mirror, dapat diukur lima gelombang otak: delta, theta, alfa, beta, dan gamma. Berikut ini uraian ringkas dari tiap gelombang otak.

 

DELTA

Delta adalah gelombang otak dengan frekuensi paling lambat, pada kisaran 0.1 - 4 Hz. Delta adalah ciri dari tidur yang dalam, tidur tanpa gerakan mata cepat (nonrapid eye movement, NREM).

Amplitudo delta yang sangat tinggi juga ditemukan pada orang-orang yang memiliki koneksi dengan pikiran non-lokal, bahkan saat mereka dalam kondisi sepenuhnya sadar. Otak para meditator dan penyembuh memiliki lebih banyak gelombang delta daripada orang biasa.

Saat individu merasakan emosi, baik positif atau negatif, deltanya menjadi aktif. Intensitas emosi yang dialami individu menentukan tinggi rendahnya amplitudo delta yang aktif pada saat itu.

Delta juga adalah “radar” yang berfungsi mendeteksi, membaca informasi nonverbal, vibrasi, emosi, dan energi. Semakin aktif dan kuat delta, semakin peka individu mendeteksi dan menerima informasi-informasi ini.

Saat meditasi, para meditator menghasilkan delta dengan amplitudo tinggi. Mereka melaporkan pengalaman transenden, menggambarkan merasa satu dengan alam semesta, perasaan harmoni dan kesejahteraan yang luar biasa (Johnson, 2011).

 

THETA

Frekuensi theta lebih cepat dari delta, pada kisaran 4 - 8 Hz. Theta adalah ciri dari tidur ringan. Ketika kita bermimpi, mata kita bergerak dengan cepat dan otak berada pada frekuensi dominan theta. Theta adalah frekuensi tidur dengan gerakan mata cepat (rapid eye movement, REM).

Theta juga adalah frekuensi dominan dari orang yang sedang dalam kondisi hipnosis, penyembuh, dan orang yang berada dalam keadaan sangat kreatif (Kershaw & Wade, 2012). Theta adalah tempatnya memori. Saat kita mengingat sesuatu, mengakses memori, theta aktif.

Selama proses penyembuhan intens, sering dijumpai amplitudo gelombang theta yang tinggi. Theta telah diidentifikasi sebagai gelombang otak khas selama sesi penyembuhan berbasis energi (Benor, 2004).

Jika seseorang sedang melakukan penyembuhan pada orang lain, gelombang theta yang besar terlebih dahulu muncul pada penyembuh, kemudian pada yang mendapat penyembuhan.

Dalam satu studi, seorang penyembuh dan klien dihubungkan ke EEG. Pemantauan EEG dari penyembuh menunjukkan 14 periode theta yang berkelanjutan pada frekuensi tepat 7.81 Hz. Pemantauan EEG klien menunjukkan ia beralih ke frekuensi yang sama, menunjukkan adanya sinkronisasi antara penyembuh dan yang mendapat penyembuhan (Hendricks, Bengston, & Gunkelman, 2010).

 

ALFA

Alfa, gelombang otak pada kisaran antara 8 - 12 Hz, adalah keadaan optimal dari kewaspadaan yang rileks. Alfa, berada di tengah rentang frekuensi, membentuk jembatan antara dua frekuensi tinggi, beta dan gamma, dan dua frekuensi rendah, theta dan delta (Cade & Coxhead, 1979).

Alfa menghubungkan dunia luar, pikiran sadar, beta, dan pikiran asosiatif gamma, dengan dunia dalam, pikiran bawah sadar, theta dan delta.

Kekayaan dan kedalaman warna, kejelasan suara, sensasi pada setiap gambaran mental dan pengalaman internal sepenuhnya ditentukan oleh aktivitas dan daya alfa pada saat kita mengalami pengalaman internal.

Sebagian alfa adalah bagian dari pikiran bawah sadar, bersama delta dan theta, dan sebagian lagi termasuk ke dalam pikiran sadar.

Saat kita merasa takut, gelombang alfa menghilang dan mengakibatkan hambatan alfa (alpha blocking). Kita masih punya beta, theta, dan delta. Namun ketiadaan alfa menyebabkan informasi dari theta dan delta tidak bisa naik ke permukaan, beta, pikiran sadar, sehingga tidak diketahui.

 

BETA

Beta adalah gelombang otak yang terbagi menjadi dua bagian: beta rendah (12-15 Hz) dan beta tinggi (15-40 Hz). Beta inilah yang dikenal sebagai pikiran sadar.

Gelombang beta aktif bila kita berpikir, memberi penilaian atau makna pada sesuatu, mengkritik, membuat daftar, menganalisis, atau berbicara pada diri sendiri (self talk).

Untuk berpikir santai, belajar, dan menyerap informasi, kita butuh beta rendah. Beta rendah adalah frekuensi yang menyinkronkan fungsi otomatis tubuh kita, sehingga juga disebut frekuensi ritme sensorimotor, atau SMR.

Beta tinggi adalah "monkey mind", pikiran yang lompat ke sana ke mari, tidak bisa diam, dan adalah ciri orang cemas, frustasi, atau stres. Beta tinggi inilah yang selalu mengganggu para meditator sehingga sangat sulit fokus karena pikiran terus aktif.

Semakin stres seseorang, semakin aktif beta tinggi dan semakin besar amplitudo beta yang dihasilkan oleh otak mereka. Emosi negatif seperti kemarahan, ketakutan, rasa bersalah, dan malu menghasilkan lonjakan besar beta tinggi dalam pembacaan EEG.

Beta tinggi yang sangat aktif menonaktifkan wilayah otak yang menangani pemikiran rasional, pengambilan keputusan, memori, dan evaluasi objektif (LeDoux, 2002). Aliran darah ke korteks prefrontal, "otak berpikir", berkurang hingga 80 persen. Terkecuali oksigen dan nutrisi, kemampuan otak kita untuk berpikir jernih turun drastis.

 

GAMMA

Gamma adalah gelombang otak dengan frekuensi paling cepat, pada kisaran 40 - 100 Hz. Gelombang ini muncul terutama saat otak sedang dalam proses pembelajaran, membuat asosiasi antarfenomena, dan mengintegrasi informasi dari berbagai bagian otak.

Otak yang menghasilkan banyak gelombang gamma mencerminkan organisasi saraf yang kompleks dan tingkat kesadaran yang tinggi.

Gelombang gamma terkait dengan tingkat fungsi intelektual yang sangat tinggi, kreativitas, integrasi, puncak pengalaman, dan perasaan "berada dalam zona".

Gelombang gamma mengalir dari bagian depan ke bagian belakang otak sekitar 40 kali per detik (Llinás, 2014). Menurut para peneliti, gelombang osilasi ini menghubungkan aktivitas otak dengan pengalaman subjektif akan kesadaran (Tononi & Koch, 2015).

Dalam satu studi, dilakukan pengukuran gelombang otak para biksu yang melakukan meditasi cinta kasih. Hasil pengukuran dengan mesin EEG menunjukkan lonjakan besar gelombang gamma di otak mereka (Davidson & Lutz, 2008).

Lonjakan gelombang gamma yang diukur pada otak para biksu ini adalah yang terbesar yang pernah tercatat. Para biksu melaporkan bahwa mereka mengalami keadaan sukacita.

 

The Awakened Mind

Mind Mirror dicipta oleh Maxwell Cade, ilmuwan dan biofisikawan Inggris, di tahun 1976. Ini adalah mesin EEG unik karena memberi gambaran visual yang jelas pola gelombang secara waktu nyata.

Mind Mirror, seperti yang dijelaskan Anna Wise, berbeda dengan elektroensefalografi lain, terutama minat pengembangnya bukan pada keadaan patologis (seperti yang diukur oleh perangkat medis), tetapi pada keadaan optimum yang disebut Awakened Mind.

Alih-alih mengukur gelombang otak subjek bermasalah, pencipta Mind Mirror mencari orang-orang yang paling berkembang dan sadar secara spiritual, yang bisa mereka temukan.  

Dengan menggunakan Mind Mirror, selama lebih dari 20 tahun, Maxwell Cade merekam pola gelombang otak lebih dari empat ribu subjek yang menjalani praktik spiritual kuat.

Ia berhasil menemukan dan memetakan pola umum gelombang otak pada subjek yang adalah para swami, meditator, yogi, master Zen, dan penyembuh.

Dari hasil penelitian intensif Maxwell Cade didapat temuan penting yaitu para subjek ini, saat berada di kondisi meditatif yang dalam, memiliki pola gelombang otak yang sama, terlepas teknik yang mereka gunakan. Pola ini disebut dengan pola The Awakened Mind, terdiri dari beta rendah, alfa, theta, dan delta dengan komposisi yang pas.

Keberadaan alfa menjadi jembatan yang menghubungkan pikiran sadar (beta), pikiran bawah sadar (theta) dan pikiran nirsadar (delta).

Dari hasil pengukuran menggunakan Mind Mirror ditemukan orang dengan kecemasan tinggi menghasilkan banyak beta tinggi dan hanya sedikit alfa, theta, dan delta.

Saat orang mulai menjadikan meditasi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, mereka mengembangkan amplitudo alpha, theta, dan delta yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Sebuah studi penting memeriksa pola gelombang otak para praktisi meditasi dari lima tradisi kontemplatif yang berbeda, mulai dari qigong hingga Zen. Studi ini membandingkan fungsi otak para meditator dalam kondisi kesadaran normal dan selama meditasi (Lehmann et al., 2012).

Setelah berhasil membangun gambaran lengkap tentang bagaimana seluruh otak berfungsi, para peneliti dalam studi ini menyimpulkan bahwa model paling informatif adalah membandingkan beta dengan delta.

Mereka mengukur rasio beta terhadap delta sebelum, selama, dan setelah meditasi. Meskipun tradisi meditasi menawarkan ajaran yang sangat berbeda, mulai dari membaca kalimat doa, melakukan gerakan tertentu, hingga duduk diam, terdapat kesamaan pada gelombang otak para meditator ini, yaitu terjadi pengurangan beta dan peningkatan delta.

Para peneliti mengidentifikasi “berkurangnya saling ketergantungan fungsional antarwilayah otak secara global,” sebuah perubahan dalam fungsi otak yang menunjukkan terjadi peluruhan pada diri lokal (ego).

Pola otak beta rendah dan delta tinggi mencirikan apa yang disebut sebagai "pengalaman subjektif tidak terlibat, pemisahan diri dan melepaskan, serta kesatuan total dan peleburan batas ego" ketika kesadaran para praktisi meditasi beralih menjadi satu dengan medan universal non-lokal.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa meditasi yang dilakukan secara konsisten, memindahkan otak ke zona fungsional baru yang mencakup lebih banyak delta daripada normal sebelumnya. Otak meditator memproses informasi dengan cara yang sangat berbeda dari otak rata-rata (Dispenza, 2017).

Ketika diri lokal meninggalkan keterikatan dengan tubuh dan menyatu dengan pikiran nonlokal, terjadi lonjakan delta yang besar. Gelombang delta dengan amplitudo tinggi menjadi stabil ketika para meditator mengintegrasikan dua keadaan ini (Pennington, 2017).

Dalam meditasi kita tetap membutuhkan beta, walaupun hanya sedikit saja, untuk bisa mengetahui atau menyadari apa yang sedang kita alami. Bila tidak ada beta maka kita sama sekali tidak akan tahu atau ingat yang terjadi atau alami saat meditasi.

 

Gelombang Otak, Meditasi Samatha dan Vipassana

Meditasi samatha dilakukan dengan memusatkan perhatian atau konsentrasi pada objek tertentu hingga akhirnya pikiran terkendali, menjadi diam, dan hening. Bila dilihat dari pola gelombang otak, meditasi samatha bertujuan “men-off-kan” gelombang beta, khususnya beta tinggi.

Umumnya meditator menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk belajar mendiamkan pikirannya, namun tidak berhasil. Akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti bermeditasi karena tidak merasakan manfaat.

Meditator sulit menenangkan pikiran mereka karena tidak melakukan persiapan dengan baik, khususnya pada aspek fisik dan emosi. Biasanya mereka langsung duduk dan fokus pada napas. Ini tidak efektif untuk membuat pikiran diam.

Selain itu, sulitnya meditator mendiamkan pikiran juga disebabkan oleh aktifnya beta tinggi akibat kondisi emosi atau suasana hati yang tidak kondusif, posisi duduk yang tidak tepat membuat otot paha dan tubuh menjadi tegang, sehingga tidak mungkin bisa mencapai kondisi pikiran yang rileks. 

Saat seseorang telah mampu “men-off-kan” pikiran sadarnya (beta), pada saat itu ia telah masuk ke kondisi meditatif yang sangat dalam. Meditasi sebenarnya adalah gelombang otak yang terdiri dari beta rendah sesedikit mungkin, banyak alfa, theta, dan atau tanpa delta.

Vipassana adalah meditasi perhatian penuh, instrospeksi, observasi realitas, kewaspadaan objektif, dan belajar dari pengalaman setiap momen. Inti dari meditasi ini adalah mengamati segala proses mental atau fisik yang paling dominan pada saat ini, menyadarinya, mencatat, ingat ketika lenyap, tanpa memberi makna, menghakimi, menilai, memberi label, melibatkan emosi, atau berusaha dengan sesuatu cara mengubah pengalaman ini.

Pengalaman membuktikan bahwa cukup sulit atau bahkan tidak mungkin bisa melakukan pengamatan pada bentuk-bentuk pikiran, perasaan, atau sensasi fisik yang muncul saat pikiran sadar masih sangat aktif. Apalagi jika yang aktif adalah beta tinggi.

Jelas sangat sulit melakukan pengamatan jika piranti yang digunakan untuk melakukan pengamatan atau observasi, yaitu pikiran sadar, masih sangat aktif dan sibuk sendiri.

Yang diamati dalam meditasi vipassana, khususnya pada aspek bentuk-bentuk pikiran dan perasaan yang muncul, sebenarnya berasal dari pikiran bawah sadar dan nirsadar.

Dari pikiran bawah sadar biasanya muncul memori atau ingatan kejadian masa lalu, dan biasanya berisi muatan emosi intens, baik positif maupun negatif.

Saat memori ini muncul, baik dalam bentuk gambar atau rangkaian kejadian, sebenarnya pada saat yang sama, emosi yang berhubungan dengan memori ini juga aktif.

Dengan demikian, adalah sangat penting bagi seorang meditator untuk tidak masuk ke dalam pengalaman itu, karena biasanya mengandung emosi intens, dan cukup hanya mengetahui, menyadari, mencatat, dan mengingatnya ketika lenyap atau hilang.

Kemampuan untuk bisa menjadi pengamat pasif, tidak masuk ke dalam objek yang diamati, hanya bisa dicapai bila pengendalian diri kita baik dan pikiran sadar (beta) tidak terlalu aktif dan tidak memberikan penilaian atau penghakiman.

Saat kita mampu melihat atau hanya menjadi pengamat, kita telah mampu melakukan disosiasi atau menjaga jarak dengan yang diamati, sehingga tidak dipengaruhi emosi yang melekat pada suatu memori.

Saat kita mampu tenang hanya menyadari, mencatat, dan mengingat kejadian atau pengalaman yang muncul, kita akan tahu dan sadar bahwa kita bukanlah pengalaman atau emosi kita.

Pengalaman atau emosi muncul, pudar, dan hilang. Saat kita memberi jarak atau memisahkan diri dari pengalaman atau emosi itu, mereka tidak bisa memengaruhi diri kita. 

Kebijaksanaan yang diperoleh dari meditasi vipassana tidak berasal dari beta, tapi dari theta atau pikiran bawah sadar. Kedalamam meditasi ditentukan oleh kedalaman theta yang berhasil kita capai. Theta adalah tempat terjadinya koneksi spiritual paling dalam. Saat seseorang berada dalam theta yang dalam, ia akan merasakan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan luar biasa.

Pikiran bawah sadar punya proses berpikir sendiri yang terpisah dari pikiran sadar. Saat kita bermeditasi vipassana, saat pikiran sadar tidak terlalu aktif, informasi atau pemahaman yang berasal dari pikiran bawah sadar akan naik, melalui jembatan alfa, ke pikiran sadar (beta), dan kita menyadari atau tahu (ingat) informasi ini.

Yang dilakukan meditator yang bertahun-tahun melakukan meditasi samatha sebenarnya adalah persiapan untuk awakening atau pencerahan. Para meditator ini biasanya, setelah bertahun-tahun berlatih meditasi, berhasil mengembangkan pola gelombang otak Awakened Mind.

Walau meditator telah lama melakukan meditasi samatha, walau ia telah berhasil mencapai pola Awakened Mind, kondisi ini tidak mampu memfasilitasi pencapaian pencerahan.

Hal ini disebabkan meditasi samatha sebenarnya adalah strategi mencapai kondisi kesadaran spesifik. Kondisi kesadaran ini selanjutnya perlu ditindaklanjuti dengan melatih meditasi vipassana, karena vipassana adalah meditasi berdasarkan isi (content-based meditation).

Yang dimaksud dengan isi, selain sensasi fisik yang dirasakan, juga adalah konten dari pikiran bawah sadar dalam bentuk pikiran dan emosi yang muncul, dirasakan, atau dialami pada saat meditasi berlangsung, pada momen sekarang.

Di pelatihan yang saya selenggarakan, untuk membantu peserta masuk kondisi meditatif yang dalam dengan cepat dan mudah, “men-off-kan” beta tinggi, saya menggunakan protokol meditasi khusus.

Mengikuti protokol ini, sebelum melakukan meditasi, saya menyiapkan kondisi fisik, emosi, suasana hati peserta, dan juga lingkungan yang menunjang proses meditasi.

Setelahnya, dengan tuntunan yang sangat sistematis, peserta dibimbing masuk ke kondisi meditatif sangat dalam, pikiran mereka menjadi diam, hening, bening, hati menjadi sangat tenang, damai, bahagia.

Keheningan ini seperti kita, di pagi hari, berada di telaga kecil dengan air yang sangat jernih, tenang, bening, dengan kabut tipis di atas permukaan air yang diam seperti cermin. Tentu suasana batin seperti ini sungguh sangat luar biasa.

Dalam kondisi ini, saat vibrasi kolektif sangat kuat, saya memasang jangkar (anchor) di pikiran bawah sadar peserta. Jangkar ini mereka gunakan untuk masuk kembali ke kondisi meditatif dengan cepat dan mudah, hanya butuh beberapa detik saja.

 

Baca Selengkapnya

Progresi Dalam Hipnoterapi

2 November 2023

Dalam hipnoterapi terdapat dua strategi, khususnya yang memanfaatkan fenomena mental berkaitan dengan penelusuran garis waktu: regresi (age regression) dan progresi (age progression). Progresi adalah fenomena hipnosis melibatkan mengalami masa depan seakan terjadi di masa sekarang (Torem, 1992; Bonshtein dan Torem 2017). Idealnya, pengalaman ini melibatkan semua indra dan diperkuat dengan emosi (Gunawan, 2008).

Bila regresi bertujuan menemukan akar masalah, kejadian di masa lalu, penyebab simtom yang dialami individu di masa kini, progresi sebaliknya bertujuan mencipta solusi masalah melalui simulasi capaian masa depan.

Strategi ini dapat dilakukan dengan pertama menuntun klien masuk kondisi  hipnosis dalam, dilanjutkan dengan simulasi kejadian masa depan, sebagai hasil akhir yang diinginkan.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Watzlawick (1984) bahwa pemikiran dan imajinasi seseorang tentang masa depannya memengaruhi realitas masa depannya.

Sementara menurut Erickson (1954, 1980) teknik-teknik terapi berhubungan dengan progresi dirancang untuk berfungsi mengatasi rasa putus asa tentang masa depan. Erickson menggambarkan progresi sebagai teknik difasilitasi hipnosis yang ia namakan “pseudo-orientation in time” (orientasi semu waktu).

Strategi terapi berbasis progresi digunakan dalam hipnoterapi dengan pemikiran klien menjalani sesi terapi untuk mengubah masa depan, bukan masa lalu.

Salah satu teknik terapi berbasis progresi adalah “Back from the Future” atau “Kembali dari Masa Depan”. Dalam teknik ini, klien, dalam kondisi hipnosis, dituntun menyusuri garis waktu, maju ke masa depan, ke suatu masa dan tempat di mana ia telah berhasil mencapai resolusi masalah yang ia alami.

Selanjutnya, klien disugesti untuk menerima masa depan ini sebagai masa kini, dan terapis bertanya pada klien apa yang telah ia pelajari atau lakukan hingga mampu menyelesaikan masalahnya.

Teknik “Back from the Future” telah banyak digunakan dalam menangani beragam kondisi atau masalah seperti depresi (Torem, 2006, 2017b), gangguan makan (Torem, 1991, 2001, 2017c), kendali terhadap kekerasan yang dilakukan pada diri sendiri (Torem, 1995, 1997), untuk penguatan ego atau peningkatan kepercayaan diri (Torem, 1990), untuk integrasi ego state yang terpisah (Torem dan Gainer, 1995), untuk penanganan mual saat hamil (Torem, 1994), dan penanganan gangguan autoimun (Torem, 2007, 2017c).

Teknik ini juga telah digunakan dengan sangat berhasil dalam bidang olahraga (Stanton, 1994), dan mengatasi rasa sakit kronis (Jensen, 2011, 2017).

Torem (2017) menggunakan varian lain dari teknik berbasis progresi yaitu “forward affect bridge”, modifikasi dari teknik “affect bridge” Watkins. Teknik “forward affect bridge” hanya efektif untuk klien dengan tingkat sugestibilitas tinggi.

Progresi dapat digunakan dalam dua strategi umum. Pertama, ia digunakan sebagai intervensi terapeutik, dan kedua, digunakan untuk menguji manfaat dan hasil kerja klinis saat ini (Yapko, 2019).

Pemanfaatan progresi sebagai intervensi terapeutik berdasar konsep pengharapan seperti yang dijelaskan oleh Kirsch (2001, 2006).

Pemikiran Yapko (2019) sejalan dengan Gunawan (2008) yang merumuskan  manfaat progresi untuk pemrograman pikiran bawah sadar, uji keberadaan hambatan mental, uji hasil terapi, pemberdayaan pikiran bawah sadar dengan pemberian informasi atau sumberdaya yang berasal dari masa depan, dan menemukan atau mencipta solusi.

Cara Kerja Progresi

Teknik berbasis progresi bisa bekerja dengan baik dan efektif bila klien berada dalam kondisi hipnosis dalam, khususnya kedalaman profound somnambulism. Dalam kondisi ini, fungsi kritis (conscious logic) pikiran sadar sudah sangat menurun, sementara yang aktif adalah logika pikiran bawah sadar (trance logic).

Di pikiran bawah sadar sejatinya hanya berlaku satu waktu, sekarang. Pikiran bawah sadar tidak mengenal masa lalu dan masa depan.

Dengan demikian, saat klien dituntun “maju” ke masa depan, yang terjadi di pikirannya, ia berpindah dari satu momen memori ke momen memori lain, baik memori yang adalah rekaman kejadian masa lalu maupun memori hasil rekayasa.

Di pikiran bawah sadar sesungguhnya tidak terjadi pergeseran waktu, semua terjadi di masa kini, di pikiran bawah sadar, namun pikiran sadar, seturut sugesti yang diberikan, memaknai sebagai masa depan.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List