The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Hipnoanalisis dan Hipnoterapi Dinamis

16 Agustus 2022

Perkembangan dan kemajuan hipnoterapi berjalan seiring berkembangnya praktik, pengetahuan, dan penelitian di bidang hipnoterapi. Sebelum tahun 1960 dikenal tiga pendekatan dalam hipnoterapi: (1) pendekatan simtomatik, fokus pada simtom atau kebiasan, (2) pendekatan suportif, fokus pada relaksasi dan meningkatkan rasa percaya diri klien, dan (3) hipnoterapi dinamis dan atau hipnoanalisis (Breuer dan Freud, 1893-1895/1955; Wolberg, 1945; Watkins, 1949; Gill dan Brenman, 1959; Freytag, 1965; Klemperer, 1965).

Hipnoterapi pendekatan simtomatik dan pendekatan suportif keduanya menggunakan sugesti sebagai sarana utama dalam mencapai tujuan terapeutik. Sementara hipnoterapi dinamis atau hipnoanalisis menggunakan teknik pengungkapan informasi pikiran bawah sadar sebagai sarana resolusi masalah.

Hipnoterapi dinamis sejatinya berbeda dengan hipnoanalisis, walau keduanya menggunakan metode yang sama dalam mengungkap akar masalah (Brown dan Fromm, 1986). Hipnoterapi dinamis berdurasi lebih singkat dibanding hipnoanalisis (Fromm, 1987).

Perbedaan hipnoterapi dinamis dan hipnoanalisis terletak pada jumlah sesi perlakuan dan cara terapis menangani transferen. Dalam hipnoterapi dinamis, jumlah sesi perlakuan berkisar antara lima hingga dua puluh sesi, sementara dalam hipnoanalisis berkisar antara beberapa bulan hingga satu setengah tahun. Ada literatur yang menyatakan durasi lebih lama.

Tujuan hipnoanalisis adalah reorganisasi total kepribadian, sementara tujuan hipnoterapi dinamis adalah sebatas mengatasi masalah yang dialami individu yang berhubungan dengan emosi dan perilaku.

Hipnoterapi yang dipraktikkan oleh para hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI) adalah hipnoterapi dinamis dengan fokus perlakuan berkisar antara satu hingga empat sesi. Masing-masing sesi berdurasi antara tiga hingga empat jam.

Berbeda dengan definisi yang ada di literatur, AWGI mendifinisikan hipnoanalisis sebagai strategi mengungkap memori dan emosi kejadian paling awal, akar masalah dan dasar tercipta simtom, yang berhubungan dengan emosi atau perilaku tertentu, dilakukan dalam kondisi hipnosis dalam, dengan sarana eksplorasi vertikal dan horizontal.

Di tahun 1965 Hartland, hipnoterapis Inggris, menggagas teknik penguatan ego, bertujuan meningkatkan kekuatan diri dan kemampuan koping.

Sejak tahun 1981, bertambah dua pendekatan dalam praktik hipnoterapi, pendekatan defisit perkembangan (Baker, 1981; Brown, 1985; Brown dan Fromm, 1986, Copeland, 1986) dan pendekatan behavioral medicine (Brown dan Fromm, 1986).

Hipnoterapi dinamis dan hipnoterapi perkembangan adalah bagian dari hipnoanalisis. Sementara pendekatan simtomatik dan suportif, hipnoterapi perilaku, dan behavioral medicine bukan bagian dari hipnoanalisis.

Teknik-tekik hipnoanalitik adalah prosedur rumit, dipraktikkan dalam modalitas hipnotik dengan tujuan rekonstruksi pikiran bawah sadar klien pada tataran lebih dalam dan mendasar.

Aplikasi teknik hipnoanalitik bertujuan meringankan atau menghilangkan simtom melalui restrukturisasi kognisi dan emosi, akibat konflik intrapsikis, bukan sekadar pemanfaatan sugesti untuk manipulasi simtom.

Dalam praktik aktual, pemanfaatan sugesti, khususnya bila diterapkan seturut pemahaman psikodinamika, dapat dikategorikan sebagai bagian dari strategi penanganan hipnoanalitik. Terapi menjadi hipnoanalitik saat aspek sugesti hanya sebagai pelengkap tujuan utama mencapai pemahaman rekonstruktif.

Dalam hampir semua kasus, simtom klien berhubungan dengan memori dan afek terepresi yang tidak diketahui asal mula kejadiannya. Dalam situasi ini, terapis tidak dapat meregresi klien ke kejadian yang diperkirakan sebagai kejadian paling awal, dan perlu menggunakan strategi regresi lain seturut kondisi dan situasi yang dihadapi.

Strategi yang umum digunakan dalam hipnoanalisis untuk mengungkap akar masalah adalah strategi hipnoprojektif, mengandalkan gambar mental dan visualisasi, dan strategi berdasar ekspresi motor.

Beberapa teknik dalam hipnoprojektif antara lain teknik awan, teknik menatap cermin atau bola kristal, teknik anagram, teknik teater, teknik televisi, teknik lukisan tua, teknik naik perahu, teknik buku kehidupan, teknik karpet ajaib, teknik imajinasi terbimbing, dan teknik mimpi hipnotik.

Sementara teknik dalam strategi berdasar ekspresi motor adalah teknik pendulum, teknik jari, teknik menulis otomatis, dan teknik menggambar otomatis.

Teknik pengungkapan penting dalam hipnoanalisis, selain yang telah dijelaskan di atas, adalah regresi hipnotik dan revivifikasi. Keduanya adalah fenomena yang saling berhubungan dan mewakili derajat respon klien sepanjang kontinum regresi.

Revivifikasi adalah mengalami kembali, saat ini, dalam kondisi hipnosis, pengalaman masa lalu dengan cara yang kuat dan literal (Sheehan dan McConkey, 1982).

Regresi hipnotik lebih kuat dan literal. Walau sering hanya bersifat parsial, regresi hipnotik membawa klien kembali pada fungsi perseptual, kognisi, dan perilaku seturut pengalaman dan emosi yang seturut usia regresi (Reiff dan Sheerer, 1959).

Regresi atau pergerakan mundur dari masa sekarang ke masa lalu, dalam upaya mencari dan menemukan kejadian paling awal yang mendasari simtom, dapat dilakukan melalui dua jalur utama.

Pertama, melalui rangkaian ide saling terhubung, jembatan kognitif (cognitive bridge), yang menghubungkan satu ide dengan ide lain karena terdapat tumpang-tindih antara kedua ide pada satu ide penghubung. Regresi jembatan kognitif dilakukan dalam kondisi sadar normal, namun tidak efektif dalam mengungkap akar masalah.

Kedua, melalui jalur kesamaan afek yang menghubungkan antara satu memori dengan memori lain. Dalam hal ini, afek berlaku sebagai jembatan penghubung (affect bridge). Regresi jembatan afek hanya bisa dilakukan dalam kondisi hipnosis dalam dengan persyaratan tertentu.

Teknik jembatan afek diciptakan dan diujicobakan oleh John Watkins pertama kali di tahun 1958. Artikel ilmiah tentang teknik ini terbit pertama kali dalam bahasa Spanyol (Watkins, 1961), dan selanjutnya dalam bahasa Inggris (Watkins, 1971). 

Regresi jembatan afek mengandalkan gambar mental untuk mengakses emosi spesifik, yang selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar regresi (Gunawan, 2008). Ini sejalan dengan yang dinyatakan Singer (1966) bahwa gambar mental dan pengalaman afektif saling terhubung..

Dengan demikian gambar mental adalah sarana langsung untuk mendapatkan akses ke dunia emosi. Gambar mental merupakan teknik pengungkapan sangat efektif karena ia adalah representasi simbolis dari aktivitas dunia internal individu, berbagai emosi bentuk pikiran, dan konflik yang tidak sadari (Reyher, 1963; Shorr, 1972). Gambar mental mengungkapkan arus bawah ini secara jauh lebih jelas daripada pemikiran logis rasional berorientasi pada realitas.

Teknik hipnoanalitik lainnya, yang juga sangat efektif dalam mengungkap akar masalah adalah teknik ego state. Untuk dapat mengerti dan melakukan teknik ego state dengan benar dan efektif butuh pemahaman berdasar landasan teoretik baru.

Teknik ego state bermula dari konsep psikoanalisis yang digagas Federn (1952), dan selanjutnya dielaborasi oleh Weiss (1960). Teori ini menjadi operasional berkat modifikasi dan pengembangan lebih lanjut oleh Watkins (1978), Watkins dan Watkins (1979, 1981, 1982, 1986). Gunawan (2008) mengembangkan lebih lanjut teknik ego state berdasar berbagai informasi yang diperoleh melalui artikel jurnal, dikuatkan dengan temuan di ruang praktik, dan menggunakan nama baru, ego personality.

Satu hal yang sangat perlu dipahami, berbagai artikel jurnal dan literatur lain, pada umumnya mendiskusikan teknik-teknik hipnoanalisis pada tataran konsep. Sangat jarang membahas hingga ke tingkat operasional, menjelaskan langkah demi langkah penerapan di ruang praktik.

Berbagai teknik yang telah dijelaskan di atas, benar efektif dalam mengungkap akar masalah, namun dalam praktik klinis, ini hanya langkah awal. Informasi yang berhasil diungkap, baik berupa kejadian dan juga emosi, perlu diproses menggunakan teknik lanjutan yang tepat, efektif, aman, dan mampu berdampak terapeutik positif, signifikan, dan bertahan lama. 

Baca Selengkapnya

Pentingnya Uji Hasil Terapi

9 Juli 2022

Dalam setiap upaya peningkatan kesejahteraan mental, terutama melalui hipnoterapi, seyogyanya hasil terapi bisa langsung dirasakan atau dialami klien, dan terlihat usai terapi dilakukan, tidak perlu menunggu waktu lama, misal satu atau dua minggu kemudian. 

Dalam setiap proses hipnoterapi, menurut pemahaman saya,  terapis wajib melakukan uji hasil terapi melalui dua tahap, untuk semua kasus yang ditangani. 

Tahap pertama dilakukan saat klien masih dalam kondisi hipnosis, saat terapi usai dilakukan, sebelum klien dituntun ke kondisi sadar normal. Tahap uji hasil terapi kedua terjadi saat klien kembali ke lingkungan kehidupannya. 

Teknik terapi yang digunakan bisa berupa pemberian sugesti atau hipnoanalisis. Untuk lebih memperjelas, saya beri contoh kasus. 

Misal, seorang klien datang ke terapis karena masalah trauma. Ia dulu pernah mengalami kejadian yang sangat membekas. Setiap kali ia teringat atau diingatkan kembali kejadian ini, emosinya pasti bergejolak hebat dan ia menjadi sulit kendalikan diri. 

Terapis bisa melakukan salah satu dari dua opsi terapi berikut. Pertama, terapis memberi sugesti agar klien sembuh. Kedua, terapis melakukan hipnoanalisis, mencari dan menemukan, dan memroses tuntas akar masalahnya, dengan harapan klien sembuh. 

Setelah klien diterapi, baik dengan sugesti atau hipnoanalisis, terapis segera melakukan uji hasil terapi. Caranya?

Terapis minta klien mengingat kembali kejadian yang, sebelum terapi dilakukan, membuat emosi klien bergejolak hebat. 

Logikanya, bila memang terapi yang dilakukan efektif, berdampak terapeutik positif, harusnya klien sembuh. Kesembuhan ini ditandai dengan indikator berupa klien saat diminta mengingat kembali kejadian traumatik itu, ia tidak lagi menunjukkan reaksi negatif seperti sebelumnya. Klien tetap tenang, karena kejadian itu tidak lagi berpengaruh pada dirinya. 

Cara uji hasil terapi lainnya, klien ditempatkan di situasi atau kondisi yang sebelumnya memunculkan gejolak emosi negatif intens. Tentunya ini dilakukan di dalam pikiran bawah sadarnya, semacam simulasi. 

Bila hasil terapi efektif, klien tetap tenang dan tidak lagi terpengaruh dengan situasi atau kondisi yang sama atau serupa dengan yang sebelumnya ia alami. 

Sebelum terapi diakhiri, terapis wajib melakukan pemeriksaan akhir untuk memastikan semua bagian diri atau PBS klien mendukung hasil terapi, tidak ada penolakan dalam bentuk apapun. Bila ada penolakan, ini harus dinetralisir saat itu juga, tidak boleh menunggu sesi berikutnya. 

Usai terapi klien pulang ke rumah dan kembali ke lingkungannya. Di sini hasil terapi kembali diuji. Bagaimana sikap dan kondisi klien pascaterapi? Ada perubahan, seperti hasil uji terapi di ruang praktik, ataukah tetap sama seperti sebelum terapi?

Dalam hampir semua kasus, hasil uji terapi di lingkungan kehidupan klien selalu sejalan dengan hasil uji terapi di ruang praktik. Namun untuk beberapa kasus, saat klien kembali ke lingkungannya, masih ada perasaan kurang nyaman. Bila ini yang terjadi, klien perlu lanjut ke sesi berikutnya. 

Apakah sisa perasaan tidak nyaman yang klien alami menandakan terapi tidak efektif? 

Tidak demikian. Ini seturut dengan kerja PBS. Dalam beberapa kondisi, PBS tidak serta merta bersedia mengeluarkan semua emosi yang klien alami dalam satu sesi terapi. PBS mengeluarkan seturut mekanisme dan kehendaknya. Ini di luar kendali klien atau terapis. 

Bisa jadi, simtom yang klien alami memiliki lebih dari satu akar masalah. PBS mengungkap akar masalah menurut waktu yang ia rasa tepat. 

Baca Selengkapnya

Anomali Dapikin

6 Juli 2022

Akumulasi pengalaman dan temuan yang terjadi di ruang praktik kami, hipnoterapis AWGI, menangani lebih dari 100.000 sesi konseling dan atau terapi sejak tahun 2005 hingga saat ini, memampukan kami menemukan pola dan proses pikiran bawah sadar (PBS) dalam mengungkap akar masalah. 

Berdasar temuan ini, berhasil dipetakan tipologi dan koridor regresi berbasis afek: regresi tunggal afek tunggal, regresi serial afek tunggal, dan regresi serial afek serial. 

Seturut tipologi dan koridor regresi ini, kami berhasil mengidentifikasi lima varian pola PBS mengungkap akar masalah: akar masalah langsung ditemukan, akar masalah tidak langsung ditemukan, akar masalah seolah telah ditemukan, kembali pada kejadian yang sama, maju ke kejadian lain. 

Dalam hampir semua terapi yang dilakukan, proses dan alur PBS mengungkap akar masalah selalu mengikuti salah satu dari lima pola ini. 

Walau terkadang PBS agak sedikit menyimpang, tidak mengikuti salah satu dari lima pola ini, terapis bisa dengan mudah mengarahkan PBS kembali masuk dan mengikuti koridor terapi yang sedang berlangsung.

Dalam beberapa kasus, terjadi anomali. PBS mengungkap akar  masalah berdasar kehendaknya sendiri, secara acak, tidak mengikuti pola yang telah terapis kenali. 

Walau terapis telah berupaya melakukan berbagai upaya menuntun PBS agar bisa masuk dan mengikuti salah satu dari lima pola, PBS tetap menolak. 

Ini berakibat proses terapi harus dilakukan berdasar pendekatan "๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ข๐˜ญ ๐˜ธ๐˜ช๐˜ต๐˜ฉ ๐˜ธ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ต๐˜ฆ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜จ๐˜ฆ๐˜ด" atau "proses apapun yang terungkap" seturut prinsip ๐˜ค๐˜ญ๐˜ช๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต-๐˜ค๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฅ, bukan ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ช๐˜ด๐˜ต-๐˜ค๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฅ. 

Salah satu kejadian anomali ini saya alami saat menangani klien beberapa waktu lalu. Klien ingin dibantu mengatasi hambatan dalam upaya peningkatan penghasilan. Penghasilannya terkunci di angka tertentu, sangat sulit naik. Dalam beberapa kesempatan, penghasilan klien sempat meningkat drastis, namun setelahnya ia mengalami kerugian, ditipu rekan usaha, dan bangkrut. 

Seturut protokol, selesai wawancara mendalam, saya lanjut dengan menuntun klien masuk kondisi hipnosis dalam. Sebelum saya melakukan hipnoanalisis pada klien, tiba-tiba PBS-nya mengungkap kejadian yang klien alami di usia 5 tahun. Dan secara spontan klien teregresi ke usia 5 tahun. 

Saya butuh waktu beberapa saat untuk menetralisir kejadian di usia 5 tahun, yang ternyata menjadi dasar pandangan salah (๐˜ญ๐˜ช๐˜ฎ๐˜ช๐˜ต๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฆ๐˜ง) yang dipegang klien terkait uang. 

Usai kejadian ini diproses, tiba-tiba, PBS kembali mengungkap kejadian di usia 2 tahun. Usai kejadian usia 2 tahun diproses, PBS langsung memunculkan kejadian 1 tahun, kemudian maju ke kejadian di usia 13 tahun, 25 tahun, mundur lagi ke kejadian di usia 15 tahun, 10 tahun. Semua kejadian ini terungkap secara spontan.

PBS juga memunculkan empat Bagian Diri (EP) yang tidak setuju atau mengizinkan klien punya penghasilan besar. EP ini tinggal di tangan, kaki, jari, dan tenggorokan klien. 

Semuanya keluar secara acak. Dan yang lebih luar biasa, dalam kasus ini, PBS sama sekali tidak mau diarahkan mengikuti alur yang digunakan terapis. PBS mengungkap secara acak sesuai keinginannya.

Dalam situasi seperti ini, butuh kejelian dan kesabaran ekstra dalam membantu klien mengatasi akar masalahnya. Ternyata, satu masalah, hambatan dalam meningkatkan penghasilan, memiliki cukup banyak kejadian yang mendasarinya. Semua kejadian yang diungkap PBS, yang berhubungan dengan masalah klien, harus diproses tuntas agar tercapai hasil terapi optimal.

Walau sesi terapi berlangsung cukup lama, karena kondisi anomali, pada akhirnya semua kejadian yang mendasari terjadinya hambatan dalam diri klien dalam mencapai penghasian lebih besar berhasil diatasi. Saya menamakan anomali ini sebagai anomali ๐ƒ๐š๐ฉ๐ข๐ค๐ข๐ง. 

Baca Selengkapnya

Pentingnya Sesi Wawancara Awal

4 Juli 2022

Ada sejawat hipnoterapis, setelah membaca tulisan saya di FB, bertanya pada saya mengapa sesi hipnoterapi yang saya lakukan bisa berlangsung antara 3 hingga 4 jam. Menurutnya, ini sangat lama dan tentu akan membuat klien bosan. 

Saya tanya balik, menurut dia, berapa lama idealnya durasi satu sesi hipnoterapi, baik menggunakan teknik sugesti atau hipnoanalisis. 

Menurutnya, untuk sesi terapi menggunakan teknik sugesti hanya butuh waktu antara 30 hingga 45 menit. Sementara untuk terapi dengan teknik hipnoanalisis, antara 60 hingga 90 menit. 

Saya jelaskan, saya tidak bisa melakukan hipnoterapi dengan waktu yang sedemikian singkat. Menurut sejawat ini, mestinya bisa. 

Saya tentu sangat tertarik ingin mengetahui lebih lanjut. Saya tanya, khususnya untuk terapi dengan teknik hipnoanalisis, berapa lama sesi wawancara yang ia lakukan pada kliennya. 

Ia menjawab, untuk sesi wawancara tidak perlu lama-lama. Berdasar pengalaman praktiknya, informasi yang diperoleh melalui sesi wawancara tidak bisa mengungkap akar masalah. 

Daripada menghabiskan banyak waktu bertanya pada klien, yang ternyata tidak bisa mengungkap akar masalah, bukankah lebih baik, menurutnya, sesi wawancara dibuat singkat dan klien langsung diterapi. Ini tentu sangat menghemat waktu. 

Saya bisa memahami pendapatnya. Benar sekali, dari pengalaman praktik selama ini, bisa dibilang 99% akar masalah selalu berbeda dengan informasi yang disampaikan klien saat sesi wawancara.

Walau demikian, kami, hipnoterapis AWGI, tetap menempatkan sesi wawancara (anamnesis) sebagai langkah awal utama dalam setiap terapi yang kami lakukan. 

Umumnya kami butuh waktu antara 60 hingga 90 menit untuk sesi wawancara, baik dilakukan pada klien (autoanamnesis) maupun pada anggota keluarga atau orang dekat yang tahu kondisi klien (alloanamnesis). Bergantung kebutuhan, dalam situasi dan kondisi tertentu, wawancara bisa berlangsung hingga dua jam. 

Dalam sesi wawancara terapis tidak sekadar menggali informasi yang dibutuhkan dan relevan dengan masalah klien. Ada banyak yang terjadi, antara lain terapis membangun relasi dengan klien, membangun rasa percaya klien pada terapis, memberi edukasi tentang kondisi yang klien alami, menjawab hal yang masih belum dimengerti, meluruskan mispersepsi, memberi klien data atau informasi yang ia butuhkan untuk dapat melihat dan mengerti kondisinya dengan perspektif yang lebih konstruktif, dan masih banyak lagi. 

Terapi, menurut protokol AWGI, telah dimulai saat klien tahu bahwa ia punya masalah dan mencari informasi tentang terapis yang bisa membantunya. Pada tahap ini, klien telah siap (๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ข๐˜ฅ๐˜บ) dan bersedia (๐˜ธ๐˜ช๐˜ญ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ) untuk mengatasi masalahnya. 

Terapi berlanjut saat klien jumpa terapis di ruang praktik. Cukup sering kami temukan, hanya di sesi awal, dengan kami mendengarkan keluhan, mengerti kondisi dan situasi klien, memberi dukungan emosi, melakukan edukasi yang klien butuhkan, masalah klien selesai dan teratasi.

Ini terjadi karena klien mengalami peningkatan kesadaran. Dan dengan kesadaran barunya, ia tidak lagi memandang kondisinya sebagai sesuatu yang mengganggu dan bermasalah. Bila sudah seperti ini, kami tidak perlu lanjut ke terapi formal. 

Dalam protokol hipnoterapi AWGI, kelancaran proses dan hasil terapi sangat dipengaruhi dan ditentukan capaian di sesi wawancara. Terapi formal hanya boleh dilakukan setelah sesi wawancara dinilai berhasil dan matang. 

Terapi formal butuh waktu antara 1,5 jam hingga 3 jam, bergantung situasi dan kondisi klien. Dengan demikian, total waktu untuk satu sesi hipnoterapi yang kami lakukan berkisar antara 2,5 jam higga 4 jam. Untuk kasus tertentu, total waktu hipnoterapi bisa hingga 5 jam. 

Klien seringkali tidak menyadari durasi terapi yang ia jalani. Sangat sering, setelah sesi terapi, saya bertanya pada klien, berapa lama, menurutnya, sesi terapi yang ia jalani. Klien menjawab sekitar 30 menit. Padahal, kenyataannya, total waktu sekitar 4 jam. 

Ini terjadi karena saat dalam kondisi hipnosis dalam, klien mengalami fenomena mental kontraksi waktu. Waktu yang panjang terasa sangat singkat. 

Proses terapi yang kami lakukan berpusat pada klien (c๐˜ญ๐˜ช๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต ๐˜ค๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฅ) bukan berpusat pada terapis (๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ช๐˜ด๐˜ต ๐˜ค๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฅ). Kami melakukan apapun upaya yang dibutuhkan untuk bisa membantu klien mengatasi masalahnya dengan tuntas, seturut kecepatan yang diizinkan oleh pikiran bawah sadar klien. 

Demikialah adanya...

Demikianlah kenyatannya...

Baca Selengkapnya

Teori SECH Tidak Sejalan dengan Teori Psikoanalisis?

7 April 2022

Seorang sahabat tertarik ingin belajar hipnoterapi di AWGI (Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology). Sebelum memutuskan ikut kelas SECH (Scientific EEG & Clinical Hynotherapy), ia mengajukan beberapa pertanyaan, yang menurutnya sangat penting, untuk saya jawab dan klarifikasi. 

Sahabat ini sarjana ilmu psikologi dan menurutnya teori yang saya ajarkan tidak sejalan dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Ia minta penjelasan saya tentang hal ini. 

Saya balik bertanya padanya, "Dari mana anda tahu bahwa bahwa teori yang saya ajarkan tidak sejalan dengan teori psikoanalisis? Apakah teori psikonalisis adalah mutlak benar? Dan mengapa anda hanya terpaku pada teori psikoanalisis Freud?"

Saya ingat beberapa tahun lalu, di kelas SECH hadir seorang psikolog klinis. Di hari pertama, saat saya memaparkan materi, tiba-tiba Beliau bertanya, "Pak Adi, mohon maaf. Saya perlu terus terang menyampaikan hal ini. Yang Pak Adi ajarkan ini bisa dibilang berbeda atau bertolak belakang dengan teori psikologi yang saya dalami."

Beliau kemudian menjelaskan teori yang dimaksud. Saya mendengar dengan saksama dan setelah Beliau selesai menjelaskan, Beliau bertanya, "Teori yang Pak Adi jelaskan ini teori siapa? Saya belum pernah tahu atau dengar tentang teori ini."

Sambil tersenyum dan dengan santai saya jawab bahwa yang saya ajarkan adalah teori psikologi dalam (deep psychology) versi Adi W. Gunawan. 

Saya kemudian menjelaskan tentang grand theory dan grounded theory. Teori yang saya bangun dari temuan-temuan di ruang praktik sejak tahun 2005 adalah grounded theory, seperti yang diperkenalkan oleh Glaser dan Strauss dalam buku The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research (1967). 

Dan bila teori saya tidak sejalan dengan teori yang sudah ada, tidak berarti teori saya salah. 

Berlandaskan teori yang saya bangun, saya mengembangkan pendekatan, strategi, protokol dan teknik terapi yang saya gunakan di ruang praktik membantu klien mengatasi beragam masalah yang berhubungan dengan emosi dan perilaku. 

Dan sejauh ini, hasil terapi yang berhasil dicapai adalah konsisten sangat positif. Demikian pula hasil yang yang dicapai oleh para hipnoterapis AWGI.

Untuk mudahnya, saran saya, lupakan semua teori yang ada. Lebih baik tidak tahu teori tapi bisa mencapai hasil yang sangat baik. Dan tentu akan sangat ideal bila praktisi hipnoterapi mengerti benar teori yang menjadi landasan praktiknya. 

Saya sarankan sahabat ini, bila ia benar ingin belajar hipnoterapi di AWGI, ia tidak boleh mengosongkan gelas, tapi ia harus menggunakan gelas baru. 

Nanti setelah belajar materi hipnoterapi SECH, mendengar ulasan mendalam, diskusi contoh kasus, melihat langsung terapi yang dilakukan di depan kelas, dan melakukan praktik, barulah ia mampu mengerti esensi teori yang diajarkan di kelas SECH. 

Saya lanjut bertanya pada sahabat ini, "Saya mencipta The Heart Technique® (THT), yang adalah integrasi dari banyak pendekatan terapi. Dengan THT saya mampu membantu klien mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi, dengan sangat cepat. Untuk menyembuhkan fobia dengan muatan emosi sangat intens, saya hanya butuh waktu sekitar 15 menit saja. Bisa tolong jelaskan pada saya, menggunakan teori psikologi yang pernah anda pelajari, apakah fobia dengan muatan emosi sangat intens, bisa disembuhkan hanya dalam waktu sangat singkat, 15 menit saja?"

Sahabat ini kesulitan menjelaskan cara kerja THT berdasar teori yang pernah ia pelajari. Saya jelaskan bahwa bila ia tidak bisa menjelaskan, ini tidak berarti tidak ada teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan cara kerja THT. Dan ini juga tidak berarti THT salah. Bagaimana bisa salah, dalam konteks teori, bila ternyata hasil yang dicapai nyata positif dan baik adanya. 

Saya yakin pasti ada teori yang bisa dengan gamblang menjelaskan cara kerja THT. Namun ia belum pernah memelajari teori ini. 

Pesan saya padanya, ia perlu selalu berpikiran terbuka, lentur, dan dinamis. Ia tidak boleh kaku dan kukuh hanya pada satu teori saja. Bila suatu teori ternyata tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan, segera cari teori lain. 

Baca Selengkapnya

Komponen Sugesti

8 Februari 2022

Ada banyak definisi sugesti bergantung pandangan dan pemahaman masing-masing pakar atau praktisi. Saya mendefinisikan sugesti sebagai metode komunikasi bertujuan menghasilkan penerimaan dan pelaksanaan penuh keyakinan atas pesan yang disampaikan, tanpa melibatkan penilaian kritis terhadap alasan penerimaan pesan, dan mengakibatkan perubahan penilaian, pendapat, sikap, dan atau perilaku. 

Konsep sugesti dapat didekati melalui beberapa cara. Pertama, melalui metode, cara, atau kanal komunikasi yang digunakan. Bila sugesti ditilik dari cara penyampaiannya, dikenal dua jenis sugesti yaitu heterosugesti, sugesti yang disampaikan seseorang kepada orang lain, dan autosugesti (sugesti intrapersonal) yaitu sugesti yang dilakukan seseorang kepada dirinya sendiri. 

Sugesti dapat didekati melalui variabel situasional dan kontekstual. Kondisi aktual saat sugesti diberikan berpengaruh pada kecenderungan sugesti diterima dan dijalankan. Sugesti yang diberikan dalam situasi klinis, di ruang praktik, di laboratorium untuk penelitian, dan di tempat umum berpengaruh pada derajat respon dan nonrespon terhadap sugesti. 

Sugesti juga dapat ditilik melalui sumber sugesti, bisa bersifat privat atau publik. Pada umumnya dipahami bahwa sugesti bekerja pada level privat, yaitu satu individu mendapat atau menerima sugesti yang berasal baik dari orang lain atau dirinya sendiri. Di sisi lain, sugesti juga dapat diberikan dan diterima secara kolektif melalui sugesti massal. 

Komponen lain sugesti adalah cara ia dilakukan. Ada sugesti berisi pesan jelas, dan ada yang sengaja dibuat tidak jelas. Ada pula berupa sugesti verbal dan nonverbal. Sugesti nonverbal butuh dukungan tambahan fungsi kognisi, terutama penglihatan, guna memastikan pesan yang disampaikan diterima dengan baik dan meningkatkan kecenderungan respon terhadap sugesti. 

Sugesti, selain bisa berupa pesan verbal atau nonverbal, juga bisa dalam bentuk pesan visual, baik yang telah dirancang sedari awal atau yang dimunculkan secara spontan saat sugesti diberikan. 

Daya (power) sugesti juga berpengaruh terhadap penerima. Sugesti yang diberikan secara lembut akan dipersepsi dan dimaknai berbeda dibanding sugesti yang melibatkan emosi dan diberikan dengan tegas. Respon dari pemberian sugesti ini bisa berupa makna bahwa isi sugesti adalah "permintaan" atau "perintah" untuk dilaksanakan. 

Komponen yang berpengaruh besar dan mampu meningkatkan daya sugesti adalah durasi pemberian sugesti. Sugesti yang diberikan secara singkat dan hanya sekali berdampak beda dibanding sugesti diberikan untuk waktu lebih lama dan berulang. 

Keefektifan sugesti yang tampak dalam bentuk kecenderungan penerima sugesti melakukan pesan yang disampaikan juga ditentukan atau dipengaruhi oleh karakteristik dan otoritas pemberi sugesti. Semakin tinggi otoritas pemberi sugesti, baik riil atau hanya berdasar persepsi, semakin kuat pengaruh sugesti yang diberikan terhadap penerima. 

Tingkat keefektifan sugesti juga dipengaruhi oleh motivasi, kesiapan, dan kesediaan penerima sugesti untuk menerima dan menjalankan sugesti. Semakin tinggi motivasi kesiapan, dan kesediaan semakin mudah sugesti diterima dan bekerja atau dilaksanakan. 

Komponen lain dalam sugesti adalah waktu pemberian sugesti (timing), jenis pesan, perhatian, dan pemahaman penerima terhadap pesan yang diberikan. 

Sugesti juga dipengaruhi konten aktual dari pesan yang diberikan dan target yang hendak dicapai. Ada sugesti berisi pesan dengan tujuan memengaruhi proses sensori dan mengakibatkan terjadinya distorsi sensori (De Pascalis dan Daddia, 1985; Gheorhiu dan Reyher, 1982), dan ada yang bertujuan memengaruhi proses sesori-motor (Gheorghiu dan Walter, 1989), dan ada pula sugesti yang secara khusus dirancang untuk menarget proses memori (Gudjonsson, 1983; Loftus, 1979). 

Dan yang terakhir, dalam konteks klinis, komponen dan determinan penting sugesti diterima dan dijalankan adalah kondisi kesadaran penerima sugesti saat sugesti diberikan. Keefektifan penerimaan sugesti secara umum dapat dikatakan ditentukan oleh kedalamam rileksasi pikiran. Semakin dalam rileksasi pikiran, semakin baik. 

Baca Selengkapnya

Meditasi, Mindfulness, Hipnosis, dan Hipnoterapi

8 Januari 2022

 Artikel ini bertujuan menjelaskan kesamaan, perbedaan, dan manfaat meditasi, mindfulness, hipnosis dan hipnoterapi.

 

Hipnosis dan meditasi masing-masing merujuk pada rangkaian luas praktik berasal dari tradisi panjang dalam sejarah dan budaya sangat berbeda. Mereka menggunakan dan melibatkan beragam aktivitas kognisi, afeksi, perilaku, dan bertujuan mencapai sejumlah besar hasil terapeutik dan spiritual, mulai dari analgesia hingga pencerahan (enlightenment).

Praktik meditasi dan mindfulness (perhatian penuh) jauh mendahului pemanfaatan hipnosis untuk tujuan terapeutik, dan dapat ditelusuri hingga lebih dari 2.000 tahun lalu, saat Buddha menjelaskan meditasi sebagai cara melepas kelekatan pada bentuk-bentuk pikiran, perasaan, dan perilaku atau kebiasaan yang sifatnya mengganggu (Lyn dkk, 2006).

Keragaman di antara tujuan dan teknik dalam domain-domain ini mengakibatkan tantangan serius dalam upaya menetapkan definisi inklusif dari praktik masing-masing.

Di luar keragaman aktivitas dalam praktik hipnosis dan meditasi, inkonsistensi interpretasi terhadap istilah utama, seperti hipnosis (Kirsch dkk, 2011) dan mindfulness (Williams dan Kabat-Zinn, 2011) – semakin membuat kabur konsep utama dan menghambat kemajuan penelitian dalam topik ini.

Meditasi biasanya dipahami lebih berdasar efek yang dihasilkannya. Ada yang mendefinisikan meditasi sebagai teknik relaksasi (Benson, 1975). Definisi ini berimplikasi pada kemiripan masalah yang ditemui dalam literatur tentang relaksasi (Davidson dan Schwartz, 1976), yang menyatakan bahwa teknik relaksasi adalah teknik yang menghasilkan efek-efek tertentu, seperti berkurangnya ketegangan otot, dan menurunnya keaktifan sistem saraf simpatik.

Tentunya, cara mendefinisikan meditasi berdasarkan efek yang dihasilkannya, menggunakan variabel dependen untuk mendefinisikan variabel independen, bukanlah cara yang tepat dan memuaskan, dan tidak mampu menghasilkan definisi akurat.

Masalah lain dalam mendefinisikan meditasi adalah terdapat begitu banyak jenis atau teknik meditasi. Ada teknik meditasi yang dilakukan dengan postur tubuh duduk dan menghasilkan kondisi tenang dan rileks (Wallace, Benson, dan Wilson, 1971). Kegiatan meditasi lainnya dilakukan dengan duduk diam dan menghasilkan kondisi gembira dan semangat (Das dan Gastaut, 1955; Croby dkk, 1978).

Sementara teknik lainnya, seperti tarian berputar Sufi, Tai Chi, dan Hatha yoga melibatkan gerakan fisik hingga taraf tertentu (Naranjo dan Ornstein, 1971; Hirai, 1974). Kadang, “meditasi bergerak” ini menghasilkan kondisi gembira, kadang kondisi rileks (Fischer, 1971; Davidson, 1976). Bergantung pada tipe meditasi yang dilakukan, tubuh dapat aktif dan bergerak, atau relatif diam dan pasif.

Walau terdapat banyak teknik, bila dicermati, sejatinya hanya terdapat tiga kelompok besar strategi dan regulasi perhatian yang digunakan dalam meditasi: fokus pada objek spesifik di dalam medan perhatian (meditasi konsentrasi – samatha), fokus pada medan perhatian (meditasi perhatian penuh – vipassana / mindfulness), dan bergeser antara keduanya. Perhatian dalam konteks ini mengacu secara luas pada alokasi sumber daya pemrosesan kognitif.

Pola fokus seperti ini sejalan dengan mekanisme otak dalam memerhati, seperti yang dijelaskan Pribram (1971), serupa dengan kamera dan bekerja dengan dua cara. Pertama, fokus kamera seperti pada lensa sudut lebar – kesadaran luas dan menyapu semua medan perhatian (meditasi mindfulness). Kedua, tipe perhatian serupa dengan lensa tele (zoom), secara spesifik fokus hanya pada segmen terbatas di medan perhatian (meditasi konsentrasi).

Mengacu pada perspektif Buddhis, para ilmuwan secara umum mengelompokkan praktik meditasi ke dalam dua kategori: meditasi konsentrasi /samatha dan meditasi pengamatan terbuka / vipassana (Lutz dkk, 2008).

Meditasi konsentrasi (samatha) atau perhatian terpusat melibatkan konsentrasi pada satu objek spesifik di dalam medan perhatian, seperti napas, mantra atau kalimat doa yang diulang. Sementara meditasi pengamatan terbuka (vipassana) melibatkan perluasan perhatian dengan mengikutsertakan seluruh bidang perhatian dari satu momen pengalaman ke momen pengalaman berikutnya.

Walau pembagian meditasi secara konseptual menjadi dua jenis cukup bermanfaat, banyak praktik meditasi tidak secara tegas masuk ke dalam skema keduanya, seperti praktik meditasi cinta kasih dan visualisasi (Lutz, Dunne, dan Davidson, 2006).

Menggunakan mekanisme perhatian sebagai dasar untuk menetapkan definisi, dapat dinyatakan bahwa meditasi merujuk pada sekumpulan teknik dengan kesamaan berupa upaya sadar dalam mengarahkan dan memusatkan perhatian secara nonanalitikal, dan sebuah upaya sadar untuk tidak larut dalam bentuk-bentuk pikiran dan perasaan yang muncul.

 

Meditasi Buddhis dan Mindfulness

Ajaran Buddha tentang meditasi perhatian penuh (mindfulness), singkat dan jelas. Ajaran ini tertulis dalam ฤ€nฤpฤnasati sutta dan Satipatthana sutta. Keduanya menjelaskan metode sistematis untuk mengolah dan mengembangkan kesadaran, dengan secara khusus memerhatikan napas masuk dan keluar. Dalam ฤ€nฤpฤnasati sutta, Buddha menyatakan:

[1] Menarik napas panjang, ia menyadari, "Aku sedang menarik napas panjang." Mengembuskan napas panjang, ia menyadari, "Aku sedang mengembuskan napas panjang."

[2] Menarik napas pendek, ia menyadari, "Aku sedang menarik napas pendek." Mengembuskan napas pendek, ia menyadari, "Aku sedang mengembuskan napas pendek."

[3] Ia berlatih sebagai berikut, "Aku akan menarik napas dengan mengalami seluruh tubuh (atau napas)." Ia berlatih sebagai berikut, "Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami seluruh tubuh (atau napas)."

[4] Ia berlatih sebagai berikut, "Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan jasmani." Ia berlatih sebagai berikut, "Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan jasmani."

(Buddhadasa, 1988, p. 147)

 

Uraian ini menunjukkan bahwa Buddha memandang napas baik sebagai (1) objek kesadaran (“[1] Menarik napas panjang, ia menyadari, "Aku sedang menarik napas panjang.") dan (2) sarana untuk mengarahkan perhatian (“[3] ] Ia berlatih sebagai berikut, "Aku akan menarik napas dengan mengalami seluruh tubuh (atau napas).").

Praktisi meditasi, dengan demikian, tidak hanya secara berkesinambungan memerhatikan napas, juga memanfaatkan proses ini untuk mengembangkan kesadaran pada berbagai aspek diri sebagai bagian dari latihan mental.

Uraian berikutnya menggambarkan kesadaran perhatian penuh terhadap perasaan dan persepsi ([5] hingga [8]), pikiran dan kehendak ([9] hingga [12]), dan ketidakkekalan fenomena ([13] hingga [16]). 

[5] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan mengalami sukacita.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami sukacita.”

[6] Ia berlatih sebagai berikut, “‘Aku akan menarik napas dengan mengalami kenikmatan.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kenikmatan.”

[7] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan mengalami bentukan batin.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami bentukan batin.”

[8] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan batin.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan batin.”

[9] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan mengalami pikiran.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami pikiran.’”

[10] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan menggembirakan pikiran.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan menggembirakan pikiran.”

[11] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan mengonsentrasikan pikiran.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan mengonsentrasikan pikiran.”

[12] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan membebaskan pikiran.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan membebaskan pikiran.”

[13] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan merenungkan ketidakkekalan.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan ketidakkekalan.”

[14] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan merenungkan peluruhan.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan peluruhan.”

[15] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan merenungkan lenyapnya.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lenyapnya.”

[16] Ia berlatih sebagai berikut, ”Aku akan menarik napas dengan merenungkan lepasnya.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lepasnya.”

 

Berdasar mekanisme perhatian yang terlibat dalam meditasi, secara ringkas meditasi dapat didefinisikan sebagai kegiatan membawa pikiran dengan penuh kesadaran pada satu objek tertentu (Paññฤvaro, 2016). Sementara menurut Wise (2009) meditasi adalah kondisi kesadaran dengan pola gelombang otak sangat spesifik. Kondisi meditatif ini dicapai dengan teknik sesuai.

Dalam meditasi, perhatian dapat secara aktif diarahkan pada satu objek konsentrasi dengan mengabaikan objek lainnya (Anand, Chinna, dan Singh, 1961). Perhatian juga dapat fokus pada satu objek, tetapi saat objek lain, bentuk-bentuk pikiran, atau perasaan muncul, mereka dapat dikenali sejenak, kemudian perhatian diarahkan kembali pada objek semula, seperti dalam meditasi vipassana dan transendental. Perhatian juga dapat tidak difokuskan eksklusif pada objek tertentu, seperti dalam Zen Shikan Taza (Kasamatsu dan Hirai, 1966; Krishnamurti, 1979).

Mindfulness adalah sebuah kata, digunakan dalam banyak cara. Definisinya bergantung pada siapa yang menggunakannya dan dalam konteks apa. Mindfulness adalah terjemahan dari bahasa Pali sati, Sansekerta smrti, Mandarin nian, dan Tibet dran pa, bermakna kesadaran (awareness), perhatian (attention), dan pengingatan (remembering) (Germer, 2004). 

Mindfulness adalah satu bentuk meditasi Buddhis yang berakar pada tradisi Theravada di Asia Tenggara. Walau istilah mindfulness telah banyak digunakan, hingga saat ini belum ada konsensus definisinya di antara para peneliti karena keragaman prosedural dan kompleksitas fenomenologis terkait praktik mindfulness (Lifshitz et al., 2012; Otani, 2016; Pekala & Creegan, 2020). 

Konsep mindfulness (perhatian penuh) mulai populer di Barat sejak Jon Kabat-Zinn (1991, 1994) mengembangkan teknik reduksi stres berbasis mindfulness (mindfulness-based stress reduction).  

Nyanaponika (1972) mendefinisikan mindful sebagai kesadaran jernih dan tunggal akan apa yang terjadi pada dan di dalam diri pada momen-momen persepsi berkelanjutan. 

Kabat-Zinn (1990/2005) mendefinisikan mindfulness sebagai perhatian yang dilakukan secara sadar, tanpa menilai atau menghakimi, terhadap pengalaman dari satu momen ke momen berikutnya.

Mindful menurut Paññavaro (2016) adalah pengamatan atas pengalaman dan bagaimana pengalaman ini berlangsung tanpa memberi makna, menghakimi, menilai, memberi nama atau label, melibatkan emosi, atau berusaha dengan sesuatu cara mengubah pengalaman ini. 

Ada dua tipe mindfulness: (1) samatha, menggunakan perhatian terfokus pada objek spesifik dan (2) vipassana yang menekankan pengamatan terbuka terhadap persepsi yang berlangsung. 

Dalam perhatian tidak menghakimi, netral, apa adanya, mindfulness mencakup penerimaan, kesabaran, dan toleransi terhadap timbul tenggelam bentuk-bentuk pikiran, perasaan, sensasi yang muncul di dalam kesadaran, atau memerhatikan konten kesadaran, sebagaimana dalam meditasi vipassana atau meditasi pandangan terang (Mellinger dan Lynn, 2012).

Meditator, dalam melakukan praktik meditasi mindfulness, memfokuskan perhatiannya pada objek yang telah ditentukan sebelumnya, misal napas, gerakan perut, suara tertentu, gambaran mental di pikiran, sambil tetap memerhatikan stimuli eksternal (penglihatan, suara, bau, sentuhan, dll) dan internal (misal bentuk pikiran yang muncul, perasaan, dll) rangsangan pada saat bersamaan. 

Inti praktik mindfulness bukan sekadar memusatkan perhatian pada napas, seperti yang diyakini orang awam, melainkan penerimaan dan pelepasan berkelanjutan dari berbagai fenomena seperti suara-suara dari lingkungan, suara atau dialog internal, bentuk-bentuk pikiran atau emosi, dan sensasi fisik.

 

Hipnosis dan Hipnoterapi

Dalam konteks hipnosis dan hipnoterapi, terdapat dua pikiran: pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Fungsi pikiran sadar mengidentifikasi informasi yang masuk melalui enam indera, membandingkan informasi ini dengan data di pikiran bawah sadar, melakukan analisis, dan membuat keputusan. 

Fungsi pikiran bawah sadar adalah tempat menyimpan data atau memori jangka panjang, menyimpan hal-hal yang tidak tertangkap oleh pikiran sadar, tempat tiga jenis kebiasaan, emosi, kepribadian, intuisi, kreativitas, persepsi, keyakinan (belief), dan nilai hidup (value). Pengaruh dan kontribusi pikiran sadar pada diri individu berkisar antara 1% hingga 5%, sementara pikiran bawah sadar antara 95% hingga 99% (Gunawan, 2012). 

Pikiran sadar mampu memproses hingga 40 bit informasi tiap detik (Zimmermann (1989). Sementara menurut Trincker (dalam Norrentranders, 1998:126) pikiran bawah sadar mampu memproses hingga 40.000.000 bit informasi tiap detik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbandingan kapasitas pemrosesan data antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar adalah 40 bit/detik berbanding 40.000.000 bit/detik atau 1 berbanding 1.000.000. 

Seturut dengan keberadaan dua pikiran, terdapat dua logika pikiran: logika pikiran sadar (conscious logic) dan logika pikiran bawah sadar (trance logic). Kedua logika pikiran ini bekerja dengan keunikan dan hukum berbeda. 

Hipnosis adalah kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar fokus dan rileks, berakibat pikiran menjadi sangat reseptif menerima pesan-pesan mental yang disampaikan, baik berupa pesan verbal dan atau visual. Kondisi pikiran sadar rileks ini bisa diikuti, namun tidak selalu, dengan kondisi tubuh fisik rileks (Gunawan, 2018). 

Kondisi hipnosis bisa dicapai atau terjadi melalui beberapa cara: swahipnosis, heterohipnosis, autohipnosis, dan parahipnosis. Swahipnosis adalah hipnosis yang dilakukan seseorang pada dirinya sendiri. Heterohipnosis adalah hipnosis yang dilakukan seseorang pada orang lain, terutama dalam konteks klinis. Autohipnosis adalah hipnosis yang terjadi dengan sendirinya saat individu berada dalam situasi atau kondisi tertentu. Dan parahipnosis adalah hipnosis akibat obat. 

Berbeda dengan pehamahan awam, kondisi hipnosis bukan tidur atau kondisi tak sadar. Dalam kondisi hipnosis, individu tetap sadar sepenuhnya dan memiliki kendali penuh atas dirinya.

Dalam kondisi hipnosis individu melepas kendali atas fungsi kritis pikirannya, lepas dari fungsi pengawasan kekinian pengalaman, dan teregresi ke proses berpikir primer di mana terdapat kebebasan dan keleluasaan pikiran dalam memunculkan berbagai bentuk gambaran mental, daya khayal, menerima segala sesuatu yang sebelumnya tidak rasional menjadi rasional, dan individu mengalami fenomena trance logic (Orne, 1959).

Terdapat banyak lapis kesadaran atau jenjang kedalaman, kondisi hipnosis. Mulai dari kedalaman dangkal (light trace), kedalaman menengah (medium trance), kedalaman dalam (deep trance), hingga kedalaman ekstrim (extreme depth). Setiap kedalaman bercirikan fenomena spesifik baik di aspek mental maupun fisik.

Terdapat lebih dari dua puluh skala kedalaman hipnosis. Skala paling awal adalah Magnetic Scale (Liébeault, 1866, 1889). Sementara skala yang populer digunakan sebagai acuan adalah Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A and B, Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Form C, dan Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1959, 1962, 1963, 1967), dan Harvard Group Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A dan B (Shor dan Orne, 1962). Di tahun 2010, di Indonesia telah disusun AWG Hypnotic Depth Scale yang digunakan sebagai acuan dalam proses hipnoterapi oleh hipnoterapis klinis anggota Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI).

Hipnosis per se tidak terapeutik, karena ia hanya kondisi kesadaran. Manfaat yang bisa dirasakan bila seseorang mengalami kondisi hipnosis adalah terjadinya relaksasi pikiran sadar dan tubuh fisik. Ini menghasilkan respon relaksasi yang berdampak baik untuk ketenangan dan kesehatan. Namun, bila tujuan yang ingin dicapai adalah kebaikan dan kesejahteraan mental pada tataran lebih luas, hipnosis perlu disandingkan dengan seperangkat teknik atau strategi terapi. Gabungan antara kondisi hipnosis dan teknik terapi dinamakan hipnoterapi.

Secara ringkas, hipnoterapi adalah terapi, bisa menggunakan teknik apa saja, dilakukan dalam kondisi hipnosis. Terapi bisa dilakukan baik oleh diri sendiri, atau oleh terapis pada klien dengan tujuan mengatasi masalah dan meningkatkan kesejahteraan klien.

Terdapat tiga mazhab hipnoterapi. Pertama, mazhab pantai timur Amerika yang hanya mengutamakan dan menggunakan sugesti sebagai sarana untuk mencapai perubahan. Kedua, mazhab pantai barat Amerika, mengutamakan hipnoanalisis bertujuan mencari, menemukan, dan memroses tuntas akar masalah. Dan ketiga, mazhab eklektik-integratif, dikembangkan oleh AWGI, bercirikan pemanfaatan, integrasi teknik serta pendekatan terapi terkini dan terbaik, bertujuan mencari, menemukan, dan memroses tuntas akar masalah dalam upaya membantu individu mengalami perubahan positif dengan aman, efektif, cepat, mudah, menyenangkan, dengan hasil terapi bertahan lama.

Proses perubahan transformatif dan dampak terapeutik positif terjadi saat terapis berhasil membantu klien mencapai pengalaman emosional korektif (Alexander dan French, 1946) melalui rekonstruksi memori patologis (Watkins, 1978).

(Bangun) memori hanya bisa direkonstruksi bila ia telah lentur setelah beberapa prasyarat terpenuhi, terutama setelah terjadi peluruhan emosi dan pemanfaatan trance logic. Tanpanya, bangun memori akan tetap kokoh, rigid, dan tidak bisa direkonstruksi untuk kebaikan dan kesembuhan klien (Gunawan, 2018).

Upaya pemulihan kesejahteraan mental dan emosi klien pascakejadian traumatik dilakukan dengan menggunakan teknik khusus, di kedalaman hipnosis dalam (profound somnambulism) tanpa mengganggu integritas memori (traumatik).

Dibutuhkan pemahaman mendalam tentang landasan teori dan cara kerja memori agar bisa melakukan rekayasa dan rekonstruksi memori patologis secara aman dan tepat sasaran. Tanpa pemahaman benar hipnoterapis bisa salah dalam melakukan atau justru menolak melakukan rekonstruksi memori.

 

Kesadaran

Kesadaran (consciousness) memiliki lima komponen: kondisi kesadaran (state of consciousness), isi kesadaran (content of consciousness), kesadaran (awareness), energi, dan struktur.

Kesadaran (consciousness) dibedakan menjadi dua kelompok: kesadaran normal (baseline state of consciousness) dan kesadaran berbeda (discrete state of consciousness). Kesadaran normal adalah kesadaran yang dialami individu dalam kondisi bangun, sadar normal. Sementara kesadaran berbeda adalah semua kondisi kesadaran di luar kelompok kesadaran normal. Kesadaran berbeda sering disebut sebagai altered state of consciousness (ASC). Kondisi meditatif dan kondisi hipnosis adalah kondisi kesadaran berbeda.

Menurut Tart (1975) kondisi kesadaran distabilkan oleh empat proses: loading stabilization (stabilisasi beban), negative feedback stabilization (stabilisasi umpan balik negatif), positive feedback stabilization (stabilisasi umpan balik positif), dan limiting stabilization (stabilisasi penghambat).

Isi kesadaran (content of consciousness) adalah muatan yang keluar dari pikiran bawah sadar dan atau nirsadar, naik ke permukaan dan masuk ke wilayah pikiran sadar sehingga dikenali dan diketahui. Setiap kondisi kesadaran merupakan jalur bagi pikiran bawah sadar dan atau nirsadar untuk mengeluarkan muatannya sesuai dengan kondisi psikis, kebutuhan, kesiapan, dan izin dari sistem ego.

Kesadaran (awareness) adalah kemampuan untuk mengetahui atau mengenali atau memikirkan bahwa sesuatu sedang terjadi. Sedangkan kesadaran diri (self awareness) adalah kesadaran akan kondisi sadar. Tingkat kesadaran diri yang tertinggi adalah saat terjadinya perpisahan antara kesadaran dan konten.

Kesadaran (awareness)merujuk pada pengetahuan dasar bahwa sesuatu sedang terjadi, mengamati, atau merasakan. Kesadaran (consciousness)umumnya merujuk pada awareness dalam hal yang jauh lebih rumit. Consciousness adalah awareness yang dipengaruhi oleh struktur pikiran.

Energi dalam hal ini merujuk pada perhatian atau kesadaran (awareness) dalam konteks bahwa suatu struktur yang sebelumnya tidak berpengaruh terhadap kesadaran dapat diaktifkan bila dibutuhkan.

Sementara yang dimaksud dengan struktur, lebih tepatnya struktur psikologis, adalah organisasi yang relatif stabil dari komponen yang menjalankan satu atau lebih fungsi psikologis tertentu. Beberapa struktur membutuhkan energi dalam jumlah tertentu agar dapat bekerja optimal, beroperasi, dihambat kerjanya, diubah, dan atau didestrukturisasi (Tart, 2001).

Bila ditilik dari kesadaran individu saat melakukan meditasi dan dalam kondisi hipnosis, terdapat kemiripan dan perbedaan. Walau individu yang melakukan meditasi maupun yang sedang mengalami kondisi hipnosis tampak sama tenang dan pasif, aktivitas kesadaran mereka sangat berbeda. 

Terdapat dua aspek kesadaran dalam konteks mindfulness: perhatian (attention) dan kesadaran (awareness). Perhatian (attention) adalah proses pemusatan kesadaran, memberikan kepekaan yang tinggi pada rentang pengalaman terbatas (Westen, 1999). Kesadaran (awareness) berfungsi sebagai radar bagi kesadaran (consciousness), yang secara kontinu memonitor lingkungan di luar dan di dalam diri individu (Brown & Ryan, 2003). Kesadaran dan perhatian saling terhubung. Perhatian terus-menerus menarik "sosok" keluar dari "tanah" kesadaran, menahan mereka secara fokus untuk jangka waktu yang berbeda-beda. 

Hal ini memungkinkan individu untuk dapat menyadari suatu stimulus tanpa harus meletakkan stimulus tersebut sebagai pusat perhatian. Misalnya, ketika seseorang sedang berbincang-bincang, namun tetap menyadari apa yang terjadi di lingkungannya. Sementara attention diartikan sebagai suatu proses memfokuskan kesadaran yang disadari (focusing conscious awareness) dengan cara meningkatkan kepekaan terhadap lingkup pengalaman-pengalaman yang terbatas. 

Dari dua tipe meditasi, samatha, mengembangkan kondisi tercerap, adalah praktik mindfulness yang memiliki kemiripan dengan kondisi hipnosis. Samatha, bila dilatih secara konsisten, menuntun pada kondisi konsentrasi terpusat yang dikenal sebagai samadhi atau tercerap sepenuhnya pada objek. 

Dalam meditasi samatha, pikiran sadar meditator tercerap, fokus, dan terkunci pada objek seperti napas. Sementara dalam hipnosis, pikiran sadar individu fokus pada suara, tuntunan terapis, sensasi fisik, dan pengalaman yang diungkap pikiran bawah sadar.  

Walau terdapat kesamaan, mindfulness dan hipnosis berbeda dalam mekanisme kognitif dan neurofisiologis tertentu. Hipnosis dapat menimbulkan atau meningkatkan disosiasi (mis: amnesia, depersonalisasi, kehilangan sensorik, dll.), bersama dengan pundarnya orientasi realitas umum (generalized reality orientation / GRO) (Shor, 1959). 

GRO adalah kerangka referensi internal yang stabil, berfungsi mengarahkan seseorang untuk dapat bernavigasi dengan baik dan terarah, dalam ruang dan waktu, bahkan saat ia tidak secara khusus dan saksama memerhatikan keadaan sekelilingnya (Shor,1959). 

Sementara menurut Bruner (1973) GRO adalah skema kognitif yang bekerja atau aktif di latar belakang kesadaran yang memungkinkan seseorang untuk pergi “melampaui informasi yang diperoleh” pada setiap momen untuk mempertahankan orientasinya terhadap realita. 

GRO adalah fungsi pikiran yang mengawasi keadaan sekeliling. GRO tidak bekerja saat individu tidur. Dalam hipnosis, tingkat keaktifan GRO bergantung pada kedalaman hipnosis yang berhasil dicapai. Semakin dalam kondisi hipnosis, fungsi GRO semakin pudar. 

Dalam praktik mindfulness, khususnya vipassana, praktisi tetap sadar akan pengalaman eksternal dan internal. Bentuk-bentuk pikiran yang mengganggu dan sensasi sakit dikenali namun tidak diberi perhatian, bukan "terputus" seperti dalam disosiasi hipnotik. Perbedaan ini telah terkonfirmasi secara empiris (Lau et al., 2006). 

Ciri-ciri kognitif dan fenomenologis yang unik untuk mindfulness dan hipnosis mengindikasikan mekanisme neurofisiologis spesifik yang mendasarinya. Keduanya sangat berbeda dalam konektivitas fungsional di otak. 

Dalam hipnosis, fungsi pemantauan terputus dari fungsi eksekutif (Egner, Jamieson, & Gruzelier, 2005). Proses ini yang diperkirakan mengakibatkan terjadinya penghentian sementara dari fungsi penilai kritis terhadap realita, dalam hal ini GRO, dan memungkinkan sugesti hipnotik dan rekonstruksi memori dapat terjadi. 

Pada kondisi hipnosis dalam, walau fungsi GRO dan analitis logis menurun atau sangat berkurang, individu tetap dalam kondisi sadar penuh sehingga masih dapat mengendalikan diri sepenuhnya. Ia dapat memutuskan keluar dari kondisi hipnosis seturut keinginannya, kapan pun. 

Dalam mindfulness (vipassana), yang terjadi adalah pola sebaliknya. Fungsi pemantauan dan fungsi eksekutif tetap aktif dan terhubung satu dengan lainnya, yang mengakibatkan kesadaran praktisinya meningkat, tidak mengalami penurunan seperti dalam kondisi hipnosis (Lynn, Malaktaris, Maxwell, Mellinger, & van der Kloet, 2012). 

Mencermati temuan ini, beberapa ilmuwan neurosains menegaskan bahwa pernyataan Buddha tentang "tercerahkan sepenuhnya" pada saat pencerahan bukan sekadar metafora (Britton, Lindahl, Cahn, Davis, & Goldman, 2014). 

Keterhubungan antara fungsi pemantauan, fungsi eksekutif, dan konektivitas otak yang mengalami peningkatan mengatur emosi dan perenungan mendalam yang dilakukan praktisinya (Brewer et al., 2011). 

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa mindfulness adalah serangkaian prosedur kognitif yang beragam memfasilitasi perhatian terpusat (samatha) atau pengawasan terbuka tanpa menghakimi (vipassana). Samatha menyerupai hipnosis dengan peningkatan dalam konsentrasi dan pencerapan. Sementara vipassana berbeda dengan hipnosis karena ia meningkatkan, tidak meredupkan kesadaran. 

 

Terapi Berbasis Mindfulness

Mindfulness dapat digunakan baik secara mandiri atau diintegrasikan ke dalam teknik atau pendekatan terapi untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan mental dan emosi.

Saat ini telah dikembangkan pendekatan terapeutik berbasis mindfulness seperti mindfulness based stress reduction (MBSR; Kabat-Zinn, 1990) dan mindfulness-based cognitive therapy (MBCT; Segal, Williams, dan Teasdale, 2002) merujuk pada tradisi mindfulness Buddhis sebagai sumber utama dan inspirasi.

Keefektifan dan manfaat mindfulness dalam konteks klinis terletak pada kemampuan kesadaran memutus response set yang mengendalikan diri individu. Response set adalah pola asosiasi terkondisi yang memfasilitasi pola perilaku, pola pikir, dan respon individu terhadap stimulus atau situasi tertentu. Response set dapat diaktifkan baik oleh stimuli internal maupun eksternal, seperti sugesti dan beragam sinyal yang berasal dari lingkungan.

Mindfulness dapat memutus respon perilaku otomatis yang selama ini menguasai diri seseorang, baik disadari atau tidak, dan membuat individu menjadi sadar akan pola perilaku maladaptif yang ia alami atau lakukan.

Pelatihan mindfulness pada klien akan memampukan klien menyadari dan menangkap pola perilaku yang relatif otomatis dan reaktif menjadi respon yang lebih terkendali (Teasdale, Segal, dan Williams, 2003).

Individu terlatih dalam mindfulness mampu menyadari keberadaan pengalaman atau memori, baik bermuatan emosi negatif maupun emosi positif intens, melihat apa adanya pengalaman ini, tanpa menghakimi, berupaya mengubah, memberi makna, atau masuk ke dalamnya. Melalui pengalaman meditatif, individu tidak hanya mampu menyadari keberadaan fenomena, ia juga menyadari bahwa fenomena-fenomena ini bersifat tidak kekal.

Saat fenomena berupa memori, bentuk pikiran, atau perasaan muncul ke permukaan, sejalan dengan hukum ketidakkekalan, setelah bertahan beberapa saat mereka akan padam dengan sendirinya. Muncul, bertahan, dan padamnya fenomena ini terjadi tidak hanya sekali tapi berulang kali. Setiap kali individu berhasil (hanya) menyadari keberadaan fenomena ini, saat mereka muncul, bertahan sesaat, dan padam, tanpa ia bereaksi atau larut ke dalamnya, setiap kali ini pula terjadi peluruhan emosi dan daya cengkeram fenomena terhadap diri individu, hingga akhirnya response set menjadi nonaktif, dan individu terbebas dari masalah.  

Dengan mindfulness, kekuatan perhatian (sati), individu mampu senantiasa membawa batinnya ke saat ini, dan memperlambat arus informasi yang masuk melalui enam indera, dan mendeteksi setiap pengalaman yang berhubungan dengan enam indera, mengetahui mana yang baik / buruk, bermanfaat / merugikan dan menggunakan kebijaksanaan untuk menentukan respon.

Baca Selengkapnya

Takut dan Serakah: Dua Emosi Penghambat Sukses

6 Desember 2021

Di salah satu kesempatan minggu lalu saya jumpa dengan sahabat lama yang adalah pakar di bidang properti yang kini juga mendalami dunia keuangan.

Sahabat ini sudah kenyang mengikuti berbagai pelatihan baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Setelah cerita banyak hal kami akhirnya diskusi tentang dunia pelatihan.

Diskusi ini berawal dari sahabat saya menjelaskan mengenai kondisi kehidupannya saat ini. Sekitar tujuh tahun lalu ia mengalami kejatuhan di bidang finansial yang sangat parah.

Saat itu posisi sahabat saya sudah sangat-sangat bagus. Ia dikenal sebagai agen properti yang sangat berhasil. Suatu hari, ia diajak kerjasama oleh beberapa rekannya untuk mendirikan perusahaan properti.

Tawaran kerjasama seperti ini sudah sangat sering ia dapatkan, mengingat nama besarnya di dunia properti, namun selalu ia tolak. Namun entah mengapa kali ini ia menerimanya. Dan dari sinilah semua bencana ini berawal.

Ternyata rekan-rekan kerjanya bukan orang properti dan tidak sepadan dengan pengetahuan dan kemampuannya. Singkat cerita, karena salah dalam kalkulasi bisnis akhirnya perusahaan ini bangkrut dan menyisakan utang miliaran rupiah.

Saat saya tanya apa yang menjadi alasan ia menerima tawaran kerjasama saat itu, dengan tersenyum bijak sahabat saya menjawab, "Saya sudah mengikuti sangat banyak pelatihan. Bisa dibilang semua pelatihan ini mengajarkan cara mengatasi rasa takut.

Takut sukses, takut gagal, takut ditolak orang, takut tidak mampu, takut akan rasa takut, dan berbagai takut lainnya. Ada banyak cara yang digunakan untuk mengatasi rasa takut.

Salah satunya adalah jalan di atas api. Ada lagi yang menggunakan jalan di atas pecahan kaca. Cara-cara ini memang cukup efektif. Namun satu hal yang belum pernah saya temui di berbagai pelatihan yang telah saya ikuti yaitu cara atau teknik mengatasi keserakahan."

"Lalu apa hubungan hal ini dengan Anda menerima tawaran kerjasama dulu," tanya saya.

"Saya memang telah berhasil mengatasi rasa takut. Namun saat itu saya belum belajar mengatasi keserakahan saya. Jujur saya akui bahwa saya menerima tawaran mereka karena saya serakah. Saya hanya melihat hitungan di atas kertas. Karena serakah saya menjadi mata gelap. Yang ada di pikiran saya hanya untung dan untung. Pak Adi perlu membuat pelatihan khusus untuk mengatasi keserakahan. Ini ada pasarnya lho. Saya bisa jadi marketingnya kalau mau," jawabnya sambil tertawa.

Sahabat saya saat ini sudah pulih kembali kondisi finansialnya. Ia memetik hikmah luar biasa dari pengalaman jatuh bangun yang ia alami. Benar seperti yang ia katakan. Hampir semua pelatihan untuk meraih sukses menitikberatkan pada mengatasi rasa takut. Dari pengalaman saya selama ini mengatasi rasa takut saja belum lengkap. Kita perlu belajar mengatasi rasa serakah.

Mengapa perlu mengatasi keserakahan?

Keberanian yang tidak dilengkapi dengan kebijaksanaan dalam bentuk pengendalian diri tentu akan sangat berbahaya. Kita perlu bijak untuk bisa mengendalikan keserakahan yang merupakan salah satu emosi dasar manusia, selain marah dan takut.

Serakah artinya selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki, loba, tamak, rakus. Serakah mengandung makna seseorang tidak tahu, tidak mengerti, atau tidak menentukan kondisi atau syarat cukup.

Saat pikiran dikuasai keserakahan maka logika berpikir, kewaspadaan, dan ketajaman analisis menjadi tumpul. Yang tampak di pikiran dan dirasakan di hati hanya untung, untung, dan untung. Tidak lagi ada kemungkinan rugi. Kondisi ini tentu sangat riskan.

Saya jelaskan kepadanya bahwa saya sangat menitikberatkan perasaan cukup dalam mengajar para peserta pelatihan QLT saat menentukan goal. Ini aspek sangat penting yang harus sungguh dimengerti oleh setiap peserta.

Saya sempat sekilas menjelaskan apa yang diajarkan di QLT dan bagaimana saya membimbing para peserta untuk bisa mengatasi keserakahan mereka. Tentu dibutuhkan pemahaman akan cara kerja pikiran, emosi, dan juga teknik yang tepat.

Sahabat saya ini setuju dengan semua paparan saya. Ia juga menceritakan bahwa dengan bekal hikmah dari pengalaman pahit sebelumnya saat ini ia sangat berhati-hati dalam menerima tawaran kerjasama dari siapapun. Ia sering mendapat tawaran kerjasama di bidang investasi emas, properti, batu bara, kayu gaharu, dan beragam tawaran lainnya. Kehati-hatian ini, karena ia sudah mampu mengatasi keserakahannya sudah sangat banyak menyelamatkan dirinya. Ia tidak lagi mudah dipengaruhi dengan iming-iming keuntungan menggiurkan.

“Logikanya sederhana. Bila bidang usaha atau apapun itu sungguh sangat menguntungkan, seperti yang diceritakan orang yang menawarkan kerja sama, maka ia tidak akan mencari saya. Kalau benar-benar menguntungkan pasti akan ia kerjakan sendiri. Adalah sifat manusia pada umumnya untuk tidak bersedia berbagi sesuatu yang sangat menguntungkan dirinya. Jadi, bila ada untung besar tapi bersedia dibagi dengan saya maka saya perlu ekstra hati-hati dan cermat dalan memelajari dan mencermati proposalnya,” jelas sahabat saya.

Sahabat saya juga mengatakan bahwa salah satu pelajaran paling mahal yang pernah ia "bayar" dalam hidupnya adalah pelajaran tentang keserakahan. Ia harus "membayar" miliaran rupiah untuk mengerti bahwa sangat penting mengendalikan diri dan menguasai keserakahan. Dan yang lebih disayangkan lagi, menurut sahabat ini, tidak ada orang yang mengajarinya mengenai hal ini. Ia harus belajar sendiri di Universitas Kehidupan dengan membayar uang sekolah yang sangat mahal.

Baca Selengkapnya

Hypnotic Age Progression: Jenis dan Manfaat

28 September 2021

Hypnotic age progression, biasa disingkat age progression, adalah teknik hipnoterapi dilakukan dengan menuntun klien ke masa depan, menyusuri garis waktu kehidupannya, untuk tujuan terapeutik spesifik (Gunawan, 2018). Berbeda dengan hypnotic age regression, age progression jarang dibicarakan atau dibahas di literatur jurnal.

Age progression bervariasi dalam jenis sugesti yang diberikan, dan dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan di berbagai tingkatan, memfasilitasi tujuan terapi dan memperdalam proses penyembuhan.

Dalam age progression, seturut sugesti dan proses yang terjadi, terdapat spektrum, diawali dari sangat tidak terstruktur, relatif tidak terstruktur dan kadang terjadi secara tidak langsung dan spontan, terstruktur moderat, hingga sangat terstruktur (Phillips dan Frederick, 1995).

Banyak istilah digunakan dalam menamakan proses membawa klien ke masa depan untuk tujuan terapeutik: age progression (progresi usia), time projection (proyeksi waktu), pseudo-orientation in time into the future (orientasi semu waktu ke masa depan), end result imagery (gambaran hasil akhir). Penamaaan ini digunakan secara bebas dan merujuk pada proses terapi berorientasi masa depan. Namun sesungguhnya, mereka tidaklah sama (Hammond 1990e, p. 515).

 

Hypnotic Age Progression Terstruktur

Age progression untuk tujuan terapi telah digunakan Hartland (1965, 1971), Gardner (1976), Diamond (1981) dan Stanton (1989) dengan pemberian sugesti berorientasi masa depan pada klien bertujuan menguatkan ego dan sering melibatkan capaian keterampilan atau aktivitas tertentu di level pikiran bawah sadar.

Salah satu teknik age progression adalah mental rehearsal atau gladi resik mental. Dalam teknik ini, terapis mengarahkan klien, secara mental, melakukan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan masa depan.

Zilbergeld dan Lazarus (1987) menamakannya sebagai process imagery karena ia meilibatkan proses pencapaian goal melalui visualisasi dan pelatihan langkah demi langkah secara mental.

Gambar mental terstruktur ini sangat berguna dalam upaya meningkatkan kinerja atlit (Unestahl, 1983), artis yang akan tampil (McNeal, 1986), dan individu yang akan menjalani ujian (Zilbergeld dan Lazarus, 1987).

Membayangkan hasil akhir, sebagai cara untuk memacu semangat mencapai tujuan adalah teknik populer dalam dunia pengembangan diri dan motivasi.

End result imagery (gambaran hasil akhir), goal imagery (gambaran tujuan), dan success imagery (gambaran sukses) adalah proses mental dilakukan seseorang dengan membayangkan dirinya di masa depan telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Proses ini dilakukan tanpa harus dalam kondisi trance (Hammond, 1990e).

Sementara menurut Gunawan (2019) upaya perubahan atau pemrograman pikiran bawah sadar menggunakan gambaran mental, guna mencapai tujuan spesifik, lebih kuat dan efektif menggunakan sensualisasi, melibatkan segenap indera, tidak hanya indera visual, dan dilakukan dalam kondisi hipnosis atau trance.

 

Hypnotic Age Progression Tidak Terstruktur

Terdapat beberapa teknik terkenal dalam kelompok age progression tidak terstruktur. Pertama adalah model Erickson yang dinamakan pseudo-orientation in time (orientasi semu waktu).

Teknik ini dilakukan dengan meminta subjek penelitian memandang dan fokus pada bola kristal yang diletakkan di depan dan di atas bola mata, hingga subjek masuk kondisi trance. Selanjutnya Erickson menuntun subjek maju ke masa depan guna memperoleh pemahaman akan hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan terapeutik (Havens, 1986, p. 258).

Dalam kondisi trance, Erickson meminta subjeknya fokus memandang bola-bola kristal lainnya, di dalam pikirannya, dan di dalam setiap bola kristal ini subjek melihat langkah atau tindakan yang ia lakukan untuk mencapai tujuan.

Erickson mengakhiri sesi terapi dengan melakukan amnesia hipnotik pada subjek dengan tujuan mencegah pikiran sadar subjek mengganggu proses mencapai tujuan yang telah ditanamkan di pikiran bawah sadar.

Menurut Erickson mayoritas orang yang tidak berada dalam kondisi trance (hipnosis) tidak dapat menghasilkan proyeksi akurat hal-hal yang perlu mereka lakukan untuk mencapai tujuan atau tahu tujuan yang dapat mereka capai.

Ia percaya pikiran sadar dapat menghasikan fantasi yang tidak realistik, melakukan evaluasi yang tidak tepat, dan tidak mendukung upaya mencapai tujuan.

Teknik serupa digunakan de Shazer (1978) dalam membantu dua klien yang mengalami disfungsi seksual dengan hasil sangat baik. Havens (1986) juga menggunakan teknik serupa pada klien wanita depresi, menutup diri, dan berhasil membantu kliennya berubah menjadi tenang, merasa aman, asertif, terbuka, dan mudah bergaul.

Solution-Focused Brief Therapy (SFBT), biasa disingkat Solution-Focused Therapy (SFT), dikembangkan oleh Steve de Shazer dan Insoo Kim Berg, menekankan pada proyeksi diri ke masa depan dan miracle question (de Shazer, 1985; O’Hanlon dan Wiener-Davis, 1989) berhubungan dengan konsep Erikson tentang orientasi semu dalam waktu (pseudo-orientation in time).  

Teknik kedua dalam kelompok age progression tidak terstruktur adalah model Dolan dan Torem yang dinamakan Back from The Future atau kembali dari masa depan.

Dalam teknik ini, kilen dituntun jumpa dirinya di masa depan yang sehat, berusia lebih tua, dan diharapkan lebih bijaksana. Klien bertanya pada diri masa depan ini pertanyaan terkait kondisi atau masalah yang hendak diatasi, dan diharapkan diri masa depan memberi nasihat, jawaban, saran atau masukan yang perlu klien lakukan. Komunikasi antara klien dan diri masa depannya dilakukan dengan surat (Dolan, 1991).

Torem (1992) mengembangkan age progression versinya sendiri yang sangat terstruktur. Proses ini didahului tahap persiapan yang dilakukan secara matang, membutuhkan kondisi trance, dan fasilitasi terjadinya vivifikasi untuk hasil terapeutik optimal.

Proses ini dikuatkan dengan sugesti pemberdayaan ego yang mengutamakan pikiran dan perasaan positif, dan rasa bangga berhasil mencapai solusi dari masalah. Juga dikuatkan lebih lanjut dengan sugesti sehat, kuat, prestasi, rasa mampu dan kreatifitas dalam menghadapi masalah dan tekanan hidup (Hartland, 1965, 1971; Torem, 1990).

Teknik ketiga dalam kelompok age progression tidak terstruktur adalah model Napier, The Future Self - diri masa depan. Napier (1990) memandang diri sebagai sistem kompleks meliputi bagian-bagian diri yang memegang sumber daya, termasuk di dalamnya adalah bagian diri sangat cakap dan bermanfaat yang berasal dari masa depan.

Napier dipengaruhi oleh pemikiran Erickson. Ia menggunakan skrip proyektif / evokatif yag memungkinkan klien merespon menggunakan materi mereka sendiri.

Satu hal penting perlu diperhatikan bila menggunakan skrip Napier yaitu ia mengaktifkan inner child. Aktivasi inner child pada klien yang mengalami kondisi disosiatif dapat mengakibatkan aktifnya bagian diri yang mengalami trauma dan tidak mampu turut serta dalam proses terapi.

Napier (1990) menekankan esensi dan kualitas impresi yang terjadi selama proses terapi adalah jauh lebih penting daripada penekanan berlebih pada keutuhan dan akurasi gambaran yang muncul saat trance.

Aplikasi age progression selain bersifat terapeutik, juga dapat digunakan untuk tujuan prognosis klinis. Apabila klien tidak dapat memunculkan proyeksi atau melihat dirinya di masa depan telah berhasil mengatasi masalah, ini adalah indikasi kuat keberadaan masalah lain, besar kemungkinan bersifat lebih serius, perlu penanganan segera, cermat dan hati-hati (Phillips, 1992; Rossi dan Cheek, 1988; Gunawan, 2005).

Bila klien saat dituntun mengalami age progression positif, dan yang terjadi justru sebaliknya, age progression negatif, di mana klien melihat atau mengalami dirinya di masa depan dalam kondisi tidak baik, ini adalah pesan penting dari pikiran bawah sadar klien bahwa terdapat sesuatu hal lain yang menghalangi klien.

  

Hypnotic Age Progression : Perspektif Ego Personality

Dari perspektif teori ego personality (EP), sistem ego dikatakan dalam kondisi integratif bila masing-masing komponen ego bekerja sama secara harmonis dan saling berbagi informasi dan kesadaran. Para EP ini, secara agregat, memegang totalitas emosi dan impuls kepribadian individu.

Saat seseorang sedang bermasalah, sejatinya terdapat satu EP spesifik yang bermasalah dan aktif mengendalikan dan menjalankan diri klien. EP ini menjadi dominan dan tidak berbagi kesempatan dengan EP lain untuk menjalankan dan menjadi diri klien.

Semakin berat atau intens suatu masalah, semakin aktif dan dominan EP bermasalah. EP lainnya berada di latar belakang, tidak aktif di permukaan. Dengan demikian, individu mengalami kendala melihat kemungkinan resolusi masalah di masa depan.

Age progression positif dilakukan dengan tujuan mengaktifkan EP lain yang lebih positif, tidak bermasalah, dan memegang sumber daya diri yang lebih kuat. Dengan bantuan EP ini, individu dapat melihat dirinya di masa depan berhasil mengatasi masalahnya.

Mengingat sifat dan cara kerja sistem ego, pengalaman resolusi masalah yang ditampilkan dan dialami klien, berkat aktivasi EP positif, juga dapat dilketahui dan dirasakan EP bermasalah.

Ini adalah bentuk edukasi tidak langsung pada EP bermasalah bahwa sesungguhnya terdapat sumber daya dalam diri yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah.

Namun, bila EP bermasalah ini sangat kuat, ia tidak akan berbagi kesempatan dan menghambat EP lain untuk turut serta dalam proses pemulihan klien. Klien tidak dapat memunculkan gambaran mental resolusi masalah telah terjadi di masa depan, atau bahkan terjadi age progression negatif.

Dampak terapeutik pemberdayaan diri berbasis age progression terletak pada kemampuan teknik ini memberi rasa aman internal, dengan memungkinkan klien bersentuhan dengan sumber daya internalnya dengan cepat.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List