The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Satu Simtom, Satu iEPCE, dan Multi-EP

28 November 2016

Selalu ada hal baru yang kami temukan saat menangani kasus-kasus klien di ruang praktik kami. Kami yang saya maksudkan di sini adalah segenap hipnoterapis klinis AWGI yang rutin praktik tiap hari membantu masyarakat mengatasi beragam masalah yang berhubungan dengan emosi dan perilaku.

Saat ini ada ratusan hipnoterapis klinis AWGI berpraktik hipnoterapi, mulai dari Aceh hingga Jayapura. Mereka praktik berpegang pada Quantum Hypnotherapeutic Protocol yang diajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH). Dalam artikel kali ini saya akan berbagi temuan kami khususnya dalam Ego Personality Therapy (EPT).

Beberapa waktu lalu, dalam salah satu diskusi hangat yang terjadi di group Telegram Hipnoterapis AWGI, kami membahas fenomena tidak lazim yang berhubungan dengan Ego Personality (EP). Ada satu rekan sejawat membahas tentang kliennya yang takut bicara di depan umum. Dengan teknik EPT, berhasil ditemukan EP yang membuat klien takut bicara di depan umum dan kejadian yang mengakibatkan terciptanya EP, yang kami sebut sebagai iEPCE. Selanjutnya terapis melakukan restrukturisasi struktur EP di kejadian awal dan tuntas teratasi.

Hal menariknya adalah saat dilakukan pengecekan final terhadap hasil terapi, dengan asumsi bila terapi sudah benar-benar tuntas maka tidak akan lagi ada masalah dalam diri klien yang berhubungan dengan bicara di depan umum, ditemukan klien masih merasa tidak nyaman. Bila sebelumnya yang klien rasakan adalah takut, kini perasaannya beda. Klien sudah tidak takut tapi merasa tidak percaya diri, grogi, cemas, dan tegang. Sesuai protokol, bila masih ditemukan perasaan tidak nyaman pada kasus yang sama maka terapi perlu dilanjutkan hingga masalah berhasil diatasi secara tuntas.

Sesuai protokol, terapis mengulangi proses terapi. Yang menarik adalah perasaan-perasaan tidak nyaman ini masing-masing dikendalikan oleh satu EP. Dan yang lebih menarik lagi, dan ini di luar dugaan, EP-EP ini ternyata muncul pada kejadian yang sama dengan EP yang memegang rasa takut.

Di sini kami simpulkan bahwa satu masalah atau simtom bisa terjadi karena ada satu atau beberapa EP yang bersama-sama menyebabkan simtom. Penanganannya, agar benar-benar tuntas, tentu perlu menetralisir pengaruh dari masing-masing EP. Ini kerja yang tidak sedikit namun tetap perlu dilakukan. Dan kami sudah mengembangkan teknik yang bila dilakukan hanya sekali saja mampu menetralisir semua EP yang menjadi penyebab munculnya simtom.

Dari diskusi yang terjadi, ternyata hipnoterapis AWGI lainnya juga menemukan hal yang sama. Dengan demikian fenomena ini menarik dan menjadi catatan penting untuk mengembangkan dan memperkaya teori Ego Personality versi AWGI. Kondisi yang saya jelaskan di atas ini disebut dengan “Satu Simtom, Satu iEPCE, dan Multi-EP”.

Masih ada temuan-temuan lain yang juga sangat menarik di bidang hipnoterapi klinis. Saya akan ceritakan di lain kesempatan. 

Baca Selengkapnya

Ungkapan Emosi Memerdekakan Diri

16 November 2016

Dalam terapi bertujuan melepas emosi negatif, sering terjadi terapis salah atau gagal paham akan proses dan cara mengungkap emosi yang tepat dan efektif. Ada yang menyatakan bahwa hanya dengan menggerakkan atau mengibaskan tangan, kaki, atau kepala efektif melepas emosi yang terperangkap dalam diri seseorang. Ada juga yang menyarankan untuk memukul sansak hingga merasa lega. Benarkah demikian?

Pada beberapa kasus, teknik ini bisa bekerja efektif. Namun, dalam lebih banyak kasus, menggerakkan atau mengibas kaki dan tangan saja tidak mampu tuntas menguras emosi negatif. Bukan tekniknya yang salah namun pilihan tindakannya kurang tepat.

Selain menggerakkan atau mengibas tangan, kaki, dan kepala, masih ada cara lain untuk mengungkap dan melepas emosi seperti melalui ucapan, menangis, teriak, gerakan seperti memukul, meninju, menendang, meremas, mencengkeram, menggigit, atau berguling. Pemilihan cara ekspresi yang tepat sangat penting dan menentukan keefektifan proses pelepasan emosi. Berdasar pengalaman dan temuan di ruang praktik, kami, hipnoterapis klinis, tidak asal meminta klien melakukan sesuatu untuk ekspresi emosi namun kami memerhatikan sinyal atau tanda yang dimunculkan oleh pikiran bawah sadar (PBS). Bila PBS memberi sinyal untuk menangis, maka jalur ekspresi inilah yang paling efektif untuk mengeluarkan emosi. Demikian pula bila sinyalnya adalah dengan teriak, menangis, atau memukul. Intinya, terapis mengarahkan klien sesuai dengan sinyal PBS, bukan seperti yang diinginkan atau disuka oleh terapis. Dengan demikian adalah tidak bijak bila terapis memaksakan jalur ekspresi emosi yang ia pikir terbaik untuk klien. Prinsip terapi yang kami lakukan berpusat pada klien (client centered) bukan berpusat pada terapis (therapist centered). 

Pentingnya pemahaman akan jalur ekspresi ini berasal dari temuan bahwa setiap individu, saat mengalami kejadian traumatik, dipaksa tunduk pada kekuatan yang jauh lebih besar dari diri mereka. Agar selamat, mereka terpaksa patuh atau tunduk pada kemauan pelaku tindak kekerasan. Mereka tidak bisa melawan atau melakukan hal yang sebenarnya ingin dilakukan untuk mengatasi situasi itu. Pengalaman traumatik ini terekam dengan sangat kuat di PBS dan menjadi pola tunduk dan takluk yang mengendalikan diri korban.

Cara terbaik dan efektif untuk membongkar dan membebaskan individu dari pola ini adalah dengan memberi mereka kesempatan melakukan hal yang dulu ingin mereka lakukan untuk mengatasi pengalaman traumatik namun tidak bisa. Bila dulu mereka ingin teriak tapi tidak bisa, maka dalam proses terapi klien diberi kesempatan melakukan hal ini. Demikian pula bila mereka dulunya ingin melawan pelaku dengan memukul namun tidak bisa karena kalah kuat, maka saat diterapi klien diberi dukungan,  kesempatan, dan dibebaskan untuk melakukan hal ini.

Saat klien berani menghadapi pelaku, yang dulu melakukan tindak kekerasan padanya, walau ini dilakukan secara imajinatif, di PBS, mengungkap hal yang perlu diungkap, klien mengalami pemberdayaan. Ia merasa mampu, kuat, berdaya, dan memegang kendali atas kejadian, bukan menjadi korban.

Saya teringat salah satu sesi terapi yang dilakukan guru saya, Gil Boyne, menangani klien gagap. Melalui proses hipnoanalisis, Boyne berhasil menemukan akar masalah yang menyebabkan kliennya, berusia 55 tahun, gagap, yaitu kejadian di usia 5 tahun. Saat itu, klien kecil menangis dan dibentak oleh ayahnya. Ayahnya memaksa klien untuk berhenti menangis. Bila klien menangis, ia akan dihajar oleh ayahnya. Yang Boyne lakukan adalah memberi kesempatan pada klien usia 5 tahun ini untuk menyelesaikan tangisnya hingga tuntas seperti yang seharusnya terjadi dulu. Usia menuntaskan tangisnya, klien sembuh dari gagapnya. Inilah yang Pierre Janet, pionir peneliti trauma yang mashyur, nyatakan di tahun 1893, saat ia menulis tentang “nikmat tindakan yang selesai” (the pleasure of completed action).

Dengan demikian, terapis perlu memerhatikan benar jalur ekspresi yang tepat untuk klien. Selain itu, juga perlu ada parameter yang jelas sebagai indikator emosi telah tuntas dikeluarkan dari diri klien. 

Baca Selengkapnya

Memahami Trauma dan Penyembuhannya dari Perspektif Hipnoterapi Klinis dan Neurosains

1 November 2016

Perspektif Hipnoterapi Klinis

Setiap kejadian yang kita alami sejatinya netral namun berpotensi menjadi masalah. Kejadian menjadi masalah atau tidak sepenuhnya bergantung pada makna yang diberikan padanya. Pemberian makna diikuti dengan munculnya emosi, bisa positif, negatif, atau netral, yang lekat pada memori kejadian ini. Suatu kejadian disebut traumatik bila emosi yang muncul dan lekat pada memori kejadian adalah emosi negatif dengan intensitas tinggi. Semakin tinggi intensitasnya semakin traumatik.

Pemaknaan yang diberikan pada satu kejadian tentunya sangat dipengaruhi pengalaman hidup individu. Saat masih kecil, makna kejadian berasal dari meniru pola orangtua atau pengasuh utama. Setelah lebih besar, makna dilakukan dengan mengandalkan data yang telah terakumulasi di pikiran bawah sadar (PBS). Proses pemaknaan berlangsung dengan sangat cepat, bekerja di level PBS, dan akan terus demikian sampai dilakukan upaya sadar untuk mengubahnya (Gunawan, 2014).

Kejadian traumatik, berdasar temuan di ruang praktik hipnoterapi klinis, bisa berawal sedini sejak dalam kandungan ibu. Namun, pada umumnya, pengalaman traumatik terjadi antara usia 0 hingga 10 tahun. Berbagai pengalaman ini tersimpan di memori pikiran bawah sadar. Ada yang masih bisa diingat dan ada yang sudah terlupakan namun tetap mengganggu hidup individu.

Terdapat perbedaan signifikan antara memori normal dan memori traumatik. Memori normal dapat diakses dengan mudah, bersifat sosial, adaptif, lentur, dan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi tertentu. Sementara memori traumatik muncul kembali, lebih sering karena terpicu oleh satu atau beberapa pemicu spesifik, yang selanjutnya diikuti dengan elemen memori terkait lainnya. Memori traumatik, karena adanya emosi intens yang lekat padanya, berubah sifat dan menjadi terpisah (split off) dari struktur memori global, memiliki kehidupan sendiri, kehilangan kemampuan untuk integrasi dan mengasimilasi pengalaman baru. Dengan kata lain, individu berhenti bertumbuh/fiksasi (LeDoux, 2016).

Split off yang juga dikenal sebagai disosiasi mencegah pengalaman traumatik terintegrasi ke dalam memori autobiografi yang terus menerus berkembang seiring perjalanan hidup individu. Dengan demikian tercipta dua sistem memori. Memori normal mengintegrasi elemen dari setiap pengalaman ke dalam aliran berkesinambungan dari pengalaman diri melalui proses asosiasi yang kompleks. Sementara memori traumatik disimpan terpisah, sebagai fragmen-fragmen beku yang sangat sulit dipahami.

Pengalaman atau memori traumatik muncul dalam dua skenario gangguan. Pertama, individu mengalami flasback atau tiba-tiba teringat kejadian atau elemen kejadian masa lalu disertai intensitas emosi yang tinggi. Setelah beberapa saat, bentuk pikiran ini hilang namun terus menyisakan residu emosi yang mengganggu. Kedua, individu tidak lagi mengingat apapun dari kejadian masa lalu namun yang muncul adalah perasaan tidak nyaman yang tidak diketahui sumber atau penyebabnya (Gunawan, 2016).

Jean-Martin Charcot, Pierre Janet, dan Sigmund Freud menyebut memori traumatik sebagai “rahasia patogen” (pathogenic secrets) atau parasit mental (mental parasites) karena walau penderita sangat ingin menghilangkan, melupakan, tidak lagi mau mengingat apa yang telah terjadi namun memori ini terus menerus muncul tanpa dapat dicegah atau dikendalikan, dan memerangkap individu dalam teror dan horor berkepanjangan.

Dua skenario yang dijelaskan di atas sepenuhnya adalah hasil kerja PBS. Pengalaman klinis kami menangani sangat banyak klien memampukan kami menarik simpulan penting perihal fungsi PBS yang dapat menjelaskan apa yang dialami individu. Pertama, PBS berfungsi melindungi individu, dalam hal ini pikiran sadar dan tubuh fisik, dari hal-hal yang ia, PBS, rasa, yakin, persepsikan merugikan atau membahayakan. Kedua, PBS sangat menyadari pentingnya resolusi trauma namun ia bukan penyelesai masalah. PBS butuh bantuan orang lain untuk bisa menuntaskan masalah individu. Untuk itu, ia akan terus berkomunikasi dengan pikiran sadar dalam bentuk flashback atau perasaan tidak nyaman atau menempatkan individu pada situasi yang sama atau mirip dengan pengalaman traumatik (reenactment) sampai masalah ini tuntas terselesaikan.

Hal di atas sejatinya sejalan dengan paper Josef Breuer dan Sigmund Freud berjudul “Hysterics suffer mainly from reminiscences” yang dipublikasi tahun 1893. Dalam tulisan ini mereka menyatakan bahwa memori traumatik tidak tunduk pada proses “pemudaran” seperti yang terjadi pada memori normal. Memori traumatik terus aktif, segar, seolah baru terjadi. Individu dengan memori traumatik tidak dapat mengendalikan atau tahu kapan memori ini akan muncul (kembali).

Trauma terselesaikan tuntas, dari pengalaman klinis kami, hanya bila emosi yang melekat pada memori kejadian sepenuhnya berhasil dinetralisir. Selama masih ada sisa emosi, resolusi belum tuntas dan individu tetap akan mengalami gangguan. Goal terapi adalah mengintegrasi elemen beku, yang berasal dari pengalaman traumatik, melalui proses yang tepat, ke dalam narasi hidup sehingga otak mengenalinya sebagai “itu terjadi di masa lalu, ini yang sekarang”.

Perspektif Neurosains

Uraian berikut ini tidak bermaksud menjelaskan secara detil dan teknis mengenai cara kerja otak, saat individu mengalami trauma, namun lebih bertujuan untuk memberi gambaran besar agar pembaca bisa mendapat pemahaman mendasar.

Salah satu fungsi utama otak manusia adalah proteksi keselamatan melalui sistem peringatan dini akan bahaya atau hal-hal yang bisa mengancam keselamatan individu. Sistem saraf otonom mengatur tiga kondisi fisiologis fundamental yang diaktifkan, pada satu waktu tertentu, mengacu pada tingkatan bahaya atau ancaman yang sedang dihadapi individu. Dalam kondisi normal, saat individu merasa terancam, secara instingtif ia akan mengaktifkan jenjang pertama pengaman yaitu keterlibatan sosial (social engagement). Dalam hal ini, individu akan berteriak minta tolong, bantuan, dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Namun bila tidak ada yang datang menolong, atau bila bahaya semakin mendekat, individu akan kembali pada upaya penyelamatan hidup yang lebih primitif: lawan atau lari (fight or flight). Ia akan melawan pihak yang menyerang atau lari ke tempat aman. Namun, saat upaya ini gagal dan ia tertangkap maka individu akan mencoba mempertahankan diri dengan menjadi pasif dan mengeluarkan sedikit mungkin energi. Kondisi ini disebut freeze atau collapse.

Dalam konteks perlindungan diri individu dari bahaya, informasi atau stimuli yang berasal dari luar diri, yang diperoleh dari indera mata, telinga, hidung, dan kulit, semuanya berkumpul di thalamus. Dari thalamus informasi ini diteruskan turun ke amygdala, di sistem limbik, dan ke atas ke lobus frontalis untuk kita sadari.

Neurosaintis Joseph LeDoux (2008) menyebut jalur ke amygdala sebagai “jalur bawah” di mana kecepatan transmisi datanya sangat cepat. “Jalur atas” berawal dari thalamus, melalui hippocampus dan anterior cingulate, dan lanjut ke prefrontal cortex, otak rasional, untuk pemaknaan secara sadar dan lebih baik. Kecepatan transmisi data melalui “jalur atas” butuh waktu lebih lama beberapa milidetik dibanding “jalur bawah”.

Fungsi utama amygdala adalah seperti detektor asap yaitu mengenali apakah input yang diterima bersifat netral atau berpotensi membahayakan keselamatan. Amygdala melakukan ini dengan bantuan hippocampus, bagian otak yang berfungsi menghubungkan input baru dengan pengalaman masa lalu.  

Bila amygdala mendeteksi bahaya, ia segera mengirim sinyal ke hypothalamus sehingga terjadi aktivasi poros HPA (hypothalamus, pituitary, adrenal) dan terjadi sekresi hormon stres, seperti adrenalin dan cortisol, yang meningkatkan detak jantung, menaikkan tekanan darah, napas menjadi lebih cepat, pandangan mata menjadi lebih awas, dengan tujuan menyiapkan individu untuk menghadapi bahaya atau ancaman.

Sensitivitas amygdala, menurut Gray (1985), dalam penelitiannya dengan hewan, dalam menentukan apakah suara, gambar, atau sensasi tubuh adalah ancaman atau tidak, dipengaruhi di antaranya oleh jumlah neurotransmiter serotonin di bagian otak ini. Bila jumlah serotonin di amygala rendah maka hewan menjadi hiperaktif terhadap stimuli yang dapat mengakibatkan stres (seperti suara keras), sementara level serotonin yang tinggi membuat mereka lebih kuat dan tidak mudah bersikap agresif atau “membeku” sebagai respon terhadap situasi yang mengancam.

Scott Rauch, dari Massachusetts General Hospital Neuroimaging Laboratory, menggunakan fMRI (functional magnetig resonance imaging), merekam aktivitas otak saat seseorang mengalami “trauma”. Yang aktif daerah sistem limbik, tepatnya amygdala, bagian otak yang bertanggung jawab dalam memberi sinyal bahaya dan mengaktifkan respon stres tubuh. Daerah Broca’s, pusat bahasa, menjadi nonaktif, mengakibatkan individu tidak mampu mengungkap perasaan dan pikiran ke dalam kata-kata. Daerah Broca’s nonaktif setiap kali muncul gambar kejadian traumatik.

Satu bagian dari korteks visual, Brodmann’s area 19, aktif. Ini adalah bagian otak yang menerima gambar-gambar saat pertama kali masuk ke otak melalui mata. Dalam kondisi normal, setelah bagian ini menerima gambar, gambar ini diteruskan ke bagian lain yang memberi makna atas apa yang dilihat individu. Saat bagian ini menyala, aktif, seolah-olah kejadian ini baru terjadi. Dengan demikian trauma membuat gambar ini terus muncul dan mengganggu hidup individu (revivifikasi). 

Hasil pemindaian pada otak juga mengungkap data menarik yaitu saat individu mengalami trauma, wilayah otak yang aktif dominan adalah otak kanan sementara otak kirinya menjadi tidak aktif. Deaktivasi otak kiri berpengaruh langsung pada kemampuan mengorganisir pengalaman ke dalam alur logis dan menerjemahkan perubahan perasaan dan persepsi ke dalam kata-kata. Tanpa kemampuan mengurutkan seperti ini kita tidak dapat mengenali sebab dan akibat, memahami pengaruh jangka panjang dari setiap tindakan kita atau membuat perencanaan masa depan. Orang yang sedih atau dalam kondisi emosinya terganggu sering berkata bahwa pikiran mereka “buntu”. Secara teknis yang terjadi adalah mereka, pada saat itu, kehilangan fungsi eksekutif dari otaknya.

Saat sesuatu mengingatkan seseorang yang pernah mengalami trauma di masa lalu, otak kanan mereka bereaksi seolah-olah pengalaman traumatik ini sedang terjadi. Berhubung otak kiri mereka sedang tidak bekerja dengan baik, mereka tidak sadar bahwa yang mereka alami adalah pengalaman dari masa lalu. Mereka kembali merasakan berbagai emosi sama seperti yang dulu mereka alami seperti marah, kecewa, takut, sedih, sakit hati, atau malu.

Hasil pemindaian yang sama sekali berbeda tampak pada individu yang melakukan penyangkalan (denial). Saat terjadi penyangkalan, di pikiran individu seolah-olah tidak ada masalah atau tidak ada yang terjadi. Ini sejatinya adalah bentuk proteksi diri (defense mechanism) yang dilakukan PBS untuk melindungi individu. Hasil pemindaian otak indivdu yang melakukan penyangkalan menunjukkan hampir semua wilayah otak tidak terdapat aktivitas berarti. Semuanya “padam”. Walau hasil pemindaian menunjukkan demikian, padamnya aktivitas otak, individu tidak merasa apapun secara emosi, namun fisik mereka tetap menunjukkan reaksi stres.

Trauma juga mengakibatkan wilayah otak yang berperan mengenali diri menjadi nonaktif. Wilayah otak yang dimaksud meliputi medial prefrontal cortex (MPFC), anterior cingulate (koordinasi emosi dan berpikir), lobus parietal (integrasi informasi sensori), dan insula (meneruskan berita dari organ dalam ke pusat emosi). Satu bagian yang sedikit aktif adalah posterior cingulate yang bertanggung-jawab untuk orientasi ruang atau GPS internal sehingga kita tahu di mana posisi dan keberadaan diri.

Ini terjadi sebagai bentuk respon terhadap trauma, dan dalam upaya mengatasi ketakutan yang terus menghantui seseorang sebagai akibat dari trauma itu, individu belajar menonaktifkan wilayah otak yang mengirim perasaan yang berasal dari organ dalam dan emosi yang menyertai dan mendefinisikan teror. Sementara, dalam kehidupan sehari-hari, bagian otak yang sama berfungsi untuk meregister semua bentuk sensasi dan emosi yang membentuk kesadaran akan diri. Ketidakmampuan merasakan sensasi fisik akibat emosi tertentu mengakibatkan individu tidak mampu mengungkap perasaannya, khususnya dengan ungkapan verbal. Kondisi ini dinamakan alexithymia.

Medial prefrontal yang nonaktif menjelaskan mengapa begitu banyak individu yang mengalami trauma kehilangan arah dan tujuan. Ini juga yang menyebabkan klien yang meminta saran atau masukan, setelah diberi oleh terapis, tidak menjalankan saran tersebut walau mereka tahu ini penting dilakukan untuk kebaikan mereka. Ini terjadi karena relasi mereka dengan realita internal terganggu. Mereka tidak dapat melakukan suatu tindakan atau putusan karena mereka tidak lagi tahu atau mengenali tujuan secara spesifik, bagaimana sensasi atau rasa di tubuh, yang menjadi dasar dari semua hal tentang emosi yang kita ceritakan pada mereka.

Hipnoterapi untuk Mengatasi Pengalaman Traumatik

Hipnoterapi, sesuai namanya, terdiri atas dua kata, “hipnosis” dan “terapi”. Saya mendefinisikan hipnoterapi sebagai terapi, bisa menggunakan teknik apa saja, yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Berdasar definisi ini muncul sangat banyak varian hipnoterapi bergantung teknik yang digunakan.

Namun, secara garis besar, terdapat dua mazhab hipnoterapi yaitu hipnoterapi berbasis sugesti dan hipnoanalisis. Tipe pertama sepenuhnya mengandalkan sugesti untuk membantu klien mengatasi masalah. Sementara tipe kedua mengutamakan upaya mencari dan menemukan akar masalah dan memroses emosi yang ada pada kejadian awal. Hipnoterapi berbasis hipnoanalisis lebih kompleks namun jauh lebih efektif.

Dalam mencari akar masalah biasanya menggunakan tenik regresi, baik regresi berbasis afek maupun ego personality. Kedua teknik regresi ini mirip namun berbeda signifikan dalam cara penelusuran ke akar masalah dan kompleksitas emosi yang diproses.

Para hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), dalam upaya membantu klien mengatasi masalah, menggunakan prinsip “The symptom is the key to the solution”. Kami menggunakan simtom untuk menemukan sumber masalah yang terletak di PBS klien.

Intinya, setelah berhasil menemukan akar masalah, kami melakukan restrukturisasi PBS dan menetralisir tuntas emosi-emosi yang muncul akibat kejadian itu. Setelahnya kami melakukan edukasi PBS untuk memberi pemahaman, pengetahuan, atau strategi baru dalam menghadapi kejadian yang mirip atau sama dengan yang sebelumnya dialami klien. Dengan demikian, di kemudian hari, kejadian serupa tidak lagi bisa menjadi sumber trauma. 

Apa yang dilakukan hipnoterapis klinis AWG Institute sejatinya sangat sejalan dengan yang dinyatakan Breuer dan Freud. Dalam paper Breuer dan Freud (1893) secara gamblang diungkap bahwa cara untuk menyembuhkan klien histeria segera dan permanen adalah dengan mengungkap memori kejadian beserta emosi yang menyertainya, klien menceritakan secara detil yang ia rasakan dengan kata-kata, dan terjadi “reaksi energetik” pada kejadian traumatik untuk menguras habis emosi. Bila klien hanya menceritakan tanpa emosinya dikuras habis melalui proses abreaktif, bisa dengan menangis hingga tindakan tertentu, maka proses yang dialami klien tidak terapeutik.

Berikut ini adalah kutipan pernyataan Breuer dan Freud (1893):

“ ……We found, to our great surprise, at first, that each individual hysterical symptom immediately and permanently disappeared when we had succeeded in bringing clearly to light the memory of the event of which it was provoked and in arousing its accompanying affect, and when the patient has described that event in the greratest possible detail and had put the affect into words. Recollection with out affect invariably produces no result.

……it brings to an end the operative force … which was not abreacted in the first instance by allowing its strangulated affect to find a way out through speech; and it subjects it to associative correction by introducing it into normal consciousness.”

Dari hasil pemikiran dan tulisan Breuer dan Freud inilah sebenarnya bermula terapi bicara yang sekarang digunakan dalam dunia psikologi. Namun sayangnya, umumnya dipercaya bahwa hanya dengan menceritakan trauma dengan detil dapat membantu seseorang mengatasi trauma itu. Kenyataannya tidaklah demikian. Mengutamakan pikiran sadar baik untuk eksplorasi sumber masalah maupun untuk mengatasi emosi tidak efektif dan juga tidak terapeutik.

Trauma hanya bisa selesai bila emosi yang lekat pada kejadian berhasil dinetralisir. Dan hasil pemindaian otak menunjukkan dengan jelas bahwa saat inividu diminta menceritakan kembali pengalaman traumatik, otak rasionalnya tidak mampu bekerja dengan baik.

Sejalan dengan pemikiran Breuer dan Freud, AWGI telah mengembangkan teknik terapi berbasis pengungkapan kejadian awal dan teknik-teknik abreaksi yang jauh lebih maju, aman, dengan tingkat ketuntasan dan signifikansi abreaktif sangat tinggi karena langsung bekerja di pikiran bawah sadar, bukan pikiran sadar.

Mengatasi Trauma dengan Pendekatan Neurosains

Reaksi pascatrauma dijalankan oleh “mesin” yang terletak di otak emosi yang biasanya bereaksi dalam dua bentuk, sikap waspada berlebih, cemas, emosi meningkat tinggi, agitasi (hyperarousal) atau merasa sedih, “down”, lesu, tidak semangat, apatis, respon dan aktivitas fisik melambat (hypoarousal). Berbeda dengan otak rasional yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk pikiran, otak emosi berekspresi melalui reaksi fisik seperti perasaan tidak nyaman di perut, degup jantung lebih cepat, napas memburu, bicara dengan nada tinggi, dan berbagai gerakan tubuh yang menunjukkan kemarahan, situasi bertahan, atau beku (freeze).

Otak rasional sangat baik dalam membantu kita memahami asal emosi namun ia tidak dapat menghilangkan emosi, sensasi atau bentuk pikiran yang muncul. Dengan memahami mengapa kita merasakan perasaan tertentu tidak serta merta mengubah bagaimana kita merasa.

Hal terpenting dalam mengatasi trauma adalah dengan mengembalikan keseimbangan operasional antara otak rasional dan otak emosi. Untuk mengubah reaksi pascatrauma dibutuhkan akses langsung ke otak emosi dan melakukan “terapi sistem limbik” yaitu memperbaiki sistem peringatan bahaya yang “rusak” dan mengembalikan otak emosi pada tugas normalnya sebagai pengatur kerja tubuh, memastikan kita makan, tidur, relasi dengan pasangan, melindungi anak-anak, dan menghadapi bahaya.

Otak rasional berpusat di dorsolateral prefrontal cortex dan tidak memiliki koneksi langsung dengan otak emosi di mana hampir semua jejak trauma tersimpan. Bagian otak, medial prefrontal cortex, pusat kesadaran diri, memilki koneksi langsung dengan otak rasional. Dengan demikian, untuk mengakses otak emosi secara sadar, seperti yang dinyatakan oleh neurosaintis Joseph LeDoux (1998) adalah melalui kesadaran diri yaitu mengaktifkan medial prefrontal cortex guna mengetahui dan menyadari apa yang sedang terjadi dalam diri dan memungkinkan kita merasakan apa yang kita rasakan. Secara teknis, ini disebut interoception. Riset neurosains menunjukkan bahwa satu-satunya cara kita dapat mengubah cara kita mengelola emosi adalah dengan menjadi sadar akan pengalaman di dalam diri dan belajar bersahabat dengan apa yang terjadi di dalam diri. Secara ringkas, kunci kesembuhan adalah kesadaran diri (mindfulness).

Aplikasi mindfulness dalam mengatasi emosi yang lekat pada pengalaman traumatik adalah dengan menyadari munculnya memori traumatik, hanya menyadari atau mengamati, hanya tahu, tanpa masuk ke dalam kejadian, tidak memberi label atau makna. Saat memori traumatik muncul dan diperlakukan seperti ini, ia akan tenggelam atau hilang. Kemudian, ia akan muncul lagi, hilang, muncul, hilang, demikian seterusnya. Setiap kali ia muncul dan diperlakukan seperti ini, emosi yang lekat padanya menjadi semakin pudar hingga akhirnya hilang dan memori traumatik menjadi memori biasa.

Mindfulness telah terbukti memiliki efek positif pada beragam simtom psikologis, psikiatris, psikosomatis, termasuk depresi dan rasa sakit kronis (Hofmann dkk., 2010). Midfulness juga berpengaruh positif pada respon kekebalan tubuh, tekanan darah, dan level kortisol (Davidson, dll., 2003; Carlson dkk., 2007), dan juga berpengaruh positif pada wilayah otak yang terlibat dalam regulasi emosi (Hölzel dkk., 2010) yang selanjutnya memengaruhi perubahan pada wilayah otak yang terlibat dalam kesadaran akan tubuh dan rasa takut (Craig, 2003). Berlatih mindfulness juga dapat mengurangi keaktifan amygdala, dengan demikian mengurangi reaktivitas terhadap pemicu situasi atau tanda bahaya (Banks, 2007).

Cara lain untuk mengatasi emosi adalah dengan melatih atau olah napas, melakukan gerakan tubuh tertentu dengan lambat dan ritmik, dan chanting (membaca berulang kalimat tertentu). Teknik ini bekerja karena sekitar 80% jaringan saraf vagus, yang menghubungkan otak dengan banyak organ dalam, memiliki arah koneksi dari tubuh ke otak.

Sengaja bernapas dengan sangat lambat dan dalam, serta tetap dalam kondisi tubuh rileks, saat mengakses memori yang menyakitkan, sangat penting untuk penyembuhan (Brown dan Gerbarg, 2005). Saat kita secara sengaja menarik napas panjang dan lambat, sistem saraf parasimpatik menjadi aktif. Semakin seseorang fokus pada napas, semakin besar manfaat yang akan ia peroleh, terutama bila fokus atau perhatian ini diarahkan hingga momen akhir embusan napas dan sebelum tarikan napas berikutnya.

Mengendalikan emosi dengan melalui media prefrontal cortex disebut regulasi melalui “jalur atas” sementara bila menggunakan napas dan gerakan tubuh adalah regulasi melalui “jalur bawah”.

Baca Selengkapnya

Dua Jenis Eksplorasi Pikiran dalam Hipnoanalisis

29 Agustus 2016

Terdapat dua pendekatan dalam hipnoterapi: berbasis sugesti (suggestive hypnotherapy) dan berbasis penelusuran serta pengungkapan kejadian paling awal yang menjadi akar masalah (hypnoanalysis). Hipnoterapi berbasis sugesti melakukan perubahan pada diri individu dengan memasukkan informasi (sugesti) ke pikiran bawah sadar, sementara hipnoanalisis menarik keluar informasi dari pikiran bawah sadar untuk menyelesaikan masalah. Hipnoterapi berbasis sugesti efektif untuk kasus-kasus ringan. Sementara untuk kasus yang lebih serius, hipnoanalisis jauh lebih efektif dan efisien dalam mengungkap akar masalah dan psikodimamika pikiran bawah sadar, dan memberi efek terapeutik yang lebih kuat dan stabil.

Hipnoanalisis memiliki dua aspek eksplorasi, vertikal dan eksplorasi. Untuk memahaminya, terlebih dahulu akan dijelaskan satu analogi. Bayangkan sebutir bibit tanaman yang dimasukkan ke dalam tanah. Selanjutnya, seiring waktu berjalan, bibit ini mulai tumbuh dan berkembang. Saat bibit di dalam tanah, ini adalah masa dalam kandungan. Dan saat batangnya bertumbuh ke atas, seiring bertambahnya usia, ini adalah pertumbuhan vertikal. Untuk setiap tahap pertumbuhan, tanaman ini mengalami pengalaman yang berbeda.

Eksplorasi vertikal  adalah proses membawa individu mundur menyusuri garis waktu dalam pikirannya, berawal dari masa kini dan mundur hingga ke masa dalam kandungan. Dalam beberapa kasus, klien bisa mundur ke “kehidupan lampau”. Menggunakan analogi di atas, ekplorasi vertikal adalah kita bergerak dari pucuk pohon, yaitu masa sekarang, turun menuju akar, masa lampau. Sementara eksplorasi horizontal adalah proses pengungkapan informasi pada momen spesifik, hasil regresi, dalam kehidupan invididu.

Agar mampu mengungkap data atau informasi yang terlupakan, tidak lagi bisa diingat oleh pikiran sadar, secara sadar atau sengaja, dibutuhkan hipermnesia dan revivifikasi. Baik hipermnesia dan terutama revivifikasi hanya bisa terjadi bila individu minimal dalam kondisi hipnosis medium (medium hypnosis) dan terutama hipnosis dalam (deep hypnosis).

Hipermnesia hanya mengungkap data tanpa melibatkan emosi karena individu hanya mengingat. Sementara dalam revivifikasi individu mengalami kembali pengalaman di masa lalu. Proses ini mencakup baik aspek kognisi, afeksi, dan juga persepsi individu atas pengalamannya.

Walau hipermnesia dan revivifikasi terjadi dalam kondisi hipnosis, namun hipnosis per se tidak dapat meningkatkan daya ingat. Untuk bisa meningkatkan daya ingat secara luar biasa, individu perlu mendapat sugesti yang tepat dalam kondisi hipnosis yang sesuai.

Pentingnya eksplorasi vertikal atau regresi berhubungan dengan proses pembentukan memori yang sangat dipengaruhi persepsi dan pengalaman hidup. Teori lama menyatakan bahwa memori bekerja seperti alat rekam video yang merekam kejadian apa adanya. Dan saat mengingat kembali pengalaman tertentu, memori yang dimaksud akan keluar dengan sendirinya dengan muatan informasi yang sama persis dengan saat ia direkam oleh pikiran bawah sadar.

Teori ini salah dan tidak lagi berlaku. Yang berlaku saat ini, berdasar penelitian para pakar seperti As (1962), Barber (1965), Cooper dan London (1973), Dhanens dan Lundy (1975), Orner (1951, 1979), Udolf (1983), dan Nash dkk (1985), memori tidak bersifat reproduktif, apa yang direkam itulah yang ditampilkan, namun rekonstruktif, rekaman awal bisa terdistorsi baik terkurangi, berubah, tertambahkan akibat pengalaman hidup pascakejadian. Pengalaman hidup yang dimaksud adalah stimuli baik yang berasal dari luar maupun dalam diri individu.

Pentingnya eksplorasi vertikal dan horizontal, dalam konteks hipnoanalisis, disebabkan memori terorganisir dalam “lapisan” yang semakin lama semakin tebal dalam pola-pola atau Gestalt. Saat individu mengalami satu pengalaman di usia, katakanlah, lima tahun, kejadian dan semua pengalaman ini tersimpan pada “lapisan” usia lima tahun, di dalam pikiran bawah sadarnya. Saat usia bertambah, misal individu kini berusia sepuluh tahun, “lapisan” memori baru, yang ia dapatkan selama rentang usia lima hingga sepuluh tahun, membentuk “lapisan” baru dan menutupi “lapisan” sebelumnya. Dengan demikian, bila memori usia lima tahun diakses saat individu berusia sepuluh tahun pasti telah banyak mengalami distorsi sehingga tidak lagi akurat. 

Untuk lebih meningkatkan akurasi pengungkapan data yang berasal dari memori usia lima tahun, individu perlu diregresi ke usia yang sesuai (eksplorasi vertikal) dan dilanjut dengan eksplorasi horizontal. Dengan demikian data yang terungkap berasal dari “lapisan” memori lima tahun, bukan berasal dari “tumpukan” memori lima tahun plus memori setelahnya.

Hipnoanalisis tidak terlalu mementingkan akurasi data dalam pengertian benar apa adanya, sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya. Hipnoanalisis lebih berkepentingan untuk mengungkap data yang “akurat” sejalan dengan masalah atau konflik yang dialami individu dengan tujuan menemukan resolusi atas masalah. Prinsip kerja hipnoanalisis serupa dengan hipnosis forensik namun berbeda dalam tujuan.

Pentingnya kedalaman hipnosis dalam proses mengungkap data pikiran bawah sadar berhubungan dengan aktivasi dan partisipasi ego. Dalam kondisi sadar normal, partisipasi ego masih (sangat) tinggi. Dengan kata lain, pikiran sadar masih sangat aktif. Semakin dalam kondisi hipnosis yang dialami individu semakin berkurang partisipasi ego dan semakin rendah resistensi. Di sinilah letak perbedaan antara psikoanalisis dan hipnoanalisis. Psikoanalisis menggali data di kondisi sadar normal atau maksimal di kedalaman hipnosis dangkal sementara hipnoanalisis melakukannya di kedalaman medium hingga (sangat) dalam. Dengan kata lain, perbedaan mendasar antara psikoanalisis dan hipnoanalisis ada pada derajat partisipasi ego dalam proses penelurusan dan pengungkapan informasi nirsadar dan kualitas serta kuantitas informasi yang terungkap.

Baca Selengkapnya

Tentang "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology"

18 Agustus 2016

Ada Sahabat yang bertanya pada saya, "Pak Adi, saya lihat di banner pelatihan murid Bapak, di situ ada tertulis "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology. Ini maksudnya apa ya?"

Lembaga AWGI memiliki standar tinggi dan kendali mutu yang ketat atas materi pelatihan yang dibawakan oleh para trainer yang berafiliasi ke AWGI. Ada alumnus, yang dimaksud alumnus di sini adalah hipnoterapis lulusan AWGI dan bukan peserta QLT, yang mengembangkan materi pelatihannya sendiri dan ada yang sejak awal minta bimbingan, arahan, supervisi, masukan, dan saran lembaga AWGI dalam mengembangkan materi pelatihan mereka.

Bagi para alumni yang sejak awal minta dibimbing untuk pengembangan materi pelatihan mereka, saya turut aktif memberi pandangan, pemikiran, saran, masukan dengan tujuan agar materi pelatihan mereka mengikuti dan sejalan dengan standar AWGI sehingga bisa mendapat penilaian atau akreditasi "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology"

Adapun syarat untuk bisa mendapat akreditasi "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology", selain mendapat bimbingan dan supervisi dari lembaga AWGI, antara lain:

1. trainernya adalah hipnoterapis aktif dan berpengalaman menangani beragam kasus klinis (terutama untuk materi yang mengajarkan teknik-teknik terapi).
2. teknik atau teknik-teknik yang diajarkan dikembangkan dengan landasan teoretik yang kuat dan sahih. Saya melakukan pengujian baik secara langsung atau tidak langsung, melalui diskusi, untuk mengetahui tingkat pemahaman teori calon trainer. Bila dirasa masih kurang, saya akan sarankan mereka membaca buku teks dan jurnal tertentu membahas topik yang sedang mereka kembangkan.
3. teknik-teknik ini telah diujicobakan kepada banyak subjek, minimal 30 orang, dengan hasil positif dan konsisten minimal 85%. Untuk memvalidasi hasil terapi, perlu dilakukan wawancara pascaterapi untuk mengetahui tingkat kestabilan hasil terapi.
4. teknik-teknik ini sederhana, mudah dipelajari, dan mudah dipraktikkan. 
5. teknik ini tidak atau bukan meniru atau mengkopi karya orang lain.

Masih ada beberapa syarat lain terkait integritas keilmuan yang juga menjadi bahan penting penilaian.

Saat materi pelatihan mendapat "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology" maka lembaga AWGI memberi jaminan bahwa materi yang diajarkan di pelatihan ini telah memenuhi standar mutu AWGI. Ini tentu hal yang sangat serius karena menyangkut kredibilitas lembaga AWGI.

Berikut ini adalah nama pelatihan oleh alumnus AWGI yang telah mendapat akreditasi "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology":

1. The Conny Method (Conny Widya Hermina dan Agus Wirajaya)
2. Quantum Slimming (Kristin Liu)
3. Mindset Revolution for Teens (Sugiharta, Driartanti, Catur Santosa)
4. ERASE (Adi Susanto dan Anthony Steven Hambali)
5. Scientific Self-Hypnosis for Change (Agus Wirajaya)
6. Hypnosis in Dentistry (Mia Gracia)

Baca Selengkapnya

Hipnoterapis: Amatir dan Profesional

1 Agustus 2016

Hingga saat ini pembahasan tentang hipnosis/hipnoterapi selalu menarik untuk disimak, khususnya bagi peminat, pemerhati, penggiat, dan praktisi hipnosis/hipnoterapi. Walau telah banyak pemikiran dan informasi tentang hipnosis dan hipnoterapi modern ditulis, dan telah didiseminasi melalui buku, artikel di media massa, dan terutama media sosial, hingga saat ini masih terdapat mispersepsi.

Artikel ini secara khusus mengulas pemahaman akan kondisi hipnosis yang umum diadopsi hipnoterapis pemula dan yang akhirnya dipahami secara benar serta menjadi landasan praktik oleh hipnoterapis profesional.

Ditinjau dari perspektif ini, hipnoterapis sejatinya terbagi ke dalam dua kelompok: amatir dan profesional. Hipnoterapis amatir berpegang pada pemahaman bahwa klien masuk kondisi trance akibat pengaruh atau hasil kerja hipnoterapis. Para amatir ini suka berburu atau menghapal teknik induksi. Dalam benak mereka, klien berada di bawah kendali atau pengaruh hipnoterapis. Untuk bisa menghipnosis klien, hipnoterapis perlu punya kekuatan atau energi yang lebih kuat daripada klien sehingga klien bisa ditundukkan. Mereka mengabaikan atau menyangkal bahwa makna interaksi interpersonal adalah jauh lebih penting dan berpengaruh dan menentukan jenis serta tingkat respon hipnotik klien (Watkins, 1992).

Hipnoterapis amatir juga sangat terpaku pada tipe dan uji sugestibilitas. Dalam dunia hipnoterapi dikenal klien dengan sugestibilitas tinggi dan rendah. Juga terdapat pengelompokkan sugestibilitas fisik dan emosi (Kappas, 1999). Yang dimaksud dengan sugestibilitas fisik adalah perilaku bercirikan respon derajat tinggi terhadap sugesti literal (langsung) yang memengaruhi tubuh dan respon emosi. Sementara sugestibilitas emosi bercirikan respon derajat tinggi terhadap sugesti tak langsung yang memengaruhi emosi dan respon tubuh.

Dari penelitian ditemukan bahwa 60% populasi bersifat sugestibilitas emosi dan 40% sugestibilitas fisik. Dan terdapat satu subkelompok dari sugestibilitas emosi yaitu sugestibilitas intelektual dengan jumlah 5% (Kappas, 1999, 2001). Subkelompok ini adalah tipe analitikal, kritis, suka menganalisis apapun yang dikatakan hipnoterapis, sulit melepas kendali atas diri dan pikirannya sendiri, pikiran mereka sangat aktif (Gunawan, 2012). Tipe ini paling dihindari oleh kebanyakan hipnoterapis amatir karena, menurut mereka, (sangat) sulit dihipnosis. Hipnoterapi amatir, saat tidak mampu menghipnosis klien, biasanya beralasan klien klien masuk kategori tidak bisa dihipnosis.

Hipnoterapis amatir juga berpikir bahwa hipnosis per se adalah terapi atau bersifat terapeutik. Pada kenyataannya, hipnosis adalah kondisi kesadaran spesifik dan bila berdiri sendiri bersifat nonterapeutik. Hipnosis menjadi terapeutik bila ia digabungkan dengan modalitas terapi lain. Dengan demikian, hipnosis bersifat fasilitatif, mampu meningkatkan keefektifan dan keberhasilan terapi, namun pada dirinya sendiri hipnosis tidak bersifat rekonstruktif dan rehabilitatif.

Dua meta-analisa menunjukkan bahwa penggunaan hipnosis, dalam konteks ini hipnosis sebagai kondisi kesadaran spesifik, bukan teknik, secara substansial meningkatkan hasil pengobatan. Rata-rata klien yang menerima terapi kognitif-perilaku dengan hipnosis menunjukkan peningkatan positif kondisi minimal 70% lebih tinggi dibanding klien penerima pengobatan yang sama tanpa hipnosis (Kirsch, Montgomery, dan Sapirstein, 1995; Kirsch, 1996).

Pemahaman hipnoterapis profesional tentang hipnosis tentu berbeda dengan hipnoterapis amatir. Hipnoterapis profesional tidak bekerja dengan pendekatan “kebetulan” atau sepenuhnya pasrah pada keadaan. Ia melakukan segala sesuatunya secara sadar, sistematis, dengan pengetahuan mendalam tentang apa dan mengapa ia melakukan yang ia lakukan, dan target terapeutik yang jelas.

Hipnoterapis profesional memahami hipnosis sebagai kondisi kesadaran khusus (altered state of consciousness), di mana kemampuan normal tertentu dalam diri individu meningkat dan yang lain memudar ke latar belakang. Lebih dari 90% populasi berkemampuan masuk ke kondisi hipnosis dengan bimbingan yang tepat. Hipnosis adalah kondisi alamiah yang sering klien masuki, tanpa disadari, dalam keseharian.

Hipnosis bukan kondisi yang muncul karena terapis melakukan sesuatu pada klien. Terapis hanya berperan sebagai penuntun, penunjuk jalan klien masuk ke kondisi hipnosis dengan memberdayakan kemampuan yang telah ada dalam diri setiap kliennya. Terapis memandang klien sebagai rekan kerja, bukan pasien atau individu yang sakit dan bermasalah. Dan yang juga sangat penting, hipnoterapis profesional sadar sepenuhnya bahwa yang menyembuhkan klien bukan terapis namun klien sendiri. Terapis hanya sebagai fasilitator.  

Hipnoterapis profesional paham akan sugestibilitas namun tidak merasa uji sugestibilitas adalah keharusan. Ia juga tahu, dari pengalaman klinisnya, bahwa klien dengan sugestibilitas emosi dan intelektual justru sangat mudah dibimbing masuk ke kondisi hipnosis yang dalam. Dan ia juga menyadari sejatinya semua klien bisa masuk kondisi hipnosis dengan tuntunan yang tepat.

Walau tidak melakukan uji sugestibilitas, hipnoterapis profesional menyadari adalah sangat penting memastikan klien berhasil dibimbing masuk ke kedalaman spesifik yang sesuai dengan teknik yang akan digunakan, dan secara terstruktur sistematis mengupayakan klien tetap berada di kedalaman ini hingga proses terapi tuntas dilakukan.

Istilah altered state of consciousness pertama kali dikemukakan oleh Ludwig (1966) saat ia menulis artikel dengan judul yang sama dan dipublikasi di jurnal Archives of General Psychiatry. Ludwig mendefinisikan ASC sebagai:

… any mental state(s), induced by various physiological, psychological, or pharmacological maneuvers or agents, which can be recognized subjectively by the individual himself (or by an objective observer of the individual) as representing sufficient deviation in subjective experience of psychological functioning from certain general norms for that individual during alert, waking consciousness (p. 225).

Meminjam definisi Ludwig (1966) di atas dan melakukan elaborasi lanjutan, Tart (1972) mendefinisikan altered state of consciousness sebagai suatu konfigurasi subsistem dari struktur psikologis dengan pola unik, dinamis,  dan aktif. Struktur psikologis merujuk pada organisasi komponen bagian yang relatif stabil yang menjalankan satu atau lebih fungsi psikologis. 

Hipnosis adalah kondisi kesadaran spesifik yang sangat dipengaruhi faktor relasional. Interdependen keadaan hipnosis pada kualitas dan intensitas relasi interpersonal antara terapis dan klien pertama kali dikenali dan dinyatakan oleh M.V. Kline dalam bukunya Freud and Hypnosis (1958). Ia menyimpulkan bahwa relasi hipnotik tidak bersifat konstan, namun terdapat keajegan kondisi trance. Kondisi trance dipandang sebagai reorientasi bersifat sangat mendasar dan fundamental dalam relasi perseptual dan objek.

Hipnosis ada secara kuantitatif pada ragam derajat dan perbedaan kedalaman tertentu, dan secara kualitatif dalam bentuk berbeda bergantung keunikan relasi antara dua pihak, terapis dan klien, baik sebelum induksi, saat induksi, dan saat interaksi terapaeutik nonhipnotik.

Dengan demikian, kualitas kondisi hipnosis, meliputi baik aspek kuantitatif maupun kualitatif. Kondisi hipnosis yang dialami klien A, hasil induksi terapis B, tidak sama bila induksi dilakukan oleh terapis C. Demikian pula kondisi hipnosis pada klien A dan D hasil induksi terapis C berbeda bila dilakukan oleh terapis B pada satu waktu atau waktu berbeda (Barabasz & Waktins, 2005).

Hipnosis tidak dapat dianggap sebagai kondisi tunggal tanpa mempertimbangkan relasi saat ia terjadi. Dengan demikian hipnosis adalah kondisi dan juga relasi. Sebagai kondisi, hipnosis bercirikan berkurangnya kekritisan, pelepasan kendali, keterbukaan akses pada konten emosi, regresi perilaku menyerupai pola anak kecil, dan aktifnya proses berpikir primer. 

Dalam konteks teknik terapi yang dikuasai hipnoterapis, untuk bisa membedakan hipnoterapis amatir dan profesional, tidak sekadar ditentukan oleh jumlah dan ragam teknik yang dimiliki namun lebih pada kompetensi terapeutik yang berhasil dicapai terapis.

Baca Selengkapnya

Client-Centered Therapy Rogers dan Client-Centered Hypnotherapy AWGI

10 Juli 2016

Client-centered therapy, terapi bicara non-direktif, “lahir” tanggal 11 Desember 1940 saat psikolog humanis Carl Ransom Rogers, dalam pertemuan kelompok Psi Chi di Universitas Minnesota, menyampaikan pemikirannya tentang psikoterapi. Selanjutnya, dalam kurun waktu 1940an hingga 1950an Rogers mengembangkan pendekatan terapi yang kini lebih dikenal sebagai person-centered therapy (PCT) atau psikoterapi Rogerian (Wedding dan Corsini, 2013).

Jenis terapi ini berbeda dengan model terapi tradisional. Pada terapi tradisional, terapis berlaku sebagai pihak yang sepenuhnya mengendalikan dan mengarahkan proses terapi. Sementara dalam PCT, proses terapi bersifat nondirektif dengan pendekatan empati dan bertujuan memberdayakan dan memotivasi klien dalam proses terapi.

Hal penting dalam PCT, klien tidak dipandang sebagai individu cacat atau sakit, dengan perilaku dan pikiran bermasalah butuh penanganan. PCT menerima setiap individu sebagai pribadi dengan kapasitas dan keinginan untuk bertumbuh dan berubah. Rogers menamakan dorongan alamiah ini sebagai aktualisasi diri (Rogers, 1951). Menurut Rogers, setiap individu memiliki, dalam dirinya, sumberdaya luar biasa untuk memahami diri dan untuk meningkatkan konsep diri, sikap dasar, dan perilaku. Semua sumberdaya ini dapat diakses dan dimanfaatkan bila tersedia kondisi psikologis yang mendukung.

Terapis PCT mengenali dan memercayai potensi manusia, memberi klien empati dan penerimaan, kasih tanpa syarat untuk membantu memfasilitasi perubahan. Terapis sebisa mungkin menghindar dari mengarahkan jalannya terapi, dan lebih memilih mengikuti arah yang dipilih klien. Terapis menawarkan dukungan, bimbingan, dan struktur sehingga klien dapat menemukan solusi permasalahannya dari dalam dirinya sendiri.

Guna menstimulasi pertumbuhan individu, menurut Rogers, dibutuhkan enam faktor kunci. Menurutnya, saat enam kondisi ini terpenuhi, individu tergerak mencapai pemenuhan potensi diri secara konstruktif.

Enam faktor kunci sebagai syarat pertumbuhan, menurut teori Rogerian, adalah:

1. Kotak psikologis terapis dan klien: syarat pertama ini menyatakan harus ada relasi antara terapis dan klien agar klien dapat mencapai perubahan personal positif. Lima faktor berikut ini adalah karakteristik relasi terapis dan klien, dan sifatnya variatif.

2. Inkongruensi atau kerentanan klien: ketidaksesuaian antara citra diri klien dan pengalaman aktualnya mengakibatkan klien rentan mengalami perasaan takut dan cemas. Klien seringkali tidak menyadari inkongruensi ini.

3. Kongruensi dan ketulusan terapis: terapis bersikap sadar, tulus, dan kongruen. Hal ini tidak berarti terapis perlu menjadi orang sempurna, tetapi ia bersikap jujur dalam konteks relasi terapeutik.

4. Penerimaan positif tanpa syarat oleh terapis: pengalaman-pengalaman klien, positif atau negatif, diterima oleh terapis tanpa syarat atau penghakiman. Dengannya, klien dapat berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi.

5. Empati terapis: terapis menunjukkan empati dalam memahami pengalaman klien dan mengenali pengalaman emosional tanpa turut larut kedalamnya.

6. Persepsi klien: sampai derajat tertentu, klien memaknai penerimaan positif tanpa syarat dan pemahaman empatik terapis. Hal ini dikomunikasikan melalui kata-kata dan perilaku terapis.

Prinsip client-centered juga berlaku dalam hipnoterapi. Client-centered hypnotherapy sejatinya bermakna berpusat pada klien, dalam pengertian terapis melakukan terapi sesuai dengan kebutuhan atau permintaan klien.

Terdapat kesamaan antara pendekatan PCT Rogerian dan client-centered hypnotherapy AWGI (Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology). Keduanya adalah terapi bicara (verbal therapy) berdasar keyakinan bahwa setiap individu ingin menjalani hidup yang lebih baik, lebih bermakna, dan memiliki kapasitas/sumberdaya untuk mewujudkan potensi ini, berpusat pada klien, menggunakan pendekatan empati, welas asih tanpa kelekatan (detached compassion), tidak memandang klien sebagai individu sakit, dan bertujuan memberdayakan klien melalui proses terapi.

Perbedaan mendasar di antara keduanya, PCT Rogerian bermain di pikiran sadar, bersifat nondirektif, dan lebih berserah pada dan mengikuti “tuntunan” klien. Sementara client-centered hypnotherapy AWGI awalnya nondirektif, saat pikiran bawah sadar menuntun terapis menemukan akar masalah. Selanjutnya, setelah berhasil memukan akar masalah, proses terapi berubah menjadi direktif. Terapis mengarahkan proses terapi, mengikuti dinamika dan tuntunan pikiran bawah sadar klien, dengan memanfaatkan segenap sumberdaya klien, khususnya yang ada di pikiran bawah sadarnya.

Walau bersifat direktif, proses terapi sepenuhnya dijalankan atas ijin dan kerjasama penuh dari klien. Dengan demikian, pendekatan client-centered hypnotherapy AWGI menempatkan klien dalam posisi sejajar dengan terapis, sebagai co-therapist yang juga bertanggung penuh atas proses dan hasil terapi.

Dalam konteks hipnoterapi, hipnoterapis AWGI bekerja dengan dasar prinsip dan keyakinan berikut:

  • setiap individu berhak untuk hidup bahagia, dan melalui upaya sadar maupun tidak sadar berusaha mencapai kondisi bahagia ini.
  • semua hipnosis adalah self-hypnosis.  
  • terapi adalah kontrak upaya, bukan kontrak hasil.
  • setiap individu memiliki sumberdaya untuk mencapai tujuan ini.
  • semua sumberdaya untuk perubahan ada dalam diri klien, di pikiran sadar dan terutama di pikiran bawah sadar.
  • tidak ada klien yang sakit. Klien adalah individu normal yang “bermasalah” karena tidak mengerti cara kerja pikiran, tidak mampu menggunakan pikiran dengan benar dan konstruktif.
  • yang menyembuhkan klien adalah dirinya sendiri dengan bantuan terapis.
  • simtom, yang umumnya disebut sebagai masalah, adalah komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar dengan pesan spesifik. Tugas klien, dengan bantuan terapis, menemukan makna pesan ini melalui proses terapi.
  • pikiran bawah sadar sangat menyadari pentingnya resolusi trauma namun ia tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Untuk itu pikiran bawah sadar akan terus memunculkan simtom atau menempatkan individu dalam situasi tertentu hingga resolusi trauma berhasil tuntas dilakukan.

 

Untuk mencapai hasil terapi optimal, seperti yang telah dijelaskan di atas, posisi terapis dan klien adalah sejajar. Untuk itu baik hipnoterapis dan klien, perlu memenuhi syarat tertentu. Syarat hipnoterapis antara lain:

  • melakukan terapi dengan dasar welas asih dan empati tanpa kelekatan.
  • memberi klien rasa aman, tidak menghakimi.
  • memiliki kemampuan dan kecakapan yang dibutuhkan untuk membantu klien. Ini berkaitan dengan standar mutu pendidikan yang dijalani hipnoterapis.
  • melakukan upaya maksimal dalam membantu klien.
  • memahami simtom adalah kunci penyelesaian masalah.
  • melakukan terapi dengan memroses akar masalah (causal therapy), bukan hanya menghilangkan simtom (symptomatic therapy).

 

Sementara syarat klien antara lain:

  • menyadari, mengakui, dan menerima (keberadaan) masalahnya.
  • memiliki motivasi tinggi untuk mengatasi masalah.
  • minta bantuan terapis atas kesadarannya sendiri.
  • percaya sepenuhnya pada terapis.
  • melakukan upaya maksimal.

 

Dari uraian pemahaman client-centered hypnotherapy di atas, dalam praktiknya, muncul beberapa pertanyaan mendasar yang sangat perlu dijawab, antara lain:

  • Bagaimana bila permintaan klien, dari sudut pandang terapis, tidak baik untuk perkembangan dan pertumbuhan klien di masa depan?
  • Bagaimana bila permintaan klien melanggar nilai-nilai spiritual/agama, dan norma yang berlaku di masyarakat?
  • Bagaimana bila permintaan klien tidak sejalan dengan nilai-nilai hidup terapis?
  • Bagaimana bila klien menjalani terapi atas permintaan orangtua, pasangan, atau keluarganya dan ini bukan atas kemauan klien?

 

Apa yang akan dilakukan terapis bila menemui kondisi seperti di atas? Apakah terapis memutuskan untuk tetap melakukan terapi atau tidak?

Client-centered hypnotherapy benar berpusat pada kepentingan klien namun harus dilandasi akal sehat, tidak melanggar nilai-nilai spiritual, moral, dan agama. Terapis dalam melakukan terapi tentu tidak bebas dari pengaruh nilai-nilai hidupnya. Dengan demikian, untuk menjadi hipnoterapis yang cakap dalam arti sesungguhnya membutuhkan kematangan berpikir, kedewasaan, serta kearifan.

Hipnoterapi dipelajari sebagai cabang ilmu psikologi dan dipraktikkan sebagai seni yang membutuhkan kesadaran, integritas, kejujuran, rasa welas asih, tanggung jawab, kedewasaan sikap, kearifan, dan kreatifitas yang tinggi.

Baca Selengkapnya

Mengatasi Masalah dengan Menghapus Memori, Mungkinkah?

30 Juni 2016

Artikel ini terinspirasi dari diskusi dengan salah satu Sahabat FB tentang proses terapi yang ia jalani dalam upaya mengatasi masalah cemas dan takut.  Sahabat ini telah menjalani tiga sesi terapi dengan dua terapis berbeda.

Menurut Sahabat ini, teknik terapi yang digunakan terapis adalah "menghapus" memori  kejadian yang membuat ia tidak nyaman atau mengalami emosi negatif, dalam hal ini perasaan cemas dan takut.

Teknik yang digunakan kurang lebihnya seperti ini. Sahabat ini diminta fokus  menatap bola lampu yang menyala, untuk beberapa saat, lalu memejamkan mata. Saat  mata terpejam, muncul bayangan cahaya di pikiran. Bersamaan dengan munculnya bayangan cahaya ini, ia diminta mengingat kejadian yang membuat ia merasa tidak  nyaman, dan menghubungkan kejadian ini dengan bayangan cahaya lampu di pikirannya.  Selanjutnya, memori kejadian ini disugestikan untuk ikut pudar dan akhirnya hilang dari pikirannya, sama seperti bayangan cahaya lampu yang juga hilang dari  pikirannya. Proses ini dilakukan beberapa kali. Usai terapi, menurut Sahabat ini, memorinya tidak hilang, tetap ada, dan ia tetap merasa cemas dan takut.

Logika di balik teknik terapi ini benar yaitu bila memori kejadian yang menimbulkan masalah dalam diri klien berhasil dihapus atau dihilangkan maka klien sembuh. Saat memori tidak ada berarti klien tidak pernah mengalami pengalaman traumatik. Dengan demikian tidak akan ada simtom. Logikanya sederhana, namun untuk menghapus memori bukan pekerjaan mudah. Dalam kondisi normal, memori tidak mungkin bisa dihapus atau dihilangkan. Memori akan hilang bila terjadi kerusakan pada wilayah otak tertentu.

Teknik hipnosis dengan fokus memandang objek bercahaya atau terang, disebuteye fixation (fiksasi mata), dan berasal dari riset James Braid. Dulu Braid meminta subjeknya fokus memandang cahaya lilin atau cermin kecil yang diletakkan dengan jarak tertentu dari wajah subjek. Saat subjek terus fokus memandang satu objek tertentu, apalagi yang terang dan bercahaya, mata subjek pasti menjadi sangat lelah dan akhirnya menutup dengan sendirinya. Saat mata tertutup, subjek masuk dalam kondisi hipnosis/trance. 

Di era hipnosis modern, guna menghindari kerepotan harus menyiapkan bola lampu atau objek bercahaya, eye fixation dilakukan dengan meminta klien fokus memandang ujung jari kelingking terapis yang diletakkan di sudut kiri atau kanan atas mata klien. Posisi ini mengakibatkan otot-otot mata menjadi lelah dengan sangat cepat dan akhirnya menutup dengan sendirinya. Saat menutup mata biasanya diikuti dengan mata berkedip cepat atau REM (rapid eyes movement) dan terapis memberi sugesti agar klien menjadi semakin rileks.

Berapa kedalaman hipnosis yang mampu dicapai klien dengan teknik induksi eye fixation?

Terapis tentu berharap klien mencapai kondisi hipnosis yang dalam. Namun seberapa dalam pastinya, tidak akan pernah diketahui tanpa dilakukan uji kedalaman. Selain itu, keberhasilan induksi bergantung pada TEAM yaitu trust, rasa percaya klien pada terapis, expectation, pengharapan klien pada proses yang ia jalani,attitude, sikap klien, dan motivation, motivasi yang mendasari klien jumpa terapis. Hanya mengandalkan teknik saja tidak menjamin klien bisa masuk kondisi hipnosis dalam.

Dari paparan yang disampaikan pada saya, saya simpulkan teknik “menghapus” memori dengan memandang bola lampu menyala hanyalah satu varian teknik amnesia. Teknik amnesia hanya bisa bekerja dengan syarat, tidak ada penolakan dari diri klien, klien dalam kondisi hipnosis dalam (deep trance), kliensangat sugestif, dan terapis memberikan sugesti dengan cara dan semantik yang tepat. Amnesia bukanlah hal yang mudah, bisa dibilang mustahil dilakukan, terutama pada klien tipe (sangat) analitikal.

Katakanlah memori traumatik klien berhasil “dihapus” apakah klien pasti sembuh? Belum tentu. Perlu dipahami bahwa simtom muncul biasanya bukan dari kejadian tunggal tapi dari rangkaian kejadian, dimulai dari kejadian paling awal, diperkuat oleh satu atau beberapa kejadian lanjutan. Saat terapis hendak “menghapus” memori kejadian, perlu dipertanyakan telah dilakukan hipnoanalisis untuk mencari kejadian paling awal atau hanya berdasar uraian klien.

Misal klien takut dan cemas bicara di depan umum. Bila terapis hanya “menghapus” memori klien bicara di depan umum, saat ia telah dewasa, sedangkan kejadian paling awal terjadi saat klien berusia lima tahun, maka upaya ini tidak akan mampu menghilangkan simtom.

Amnesia sejatinya tidak menghapus memori, hanya menyembunyikan memori dari akses pikiran sadar. Memori tetap ada di pikiran bawah sadar. Dengan “hilangnya” memori akibat amnesia, klien seolah tidak pernah mengalami kejadian traumatik, dan “sembuh”. “Kesembuhan” ini bersifat sementara karena amnesia sama sekali tidak menetralisir emosi yang lekat pada memori traumatik. Lambat laun, pikiran bawah sadar pasti akan kembali memunculkan simtom yang sama. Dalam beberapa kasus, bisa lebih parah dari sebelumnya.

Mari kita berandai-andai. Misalnya, memori benar bisa dihapus, apa akibatnya bagi klien? Apakah sudah ditimbang akibat negatif dari penghapusan memori?

Misal ada klien wanita, baru putus cinta, datang ke terapis dan minta tolong untuk dihilangkan perasaan sedih, galau, terluka, sakit hati, agar biasa move-on. Memori mana yang akan dihilangkan? Apakah memori saat mereka putus ataukah semua rangkain memori mulai klien berkenalan dengan mantan pacarnya sampai saat mereka putus?

Bila memori yang dihilangkan adalah saat mereka putus, dan, sekali lagi misalnya, memori ini benar-benar bisa dihapus, klien akan mengalami masalah baru. Di pikirannya, ia belum putus. Lalu, bagaimana hidupnya akibat penghapusan memori ini?

Bagaimana bila klien, trauma karena pernah digigit ular berbisa, dan dengan pertolongan terapis trauma ini dihilangkan dengan cara menghapus memori tentang kejadian ini? Usai terapi, trauma klien hilang dan klien sama sekali “tidak pernah” digigit ular. Saat ia, misalnya jumpa ular berbisa lagi, ia tentu tidak punya data bahwa ular ini berbahaya, tidak hati-hati, dan bisa digigit lagi. Akibatnya bisa fatal.

Terdapat dua mazhab dalam aliran hipnoterapi. Pertama, hipnoterapi berbasis sugesti untuk menghilangkan atau modifikasi simtom. Teknik yang digunakan sama sekali tidak memroses akar masalah atau bebas konten. Kedua, hipnoterapi yang secara khusus memroses akar masalah dan terutama menetralisir emosi yang lekat pada memori traumatik.

Salah satu buku klasik menjelaskan pentingya memroses emosi, untuk mencapai kesembuhan, adalah Studies on Histeria karya Josef Bruer dan Sigmund Freud, terbit tahun 1895.

Pakar hipnoterapi modern seperti John G. Watkins, Helen H. Watkins,  Arreed Barabasz, Gil Boyne, Randal Churchill, Erika Fromm, Gerald Kein, dan banyak lagi juga menekankan pentingnya menetralisir emosi pada memori traumatik.

Saat memori traumatik berhasil “dibekukan”, memori ini dapat secara permanen dimodifikasi (Loftus, 1979). Bila memori traumatik awal menyebabkan simtom dan perilaku maladaptif, maka sudah jelas akan sangat baik bila memori traumatik ini diganti dengan memori yang lebih baik atau positif (Watkins dan Barabasz , 2007).

Kata “ganti” pada pernyataan di atas tidak berarti penghapusan memori. Yang terjadi adalah memori awal diproses tuntas hingga emosinya menjadi netral, ia tetap ada namun dorman atau tidak lagi berpengaruh, dan selanjutnya ditumpuki memori baru yang lebih positif dan baik.  

Berdasar pengalaman klinis dan empiris kami menemukan syarat utama untuk dapat mengubah memori adalah dengan menghilangkan atau menetralisir emosi yang lekat pada memori ini. Memori akan sangat kaku dan sulit dimodifikasi selama masih ada emosi. Kelenturan memori berbanding lurus dengan intensitas emosi yang lekat padanya.

Beberapa teknik yang pernah kami coba, dalam rangka modifikasi memori antara lain swish patternfast phobia cure, mengubah submodalitas, desensitisasi melalui projeksi objek, dan sugesti. Dari temuan kami, teknik-teknik ini tidak efektif bila masih ada emosi intens yang lekat pada memori.

Proses hipnoterapi sejatinya bertujuan untuk menetralisir emosi yang lekat pada memori traumatik. Saat emosi berhasil dinetralisir tidak berarti memori hilang. Memori tetap ada, telah dimodifikasi, klien tetap bisa mengingat kejadiannya namun tidak lagi terpengaruh. Memori ini penting karena adalah bagian dari proses belajar dan bertumbuh klien.

Simpulannya, untuk mengatasi suatu masalah adalah tidak mungkin dengan menghapus memori karena sejatinya memori tidak bisa dihapus atau dihilangkan kecuali bila individu mengalami kerusakan atau penurunan kinerja otak. 

Bagi para sahabat, praktisi, dan pemerhati hipnosis dan hipnoterapi, berikut ini adalah beberapa buku bagus mengulas memori: Hypnosis & Memory (M. Pettinati (Editor)), Hypnosis, Will, & Memory: A Psycho-Legal History (Jean-Roch Laurence & Campbell Perry), In Search Of Memory : The Emergene Of A New Science Of Mind (Eric R. Kandel), Memory and Hypnotic Age Regression (Robert Reiff and Martin Scheerer), Functional Disorders Of Memory (John F. Kihlstrom & Frederick J. Evans (Editor)), Memory, Trauma, Treatment, & The Law (Daniel Brown, Alan W. Scheflin, & D. Corydon Hammond), Human Memory : The Processing of Information (Geoffrey R. Loftus and Elizabeth F. Loftus), The Myth of Repressed Memory (Elizabeth Loftus and Katherine Ketcham), Memory (Elizabeth Loftus), Clinical Hypnosis & Memory: Guidelines for Clinicians & for Forensic Hypnosis (Corydon Hammond, et al.), dan Memory Quest: Trauma & The Search for Personal History (Elizabeth A. Waites) 

Baca Selengkapnya

Antara OPINI dan FAKTA

25 Juni 2016

Saya sering dapat pertanyaan baik dari para pembaca buku, Sahabat FB, calon klien, maupun sesama praktisi hipnoterapi tentang teknik terapi tertentu yang diklaim mampu sangat cepat menyembuhkan beragam masalah hanya dalam hitungan detik atau menit.

Pertanyaan rekan-rekan ini adalah, "Apakah benar teknik ini begitu efektif?" 

Untuk bisa menjawab pertanyaan ini tentu dibutuhkan pemahaman akan kerja teknik tersebut, dasar teorinya, dan hasil penelitian aplikasinya. 

Saya, dari pengalaman klinis, meragukan atau skeptis bila mendengar ada teknik yang mampu sembuhkan masalah hanya dalam bilangan detik atau satu dua menit. Yang sering terjadi adalah teknik ini hanya menghilangkan simtom, bukan menyembuhkan masalah klien. Walau skeptis, saya tetap terbuka dan justru ingin tahu lebih lanjut. Dan bila ternyata teknik ini benar-benar efektif, seperti yang diklaim, saya pasti akan memelajarinya karena saya ingin membantu klien mencapai kesembuhan dengan lebih cepat, aman, dan nyaman.

Berhubung saya tidak mendalami atau memelajari teknik yang dimaksud maka saya beri saran atau cara untuk memvalidasi klaim keefektifan suatu teknik. Tentu saja cara ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Bagaimana caranya?

Biasanya yang orang lakukan adalah bertanya pada mesin pencari Google. Mereka mengetik www.Google.com lalu menuliskan kata kunci, yaitu nama teknik dimaksud, lalu tekan "Enter".

Google dengan cepat menampilkan tautan yang berisi informasi dengan kata kunci yang dimaksud. Pencarian cara ini biasanya akan menampilkan banyak tautan ke blog, situs pribadi, situs lembaga atau organisasi tertentu baik di dalam maupun luar negeri, dll. Informasi ini masih perlu divalidasi lebih lanjut karena sering lebih banyak berisi opini, bukan fakta yang divalidasi riset mendalam.

Dan sahabat, tahukah Anda bahwa ada satu fasilitas pencarian dari Google yang jauh lebih akurat dalam konteks informasi riset, buku teks, jurnal, atau hal-hal yang bersifat ilmiah?

Anda bisa mengetik Scholar.Google.Com (tanpa "www"). Nanti akan muncul Google Scholar dan Anda bisa mengetik kata kunci di jendela yang tersedia.

Misal, Anda ingin tahu apakah hipnoterapi bisa digunakan untuk menyembuhkan fibromialgia. Setelah masuk ke Scholar.Goggle.Com, Anda ketik kata kunci, tentu semuanya dalam bahasa Inggris: hypnosis and fibromyalgia, atau hypnotherapy and fibromyalgia. Nanti akan muncul sangat banyak tautan yang bila diklik akan membawa Anda ke beragam informasi penting terkait topik ini.

Atau bila Anda ingin tahu tentang, misalnya teknik "ABC" yang diklaim dapat sembuhkan beragam masalah emosi hanya dalam waktu satu menit, maka masukkan kata kunci "ABC" dan lihat apa yang muncul di layar.

Dengan demikian kita bisa menepis keraguan dan bisa membedakan antara opini dan fakta.

Silakan mencoba.....

 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List