The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Hipnoterapi Klinis, Solusi Alternatif Menangani Perilaku Predator Seksual

19 Juni 2016

Setelah marak kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak, dalam rangka memberi perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat, pemerintah bertindak cepat dan sigap memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perppu ini mengatur hukuman bagi predator seksual/pedofil berupa kebiri kimiawi, paling lama dua tahun, dan pemasangan alat deteksi elektronik yang ditanamkan ke tubuh pelaku setelah keluar dari penjara, guna mendeteksi pergerakannya di masyarakat.

Terdapat dua jenis kebiri atau kastrasi, fisik dan kimiawi. Kebiri fisik dilakukan dengan pembedahan/mengamputasi testis pelaku pedofilia dengan tujuan membuat pelaku kejahatan ini mengalami kekurangan hormon testoteron yang memengaruhi dorongan seksualnya. Negara yang menerapkan kebiri fisik adalah republik Ceko dan Jerman.

Berbeda dengan kebiri fisik, kebiri kimiawi dilakukan dengan cara memasukkan zat kimiawi antitestoteron ke dalam tubuh pelaku, baik melalui pil atau suntikan dengan tujuan memengaruhi produksi hormon testoteron sehingga menghilangkan dorongan atau hasrat seksual dan kemampuan ereksi.

Walau efek kebiri kimiawi sama dengan kebiri fisik namun sifatnya temporer dan hanya efektif selama pelaku tetap diberi antitestoteron secara rutin. Bila pemberian antitestoteron dihentikan, hasrat dan kemampuan seksualnya pulih kembali.

Terlepas dari pro dan kontra pemberlakukan hukuman kebiri kimiawi, terdapat dua pertanyaan penting untuk dijawab, pertama, apakah ini efektif untuk mengatasi perilaku predator seksual, mengingat setelah masa dua tahun hukuman mereka tidak lagi mendapat suntikan antitestoteron dan kemampuan seksual mereka pulih kembali, kedua, apakah bentuk hukuman ini mampu membuat jera para predator seksual?

IDI (Ikatan Dokter Indonesia) telah mengeluarkan pernyataan resmi menolak menjadi pelaksana kebiri kimiawi karena tidak sesuai dengan kode etik kedokteran.

Pedofil

The American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V) mendefinisikan pedofil sebagai individu yang selama lebih dari periode enam bulan mengalami fantasi seksual, dorongan seksual intens, atau perilaku yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak atau anak-anak prapuber (umumnya berusia 13 tahun atau lebih muda), individu berusia minimal 16 tahun dan setidaknya 5 tahun lebih tua dari anak atau anak-anak yang menjadi korbannya.

Terdapat dua jenis pedofil yaitu eksklusif dan noneksklusif. Pedofil eksklusif hanya tertarik pada anak-anak. Sementara pedofil noneksklusif tertarik baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Sebagian besar pedofil pria adalah homoseks atau biseks, yang tertarik baik pada anak laki dan perempuan (Schiffer, 2008). Umumnya masyarakat berasumsi bahwa pedofil selalu pria. Namun dari hasil studi juga ditemukan wanita pedofil (Chow, 2002)

Pedofilia bisa disebabkan baik oleh faktor biologis maupun psikologis, sebagai dampak lingkungan dan proses tumbuh kembang. Studi kasus mengindikasikan disfungsi otak dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam membentuk pedofil, termasuk dalam hal ini masalah kendali diri, dorongan-dorongan ekstrim, dan distorsi kognisi (Scott, 1984).

Terdapat bukti kuat yang mengindikasikan abnormalitas pada struktur otak pedofil. Abnormalitas ini terjadi karena pada saat masa perkembangan otak di usia muda, anak mengalami pengalaman traumatik tertentu seperti pelecehan seksual. Abnormalitas pada otak pedofil ini mengakibatkan ia tidak mampu menilai dengan baik dan benar, kompulsif, dan pikiran repetitif (Schiffer, 2008).

Hasil pemindaian menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) dan positron emission tomography scans (PET) mengungkap abnormalitas di wilayah otak bagian depan dan tengah.

Banyak pakar meyakini bahwa pedofil terbentuk akibat pengalaman traumatik di masa kecil, khususnya pelecehan seksual (DiChristina, 2009). Pedofil yang dulunya saat sebagai anak kecil mengalami pelecehan seksual tidak dapat mengendalikan situasi yang ia alami. Saat dewasa mereka secara seksual menganiaya anak-anak kecil dengan tujuan mengalami kembali pengalaman traumatik ini dan belajar untuk mengendalikannya. Namun kali ini situasinya berbeda. Dulu saat sebagai korban mereka dalam posisi tidak berdaya. Sekarang mereka yang memegang kendali.

Kebanyakan pedofil merasa malu dan bersalah setelah melakukan tindakan tak bermoral ini karena disfungsi neurologis membuat mereka hanya menuruti dorongan biologis dan bukan emosi (Schiffer dkk., 2007).

Apakah Pedofil Dapat Disembuhkan?

Pedofilia bersifat multikausal, mulai dari disfungsi otak, pengkondisian oleh lingkungan, anak terpapar materi pornografi sejak kecil, hingga akibat pengalaman traumatik saat kecil seperti pelecehan seksual atau pemerkosaan.

Menurut Yuli Grebchenko, MD, yang intensif meriset pedofilia, pedofilia butuh penanganan seumur hidup (Lamberg, 2005). Studi lain menunjukkan bahwa kombinasi antara psikoterapi dan farmakoterapi dapat memberi hasil paling efektif dalam menangani penderita pedofilia (Kersebaum, 2007).

Pendekatan terapi yang digunakan adalah terapi kognitif, meliputi mendiskusikan pengalaman traumatik, khususnya dari sisi masa kecil pelaku. Terapis juga membantu klien mengenali situasi yang mungkin memunculkan dorongan melakukan tindakan kasar dan merugikan anak-anak. Dalam proses terapi, terapis juga membantu meluruskan pemahaman yang salah dalam diri pelaku, misal anak menikmati saat mereka dilecehkan. 

Dari sisi farmakoterapi, penanganan pedofilia menggunakan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH), and leuprolide acetate (LA) (Briken, 2003). Tujuannya adalah menarget hormon dan senyawa kimiawi tertentu di dalam tubuh, namun memiliki efek samping. SSRI efektif untuk kasus yang tidak terlalu berat dan individu sering hanya mengalami efek samping seksual (Kraus, 2007). Untuk kasus yang lebih berat, LA dapat sangat mengurangi testoteron dan dorongan seksual pedofil. Walau sangat efektif, LA memiliki efek samping yang cukup berbahaya (Schober, 2005). LHRH mengurangi respon neural pada stimuli seksual visual dan memiliki efek samping minim (Briken, 2003).

Hipnoterapi Klinis dan Pedofilia

Pedofilia, seperti yang telah diuraikan di atas, dapat disebabkan baik oleh faktor biologis, abnormalitas otak, dan psikologis, pengalaman traumatik masa kecil akibat pelecehan seksual.

Hipnoterapi klinis, dalam hal ini, hanya bisa digunakan untuk membantu menangani dorongan seksual tidak wajar, dalam diri pedofil, akibat pengalaman traumatik, dan tidak efektif bila ini murni akibat faktor biologis.

Berdasar penelusuran yang dilakukan penulis, aplikasi hipnoterapi untuk mengurangi dorongan seksual tak wajar dalam diri pedofil pria pernah dilakukan menggunakan teknik pengungkapan hipnotik melalui induksi mimpi (Sacerdote, 1967) dan affect bridge (Watkins, 1971). Proses hipnoterapi dilakukan sebanyak 25 sesi dalam kurun waktu sekitar sembilan bulan. Di akhir terapi, pengukuran psikofisiologis menunjukkan penurunan pasti dan signifikan rangsangan seksual dalam diri subjek saat ditunjukkan gambar anak-anak prapuber. Pengujian psikologis mengindikasikan berkurangnya sifat defensif dan juga kecemasan seksual terhadap wanita dewasa.

Dari perspektif hipnoterapi klinis modern, pengalaman traumatik yang dialami anak saat masih kecil, khususnya dalam bentuk pelecehan seksual, meninggalkan “luka” dalam bentuk memori yang dilekati emosi sangat intens dan tersimpan di pikiran bawah sadar mereka. Dari pengalaman traumatik ini dapat tercipta ego personality (EP) atau Bagian Diri yang selanjutnya dapat mendominasi hidup individu.

Terdapat tiga kemungkinan jenis EP yang tercipta. Pertama, “Part” yaitu EP dengan fungsi menyimpan semua jejak pengalaman ini dan melindungi individu dari kemungkinan mengalami kejadian yang sama atau segala sesuatu yang berhubungan dengan seks, di masa depan. Kedua, EP yang disebut “Alter” yang bersifat sangat ganas, di luar kendali individu, dapat melukai atau bahkan membunuh individu, Bagian Diri lain di dalam individu, atau orang di sekitarnya. Ketiga, Introject, yaitu EP yang adalah manifestasi dari pelaku tindak kejahatan atau kekerasan seksual pada anak, berdasar pengalaman dan persepsi saat anak mengalami pengalaman itu, dan Introject ini “hidup” di dalam pikiran bawah sadar anak.

Bisa jadi, perilaku seksual tidak wajar yang dilakukan oleh pedofil, yang dulunya adalah korban kekerasan seksual, sebenarnya dilakukan bukan oleh si individu namun oleh Introject yang ada dalam dirinya.

Penulis pernah menangani klien, pria muda berusia 23 tahun, yang bila marah, selalu melakukan tindakan dengan eskalasi mulai dari teriak-teriak, membanting atau merusak barang di sekitarnya, dilanjutkan dengan memukul kepalanya sendiri, hingga akhirnya, pada puncak kemarahannya, membentur-benturkan kepalanya dengan keras ke tembok. Klien sama sekali tidak tahu apa yang membuatnya berperilaku seperti ini dan mengatakan bahwa ia tidak sadar saat membenturkan kepalanya ke tembok.

Kondisi ini dapat dipahami dengan mengacu pada sifat dan fungsi pikiran bawah sadar.  Pikiran bawah sadar sangat menyadari pentingnya resolusi trauma, namun ia bukan problem solver. Untuk itu, ia akan mengirim pesan ke pikiran sadar dengan terus memunculkan memori traumatik agar individu segera mencari solusi. Namun sayangnya, pesan ini sering tidak dipahami. Dengan demikian, memori traumatik repetitif ini justru mengakibatkan individu mengalami trauma ulang dan menempatkan individu di situasi yang sama atau serupa dengan yang dulu ia alami (Gunawan, 2012).

Dari proses hipnoanalisis mendalam terungkap bahwa klien pertama kali mengalami kepalanya dibenturkan ke pintu saat berusia enam tahun. Dan yang melakukannya adalah ibu klien. Pengalaman ini tidak hanya sekali, namun beberapa kali.

Dari pengalaman traumatik ini, dalam diri klien tercipta Introject ibunya yang aktif setiap kali klien mengalami emosi marah. Introject, dalam kondisi normal bersifat dorman, tidak aktif, sampai ada pemicu spesifik yang mengaktifkannya. Saat Introject ini aktif, klien sepenuhnya dikendalikan oleh Introject. Dan yang memukul kepala dan membentur kepala klien ke tembok bukanlah klien tapi Introject ibunya.

Proses terapi yang dilakukan meliputi menemukan kejadian paling awal, resolusi trauma pada kejadian ini, memaafkan, edukasi ulang pikiran bawah sadar, restrukturisasi memori, dan yang juga sangat penting adalah menetralisir Introject ini.

Alhasil, setelah semua proses ini berhasil dilakukan dengan baik, dari hasil wawancara pascaterapi seminggu kemudian, klien melaporkan bila marah ia tidak lagi pernah membanting atau merusak barang, dan membenturkan kepalanya ke tembok.

Hipnoterapi klinis adalah bagian dari psikoterapi dapat digunakan untuk menangani perilaku pedofil atau predator seksual, secara lebih manusiawi, karena mampu melakukan resolusi trauma dengan cepat, efisien, dan efektif langsung di pikiran bawah sadar.

Baca Selengkapnya

Clinical Hypnosis & Scientific Research: 100 Psychotherapeutic Applications

19 Juni 2016

“Hypnosis is not a type of therapy, like psychoanalysis or behavior therapy. Instead, it is a procedure that can be used to facilitate therapy. It is the opinion of the authors of this statement that because it is not a treatment in and of itself, training in hypnosis is not sufficient for the conduct of therapy; rather, clinical hypnosis should be used only by properly trained and credentialed health care professionals (e.g. licensed clinical psychologists), who have also been trained in the clinical use of hypnosis and are working within the areas of their professional expertise.

Hypnosis has been used in the treatment of pain, depression, anxiety, stress, habit disorders, and many other psychological and medical problems. However, it may not be useful for all psychological problems or for all patients or clients. Again, it is the opinion of the authors of this statement that the decision to use hypnosis as an adjunct to treatment can only be made in consultation with a qualified health care provider who has been trained in the use and limitations of clinical hypnosis.”

I. INTRODUCTION

Hypnosis is one of the oldest methods of treating diseases and dates back to ancient Egypt. Under numerous labels, Hypnosis has been practiced in different cultures since time immemorial. For example, the Ebers Papers, one of the oldest human writings known, dated 300 BC, describes the therapeutic use of Hypnosis in the effective treatment of several illnesses. For over 200 years, since the recognized beginnings of Clinical Hypnosis in the work of Anton Mesmer, under the name of ‘Animal Magnetism’, there has been a continuing ‘controversy’ about its scientific basis and applications in medicine or psychotherapy. Hypnotherapy has probably been praised and decried more than any other medical or therapeutic treatment. When average people and many mental health professionals think about Hypnosis a lot of misconceptions, myths, commonplaces, false ideas and tales cross their minds. There are many prejudices about Hypnosis that have been impressed on scientific community by books, movies and television shows. Hypnosis, therefore, has been associated in the minds of many people with control and the super natural. Few therapeutic procedures are less understood and more plagued by misconceptions and misunderstandings than Hypnotherapy. To quote Dave Elman, “People have invested Hypnosis with a lot of false ideas. It is perhaps one of the most beautiful states that God has made possible to mankind and this beautiful state contains nature’s own anesthesia which God makes available to everyone of us. When you’re taught to look at hypnosis properly, you see it as a very beautiful and wonderful thing.”  Although Clinical Hypnosis is not a ‘panacea’, it has helped thousands of people in many areas of their lives. Unfortunately, because of fears and misconceptions, many people and mental health professionals are ‘reluctant’ to contemplate Hypnotherapy as an effective therapeutic tool in mental health care.

The essence of the psychotherapeutic process is personal growth and transformation. As a science and an art dedicated to eliminate mental disorders and devoted to personal change and development, contemporary psychotherapy brings together the findings and resources of many disciplines, approaches, and theoric models. Today, there is a strong tendency to integrate different therapeutic modalities, strategies and clinical tools in the promise of achieving more dramatic psychotherapeutic changes. Comprehensive or global approaches are likely to be considered, based on the premise that one therapeutic tool need not displace another. It is not uncommon, for example, to see a client engaged in Cognitive-Behavioral psychotherapy also be concomitantly treated by hypnotic strategies or even psychiatric medications.

Although Hypnotherapy is not a treatment per se, but the framework in which treatment can more effectively be carried out. Probably, the ‘future’ of Clinical Hypnosis will likely witness studies of its usefulness as an extraordinary ‘facilitator’ to other psychotherapeutic models, especially the cognitive-behavioral model. As an adjunct to psychotherapy, Hypnosis can help clients enter a trance state in order to achieve more easily numerous psychotherapeutic outcomes and stimulate personal growth.

Hypnotherapy is the art and science of using specific communication patterns (verbal and non-verbal) to assist another person in entering an altered state of consciousness in order to facilitate or promote a personal change. The practice of Hypnotherapy has no rigid formula. Hypnosis, as an effective psychotherapeutic tool, may be used in the early (investigative-diagnostic), middle (working through), or final (transition-termination) stages of the psychotherapeutic process. The results and potential value of Clinical Hypnosis is the consequence of the combination of the following key factors:

1) The client’s personality and character (beliefs, thinking styles, values...)

2) The hypnotist’s skills / experience with Clinical Hypnosis and psychotherapy.

3) The type of relationship (rapport) between the client and the professional.

4) The type of induction procedures and suggestions that are used with the client.

5) The context where the ‘hypnotic interaction’ is occurring.

While techniques, strategies and procedures for inducing trance states and forming specific suggestions can be easily learned, other key skills and knowledge are necessary in order to use Clinical Hypnosis as a safe and effective therapeutic tool. According to the Society for Clinical and Experimental Hypnosis, Clinical Hypnosis cannot, and should not, stand alone as the unique psychological intervention for any disorder. Anyone who can read an Hypnotic script with some degree of expression can learn how to ‘hypnotize’ someone. However, a client with a mental disorder should consult a qualified mental health professional for an accurate diagnosis and effective treatment planning. Only a mental health professional is in the best position to decide with the patient whether Hypnosis is indicated and, if it is, how it might be incorporated into the psychotherapeutic process.

The following is a basic selection of 100 psychotherapeutic applications of Clinical Hypnosis based on recent scientific research and selected bibliography...

 

II.-HYPNOSIS FOR ANXIETY DISORDERS: CLINICAL APPLICATIONS

001.-Free from Fears: Hypnotherapeutic Strategies (Seagrave & Covington, 1987).

002.-Brief Therapy Approaches to Treating Anxiety (Yapko, 1989).

003.-The Treatment of Obsessive-Compulsive Disorder (Moore & Burrows, 1991).

004.-Hypnosis with Anxiety Disorders (Hart, 1992).

005.-Relaxation and Hypnosis in Reducing Anxiety and Stress (Sapp, 1992).

006.-Phobias and Intense Fears: Hypnotic Strategies (Crawford & Barabasz, 1993).

007.-Acute Stress Disorder and Dissociation (Spiegel, 1994).

008.-Hypnosis and CBT for Public Speaking Anxiety (Schoenberger et al., 1997).

009.-Hypnosis for Posttraumatic Conditions (Cardena et al., 2002).

010.-Hypnosis in the Management of Stress Reactions (Gravitz & Page, 2002).

 

III.-HYPNOSIS FOR MOOD DISORDERS: CLINICAL APPLICATIONS

011.-Affective Disorders and Clinical Hypnosis (Burrows, 1980).

012.-Hypnosis in the Treatment of Depression (Detito & Baer, 1986).

013.-Hypnotherapy and Depression as a Dissociative State (Alladin, 1992).

014.-Clinical Hypnosis and the Treatment of Depression (Yapko, 1992).

015.-Treatment of Depression with Medical Hypnoanalysis (Mow, 1994).

016.-Hypnosis for Overcoming Depression (Hadley, 1997).

017.-Treating Symptoms and Risk Factors of Major Depression (Yapko, 2001)

018.-Using Hypnosis to Treat Depression (Hensel et al., 2001).

019.-Percepual Reconstruction in the Treatment of Inordinate Grief (Gravitz, 2001).

020.-Treating Depression with Hypnosis (Yapko, 2001).

 

IV.-HYPNOSIS FOR MIND/BODY HEALING: CLINICAL APPLICATIONS

021.-Healing in Hypnosis: The Ericksonian Approach (Erickson, 1983).

022.-Mind-Body Communication in Hypnosis (Erickson, 1986).

023.-Hypnosis and Behavioral Medicine (Brown & Fromm, 1987).

024.-Mind-Body Therapy (Rossi & Cheek, 1988).

025.-The Complete Mind/Body Guide (Chopra, 1991).

026.-The Healing Journey (Simonton et al., 1992).

027.-The Psychobiology of Mind-Body Healing (Rossi, 1993).

028.-A Psychosomatic Medicine Research Clinic (Heap et al., 1994).

029.-Physically Focused Hypnotherapy: A Guide to Medical Hypnosis (Breuer, 2000).

030.-A Review of the Impact of Hypnosis on Aspects of Health (Gruzelier, 2002).

 

V.-HYPNOSIS FOR PAIN MANAGEMENT: CLINICAL APPLICATIONS

031.-Hypnosis for Spinal Injuries Pain Relief (Alden, 1993).

032.-Hypnosis for Chronic Pain: A Critical Review (Large, 1994).

033.-Hypnotic Analgesia (Spanos et al., 1994).

034.-Hypnotic Pain Control: Theoretical and Practical Issues (Alden & Heap, 1998).

035.-Pain Management Psychotherapy: A Practical Guide (Eimer & Freeman, 1998).

036.-Management of Cancer, Surgical Disease and Chronic Pain (Lynch, 1999)

037.-Hypnosedation: A Valuable Alternative (Faymonville et al., 1999).

038.-Applications of Hypnosis for Brief and Efficient Pain Management (Eimer, 2000).

039.-Hypnosis in the Conquest of Pain (Gravitz, 2002).

040.-Psychogenic Pain (Whalley & Oakley, 2003).

 

VI.-HYPNOSIS FOR CANCER PATIENTS: CLINICAL APPLICATIONS

041.-Hypnosis and the Immune System: Implications for Cancer (Hall, 1983).

042.-Hypnotic Treatment of Adverse Reactions (Feldman & Salzberg, 1990).

043.-Psychoneuroimmunology, the Mind, Counseling and Cancer (Simonton, 1992).

044.-Effects of Psychological Treatment on Cancer Patients (Trijsburg et al, 1992)

045.-Hypnotherapeutic Treatment of a Cancer Patient (Lenk, 1992).046.-Using Hypnosis With Cancer Patients: Six Case Studies (Kraft, 1993).

047.-Ericksonian Hypnotherapy for Cancer Pain Control (Weiss, 1993).

048.-The Use of Hypnosis in Helping Patients Control Symptoms (Genius, 1995).

049.-Cancer and Self-Hypnosis (Kelly & Kelly, 1995).

050.-Hypnosis in the Treatment of Cancer Pain (Peter, 1997).

 

VII.-HEALTH & ILLNESS: CLINICAL APPLICATIONS OF HYPNOSIS

051.-Hypnosis in the Treatment of Obesity (Levitt, 1992)

052.-Pain and Neuromuscular Rehabilitation with Multiple Sclerosis (Dane, 1996).

053.-Hypnosis in Dentistry (Eli & Kleinhauz, 1997).

054.-Hypnotherapy for Irritable Bowel Syndrome (Vidakovic-Vukic, 1999).

055.-Hypnotherapy for Crohn's Disease (Abela, 2000).

056.-Hypnotic Suggestion with Asthma (Wagaman, 2001).

057.-Treatment of Chronic Fatigue with Self-Hypnosis (Hammond, 2002).

058.-The Effectiveness of Hypnosis with Surgical Patients (Montgomery et al., 2002).

059.-Complementary Psychotherapy In Dermatology: Hypnosis (Shenefelt, 2002).

060.-A Model of Hypnotic Intervention for Palliative Care (Marcus et al., 2003).

 

VIII.- HYPNOSIS FOR SLEEP DISORDERS: CLINICAL APPLICATIONS

061.-An Hypnotic Technique for Treating Insomnia (Bauer & McCanne, 1980).

062.-Hypnotic Relaxation and Insomnia (Stanton, 1989).

063.-The Use of Indirect Hypnotic Suggestions for Insomnia (Cochrane, 1989).

064.-Suggestions with Sleep Disturbance (Garver, 1990).

065.-Sleep-Terror Disorder in Children: The Role of Self-Hypnosis (Kohen et al., 1991)

066.-The Healing Power of Dreams (Mathieson, 1991).

067.-Treatment of Adults with Sleep Walking and Sleep Terror (Hurwitz et al., 1991).

068.-Chronic Insomnia: Outcome of Hypnotherapeutic Intervention (Becker, 1993).

069.-Brief Hypnotic Treatment of Repetitive Nightmares (Kingsbury, 1993).

070.-Insomnia and Hypnotic Ability (Perlstrom, 1998).

 

IX.-HYPNOSIS FOR SUBSTANCE ADDICTION: CLINICAL APPLICATIONS

071.-Hypnosis Treatment for Smoking: An Evaluative Review (Holroyd, 1980).

072.-The Treatment of Alcohol and Drugs Addiction: An Overview (Waxman, 1985).

073.-Hypnotic Techniques in Drug Addiction Treatment (Collot, 1988).

074.-Use of Single Session Hypnosis for Smoking Cessation (Williams & Hall, 1988).

075.-Hypnosis and Alcoholism (Collot & Saina, 1992).

076.-The Use of Hypnosis in Cocaine Addiction (Page & Handley, 1993).

077.-Hypnotherapy for Substance Abuse (Beiglboeck & Feselmayer, 1994).

078.-Emotional Self-Regulation Therapy for Smoking Cessation (Bayot et al., 1997).

079.-Hypnotic Approaches to Smoking Cessation (Green & Lynn, 2000).

080.-Freedom From Smoking: Integrating Hypnotic Methods (Barber, 2001).


X.-HYPNOSIS & MENTAL HEALTH: MISCELLANEOUS

081.-The Use of Hypnotic Techniques with Psychotic Patients (Baker, 1978).

082.-Clinical Hypnosis and Sex Therapy (Araoz, 1982).

083.-Multiple Personality, Allied Disorders and Hypnosis (Bliss, 1986).

084.-The New Hypnosis in Family Therapy (Araoz & Negley-Parker, 1988).

085.-Hypnotic Strategies in Strategic Marital Therapy (Protinsky, 1988).

086.-Therapy of Vaginismus by Hypnotic Desensitization (Fuchs & Peretz, 1990)

087.-The Hypnotherapy of Irresistible Impulse Disorder (Schafer, 1991).

088.-Hypnotherapy with Severely Disturbed Patients (Murray-Jobsis, 1992).

089.-Psychotherapy of Schizophrenic and Borderline Patients (Zindel, 1992).

090.-Treatment Techniques of Multiple Personality Disorder Patients (Fraser, 1993).

091.-The Hypnotherapeutic Treatment of Anorexia Nervosa (Lynn et al., 1993).

092.-Hypnotherapy in the Treatment of Psychogenic Impotency (Crasilneck, 1993).

093.-Hypnotizability, Dissociation and Bulimia Nervosa (Covino et al., 1994).

094.-Ericksonian Approach to Male Impotence (Fuchs et al., 1995).

095.-Hypnosis in the Treatment of Sexual Trauma (Smith, 1995).

096.-Dissociative Identity Disorder: Perspectives and Controversies (Kluft, 1996).

097.-Hypnotherapeutic Management of Trichotillomania (Kohen, 1996).

098.-Hypnotic Strategies for Somatoform Disorders (Chaves, 1996).

099.-Hypnotherapy for AD/HD: Preliminary Evidence (Bartolo-Abela & Benton, 2002).

100.-Eating Disorders: The Role of Hypnosis (Mantle, 2003).

 

XI.-CONCLUSION

According to a study published in the 1996 issue of the American Journal of Clinical Hypnosis, 79% of the interviewed physicians and 67% of residents had no prior training in Hypnotherapy and even fewer experienced Clinical Hypnosis. However, the ‘good news’ is that 85% of these professionals expressed an ‘interest’ in Clinical Hypnosis education.

We are seeing a shift in health care from a total dependence on the classical or medical model, to a more holistic approach that embraces many alternative forms and strategies of healing, including Clinical Hypnosis and its potential applications in psychotherapy. This ‘shift’ is coming both from within the scientific community, and from the average people, with recent studies showing that as many as 40% to 50 % of individuals have tried alternative or complementary procedures and strategies of treatment.

At the same time, and this is seen in the increasing volume of scientific reports dealing with Clinical Hypnosis and its applications in Mental Health, there is widening scientific acceptance of its therapeutic potential in many mental disorders. The American Medical Association (AMA), The American Psychiatric Association (APA), and the British Medical Association (BMA) have all recognized Clinical Hypnosis as a viable therapeutic tool.

Since its formal birth as a ‘science’, Hypnosis has shown a cyclical evolution with fluctuating levels of interest (and respect) from the scientific community. Hypnotherapy has evolved through a series of research, trial and error, and the application of numerous theories and practices that brought about conclusions.

Today, there are many ‘unresolved’ issues, enigmas and questions concerning the real nature of the Hypnotic phenomena. The continuos and endless search for a unified theory framework has been controversial. Even with the impressive advances in the understanding of psychological and physiological mechanisms involved during hypnotic interaction, theories and models of hypnosis are remarkably numerous, divergent, and contradictories.

Hypnosis knowledge is still evolving and growing as scientists learn and investigate the brain mechanisms more in-depth. It is obvious that we have not realized the full capacity of the human mind and its functioning. Although the manifestations and capabilities of Hypnosis have received increasing acknowledgment, the essence of its key mechanisms remains difficult to discover and define. Today, however,

Hypnotherapy appears to be firmly implanted as a therapeutic tool, and its future is likely to witness its progressive maturation in its varied applications to the wide spectrum of psychotherapeutic practice.

While hypnotherapy is not a cure-all for all psychological and non-psychological disorders its therapeutic use has shown dramatic and significant results. More and more mental health professionals now ‘embrace’ hypnosis, as an effective clinical tool, for a wide variety of mental health problems. Clinical hypnosis offers practitioners the ability to effect change for the better in some of their most difficult and defiant clients.

Hypnosis is a therapeutic approach that is often underutilized, to the disadvantage of both clients and mental health professionals. In view of these considerations, it’s more than evident that hypnosis presents fascinating opportunities for medical and psychotherapeutic research. Today we see applications of clinical hypnosis in virtually every health care field. It is being taught at an ever-growing number of universities and postgraduate training centers.

Hypnosis and its uses in the practice of psychotherapy is rapidly growing and emerging as a highly effective therapeutic approach in solving the health problems of many individuals. Aside from these very tangible promises, the psychological and physiological mechanisms responsible for the vast array of hypnotic phenomena, once fully understood, can open key insights, new opportunities and future psychotherapeutic applications, not only into the most intimate connections of mind-body healing, but into the real nature of consciousness itself.


XII.-REFERENCES

Abela, M.(2000).Hypnotherapy for crohn's disease. Integrative Medic., 2 (2), 127-131.

Alden, P.(1993). The use of hypnosis in the management of pain on a spinal injuries unit. Hypnos,  20 (2), 106-116.

Alden, P. & Heap, M. (1998). Hypnotic pain control: Some theoretical and practical issues. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 46 (1), 62-76.

Alladin, A. (1992). Depression as a dissociative state. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 19 (4), 243-253.

Araoz, D.(1982) Hypnosis and Sex Therapy. New York: Brunner-Mazel.

Araoz, D. & Negley-Parker, E. (1988).The new hypnosis in family therapy. New York: Brunner-Mazel.

Baker, E. (1978). The use of hypnotic techniques with psychotic patients. Asheville: Annual Meeting of the Society for Clinical & Experimental Hypnosis.

Barber, T. (1984). Changing unchangeable bodily processes by hypnotic suggestions: A new look at hypnosis, cognitions, imagining and the mind-body problem. Adv, 1-2, 76-88.

Barber, J. (2001). Freedom from smoking: Integrating hypnotic methods and rapid smoking to facilitate smoking cessation. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 49 (3), 257-266.

Bartolo-Abela, M. & Benton, T. (2002). Hypnotherapy for AD/HD: Preliminary evidence for its effectiveness. Chicago: 110th Annual Convention of the American Psychological Association.

Bauer, K. & McCanne, T. (1980). An hypnotic technique for treating insomnia. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 28 (1), 1-5.

Bayot, A.;Capafons, A. & Cardeqa, E. (1997). Emotional self-regulation therapy: A new and efficacious treatment for smoking. American Journal of Clinical Hypnosis, 40 (2), 146-156.

Becker, P. (1993). Chronic insomnia: Outcome of hypnotherapeutic intervention in six cases. American Journal of Clinical Hypnosis, 36, 98-105.

Beiglboeck, W. & Feselmayer, S. (1994). Systemic and hypnotherapeutic aspects of the psychotherapeutic treatment of substance addiction. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 21 (4), 108-113.

Bindler, P. (1992). Hypnosis and Psychotherapy: The clinical utility of altered states of consciousness. Arlington: Annual Meeting of the Society for Clinical and Experimental Hypnosis.

Bliss, E. (1986). Multiple Personality, Allied Disorders and Hypnosis. Nueva York:Oxford University Press.

Breuer, W. (2000). Physically focused hypnotherapy: A practical guide to medical hypnosis in everyday practice. Louisville.

Brown, D. & Fromm, E. (1986). Hypnotherapy and hypnoanalysis. Hillsdale: Erlbaum.

Brown, D. & Fromm, E. (1987). Hypnosis and behavioral medicine. Hillsdale: Erlbaum.

Brown, D. (1992). Clinical research hypnosis since 1986. In E. Fromm & M. Nash: Contemporany Hypnosis Research (pp.427-458). New York: Guilford Press.

Burrows, G. (1980). Affective disorders and hypnosis. In Burrows, G. & Dennerstein, L., Handbook of hypnosis and psychosomatic medicine (pp 149-170). Amsterdam: Elsevier/North-Holland Biomedical Press.

Cardena, E.; Maldonado, J.; Van der Hart, O. & Spiegel, D. (2002). Hypnosis for posttraumatic conditions. Chicago: Annual Meeting of the American Psychological Association.

Cochrane, G. (1989). The use of indirect hypnotic suggestions for insomnia arising from generalized anxiety: A case report. American Journal of Clinical Hypnosis, 31, 199-203.

Cohen, S. & Williamson, G. (1991). Stress and infectious disease in humans. Psychological Bulletin, 108, 5-24.

Collot, G. (1988). Hypnotic techniques in drug addiction treatment. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 15 (2), 81-86.

Collot, G. & Saina, M. (1992). Hypnosis and alcoholism. In W. Bongartz: Hypnosis: 175 years after Mesmer - Recent developments in theory and application (pp 279-284). Konstanz: Universitaetsverlag.

Covino, N.; Jimerson, D.; Wolf, B.; Franko, D. & Frankel, F. (1994). Hypnotizability, dissociation and bulimia nervosa. Journal of Abnormal Psychology, 103 (3), 455-459.

Crasilneck, H. (1993). The use of hypnotherapy in the treatment of psychogenic impotency: A long term study. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 20 (1), 21-30.

Crawford, H. & Barabasz, A. (1993). Phobias and intense fears:Facilitating their treatment with hypnosis. Washington: American Psychological Association

Chaves, J. (1996). Hypnotic strategies for somatoform disorders. In S. Lynn & I. Kirsch: Casebook of clinical hypnosis (pp 131-151). Washington: American Psychological Association.

Chopra, D. (1991). Perfect Health: The Complete Mind/Body Guide. New York: Random House.

Dane, J. (1996). Hypnosis for pain and neuromuscular rehabilitation with multiple sclerosis: Case summary, literature review, and analysis of outcomes. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 44 (3), 208-231.

Detito, J. & Baer, L. (1986). Hypnosis in the treatment of depression. Psychological Reports, 58 (3), 923-929.

Edgette, H. & Edgette, J. (1995). Handbook of Hypnotic Phenomena in Psychotherapy. New York: Brunner/Mazel.

Eimer, B. & Freeman, A. (1998). Pain management psychotherapy: A practical guide. New York: John Wiley & Sons.

Eimer, B. (2000). Clinical applications of hypnosis for brief and efficient pain management psychotherapy. American Journal of Clinical Hypnosis, 43 (1), 17-40.

Eli, I. & Kleinhauz, M. (1997). Hypnosis and dentistry. In M. Mehrstedt & P. Wikstroem: Hypnosis in Dentistry (pp. 59-70). Muenchen: M. E. G.-Stiftung.

Erickson, M. (1980). The collected papers of Milton H. Erickson on hypnosis, Volumes I-IV. New York: Irvington.

Erickson, M. (1983) Healing in hypnosis: The seminars, workshops & lectures of Milton H. Erickson. New York: Irvington.

Erickson, M. (1986) Mind-body Communication in Hypnosis: The seminars, workshops, & lectures of Milton Erickson. New York: Irvington.

Faymonville, M.;Meurisse, M. & Fissette, J. (1999). Hypnosedation: A valuable alternative to traditional anaesthetic techniques. Acta Chirurgica Belgica, 99 (4), 141-146.

Feldman, C. & Salzberg, H. (1990). The role of imagery in the hypnotic treatment of adverse reactions to cancer therapy. Journal of the South Carolina Medical Association, 86, 303-306.

Fraser, G. (1993). Special treatment techniques to access the inner personality system of multiple personality disorder patients. Dissociation Progress in the Dissociative Disorders, 6 (2-3), 193-198.

Fredericks, L. (2001). The use of hypnosis in surgery and anesthesiology. Springfield: Charles C Thomas.

French, N. (1984). Successful Hypnotherapy. Wellingborough: Thorsons Publishers Ltd.

Fuchs, K. & Peretz, B. (1990). Therapy of Vaginismus by Hypnotic Desensitization. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 17 (4), 190-198.

Fuchs, K.;Zaidise, I. & Peretz, B. (1995). Ericksonian approach to male impotence. In M. Kleinhauz.; B. Peter,; S. Livnay; V. Delano; A. Iost-Peter: Jerusalem lectures on hypnosis and hypnotherapy (pags. 135-144). Muenchen: M. E. G. - Stiftung.

Garver, R. (1990). Suggestions with sleep disturbance. En C. Hammond: Handbook of Hypnotic Suggestions and Metaphors. New York: American Society of Clinical Hypnosis.

Genius, M. (1995). The use of hypnosis in helping cancer patients control anxiety, pain, and emesis: A review of recent empirical studies. American Journal of Clinical Hypnosis, 37 (4), 316-325.

Gilligan, S. (1982). Ericksonian Approaches to Clinical Hypnosis. In J. Zweig: Ericksonian Approaches to Hypnosis and Psythotherapy. New York: Brunner/Mazel.

Graham, K. (1991). Hypnosis: A case study in science. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 17, 78-84.

Gravitz,M(2001). Percepual reconstruction in the treatment of inordinate grief. American Journal of Clinical Hypnosis, 44 (1), 51-55.

Gravitz, M. (2002). Hypnosis in the conquest of pain. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 29, 19-28.

Gravitz, M. & Page, R. (2002). Hypnosis in the management of stress reactions. In G. Everly y J. Lating: A clinical guide to the treatment of the human stress response. (pp. 241-252). New York: Kluwer/Plenum.

Green, J. & Lynn, S. (2000). Hypnosis and suggestion-based approaches to smoking cessation: An examination of the evidence. Washington: Annual Meeting of the American Psychological Association.

Gruzelier, J. (2002). A review of the impact of hypnosis, relaxation, guided imagery and individual differences on aspects of immunity and health. Stress, 5, 147-163.

Hadley, J. (1997). Hypnosis for Overcoming Depression. Audio Prod.

Hall, H. (1983). Hypnosis and the immune system: A review with implications for cancer and the psychology of healing. American Journal of Clinical Hypnosis, 25 (2-3), 92-103.

Hammond, D. (2002). Treatment of chronic fatigue with neurofeedback and self-hypnosis NeuroRehabilitation, 16, 1-6.

Hart, B. (1992). Hypnosis with anxiety disorders. American Journal of Preventive Psychiatry & Neurology, 3, 8-12.

Heap, M.; Aravind, K. & Power-Smith, P. (1994). A psychosomatic medicine research clinic. Hypnos, 21 (4), 171-175.

Hensel, C.; Sapp, M.; Farrell,W. & Hitchcock, K. (2001). A Survey of members of ASCH, SCEH, and Division 30, and if they reported using hypnosis to treat depression. Sleep & Hypnosis, 3 (4), 152-166.

Holroyd, J. (1980). Hypnosis treatment for smoking: An evaluative review. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 28 (4), 341-357.

Hurwitz,T.; Mahowald, M.; Schenck, C.;Schluter, J. & Bundlie, S. (1991). A retrospective outcome study and review of hypnosis as treatment of adults with sleep walking and sleep terror. Journal of Nervous & Mental Disease, 179, 228-233.

Kelly, S. & Kelly, R. (1995). Cancer. In S. Kelly: Imagine yourself well: Better health through self-hypnosis (pp 261-268). New York: Plenum Press.

Kingsbury, S. (1993). Brief hypnotic treatment of repetitive nightmares. American Journal of Clinical Hypnosis, 35 (3), 161-169.

Kirsch, I.;Montgomery, G. & Sapirstein, G. (1995). Hypnosis as an adjunct to cognitive behavioral psychotherapy: A meta-analysis. Journal of Consulting & Clinical Psychology, 63 (2), 214-220.

Kluft, R. (1996). Dissociative Identity Disorder: Perspectives on recent findings and current controversies. In B. Peter; B. Trenkle; F. Kinzel; C. Duffner & A. Iost-Peter: Munich lectures on hypnosis and psychotherapy (pp.45-67).Muenchen: M. E. G.- Stiftung.

Kohen, D.; Mahowald, M. & Rosen, Gerald M. (1991). Sleep-Terror Disorder in Children: The Role of Self-Hypnosis in Management. American Journal of Clinical Hypnosis, 34 (4), 233-244.

Kohen, D. (1996). Hypnotherapeutic management of pediatric and adolescent trichotillomania. Developmental & Behavioral Pediatrics, 17 (5).

Kraft, T. (1993). Using hypnosis with cancer patients: Six case studies. Contemporary Hypnosis, 10, 43-48.

Large, R. (1994). Hypnosis for chronic pain: A critical review. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 21 (4), 234-237.

Lenk, W. (1992). Hypnotherapeutic treatment of a cancer patient. In W. Bongartz: Hypnosis: 175 years after Mesmer - Recent developments in theory and application (pp. 367-374). Konstanz: Universitaetsverlag.

Levenson, J. & Bemis, C (1991). The role of psychological factors in cancer onset and progression. Psychosomatics, 32, 124-132.

Levitt, E. (1992). Hypnosis in the treatment of obesity. Washington: Annual meeting of the American Psychological Association.

Lynch, D. (1999). Empowering the patient: Hypnosis in the management of cancer, surgical disease and chronic pain. American Journal of Clinical Hypnosis, 42 (2), 122-130.

Lynn, J.;Rhue, J.; Kvaal, S. & Mare, C. (1993). The treatment of anorexia nervosa: A hypnosuggestive framework. Contemporary Hypnosis, 10 (2), 73-80.

Lynn, S.; Kirsch, I. & Rhue, J. (1996). Casebook of Clinical Hypnosis. Washington: American Psychological Association.

Mantle, F. (2003). Eating disorders: the role of hypnosis. Paediatr Nrs., 15 (7), 42-45.

Marcus, J.; Elkins, G. & Mott, F. (2003). A model of hypnotic intervention for palliative care. Adv Mind Body Med., 19 (2), 24-27.

Mathieson, A. (1991). The healing power of dreams. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 18 (2), 85-89.

Montgomery, G.; David, D.; Winkel, G.; Silverstein, J. & Bovbjerg, D. (2002). The effectiveness of adjunctive hypnosis with surgical patients: A meta-analysis. Anesthesia and Analgesia, 94, 1639-1645.

Moore, K. & Burrows, G. (1991). Hypnosis in the treatment of obsessive-compulsive disorder. Australian Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 19 (2), 63-75.

Morgan, J.; Darby, B. y Heath, B. (1992). The future of hypnosis through the remainder of the decade: A Delphipoll. American Journal of Clinical Hypnosis, 34 (3), 149-157.

Mow, K. (1994). Treatment of psychoneurosis and depression with medical hypnoanalysis. Med Hypnoanalysis J., 9, 167-176.

Murray-Jobsis, J. (1992). Hypnotherapy with severely disturbed patients: Presentation of case studies. In W. Bongartz: Hypnosis: 175 years after Mesmer - Recent developments in theory and application (pp. 301-308). Germany: Universitaetsverlag.

Nadon, R. (1995). Scientific hypnosis is clinical hypnosis. San Antonio: Annual meeting of the Society for Clinical and Experimental Hypnosis.

Page, R. & Handley, G. (1993). The use of hypnosis in cocaine addiction. American Journal of Clinical Hypnosis, 36, 120-123.

Perlstrom, J. (1998). Insomnia, hypnotic ability, negative affectivity, and the high risk model of threat perception. San Francisco: Annual Meeting of the American Psychological Association.

Peter, B. (1997). Hypnosis in the treatment of cancer pain. Australian Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 25 (1), 40-52.

Protinsky, H. (1988). Hypnotic strategies in strategic marital therapy. Journal of Strategic and Systemic Therapy, 7, 29-34.

Rossi, E. & Cheek, D. (1988). Mind-body Therapy. New York: Norton.

Rossi, E. (1993). The psychobiology of mind-body healing. New York: Norton.

Sapp, M. (1992). Relaxation and hypnosis in reducing anxiety and stress. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 13 (2), 39-55.

Schafer, D. (1991). The hypnotherapy of irresistible impulse disorder - a case of pedophilia. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy and Psychosomatic Medicine, 18 (1), 4-7.

Schoenberger, N.; Kirsch, I.; Gearan, P.; Montgomery, G. & Pastyrnak, S. (1997. Hypnotic enhancement of a cognitive behavioral treatment for public speaking anxiety. Behavior Therapy, 28, 127-140.

Seagrave, A. & Covington, F. (1987). Free from fears. New York: Simon & Schuster.

Shenefelt, P. (2002). Complementary psychotherapy in dermatology: Hypnosis and biofeedback. Clinics in Dermatology, 20 (5), 595-601.

Simonton, O.;Henson, R. & Hampton, F. (1992). The healing journey. New York: Bantam.

Simonton,C. (1992). Psychoneuroimmunology, the mind, counseling and cancer. In W. Bongartz: Hypnosis: 175 years after Mesmer - Recent developments in theory and application (pp. 363-366). Konstanz: Universitaetsverlag

Smith, W. (1995). Hypnosis in the treatment of sexual trauma: A master class commentary. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 43 (4), 366-368.

Spanos, N. (1989). Experimental research on hypnotic analgesia. In N. Sapnos & J. Chaves: Hypnosis: The Cognitive-Behavioral Perspective (pp. 206-240). Buffalo: Prometheus.

Spanos, N.; Carmanico, S. & Ellis, J. (1994). Hypnotic analgesia. In P. Wall & R. Melzack: Textbook of pain (pp. 1349-1366). Edinburgh: Churchill Livingstone.

Spiegel, H. & Spiegel, D. (1987). Trance and treatment: Clinical uses of hypnosis. Washington: American Psychiatric press.

Spiegel, D. (1993). Hypnosis in the treatment of Post-traumatic stress disorder. In J. Rhue; S. Lynn & I. Kirsch: Handbook of Clinical Hypnosis (pp. 493-508). Washington: American Psychological Association.

Spiegel, D. (1994). Acute stress disorder and dissociation in DSM-IV. San Francisco: Annual Meeting of the Society for Clinical and Experimental Hypnosis.

Stanton, H. (1985). Permissive vs authoritarian approaches in clinical and experimental settings. In J. Zeig: Ericksonian Psychotherapy. Volume I (pp. 293-304) New York: Brunner/Mazel.

Stanton, H. (1989). Hypnotic relaxation and insomnia: A simple solution? Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 16, 98-103.

Tart, C. (1969). Altered states of consciousness: A book of readings. New York: Wiley & Sons.

Temes, R. (1999). Medical hypnosis: An introduction and clinical guide. New York: W. B. Saunders.

Trijsburg, R.;Van Knippenberg, F. & Rijpma, S. (1992). Effects of psychological treatment on cancer patients: A critical review. Psychosomatic Medicine, 54, 489-517.

Vidakovic-Vukic, M. (1999). Hypnotherapy in the treatment of irritable bowel syndrome: methods and results in Amsterdam. Scand J Gastroenterol, 230, 49-51.

Wagaman, M. (2001). Hypnotic suggestion with asthma. San Francisco: Annual Meeting of the American Psychological Association.

Waxman, D. (1985). The treatment of alcohol and drugs addiction: An overview. In D. Waxman; P. Misra; M. Gibson & M. Basker: Modern trends in hypnosis (pp 277-287). New York: Plenum Press.

Weiss, M. (1993). Ericksonian hypnotherapy for pain control during and following cancer surgery. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 14 (2), 53-74.

Weitzenhoffer, A. (1989). The practice of hypnotism, vols. I-II. New York: Wiley & Sons.

Whalley, M. & Oakley, D. (2003). Psychogenic pain: A study using multidimensional scaling. Contemporary Hypnosis, 20, 16-24.

Williams, J. & Hall, D. (1988). Use of single session hypnosis for smoking cessation. Addictive Behaviors, 13, 205-208.

Yapko, M. (1989). Brief Therapy Approaches to Treating Anxiety and Depression. New York: Brunner/Mazel.

Yapko, M. (1992). Hypnosis and the treatment of depression. New York: Brunner/Mazel.

Yapko, M. (2001). Hypnosis in treating symptoms and risk factors of major depression. American Journal of Clinical Hypnosis, 44 (2), 97-108.

Yapko, M. (2001). Treating depression with hypnosis: Integrating cognitive-behavioral and strategic approaches. New York: Brunner-Routledge.

Zindel, J. (1992). Hypnosis in the psychotherapy of schizophrenic and borderline patients. In W. Bongartz: Hypnosis: 175 years after Mesmer - Recent developments in theory and application (pp. 309-314). Germany: Universitaetsverlag.

(source: http://www.hypnosisonline.com/papers/80.htm) 

Baca Selengkapnya

Benarkah Regresi Tidak Perlu dan Berbahaya?

10 Juni 2016

Artikel ini adalah jawaban dari pertanyaan seorang Sahabat, kebetulan juga seorang hipnoterapis, setelah ia membaca satu tulisan bahwa regresi dapat mengungkap kejadian traumatik yang justru akan sangat merugikan dan bisa membahayakan diri klien. 

Benarkah demikian?

Jawabannya, "Ya dan tidak, bergantung pada kecakapan hipnoterapis yang melakukan terapi dan teknik yang ia kuasai."

Regresi adalah proses menuntun klien mundur menyusuri garis waktu di dalam pikirannya dengan tujuan menemukan kejadian atau peristiwa yang menjadi akar dari masalah klien di saat ini. 

Ada banyak teknik regresi. Salah satu teknik paling cepat dan akurat untuk menemukan akar masalah, dari pengalaman klinis kami, adalah jembatan afek (affect bridge). 

Untuk bisa mencapai akar masalah, yang secara teknis disebut initial sensitizing event (ISE), biasanya akan melewati satu atau beberapa kejadian lanjutan setelah ISE yang dinamakan subsequent sensitizing event (SSE). 

Perjalanan dari masa sekarang menuju ke ISE adalah perjalanan penuh dinamika dan butuh keterampilan serta rasa percaya diri tinggi untuk menavigasi pikiran klien dengan benar dan tepat sasaran.

Bila regresi dilakukan dengan benar, saat klien sampai di satu kejadian spesifik, ia mengalami kembali kejadian yang telah terjadi di masa lampau namun ia mengalaminya sekarang lengkap dengan emosi yang intens. Kondisi ini disebut revivifikasi. 

Bila proses regresi hanya sebatas menemukan atau mengungkap satu kejadian sehingga klien mengalami revivifikasi dan terapis tidak memroses kejadiannya atau mungkin tidak mampu, maka regresi seperti ini tentu sangat berbahaya dan merugikan klien. 

Kondisi ini sama seperti dokter melakukan bedah untuk menemukan tumor dan setelah menemukannya, lebih tepatnya setelah tahu lokasi, bentuk, dan ukuran tumor, tidak dilakukan tindakan apapun. Yang penting sudah berhasil ditemukan dan diketahui. 

Apakah prosedur ini akan menyembuhkan pasien? Tentu tidak. Bila hanya sekedar ingin tahu dan tidak dilakukan tindakan apapun, lalu buat apa merepotkan diri dan membahayakan hidup pasien dengan melakukan pembedahan?

Sama dengan regresi. Saat ISE berhasil ditemukan dan kejadiannya tidak diproses, ini tidak terapeutik tapi justru traumatik. Dengan kata lain klien mengalami trauma ulang dan ini adalah satu bentuk malapraktik berat. 

Regresi bersifat terapeutik bila setelah akar masalah berhasil ditemukan, dilanjutkan dengan resolusi trauma menggunakan teknik yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan klien. Secara ringkas, kejadian traumatik ini diproses hingga tuntas sehingga setelahnya menjadi netral dan tidak lagi memengaruhi klien. Dalam bahasa sehari-hari, ini yang disebut dengan sembuh. 

Jadi, apakah regresi tidak perlu atau berbahaya?

Jawabannya, "May...may be yes...may be no." Semua bergantung pada kecakapan hipnoterapis. 

Dari diskusi dengan banyak sejawat hipnoterapis, baik saat jumpa langsung atau melalui email, saya bisa memahami kendala yang mereka alami saat melakukan regresi, khususnya regresi dengan jembatan afek. Kendalanya bukan mereka tidak mampu melakukan regresi namun lebih pada apa yang akan dilakukan setelah regresi berhasil mengungkap akar masalah. 

Di sinilah poin sangat penting yang sayangnya tidak mampu mereka lakukan dengan baik dan benar. Menemukan akar masalah adalah satu hal. Memroses akar masalah adalah hal lain. 

Untuk mampu melakukan regresi dan memroses akar masalah dengan benar dan efektif, semasa pendidikan, calon hipnoterapis perlu mendapat uraian teoritik detil dan mendalam dan juga perlu melihat langsung sesi terapi yang dilakukan trainer kepada klien sungguhan, bukan sekedar latihan, di depan kelas. Di sinilah duplikasi sesungguhnya mulai diajarkan. Bila peserta hanya membaca workbook tanpa melihat langsung proses terapi, pemahaman, khususnya tentang regresi, menjadi dangkal dan tidak aplikatif. 

Hipnoterapi per se pada prinsipnya netral, hanyalah salah satu modalitas terapi, dan tidak berbahaya. Hipnoterapi menjadi berbahaya bila dipraktikkan oleh individu yang tidak cakap atau dipraktikkan dengan sangat terampil untuk tujuan yang tidak baik. 

Demikianlah kenyataannya......

Baca Selengkapnya

Induksi, Kedalaman, Fenomena Hipnosis, dan Terapi

9 Juni 2016

Hipnoterapi terdiri atas dua kata, hipnosis dan terapi. Hipnosis, secara sederhana, didefiniskan sebagai kondisi kesadaran khusus yang umumnya dijabarkan menjadi tiga kedalaman, dangkal, menengah, dan dalam. Untuk dapat berpindah dari kondisi sadar normal ke kondisi hipnosis dibutuhkan cara atau upaya yang disebut induksi.

Secara prinsip, terdapat sepuluh teknik dasar induksi. Dari sepuluh teknik ini selanjutnya dikembangkan beragam teknik induksi sesuai preferensi dan kreativitas terapis dan juga bergantung pada kebutuhan, situasi, dan kondisi klien.

Terdapat perbedaan di antara para hipnoterapis dalam menyikapi durasi induksi ideal yang digunakan di ruang praktik. Induksi bisa berlangsung hanya dalam beberapa detik, beberapa menit, hingga puluhan menit, satu jam, dan bahkan ada yang lebih lama lagi. Semua bergantung teknik induksi yang digunakan.

Berapa lama idealnya satu induksi dilakukan? Pertanyaan yang lebih tepat adalah berapa kedalaman trance yang perlu dicapai klien sebagai syarat terapi dapat dilakukan dengan efektif. Lama induksi sifatnya relatif dan sepenuhnya bergantung dinamika di ruang praktik.

Kedalaman (trance) yang dimaksud bukan seberapa dalam subjek “turun” namun lebih berhubungan dengan derajat keterlepasan dari lingkungan luar diri, perhatian yang sempit dan fokus, dan meningkatnya respon terhadap sugesti atau bimbingan operator. 

Trance memiliki dua komponen penting yaitu kedalaman dan kestabilan. Kedalaman trance diukur menggunakan kriteria fisik dan mental. Indikasi trance secara fisik antara lain mata menatap jauh, pandangan terkunci pada satu objek, pupil mata melebar, terdapat jeda dalam merespon, napas melambat dan ritmik, wajah datar, respon menjawab lambat. Sementara indikasi trance secara mental antara lain amnesia, halusinasi (visual, auditori, kinestetik), dan terjadi distorsi waktu. Dari pengalaman klinis, indikasi yang lebih akurat dalam mengetahui kondisi dan kedalaman trance adalah indikasi mental, bukan fisik.

Kestabilan trance merujuk pada konsistensi kedalaman yang dialami individu dalam rentang dan waktu tertentu. Kestabilan ini sangat penting karena kedalaman trance tidak bersifat linier atau statis namun fluktuatif dalam kurun waktu tertentu. Subjek hipnotik yang sangat terlatih sekalipun tetap mengalami fluktuasi ini. Dengan demikian sangat penting, dalam konteks terapi, klien berada di kedalaman yang sesuai dengan teknik yang digunakan oleh terapis dan berada di kedalaman ini dalam kurun waktu sesuai kebutuhan dan durasi terapi. 

Individu juga bervariasi dalam kapasitas mereka mengalami fenomena trance tertentu. Seseorang bisa mudah mengalami amnesia bisa jadi sulit atau tidak bisa halusinasi, sementara yang lain justru sebaliknya.

Adalah satu kekeliruan serius bila terapis berasumsi bahwa kemampuan untuk masuk trance yang dalam dan objektif terapeutik adalah sama. Hipnoterapis pemula biasanya akan takjub dengan berbagai fenomena hipnotik yang muncul dalam kondisi trance dalam. Seiring waktu berjalan, dengan semakin banyak praktik, hipnoterapis berpengalaman menyadari bahwa  capaian terapeutik tidak bergantung pada dan tidak ditentukan oleh kapasitas memunculkan fenomena hipnotik.

Dari temuan klinis, somnambulis, individu yang dapat masuk ke kondisi trance dalam dengan cepat dan mudah, bisa gagal atau sulit mencapai hasil terapi yang diinginkan dibanding dengan klien yang sulit trance.

Wilson dan Barber (1983:377) menyatakan, “Whether an individual is an excellent hypnotic subject in that he or she responds profoundly to classical hypnotic suggestion is not correlated with his or her responsiveness to therapeutic suggestions to lose weight, stop smoking, become relieved of back pain, and other aliments.”

Inti pernyataan Wilson dan Barber di atas adalah klien yang responsif pada sugesti hipnotik klasik, memunculkan berbagai fenomena hipnotik, tidak serta merta responsif pada sugesti terapeutik.

Hipnoterapis perlu fokus pada goal terapeutik dan tidak terpaku atau terpesona hanya pada fenomena hipnotik yang dapat dimunculkan pada diri klien. Kondisi hipnosis sendiri tidak terapeutik namun adalah media yang membantu pencapaian goal terapeutik.

Teknik hipnoterapi secara garis besar terbagi dua yaitu berbasis sugesti dan hipnoanalisis. Untuk teknik berbasis sugesti, secara umum, semakin dalam semakin baik. Namun yang perlu dipastikan, klien masih tetap dalam kondisi sadar walau telah berada dalam kondisi trance yang (sangat) dalam. Bila klien tertidur, sugesti tidak bisa didengar dan dengan demikian tidak akan efektif. Agar sugesti bisa bekerja maksimal dan efektif membantu perubahan diri klien, terapis perlu memahami cara menyusun sugesti mengikuti kriteria tertentu yang sejalan dengan hukum dan sifat pikiran bawah sadar.

Untuk melakukan teknik hipnoanalisis, jembatan afek, regresi, revivifikasi, dan aktivasi trancelogic secara efektif membutuhkan kedalaman trance yang presisi, fluktuatif di antara rentang threshold somnambulism hingga profound somnambulism.

Keberhasilan terapi, selain bergantung pada pendekatan dan teknik yang digunakan oleh terapis, juga bergantung pada faktor TEAM atau trust, expectation, attitude, dan motivation klien.

Trust adalah rasa percaya klien terhadap terapis. Ini adalah hal sangat mendasar yang menjadi penentu proses dan hasil terapi. Expectation adalah pengharapan realistis klien untuk sembuh. Sementara attitude adalah sikap kooperatif klien saat menjalani proses terapi mulai awal hingga akhir. Motivation atau motivasi adalah dorongan nyata dan personal yang berasal dari dalam diri klien dan ditentukan oleh apakah klien datang ke terapis atas kemauan atau kesadarannya sendiri untuk sembuh atau karena desakan, rayuan, atau paksaan pihak lain.

Baca Selengkapnya

Amnesia Hipnotik

22 Mei 2016

Amnesia adalah kondisi hilangnya memori, biasanya akibat kerusakan otak akibat benturan atau kecelakaan, kondisi terguncang, kelelahan, represi, atau sakit. Amnesia hipnotik adalah lupa atau “kehilangan memori” yang berhubungan dengan atau disebabkan oleh pengalaman hipnotik dan bukan karena faktor di atas.

Dalam amnesia hipnotik, materi yang “hilang” dapat dimunculkan atau diingat kembali dengan menggunakan sugesti. Prosesnya adalah dengan membalik kondisi lupa menjadi ingat.  

Terdapat beragam  bentuk atau jenis amnesia hipnotik yang dapat dikenali atau dibedakan berdasar tugas yang diberikan pada subjek, ketiadaan atau penggunaan sugesti spesifik dan waktu pengujian amnesia dilakukan. Beberapa peneliti dan penulis seperti Thorn (1960), Evans (1965b), dan Hilgard (1965a, 1965b, 1966) mendiskusikan hal ini dalam tulisan mereka.

Di tahun 1995, Hilgard (1965b) menulis tentang ragam amnesia hipnotik berikut:

-       Amnesia (mengingat) pascahipnosis : amnesia terhadap kejadian atau peristiwa yang dialami subjek saat dalam kondisi hipnosis. Amnesia ini biasanya bersifat spontan dan adalah salah satu karakteristik kondisi hipnosis yang (sangat) dalam.

-       Amnesia sumber pascahipnosis: subjek memelajari sesuatu dalam kondisi hipnosis, hasil belajar dapat diingat saat subjek telah kembali ke kondisi sadar normal, namun ia tidak ingat proses belajarnya dan juga tidak ingat bahwa ini dipelajari dalam kondisi hipnosis.

-       Amnesia pascahipnosis untuk materi yang dipelajari dalam kondisi hipnosis: saat telah kembali ke kondisi sadar normal subjek tidak bisa mengingat materi yang ia pelajari.

-       Amnesia parsial pascahipnosis: amnesia yang berlaku hanya pada sebagian materi atau informasi yang dipelajari dalam kondisi hipnosis.

-       Amnesia dalam kondisi trance untuk kejadian atau pengalaman dalam trance yang dialami sebelumnya, saat klien dalam kondisi hipnosis.

Amnesia lain, selain yang telah disebutkan di atas, adalah amnesia simbolik (Strickler, 1929), amnesia sensori dan amnesia integrasi (Wright, 1966). Namun tidak banyak informasi atau penelitian lanjut tentang amnesia ini.

Amnesia spontan sering, dipikir, terjadi tanpa kehadiran sugesti. Amnesia yang disugestikan kepada subjek terjadi mengikuti sugesti spesifik yang diberikan oleh operator. Dalam praktiknya, amnesia spontan, atau yang dianggap spontan, bisa saja terjadi akibat sugesti tidak langsung atau karena faktor pengharapan baik oleh subjek dan atau operator.

Dalam konteks klinis, kerap terjadi klien, usai terapi, tidak bisa mengingat sebagian atau bahkan keseluruhan proses terapi yang ia alami. Amnesia spontan ini, cepat atau lambat, akan memudar dan klien bisa mengingat kembali sebagian atau keseluruhan pengalaman terapinya. Bila klien tetap mengalami kesulitan mengingat pengalaman terapinya, terapis bisa membantu memulihkan ingatannya dengan memberi sugesti.  

Amnesia atau lupa akibat sakit, kelelahan, atau represi, secara teknis dapat dipulihkan karena amnesia jenis ini bukan disebabkan oleh kerusakan otak.  

Satu kondisi khusus yang bisa terjadi, saya belum pernah membaca literatur mengulas tentang hal ini namun bisa mengajukan hipotesa berdasar teori dan pengalaman klinis, amnesia hipnotik dapat dibuat “permanen” dengan memberi segel hipnotik ke pikiran bawah sadar klien.

Baca Selengkapnya

Skala Hipnosis

28 April 2016

Diskusi tentang hipnosis dan produksi efek sugesti minimal membahas tiga hal terpisah maupun bersama: respon individu terhadap sugesti dalam kondisi hipnosis, “kedalaman” atau “derajad” hipnosis, dan kapasitas hipnosis.

Semakin dalam subjek masuk ke kondisi hipnosis diyakini semakin baik efek sugesti yang dihasilkan karena ia menjadi semakin sugestif. Saat hipnotis/hipnoterapis melakukan induksi, membimbing subjek masuk ke kondisi hipnosis, sering terdengar kalimat, “……masuk lebih dalam… lebih rileks… semakin dalam…”

Penggunaan kata “lebih dalam” sebenarnya kurang tepat. Subjek tidak masuk lebih dalam. Yang terjadi adalah subjek menjadi semakin responsif terhadap sugesti yang disampaikan oleh hipnotis/hipnoterapis. Dan ini tentu berhubungan dengan kesediaan dan partisipasi subjek dalam proses yang ia jalani. Subjek dikatakan tidak sugestif sejatinya adalah subjek yang belum terlatih untuk (lebih) responsif. Kemampuan respon dapat dilatih dan dikembangkan.  

Dalam dunia hipnosis dikenal “suggestibility", "susceptibility", dan "hypnotizability". Ketiganya menjelaskan hal yang sama yaitu kemampuan individu mengalami kondisi hipnosis atau hypnotic trance, biasanya dengan cara self-hypnosis atau dengan bantuan orang lain sebagai operator.

Untuk mengukur tingkat kemudahan individu mengalami kondisi hipnosis para pakar telah mengembangkan banyak skala.

Liébeault (1866, 1889) mungkin adalah yang pertama mengemukakan tentang skala hipnosis, yang kala itu disebut dengan “magnetic scale”. Selanjutnya Bernheim (1884) juga mempublikasi skala hipnosis yang adalah modifikasi dari skala Liébeault. Skala Bernheim terdiri atas sembilan kelompok fenomena yang bisa timbul dalam diri subjek akibat sugesti verbal dan nonverbal.

White (1930) mengembangkan skala yang dikenal dengan White Scale menggunakan skor kuantitatif dari sugesti spesifik yang disusun mulai dari sugesti yang sifatnya mudah hingga yang sulit.

Davis dan Husband (1931) mengembangkan skala yang terdiri atas lima kategori dengan total tiga puluh poin/angka, mulai satu sampai tiga puluh.Masing-masing angka mewakili uji dan respon sugesti spesifik.

Friedlander dan Sarbin (1938) menulis tentang “kedalaman hipnosis” yang secara konteks sama dengan yang dikemukakan oleh Davis dan Husband (1931).

LeCron dan Bordeaux (1947) menyusun skala hipnosis yang terdiri atas tujuh kategori dengan total lima puluh poin.

Weitzenhoffer dan Hilgard (1959, 1962, 1963, 1967) memodifikasi skala Firedlander dan Sarbin (1938) dan mencipta tiga skala baru yang dikenal dengan Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A and B, Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Form C, dan Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility. Masing-masing skala lebih sering disebut sebagai SSHA:A,B, SSHS:C, dan SPSHS:I,II.

Standford Scales dan skala turunannya juga dapat diberlakukan pada banyak individu (kelompok) secara bersamaan. Skala yang paling terkenal untuk ini adalah Harvard Group Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A dan B (Shor dan Orne, 1962), dan lebih dikenal dengan HGSHS:A,B. Masih ada skala lain, untuk kelompok, namun jarang dikenal yaitu Waterloo-Stanford Group C (WSGC) Scale of Hypnotic Susceptibility (Bowers, 1993/1998).

Beberapa skala yang memodel atau turunan dari Standford Scales antara lain London’s Childre’s Hypnotic Susceptibility Scale, CHSS (London, 1963; Cooper dan London, 1978,1979).

Menjawab penolakan para klinisi untuk menggunakan Stanford Scales karena butuh waktu lama untuk aplikasi pada klien, Universitas Stanford kemudian mengembangkan tiga skala lagi yaitu the Stanford Clinical Scale for Adults (Morgan dan Hilgard, 1978,1979), the Stanford Clinical Scale for Children (Morgan dan Hilgard, 1978,1979), dan the Stanford Hypnotic Arm Levitation Induction and Test (SHALT) (Hilgard, Crawford, dan Wert, 1979).

Harry Aron (1969) mengembangkan skala yang terdiri atas enam kategori kedalaman dan dikenal dengan Aron’s Depth Scale.

Selain skala di atas juga terdapat skala yaitu Barber Suggestibility Scale, BSS, (Barber dan Glass, 1962), dan Barber Creative Imagination Scale, CIS, (Barber dan Wilson, 1978, 1979).

Skala yang bertujuan mengukur pengalaman subjektif hipnotik pertama kali dikemukakan oleh LeCron (1953) dan sering disebut sebagai LeCron Scales atau LeCron Subjective Depth Estimation Scale (LSDES).

Terdapat turunan dari skala LeCron, salah satunya dikembangkan oleh Tart (1972, 1978/1979) dan dikenal dengan Tart Scales.

Skala yang berdasar pada pengalaman klien yang dihipnosis, pertama kali dikembangkan oleh Field (Field, 1965; Field dan Palmer, 1969) dan dikenal dengan Field Inventory yang terdiri atas tiga puluh pertanyaan yang merujuk pada pengalaman subjektif subjek saat dihipnosis. Skala serupa yang lebih baru adalah Pekala’s Phenomonology of Consciousness Inventory, CPI, (Pekala dan Kumar, 1984, 1987; Pekala 1991). Kedua skala ini bertujuan mengukur hal-hal yang diukur oleh Skala Stanford namun dengan cara yang berbeda dan atau lebih baik.

Teknik berbeda dalam pengukuran suseptibilitas subjek diajukan oleh Spiegel (Spiegel 1972; Spiegel dan Spiegel, 1978), dikenal sebagai Hypnotic Induction Profile atau HIP.

Satu hal menarik yang saya peroleh melalui riset literatur yaitu Ernest Rossi (1986), salah satu murid Milton Erickson, juga telah mencoba mengembangkan skala, Indirect Trance Assessment Scale (ITAS), untuk secara tidak langsung menilai kehadiran “trance” hipnotik yang dihasilkan melalui induksi informal. ITAS memberi skor namun tidak jelas skor ini merujuk pada aspek trance yang mana. 

Skala-skala lain yang perlu disebutkan untuk melengkapi berbagai skala yang telah disampaikan di atas antara lain Arizona Motor Scale of Hypnotizability (AMSH) (1994), pertama kali dikembangkan di Universitas Arizona untuk meneliti perbedaan antara sugesti “langsung” dan “tantangan” dalam faktor struktur hipnosis. Skala ini diberi nama demikian karena fokus pada sugesti ideomotor dalam domain hipnosis (Hilgard, 1965; Kihsltrom, 2008).

Eysenck dan Furneaux (1945) mengembangkan Eysenck & Furneaux Scale guna meneliti sugestibilitas primer dan sekunder. Yang termasuk di dalamnya antara lain menutup mata, relaksasi, katalepsi, halusinasi, dan amnesia, dan hanya digunakan untuk penelitian penulisnya sendiri.

Gudjonsson (1984) mengembangkan Gudjonsson Suggestibility Scale (GSS) mengukur sugestibilitas interogatif. Ini berbeda dengan sugestibilitas hipnotik/imajinatif. Sugesbilitas interogatif cenderung tidak berkorelasi dengan sugestibilitas hipnotik.

Satu bentuk tes lain yang unik yang mengukur sugestibilitas sensori dikembangkan oleh Gheorghiou, Polczyk, dan Kappeller (2003) dikenal dengan Warmth Suggestibility Scale (WSS).

Di tahun 2010, setelah memelajari banyak skala yang telah disebutkan di atas, dilengkapi dan diperkaya dengan berbagai data empiris hasil penelitian yang kami lakukan, saya menyusun skala kedalaman hipnosis terdiri atas empat puluh poin lengkap dengan berbagai fenomena hipnotik yang dapat dimunculkan pada setiap kedalaman. Saya menamakan skala ini Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale dan menjadi acuan para hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology dalam menjalankan praktik hipnoterapi klinis. 

Baca Selengkapnya

Mengatasi Pikiran Negatif Dengan Mengubah Memori

26 April 2016

Pikiran negatif yang tidak diinginkan adalah komponen inti dari masalah seperti adiksi dan gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD).

Penderita PTSD sering mengalami gangguan berupa munculnya memori dari pengalaman traumatik tertentu, misalnya kecelakaan atau kejadian yang mengandung unsur kekerasan, di mana memori ini muncul dengan sendirinya, sewaktu-waktu, dan sangat mengganggu.

Pada penderita adiksi, perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh memori saat mereka melakukan atau mengkonsumsi zat adiktif dan ini terus mendorong mereka mengulangi tindakan yang sama di masa depan. Ini tentu berbeda dengan, dan jauh lebih ekstrim, dari munculnya memori mengenai pengalaman yang memalukan atau pengalaman menyakitkan yang pernah dialami seseorang.

Namun, apa jadinya bila ternyata kita mampu mengubah memori trauma atau penggunaan obat terlarang?

Menurut kajian baru yang dipublikasi di jurnal Biological Psychiatry adalah mungkin untuk secara lebih efektif menarget satu bagian dari proses pembelajaran yaitu rekonsolidasi (Schwabe dkk., 2014).

Proses belajar meliputi beberapa tahap. Dimulai dari pembentukan memori awal (aktif), kosolidasi, memori tersimpan (inaktif), pengambilan, memori tersimpan (aktif), dan rekonsolidasi.

Rekonsolidasi adalah titik di mana memori tersimpan dipangil dan, menurut riset terkini, pada titik inilah memori dapat diubah.

(Komentar AWG: Hmm… ini sama dengan teknik RH yang kami lakukan selama ini. Namun untuk melakukan modifikasi memori secara efektif dibutuhkan trance yang dalam sehingga pikiran sadar tidak melakukan analisis dan menolak perubahan ini.)

Selama tahap rekonsolidasi memori menjadi tidak stabil dan lebih mudah diubah. Memori dapat dimodifikasi bahkan bertahun-tahun setelah ia terbentuk. Inilah hal efektif yang dilakukan banyak terapis saat mereka berusaha menangani klien yang mengalami pikiran yang mengganggu.

Klien didorong untuk mengingat memori tertentu kemudian terapis mencoba menyesuaikan respon klien terhadap memori itu. Sayangnya, seringkali memori asli sangat kuat sehingga sulit bagi terapis membantu klien menyesuaikan respon.

(Komentar AWG: Memori asli sangat kuat dan dari pengalaman klinis kami selama ini disebabkan oleh kuatnya emosi yang melekat pada memori ini. Ada sembilan komponen memori dan yang membuat masalah adalah emosi. Bila emosi berhasil dipisahkan dari memori maka memori ini tidak lagi ada efek. Klien bisa tetap mengingat kejadiannya tapi sudah tidak lagi terpengaruh.)

Namun dengan pemahaman baru peran rekonsolidasi adalah mungkin untuk membuat proses ini menjadi lebih efektif. Ini membutuhkan penghubungan antara pemahaman rekonsolidasi secara neurobiologis dengan praktik klinis.

Riset terhadap penderita PTSD telah mulai menunjukkan bahwa penggunaan obat tertentu selama tahap rekonsolidasi dapat memadamkan pikiran-pikiran traumatik.

(Komentar AWG: Ini pendekatan yang umum dilakukan oleh rekan dokter atau psikiater. Penggunaan obat adalah salah satu cara. Dalam hipnoterapi klinis, pikiran-pikiran traumatik dapat dimodifikasi menggunakan teknik yang sesuai, tanpa obat, dan selama ini hasilnya sangat efektif.)

Dr. Lars Schwabe, kepala tim riset mengatakan, “Rekonsolidasi memori mungkin adalah fenomena paling menarik dalam neurosains kognitif saat ini.”

Asumsinya, begitu satu memori berhasil dipanggil maka ia dapat dimodifikasi dan ini memberikan kita kesempatan besar untuk mengubah memori tidak diinginkan yang sifatnya kuat dan menganggu.

(Komentar AWG: Memang sangat menarik dan kita telah melakukannya sejak 2005.)

 

(sumber: Psyblog)

Baca Selengkapnya

Mengapa Gagal Menghipnosis?

11 April 2016

Artikel ini terinspirasi dan sekaligus adalah jawaban untuk pertanyaan yang diajukan oleh seorang rekan hipnoterapis. Pertanyaannya singkat namun butuh pemikiran mendalam sebelum dijawab. “Pak Adi, saya sudah belajar hipnotis dan juga hipnoterapi dengan ikut pelatihan. Tapi kenapa ya sampai sekarang saya tidak bisa menghinotis pasien?” demikian tanyanya.

Sebelum menjawab, ada beberapa hal yang perlu saya luruskan. Seringkali terjadi kekurangtepatan penggunakan kata “hipnosis” dan “hipnotis”. Hipnosis adalah ilmunya dan hipnotis adalah orang yang mempraktikkan hipnosis. Dengan demikian kalimat yang benar adalah “saya menghipnosis…..”, bukan “saya menghipnotis…..”.

Kedua, penggunaan kata “pasien” sebagai kata ganti individu yang menjalani hipnoterapi hanya boleh digunakan oleh dokter. Hipnoterapis yang bukan dokter tidak boleh menggunakan kata ini. Yang tepat adalah klien.

Untuk mendapat gambaran lebih jelas tentang situasi rekan ini, saya mengajukan pertanyaan, “Apa kendala yang Anda alami? Bagaimana cara Anda menghipnosis klien?”

“Saya menggunakan skrip hipnosis yang saya dapatkan di pelatihan. Tapi entah mengapa sulit sekali menghipnosis klien,” jawabnya.

“Apa yang Anda lakukan sebelum menghipnosis klien?” tanya saya lagi.

“Saat jumpa klien, saya langsung minta klien duduk. Lalu saya gunakan skrip atau teknik untuk menghipnosis klien,” jawabnya.

Dari jawaban ini saya dapat gambaran yang lebih utuh bagaimana rekan ini melakukan praktik hipnosisnya. Penjelasan berikut ini adalah jawaban atas pertanyaannya. Dan yang dimaksud dengan hipnosis adalah proses membimbing klien beralih dari kondisi sadar normal ke kondisi pikiran yang rileks namun fokus.

Banyak rekan yang mengalami kendala, belum bisa, atau bahkan sering gagal saat melakukan hipnosis. Ada yang belajar cara menghipnosis lewat buku, situs di internet, Google, Youtube, belajar dari teman, dan ikut pelatihan.

Apa ada yang salah dengan teknik hipnosis yang mereka pelajari dan praktikkan? Apakah skrip yang mereka gunakan tidak efektif untuk klien tertentu? Atau mereka sedang sial jumpa klien yang tidak bisa dihipnosis?

Hal yang perlu diketahui, setiap insan pada dasarnya pasti dapat masuk kondisi hipnosis dengan mudah. Kondisi hipnosis adalah kondisi alamiah yang sering kita masuki atau alami. Dalam sehari, minimal dua kali kita mengalami kondisi hipnosis. Pertama, saat akan tidur. Untuk masuk kondisi tidur, kita akan melewati kondisi hipnosis yang disebut hypnagogic. Sedangkan saat bangun, untuk “naik” ke kesadaran normal, kita pasti melewati kondisi hypnopompic.

Kondisi hipnosis alamiah yang sering kita alami, walau kita tidak sadar bahwa ini adalah kondisi hipnosis, yaitu saat pikiran sadar kita menerawang, saat mengendarai mobil, saat pikiran fokus dan tercerap dalam aktivitas yang dilakukan, misal nonton tv, baca buku, atau berolahraga.

Kondisi hipnosis yang cukup dalam, yang terjadi secara alamiah, juga terjadi saat kita tidak bisa menemukan atau melihat benda, misal kunci, pen, atau kacamata, padahal benda ini ada di depan kita. Kondisi hipnosis yang lebih dalam lagi, yang juga terjadi secara alamiah adalah saat kita mengalami luka tertentu namun kita tidak merasakan atau menyadarinya. Baru pada saat mandi, luka ini terasa perih.

Kondisi hipnosis yang dijelaskan di atas terjadi secara alamiah tanpa perlu induksi formal. Dengan demikian, ini mementahkan pendapat atau asumsi bahwa ada individu yang sulit atau tidak bisa dihipnosis. Intinya, semua orang pasti bisa masuk kondisi hipnosis.

Dalam dunia hipnosis dikenal sepuluh teknik dasar induksi. Dari sepuluh teknik dasar ini lahir beragam varian teknik hipnosis, termasuk sangat banyak skrip hipnosis.

Bila kita cermati, seringkali teknik atau skrip yang sama, saat dipraktikkan atau digunakan oleh operator yang berbeda, hasilnya tidak sama. Ada yang dapat dengan mudah membimbing klien masuk kondisi hipnosis yang dalam. Ada juga yang telah berusaha berulangkali menggunakan skrip atau teknik yang sama namun gagal total.

Lalu, apa yang sebenarnya faktor penentu keberhasilan melakukan hipnosis?

Hipnosis, lebih tepatnya, proses hipnosis bukan sekedar teknik atau skrip. Inilah kesalahan paling mendasar yang sering dialami oleh kebanyakan hipnoterapis. Mereka berpikir bila sudah belajar teknik atau punya skrip yang “ampuh” maka mereka bisa menghipnosis siapa saja. Kenyataannya tidak demikian. Bahkan teknik induksi kejut (shock induction) yang dianggap paling ampuh untuk menghipnosis klien seringkali gagal.

Ada hal penting dan mendasar yang menjadi kunci keberhasilan hipnosis yang sering diabaikan. Dan ini berlaku universal, dengan siapa, kapan, dan di mana saja.    

Berbicara tentang hipnosis sejatinya membahas interaksi dua atau lebih individu dalam upaya mencapai tujuan yang sama. Hipnoterapis membimbing klien masuk kondisi hipnosis dan klien bersedia dan berharap masuk kondisi hipnosis.

Untuk bisa melakukan induksi atau hipnosis dengan efektif membutuhkan prakondisi berupa pemahaman akan proses yang dijalani, saling pengertian antara operator dan klien, kepercayaan klien pada operator dan sebaliknya, perasaan mampu baik pada diri operator maupun klien, pengharapan (yang tinggi) untuk masuk ke kondisi hipnosis, motivasi, otoritas, relasi, dan ketiadaan rasa takut.

Bila syarat di atas telah terpenuhi, teknik apapun, dapat dengan mudah dan pasti membawa klien masuk kondisi hipnosis yang dalam. Bahkan, bila motivasi klien untuk masuk kondisi hipnosis cukup tinggi, operator hanya perlu meminta klien menutup mata dan meniatkan masuk, klien pasti masuk dengan sendirinya ke kondisi hipnosis, tanpa operator melakukan apapun.

Proses belajar atau pelatihan hipnosis yang semata-mata hanya menekankan teknik atau skrip tanpa memerhatikan prakondisi yang dijelaskan di atas niscaya tidak akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan. 

Baca Selengkapnya

Makan dengan Sadar agar Tubuh menjadi Langsing

29 Maret 2016

Seorang Sahabat minta saran saya agar ia bisa langsing tanpa perlu jalani sesi hipnoterapi, ikut training, diet atau mengubah kebiasaan makan, minum obat pelangsing, olahraga dll.

Hmm... apa bisa ya? Intinya Sahabat ini tidak mau repot. Ia mau cara instan untuk turunkan berat badan.

Semula saya hendak sarankan ia menghubungi rekan sejawat saya, Ibu Kristin Liu, penulis buku Quantum Slimming. Namun karena sejak awal ia sudah menyatakan tidak mau hipnoterapi atau training, saya perlu beri saran lain.

Setelah berpikir sejenak saya jawab, "Perubahan butuh upaya sadar. Untuk menjadi langsing tentu Anda perlu melakukan perubahan. Sesedikit apapun, harus ada perubahan. Kondisi Anda saat ini adalah hasil dari kebiasaan lama. Untuk menjadi langsing, Anda butuh kebiasaan baru."

"Ya, tapi saya tidak mau cara yang sulit. Kalau ada cara mudah, mengapa harus bersusah payah," ia gigih dengan keinginannya.

Setelah berpikir sedikit lebih lama akhirnya saya berkata,"Saya akan beritahu satu cara mudah untuk langsing. Tapi saya minta Anda berjanji untuk melakukannya sepenuh hati, tanpa ditawar. Anda bersedia?"

"Ya, sangat bersedia. Asalkan tidak diet, tidak olahraga, tidak perlu terapi, atau minum obat," jawabnya mantap sambil senyum dan mata berbinar seperti anak kecil dapat mainan baru.

"Saran saya sangat mudah. Ini yang perlu Anda lakukan. Mulai sekarang dan seterusnya setiap kali Anda makan atau minum, apapun itu, Anda melakukannya dengan penuh kesadaran. Anda menyadari apa yang Anda makan atau minum. Saat makan, Anda hanya makan. Anda tidak boleh melakukan kegiatan lain seperti main HP atau gawai lainnya, baca berita di media sosial, baca koran atau majalah, berbincang dengan teman, nonton televisi, atau apapun. Intinya, saat makan, Anda memberi 100% perhatiannya pada kegiatan makan, Anda menyadari, merasakan, dan menikmati sepenuhnya rasa dan aroma makanan atau minuman Anda. Anda sadari, bila ada rasa manis, seberapa manis. Bila ada rasa pedas, seberapa pedas. Bila ada rasa asin, seberapa asin. Demikian pula rasa-rasa lainnya, termasuk teksturnya. Dan saya minta Anda rasakan perut Anda terisi perlahan-lahan. Saat perut terisi dan Anda merasa kenyang, Anda harus berhenti makan. Tidak boleh lanjut," demikian saran saya padanya.

"Hanya ini saja? Menyadari saat saya makan. Tidak ada yang lain," tanyanya penasaran dan sambil senyum sumringah. Saya tahu apa yang akan ia alami beberapa hari ke depan. Saran yang tampak sederhana atau mudah ini, hmm... nanti bila dipraktikkan akan terasa sekali butuh keseriusan dan juga kegigihan.

"Ya, hanya ini saja. Mudah, kan?" saya balik bertanya sambil tersenyum. Benar, dua hari kemudian Sahabat ini menghubungi saya dan mengeluh bahwa saran saya cukup sulit untuk dilakukan. Ia minta saran lain.

Saya tahu benar bahwa ia pasti mengalami kesulitan, di awal proses ini. Mengapa? Yang saya minta ia lakukan sebenarnya mengubah kebiasaan. Selama ini ia makan tanpa menyadari apa yang ia makan. Ia, sama seperti orang pada umumnya, tidak sadar kapan lambung sudah terisi penuh dengan makanan.

Tujuan saya meminta ia makan dengan penuh kesadaran adalah untuk melatih dirinya mengendalikan diri. Saya tahu, dari pengamatan dan pengalaman para klien, saat ini orang cenderung sibuk main HP atau gawai, sibuk WA, dll, saat makan. Tidak terkecuali Sahabat saya ini.

Tentu ini berat baginya. Bayangkan, kebiasaan yang telah ia lakukan sekian lama tiba-tiba berhenti atau dengan sengaja dihentikan.

Alasan lain, yang sebenarnya adalah alasan utama saya minta ia melakukan proses makan dengan penuh kesadaran, adalah untuk melatih dirinya tahu kapan ia merasa kenyang. Salah satu sebab berat badan naik adalah kita makan dengan cepat, tidak sadar atau tahu bila sudah kenyang, dan kita terus makan hingga kekenyangan. Akibatnya, tanpa disadari kita sering makan berlebih.

Lambung kita dapat menampung hingga empat liter atau sekitar tujuh belas gelas air. Namun, perasaan kenyang bukan disebabkan oleh perut terisi penuh. Perasaan kenyang adalah hasil dari reaksi otak terhadap berbagai senyawa kimiawi yang dilepas saat lambung terisi makanan atau minuman.

Otak butuh waktu sekitar 20 menit untuk mengenali kehadiran beragam senyawa kimiawi ini. Usai makan, perasaan kenyang terus naik dalam waktu antara 10 hingga 30 menit. Perasaan ini terus kita rasakan sampai sekitar tiga hingga lima jam kemudian.

Saat senyawa-senyawa kimiawi di lambung berangsur berkurang, kita mulai merasa lapar. Saat kita tidak atau belum merasa kenyang usai makan, sadari hal ini, dan berhentilah makan. Tunggu sejenak. Perasaan kenyang ini akan mulai meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah senyawa kimiawi di lambung.

"Terus lakukan saran saya. Ini sangat mudah. Anda pasti bisa melakukannya. Ingat, ini saran paling mudah untuk langsing lho. Daripada Anda olahraga, diet, minum obat, dll. Bila Anda tetap mengalami kesulitan, sebaiknya Anda minta bantuan profesional," demikian pesan saya untuknya.

Sekitar tiga minggu kemudian Sahabat ini menghubungi saya lagi. Ia beri kabar bahwa setelah menjalani saran saya, walau dengan agak memaksa diri, dalam kurun waktu dua minggu ini berat badannya turun tiga kilogram. Namun setelahnya naik lagi.

Saya tanya apa yang terjadi? Ternyata ia kembali ke pola lama. Sambil makan ia sibuk main HP dan baca berita di media sosial. Umumnya, mereka yang menjalankan saran saya di atas dengan sungguh-sungguh pasti berat badannya turun. Dan tentu, saat mereka kembali ke pola lama, otomatis berat badannya pasti naik kembali.

Berhubung Sahabat ini mengalami kesulitan, saya sarankan ia segera minta bantuan profesional, khususnya hipnoterapis klinis.

Demikianlah kenyataannya.....

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List