The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Hipnotis, Hipnoterapis, dan Hipnoterapis Klinis

9 Februari 2019

Tiga istilah di atas kerap muncul di berbagai artikel yang mengulas hipnosis atau hipnoterapi. Lalu, apa bedanya?

Untuk mengerti dengan benar istilah di atas, perlu diketahui bahwa ada lima cabang ilmu hipnosis: hipnosis hiburan, hipnoterapi, hipnoanestesi, hipnosis forensik, dan hipnosis eksperimen.

Hipnotis adalah orang yang memelajari dan mempraktikkan hipnosis hiburan. Hipnoterapis adalah mereka yang mempraktikkan hipnoterapi. Pengetahuan dan kecakapan seorang hipnoterapis pasti lebih mumpuni daripada hipnotis.

Hipnoterapis bisa melakukan hipnosis hiburan. Sementara hipnotis tidak bisa melakukan hipnoterapi karena mereka memang tidak dilatih untuk ini. Dan hipnoterapis klinis adalah hipnoterapis yang telah mengikuti pendidikan tingkat lanjut.

Jadi, secara jenjang pendidikan dan tingkat kecakapan, paling awal adalah hipnotis, kemudian hipnoterapis, dan paling tinggi adalah hipnoterapis klinis.

Untuk menjadi hipnotis biasanya hanya perlu ikut pelatihan satu hari. Untuk menjadi hipnoterapis, ini bergantung lembaga atau pengajarnya. Ada yang dua hari, empat hari, dan saat ini, di Indonesia, paling lama adalah sepuluh hari pelatihan.

Hingga saat ini di Indonesia, sepengetahuan saya, hanya ada satu lembaga yang menyelenggarakan pendidikan hipnoterapi hingga ke jenjang hipnoterapis klinis. Untuk menjadi hipnoterapis klinis, lembaga ini mensyaratkan pesertanya telah ikut pelatihan hipnoterapis sepuluh hari atau 110 jam tatap muka di kelas. Ini tidak termasuk latihan dan praktik mandiri.

Setelahnya, mereka ikut lagi pelatihan selama sembilan hari atau 100 jam tatap muka di kelas. Dengan demikian, untuk menjadi hipnoterapis klinis, butuh pelatihan selama sembilan belas hari atau 210 jam.

Adapun gelar untuk masing-masing jenjang: CH (certified hypnotist), CHt (certified hypnotherapist), dan CCH (certified clinical hypnotherapist).

Khusus CCH, selain certified clinical hypnotherapist, juga ada yang menggunakan kepanjangan certified consulting hypnotist. Kepanjangan yang kedua ini digunakan oleh alumni NGH (National Guild of Hypnotist).

CCH versi NGH mensyaratkan lama pendidikan 75 jam tatap muka di kelas plus 25 jam melakukan tugas, praktik, atau baca buku.

Saat ini, saya menggunakan terminologi hipnoterapis dan hipnoterapis klinis untuk membedakan dua kelompok hipnoterapis. Hipnoterapis adalah praktisi hipnoterapi yang mengutamakan praktik hipnoterapi berbasis sugesti. Dalam praktiknya, hipnoterapis tidak mencari akar masalah. Lama proses terapi yang dilakukan hipnoterapis biasanya berkisar 30 menit hingga paling lama sekitar 1 jam.

Sementara hipnoterapis klinis adalah praktisi hipnoterapi yang mengutamakan mencari dan menemukan akar masalah melalui proses hipnoanalisis. Proses terapinya butuh waktu antara 2 jam hingga 5 jam, sekali jalan.

Baca Selengkapnya

Hipnoterapi Lewat Telpon?

30 Januari 2019

Saya dapat pertanyaan dari seorang sahabat, “Pak Adi, saya mau nanya bagaimana tanggapan bapak mengenai hipnoterapi yang dilakukan melalui telpon?”

Ini bukan pertanyaan baru bagi saya. Sejak awal saya praktik sebagai hipnoterapis klinis, saya sering diminta melakukan hipnoterapi melalui telpon. Apakah bisa hipnoterapi dilakukan melalui telpon?

Hipnoterapi terdiri dari dua kata, hipnosis dan terapi. Dengan demikian, hipnterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Kondisi hipnosis adalah kondisi kesadaran khusus, berbeda dengan kondisi sadar normal, dan secara umum dicapai melalui salah satu dari empat cara: heterohipnosis (hipnosis yang dilakukan seseorang ke orang lain), autohipnosis (hipnosis yang terjadi secara otomatis tanpa diinginkan atau disadari oleh individu), swahipnosis (hipnosis yang dilakukan seseorang pada dirinya sendiri) dan parahipnosis (kondisi hipnosis yang muncul karena pengaruh obat).

Saya menggunakan kata “secara umum” pada kalimat di atas karena sejatinya ada banyak cara lain untuk masuk kondisi hipnosis. Ini tidak saya bahas di sini agar kita fokus pada topik yang dibahas di artikel ini.

Kondisi hipnosis memiliki banyak kedalaman. Ada pakar menggunakan skala 1 – 5,  1 – 30, dan 1 – 50. Saya menyusun skala kedalaman hipnosis yang saya beri nama Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale dengan skala kedalaman mulai 1 – 40. Pada setiap kedalaman muncul fenomena fisik dan mental berbeda. Secara umum, kedalaman hipnosis dibagi menjadi empat kelompok: dangkal, menengah, dalam, dan ekstrim.

Teknik terapi dalam hipnoterapi bisa berupa apa saja. Intinya, bila suatu teknik digunakan pada klien dalam kondisi hipnosis maka ini adalah hipnoterapi. Teknik-teknik dalam hipnoterapi antara lain: sugesti, metafora, positive programmed imagery, regresi (ada sangat banyak teknik), inner-child, forgiveness, ego personality (ada banyak varian), abreaksi / katarsis, rewriting history, pemaknaan ulang, revisiting the future, dan masih banyak lagi.

Setiap proses hipnoterapi selalu butuh kondisi hipnosis. Kondisi hipnosis ini dicapai baik melalui induksi formal maupun nonformal. Intinya, tanpa kondisi hipnosis, terapi yang dilakukan, menggunakan teknik apapun, bukan hipnoterapi. Dan kedalaman hipnosis yang perlu dicapai klien, untuk terapi yang efektif dan efisien, sepenuhnya bergantung pada teknik yang digunakan. Ada teknik yang butuh kedalaman dangkal, menengah, dalam, dan ekstrim.

Apakah bisa hipnoterapi dilakukan lewat telpon? Jawabannya bisa, bergantung teknik yang digunakan. Bila yang dimaksud dengan hipnoterapi adalah kondisi hipnosis plus teknik sugesti, ini tentu sangat bisa.

Hipnoterapi berbasis sugesti, secara sederhana, hanya butuh tiga hal. Pertama, kedalaman hipnosis minimal menengah, dan lebih baik lagi dalam hingga ekstrim. Kedua, skrip sugesti yang disusun dengan cermat, mengikuti aturan baku penulisan skrip sugesti yang baik. Ketiga, kemampuan terapis menyampaikan sugesti dengan baik kepada pikiran bawah sadar klien. Ini semua bisa dilakukan lewat telpon dalam waktu relatif singkat, sekitar 15 – 30 menit.

Hipnoterapi, menurut hemat saya, tidak bisa atau tidak boleh dilakukan lewat telpon bila mengutamakan dan mengandalkan teknik-teknik hipnonanalisis, mencari akar masalah, menggunakan teknik abreaksi, regresi, ego personality, rewriting history, dan teknik-teknik lainnya, selain teknik sugesti.

Tentu akan sangat berbahaya bila misalnya klien mengalami abreaksi, tiba-tiba telpon terlepas dari genggamannya dan komunikasi dengan terapis terputus. Klien bisa terkunci di kondisi ini.

Demikian pula bila misalnya terjadi aktivasi ego personality (EP) yang sifatnya keras atau ganas, dan ini sering kami jumpai di ruang praktik, dan EP ini menolak berbicara dan memutus komunikasi dengan terapis. Bila EP ini tidak dinonaktifkan atau dinetralisir maka ia bisa terus aktif dan menguasai klien. Ini tentu sangat berbahaya. Proses terapi berbasis hipnoanalisis butuh waktu antara dua hingga lima jam. Ini tentu tidak bisa dilakukan lewat telpon.

Saya dan hipnoterapis AWGI tidak melakukan hipnoterapi lewat telpon karena alasan di atas. Dan dari pengalaman klinis kami, hipnoterapi yang mengutamakan mencari, menemukan, dan memroses tuntas akar masalah memang butuh waktu lebih lama, prosesnya lebih kompleks, namun sangat efektif dan hasil terapinya bertahan lama. Ini jauh lebih efektif daripada hipnoterapi yang hanya berbasis sugest.

Baca Selengkapnya

Sumber-Sumber Emosi

23 November 2018

Dulu, di awal saya mendalami dunia pikiran dan meditasi, saya mendapat wejangan dari guru saya, YM Sri Paññavaro Mahathera, “Batin manusia terdiri atas pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran. Dari keempat komponen ini yang menjadi provokator adalah perasaan.”

Saat itu, karena keterbatasan pemahaman, saya hanya menerima wejangan ini sebagai pengetahuan penting yang belum saya pahami secara mendalam. Seiring waktu berjalan, dengan semakin saya mendalami dunia pikiran, khususnya hipnoterapi klinis, kini saya mengerti benar kalimat singkat sangat sarat makna dari Beliau. 

Kita sering mendengar pernyataan bahwa manusia adalah makhluk rasional, logis. Benarkah demikian? Bisa ya, dan lebih sering tidak. Manusia sangat sulit untuk bisa benar-benar berpikir rasional dan logis.

Bila ditelaah dengan kaca mata kejujuran dan kesadaran, kita pasti sampai pada satu simpulan yaitu emosi memengaruhi setiap proses berpikir, berucap, bertindak, perilaku, dan pembuatan keputusan. Hanya orang-orang yang telah mengembangkan batin hingga ke taraf tertentu yang mampu memerdekan diri dari pengaruh dan sekaligus menjadi tuan dari emosinya. Dengan memahami begitu besar peran dan pengaruh emosi pada kualitas hidup, kita perlu tahu dari mana emosi berasal. 

Sejatinya, ada tiga jenis emosi: positif, netral, dan negatif. Tiga emosi inilah yang memberi warna pada setiap pengalaman hidup. Emosi adalah warna warni pada lukisan kehidupan kita. Indah atau tidaknya lukisan ini, sepenuhnya berpulang pada masing-masing kita.

Menurut René Descartes, ada enam emosi dasar yaitu cinta, benci, kagum, hasrat, bahagia, dan sedih. Sementara filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan ada lima emosi dasar: cinta, harapan, rendah hati, bahagia dan sedih. Dalam bukunya yang terbit tahun 1890, Principles of Psychology, William James, bapak psikologi Amerika, menyederhanakan emosi dasar menjadi empat: cinta, takut, sedih, dan marah. Setiap emosi, menurut James, adalah kombinasi dari keempat emosi dasar ini. 

Selama ini orang lebih mengenal emosi negatif sebagai sumber masalah. Emosi negatif, antara lain, marah, benci, kecewa, terluka, sakit hati, dendam, malu, kesepian, sedih, benci, terluka, perasaan bersalah, dan bosan. Emosi positif, seperti suka atau senang, sebenarnya juga dapat berakibat negatif karena dapat mengakibatkan adiksi atau kemelekatan.

Setiap insan terlahir dengan membawa emosi-emosi dasar. Namun, sumber emosi bukan hanya dari sini. Masih ada sumber-sumber lain yang sering kali tidak kita ketahui atau sadari. 

Emosi yang Berasal dari Ibu, Saat Dalam Kandungan

Pikiran bawah sadar (PBS) mulai aktif sejak terjadi pembuahan, terus aktif, dan hanya berhenti atau padam saat individu meninggal. PBS, sesuai fungsinya, merekam apapun yang dialami individu. Dengan demikian, janin dalam kandungan ibu akan merekam semua pengalaman hidup ibu, termasuk emosi yang ibu alami dan rasakan. Emosi ini, bisa positif, netral, atau negatif, tersimpan di PBS janin, menjadi milik janin, dan pasti memengaruhi hidupnya kelak.

Emosi Janin

Janin juga dapat mengalami emosi sebagai respon atas apa yang ibunya alami, rasakan, atau lakukan. Bila ibunya pernah berpikir tentang atau bahkan telah mencoba melakukan upaya aborsi, janin tahu, dan muncul emosi negatif intens dalam diri janin. Demikian pula bila misalnya ibu ribut dengan ayah, ibu atau ayah menolak kehadiran janin karena merasa belum siap punya anak atau karena jenis kelamin janin tidak seperti yang diharapkan. 

Sebaliknya, bila ibunya mengalami atau merasakan emosi positif, seperti senang, bahagia, haru, perasaan syukur, emosi-emosi ini semuanya juga dirasakan dan direkam oleh PBS janin.

Emosi Warisan

Emosi juga bisa berasal dari leluhur. Emosi warisan ini masuk ke dalam janin saat terjadi pembuahan. Emosi warisan ini bisa berasal hanya dari garis ibu atau hanya dari garis ayah, dan bisa dari keduanya. 

Emosi dari Donor

Pasien yang menerima transplantasi jantung melaporkan perubahan dalam diri mereka, terutama di aspek emosi. Dan setelah diteliti lebih lanjut, emosi ini adalah emosi yang berasal dari donor. Emosi ini tersimpan dalam bentuk sel memori di jantung, sehingga saat pasien menerima jantung, ia juga mendapat emosi yang tersimpan di jantung donor. 

Emosi dari Introject

Introject adalah perwujudan figur yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang, berdasar persepsi seseorang terhadap figur ini, dan “hidup” di PBS orang tersebut. Contoh introject antara lain sosok atau figur dari ayah, ibu, suami, istri, saudara, anak, tokoh agama, guru spiritual, dan lain-lain. 

Introject juga mempunyai emosi. Saat introject aktif dalam diri individu, ia berubah menjadi identofact dan mengendalikan diri individu. Emosi identofact juga dirasakan sepenuhnya oleh individu yang menjadi “induk”nya. 

Emosi dari EP Luar

Kami menemukan ada Ego Personality (EP) yang berasal dari luar diri individu. EP masuk sendiri atau dimasukkan oleh seseorang ke dalam individu. EP memiliki emosi, positif maupun negatif. Saat EP ini aktif, emosi yang ada dalam dirinya juga turut aktif dan dirasakan individu. Ini mirip dengan introject. Bedanya terletak pada proses terciptanya EP. 

Emosi dari Pemaknaan

Emosi, umumnya, muncul karena pemaknaan. Setiap kejadian sifatnya netral, sampai kita memberi makna pada kejadian ini. Ada tiga kemungkinan makna yang diberikan pada setiap kejadian: positif, netral, negatif. Makna selanjutnya memunculkan emosi yang sejalan dengannya. Makna positif memunculkan emosi positif. Makna netral memunculkan emosi netral. Dan makna negatif memunculkan emosi negatif.  

Makna yang diberikan pada suatu kejadian bisa menggunakan salah satu dari dua jalur: sadar dan tidak sadar. Yang dimaksud pemaknaan secara sadar adalah saat kita mengalami suatu kejadian, kita dengan tenang mengamati, menyadari apa yang terjadi, dan setelahnya dengan menggunakan kebijaksanaan memberi makna yang tepat. Ini adalah kondisi ideal yang menjadi idaman setiap orang. Namun, sejujurnya, tidak mudah untuk bisa melakukan hal ini. Yang paling sering terjadi adalah pemaknaan secara tidak sadar. Saya menyebutnya sebagai pemaknaan stimulus-respons atau otomatis. 

Pemaknaan otomatis terjadi karena kita menggunakan data yang ada di memori pikiran bawah sadar sebagai acuan. Data di memori ini adalah hasil pembelajaran, akumulasi pengalaman, dan terutama injeksi makna dari figur otoritas, terutama orangtua atau pengasuh utama. 

Dengan demikian, emosi yang kita alami atau rasakan, mayoritas adalah hasil pemaknaan yang mengacu pada pengalaman masa lalu. Kita tidak menyadari akan hal ini karena kerja pikiran bawah sadar 200.000 kali lebih cepat daripada pikiran sadar. Yang terjadi, saat kita mengalami sesuatu, seolah tanpa ada jeda, langsung muncul emosi. 

Diserap dari Orang Lain

Emosi juga bisa berasal dari luar diri kita. Sering, tanpa disadari, kita menyerap emosi yang berasal dari orang lain, saat kita berinteraksi dengan mereka, baik secara langsung atau melalui telpon. Saya yakin Anda pasti pernah jumpa seseorang dan setelahnya Anda merasa begitu positif, energi Anda melimpah ruah. Dan pernah juga, di lain waktu, Anda jumpa seseorang dan setelahnya Anda merasa sangat lelah, tidak nyaman, dan bahkan bisa sakit. Yang terjadi sebenarnya adalah Anda menyerap emosi yang dipancarkan oleh orang ini, dalam bentuk energi. 

Curhat adalah sarana pertukaran energi yang dahsyat. Saat seseorang curhat pada Anda, terutama hal-hal negatif, sebaiknya Anda hindari. Mengapa? Karena saat ia curhat, sebenarnya ia sedang memprojeksikan energi negatif dari dalam dirinya ke Anda. Bila tidak kuat, tubuh Anda akan menyerap dan menyimpan emosi negatif ini. Akibatnya, emosinya berpindah ke tempat Anda dan sekarang Anda yang bermasalah. Kondisi ini yang sering terjadi dan dialami oleh para terapis, psikolog, dokter, psikiater, konselor, dan mereka yang bergerak di bidang penyembuhan. 

Setelah Emosi Muncul

Saat suatu emosi muncul, ia akan mengendalikan seseorang dengan tingkat kekuatan sejalan dengan intensitasnya. Bila, misalnya, digunakan skala 0 hingga 10, di mana 0 artinya tidak ada intensitas sama sekali dan 10 adalah intensitas paling kuat, maka semakin tinggi intensitasnya semakin kuat daya pengaruh dan kendali emosi terhadap individu. 

Saat emosi muncul atau tercipta, ia akan diproses oleh sistem psikis kita. Bila emosi berhasil diproses tuntas, ia akan “hilang” dan tidak mengganggu. Namun bila karena sesuatu hal, khususnya emosi negatif, ia tidak berhasil diproses tuntas, akan muncul residu yang menetap atau tersimpan di lokasi tubuh tertentu. Residu ini selanjutnya akan memengaruhi kerja sel atau organ tempat ia menetap. Bisa terjadi, di satu lokasi (organ, otot, sel) menetap lebih dari satu emosi yang sama atau berbeda. Kondisi ini disebut nesting atau sarang. 

Lokasi emosi biasanya tidak hanya terpusat di satu lokasi. Dari temuan di ruang praktik, diketathui biasanya ada dua lokasi tempat emosi menetap: lokasi primer dan lokasi sekunder. Lokasi primer adalah wilayah tubuh yang paling jelas terasa saat emosi ini aktif. Sementara lokasi sekunder adalah lokasi-lokasi lain tempat menetap emosi yang sama, tapi hanya bisa dirasakan keberadaannya bila seseorang secara sadar melakukan pengecekan. Di manapun emosi menetap, ia selalu berpengaruh, baik positif maupun negatif.  

Untuk memahami peran dan pengaruh emosi pada manusia, saya sangat menyarankan Anda untuk menyaksikan film animasi, Inside Out. Film ini menceritakan bagaimana emosi-emosi dalam diri, Bahagia (Joy), Sedih (Sad), Takut (Fear), Jijik (Disgust), dan Marah (Anger) saling berinteraksi dan mengendalikan diri seseorang dalam menjalani hidup. 

Baca Selengkapnya

Rahasia Sukses Trading Saham atau Forex

25 September 2018

Ada banyak cara untuk sukses finansial. Bila mengacu pada Cashflow Quadrant Robert Kiyosaki, sejatinya ada empat cara menghasilkan uang yaitu sebagai Employee, Self-Employed, Investor, dan Business Owner. Setiap kuadran memiliki aturan dan paradigma berbeda. Untuk pindah kuadran, kita perlu belajar lagi, beradaptasi, dan taat mengikuti aturan main yang berlaku pada kuadran baru. Sukses di satu kuadran bukan jaminan sukses di kuadran lain.

Salah satu cara meraih sukses finansial adalah dengan trading saham atau forex. Ada dua tipe pemain di kuadran ini. Ada yang main saham atau forex hanya berbekal tekad dan yakin bisa dapat keuntungan, tanpa membekali diri dengan pengetahuan, teknik, strategi efektif. Tipe pemain seperti ini sebenarnya adalah penjudi. Penjudi tidak punya pengetahuan memadai, tidak punya trading plan, mereka mengandalkan trial and error. Karena hanya mengandalkan trial, mereka sering error dan mengalami rugi.

Tipe kedua, mereka yang menyiapkan diri dengan baik. Sebelum terjun ke dunia saham atau forex, mereka belajar dari trainer terbaik di bidang ini. Mereka ini disebut trader/investor.

Saya sering jumpa dua tipe pemain ini. Mereka datang jumpa saya, minta tolong untuk dibantu sukses dan kaya dari trading saham dan forex, menjadi Magnet Uang dan Keberuntungan. Untuk klien tipe pertama, saya sarankan mereka untuk belajar trading saham dan forex yang benar. Saya tidak bisa membantu mereka sukses bila mereka tidak tahu cara trading yang benar.

Yang menarik adalah bila jumpa klien tipe kedua. Mereka ini sudah menghabiskan banyak uang untuk belajar di berbagai workskhop trading saham dan forex, baik di dalam maupun luar negeri, namun tetap sulit untuk mendapat untung.

Apa yang sesungguhnya terjadi?

Di buku Quantum Life Transformation saya menjelaskan bahwa untuk sukses dibutuhkan dua komponen, God Factor dan Human Factor. Saya menuliskannya menjadi rumus: God Factor X Human Factor = Success. Saya tidak membahas God Factor karena ini di luar ranah keilmuan saya. Selain itu, relasi seseorang dengan Tuhan sifatnya sangat personal. Dalam kesempatan ini saya hanya akan membahas Human Factor yang terdiri atas BE dan DO.

BE meliputi kualitas diri, mindset, belief, value. DO adalah aktivitas yang orang lakukan untuk mencapai tujuan. Untuk sukses melakukan DO, seseorang butuh informasi, pengetahuan, dan keterampilan. Ini bisa diperoleh melalui pelatihan berkualitas dan disiplin mengikuti trading plan. Bila Anda telah melakukan DO dengan benar, konsisten, namun masih juga belum dapat untung, atau bahkan sering menderita kerugian, Anda perlu mulai menelisik BE.

Kondisi yang biasa saya temukan pada diri trader saham/forex yang mengakibatkan DO mereka tidak efektif antara lain:
- tidak memiliki goal jelas dan spesifik jumlah profit yang diinginkan. Dengan kata lain, mereka tidak menentukan berapa cukupnya. 
- tidak memiliki trading plan. 
-sudah punya trading plan, tapi tidak (bisa) disiplin menjalankan/mengikuti plan-nya. 
- takut rugi
- mau untung banyak dalam waktu singkat
- bisa untung, tapi hanya sedikit. 
- bila untung banyak, tidak lama kemudian, "salah" beli saham, dan mengalami rugi besar sehingga minus.
- terlalu banyak analisis sehingga tidak berani melakukan apapun (paralysis of analysis)
- kepercayaan (belief) yang tidak mendukung.

Semua kondisi di atas adalah simtom dari sesuatu yang lebih mendasar dan sangat jarang diketahui orang. Saya menamakannya sebagai Mental Block. Orang tidak tahu atau menyadari keberadaan Mental Block karena ia tersimpan dan bekerja di kedalaman pikiran bawah sadar (PBS) sehingga tidak diketahui pikiran sadar.

Mental block adalah program pikiran yang menghambat seseorang mencapai tujuan. Kekuatan Mental Block ini sangat luar biasa yaitu 99 kali lebih kuat dari pikiran sadar (will power).

Ada dua macam Mental Block: blocking pada goal dan strategi. Yang dimaksud dengan blocking pada goal adalah penolakan dari PBS terhadap goal atau target profit yang ditetapkan. Sementara blocking strategi adalah penolakan dari PBS terhadap strategi atau cara yang akan digunakan untuk mencapai goal.

Blocking bekerja sangat halus dan tidak disadari individu. Namun ada cara untuk memeriksa keberadaannya yaitu dengan memeriksa ke dalam diri, secara teliti dan jujur, apakah ada indikator berupa perasaan (emosi) tidak nyaman, atau sensasi tidak nyaman pada bagian fisik tertentu, atau suara hati (inner voice) yang berbicara atau mengatakan sesuatu yang negatif yang berhubungan dengan goal dan strategi.

Bila saat Anda menentapkan goal, membayangkan telah mencapai goal ini, menetapkan strategi, membayangkan melakukan strategi ini dan muncul salah satu, dua, atau bahkan ketiga indikator di atas, ini petunjuk ada Mental Block di PBS Anda.

Menemukan mental block adalah satu hal, mengatasinya adalah hal lain. Mental block tidak bisa diatasi hanya dengan berdoa atau berpikir positif, melakukan perencanaan matang, atau hal lain yang lazim orang lakukan. Butuh teknik spesifik untuk bisa mengatasi mental block dengan cepat dan tuntas.

Mengatasi Mental Block bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan penelusuran di PBS dan menemukan akar masalah. Kedua, tanpa perlu mencari akar masalah, namun menghilangkan emosi atau energi yang menjadi sumber kekuatan Mental Block.

Untuk bisa sukses trading saham atau forex, Anda perlu meningkatkan kualitas BE Anda. Caranya, pertama, Anda perlu menemukan dan mengatasi Mental Block. Selanjutnya, Anda perlu memrogram ulang PBS agar mendukung trading Anda dan menjadi Magnet Uang dan Keberuntungan.

Demikianlah adanya....
Demikianlah kenyataannya....

Baca Selengkapnya

Tepat dan Cerdas Memahami Abreaksi

13 September 2018

 

Hipnoterapi terbagi menjadi dua mazhab berdasar pendekatan terapi yang digunakan. Pertama, mazhab pantai timur Amerika, yang hanya mengutamakan dan menggunakan teknik terapi berbasis sugesti. Kedua, mazhab pantai barat yang sangat kaya teknik, menggunakan hipnoanalisis untuk menemukan akar masalah dan memrosesnya secara tuntas.

Hipnoterapis mazhab pantai timur melakukan proses terapi dengan menuntun klien masuk ke kedalaman hipnosis tertentu dan dilanjutkan dengan membacakan skrip sugesti. Skrip sugesti ini bisa bersifat umum dan spesifik. Hipnoterapis mazhab ini tidak dilatih untuk mencari dan menemukan akar masalah. Dengan demikian, mereka juga tidak mampu menangani, bila terjadi, luapan emosi klien dengan tepat, efektif, dan aman.

Sementara, dalam proses yang dilakukan para hipnoterapis mazhab pantai barat, sangat sering dijumpai akar masalah, dan kejadian-kejadian lanjutan pencetus simtom, berisi muatan emosi (sangat) intens. Emosi ini lekat pada memori traumatik dan sangat mengganggu klien. Untuk bisa melakukan rekonstruksi kejadian traumatik ini, agar klien sembuh, afek yang lekat pada memori harus dilepas dengan aman, nyaman, terkendali, menggunakan teknik yang sesuai dengan situasi, kebutuhan, dan kondisi klien. Pelepasan emosi ini dikenal dengan nama abreaksi atau katarsis.

Ada banyak definisi abreaksi, bergantung pemahaman masing-masing praktisi. Saya menggunakan definisi abreaksi yang dilansir oleh American Psychiatric Association:

An emotional release or discharge after recalling a painful experience that has been repressed because it was consciously intolerable. A therapeutic effect sometimes occurs through partial discharge or de-sensitization of the painful emotions and increased insight. (American Psychiatric Association, 1980, p. 1)

(Sebuah pelepasan atau pengeluaran emosi setelah mengingat kembali pengalaman traumatik yang selama ini direpresi, karena secara sadar sangat menyakitkan. Efek terapeutik kadang terjadi melalui pelepasan sebagian atau desensitisasi dari emosi-emosi menyakitkan dan meningkatnya wawasan.)

Abreaksi, bila berdiri sendiri, tidak terapeutik. Abreaksi terjadi karena klien mengakses pengalaman traumatik, yang sebelumnya telah ditekan sedemikian rupa sehingga ia lupa atau tidak lagi bisa mengakses memori ini secara sadar.

Saat klien, dalam proses hipnoterapi, mengakses kembali pengalaman traumatiknya, pada saat itu juga emosi yang lekat pada memori traumatik menjadi aktif. Penanganan abreaksi tidak tuntas mengakibatkan klien mengalami ulang trauma. Ini tentu sangat merugikan klien. Abreaksi terapeutik harus dilakukan dengan perencanaan matang, sistematis, terkendali, dan aman.

Untuk benar-benar mencapai hasil terapi maksimal, abreaksi hingga tuntas (exhaustive abreaction) perlu dilakukan di kejadian paling awal dan kejadian-kejadian lanjutan, yang ada dalam rangkaian pencetus simtom. Setelahnya, perlu diikuti dengan kerangka kerja bermakna (meaningful and appropriate cognitive framework) (Braun, 1986; Ross, 1989). Di AWGI, kami menyebutnya dengan rekonstruksi memori atau pengalaman emosi korektif.

Saat individu mengalami pengalaman korektif emosi, ia “menuntaskan” proses yang dulunya belum selesai dijalani, yang adalah inti neurosis repetitif, dan melepas kebutuhan akan keberlanjutan manifestasi simtom (Van der Hart, Brown, dan Van de Kolk, 1989)  

Menurut Putnam (1989) ada dua jenis abreaksi: abreaksi spontan dan abreaksi terkendali terapeutik. Yang dimaksud abreaksi spontan atau fenomena menyerupai abreaksi adalah ingatan pengalaman traumatik yang muncul tiba-tiba (flashback), mimpi buruk, dan ingatan detil lainnya tentang pengalaman traumatik yang muncul secara spontan, tidak terkendali, dan sebagian besar bersifat tak sadar dan menghambat atau mencegah terjadinya pelepasan emosi dari memori dan afek yang mengikuti flashback. Sementara abreaksi terkendali terapeutik dilakukan dengan sangat hati-hati, cermat, terukur, meliputi mengalami kembali pengalaman traumatik dan pelepasan emosi terkait, dan dilanjutkan dengan kerangka kerja bermakna.

Steele dan Colrain (1990) menganggap flashback sebagai abreaksi spontan, yang mereka definisikan sebagai mengalami trauma secara refleksif, tidak utuh, tidak terkendali, dan terpotong, yang sebagian besar kontennya terjadi secara nirsadar. Masih menurut mereka, resolusi sulit dicapai karena flashback dan fenomena lain yang menyerupai abreaksi tidak lengkap dan tidak terjadi kerangka kerja kognisi. Peterson (1991) menyatakan bahwa abreaksi spontan adalah lingkaran psikologis tanpa menawarkan penyelesaian, tetapi hanya mengulang dan mengulang apa yang telah terjadi.

Sementara Watkins (1949) menyatakan abreaksi adalah mengalami kembali secara emosi atau mengalami kembali pengalaman traumatik, dan dianalogikan sama dengan membuka bisul. Dikatakan seperti ini karena abreaksi melibatkan energi yang sangat besar dan pelepasan kecemasan.

Dua contoh kejadian yang sering dijumpai dalam interaksi sosial, yang melibatkan abreaksi adalah curhat dan revivifikasi. Curhat sebenarnya adalah tipe abreaksi spontan nonterapeutik. Saat seseorang menceritakan apa yang ia alami atau rasakan, pada saat yang sama terjadi pelepasan tekanan emosi. Setelahnya ia merasa lega, namun ini tidak menyelesaikan masalah karena tidak diikuti dengan kerangka kerja bermakna atau pengalaman korektif emosi.

Seringkali, saat curhat, individu secara spontan, di dalam pikirannya, mengalami kembali dengan semua indera, di saat ini, kejadian masa lalu. Kondisi ini, secara teknis disebut revivifikasi. Revivifikasi sering diikuti dengan terjadi luapan emosi dari kedalaman pikiran bawah sadar. Namun, sama seperti curhat, revivifikasi per se tidak terapeutik dan sering menyebabkan kondisi individu menjadi lebih parah karena mengalami trauma ulang tanpa resolusi.

Abreaksi saja tidak cukup untuk menyelesaikan trauma. Agar abreaksi efektif mengatasi trauma, ia harus dihubungkan dengan restrukturisasi kognitif, dan resolusi dilema yang ada dalam trauma (Steele,1989).

Hal ini sejalan dengan Fine (1991) yang menyatakan bahwa tujuan abreaksi adalah untuk memberi informasi, mendidik atau mendidik ulang, melepas afek yang ditekan, mencapai keberlangsungan konten memori, melepas trauma yang terperangkap dalam tubuh, dan membentuk ulang skemata kognisi dan kepercayaan.

Dengan demikian, dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa abreaksi adalah satu hal, dan resolusi trauma adalah hal lain. Resolusi trauma melibatkan dua faktor, abreaksi dan pengalaman korektif emosi.

Baca Selengkapnya

Teknologi di Balik The Heart Technique®

14 Agustus 2018

Antusiasme publik menyambut dan memelajari teknik swaterapi revolusioner The Heart Technique® (THT) sungguh luar biasa. Workshop THT di Jakarta, 30 Juli 2018, dihadiri 1.100 peserta. Sementara di Medan, 8 Juli 2018, dihadiri 1.300 peserta. Pada dua workshop ini kami dengan berat hati menolak banyak calon peserta karena kapasitas ruang sudah maksimal digunakan. Bahkan banyak yang memaksa datang di hari H, berharap bisa menggantikan peserta yang batal hadir.

Setelah dua workshop perdana ini, para Certified Trainer The Heart Technique® membawakan worskhop THT di berbagai kota di Indonesia, seperti Medan, Bogor, Lubuk Linggau, Jakarta, Purwokerto, Cilacap, Bali, dan akan terus berlanjut di kota-kota lainnya.

Yang lebih luar biasa lagi, saat peserta diminta mempraktikkan THT pada diri mereka, efek terapeutik langsung mereka alami saat itu juga. Ada yang berhasil mengatasi fobia, tidak percaya diri, perasaan bersalah, luka batin, kemarahan pada diri sendiri, marah pada orang lain, perasaan kecewa, terluka, dendam, merasa diri bodoh, dan masih banyak lagi.  

Publikasi The Heart Technique® yang viral di medsos menarik minat dan mendapat perhatian banyak pihak. Ada yang bertanya pada saya, di mana saya belajar teknik ini, siapa nama guru saya, apakah saya berafiliasi ke lembaga tertentu di luar negeri, apa landasan teori dan cara kerja THT, dan apakah ada penelitian tentang keefektifannya.

THT adalah teknik terapi revolusioner, sangat mudah dipelajari, sangat mudah dipraktikkan, dan sangat efektif mengatasi berbagai masalah perilaku dan emosi. Walau sangat mudah dipelajari dan dipraktikkan, sesungguhnya ilmu yang menjadi landasan terciptanya teknik ini cukup rumit.

Saya mencipta THT melalui perjalanan dan proses panjang. Protokol THT dirancang sedemikian rupa sehingga sangat mudah dipraktikkan oleh siapa saja tanpa harus mengerti hipnosis, hipnoterapi, cara kerja pikiran, atau trance. Sebelum diajarkan ke publik, THT telah diujicobakan selama satu setengah tahun kepada lebih dari 100 subjek/klien, terbukti efektif memberi hasil terapi positif dan konsisten, dengan tingkat keberhasilan di atas 95%.

Apa dasar pemikiran atau teori di balik THT? Mengapa THT bisa sangat efektif mengatasi beragam masalah perilaku dan emosi? Untuk memahami teknologi rumit di balik THT, berikut ini saya uraikan, secara ringkas, perjalanan belajar dan pemahaman yang saya peroleh dari pengalaman sebagai hipnoterapis klinis dan dari hasil memelajari berbagai literatur yang menjadi landasan terciptanya teknik revolusioner THT.

Pemahaman dari Perspektif Hipnoterapi Klinis

Di awal karir sebagai hipnoterapi klinis, tahun 2005, saya mendapat pemahaman bahwa kunci penyelesaian masalah ada pada penanganan emosi. Ini bermula dari membaca artikel yang ditulis oleh Joseph Breuer, menceritakan pengalamannya menangani kliennya, Bertha Pappenheim, yang diberi nama samaran Anna O. Selanjutnya, kisah ini ditulis ke dalam buku Studies on Hysteria (Sigmund Freud and Josef Breuer, 1895). Anna O, telah Breuer tangani banyak sesi namun mengalami perkembangan signifikan. Sampai suatu hari, Anna mengalami katarsis spontan, terjadi luapan dan ledakan emosi hebat. Setelah luapan emosi ini reda dan selesai, Anna sembuh dari histeria yang ia alami. Dari sini saya mencatat hal penting. Kunci penyelesaian masalah ada pada penanganan emosi secara tepat dan tuntas.

Pemahaman bahwa kunci penyelesaian masalah ada pada emosi, semakin kuat saat saya membaca buku Hypnotherapy of War Neuroses: A Clinical Psychologist's Casebook (John G. Watkins, 1949). Ini adalah buku pertama yang ditulis oleh Watkins, dan adalah buku klasik yang sangat sulit saya dapatkan saat itu. Saya butuh waktu cukup lama, berburu dan mencari buku ini hingga akhirnya mendapatkannya di salah satu toko buku bekas di Sydney, Australia.

Saya semakin yakin berada di jalur pemahaman yang benar setelah membaca lebih banyak pemikiran dan karya para pakar, khususnya terkait proses terapi menggunakan teknik abreaktif, seperti Gil Boyne, Gerald Kein, Randal Churchill, Charles Tebbetts, John G. Watkins, ‎ Richard P. Kluft, Frank W. Putnam Arreed F. Barabasz, dan Ciara C. Christensen.

Pemahaman inilah yang melandasi pemikiran saya saat menyusun Quantum Hypnotherapeutic Protocol® (QHP), protokol hipnoterapi klinis yang saya gunakan dalam praktik klinis, ajarkan dan digunakan semua hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology.  

Dalam QHP yang kami gunakan, untuk menyelesaikan masalah klien, kami selalu mencari kejadian paling awal yang menjadi penyebab masalah. Ini dilakukan dengan pemahaman bahwa tidak mungkin ada asap (simtom masalah) tanpa ada api (akar masalah). Dengan demikian, menurut protokol ini, saat api masalah berhasil tuntas dipadamkan maka asap (simtom masalah) juga sudah pasti hilang dengan sendirinya.

Saya kembali mendapat pemahaman penting saat membaca beberapa artikel jurnal, khususnya penanganan kasus menggunakan teknik abreaksi, seperti Efficacy of abreactive ego state therapy for PTSD: trauma resolution, depression, and anxiety (Christensen C, Barabasz A, Barabasz M, 2013 ), Efficacy of single-session abreactive ego state therapy for combat stress injury, PTSD, and ASD (Barabasz A, Barabasz M, Christensen C, French B, Watkins JG, 2013), keduanya dipublikasi di International Journal of Clinical Hypnosis.

Dalam proses terapi, untuk menemukan akar masalah, yang disebut ISE (Initial Sensitizing Event), terapis menuntun klien mundur, menggunakan teknik spesifik, menyusuri garis waktu di pikirannya, melewati satu atau lebih kejadian, disebut SSE atau Subsequent Sensitizing Event, sebelum akhirnya mendarat di kejadian paling awal. Kejadian-kejadian ini sebenarnya adalah memori spesifik dengan muatan emosi dan tersimpan di pikiran bawah sadar.

Pada setiap kejadian ini biasanya terkandung emosi dengan intensitas moderat, tinggi, dan bahkan sangat tinggi. Penyelesaian masalah dilakukan dengan merekonstruksi kejadian sedemikian rupa sehingga emosi yang muncul pada kejadian ini padam. Dengan padamnya emosi, secara otomatis terjadi resolusi trauma dan klien bisa memetik hikmah dari kejadian-kejadian ini untuk ia gunakan demi kebaikan hidupnya saat ini dan kemudian hari. Bila emosi tidak tuntas dipadamkan, terapi tidak maksimal. Klien dapat kambuh dan simtomnya muncul lagi.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kejadian yang sama, dialami oleh orang berbeda, menghasilkan dampak yang juga berbeda. Ada yang mengalami trauma, ada yang hanya kaget sejenak, dan ada yang sama sekali tidak terpengaruh.

Untuk satu kejadian terekam di otak sebagai memori traumatik butuh lima syarat. Pertama, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi. Kedua, kejadian ini bermakna bagi individu. Ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung. Keempat, individu merasa terperangkap, tidak bisa menghindar atau keluar dari kejadian ini, Kelima, individu merasa tidak berdaya.

Kejadian yang dimaksud pada poin pertama bisa berupa kejadian yang dialami secara langsung oleh individu, atau kejadian yang disaksikan tapi individu tidak terlibat atau mengalaminya, atau kejadian yang ia baca dan atau dengar dari media massa atau media sosial, atau kejadian yang ia dengar dari orang yang mengalami, atau bahkan bisa kejadian dalam mimpi.

Dari cerita proses terapi di atas dapat disimpulkan bahwa sejatinya akar dari segala akar masalah adalah emosi, bisa positif atau negatif, tapi biasanya negatif, yang lekat pada memori kejadian yang klien alami.

Pemahaman dari Perspektif Teori Ego Personality

Manusia bukan entitas tunggal. Dalam diri kita ada banyak Bagian Diri atau Ego Personality (EP) dengan peran, karakter, fungsi, kepribadian, tujuan, pola pikir, dan agendanya sendiri (Watkins dan Watkins, 1997; Emerson, 2003, 2006).

Setiap kejadian, terutama pengalaman dengan muatan emosi intens, baik positif maupun negatif, direkam dan menjadi bagian EP spesifik. Dengan demikian, saat akan melakukan terapi, untuk mengatasi masalah klien, EP yang memegang data ini harus aktif atau diaktifkan. Bila terapi dilakukan bukan pada EP yang tepat sasaran, pasti tidak efektif.  

Dalam satu saat hanya bisa ada satu EP yang aktif mengendalikan individu. EP ini disebut executive. Sementara EP lainnya, terutama yang bermasalah, tinggal di kedalaman pikiran bawah sadar, underlying, tidak disadari atau diketahui keberadaannya namun membuat masalah.

Untuk dapat menjangkau EP underlying, bisa dengan beberapa cara. Klien bisa dibawa “turun” masuk kondisi hipnosis dan baru setelahnya terapis mengakses EP ini. Cara lain, terapis menggunakan protokol tertentu, langsung minta bicara dengan EP yang hendak diproses. Namun cara ini biasanya tidak selalu berhasil. Salah satu cara efektif untuk mengakses EP adalah dengan menggunakan jalur memori dan emosi.

Pemahaman Motivasi

Sejatinya setiap individu memiliki dua jenis motivasi, dari pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Hidup berjalan baik bila motivasi dari kedua pikiran ini sejalan atau saling mendukung. Bila terjadi sebaliknya, saat motivasi pikiran sadar bertentangan dengan motivasi pikiran bawah sadar, hidup menjadi perjalanan yang melelahkan dan penuh masalah.

Dari berbagai literatur, diketahui bahwa pikiran bawah sadar mengendalikan diri individu antara 95% hingga 99%. Dengan demikian, perubahan atau transformasi diri dapat terjadi dengan sangat mudah bila motivasi perubahan berasal dari pikiran bawah sadar. Menggunakan teknik tertentu, hipnoterapis klinis yang cakap dapat mengakses pikiran bawah sadar dengan mudah dan membangkitkan motivasi perubahan dari pikiran bawah sadar. Hasilnya, perubahan diri terjadi dengan sangat mudah, lancar, menyenangkan, dan bertahan lama.

Pemahaman dari Fungsi Pikiran Bawah Sadar

Fungsi utama pikiran bawah sadar (PBS) adalah menjaga keselamatan hidup dan melindungi individu dari hal-hal yang ia, PBS, tahu, pikir, yakin, percaya, rasa, persepsikan sebagai hal yang merugikan atau membahayakan keselamatan dan kesejahteraan pikiran sadar dan atau tubuh fisik individu (Erickson,1977; Tebetts, 1987; Kein, 1998; Havens, 2005, Gunawan, 2008). PBS melindungi individu dengan cara yang ia pilih sendiri, tanpa bisa diintervensi pikiran sadar

Untuk mengatasi trauma, PBS klien perlu disiapkan, diedukasi, negosiasi, dirayu, diyakinkan, dan atau direedukasi sehingga mampu melihat dan memahami kondisi klien secara utuh menggunakan bingkai kearifan.

Bila hal ini berhasil dilakukan, PBS dengan senang hati melepas emosi yang selama ini mengganggu klien. Proses pelepasan emosi ini sama sekali tidak membutuhkan intervensi dari terapis atau klien. PBS melakukan sendiri dengan sukarela. Tentu, untuk mencapai kondisi ini, terapis perlu cakap dan terampil mengolah dinamika yang muncul atau dimunculkan PBS klien (Gunawan, 2010).

Pemahaman dari Perspektif Trauma dan Tubuh

Saya juga membaca buku-buku yang secara khusus membahas trauma, memori, emosi, energi emosi, dan pengaruhnya pada tubuh. Buku-buku ini antara lain Psychological Trauma (Bessel A. Van Der Kolk, 1987), Waking the Tiger: Healing Trauma (Peter A. Levine dan Ann Frederick, 1997), Healing Trauma: A Pioneering Program for Restoring the Wisdom of Your Body (Peter A. Levine, 2008), In an Unspoken Voice: How the Body Releases Trauma and Restores Goodness (Peter A. Levine dan Gabor Mate, 2010), The Body Bears the Burden: Trauma, Dissociation, and Disease (Robert Scaer, 2014), The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma (Bessel van der Kolk M.D, 2015), Trauma and Memory: Brain and Body in a Search for the Living Past: A Practical Guide for Understanding and Working with Traumatic Memory (Peter A. Levine Ph.D. dan Bessel A. van der Kolk M.D., 2015).

Dari buku-buku ini saya mendapat pemahaman bahwa saat makhluk, khususnya, hewan mengalami kejadian yang membuatnya stres, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, stres, atau biasa disebut sebagai entrofi, dikeluarkan dari tubuh. Secara alamiah hewan akan melakukan shaking atau gemetar pada tubuhnya, terutama pada tungkai. Proses shaking ini terus terjadi sampai entrofi berhasil tuntas dikeluarkan dari sistem tubuhnya. Kedua, bila karena sesuatu hal, hewan tidak bisa mengeluarkan stres dari sistem tubuhnya, stres ini tersimpan dalam bentuk energi yang menetap di bagian tubuh atau organ tertentu. Selama energi ini masih ada di dalam tubuh, ia akan mengganggu kerja tubuh, dan terutama menempatkan hewan ini senantiasa dalam posisi waspada penuh, gelisah, fight or flight (Levine dan Frederick, 1997).

Pada hewan, proses pelepasan atau pengeluaran energi stres, yang muncul karena kejadian traumatik, terjadi secara alamiah. Sistem tubuh hewan didesain sedemikian rupa sehingga secara otomatis mengeluarkan entrofi tanpa ia perlu melakukan upaya apapun. Namun tidak demikian halnya dengan manusia.

Saat manusia mengalami kejadian traumatik, muncul emosi negatif intens yang lekat pada memori kejadian, secara teknis disebut memori patologis. Emosi ini, bila tidak dinetralisir, akan tersimpan di dalam dirinya dalam bentuk energi (emotion = energy in motion), menetap di bagian tubuh atau organ tertentu. Selanjutnya, setiap kali memori ini muncul atau sengaja dimunculkan, emosi yang lekat padanya juga turut teraktivasi. Memori ini bisa dalam bentuk visual (gambar), suara (auditori), dan perasaan atau sensasi fisik tertentu.

Pemahaman dari Perspektif Neurosains

Memori kejadian, khususnya bermuatan emosi negatif intens, tidak memudar atau hilang seiring waktu berjalan seperti memori pada umumnya, bahkan setelah puluhan tahun kemudian. Memori masa lalu ini selalu hadir di masa sekarang (Van der Kolk, Weisaeth, dan van der Hart, 2007).

Memori traumatik dapat digambarkan sebagai jalur neuron menghubungkan reseptor-reseptor glutamat yang tercipta saat individu mengalami kejadian traumatik. Saat jalur neuron ini teraktivasi ulang oleh pemicu, individu mengalami kembali kejadian seolah-olah baru terjadi (revivifikasi). Ini dinamakan konsolidasi sinaptik. Aktivasi ulang jalur sinaptik neuron yang dikonsolidasi oleh glutamat, pada saat mengingat kembali kejadian traumatik, membuat jalur ini rentan untuk diputus (Nader, Schafe, dan LeDoux, 2000).

Emosi yang tersimpan dalam diri manusia tidak bisa lepas atau padam dengan sendirinya (Gunawan, 2014). Emosi ini akan menaikkan level keaktifan amigdala, bagian otak yang melakukan regulasi afek, memengaruhi mekanisme fight or flight. Saat amigdala over-aroused maka kondisi emosi individu menjadi tidak baik. Ia mudah cemas, mudah marah, takut, sedih berlebih, tidak stabil, dan bisa mengalami berbagai gangguan emosi lainnya (Feinstein, 2010).

Singkat cerita, amigdala yang over-aroused atau terlalu aktif mengakibatkan regulasi emosi tidak berjalan seperti seharusnya dan mengakibatkan klien mengalami masalah.  

(Energi) emosi ini juga dapat menyebabkan level serotonin di amigdala turun di bawah batas normal dan berdampak buruk pada kondisi mental individu. Energi ini memengaruhi kinerja organ tubuh dan dapat mengakibatkan beragam penyakit fisik.

Dari salah satu literatur yang saya pelajari, saya mendapat informasi berharga tentang penelitian selama 10 tahun yang dilakukan oleh tim peneliti Universitas Harvard, dipimpin Kathleen Hui, MD. Menurut Hui:

Functional MRI and PET (Positron Emission Tomography) studies on accupuncture at commonly used accupuncture points have demonstrated significant modulatory effects on the limbic system.

Dari hasil penelitian ini (The Harvard neuroimaging studies) diperoleh informasi penting yaitu stimulasi pada titik akupuntur spesifik mengirim sinyal yang mampu secara instan mengurangi level keaktifan amigdala. Dengan bahasa yang lebih sederhana, ada cara untuk “mendinginkan” amigdala yang “panas”. Saat amigdala kembali “dingin” maka regulasi emosi individu menjadi baik atau kembali normal.

Untuk “mendinginkan” amigdala, tentu langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengeluarkan (energi) emosi yang terperangkap di tubuh atau sistem psikis. Dan untuk bisa melakukan hal ini, emosi yang tersimpan di pikiran bawah sadar atau tubuh harus diaktifkan. Cara paling mudah untuk mengaktifkan emosi adalah dengan menggunakan jalur memori. Dari uraian di atas, emosi lekat pada memori kejadian. Saat memori aktif atau diaktifkan maka emosi juga turut aktif. Saat emosi aktif, ia membanjiri sungai energi, meridian. Dan pada saat inilah (energi) emosi dapat diproses dengan mudah.

Pemahaman dari Perspektif Sistem Meridian

Saat individu secara sengaja mengingat suatu pengalaman traumatik, maka ia sejatinya memilih dan mengaktifkan memori spesifik yang tersimpan di pikiran bawah sadar.

Pada memori ini lekat emosi dengan intensitas tertentu. Dan saat individu mengingat suatu kejadian, yang ia lakukan sebenarnya adalah menaikkan memori ini ke pikiran sadar. Di pikiran sadar, memori dan emosi menjalani proses berbeda. Memori, yang adalah narasi kejadian, masuk ke memori kerja pikiran sadar dan diketahui oleh individu. Sementara emosi, yang adalah energi, setelah “naik” ke permukaan, masuk ke sungai energi yang letaknya di bawah permukaan kulit. Sungai energi ini dikenal sebagai jalur meridian. Manusia memiliki dua puluh meridian, dua belas meridian utama dan delapan meridian “istimewa”.

Setiap meridian memiliki arah aliran energi alamiah yang spesifik. Ada meridian yang energinya mengalir dari bawah naik ke atas. Dan sebaliknya ada meridian yang arah aliran energi alamiahnya adalah dari atas ke bawah.

Kita dapat memengaruhi, menguatkan atau merilekskan meridian dengan melakukan penelusuran menggunakan telapak tangan, yang tentunya juga berisi energi, mengikuti atau berlawanan dengan arah aliran energi alamiah meridian.

Saat kita tahu ada emosi tersimpan di tubuh, maka emosi ini dapat dilepas dengan cara mengumpulkan emosi di kedua kepalan tangan, dilanjutkan dengan mengebas atau menghentakkannya ke lantai (Eden dan Feinstein, 2008). Sampai pada tahap tertentu, cara ini efektif. Namun, dari pengalaman kami, tidak semudah dan sesederhana ini prosesnya. Saya jumpa banyak klien yang sebelumnya telah mencoba mengatasi emosinya dengan cara ini, namun gagal.

Salah satunya adalah klien saya, usia 23 tahun, mengalami stres berat karena hampir di-DO oleh universitas tempatnya belajar. Menurut klien, ia mengalami gejala Parkinson karena kedua tangannya bergetar. Klien berusaha membuat tangannya stabil, tidak gemetar, dengan mengebas atau menghentak lengannya. Setelahnya, tangannya berhenti gemetar sejenak, kemudian kambuh lagi.

Saya sampaikan pada klien bahwa ia tidak bisa mengeluarkan entrofi dengan cara ini. Ada emosi intens dalam dirinya dan ini mengganggu fisiknya. Yang ia alami adalah hysterical tremor bukan Parkinson.

Saat seseorang mengingat kejadian traumatik, memori ini naik ke permukaan, diketahui oleh pikiran sadar, dan emosi, dalam bentuk energi, masuk ke jalur meridian. Emosi ini biasanya dirasakan di bagian tubuh tertentu, seperti di daerah dada, ulu hati, perut, punggung, leher, kepala, punggung, tangan, atau kaki. Biasanya hanya di satu bagian tubuh. Dari temuan di ruang praktik, saat kami memroses emosi klien, diketahui bahwa ada dua tempat emosi menetap di tubuh. Saya menyebutnya sebagai lokasi primer dan sekunder.

Lokasi primer adalah tempat, di tubuh, di mana emosi paling kuat dirasakan oleh individu. Lokasi sekunder adalah tempat emosi menetap tapi, sebelumnya, tidak dirasakan atau diketahui klien. Saat emosi ini diproses, barulah klien merasakan ada aliran energi (emosi). Aliran ini bisa dirasakan bermula dari kaki, tangan, lengan, atau bagian tubuh lain.

Emosi di lokasi primer mudah diproses. Sementara emosi di lokasi sekunder lebih sulit karena sering tidak diketahui keberadaannya. Untuk dapat mengakses emosi di lokasi sekunder dan melepaskannya, saya menggunakan teknik hipnoterapi klinis.

Upaya melepas atau mengeluarkan (energi) emosi yang terperangkap dalam tubuh dengan cara mengebas atau menghentak tangan dan kaki tidak efektif karena individu tidak bisa memastikan apakah emosi ini berasal dari kejadian paling awal (ISE) atau kejadian-kejadian lanjutan (SSE). Terapi hanya akan efektif dan tuntas bila (energi) emosi yang dilepas adalah keseluruhan (energi) emosi yang berasal dari ISE maupun SSE, baik yang tersimpan di lokasi primer maupun sekunder.

Your Body is Your Subconscious

Emosi memengaruhi tubuh melalui senyawa kimiawi otak, neuropeptida. Hal ini ditemukan oleh Candace B. Pert, Ph.D., melalui penelitiannya, dan ditulis ke dalam buku Molecules Of Emotion: The Science Behind Mind-Body Medicine, terbit tahun 1999. Dalam satu audio book-nya, dilansir tahun 2005, Pert menyatakan bahwa Your Body is Your Subconscious. Dasar pernyataan ini adalah hasil penelitian Beliau yaitu saat kita merasakan emosi tertentu, otak menghasilkan senyawa kimiawi neuropeptida, berisi informasi spesifik. Neuropeptida ini selanjutnya menyebar ke seluruh sel tubuh dengan membawa pesan ini. Saat tiba di sel tubuh, neuropeptida ini "docking" di reseptor sel, seperti flashdisk dimasukkan ke port USB laptop, dan mengunduh (download) informasi ke inti sel.

Dari penelitan Pert diketahui bahwa apapun yang kita pikirkan, alami, dan terutama rasakan, pasti berpengaruh pada tubuh fisik. Rasa atau emosi sejatinya adalah ranah pikiran bawah sadar. Dengan demikian, tubuh adalah cerminan dari kondisi pikiran bawah sadar.

Akhirnya, Tercipta THT

Berdasar uraian di atas, jelas sekali bahwa untuk mengatasi suatu masalah perilaku, dan terutama yang disebabkan oleh kejadian dengan muatan emosi intens, cukup kompleks. Dan ini bisa menggunakan banyak pendekatan. Setiap pendekatan tentunya memiliki landasan teori, teknik dan strategi turunannya masing-masing dengan segala keunggulan dan keterbatasannya.

Teknologi di balik The Heart Technique® mencakup semua hal yang telah dijelaskan di atas, ditambah beberapa hal lain yang tidak dijelaskan di sini karena bersifat sangat teknis.

Protokol THT terdiri atas lima tahap. Dan setiap tahap menggunakan pendekatan berbeda. Cara kerja THT, berdasar pemahaman yang diuraikan di atas, dalam mengatasi masalah klien, secara detil saya jelaskan di kelas pelatihan khusus untuk para Certified Trainer The Heart Technique®.

Anda bisa membaca testimoni para pengguna THT di TESTIMONI. Dan bagi Anda yang ingin belajar The Heart Technique®, ada dua pilihan cara. Pertama, Anda hadir dan belajar langsung di worskhop The Heart Technique®. Kedua, Anda belajar melalui modul The Heart Technique®, terdiri atas buku dan DVD. Modul THT bisa didapatkan di MODUL

Demikianlah adanya….

Demikianlah kenyataannya….

Baca Selengkapnya

Past Life Regression Kembali Makan Korban

29 Juli 2018

(Kisah ini ditulis atas ijin klien, untuk edukasi publik agar lebih hati-hati memilih hipnoterapis dan tidak jatuh korban berikutnya. Mohon dibaca sampai selesai. Dan silakan share.)

Seorang klien, sebut saja sebagai Indah, mengalami depresi akibat banyak masalah dan tekanan hidup, merasa dirinya bipolar, mengalami perubahan emosi dengan cepat, bisa merasa sedih dan tiba-tiba berubah gembira. Indah sudah beberapa hari sebelumnya sempat ada pikiran untuk bunuh diri. Indah tahu ia butuh pertolongan dan memilih dibantu hipnoterapis karena menghindari obat-obatan untuk mengatasi masalahnya.

Tanggal 5 Juli 2018 Indah menjalani terapi dengan seorang hipnoterapis di Jakarta, yang biasa melakukan past life regression (PLR) atau regresi kehidupan lampau. Hipnoterapis melakukan wawancara pada Indah. Dari hasil wawancara ini diketahui masalah Indah, menurut terapis, 80% karena orangtua. Untuk itu, terapis ingin tahu bagaimana relasi Indah dengan orangtuanya di kehidupan lampau dan memutuskan melakukan regresi kehidupan lampau pada Indah.

Indah sangat ingin mengatasi masalahnya dan patuh sepenuhnya pada permintaan, tuntunan, dan sugesti yang diberikan oleh terapisnya. Terapis memulai proses terapi dengan meminta Indah menarik dan mengembuskan napas, sambil memberi sugesti setiap kali Indah menarik napas, ia menjadi semakin rileks, masuk semakin dalam. Selanjutnya terapis minta Indah tutup mata dan memberi sugesti, “Mata Anda lengket, seperti ada lem perekat sangat kuat, tidak bisa dibuka. Mata Anda sangat lengket, tidak bisa dibuka.” Terapis juga minta Indah membayangkan dirinya menuruni tangga. Semakin turun, semakin dalam, semakin rileks. Ini adalah teknik deepening, bertujuan membawa klien masuk ke kondisi hipnosis yang (sangat) dalam (deep trance).

Setelahnya, terapis menuntun Indah mundur ke kehidupan lampau. Terapis bertanya pada klien apa yang ia lihat, di tahun berapa, pakai baju apa, siapa nama klien saat itu, dan apa kejadian yang ia lihat atau dirasa ia ingat. Klien menceritakan apa yang ia lihat atau rasa lihat, dan mengatakan mundur ke tahun 1773. Intinya, klien mendapat gambaran mengapa relasi ia dan keluarganya kurang baik. Di kehidupan lampau ini, klien dan orangtuanya (di kehidupan sekarang) adalah musuh.  Mereka berperang memperebutkan wilayah. Klien menang dan mengusir musuhnya. Jadi, kalau berdasar cerita ini, Indah adalah anak dari orangtua, yang adalah musuhnya di kehidupan lampau.

Kemudian terapis minta klien mundur lagi ke kehidupan lampau yang lain. Tiba-tiba klien melihat air, sungai besar. Klien sedang berenang dan merasa dirinya adalah ikan. Di kondisi ini, saat klien berada di kondisi sangat dalam, sedang mengalami pengalaman berenang sebagai ikan, tiba-tiba terapis membangunkan klien dengan perintah, "Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.”

Terapis membangunkan Indah dengan cepat karena ternyata klien berikutnya sudah datang. Indah dibangunkan tanpa ada hitungan naik, misal dari satu ke sepuluh, atau membayangkan naik tangga, atau sugesti bahwa perekat di matanya sudah dilepas. Singkatnya, terapis hanya memberi satu kalimat perintah untuk membawa klien keluar dari kondisi rileksasi yang sangat dalam, “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.”

Indah merasa tubuhnya sangat berat, seperti orang koma, tidak bisa buka mata. Ia bisa mendengar suara tapi tubuhnya kaku, susah digerakkan. Indah tidak bisa berpikir jernih. Tapi Indah memaksakan diri untuk membuka mata mengikuti perintah terapis.

Saat sudah buka mata, terapis berkata pada Indah, “Kamu sekarang sudah bukan di tahun 1700an.” Selanjutnya terapis minta Indah untuk hanya mencatat hal-hal positif yang terjadi di kehidupan lampau itu. Hal-hal negatif dibuang atau dilupakan. Caranya, setiap kali Indah mengembuskan napas, Indah diminta untuk membuang hal-hal negatif ini ke tanah atau bumi.

Indah bertanya pada terapisnya, "Kok saya masih setengah sadar ya, seperti lagi tidur berjalan dan mata saya dibuka susah." Terapis berkata bahwa kondisi Indah ini tidak apa-apa. Nanti Indah akan kembali ke kondisi normal.

Beruntung Indah pulang ke rumah, usai terapi, dijemput teman. Bisa dibayangkan betapa bahaya kondisi Indah bila ia pulang ke rumah menyetir sendiri mobilnya. Sepanjang perjalanan pulang dan juga sepanjang hari itu Indah merasa pikirannya kosong (blank), tidak bisa berpikir. Indah merasa dirinya seperti orang tidur tapi berjalan. Kesadaran Indah tidak pulih sepenuhnya. Ia merasa seperti sedang tidur. Badan dan batin Indah seperti terpisah, jalan sendiri-sendiri.

Malamnya, karena tidak tahan dengan kondisi ini, Indah menghubungi terapisnya dan menceritakan kondisi yang ia alami. Terapis hanya menyarankan Indah tarik napas dan kembali ke kesadaran semula, sambil ditambahkan sugesti bahwa sekarang ia adalah Indah. 

Hari demi hari, kondisi Indah tidak kunjung membaik. Indah telah menghubungi terapisnya tapi belum bisa dapat jadwal dan hanya disarankan tarik dan embuskan napas. Indah menjalankan saran terapis tapi tetap tidak ada perubahan. Terapisnya juga menyalahkan Indah karena saat sedang diterapi, Indah, kata terapisnya, tidak menuruti perintahnya, yaitu menarik dan membuang energi negatif.

Selama 11 hari Indah mengalami kondisi yang sangat mengganggu ini. Kesadarannya masih "tersangkut" di tahun 1700an. Menurut Indah, ia benar-benar ibarat penyelam (diver) yang dipaksa naik, sementara pikiran bawah sadarnya masih di dasar palung lautan.

Menurut Indah, ada dua sebab mengapa ia tersangkut, tidak bisa sepenuhnya keluar. Pertama,  saat terapis memberi perintah, “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula”, ia bingung. Kondisi semula yang mana yang terapis maksud. Indah tidak mengerti apakah ia diminta kembali ke tahun 1773 saat sedang perang ataukah diminta kembali ke tahun 2018. Kedua, cara terapis membangunkan dirinya salah. Terapis melakukan dengan cepat, secara tiba-tiba, tanpa mengikuti prosedur yang benar.

Setelah 11 hari menderita, kesadarannya tidak bisa pulih seperti semula, Indah akhirnya menghubungi hipnoterapis klinis, Ibu Widya Saraswati di Jakarta. Saat jumpa Ibu Widya, begitu duduk di kursi terapi, Indah langsung masuk deep trance, tanpa terapis melakukan apapun. Mulai jam 14.30 hingga 17.30, Indah menjalani sesi wawancara dan konseling dengan Ibu Widya. Selanjutnya, selama satu jam, mulai pukul 17.30 sampai 18.30, Ibu Widya menuntun Indah untuk keluar dari kondisi trance.

Ternyata tidak mudah membawa Indah keluar dari kondisi hipnosis sangat dalam, tempat kesadarannya tersangkut. Dibutuhkan upaya dan teknik khusus untuk membawa Indah keluar. Dua upaya pertama, tidak sepenuhnya berhasil membawa Indah keluar. Indah bisa naik namun tetap masih merasa tersangkut. Barulah pada upaya ketiga, Indah berhasil keluar sepenuhnya. Rupanya, ada Bagian Diri Indah yang merasa disalahkan oleh terapis yang melakukan regresi kehidupan lampau, karena Indah tidak bisa naik ke kondisi sadar normal.

Walau Indah berhasil keluar sepenuhnya, matanya masih kabur, kepala bagian belakang dan lehernya masih terasa sakit. Ibu Widya melanjutkan proses terapi, menangani rasa sakit ini. Setelahnya, barulah Indah bisa benar-benar pulih, segar sepenuhnya, sama seperti sebelum ia menjalani hipnoterapi dengan terapis pertama.

 

(Komentar dan penjelasan Adi W. Gunawan)

Hipnoterapi ibarat pisau sangat tajam digunakan untuk melakukan pembedahan psikis. Pisau ini bisa sangat bermanfaat dan juga sangat berbahaya bergantung pada kecakapan orang yang menggunakannya.

Kisah terapi yang diceritakan di atas adalah praktik hipnoterapi yang justru sangat merugikan klien. Alih-alih klien sembuh dari masalahnya, yang terjadi adalah justru muncul masalah baru.

Hipnoterapis yang diceritakan di atas, melakukan banyak kesalahan dalam konteks teknik, proses terapi, dan etik, antara lain:

1.   Terapis memutuskan melakukan regresi kehidupan lampau, bukan atas permintaan klien, tapi atas simpulannya sendiri bahwa masalah klien pasti ada hubungannya dengan kehidupan lampaunya. Ini adalah malapraktik berat karena terapis melakukan “Leading” bukan “Guiding”. Terapis melakukan therapist-centered bukan client-centered. Dari mana terapis tahu bila akar masalah benar ada di kehidupan lampau? Yang bisa mengungkap akar masalah klien adalah pikiran bawah sadar klien, bukan pikiran sadar terapis.

2.   Terapis secara tiba-tiba menghentikan proses terapi pada saat klien sedang di kondisi hipnosis dalam, tanpa menyelesaikan (akar) masalah. Ini ibarat dokter bedah sudah membuka perut pasien, lalu tiba-tiba pasien dibangunkan dan disuruh pulang tanpa menjahit dan menutup terlebih dahulu perut pasien. Ini sungguh berbahaya.

3.   Cara terapis menghentikan proses terapi sangat tidak etis. Terapis menghentikan terapi hanya demi menerima klien berikutnya, tanpa memikirkan kondisi dan keselamatan klien yang sedang duduk di kursi terapi.

4.   Cara terapis membawa klien keluar dari kondisi hipnosis salah. Terapis hanya memberi perintah, “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.”

Ada dua kesalahan terapis. Pertama, terapis hanya memberi perintah klien untuk kembali ke kondisi semula. Ini cara yang salah. Cara yang benar untuk mengeluarkan klien dari kondisi hipnosis (sangat) dalam, tidak bisa dan tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba. Prosedur baku dalam hipnoterapi, terapis melakukan emerging dengan membalik proses deepening secara perlahan. Bila untuk masuk ke kondisi hipnosis dalam, klien dituntun dengan hitungan 1 turun ke 10, atau menuruni tangga, maka untuk mengeluarkan klien, proses ini dibalik. Terapis harus menghitung naik dari 10 ke 1, atau minta klien membayangkan naik tangga. Proses naik ini dilakukan perlahan, tidak boleh buru-buru atau cepat. Semakin dalam klien, semakin perlahan naiknya.

Kedua, saat di awal, klien diberi sugesti tidak bisa buka mata. Lalu tiba-tiba diberi sugesti “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.” Perintah ini tidak dipahami oleh pikiran bawah sadar klien sehingga klien mengalami kondisi "tersangkut" dalam kondisi trance.

5.   Terapis tidak mengerti bahwa sugesti yang ia berikan di awal proses terapi, yaitu klien tidak bisa buka mata, selama sugesti ini belum dianulir atau diganti dengan sugesti lainnya maka sugesti ini tetap bekerja. Meminta klien menarik napas berulang kali dengan harapan klien keluar dengan sendirinya ke kondisi sadar normal, ini tidak selamanya berhasil. Yang seharusnya terapis lakukan, bila mendapat keluhan dari klien, adalah langsung minta klien untuk jumpa terapis guna menyelesaikan apapun yang belum terselesaikan dari proses terapi ini.

6.   Membawa klien keluar dari kondisi hipnosis, saat ia masih mengalami dirinya sebagai ikan yang berenang di sungai, bisa berakibat fatal. Ikan bernapas di dalam air. Saat ikan dibawa keluar dari air, ikan tidak bisa bernapas. Bisa terjadi, dan untungnya ini tidak terjadi, klien tiba-tiba tidak bisa bernapas. Ini sangat berbahaya karena saat ini yang aktif adalah trance-logic pikiran bawah sadar, bukan conscious logic pikiran sadar.

7.   Terapis tidak memikirkan keselamatan klien. Dalam kondisi kesadaran belum pulih sepenuhnya klien seharusnya tidak diijinkan pulang. Untung klien tidak menyetir mobil sendiri. Bisa dibayangkan apa yang bisa terjadi bila klien menyetir mobil sendiri balik ke rumah.

 

Apakah regresi kehidupan lampau (past life regression / PLR) bisa menyelesaikan masalah? Tentu sangat dan pasti bisa. Ini dengan catatan, benar akar masalah berasal dari past life dan terapis tahu cara menyelesaikan akar masalah ini.

Yang sangat sering terjadi, terapis melakukan regresi ke past life, dengan sengaja untuk menemukan akar masalah. Ini secara konteks terapi salah karena terapis melakukan leading bukan guiding. Dan setelah berhasil "menemukan" akar masalah, akar masalah ini tidak diproses. Terapis hanya berkata pada klien, "Sekarang Anda sudah tahu apa yang membuat Anda bermasalah", dan berharap dari sini masalah bisa selesai dengan sendirinya. Mencari dan menemukan akar masalah adalah satu hal. Mengetahui akar masalah, ini hal lain. Memroses tuntas hingga terjadi resolusi trauma adalah hal berbeda lagi.

Apakah benar kejadian yang dialami seseorang, saat diregresi ke kehidupan lampau adalah benar-benar kehidupan lampau? Tidak ada yang tahu. Yang bisa saya sampaikan, pikiran bawah sadar sangat cerdas. Bisa saja, ini benar data dari kehidupan lampau, bagi yang percaya ada kehidupan lampau. Bisa juga ini adalah kriptomnesia, yaitu klien sudah pernah membaca, melihat, mendengar, atau mendapat informasi tertentu sebelumnya, dan klien lupa informasi ini. Saat proses PLR, data ini keluar dan seolah-olah adalah kejadian di kehidupan lampau. Kemungkinan lain, kejadian yang klien alami, di kehidupan lampau, sesungguhnya adalah metafora yang sengaja dimunculkan oleh pikiran bawah sadar untuk menyelesaikan masalah klien.

Saya tidak menentang PLR. Saya mengajarkan teknik PLR dan mendemokan cara melakukannya di kelas SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy). Dalam menangani klien, saya menggunakan teknik hypnotic age regression. Dalam beberapa kasus, terjadi regresi spontan ke past life. Bagi saya, ini hal biasa saja, tidak ada yang istimewa atau luar biasa. Saya proses kejadian di “past life” ini sampai tuntas, terjadi resolusi trauma, dan klien sembuh.

Saya tidak setuju bila terapis secara sengaja melakukan PLR. Saya tidak setuju karena dua hal. Pertama, bila PLR dilakukan secara sengaja, ini adalah leading. Kedua, berkaitan dengan iman. Ada agama yang mengajarkan tentang past life dan kelahiran kembali. Ada yang secara tegas mengatakan tidak ada past life.

Bila klien, dengan iman yang menyatakan tidak ada past life, menjalani PLR, apakah ia bisa mundur ke “past life”? Jawabannya, bisa ya, bisa tidak. Semua bergantung pada klien.

Bila klien yang tidak percaya tentang past life, berhasil diregresi ke “past life”, dan saat ini ia dalam kondisi hipnosis sangat dalam, maka pengalaman ini diterima pikiran bawah sadar sebagai kebenaran, terekam dengan sangat kuat di memori. Bisa dibayangkan apa yang mungkin terjadi dengan klien?

Saran buat para Sahabat yang ingin mengatasi masalah dengan hipnoterapi, pastikan Anda dibantu hipnoterapis cakap, kompeten, dan menjalankan praktiknya dengan integritas. Ada banyak hipnoterapis cakap, andal, dan sangat mumpuni dalam membantu klien. Sebaliknya, ada banyak hipnoterapis yang sebenarnya tidak tahu apa yang ia lakukan ternyata salah dan berbahaya bagi klien.

 

Ini saya dapat pertanyaan dari Indah: Pak Adi, bila misalnya kondisi seperti seperti saya ini, apakah klien bisa kembali pulih dan sadar dari kondisi trance, kalau sudah benar-benar dalam begitu seperti yang saya alami di coma state, keluar ke kondisi sadar normal dengan sendirinya, tanpa bantuan terapis? Maksudnya, lama-lama bisa pulih sendiri, walau butuh waktu lama.

Berikut ini jawaban saya:

Kondisi yang Indah alami ini sebenarnya adalah kondisi yang sangat alamiah, normal, wajar, biasa. Kedalaman trance berlapis-lapis. Ada banyak skala kedalaman trance. Di AWGI, kami menggunakan skala Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, menggunakan angka dari 1 sampai 40. Angka 1 artinya sadar normal dan 40 adalah tidur. Antara 1 dan 40 ada lapisan-lapisan kesadaran dan kedalaman trance dengan fenomena yang sangat spesifik.

Kalau membaca kisah Indah, yang merasa tubuh berat, tidak bisa bergerak atau sulit digerakkan, mata sulit dibuka, maka Indah berada di kedalaman 35 (Catatonia). Ini lebih dalam dari level 33, yang biasa disebut kondisi Esdaile atau Coma State atau Plenary State. Di level 33 ini terjadi anestesi spontan di seluruh tubuh, tanpa perlu sugesti. Artinya, siapa saja bila masuk di level 33, pasti mengalami fenomena ini. Ini kalau di dunia medis, bisa digunakan untuk operasi tanpa obat bius. Bisa untuk melahirkan, operasi perut, amputasi, dll.

Di pelatihan SECH AWGI saya biasa menuntun peserta masuk bahkan ke kedalaman hingga 37, 38, dan 39. Di kedalaman ini subjek tidak lagi bisa merasakan tubuhnya. Pikiran sadarnya berhenti total, tidak bisa berpikir apapun, walau subjek berusaha untuk berpikir. Yang ada hanyalah pikiran tenang, hening, diam. Ini adalah kondisi hipnosis atau trance atau meditatif yang sangat dalam.

Bedanya, kalau di kelas pelatihan SECH, saya menjelaskan detil dulu kedalaman trance ini, apa yang akan terjadi, apa yang dirasakan subjek, dan setelahnya saya menuntun subjek keluar dengan prosedur yang benar. Tidak asal disuruh buka mata dan kembali ke kondisi semula.

Bila subjek dituntun masuk ke dalama ekstrim ini, TANPA dijelaskan terlebih dahulu apa yang akan terjadi, subjek bisa panik dan ketakutan, seolah tidak bisa keluar. Ketakutan atau panik ini justru bisa memperdalam kondisi trance. Semakin seseorang takut tidak bisa keluar trance, semakin besar kemungkinan ia TIDAK BISA keluar.

Ini terjadi karena hukum pikiran bawah sadar bekerja dengan cara berbeda dibandingkan dengan pikiran sadar. Di pikiran bawah sadar, berlaku trance-logic, bukan conscious-logic. Ini juga yang menyebabkan mengapa Indah tidak mengerti saat terapis memberi perintah, "Tarik napas dan kembali ke kondisi semula."

Jadi, sebenarnya, secara alamiah, subjek yang sudah dibimbing masuk ke kondisi deep trance dia PASTI akan keluar dengan sendirinya. Ini adalah kondisi alamiah kita setiap hari. Saat mau tidur, kita turun dari kondisi sadar normal ke kondisi tidur (tidak sadar). Saat bangun, kita naik dari kondisi tidur, perlahan-lahan, ke kondisi sadar normal.

Bedanya, kondisi Indah, ini tidak alamiah. Indah ada mendapat sugesti dari terapis, mata Indah lengket, tidak bisa dibuka. Juga ada sugesti, setiap tarik napas, Indah masuk semakin dalam dan semakin rileks. Sugesti-sugesti ini TIDAK PERNAH dicabut oleh terapis. Dengan demikian, sugesti ini justru menjadi semacam hypnotic seal atau segel hipnosis yang mencegah Indah keluar dari kondisi trance.

Ada hypnotic seal yang mencegah subjek masuk trance. Ada yang untuk mencegah subjek keluar trance. Ini bergantung kepiawaian si terapis. Dari kasus Indah, secara tidak sengaja atau tidak disadari, terapis memasang hypnotic seal yang mengakibatkan Indah sulit atau tidak bisa keluar dari trance.

Bila subjek dituntun dengan cara yang benar atau tepat, saat ia naik, keluar dari kondisi trance, sugesti mata lengket dll, ini secara otomatis dianulir oleh pikiran bawah sadar klien sehingga klien kembali ke kesadaran normal.

Demikianlah adanya....

Demikianlah kenyataannya.....

Baca Selengkapnya

Empat Faktor Penting dalam Pendidikan Terapis

10 Juni 2018

Dalam artikel Sepuluh Karakteristik Terapis Efektif  telah dijelaskan kualitas inti yang perlu dikembangkan untuk dapat menjadi terapis efektif. Selain ini, masih ada faktor penting lain yang juga berpengaruh signifikan terhadahap kualitas dan keefektifan seorang terapis, yaitu pendidikan yang ia jalani.

Dalam proses pendidikan, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keluaran dan kualitas terapis yang dihasilkan. Pertama, kualitas “bahan baku” calon hipnoterapis. Semakin baik kualitasnya maka semakin besar kans untuk menghasilkan hipnoterapis cakap, andal, efektif. Kualitas yang dimaksud tidak semata merujuk pada tingkat kecerdasan intelektual (IQ), tapi lebih pada kecerdasan emosi (EQ), kematangan kepribadian, nilai-nilai hidup (value), kepercayaan (belief), citra diri, dan alasan yang mendasari seseorang memutuskan menjadi terapis.

Faktor kedua adalah kualitas pengajar. Ini adalah aspek paling penting dalam proses mencipta terapis kompeten. Penelitian menunjukkan bahwa dalam setiap kasus yang diteliti, kualitas, kecakapan, dan kemampuan pengajar sangat menentukan dan memengaruhi kualitas terapis yang dihasilkan. Dengan kata lain, pengajar yang benar-benar cakap (high functioning) dapat membentuk, mengembangkan murid dengan kemampuan awal di bawah rata-rata menjadi terapis yang juga cakap dan andal menyerupai dirinya. Demikian sebaliknya, pengajar yang tidak cakap (low functioning) akan menghasilkan terapis tidak efektif, sama seperti dirinya, dan dapat merugikan klien (Rothstein, 1988).

Hipnoterapi dipelajari sebagai cabang ilmu psikologi dan dipraktikkan sebagai seni yang hidup, menelusuri pikiran bawah sadar klien, mencari dan menemukan akar masalah, melakukan rekonstruksi kejadian paling awal untuk mencapai resolusi demi kebaikan hidup klien. Untuk itu, seorang pengajar harus benar-benar menguasai landasan teori materi yang ia ajarkan, menguasai dengan sangat baik beragam teknik intervensi klinis yang telah terbukti dan teruji secara klinis efektif membantu klien mengatasi beragam masalah, dan ia adalah praktisi aktif, berpengalaman, dengan rekam jejak yang baik.

Banyak sekali pengajar hanya menguasai teori, bukan praktisi. Tentu saat mengajar, mereka hanya mengajarkan pengetahuan terapi, bukan cara melakukan terapi efektif. Ini sama seperti seorang “ahli” renang, yang tidak bisa berenang, mengajarkan cara berenang di kelas, tanpa praktik di kolam renang. Saat muridnya masuk ke kolam renang, mereka sudah pasti tidak bisa berenang. Dan saat murid minta petunjuk kepada pengajarnya, ia tidak bisa memberikan bimbingan praktik, tidak berani masuk ke kolam renang, dan hanya bisa memberi petunjuk dari samping kolam dengan mengacu pada buku atau teori.

Ketiga, kurikulum dan fokus program pendidikan. Yang dimaksud dengan konten dan fokus di sini adalah materi yang diajarkan, hasil apa yang ingin dicapai, apakah pendidikan bertujuan menghasilkan hipnoterapis kompeten, mampu melakukan terapi dengan benar, efektif, ataukah hanya sekedar menghasilkan hipnoterapis yang tahu tentang hipnosis dan hipnoterapi namun tidak kompeten dalam melakukan terapi. Di sini perlu dicermati jurang lebar yang memisahkan certified hypnotherapist dan qualified hypnotherapist. Seorang certified hypnotherapist belum tentu qualified melakukan hipnoterapi. Sertifikat, berapapun jumlah yang dimiliki terapis, tidak serta merta menjamin ia adalah terapis efektif.

Pada hampir semua pelatihan hipnoterapi, baik di dalam maupun luar negeri yang pernah saya ikuti atau pelajari kurikulumnya, konten dan fokus hanya pada teori, teknik, dan bila sempat, praktik. Jarang ditemukan ada pelatihan yang fokus mengembangkan variabel karakater terapis efektif, terdiri atas sepuluh aspek. Pengembangan karakter ini tentunya butuh waktu, tidak bisa dicapai melalui proses singkat. Selain itu, sangat jarang ada pengajar hipnoterapi melakukan live therapy di depan kelas, untuk menunjukkan bagaimana seharusnya terapi dilakukan dengan benar, tepat, efektif seperti yang ia lakukan di ruang praktik.

Keempat, modalitas pendidikan yang tidak tepat sasaran. Dalam proses pendidikan menjadi hipnoterapis, atau terapis secara umum, peserta harus, selain mendapat landasan teori, mendapat kesempatan melakukan banyak praktik di bawah supervisi pengajar cakap dan berpengalaman (high functioning). Program pelatihan yang melibatkan banyak pengalaman praktik meningkatkan kemampuan terapi peserta didik secara signifikan.

Saat terapis telah menjalani proses pendidikan dan mengembangkan sepuluh kualitas inti dengan baik, saat praktik membantu klien mengatasi masalah, terapis perlu menyadari bahwa ada empat faktor penting yang juga sangat memengaruhi dan menentukan keberhasilan terapi: klien (40%), relasi (30%), plasebo atau pengharapan (15%), dan teknik (15%).

Faktor klien meliputi beberapa hal, antara lain keinginan (willingness) dan kesiapan (readiness) untuk berubah, kepercayaan atau belief-nya, dukungan orang dekat, pasangan atau keluarga, dan juga lingkungan.

Sementara yang dimaksud dengan faktor relasi adalah relasi terapeutik, bukan relasi biasa, bukan sekedar membangun hubungan persahabatan antara terapis dan klien, atau umumnya disebut rapport. Relasi terapeutik adalah hubungan khusus antara klien dan terapis, berlandaskan rasa saling percaya dan menghargai, komitmen masing-masing pihak untuk melakukan upaya maksimal demi mencapai tujuan terapeutik. Komunikasi antara terapis dan klien diarahkan semata untuk mencapai tujuan terapeutik.

Faktor plasebo atau pengharapan juga memainkan peran penting dalam proses terapi. Pengharapan memainkan peran penting karena salah satu hukum pikiran menyatakan apa yang pikiran harapkan terjadi, cenderung menjadi kenyataan. Jadi, bila klien (sangat) berharap untuk bisa sembuh, tanpa memerhatikan faktor lainnya, kemungkinan ia sembuh sebesar 15%. Ini satu angka yang cukup besar.

Dan yang terakhir adalah faktor teknik yang dikuasai oleh terapis. Ada banyak terapis, karena tidak mengerti atau mengetahui pentingnya sepuluh kualitas inti dan empat faktor yang dijelaskan di atas, lebih fokus memelajari berbagai teknik dengan harapan dapat menjadikan dirinya terapis efektif. Realitanya tidak seperti ini. Justru banyak terapis gagal mencapai tujuan terapi karena lebih sibuk menjalankan peran sebagai mekanik, bukan penyembuh.

Bila terapi yang mereka lakukan belum berhasil memberi hasil seperti yang diharapkan, alih-alih menelisik ke dalam diri apa yang masih kurang, mereka justru menyalahkan teknik karena dianggap tidak efektif. Untuk itu, mereka belajar lagi teknik yang diyakini lebih efektif, dan setelah dipraktikkan, gagal lagi. Demikian seterusnya hingga akhirnya mereka “sadar” bahwa terapi bukanlah bidang yang “sesuai” untuk mereka, dan memutuskan berhenti menjadi terapis.

Baca Selengkapnya

Sepuluh Karakteristik Terapis Efektif

21 Mei 2018

Menjadi hipnoterapis klinis adalah dedikasi dan komitmen seumur hidup. Keputusan menjadi hipnoterapis klinis dibuat melalui pertimbangan matang, mendalam, dengan alasan tepat. Calon hipnoterapis juga perlu memutuskan akan menjadi hipnoterapis tipe apa dalam konteks keefektifan terapeutik: efektif rendah (low functioning), efektif menengah (average functioning), dan efektif tinggi (high functioning).

Tentu ada banyak variabel memengaruhi dan menentukan hasil terapeutik positif yang dicapai hipnoterapis. Variabel ini antara lain klien, terapis, populasi, lingkungan, institusi, dan lainnya. Dari sekian banyak variabel yang memengaruhi keefektifan terapeutik, ada satu variabel penting, berdasar temuan penelitian, berpengaruh signifikan, berkorelasi sangat kuat dan konsisten, yaitu variabel karakteristik atau kualitas inti pada diri terapis (Rothstein, 1988).

Kualitas inti dari terapis efektif adalah karakteristik unik dari masing-masing individu, dan tidak bisa di-teknik-kan. Karakteristik ini bersumber pada penghargaan pada hidup dan kehidupan sesama, dorongan tulus untuk melayani, rasa percaya diri dan kerendahan hati. Program pelatihan yang hanya fokus pada hal-hal teknis, seperti yang dinyatakan oleh Carkhuff & Berenson (1967) dan Egan (1977), akan semakin menjauhkan para calon terapis dari kesempatan untuk mengembangkan karakteristik ini.

Sepuluh kualitas inti yang harus ada dan dikembangkan dalam setiap individu untuk menjadi terapis efektif adalah 1) empati (empathy), 2) rasa hormat (respect), 3) apa adanya (genuineness), 4) kehangatan (warmth), 5) konkrit (concreteness), 6) konfrontatif (confrontiveness), 7) keterbukaan diri (self-disclosure), 8) kesegeraan (immediacy), 9) daya pengaruh (potency),  and 10) aktualisasi diri (self-actualization).

Tiga kualitas inti pertama, empati, rasa hormat, dan apa adanya, ditemukan dan ditulis dalam paper klasik Carl Roger berjudul “The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality Change” (1957).

Bergin (1966) melakukan kaji ulang banyak literatur, menemukan hal serupa, dan setuju dengan pendapat dan temuan Roger (1957).  Bergin (1966) menyatakan bahwa kemajuan terapeutik bervariasi sejalan dengan karakteristik terapis, seperti kehangatan, empati, kemampuan menyesuaikan diri, dan pengalaman. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Garfield (1974) dan Bath dan Calhoun (1977).

Pentingnya tujuh karakteristik lainnya, dalam diri terapis efektif, selain tiga pertama yang dinyatakan oleh Rogers (1957), dalam memengaruhi dan menentukan hasil terapi dinyatakan oleh Truax, Uhlig, dan Fargo (1968), Collingwood dan Renz (1969) Truax, Altman, dan Wittmer (1973), dan Fischer dan Knapp (1977).

Terkait pentingnya sepuluh kualitas inti yang perlu ada dalam terapis efektif, Traux (1970) dengan sangat gamblang dan tegas menyatakan:

The most clear-cut and striking body of evidence available concerning basic ingredients in effective counseling deals with central interpersonal skills. The effective counselor is first and foremost an expert in interpersonal relation.. spesializes techniques and expert knowledge are (clearly) secondary.

Empati tidak hanya melibatkan pemahaman terapis akan perasaan klien, juga mencakup kemampuan untuk secara akurat mengerti apa yang klien alami dan ungkapkan, dan juga mampu menyampaikan hal ini pada klien. Klien merasa aman, dipahami, diterima, tidak dihakimi, dan mengerti bahwa adalah hal wajar atau lumrah bila ia merasa apa yang ia rasakan. Saat klien merasa dimengerti, ia akan berani membuka diri dan mengungkap lebih banyak hal kepada terapis. Empati adalah kunci pembuka pintu relasi terapeutik antara terapis dan klien.

Dalam rasa hormat terkandung tiga komponen penting. Pertama, penghargaan akan kehormatan, harkat dan martabat, dan nilai sesama. Terapis bersikap netral, tidak terpengaruh oleh tampilan fisik atau cara berpakaian klien, dan juga tidak menghakimi klien atas tindakan yang telah ia lakukan di masa lalu.

Komponen kedua dalam rasa hormat adalah terapis menjunjung tinggi dan menghargai kehendak bebas (free will) klien untuk merasakan atau mengalami emosi tertentu, untuk terus memilih menderita, membuat kesalahan, atau bahkan pilihan klien untuk tidak mau dibantu pada aspek tertentu, padahal menurut pandangan terapis, sangat mendesak dan penting untuk diselesaikan. Terapis tidak melindungi atau mengambil alih masalah klien, atau mencoba memengaruhi atau mendominasi klien secara berlebih. Terapis membantu klien memahami konsekuensi dari setiap pilihan klien.

Dalam rasa hormat juga terkandung penghargaan akan kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya, dengan bantuan terapis. Terapis efektif memiliki pengharapan tinggi terhadap keberhasilan terapi yang dijalani klien. Terapis paham sepenuhnya bahwa sukses tidak terjadi secara kebetulan, namun berasal dari aplikasi prinsip-prinsip ilmiah yang telah teruji efektif. Terapis efektif mengerti bahwa rasa sakit atau penderitaan dapat menjadi sekutu dalam terapi, dan kegagalan adalah guru yang dapat memberi pelajaran penting untuk klien berubah dan bertumbuh. Dengan demikian, terapis tidak memperlakukan klien sebagai individu lemah atau sakit.

Rasa hormat adalah variabel fasilitatif paling mendasar. Bila terapis memiliki rasa hormat mendalam dan tulus pada klien, ia boleh kurang cakap dalam hal teknis namun tetap bisa efektif membantu klien. Sebaliknya, tidak peduli betapa hebat terapis menguasai teknik atau pengetahuan, bila ia tidak atau kurang memiliki rasa hormat, ia akan tidak efektif dan bahkan dapat memberi pengaruh buruk pada klien.

Yang dimaksud dengan “apa adanya” adalah terapis bebas menjadi diri sendiri, tidak berpura-pura atau palsu. Terapis tidak memainkan peran sebagai terapis tapi benar-benar bertindak sebagai terapis. Bersikap apa adanya tidak berarti terapis menceritakan semua yang ia pikir atau rasakan kepada klien. Bersikap apa adanya memiliki batas. Terapis tahu waktu yang tepat untuk menyampaikan hal yang klien perlu ketahui. Terapis tidak asal mengungkap masalah atau kesulitannya sendiri kepada klien karena ini akan berpengaruh negatif terhadap klien.

Karakteristik lain yang dimiliki terapis efektif adalah kehangatan. Terapis menyampaikan perhatian, pemikiran, dan perasaan mereka kepada klien baik secara verbal dan nonverbal dengan cara yang bersifat mendukung, menguatkan, dan meneguhkan klien. Terapis menjaga kontak mata, melihat dan menyampaikan secara verbal hal-hal positif dalam diri klien.

Karakteristik konkrit artinya kekhususan yang relevan. Terapis yang bersifat konkrit tidak akan melebar dan melakukan eksplorasi perasaan dan proses berpikir yang tidak relevan dengan tujuan terapi. Terapis konkrit fokus pada hal-hal pokok, melakukan eksplorasi dengan bertanya apa, di mana, mengapa, bagaimana, dan siapa yang terlibat dalam masalah klien, dan membantu klien memasuki area sensitif masalahnya. Dalam proses ini, bila difasilitasi dengan baik, klien sering mengalami abreaksi kuat dan mendapat pembelajaran atau hikmah yang bersifat terapeutik. 

Terapis efektif berani berbeda pendapat dan konfrontatif dengan klien. Konfrontatif di sini tidak berarti agresif atau bertujuan menyerang klien. Konfrontatif dalam konteks terapi maksudnya terapis berani menyampaikan ketidaksesuaian atau inkonsistensi antara ucapan dan tindakan, perbedaan antara niat dan perilaku klien. Terapis efektif melakukan konfrontasi dengan sikap terbuka, tulus, hangat, demi kebaikan klien, walau klien mungkin akan marah karena inkonsistensi mereka diungkap oleh terapis. Terapis efektif melakukan konfrontasi secara langsung dan konsisten dalam upaya membantu klien mereka dua puluh kali lebih banyak daripada terapis tidak efektif (Wolf, 1970).

Terapis umumnya dilatih untuk menjaga jarak, fokus hanya pada masalah klien, dan tidak boleh menceritakan pengalaman, pandangan, sikap, atau perasaannya pada klien. Terapis efektif, pada saat yang tepat, akan bercerita tentang diri mereka dengan tujuan memberi pelajaran, kekuatan, pemahaman, dan atau peneguhan pada klien. Banyak terapis diajarkan untuk diam dan tidak melibatkan diri dengan klien mereka. Jika terapis menjalani hidup seperti yang mereka lakukan di ruang terapi, diam dan tidak melibatkan diri, mereka akan berakhir sebagai klien (Carkhuff dan Berenson, 1967).

Walau terapis boleh mengungkap diri pada klien, namun ini tidak boleh menjadi ajang curhat terapis ke klien. Fokus perhatian harus tetap pada masalah dan diri klien. Keterbukaan diri yang terapis lakukan akan diterima klien dengan makna, “Kita selesaikan masalah ini bersama. Kita semua punya pengalaman, idealisme, pengharapan, pemikiran, dan perasaan serupa. Kita bisa saling terbuka. Ini aman dan baik adanya.”

Kesegeraan merujuk pada komunikasi di sini, saat ini, antara terapis dan klien, khususnya mengenai aspek interaksi dan relasi. Terapis memerhatikan benar perasaan atau pandangan klien terhadap diri terapis. Terapis berani dan mengundang klien untuk mengungkap perasaannya, apakah klien nyaman, percaya, atau tidak percaya terhadap terapis dan menyelesaikan ketidaknyamanan klien dengan segera.

Daya pengaruh adalah kekuatan kehadiran, vibrasi yang berasal dari terapis yang yakin, semangat, percaya diri, komit, tahu kemampuan yang ia miliki. Klien merasa aman dengan kehadiran terapis yang memiliki energi dan daya pengaruh positif dan kuat, bersedia membuka dan menelaah diri, dengan bantuan terapis, untuk menemukan solusi atas masalah mereka.

Terapis efektif adalah mereka yang bergerak mewujudkan potensi diri dan menjalani hidup secara efektif, positif, dan bernas. Terapis efektif memelajari prinsip mendasar tentang cara menjalani  dan menikmati hidup secara penuh, bahagia, seimbang, produktif, dan dapat menjadi contoh bagi klien-klien mereka. Mereka telah menyelesaikan konflik atau trauma besar dalam hidupnya, positif, dapat diandalkan, memiliki sikap dan mental positif, peka terhadap orang lain, penuh perhatian, dan empatik.

Individu yang telah mencapai aktualisasi diri belajar mengendalikan dan menguasai pikirannya sendiri dengan secara sadar membatasi diri dari hal-hal negatif, kenangan masa lalu yang tidak bermanfaat, dan fokus pada masa depan seperti yang mereka inginkan. Mereka tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan, tahu yang mereka inginkan, menjalani hidup dengan prinsip dan nilai-nilai spiritual mulia, dan mampu tetap bersikap tenang dan berpikir jernih walau sedang menghadapi masalah atau kesulitan.

Maslow (1968) menggambarkan invididu yang telah mencapai aktualiasi diri sebagai orang yang spiritual tapi tidak harus relijius, tidak menghakimi karena setiap individu harus menjadi hakim atas diri sendiri, dan memandang orang lain sebagai individu dalam jalur evolusi masing-masing.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List