The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Walau hipnoterapi telah berkembang pesat di Indonesia sejak tahun 2005 hingga saat ini, ternyata masih juga ada yang salah memahami esensi dan praktik hipnoterapi. Dulu ada yang berpikir hipnoterapi sama dengan gendam, menggunakan kuasa gelap, menguasai pikiran orang lain, subjek yang dihipnosis dalam kondisi tidak sadar, dan bisa diminta melakukan apa saja, bisa tersangkut atau tidak bisa keluar dari kondisi hipnosis, bisa lupa ingatan, dan masih banyak mispersepsi lainnya.
Banyak harapan dan permintaan dari para calon klien, yang karena berlandaskan pemahaman keliru tentang hipnoterapi, tidak dapat kami penuhi. Ada menantu yang minta saya menghipnosis mertuanya agar tidak cerewet dan patuh pada apapun permintaan dan kemauannya. Ada lagi yang minta saya membuktikan apakah suaminya selingkuh atau tidak. Dan yang lebih luar biasa, pernah ada yang minta saya “menghipnotis” rekan bisnisnya agar segera membayar utang, dan ini dilakukan dari jarak jauh.
Baru-baru ini saya dihubungi oleh orangtua calon klien, sebut saja sebagai Ibu Dian yang mengeluhkan kondisi anaknya, Budi, sebelas tahun. Menurut Bu Dian, anaknya ini lemah iman sehingga mudah dipengaruhi setan. Bu Dian minta saya untuk memperkuat iman anaknya agar dapat mengalahkan setan yang sering mengganggunya.
Ini satu permintaan menarik dan belum pernah saya jumpai sepanjang karir saya sebagai hipnoterapis klinis. Dan hal ini tentu membuat saya penasaran dan ingin tahu lebih lanjut. Saya putuskan untuk bertanya lebih jauh apa yang ia maksudkan dengan menguatkan iman untuk mengalahkan setan.
Ibu Dian menjelaskan bahwa Budi punya kebiasaan buruk yaitu ketagihan main game, nonton video porno, dan masturbasi. Saya tanya Bu Dian apa hubungan antara yang Budi lakukan dengan setan, dan mendapat penjelasan yang akhirnya membuat saya paham duduk persoalannya.
Dalam keyakinan Bu Dian, setan adalah makhluk yang senang menggoda manusia untuk melakukan hal-hal buruk dan menjauhkan manusia dari Tuhan. Menurut Bu Dian, apa yang Budi lakukan pasti karena bisikan atau godaan setan. Budi tidak kuat menolak atau melawan pengaruh setan. Selaku orangtua, Bu Dian sudah berulang kali menasihati dan mendoakan Budi agar bertobat dan berhenti melakukan hal-hal buruk. Budi mau mendengar nasihat Ibunya dan berubah paling lama sekitar satu minggu. Setelahnya ia kembali pada kebiasaan lama. Menurut Budi, ia benar-benar mau berhenti melakukan hal-hal buruk itu, namun tak mampu. Semakin ia berusaha berhenti, semakin tidak bisa. Ia merasa ada bisikan atau dorongan untuk melakukan dan mengulangi perbuatannya dan ia tak kuasa menolak. Bu Dian merasa frustrasi dan mau mencoba hipnoterapi untuk membantu anaknya.
Saya jelaskan pada Bu Dian bahwa hipnoterapi adalah cabang ilmu psikologi. Urusan iman dan setan adalah ranah agama, bukan hipnoterapi. Untuk itu saya sarankan ia jumpa dan konsultasi dengan pemuka agamanya. Tapi Bu Dian bersikeras dan yakin saya bisa membantu putranya karena ia mendapat informasi dari sahabatnya bahwa saya memiliki kemampuan khusus. Nah, lho?
Jadi begini ya. Hipnoterapi, seperti yang telah saya jelaskan adalah cabang ilmu psikologi. Saya menghindari membahas iman atau setan karena ini di luar ranah keilmuan dan kompetensi saya. Dan saya akan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Budi dari perspektif ilmu pikiran, khususnya hipnoterapi klinis.
Kita berhubungan atau kontak dengan lingkungan melalui enam indera: penglihatan, penciuman, perasa/pengecap, pendengaran, perabaan, dan pikiran. Melalui kontak ini muncul sensasi yang masuk ke pikiran. Selanjutnya pikiran, dengan daya imajinasinya, bisa netral, menguatkan, atau melemahkan, memberi makna senang (positif), netral, atau tidak senang (negatif). Mengikuti makna, muncul emosi senang (positif), netral, atau tidak senang (negatif). Selanjutnya data berupa narasi kejadian plus emosi yang lekat padanya disimpan di memori pikiran bawah sadar (PBS).
Data ini bisa bertumbuh menjadi program pikiran yang dorman (tidak aktif), lemah, kuat, atau sangat kuat bergantung beberapa hal, antara lain repetisi, level otoritas orang yang memasukkan program ke pikiran bawah sadar, dan atau intensitas emosi. Bila kontak sering terjadi, data menjadi semakin kuat. Demikian pula bila intensitas emosi yang lekat pada data (baca: memori kejadian) semakin intens, baik emosi positif atau negatif, ia menjadi semakin kuat. Sesuai dengan sifat dasar manusia, mengejar kesenangan dan menghindari penderitaan, maka bila tidak secara sadar dikendalikan, segala sesuatu yang memberi rasa senang pasti akan cenderung terus diulangi, sementara yang memberi rasa tidak senang pasti sedapat mungkin dihindari.
Dari perspektif ilmu pikiran, khususnya hipnoterapi klinis, manusia bukan entitas tunggal. Dalam diri kita ada banyak Bagian Diri yang, secara teknis, disebut Ego Personality (EP). EP ini bertindak sebagai manusia kecil di dalam diri setiap individu. Ia memiliki tujuan, fungsi, memori, emosi, logika pikir, karakter, kepribadian, atau peran spesifik bergantung pada alasan dan proses terciptanya.
Jadi, pertanyaan paling mendasar pada kasus Budi adalah mengapa ia sampai melakukan yang ia lakukan?
Teorinya sebenarnya sangat sederhana. Tidak mungkin ada asap tanpa ada api. Untuk setiap akibat (baca: perilaku) pasti ada sebab. Sebab inilah yang sering tidak orang pahami sehingga muncul mispersepsi.
Kembali pada penjelasan saya di atas, perilaku Budi ketagihan main game, nonton video porno, dan masturbasi pasti ada sebabnya. Dari pengalaman dan temuan kami, anak umumnya main game sebagai upaya mengatasi kesepian, bisa karena kurang mendapat perhatian orangtua atau karena tidak punya teman. Saat anak pertama kali main game, muncul rasa senang. Bila pengalaman ini berulang, ia menjadi kesan yang sangat kuat terekam di PBS anak. EP yang memegang pengalaman ini tentunya akan mendorong anak untuk terus mengulangi. Demikian pula dengan nonton video porno dan masturbasi. Sekali anak terpapar dengan pornografi, ia pasti sangat terpengaruh dan cenderung akan terus mengulanginya.
Salah satu fungsi PBS adalah tempat menyimpan program pikiran yang bersifat stimulus respon. Maksudnya, saat ada stimulus atau pemicu maka memori atau program yang ada di PBS akan aktif dan selanjutnya memengaruhi dan mengendalikan individu. Stimulus bisa berasal dari luar maupun dalam diri, dari pikiran. Saat anak merasa kesepian, PBS secara otomatis mengarahkan ia untuk main game, agar terhibur dan tidak lagi kesepian. Demikian pula saat anak melihat gawai, memori yang berhubungan dengan gawai terpicu dan menjadi aktif. Emosi yang lekat pada memori ini mendorong anak untuk mengulangi kesenangan main game. Sama halnya dengan pornografi. Tidak perlu stimulus dari luar diri. Hanya dengan mengingat kembali atau membayangkan apa yang telah ia tonton sebelumnya, dan biasanya diperkuat dengan imajinasi, ini saja sudah cukup untuk mengaktifkan memori dan akhirnya mendorong anak mengulangi yang ia lakukan. Perilaku ini mengalami penguatan berulang dan menjadi semakin kuat mencengkeram individu dan sangat sulit dikendalikan, menjadi kemelekatan atau adiksi.
Motivasi bertindak sering muncul dalam diri seseorang dalam bentuk suara hati yang seolah membisiki atau mendorong mereka melakukan sesuatu. Dari perspektif hipnoterapi klinis, ini adalah ulah EP, bukan setan. PBS, dalam hal ini EP, berkomunikasi dengan individu (pikiran sadar) melalui lima cara yaitu suara yang terdengar dari dalam hati, perasaan atau emosi, sensasi fisik, mimpi, dan intuisi.
Mengapa sulit untuk menghentikan kebiasaan ini?
Kebiasaan tersimpan di PBS dan PBS 95-99 kali lebih kuat dari pikiran sadar (PS). Saat orangtua menasihati anaknya, si anak secara sadar tentunya mau berubah. Nasihat orangtua sejatinya adalah sugesti yang masuk ke PBS. Masalahnya, di PBS telah ada EP atau program pikiran yang jauh lebih kuat menguasai anak dibanding dengan sugesti untuk berubah. Itu sebabnya berbagai upaya yang dilakukan untuk membantu anak berubah selalu menemui jalan buntu. Anak bisa menggunakan kekuatan kehendak (will-power) untuk berubah namun ini hanya bisa berlangsung sementara. Untuk mengalami perubahan yang bertahan lama yang perlu diproses adalah PBS bukan PS.
Untuk mengatasi masalah ini, hipnoterapis klinis akan memroses EP yang mendorong klien melakukan perilaku atau tindakan yang hendak dihentikan. Jadi, yang diproses hanya satu EP, bukan klien secara keseluruhan. Hipnoterapis akan bertanya tujuan EP melakukan yang ia lakukan, memberi edukasi, melakukan negosiasi agar EP berhenti melakukan yang ia lakukan, dan melakukan rekonstruksi kejadian paling awal yang membuat EP muncul.
Selanjutnya, menggunakan teknik cathexis alteration, hipnoterapis memperkuat EP yang mendukung klien, misalnya EP yang membuat klien rajin belajar, fokus, semangat, atau sejenisnya. Dengan demikian, usai terapi, masalah klien teratasi dan ia berubah menjadi pribadi yang lebih baik, seperti yang diharapkan.
Dari perspektif orang awam, yang tentunya tidak memahami apa yang kami lakukan, kesannya adalah dengan hipnoterapi kami dapat “mengalahkan” setan yang selama ini menjadi pembisik, penggoda, atau pendorong si anak melakukan suatu tindakan yang merugikan dirinya. Dengan anak menjadi kuat, tidak mudah tergoda, mereka menyimpulkan hipnoterapi dapat sekaligus menguatkan iman.
Setelah mendengar uraian saya, Bu Dian berkata, “Nah, benar kan seperti yang dikatakan teman saya. Pak Adi punya kemampuan khusus. Berarti, dengan hipnoterapi Pak Adi bisa menguatkan iman Budi sehingga kuat menghadapi bisikan atau godaan setan. Kapan saya bisa bawa anak saya jumpa Pak Adi?”
Lho….?
Beberapa waktu lalu saya dapat pertanyaan dari seorang sahabat tentang trauma, “Pak Adi, ada yang mengatakan bahwa hipnoterapi tidak efektif menyembuhkan trauma, karena pada kasus tertentu, trauma tidak tersimpan di pikiran bawah sadar. Ada trauma yang tersimpan di otot atau saraf. Trauma seperti ini tidak bisa disembuhkan dengan hipnoterapi. Bagaimana pendapat Bapak?”
Pertanyaan sahabat ini membawa saya mundur ke masa awal saya mendalami hipnoterapi klinis. Saat itu, saya belajar memahami cara kerja pikiran, sadar dan bawah sadar, emosi, memori, trauma, psikologi klinis, dan neurosains dengan membaca sebanyak mungkin buku yang membahas topik ini. Dalam perjalanan pembelajaran ini, saya jumpa banyak buku dan nama besar di bidang terkait. Saya juga sempat belajar langsung kepada beberapa nama besar ini di Amerika. Pemikiran, penelitian, dan berbagai temuan yang mereka tulis ke dalam buku mencerahkan dan membantu meletakkan landasan pengetahuan yang saya gunakan dalam membangun teori, protokol, dan teknik-teknik intervensi klinis yang saya praktikkan dan ajarkan ke publik saat ini.
Pikiran, dalam hipnoterapi klinis, sejatinya terbagi menjadi tiga bagian: sadar, bawah sadar, dan nirsadar (Kappas, 1999). Masing-masing pikiran memiliki fungsi dan peran spesifik. Ada banyak tokoh dan penulis membahas tentang hal ini seperti Krebs (1957), Elman (1964), Hilgard (1965, 1968), Erickson dan Rossi (1981), Tebbetts (1985), Sheehan dan McConkey (1996), Banyan dan Kein (2001), McGill (2005), Watkins dan Barabasz (2008), Fromm dan Shor (2009), Wise (2009), Churchill (2012), dan masih banyak lagi.
Menurut para pakar ini, pikiran bawah sadar (PBS) selalu aktif, tidak pernah istirahat atau berhenti bekerja. PBS mencatat segala hal yang terjadi, dialami, dipikirkan, dirasakan, atau apapun yang terjadi pada individu, bahkan sejak ia masih dalam kandungan ibu. Di PBS tersimpan antara lain memori, kepribadian, kebiasaan, intuisi, emosi, dan program-program pikiran berbasis stimulus respon. Saat PBS berhenti bekerja maka pada saat itu pula kehidupan berakhir.
Tugas utama PBS adalah melindungi dan menjaga keselamatan individu, meliputi pikiran sadar dan tubuh fisik, dari hal-hal yang ia, PBS, rasa, pikir, persepsikan, yakin membahayakan atau merugikan individu. PBS juga mengendalikan fungsi-fungsi tubuh otonom seperti detak jantung, pernapasan, pencernaan, sistem kekebalan tubuh. Mengacu pada fungsinya ini, dari perspektif neurosains, PBS terletak di medulla oblongata.
Keterhubungan antara PBS dan tubuh sejatinya sangatlah erat. Sesungguhnya, apapun yang terjadi di PBS, dalam hal ini pemikiran dan emosi yang dirasakan individu, pasti, tanpa kecuali termanifestasi di tubuh fisik (Pert,1997, 2005).
Menurut Pert, saat individu mengalami emosi tertentu, otak akan menghasilkan senyawa kimiawi neuropeptida. Secara sederhana, neuropeptida dapat dianalogikan seperti flashdisk berisi informasi tentang pikiran dan emosi pada satu saat. Selanjutnya neuropeptida ini akan menyebar ke seluruh tubuh, menuju ke sel-sel tubuh. Pada dinding luar sel terdapat reseptor sebagai tempat “docking” neuropeptida. Setelah neuropeptida “docking” di reseptor, informasi yang ia bawa diteruskan ke bagian dalam sel hingga akhirnya mencapai inti sel dan memengaruhi kerja gen (Pert, 1997; Lipton, 2008).
Peneliti di bidang trauma seperti Scaer (2005, 2007) dan Levine (2005, 2010) menyatakan bahwa saat individu mengalami pengalaman traumatik, ia bisa mengalami salah satu dari tiga kemungkinan berikut: fight (lawan), flight (lari), dan freeze (membeku). Ketiga respon ini melibatkan emosi intens. Bila emosi berhasil dikeluarkan dari sistem diri (psikis/tubuh), tidak akan muncul masalah. Namun bila emosi yang berasal dari pengalaman traumatik tidak berhasil sepenuhnya dikeluarkan, sisa emosi ini akan menetap di tubuh, mengganggu kerja tubuh, dan dapat mengakibatkan malfungsi atau sakit (Levine, 2000; Shapiro, 2006; Van der Kolk, 2014).
Emosi, dari pengalaman klinis dan temuan di ruang praktik kami, disadari atau tidak oleh individu, menetap di bagian tubuh tertentu. Hal ini tampak sangat nyata saat kami memroses trauma klien. Saat klien mengalami kembali kejadian dan emosi (revivifikasi), ia merasakan sensasi tertentu, bisa di dada, leher, kepala, perut, punggung, pundak, tangan, kaki, atau bagian tubuh lainnya, dalam bentuk tegangan otot, pusing, mual, pandangan mata kabur, kepala berdenyut, atau rasa sakit. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Pavek (1987) bahwa tubuh bereaksi terhadap sakit emosi seperti takut, kesedihan mendalam, malu, dan sebagainya, serupa dengan respon terhadap sakit fisik, dengan melakukan kontraksi. Rasa sakit, baik karena faktor fisik atau emosi, memicu kontraksi fisik otomatis yang dinamakan Auto-Contractile Pain Reflex (ACPR), bertujuan untuk meminimalisir gangguan agar tidak menyebar ke wilayah lebih luas. Dan ini sejalan dengan fungsi proteksi PBS (Gunawan, 2014).
Pada banyak kejadian, saat individu mengalami emosi negatif intens, ia cenderung menekan emosi atau perasaannya dan berharap ia akan hilang dengan sendirinya. Namun, pada kenyataannya, emosi tidak bisa hilang atau padam dengan sendirinya. Setiap emosi, menurut bapak Gestalt, Frederik S. Perls, butuh ekspresi (Smith, 2000). Ekspresi emosi mengarah keluar dalam bentuk pikiran, ucapan, atau tindakan. Namun saat ditekan ke dalam atau direpresi, emosi tetap akan diekspresikan, tapi kali ini melalui organ atau tubuh fisik, dalam bentuk gangguan fungsi organ atau sakit (Saphiro, 2006). Jumlah dan jenis gangguan fisik yang disebabkan oleh residu emosi yang menetap di tubuh fisik sangatlah beragam. Semua penyakit psikosomatis disebabkan oleh program pikiran dan emosi yang tersimpan di PBS. Dan karena emosi di PBS terhubung dengan tubuh fisik melalui neuropeptida maka emosi ini bisa menetap di bagian tubuh manapun. Untuk lebih detil mengenai hal ini, saya sarankan Anda membaca buku The Miracle of MindBody Medicine: How to Use Your Mind for Better Health.
Emosi negatif intens bersifat mengganggu kestabilan dan keseimbangan sistem psikis. Saat emosi negatif ini tidak bisa keluar atau berhasil dikeluarkan tuntas dari sistem psikis, PBS berupaya mengatasi masalah ini dengan mengirim pesan ke pikiran sadar. Pesan ini memiliki derajat intensitas berbeda. Pertama, PBS akan membuat individu merasa tidak nyaman, karena emosi negatif. Bila individu tidak menanggapi pesan ini, abai, atau tidak melakukan tindakan nyata untuk mengatasinya, pesan ditingkatkan menjadi sensasi fisik seperti rasa tidak nyaman, nyeri, atau leher kaku. Pada tahap selanjutnya, PBS akan meningkatkan pesan dan membuat individu merasa pusing atau nyeri kepala. Biasanya di tahap ini, individu akan melakukan pemeriksaan medis dan tidak akan ditemukan masalah apapun secara fisik. Tingkat selanjutnya, PBS akan membuat tangan individu mengalami tremor. Tremor ini sering salah dipahami sebagai parkinson. Dan bila semua pesan PBS tidak diperhatikan atau dihiraukan oleh individu, akhirnya PBS akan membuat individu mengalami kejang. Ini yang dikenal dengan psychogenic nonepileptic seizures atau PNES (Gunawan, 2015).
Dalam proses hipnoterapi klinis, terapis membantu klien mengeluarkan residu emosi dengan cara membimbing klien mengakses memori traumatik yang tersimpan di PBS, tentunya menggunakan teknik yang sesuai. Ini hanyalah langkah antara karena yang menjadi target sesungguhnya adalah emosi yang lekat pada memori ini. Saat memori aktif dan naik ke pikiran sadar, emosi yang lekat padanya akan lepas dan menjalani proses berbeda. Memori berisi narasi kejadian, disadari dan diketahui oleh pikiran sadar, sementara emosi akan dirasakan di tubuh fisik, di lokasi tertentu, bisa di dada, kepala, perut, punggung, pundak, tangan, kaki, atau bagian tubuh lainnya. Kesembuhan hanya bisa terjadi saat dan hanya bila terapi berhasil menetralisir emosi pada kejadian paling awal (Pavek, 1987; Banyan dan Kein, 2001; Kein, 2002; Sarno, 2006; Gunawan, 2008; Ronald, 2014).
Pada hampir semua kasus psikosomatis yang pernah kami tangani, di setiap organ atau bagian tubuh yang bermasalah selalu ada emosi menetap di sini. Mereka yang bermasalah pada sistem pencernaan, saat memori paling awal berhasil ditemukan, dan emosi yang lekat pada memori ini berhasil diaktifkan, merasakan sensasi tidak nyaman di bagian perutnya. Padahal dalam kondisi normal, klien tidak merasakan apapun di perutnya. Demikian pula yang sering sakit punggung, pusing atau nyeri kepala.
Kasus terkini yang terjadi pada klien saya, seorang wanita, berusia 40an, mengalami depresi dan berimbas ke tubuh fisik dalam bentuk tubuh lemas, tidak berenergi, sering mual, insomnia, kepala pusing, leher kaku, tangan dan kaki dingin, dan saraf kejepit. Saat berjalan ia merasa sakit sekali di sekujur kaki kanan. Ia telah ke dokter dan diberi obat. Klien menghubungi staff saya dan mendapat kabar bahwa jadwal saya sangat padat dan ia baru bisa jumpa saya empat bulan lagi. Namun di masa tunggu, tiba-tiba ada klien lain yang minta jadwal ulang dan akhirnya jadwal ini diberikan padanya.
Saat mengetahui mendapat jadwal lebih cepat, ia merasa kelegaan luar biasa karena ia yakin benar masalah emosinya pasti dapat saya bantu atasi, dan tiba-tiba saraf kejepitnya sembuh, padahal ia belum saya terapi. Ternyata, perasaan lega ini membuat otot yang tadinya tegang (spasme) yang mengakibatkan saraf kejepit, tiba-tiba lepas dan kembali normal.
Saat jumpa saya, di Intake Form klien mengisi emosi yang sedang ia rasakan dan alami adalah, pada skala 0 – 10, marah (10), benci (10), dendam (10), takut (10), kecewa (10), terluka (10), sakit hati (10), merasa kesepian (10), tersinggung (9), merasa tidak mampu (10), merasa ditolak (9), cemas (10), frustrasi (10), merasa kecil (9), merasa tidak berharga (10). Semua perasaan ini klien alami sejak Januari 2018.
Dalam proses terapi saya menggunakan teknik hipnoanalisis berbasis afek dan menemukan tiga kejadian lanjutan,SSE (subsequent sensitizing event) sebelum akhirnya mencapai kejadian paling awal atau akar masalah, ISE (initial sensitizing event). Semua emosi pada ISE dan tiga SSE saya proses tuntas dalam satu sesi terapi sehingga tidak ada lagi yang tersisa dalam sistem psikis klien. Hasilnya, tubuh klien langsung kembali sehat, sangat nyaman, seperti sebelum ia mengalami depresi.
Intinya, saat kejadian paling awal berhasil diidentifikasi dan diproses tuntas, termasuk menetralisir emosi pada kejadian ini, maka masalah klien dapat terselesaikan dengan mudah. Ada banyak teknik yang katanya dapat mengeluarkan emosi dari PBS atau tubuh, baik yang menggunakan sugesti, imajinasi, metafora, atau menggoncang-goncang tangan dan kaki, tidak efektif karena tidak mampu memroses emosi pada kejadian paling awal. Bila yang diproses adalah emosi pada kejadian paling awal maka apapun tekniknya, bila dilakukan dengan benar, hasilnya pasti sangat efektif.
Di pelatihan Quantum Life Transformation, di salah satu sesi, saya memberi tambahan teknik kepada para peserta untuk mengatasi emosi negatif dalam diri mereka. Saya minta seorang peserta maju ke depan, memilih satu kejadian yang pernah ia alami, yang ia tahu benar adalah kejadian tunggal yang menyebabkan emosi negatif dalam dirinya. Saya minta ia merasakan emosi yang menganggu dirinya dan memberi angka antara 0 hingga 10. Ia memberi nilai 8 pada intensitas emosi yang dirasakannya. Selanjutnya saya memberi sugesti ke PBS-nya, meminta ia mengambil posisi berdiri yang nyaman, fokus pada emosi negatif yang dirasakan dada dan perutnya, dan meminta ia meniatkan untuk mengalirkan energi emosi negatif ini ke kepalan tangan kiri dan kanan. Saya menuntun ia mengeluarkan energi emosi ini dalam bentuk hentakan tangan ke arah bawah sebanyak tiga kali. Hasilnya, dada dan perutnya langsung nyaman, lega.
Mengacu pada uraian di atas, pemikiran dan tulisan para pakar dan peneliti, baik di bidang hipnoterapi klinis maupun trauma, dan diperkuat dengan begitu banyak bukti temuan di ruang praktik kami, kami sepenuhnya yakin bahwa semua trauma, apapun bentuk dan penyebabnya, pasti terekam atau tersimpan di PBS, termasuk di sel-sel tubuh, dan juga tentunya di otot, saraf, organ, bahkan di gen. Dengan demikian, trauma yang tersimpan di saraf maupun otot tentu bisa dihilangkan dengan melakukan intervensi pada pikiran bawah sadar individu. Ketidakmampuan hipnoterapis mengatasi trauma yang, katanya tersimpan di otot atau saraf, bila ditelisik lebih jauh sebenarnya bukan karena hipnoterapi tidak efektif, tapi lebih karena ketidakmampuan hipnoterapis tersebut dalam menemukan dan memroses tuntas akar masalah klien. Demikianlah kenyataannya.
Beberapa hari lalu saya kedatangan klien, sebut saja Budi, usia 20 tahun. Budi datang bersama kedua orangtuanya dengan harapan saya bisa membantu mengatasi masalahnya, sering kejang. Di Intake Form, Budi menulis masalahnya adalah epilepsi.
Sesuai protokol, saya melakukan wawancara pada kedua orangtua Budi terlebih dahulu. Karena menurut mereka ini adalah epilepsi, saya tentu tidak boleh gegabah. Epilepsi adalah kondisi serius yang harus ditangani oleh dokter, bukan hipnoterapis klinis tanpa latar belakang medis. Melalui wawancara, saya mendapat informasi penting tentang kejang yang Budi alami, kapan awal serangan kejang ini terjadi, frekuensinya, apa yang Budi alami saat kejang, bagaimana kondisi fisik dan atau emosi Budi sebelum terjadi serangan, berapa lama serangan ini berlangsung, obat apa yang Budi minum, pemeriksaan apa yang telah Budi jalani, dan bagaimana respon lingkungan terhadap kondisi Budi.
Saya jelaskan hubungan antara emosi, pikiran bawah sadar, abreaksi, dan somatisasi. Emosi, khususnya emosi negatif, saat muncul dan dialami seseorang, tapi tidak bisa terekspresi dengan baik, tidak bisa keluar atau dikeluarkan dari sistem psikis, pasti akan memengaruhi tubuh.
Pikiran bawah sadar (PBS) akan memberi pesan khusus pada individu untuk membereskan emosi negatif melalui empat tahap. Pertama, individu akan merasa emosi atau perasaan tidak nyaman. Bila ini tidak segera diatasi, dan individu terus mengalami emosi negatif, maka PBS akan menaikkan “peringatan” ke level dua yaitu kepala pusing. Bila ini tetap tidak diatasi, level tiga adalah terjadinya reaksi fisik berupa tangan gemetar. Orang yang tidak paham kondisi ini umumnya berpikir mereka kena parkinson. Bukan, ini bukan parkinson tapi hysterical tremor. Saya pernah menangani klien usia 24 tahun yang mengalami tangan gemetar. Setelah emosi yang mengganggu dirinya berhasil dinetralisir, tangannya kembali normal. Level lima adalah kondisi sangat serius yaitu serangan kejang. Kunci dari penanganan masalah ini adalah emosi.
Menurut mereka, Budi pertama kali mengalami kejang saat kelas 5 SD, saat main game. Ini terjadi di rumah. Serangan ini berlangsung beberapa saat, sekitar lima menit, setelahnya Budi sadar kembali. Berikutnya, bila Budi sedang stres atau suasana hatinya tidak bagus, banyak tekanan karena tugas sekolah, atau bisa juga tegang akibat main game, terjadi serangan kejang.
Budi telah menjalani pemeriksaan MRI dan juga EEG. Menurut dokter yang menangani Budi, hasilnya normal, sama sekali tidak ada masalah. Sudah dua tahun terakhir Budi minum obat Depakote ER 500mg. Setelah mendapat penjelasan ini barulah saya putuskan menangani kasus ini. Bila hasil pemeriksaan medis menunjukkan memang ada masalah pada otak Budi, ini bukan ranah saya, tapi harus ditangani dokter.
Berdasar hal yang telah disampaikan oleh kedua orangtuanya, besar kemungkinan Budi mengalami Psychogenic Nonepileptic Seizures (PNES). Serangan PNES tampak serupa dengan kejang akibat epilepsi, namun ia bukan akibat gangguan pada listrik otak. Diperkirakan dari semua penderita epilepsi, 20-30% terdiagnosa mengalami PNES. Pada banyak penderita PNES sering dijumpai pengalaman traumatik di masa lalu mereka (Benbasdis, 2005).
Saya sampaikan pada orangtua Budi bahwa saya telah beberapa kali menangani kasus serupa dan berhasil dengan baik. Asalkan secara medis tidak ada masalah maka ini bisa dibantu dengan hipnoterapi klinis.
Selanjutnya saya menjumpai Budi yang sedang menanti di ruang tunggu, diikuti kedua orangtuanya. Saya jelaskan pada Budi bahwa ada teknik terapi berbasis meridian, yang bila dipraktikkan, bisa mencegah dan menghentikan serangan kejang sebelum mencapai titik maksimal.
Saya minta Budi rileks, tutup mata, dan mengingat saat ia terakhir kali mengalami serangan kejang, bulan lalu. Saya minta ia rasakan benar gejala awal serangan. Selang beberapa saat, Budi mulai merasa merinding di kedua tangan dan kakinya. Saya minta Budi meniatkan untuk meningkatkan level serangan ini. Jari-jari Budi mulai gemetar dan tubuhnya mulai terasa dingin. Saat serangan ini terus meningkat, saya langsung mempraktikkan teknik terapi yang dimaksud dengan menyentuh dua titik di tubuh Budi. Dalam waktu sekitar tujuh detik Budi mengatakan serangan ini mereda dengan sendirinya. Baik Budi maupun kedua orangtuanya bingung. Mereka bertanya, “Kok bisa ya, Pak? Biasanya kalau sudah begini pasti jadi. Ini tiba-tiba hilang tak berbekas.”
Saya jelaskan bahwa bila Budi bisa secara sengaja memunculkan serangan ini maka ia tentunya juga bisa memadamkannya. Budi punya kendali penuh atas dirinya. Saya mengajarkan teknik ini pada Budi untuk ia gunakan bila dibutuhkan.
Saya lanjut menerapi Budi di ruang praktik. Setelah melakukan wawancara mendalam, saya mulai lakukan hipnoanalisis di pikiran bawah sadar (PBS) untuk mendapat informasi mengapa Budi sampai mengalami kejang. Ternyata ada satu bagian diri atau EP (ego personality) Budi sengaja membuat Budi kejang. EP ini, menamakan dirinya sebagai Otak, melakukan ini karena merasa kesal pada Budi. Budi terlalu memaksakan dirinya, terutama main game. Saat tubuh Budi lelah, mata juga sudah terasa pedih, Budi tetap memaksa diri main game hingga larut malam dan bahkan dini hari. EP Otak sengaja “menghukum” Budi agar tidak melanjutkan perbuatannya. EP Otak mau Budi menjaga kesehatannya, hidup teratur.
Saat saya tanya ke EP Otak kapan ia pertama kali membuat Budi kejang, ia menjawab sejak Budi kelas 4 SD. Jadi, sebenarnya EP Otak ini telah memberi sinyal, berkomunikasi dengan Budi melalui simtom yang ia munculkan namun Budi tidak paham dan mengabaikannya.
Setelah dewasa, saat kuliah, Budi sering tidur dini hari karena main game. Dan besok pagi jam 07.30 Budi kuliah hingga sore jam 17.00. Pulang ke rumah, Budi main game sampai dini hari. Dan ini dilakukan hampir setiap hari. EP Otak marah dan membuat Budi kejang.
Untuk mengatasi hal ini saya melakukan edukasi pada EP Otak agar ia tidak lagi menghukum Budi. Saya minta Budi bicara langsung dengan EP Otak. Terjadi komunikasi yang cukup alot. Intinya, EP Otak bersikeras minta Budi mengatur hidup lebih baik. Bila tidak menuruti kemauannya, ia akan membuat Budi kejang. Akhirnya saya menengahi dan terjadilah diskusi tiga arah, saya selaku terapis, Budi, dan EP Otak.
Melalui proses negosiasi dan edukasi yang panjang, EP Otak bergeming dengan keputusannya, sama sekali tidak mau berubah. Untuk melunakkan hati EP Otak, saya menggunakan teknik tertentu, mengubah struktur pembentukannya, tentu tanpa disadari atau diketahui oleh EP Otak, dan setelahnya barulah ia melunak serta bersedia diajak diskusi secara konstruktif.
Akhirnya, berhasil dicapai kesepakatan antara Budi dan EP Otak. Budi boleh main game tapi maksimal sampai jam 23.00. Kalau belajar, maksimal sampai jam 24.00. Bila kesepakatan ini dilanggar Budi maka EP Otak akan memberi peringatan sampai tiga kali. Bila ini tidak diindahkan, EP Otak akan langsung melakukan serangan kejang. Sebaliknya EP Otak berjanji mendukung Budi sehingga lebih fokus, daya ingat semakin kuat, dan kemampuan menyerap materi yang ia pelajari juga meningkat pesat.
Untuk memastikan semua kesepakatan ini telah diterima, dimengerti, dan setuju dilaksanakan oleh para pihak, dalam hal ini Budi dan EP Otak, saya melakukan simulasi. Saya minta Budi sengaja melanggar kesepakatannya dengan EP Otak, dan benar, Budi mulai merasakan serangan, yang bila diteruskan pasti akan membuatnya kejang. Sebaliknya, saat Budi tetap memegang janjinya, EP Otak mendukungnya dalam proses belajar.
Hipnoterapi klinis, salah satu pendekatan dalam psikoterapi, sangat efektif mengatasi beragam masalah yang berhubungan dengan perilaku, mental, dan emosi (Barios, 2009). Hipnoterapi klinis, bila dipraktikkan dengan benar, mengikuti protokol yang sahih, mampu membantu klien mengatasi masalah, dari pengalaman klinis kami, antara satu hingga maksimal empat sesi terapi.
Terkait keefektifan dan kecepatan hipnoterapi klinis mengatasi masalah hingga tuntas, dengan hasil terapi yang stabil hingga waktu lama, saya sengaja menghindari menggunakan kata permanen, ada tiga pertanyaan penting untuk dijawab. Pertama, “Apa yang membuat seseorang trauma, sementara yang lain mengalami hal sama, sama sekali tidak terpengaruh?” Kedua, “Apa yang terjadi di pikiran klien, khususnya pikiran bawah sadar, saat ia menjalani sesi hipnoterapi klinis sehingga bisa sembuh dengan cepat dan hasil terapi yang stabil, bertahan untuk waktu lama?” Dan ketiga, “Apa yang sebenarnya terjadi di otak klien saat ia menjalani sesi hipnoterapi klinis sehingga bisa sembuh dengan cepat?”
Jawaban pertanyaan pertama sudah saya jelaskan di artikel Memahami Trauma dan Penyebabnya dan Memahami Trauma dan Penyembuhannya dari Perspektif Hipnoterapi Klinis dan Neurosains. Pertanyaan kedua juga telah saya jawab dengan jelas dan gamblang dalam banyak artikel yang telah dipublikasikan di AdiWGunawan.com. Jawaban untuk pertanyaan ketiga dijelaskan di artikel ini.
Dalam artikel Memahami Trauma dan Penyebabnya dijelaskan suatu kejadian untuk dapat terekam di otak sebagai memori traumatik butuh lima syarat. Pertama, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi. Kedua, kejadian ini memiliki makna bagi individu. Ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung. Keempat, individu merasa terperangkap, tidak bisa menghindar dari kejadian ini. Kelima, individu merasa tidak berdaya. Bila kelima syarat ini terpenuhi, individu yang mengalami kejadian itu mengalami trauma dengan segala akibat bawaannya.
Apa yang Terjadi di Otak?
Pengalaman traumatik, yang terekam sebagai memori, sejatinya terdiri atas minimal empat komponen. Pertama, emosi atau perasaan. Kedua, komponen kognitif pikiran sadar yaitu konten mental yang kita pikirkan atau perhatikan, kita sadari keberadaan dan maknanya. Ketiga, komponen kognitif pikiran bawah sadar yaitu konten mental yang muncul karena terpicu oleh faktor internal atau eksternal, tidak kita sadari keberadaannya, namun mengakibatkan gejala fisik dan emosi. Keempat, komponen somatosensori yaitu sensasi yang dirasakan di tubuh fisik seperti sakit, tegang, kesemutan, perubahan temperatur kulit, hipersensitif terhadap sentuhan atau cahaya, dan sensasi lainnya. Dari keempat komponen ini, komponen emosi berperan sebagai perekat yang menyatukan komponen-komponen lainnya.
Bila disederhanakan, memori traumatik hanya terdiri atas dua komponen utama, narasi kejadian dan emosi. Setiap kali seseorang mengingat kembali kejadian traumatik, yang terjadi adalah ia secara sadar memilih dan mengaktifkan satu memori spesifik, dari sekian banyak memori di pikiran bawah sadar, dan “menaikkan” data ini ke memori kerja pikiran sadarnya. Pada memori traumatik ini lekat pula emosi intens yang turut aktif saat memori diaktifkan. Emosi ini selanjutnya memengaruhi tubuh melalui jalur somatosensori.
Para peneliti awal trauma seperti Janet dan Freud menyatakan bahwa trauma membuat invididu, yang mengalaminya, mengalami fiksasi dan terkunci di masa lalu, dan dalam kasus tertentu menjadi obsesif dengan trauma. Janet mengamati perilaku dan perasaan para kliennya yang meliputi mimpi buruk, reaksi intens dan berlebih terhadap stimuli sederhana, rasa takut berlebih tanpa alasan jelas, dan kesedihan mendalam tanpa tahu apa penyebabnya. Mereka tersandera di masa lalu, tak berdaya untuk lepas dari situasi ini. Memori-memori kejadian ini tidak memudar atau hilang seiring waktu berjalan seperti memori pada umumnya, bahkan setelah puluhan tahun kemudian. Bagi para korban ini, masa lalu selalu hadir di masa sekarang (Van der Kolk, Weisaeth, dan van der Hart, 2007).
Mekanisme suatu kejadian disimpan dalam bentuk memori disebut konsolidasi. Konsolidasi adalah proses menstabilkan jejak memori setelah akuisisi awal. Konsolidasi kejadian bermuatan emosi intens terdiri atas dua tahap. Konsolidasi sinaptik di amigdala dan hipokampus yang terjadi dengan cepat dalam rentang waktu beberapa menit, melibatkan reseptor-reseptor glutamat, norepinefrin, kortisol, dan senyawa kimiawi lain. Selanjutnya, konsolidasi sistem terjadi saat memori ini menjadi independen, berdiri sendiri, lepas dari hipokampus, dalam rentang waktu beberapa minggu hingga bertahun-tahun kemudian. Memori-memori traumatik ini disimpan di korteks otak. Dan saat ini, proses ketiga, rekonsolidasi, sedang menjadi fokus penelitian, yaitu memori yang sebelumnya telah terkonsolidasi dapat dibuat labil lagi, melalui reaktivasi jejak memori. Pada kejadian yang bersifat traumatik, komponen emosi, konten sensori, dan konten kognitif terikat menjadi satu, menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Proses fundamental dalam pembentukan memori bergantung pada neurotransmiter glutamat dan reseptor-reseptornya. Glutamat adalah asam amino eksitator yang dibutuhkan untuk setiap pembelajaran baru dan menghubungkan materi baru dengan yang telah dipelajari sebelumnya (Rainine dan Ressler, 2009). Memori traumatik dapat digambarkan sebagai jalur neuron menghubungkan reseptor-reseptor glutamat yang tercipta saat individu mengalami kejadian traumatik. Saat jalur neuron ini teraktivasi ulang oleh pemicu, individu mengalami kembali kejadian seolah-olah baru terjadi (revivifikasi). Ini dinamakan konsolidasi sinaptik. Aktivasi ulang jalur sinaptik neuron yang dikonsolidasi oleh glutamat, pada saat mengingat kembali kejadian traumatik, membuat jalur ini rentan untuk diputus (Nader, Schafe, dan LeDoux, 2000).
Traumatisasi dari Perspektif Neurosains
Proses trauma berawal dari masuknya informasi, pengalaman atau kejadian yang dialami seseorang, melalui lima indra dan masuk ke otak untuk diproses lebih lanjut menggunakan dua jalur. Jalur pertama, informasi dari mata, telinga, kulit (sentuhan), dan lidah (pengecapan) masuk ke talamus. Talamus berperan sebagai kantor pos, mendistribusi informasi ke bagian otak yang sesuai untuk memrosesnya. Bila informasi yang masuk dipersepsi sebagai ancaman maka, dari talamus, ia langsung dikirim ke amigdala. Bila informasi awal dipersepsi bukan sebagai ancaman, ia akan dikirim ke korteks untuk dianalisis. Namun bila hasil analisis korteks menyatakan bahaya, informasi ini langsung dikirim ke amigdala melalui hipokampus.
Kedua, informasi dari indra penciuman, hidung, tidak melalui talamus, namun langsung dikirim ke accessory basal nucleus (AB) amigdala, bila informasi dipersepsi sebagai ancaman, dan ke korteks untuk dianalisis, bila tidak dipersepsi sebagai ancaman. Namun bila korteks menyatakan ini adalah ancaman, informasi langsung dikirim ke amigdala, melalui hipokampus, untuk ditindaklanjuti. Bau, stimulus yang dibawa oleh angin, digunakan sebagai informasi akan keberadaan predator dan ini butuh respon cepat sehingga tidak melewati talamus.
Amigdala, khususnya bagian kanan, berperan besar dalam mengendalikan respon emosi dan fisiologis, terdiri dari beberapa wilayah yang disebut nuclei. Ada lima nuclei: lateral nucleus (LA), basolateral nucleus (BLA), basomedial nucleus (BM), central nucleus (CE), dan accessory basal nucleus (AB). LA, BLA, dan AB membentuk kesatuan yang disebut basolateral complex atau BLC. BLC adalah tempat di mana informasi berbahaya atau mengancam keselamatan hidup memulai proses aktivasi tindakan dan emosi (Rainine dan Ressler, 2009).
Bagian korteks yang berperan melakukan evaluasi kondisi bahaya dan berpengaruh dalam proses traumatisasi adalah medial prefrontal cortex (mPFC). Ia memiliki hubungan timbal balik dengan amigdala. Saat BLC amigdala pertama kali merasakan emosi takut, ia akan menghambat dan mencegah mPFC agar tidak mematikan respon takut. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan tubuh dan pikiran untuk bersiap lari (flight) atau lawan (fight). Bila setelah dilakukan evaluasi oleh mPFC ternyata ancaman ini tidak benar atau signifikan maka mPFC segera mengirim sinyal inhibisi (hambatan) ke amigdala dan menekan respon takut tersebut. Dalam kondisi ketakutan atau kemarahan ekstrim, atau kondisi stres kronis, sinyal inhibisi yang dikirim oleh mPFC ini menjadi sangat lemah dan tidak lagi dapat memengaruhi amigdala.
BLC amigdala adalah tempat memroses komponen emosi dari memori, namun ia bukan tempat memori. BLC mengaktifkan CE dan wilayah otak lainnya, termasuk hipokampus dan medial prefrontal korteks (mPFC). BLC juga mengirim sinyal ke hipokampus (Strage dan Dolan, 2004), struktur penting di otak untuk proses encoding dan pengambilan kembali komponen kognitif. BLC adalah tempat di mana komponen sensori dan konteks kejadian memulai proses penggabungan/asosiasi.
Respon emosi terhadap ancaman bergantung pada BLC mengaktifkan bagian amigdala lainnya, central nucleus (CE). CE mengaktifkan dan mengkoordinir respon fisik (Tanimoto dkk, 2003) terhadap input sensori yang mengendalikan proses somatik, endokrin, dan autonomik. CE mengirim sinyal ke wilayah yang terlibat dalam fight atau flight, evaluasi bahaya, motivasi bertindak, kewaspadaan, orientasi, freeze (tubuh kaku), memori, dan persepsi sakit (Akmaev, Kalmillina, dan Sharipova, 2004).
Trauma dan Sakit Fisik
Rasa sakit fisik yang terjadi saat kejadian traumatik disimpan di memori otak. Hal ini pertama kali dijelaskan di akhir tahun 1800an oleh Charcot, Janet, Freud, dan Breuer yang meyakini bahwa stimuli dari pikiran bawah sadar dapat menyebabkan sakit di fisik dan simtom somatik lainnya. Mereka percaya bawah rasa sakit terekam bersama trauma psikologis namun terpisah dari kesadaran normal. Dengan demikian, rasa sakit hanya bisa dihilangkan bila pengalaman traumatik “dibawa naik” ke kondisi sadar normal sehingga diketahui dan diproses tuntas.
Sarno (2006) menyatakan simtom fisik muncul sebagai upaya mencegah kemarahan dan berbagai emosi negatif lain yang terekam di pikiran bawah sadar naik ke permukaan dan disadari individu. Ketidakmampuan mengekspresi emosi negatif intens bisa berasal dari rasa takut akan hukuman, perasaan tidak berdaya yang dipelajari, kebutuhan akan kendali, dan kebutuhan untuk terlihat atau tampil sebagai “orang baik”.
Bila dicermati, bagian tubuh yang sering sakit adalah punggung, leher, kepala, dan tungkai atas. Banyak juga yang mengatup rahang dan menggerinda giginya. Ini semua adalah wilayah otot yang digunakan saat marah. Sakit leher, punggung, dan sindroma sendi rahang (temporomandibular) kerap dijumpai dalam praktik klinis.
Saat seseorang mengalami trauma, misalnya tabrakan dengan mobil lain, ia tidak merasakan sakit fisik, walau sebenarnya tubuhnya, misal kepala, mengalami benturan atau luka. Ini adalah pengaruh CE amigdala. Pada CE amigdala terdapat pusat sakit yang disebut nociceptive amigdala. Di sini sinyal sakit yang berasal dari bagian otak lainnya dikelola. Pada saat invididu mengalami flight (lari), fight (lawan), atau marah, terjadi peningkatkan norepinefrin (NE) yang menghambat kerja nociceptive CE sehingga individu tidak bisa merasakan sakit.
Kejadian -> BLC -> NE meningkat -> nociceptive CE -> memengaruhi kesadaran -> sakit tidak dirasakan (tapi terekam di PBS)
Komponen somatik (fisik) dari trauma bisa berupa rasa sakit fisik, perasan terbakar, perubahan suhu tubuh, lemas tidak bertenaga, dan beragam simtom lain yang muncul di fisik.
Setelah kejadian kecelakaan dan individu mengingat atau melihat mobil yang sama atau serupa dengan mobil yang terlibat kecelakaan dengannya dulu, tiba-tiba muncul rasa sakit di kepala. Ini terjadi karena mobil, yang ia lihat atau ingat, menstimulasi BLC –> CE -> Sakit. Mobil tidak berbahaya atau mengancam sehingga batang otak tidak memproduksi norepinefrin dan individu merasa sakit, yang terekam di memorinya.
Traumatisasi dan Detraumatisasi dari Perspektif Neurosains
Merujuk pada uraian di atas maka proses traumatisasi, masuknya informasi ke otak hingga terekam sebagai memori traumatik, berlangsung sebagai berikut:
Informasi -> talamus -> BLC amigdala -> muncul emosi takut atau marah defensif -> noerepinefrin (NE) dan kortisol di amigdala meningkat -> Inhibisi mPFC -> informasi masuk ke amigdala -> lima syarat trauma terpenuhi -> reseptor glutamat di BLC amigdala terpotensiasi -> BLC mengikat komponen-komponen kejadian -> memori traumatik tercipta dan terekam di otak.
Potensiasi adalah meningkatnya jumlah dan kekuatan respon pascasinaptik yang diakibatkan oleh glutamat. Sinapsis, titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain, yang berhubungan dengan memori traumatik, yang ditemukan di BLC memiliki jumlah reseptor glutamat lebih banyak dari kondisi normal. Terapi paparan membuka reseptor-reseptor glutamat ini dan membuat jejak memori menjadi labil dan mudah dinetralisir (Rasolkhani-Kalhorn dan Harper, 2006).
Memori traumatik diaktifkan kembali oleh reseptor gulatamat overpotensiasi, alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolproprioninc (AMPA) (Harper dkk, 2009). Depotensiasi terjadi melalui reseptor-reseptor glutamat ini, bisa menggunakan beragam teknik salah satunya hipnoterapi klinis, menghilangkan reseptor aktif AMPA, mencegah neuron menumbuhkembangkan memori traumatik dan komponen-komponennya (Ronald, 2014)
Mengacu pada model di atas, untuk dapat menetralisir atau menyembuhkan memori traumatik, langkah pertama adalah mengaktifkan kembali memori ini, secara sadar atau sengaja, dengan cara mengingat kembali kejadiannya. Konten memori yang telah aktif ini akan masuk ke memori kerja dan selanjutnya mengaktifkan BLC amigdala. Aktivasi ini berhubungan dengan pelepasan glutamat di jalur khusus neuron BLC saat kejadian traumatik terekam (encoding) di memori otak. Proses penyembuhan trauma adalah dengan decoding, yaitu membalik proses encoding sehingga mencegah BLC mengirim sinyal ke CE, yang akan mengaktifkan locus coeruleus, di batang otak, menghasilkan norepinefrin untuk menyiapkan pikiran menghadapi kondisi genting, dan wilayah otak lain di mana komponen memori lainnya tersimpan.
Mengaktifkan memori adalah satu hal. Langkah selanjutnya, yang menjadi kunci penyembuhan trauma adalah menetralisir emosi pada kejadian paling awal. Tanpa menghilangkan emosi, yang adalah salah satu komponen penting trauma, klien akan kambuh dan simtom muncul kembali bisa dalam bentuk yang sama atau lain (Sarno, 2006).
Simtom trauma sejatinya tidak disebabkan oleh kejadian pemicu. Simtom bersumber dari residu energi yang terperangkap dalam sistem saraf dan sangat menganggu keseimbangan serta kesejahteraan tubuh dan pikiran. Residu ini terjadi karena individu tidak dapat menyelesaikan proses melewati atau keluar dari kondisi tak berdaya saat mengalami kejadian (Levine, 1997).
Dari dua pendapat di atas, Sarno (2006) dan Levine (1997), jelas sekali bahwa dalam proses detraumatisasi sangat penting menetralisir emosi yang lekat pada memori. Dan memori yang perlu diaktifkan, agar proses detraumatisasi dapat tuntas dilakukan, adalah memori paling awal (Ronald, 2014).
Proses detraumatisasi dengan hipnoterapsi klinis dari perspektif neurosains:
Aktivasi komponen emosi dari kejadian traumatik -> memori kerja -> hipokampus -> aktivasi reseptor BLC glutamat di amigdala -> restrukturisasi kejadian dengan hipnoterapsi klinis -> serotonin meningkat -> GABA meningkat -> depotensiasi reseptor glutamat di BLC -> keluaran amigdala menurun -> komponen emosi pada kejadian dinetralisir -> Trauma sembuh.
Kadar serotonin, sebagai neuromodulator, berkaitan erat dengan ketahanan seseorang terhadap trauma. Bila kadar serotonin meningkat, daya tahan terhadap trauma juga meningkat. Demikian pula sebaliknya. Bila kadarnya rendah, seseorang menjadi rentan terhadap trauma. Sementara GABA (gamma-aminobutyric acid) adalah asam amino inhibitor (penghambat) neuron lain dan bekerja berlawanan dengan glutamat.
Proses Hipnoterapi Klinis
Dari uraian di atas tampak bahwa proses hipnoterapi klinis memengaruhi dan mengakibatkan terjadinya depotensiasi reseptor glutamat di BLC. Tapi, bagaimana caranya?
Dalam hipnoterapi klinis, terapis membimbing klien untuk melakukan aktivasi komponen emosi dari kejadian traumatik dengan meminta klien mengingat dan merasakan kembali kejadian beserta emosinya. Informasi ini masuk ke memori kerja untuk diproses. Selanjutnya terapis menuntun klien menemukan awal mula kejadian pertama yang menjadi akar masalah klien, menggunakan teknik yang sesuai. Kejadian paling awal disebut initial sensitizing event (ISE). Di ISE akan dilakukan pengurasan emosi, bila terdapat emosi intens, hingga benar-benar tuntas, dan dilanjutkan dengan restrukturisasi kejadian dengan teknik partial atau complete rewriting history (Gunawan, 2017).
Bila rangkaian kejadian mengikuti alur normal maka saat klien mengalami revivifikasi, lima komponen trauma kembali muncul: kejadian, makna, kondisi senyawa kimiawi otak, perasaan terperangkap, dan perasaan tidak berdaya. Dalam proses hipnoterapi klinis dilakukan intervensi pada kelima komponen ini.
Klien mengalami kejadian yang sama namun dengan beberapa perubahan pada komponen atau alur cerita. Klien dituntun untuk memberi makna baru pada kejadian yang ia alami. Senyawa kimiawi otak tentu juga berbeda karena klien menjalani proses hipnoterapi dalam kondisi hipnosis dalam. Klien juga disiapkan untuk mengalami kejadian, dengan teknik tertentu skenario diatur sedemikian rupa sehingga ia tahu di depan apa yang akan terjadi, dan ini membuat klien tidak merasa terperangkap dalam situasi itu. Dan yang terutama, dalam diri klien tidak muncul perasaan tidak berdaya karena ego strength-nya telah mengalami penguatan.
Bila trauma telah berhasil diatasi, klien menjadi tenang, rileks, dan saat diminta mengingat kembali kejadiannya, bisa terjadi salah satu dari lima kemungkinan berikut:
1. Klien bisa mengingat kejadian dengan jelas namun perasaannya datar, tidak lagi merasakan emosi negatif yang sebelumnya sangat mengganggu dirinya.
2. Klien sulit atau tidak bisa mengingat kejadian.
3. Klien bisa mengingat namun kejadiannya kabur dan tidak lengkap, muncul hanya sepotong-sepotong.
4. Klien bisa mengingat kembali namun ia melihat kejadian itu dari kejauhan, sebagai pengamat atau disosiatif.
5. Klien bisa mengingat kejadian. Namun peristiwa inti yang sebelumnya menyebabkan trauma menjadi kabur atau tidak ada, yang ada hanyalah detil peristiwa atau situasi yang berada di sekitar peristiwa inti.
Setiap trauma pasti melibatkan emosi intens. Namun, tidak setiap kejadian dengan emosi intens mengakibatkan trauma. Kejadian sama, dialami dua individu, bisa mengakibatkan hasil yang berbeda. Yang satu mengalami trauma, sementara yang satu lagi sama sekali tidak terpengaruh. Lalu, apa faktor yang menentukan satu kejadian akan bersifat traumatis atau tidak? Pertanyaan ini sangat menggelitik rasa ingin tahu, membuat penasaran, dan tentu sangat butuh dijawab tuntas.
Kata “emosi” berasal dari bahasa Latin “emovere”, yang berarti bergerak melewati atau keluar. Dengan demikian, emosi sejatinya merujuk pada tindakan aktif. Dalam bahasa aslinya, emosi sama sekali tidak mengandung makna kelekatan atau penolakan terhadap tindakan, namun emosi secara alami mengalir melalui atau keluar dari diri.
Emosi sangat memengaruhi hidup kita, baik disadari atau tidak. Ortony, Norman, dan Revelle (2005) menyatakan emosi dihasilkan pada tiga level: reaktif, rutin, dan reflektif. Emosi paling primitif adalah yang bersifat reaktif. Emosi ini telah ada dalam diri kita sejak lahir, dan berfungsi untuk memastikan kita bisa tetap selamat.
Emosi ini adalah takut dan marah yang bersifat defensif, yang muncul sebagai respons terhadap hal-hal yang dipersepsikan sebagai ancaman. Emosi takut telah ada sejak lahir. Bayi lahir dengan membawa dua rasa takut, takut suara keras dan takut jatuh. Sementara marah muncul belakangan. Takut dan marah memiliki fungsi spesifik, dalam konteks keselamatan individu. Dua emosi dasar ini memberikan energi untuk lari atau melawan.
Emosi rutin adalah emosi yang kita alami sehari-hari, meliputi perasaan senang, bahagia, kagum, terganggu, malu, cemas, terinspirasi, berani, egois, bangga, sedih, kaget, marah, jengkel, kesal, takjub, dan yang lain.
Emosi-emosi ini muncul, bertahan sebentar, lalu memudar, dan dilanjutkan dengan munculnya emosi lain. Emosi rutin tidak menyebabkan trauma. Mereka memberi warna kepada kehidupan yang kita jalani.
Emosi reflektif muncul sebagai hasil dari kerja bagian otak, lobus prefrontalis. Emosi reflektif meliputi marah, rasa bersalah, benci, kesedihan mendalam, cemburu, cinta, balas dendam, dan yang lain. Emosi reflektif, sama seperti emosi reaktif, berpotensi mengakibatkan trauma. Emosi reaktif dan reflektif menyebabkan perasaan tidak nyaman dan sedapat mungkin kita berusaha menghindarinya.
Takut muncul dalam berbagai situasi atau momen. Ada momen di mana kesadaran dan kewaspadaan kita terhadap lingkungan meningkat, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kita berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dalam situasi ini muncul rasa takut sebagai mekanisme perlindungan diri terhadap sesuatu yang dirasa berbahaya. Bila ternyata tidak ada yang membahayakan diri, kita kembali pada kondisi normal, rasa takut pun hilang dengan sendirinya.
Takut juga muncul saat diri kita dalam bahaya, seperti sedang berhadapan dengan ular atau dikejar anjing liar. Takut menempatkan kita dalam mode lari (flight) untuk bisa menyelamatkan diri.
Takut tipe ketiga muncul di saat kita panik. Kita dibanjiri perasaan seolah kita akan meninggal, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ada perasaan kelebihan beban, tidak mampu.
Takut tipe keempat muncul saat kita berhadapan dengan situasi yang diyakini akan segera membuat kita meninggal. Kita masuk ke kondisi kesadaran lain. Waktu melambat, tubuh tidak lagi merasa sakit atau sensasi lain, dan menjadi tidak responsif, kaku, disebut thanatosis.
Setiap jenis takut berhubungan dengan ciri neurobiologis unik. Ciri ini terdiri atas hormon stres berbeda yang mengalir melalui otak dan tubuh, meningkatkan respons untuk keselamatan hidup.
Saat emosi dapat mengalir keluar secara alamiah atau mampu dialirkan keluar dari sistem diri dengan sengaja, maka tidak akan terjadi masalah. Masalah muncul saat emosi menumpuk dalam diri, biasanya melalui proses represi kronis, dan mewujud dalam bentuk simtom pada aspek kognisi, emosi, dan fisik.
Dua Sistem Keselamatan Hidup
Manusia memiliki dua sistem keselamatan hidup: aversive dan appetitive survival system. Emosi reaktif dan reflektif adalah bagian dari aversive survival system. Sistem ini mengaktifkan emosi takut dan marah saat individu berhadapan atau mengalami kejadian yang mengancam, di mana ia harus bisa lari lebih cepat atau lebih kuat sehingga bisa mengalahkan predator. Takut juga aktif untuk menghindarkan kita dari melakukan sesuatu yang menghasilkan rasa bersalah, malu, marah, dan emosi mengganggu lainnya.
Appetitive survival system memelihara keselamatan hidup dengan cara mendorong atau memotivasi kita untuk memenuhi kebutuhan fisik, mencari makan, minum, dan seks. Sistem ini memotivasi kita dengan menghasilkan perasaan lapar, haus, dan hasrat pemenuhan kebutuhan seks yang bertindak sebagai stresor. Semakin lama kebutuhan ini tidak terpenuhi, semakin besar stres yang dialami individu, semakin tinggi motivasinya.
Kedua sistem ini saling terhubung untuk mencapai tujuan serupa, keselamatan dan kelanjutan hidup. Dengan demikian, tidak heran bila dalam gangguan yang melibatkan dorongan apetitif abnormal seperti adiksi atau makan kompulsif, sering ditemukan keberadaan emosi reaktif atau reflektif abnormal yang berasal trauma.
Memori untuk Keselamatan Hidup
Selain lari (flight) dan lawan (fight), untuk menjaga keselamatan hidup di masa depan, kita sangat perlu mampu menghindari situasi serupa yang di masa lalu bersifat membahayakan atau mengancam. Dengan demikian, kita butuh kemampuan untuk merekam dan mengingat kembali, dengan cepat dan akurat, memori-memori tentang situasi ancaman ini.
Ada dua cara untuk mencapai tujuan ini. Pertama, kita perlu mengalami secara langsung, dan kedua, otak kita merekam informasi dari sumber lain. Proses ini melibatkan amigdala dan hipokampus.
Salah satu cara paling cepat untuk menarik perhatian, membuat kita fokus, waspada untuk menghindari situasi yang mengancam adalah dengan melibatkan emosi. Di sinilah peran nyata amigdala dan hipokampus.
Amigdala akan bertanya pada hipokampus, menggunakan data yang telah terekam di memori otak, apakah situasi, kondisi, hal, benda, atau apa saja yang individu temui, aman atau berbahaya. Saat hipokampus memberi jawaban bahwa ini adalah sesuatu yang dipersepsi mengancam atau berbahaya maka amigdala akan menyalakan alarm tanda bahaya, muncul emosi intens dalam diri individu yang menyiapkan dirinya lari atau lawan.
Pengalaman traumatis meninggalkan bekas mendalam dalam psikis individu, terekam dalam bentuk memori “khusus” di otak, dan mengakibatkan perilaku tak lazim, sakit berkepanjangan, sensasi fisik yang bersifat mengganggu kenyamanan hidup.
Pengalaman terekam sebagai pengalaman traumatis saat momen lari atau lawan, saat upaya menghindari atau menghilangkan ancaman tidak dapat dilakukan. Pada saat inilah senyawa kimiawi otak seperti norepinephrine, dopamine, dan kortisol meningkat drastis dan memengaruhi otak dalam merekam informasi.
Komponen Memori Traumatis
Setiap memori traumatis melibatkan minimal empat komponen. Pertama, emosi atau perasaan. Kedua,
komponen kognitif pikiran sadar yaitu konten mental yang kita pikirkan atau perhatikan serta kita sadari keberadaan dan maknanya. Ketiga, komponen kognitif pikiran bawah sadar yaitu konten mental yang muncul karena terpicu oleh faktor internal atau eksternal, tidak kita sadari keberadaannya, namun mengakibatkan gejala fisik dan emosi. Keempat, komponen somatosensori yaitu sensasi yang dirasakan di tubuh fisik seperti sakit, tegang, kesemutan, perubahan temperatur kulit, hipersensitif terhadap sentuhan, dan sensasi lainnya.
Memori traumatis terbagi dua: memori traumatis (traumatic memory) dan memori traumatis disosiatif (dissociated traumatic memory). Memori traumatis adalah memori yang berisi narasi kejadian dan emosi yang lekat padanya, dan dapat diaktifkan secara sadar.
Sementara memori traumatis disosiatif adalah bentuk pikiran, perasaan, dan sensasi yang muncul dan dialami individu, tanpa aktivasi atau kendali secara sadar, biasanya terpicu oleh sesuatu hal yang seringkali tidak disadari oleh individu, dan muncul dalam bentuk kilas balik ingatan (flash back), mimpi buruk, pikiran intrusif/mengganggu, dan sensasi fisik.
Syarat Terjadi Trauma
Trauma selalu melibatkan emosi intens. Kita mengingat traumatisasi sebagai kondisi terperangkap dalam tindakan pelarian tak tuntas. Suatu kejadian untuk dapat terekam di otak sebagai memori traumatis membutuhkan lima syarat. Pertama, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi. Kedua, kejadian ini memiliki makna bagi individu. Ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung. Keempat, individu merasa kaget atau terperangkap, tidak bisa menghindar dari kejadian itu. Kelima, individu merasa tidak berdaya.
Yang dimaksud dengan kejadian adalah salah satu atau gabungan dari beberapa kemungkinan berikut: kita bisa mengalami sendiri, hanya menyaksikan, diberitahu baik oleh pihak kedua atau ketiga, membaca uraian kejadian, menonton siaran televisi, mengalami kejadian melalui mimpi, dan membayangkan kejadiannya di pikiran.
Contohnya, pada kecelakaan mobil. Kita bisa berada di dalam mobil, baik sebagai pengemudi atau penumpang, kita bisa menyaksikan terjadinya kecelakaan dan mendengar suara erangan atau rintihan kesakitan dari korban, melihat darah mengalir dari tubuh korban, atau kita bisa mendengar cerita orang mengenai kejadian itu, membaca kisah kecelakaan, menyaksikan tayangan video atau film kecelakaan, bermimpi mengalami kecelakaan, atau membayangkan mengalami kecelakaan, dan kita mengalami trauma.
Saya beberapa kali menangani klien yang takut naik pesawat karena ada rekan atau keluarga mereka yang mengalami kecelakaan pesawat dan meninggal. Ada klien yang karena sering membaca ulasan tentang kecelakaan pesawat ini, baik di media massa, tayangan televisi, dan melalui media sosial lainnya, turut menjadi trauma.
Trauma yang berasal dari cerita pihak kedua dan ketiga bisa terjadi karena pikiran kita mendramatisir kejadiannya. Ini jenis trauma yang dijumpai pada para pekerja sosial, terapis, pengacara, polisi, dan mereka yang rutin menangani trauma.
Pengalaman orang pertama tentu menghasilkan pengaruh emosi yang jauh lebih kuat daripada cerita orang ketiga, namun ini tetap perlu diwaspasi karena hasil penelitian menemukan para pekerja di bidang pemulihan trauma rentan terpengaruh dan perlu bersikap waspada terhadap risiko ini (Adams dan Riggi, 2008).
Komponen kedua untuk terjadi trauma adalah kejadian itu bermakna bagi individu. Makna muncul sebagai hasil dari kebutuhan bawaan akan kelekatan (attachment) pada hal-hal penting dalam hidup, dan pengalaman sebelumnya. Kelekatan yang dimaksud bisa berupa kelekatan pada hidup, pasangan, keluarga, orangtua, bagian tubuh, benda mati seperti rumah, mobil, cicin kawin, atau apa saja yang memiliki keterhubungan emosional intens dengan individu.
Makna juga bisa muncul berdasarkan pengalaman sebelumnya. Satu kejadian yang sebenarnya bersifat netral bisa memicu memori traumatis masa lalu dan mengakibatkan respon negatif. Terapis tidak dalam posisi untuk menentukan apakah suatu kejadian bermakna atau tidak bagi klien. Klien yang menentukan.
Dengan demikian, dalam upaya menemukan kejadian traumatis, perlu diperhatikan hal-hal yang tampak sepele karena bisa saja hal ini justru merupakan penyebab trauma.
Komponen ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian. Ada lima senyawa kimiawi otak yang berperan dalam proses trauma, yaitu glutamate, dopamine, serotonin, norepinephrine, dan kortisol. Dalam kondisi normal, kelima senyawa kimiawi ini berperan sebagai neuromodulator, memengaruhi suasana hati, pemrosesan informasi, dan meningkatkan kerentanan kita terhadap trauma.
Saat stres akut, level dari senyawa kimiawi ini meningkat drastis dan mengakibatkan informasi diproses secara berbeda. Tubuh kita disiapkan untuk bertindak, perhatian kita menjadi fokus, kita siap bertindak, dan menyiapkan otak untuk menyimpan informasi yang akan segera masuk.\
Dopamine meningkat saat kita mencari keberadaan predator. Saat kita harus melawan atau lari, epinephrine menyiapkan tubuh dan norepinephrine menyiapkan pikiran. Serotonin juga meningkat sedikit untuk mencegah tubuh mengalami beban berlebih. Glutamate terlibat dalam semua proses ini. Sekali individu mengalami trauma, di kemudian hari ia menjadi lebih rentan mengalami trauma lagi.
Komponen keempat, perasaan kaget atau terperangkap. Menghindar dari situasi yang mengancam atau melawan sumber ancaman butuh gerak aktif. Upaya ini meliputi lari, mendorong, melompat, memukul, berenang, bersembunyi, memanjat, dan tindakan lainnya. Saat individu merasa tidak bisa bergerak, karena dikuasai rasa takut intens, situasi ini berpotensi besar menimbulkan trauma.
Persepsi terperangkap tidak perlu berlangsung dalam waktu lama, dan juga tidak perlu sampai disadari penuh. Perasaan terperangkap ini bisa dialami saat seseorang mengalami kecelakaan, saat jatuh, saat melintasi jembatan yang bergoyang, saat dituduh mencuri di depan umum, atau saat Anda diberitahu menderita kanker, baik itu benar atau salah diagnosis. Saat Anda mengalami kejadian dan tidak ada tempat untuk berlari atau bersembunyi, maka saat itulah perasaan diri kaget atau terperangkap terjadi dan dialami.
Komponen kelima, perasaan tidak berdaya. Saat individu merasa terperangkap namun masih bisa memikirkan jalan keluar atau ada yang memberi jalan keluar, maka ia masih memiliki harapan. Potensi mengalami trauma menurun drastis. Saat individu merasa sama sekali tidak ada jalan keluar dari situasi yang ia alami, muncul perasaan tidak berdaya. Bila kelima komponen ini lengkap hadir, maka kejadian yang dialami individu direkam di otak sebagai kejadian traumatis.
Kerentanan
Selain lima syarat di atas, kerentanan terhadap trauma sangat dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya. Kejadian yang tampak sepele dapat menjadi trauma karena ia meneruskan dan bekerja berdasar akumulasi pengalaman sebelumnya (Chemtob, Nomura, dan Abramovitz, 2008; Gunawan, 2014).
Kerentanan terhadap trauma semakin meningkat bila individu terlalu berempati, berharga diri rendah, dan mengalami kesulitan dalam regulasi respons emosi. Dalam hipnoterapi klinis, kejadian tunggal dengan emosi intens dapat menjadi trauma. Ada pula kejadian dengan emosi yang kurang intens, namun karena ia memiliki kesamaan atau kemiripan dengan kejadian yang sebelumnya pernah dialami individu, mengakibatkan muncul trauma.
Solusi Trauma
Ada tiga pendekatan mengatasi trauma: psikoterapi, psikofarmakologi, dan terapi psikosensori.
Psikoterapi adalah upaya penyembuhan yang dilakukan dengan cara berkomunikasi verbal dengan klien. Beberapa pendekatan dalam psikoterapi antara lain kognitif, kognitif perilaku, rasional/emotif, psikodinamik, psikoanalisis, sistemik (termasuk terapi keluarga).
Psikofarmakologi adalah studi dan penggunaan zat kimia untuk mengubah suasana hati, sensasi, pemikiran, dan perilaku. Sementara terapi psikosensori adalah terapi dengan pendekatan tubuh-pikiran (body-mind).
Salah satu cara paling efektif, dalam psikoterapi, untuk mengatasi trauma adalah hipnoterapi.
Hipnoterapis, menggunakan teknik hipnoanalisis, menuntun klien menyusuri garis waktu, mundur ke masa lalu, melewati satu atau beberapa kejadian, dan akhirnya mencapai kejadian paling awal.
Saat kejadian-kejadian ini diproses tuntas, emosi yang lekat pada setiap kejadian dinetralisir, tentunya menggunakan teknik yang tepat, maka memori kejadian menjadi netral, tidak lagi mengganggu hidup individu dan klien sembuh dari trauma.
Proses hipnoterapi, dalam upaya membantu klien mengatasi masalah, menggunakan dua pendekatan: tanpa memroses akar masalah dan memroses akar masalah.
Hipnoterapi tanpa memroses akar masalah dilakukan dengan memberi sugesti ke pikiran bawah sadar (PBS) klien, dengan tujuan menghilangkan simtom. Bila simtom hilang, masalah selesai. Bisa juga simtom tidak dihilangkan tapi dimodifikasi sehingga tidak lagi mengganggu hidup klien. Yang dimaksud dengan modifikasi di sini, bisa mengganti simtom dengan simtom lain yang lebih ringan, mengurangi intensitas simtom, mengurangi frekuensi munculnya simtom, atau mensugesti klien untuk mengalami kontraksi waktu sehingga simtom terasa hanya sekejap.
Sementara pada pendekatan kedua, memroses akar masalah, butuh upaya yang lebih panjang dan menyeluruh, melibatkan proses mencari dan menemukan akar masalah, dan dilanjutkan dengan restrukturisasi kejadian paling awal.
Untuk menemukan akar masalah dibutuhkan teknik regresi yang sesuai agar informasi yang diungkap oleh PBS benar adalah kejadian paling awal. Di sini, selain teknik yang presisi juga butuh kecermatan dan kejelian terapis dalam menelisik jawaban yang diberikan PBS. Untuk itu terapis harus melakukan pengecekan, dengan teknik tertentu, guna memastikan kejadian yang diungkap PBS adalah benar kejadian paling awal.
Setiap simtom pasti memiliki akar masalah atau kejadian paling awal. Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI) mengembangkan dan mengajarkan teknik untuk menemukan dua jenis akar masalah yaitu ISE dan IEPCE.
ISE (initial sensitizing event) adalah kejadian paling awal, bisa berupa pengalaman traumatik, atau pengalaman nontraumatik dan berlaku sebagai bibit yang, bila mendapat dukungan kondisi yang sesuai, akan menjelma menjadi masalah.
ISE biasanya diperkuat satu atau beberapa kejadian lanjutan yang disebut SSE (subsequent sensitizing event), membangun momentum hingga akhirnya tercipta simtom. Kejadian yang memunculkan simtom disebut SPE (symptom producing event). Simtom dapat semakin menguat akibat kejadian lanjutan yang disebut SIE (symptom intensifying event). ISE, bila berupa kejadian traumatik, dapat langsung menjadi SPE. SSE juga bisa menjadi SPE.
Rangkaian kejadian mulai dari yang paling awal hingga menjadi simtom dan terus mengganggu klien hingga masa kini adalah:
ISE à SSE 1 à SSE 2 à SSE ? à SPE à SIE à NOW
Mengacu pada alur di atas, bila terapis hendak menemukan akar masalah (ISE) maka ia menuntun klien menelusuri garis waktu di PBS, mundur dari NOW, hingga akhirnya berhenti di ISE.
Teknik untuk membawa klien mundur ke masa lalunya disebut regresi. Ada sangat banyak varian teknik regresi. Namun dari sekian banyak teknik ini, AWGI hanya menggunakan satu teknik regresi yang telah teruji secara klinis sangat akurat, presisi, dan efektif mengungkap akar masalah. Teknik ini juga telah banyak diulas di jurnal, salah satunya, International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis.
Menemukan akar masalah (ISE) adalah satu hal, dan memrosesnya dengan benar sehingga terjadi resolusi trauma tuntas adalah hal lain. Ini adalah dua keterampilan berbeda. Hanya menemukan ISE tidak bersifat terapeutik. Dalam banyak kasus yang pernah saya tangani, klien telah menjalani hipnoterapi dan menurut terapisnya telah berhasil menemukan “akar masalah”. Akar masalah ini tidak diproses. Terapis hanya memberitahu klien, “Sekarang sudah tahu akar masalah Anda? Peristiwa ini yang membuat hidup Anda susah.” Proses ini tidak tuntas karena akar masalah tidak diproses dan sudah tentu masalah klien tidak teratasi dan bisa kontraproduktif. Emosi yang muncul dari kejadian ini bisa sangat mengganggu hidup klien dan membuat klien menjadi tidak stabil.
IEPCE (Initial EP Creation Event) berbeda dengan ISE. IEPCE adalah kejadian paling awal yang menyebabkan munculnya EP. Watkins dan Watkins (1997) menyatakan ada tiga cara EP tercipta. Namun, riset yang dilakukan team AWGI menemukan ada sepuluh cara.
Dari satu kejadian paling awal (IEPCE) bisa tercipta sekaligus satu atau lebih EP dengan karakter berbeda. EP bisa mendapat penguatan pada satu atau lebih kejadian lanjutan yang disebut EPSE (EP Strengthening Event) yang semakin memperkuat EP. Semakin kuat EP, semakin kuat pengaruhnya terhadap hidup klien.
Teori dan teknik EP yang dikembangkan AWGI berbeda dengan yang sering dipraktikkan praktisi teknik Ego State (ES). Dalam teknik ES, terapis melakukan edukasi atau negosiasi dengan ES yang membuat masalah. Setelah tercapai kesepakatan, terapi diakhiri. Cara ini, dari pengalaman kami kurang efektif karena masalah klien masih bisa muncul lagi.
Dalam teknik EP yang kami praktikkan, usai melakukan negosiasi, kami perlu menemukan IEPCE. Untuk menemukan IEPCE biasanya akan melewati beberapa EPSE. Proses restrukturisasi pada IEPCE akan sangat memengaruhi karakteristik EP dan menghasilkan efek terapeutik yang jauh lebih stabil. Tidak mudah memang untuk menemukan EPCE namun bisa dilakukan dengan teknik yang tepat.
Rangkaian kejadian mulai dari yang paling awal, muncul EP, muncul simtom, EP menjadi semakin kuat, dan terus mengganggu klien hingga masa kini adalah:
IEPCE à SIMTOM à EPSE 1 à EPSE 2 à EPSE ? à NOW
Proses regresi EP mencapai IEPCE dan regresi mencapai ISE walau berbeda namun memiliki kesamaan. Regresi ke ISE sejatinya adalah regresi EP. Bedanya pada jalur yang digunakan.
Dalam beberapa kasus, setelah menemukan dan memroses IEPCE, klien tetap merasa tidak nyaman. Untuk itu, terapis perlu melakukan regresi lagi, mencapai IEPCE dan biasanya EP yang muncul berbeda. Kondisi ini mengakibatkan penanganan simtom atau masalah menggunakan teknik EP menjadi lebih kompleks.
Temuan kami, IEPCE tidak selalu sama dengan ISE, walau dalam beberapa kasus bisa terjadi ISE adalah IEPCE. SSE juga bisa menjadi IEPCE. Mekanisme pembentukan EP, relasi antara IEPCE dan ISE serta SSE masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Kendala kami, selaku hipnoterapis kami tidak boleh melakukan eksperimen pada klien untuk sekedar mencari tahu apakah benar ISE atau SSE adalah sama dengan IEPCE klien. Ini melanggar kode etik. Temuan yang saya tulis dalam artikel ini berasal dari hasil diskusi dengan para rekan sejawat hipnoterapis, menelaah banyak kasus terapi, dan menarik simpulan sementara.
Pengalaman terapi yang akan saya ceritakan kali ini benar-benar seru. Ceritanya begini. Seorang klien wanita, usia 40 tahun, sebut saja sebagai Ani, datang ke saya untuk minta tolong mengatasi masalah emosi dan juga sakit di leher sebelah kiri.
Soal emosi, ini karena relasi Ani dan suaminya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Mereka saling mencinta namun tidak saling memahami cara berkomunikasi dengan baik dan benar.
Akibatnya, ada banyak kejadian dan keributan dalam rumah tangga yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Semua emosi ini Ani tekan dengan harapan akan hilang dengan sendirinya. Saat Ani benar-benar marah, tapi ia tahan, tangannya sampai bergetar-getar dengan sendirinya. Sementara sakit di leher, menurut Ani, sudah ia rasakan mulai SMA. Ani juga mengalami sakit autoimun sehingga sendi-sendinya sakit.
Proses berikut ini dilakukan dalam kondisi hipnosis dalam dan Ani menutup mata. Untuk urusan emosi dengan suami, proses terapinya cukup alot, karena ada satu Bagian Diri atau Ego Personality (EP), berusia 8 tahun, merasa terluka dan tidak bersedia memaafkan suami Ani. EP ini menyatakan sudah bosan hidup dan mau mati. Sebagai terapis, saya sadar bila ada EP yang menyatakan seperti ini, ini kasus sangat serius, harus diproses tuntas.
Rapport dengan EP ini saya jalin dan pertahankan dengan tetap berlaku sabar, hormat, penuh kasih, menunjukkan empati mendalam atas apa yang EP ini alami dan rasakan. Setelah lima belas menit, akhirnya EP ini melunak dan bersedia saya bantu melepas semua emosi negatifnya terhadap suami Ani. Proses berlangsung alot karena EP masih berusia 8 tahun. Tentu dengan pola pikir, pemahaman, dan kebijaksanaan sesuai usianya.
EP yang fiksasi di usia 8 tahun ini, atas ijinnya, saya bantu tumbuhkan, menggunakan teknik khusus, menjadi EP dewasa agar bisa membantu Ani menjadi kuat dan bahagia menjalani hidup. Ini perlu dilakukan dengan sangat hati-hati menggunakan skrip yang telah disiapkan sebelumnya. Bila sampai salah kata, bisa berakibat sangat buruk bagi EP maupun klien.
Yang sangat menarik dan menantang adalah saat saya membantu Ani mencari akar masalah penyebab sakit di leher sebelah kiri. Menggunakan teknik hipnoanalisis, ada satu EP Ani memberitahu saya bahwa ada banyak yang mengikuti Ani. Menurut EP ini, yang menyebut dirinya sebagai Pelindung, ia berfungsi melindungi Ani dan sudah mengikuti Ani sejak ratusan tahun lalu.
Saya tanya apa maksudnya, Pelindung menjelaskan bahwa di dalam tubuh Ani ada banyak makhluk yang masuk dan menetap. Saya heran, bila fungsinya adalah melindungi Ani, lalu mengapa ia tidak mengeluarkan makhluk-makhluk ini dari tubuh Ani. Pelindung mengatakan bahwa dirinya kalah kuat. Ada satu makhluk yang sangat kuat dan ia tak kuasa menghadapinya.
Tiba-tiba tubuh Ani bergetar hebat, terutama tangan kanannya. Dan dari mulut Ani keluar suara keras diarahkan ke saya, “He… kamu jangan ikut campur urusan ini. Tidak usah ikut campur….”.
Saya tanya, “Anda ini siapa?” Suara ini dengan tegas dan kasar menjawab singkat, “Genderuwo.”
Saat saya minta ijin bicara dengannya, bukannya mengijinkan, ia malah marah besar. Genderuwo, menggunakan tangan dan jari telunjuk Ani, menunjuk muka saya sambil berkata, “Aku tidak takut sama kamu. Aku tidak mau bicara sama kamu. Aku tahu… kamu mau usir aku keluar dari badan Ani. Aku tidak mau keluar. Aku mau tetap tinggal di sini. Kalau aku tidak mau keluar, kamu mau apa?”
Genderuwo ini rupanya sudah siap konfrontasi dengan saya. Ia sama sekali tidak bersedia mendengar apapun yang saya sampaikan. Intinya, ia tidak mau keluar dari tubuh Ani. Ia dan kawan-kawannya masuk ke tubuh Ani karena, menurutnya, tubuh Ani bau harum akibat sering merasa sedih.
Cukup lama saya berusaha melakukan negosiasi, merayu, membujuk, memberi pengertian pada Genderuwo agar ia suka rela keluar dari tubuh Ani. Ia bergeming, tidak mau keluar. Saya menyadari situasi ini tidak baik untuk Ani. Semakin lama Genderuwo ini aktif, energi tubuh Ani akan semakin terkuras dan Ani menjadi semakin lemah. Semakin Ani lemah, semakin kuat Genderuwo menguasai diri Ani.
Setelah semua upaya dilakukan dan tidak berhasil, akhirnya saya memutuskan menggunakan teknik khusus untuk mengatasi situasi seperti ini. Usai saya jalankan teknik ini, pikiran bawah sadar Ani sendiri melakukan pembersihan menyeluruh dan mengeluarkan semua makhluk ini dari tubuhnya. Saya diam, menyaksikan, dan menunggu hampir 10 menit hingga akhirnya PBS menyatakan telah selesai melakukan pembersihan.
Apakah masalah sudah selesai? Belum.
Saya lanjut melakukan hipnoanalisis untuk menemukan akar masalah yang menyebabkan leher Ani sakit. PBS Ani menelusuri garis waktu dan mundur ke masa lalu, ke tiga kejadian berbeda. Pertama, Ani mundur ke usia 5 tahun.
Selanjutnya Ani mundur spontan ke kehidupan lampau, sebagai wanita berusia 70 tahun. Dan yang terakhir, ini adalah akar masalahnya, Ani mundur lagi, spontan, ke kehidupan lampau lainnya, seribu tahun lebih, sebagai wanita muda yang meninggal karena dibunuh suaminya, dibacok dengan parang di leher sebelah kiri. Sebelum dibunuh, Ani sangat ketakutan, tubuhnya gemetar, suaranya juga bergetar.
Penanganan dan penyelesaian kasus seperti ini, meninggal tragis dibunuh di kehidupan lampau, perlu ekstra hati-hati. Saat klien tahu bahwa ini adalah akar masalahnya, kasus ini tidak serta merta selesai dengan sendirinya. Ini baru langkah awal. Dibutuhkan resolusi trauma melalui rekonstruksi kejadian secara terstruktur, menetralisir emosi negatif yang terekam di PBS, pemaknaan ulang, rekonsiliasi dengan pelaku, pembelajaran dan memetik hikmah kejadian. Bila klien hanya tahu kejadiannya tapi tidak diproses, ini sama artinya klien kembali mengalami trauma, dibunuh. Bila ini tidak diproses, saat klien keluar dari kondisi hipnosis, ia telah mengalami mati dibunuh dua kali. Ini sangat berbahaya bagi kondisi mental dan emosi klien.
Setelah tiga kejadian ini diproses tuntas, saya melakukan pengecekan akhir guna memastikan bahwa semuanya telah benar-benar selesai, tidak lagi ada yang tersisa. Tidak terasa, proses terapi ini berlangsung sekitar empat jam.
Apakah benar di dalam tubuh Ani tinggal banyak makhluk? Bagaimana proses makhluk ini sampai bisa masuk ke tubuh Ani? Mengapa Genderuwo ini sangat kuat?
Bagi kami, hipnoterapis AWGI, ini bukan Gederuwo dalam arti sesungguhnya, tapi metafora yang dimunculkan PBS Ani. Gederuwo ini sebenarnya adalah manifestasi dari berbagai emosi negatif intens dalam diri Ani, yang selama ini ditekan, dan mewujud dalam satu EP. Sesuai teori EP yang kami kembangkan, kekuatan EP salah satunya ditentukan oleh intensitas emosi yang ia pegang.
Bagaimana dengan regresi hingga ke kehidupan lampau?
Yang dialami klien saya ini sifatnya spontan, tidak diarahkan. Kami, hipnoterapis AWGI, tidak dalam posisi dan berkepentingan melakukan validasi apakah benar klien mundur ke kehidupan lampau. Kami fokus pada apa yang diungkap oleh PBS klien. Apapun informasi yang terungkap, ini yang kami gunakan sebagai pintu masuk untuk menyelesaikan masalah klien secara tuntas.
Seorang klien, sebut saja sebagai Bagus, usia 43 tahun, menjumpai saya untuk mengatasi kebiasaan suka marah, bahkan untuk hal-hal sepele. Bila marah, emosi Bagus meledak, ia teriak, mengucapkan kata-kata kasar, membanting barang, dan bahkan bisa memukul diri sendiri.
Di sesi wawancara, Bagus cerita bahwa ia telah berusaha mengatasi masalah ini dengan jumpa psikiater, psikolog, pendoa, konselor namun belum memberikan hasil seperti yang ia harapkan. Ia juga telah mengikuti berbagai pelatihan, ia sebutkan nama pelatihan dan pengajarnya, baca banyak buku pengembangan diri dan buku-buku terapi. Ia juga telah mencoba teknik penyembuhan diri seperti EFT, teknik pelepasan emosi melalui senam atau kejut fisik, hingga hipnoterapi. Ia juga telah mencoba teknik swish pattern, collapsing anchor, mengubah submodalitas, pembersihan aura, cakra, dan masih banyak lagi. Intinya, menurut Bagus, ia telah mencoba hampir semua cara namun tetap belum berhasil mengatasi masalahnya.
Bagus bertanya pada saya mengapa semua cara yang ia telah ia coba belum bisa berhasil mengatasi masalahnya. Saya jawab, saya tidak bisa komentar karena bukan bidang keahlian saya. Yang saya tahu, setiap teknik punya kelebihan dan keterbatasan. Saya hanya bisa memberi jawaban pasti setelah melakukan hipnoanalisis pikiran bawah sadarnya.
Biasanya, bila klien telah mencoba sangat banyak cara untuk mengatasi masalahnya namun belum juga berhasil, ada dua kemungkinan penyebab. Pertama, pendekatan atau teknik terapi yang ia gunakan tidak efektif. Kedua, ia belum siap berubah. Saya secara khusus menyiapkan pikiran bawah sadarnya, bukan pikiran sadar, untuk berubah dengan mengajukan pertanyaan Priming the Subconscious for Change dan melakukan elaborasi mendalam.
Bagus merasa sangat yakin kemarahannya ini berasal dari masa kecilnya, kelas satu SD, saat ia dipukul oleh temannya, padahal ia tidak berbuat salah. Dan ketika kejadian ini diketahui gurunya, bukannya menegur teman yang memukulnya, guru justru memarahi dan menyalahkan Bagus. Ini membuat Bagus marah sekali pada gurunya tapi ia tidak berani mengungkapkan perasaannya.
Saat saya tanya dari mana ia tahu atau yakin akar masalahnya adalah kejadian di kelas satu SD ini, Bagus mengatakan bahwa setiap kali ia marah, yang muncul selalu memori ini. Dan terapi yang telah ia lakukan, selama ini, fokus pada upaya untuk mengatasi kejadian ini. Memang setelah terapi ia merasa lega, nyaman. Namun beberapa hari kemudian, kambuh lagi. Ia bingung dan frustrasi dengan keadaannya.
Setelah merasa cukup mendapat informasi dari sesi wawancara, saya mulai melakukan hipnoterapi pada Bagus. Saya membimbing Bagus untuk masuk ke kondisi hipnosis dalam (profound somnambulism). Ini adalah kedalaman yang menjadi syarat untuk bisa melakukan hipnoanalisis, regresi berbasis afek, revivifikasi, teknik Ego Personality, mengaktifkan trance-logic, dan teknik-teknik intervensi lainnya dengan efektif.
Dengan teknik hipnoanalisis, khususnya regresi, pikiran bawah sadar Bagus mundur menelusuri garis waktu, melewati rangkaian lima kejadian. Pertama, ia mundur ke usia 12 tahun saat ia dikeroyok tiga temannya karena salah paham.
Kemudian, di usia 10 tahun, di kejadian ia dituduh mencuri uang temannya dan dipukul ibunya karena merasa malu, padahal Bagus tidak melakukan hal ini.
Mundur lagi ke usia 7 tahun, saat kelas satu SD, saat ia dipukuli temannya dan setelahnya dimarahi guru. Ini kejadian yang Bagus dewasa ceritakan sering muncul saat ia marah. Dan ternyata ini bukan akar masalah. Kemudian Bagus mundur ke usia 2 tahun saat ia melihat kedua orangtuanya ribut besar.
Bagus sangat ketakutan dan kasihan pada ibunya. Bagus marah pada ayahnya dan merasa tidak berdaya karena tidak bisa membantu dan melindungi ibu.
Terakhir, ia mundur ke masa dalam kandungan, sebagai janin berusia 2 bulan. Di kejadian ini, ibunya merasa sakit hati, marah, dan ribut besar dengan ayah Bagus karena sering pulang malam dan berjudi. Dan yang lebih parah lagi, ayah Bagus mengadu pada ibunya, neneknya Bagus, dan si nenek ini ikut-ikutan memarahi ibunya Bagus. Ibu Bagus merasa tidak bisa menghadapi kedua orang ini akhirnya memendam perasaan marahnya. Dan tanpa ia sadari, kemarahan ini diserap oleh janin dalam kandungannya.
Saat Bagus lahir, tanpa ia sadari, di pikiran bawah sadarnya telah ada emosi marah yang cukup intens, yang berasal dari ibunya. Emosi ini mendapat penguatan lanjutan dari beberapa kejadian hingga akhirnya menjadi masalah, tanpa Bagus pernah tahu apa penyebabnya.
Untuk bisa benar-benar mengatasi masalah ini, saya membantu Bagus menyelesaikan satu demi satu kejadian, dengan cara menuntun dan mengarahkan Bagus mengeluarkan emosinya dengan cara yang aman, terkendali, hingga tuntas, dan melakukan rekonsiliasi dengan pelaku pada kejadian-kejadian ini.
Apakah sudah selesai sampai di sini? Oh, belum. Ini baru separuh jalan.
Untuk memastikan emosi pada lima kejadian ini, terutama pada kejadian paling awal, telah benar-benar tuntas teratasi, Bagus masih perlu melewati satu tahap lagi. Ini adalah tahap pemeriksaan final yang dilakukan pada pikiran bawah sadar untuk memastikan semua emosi negatif ini telah tuntas teratasi dan tidak ada Bagian Diri yang keberatan atas semua perubahan positif yang telah terjadi pada Bagus.
Ini tahap penting karena seringkali masih ada sisa emosi yang tidak lagi klien rasakan, karena telah sangat samar atau halus, dan bila tidak benar-benar bersih, ia bisa menjadi akar yang menumbuhkan kembali masalah serupa.
Usai terapi Bagus merasa sangat lega. Dan dalam sesi wawancara pascaterapi, Bagus menyatakan ia kini mengerti mengapa selama ini masalahnya tidak bisa tuntas teratasi. Ternyata, proses terapi yang ia lakukan selama ini bukan pada akar masalah. Dan ia sama sekali tidak menyangka kalau akar masalahnya berasal dari masa dalam kandungan. Total waktu yang dibutuhkan untuk terapi sekitar 3,5 jam.
Satu minggu kemudian Bagus memberi kabar bahwa ia sekarang sudah sangat nyaman. Ia tidak lagi mudah marah karena hal-hal sepele. Dan kalaupun marah, emosi marah atau kesal yang ia rasakan masih dalam batas yang wajar dan bisa ia kendalikan.
Di satu temu ilmiah yang saya hadiri, salah satu topik menarik yang dibahas adalah teknik terapi yang marak dipraktikkan oleh para penyembuh di Indonesia. Narasumber, doktor neurosains dan peneliti lulusan salah satu perguruan tinggi terkenal di Jepang, menyampaikan pesan agar kami, para peserta, perlu hati-hati agar tidak asal percaya begitu saja pada satu teknik yang diklaim efektif.
Ini menyegarkan kembali ingatan saya akan diskusi dengan guru hipnoterapi saya, Randal Churchill, kala saya menyelesaikan sertifikasi CCH (Certified Clinical Hypnotherapist) di San Fancisco sekian tahun lalu.
Randal berkali-kali mengingatkan pentingnya terapis bersikap kritis saat mencermati dan memelajari teknik terapi karena apa yang kami lakukan di ruang praktik sangat memengaruhi hidup klien. Randal menyebut teknik yang sebenarnya tidak efektif tapi diklaim atau dipublikasi gencar efektif sebagai teknik Brush Off.
Terkait teknik terapi, saya sering mendapat pertanyaan dari para Sahabat dan juga pembaca buku. Mereka umumnya ingin ikut pelatihan tertentu dan minta pendapat saya apakah teknik A atau B itu benar efektif.
Saya tentu tidak bisa memberi komentar karena tidak tahu atau memelajari teknik terapi yang dimaksud. Dan yang bisa saya berikan adalah petunjuk sebagai acuan untuk menilai kinerja suatu teknik terapi. Dan acuan ini juga saya gunakan untuk menentukan apakah suatu teknik benar efektif sehingga perlu dipelajari, terutama untuk menyeleksi pengajar di Amerika yang akan saya hadiri pelatihannya.
Pertama, ada teknik yang dinyatakan efektif hanya berdasar kesaksian atau testimoni klien. Untuk ini, kita perlu cek dan mencari tahu sudah berapa banyak klien yang berhasil sembuh dengan menggunakan teknik ini, dan apa saja masalah yang berhasil disembuhkan. Semakin banyak kesaksian, semakin beragam masalah yang berhasil disembuhkan dengan teknik ini, kita bisa semakin yakin.
Yang sering terjadi, hanya dengan kesaksian satu atau dua klien, terapis atau pengajar teknik ini langsung melakukan generalisasi bahwa teknik ini efektif untuk mengatasi berbagai masalah. Ini tentu tidak tepat. Satu atau dua kasus tidak serta merta boleh digunakan sebagai alasan melakukan generalisasi.
Ada lagi teknik terapi yang diklaim efektif oleh pengajarnya. Ini juga perlu dicermati dengan hati-hati. Klaim adalah pernyataan sepihak. Dan dasar klaim ini juga perlu ditanyakan dengan jelas.
Yang paling baik adalah teknik terapi yang telah diteliti dengan prosedur penelitian yang sahih dan evidence based, dan terutama telah dipublikasi di jurnal ilmiah. Ini yang paling kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kebiasaan bersikap kritis inilah yang membuat saya sangat hati-hati, selektif, dan tidak mudah percaya pada teknik terapi yang dinyatakan atau diklaim efektif. Dulu waktu belum memahami prinsip ini saya menghabiskan uang cukup banyak membeli berbagai video terapi dari luar negeri, masing-masing dinyatakan sangat efektif oleh si pengajar. Hasilnya? Kecewa berat. Banyak yang sama sekali tidak bisa digunakan.
Bagaimana bila ada teknik yang belum pernah diteliti tapi dinyatakan atau diklaim efektif?
Kembali pada prinsip di atas. Coba cek sudah berapa banyak klien yang berhasil disembuhkan dengan teknik ini. Semakin banyak, semakin baik. Walau teknik ini belum pernah diteliti dan dipublikasi di jurnal ilmiah, bila ia telah banyak menyembuhkan klien dengan beragam masalah maka teknik ini sangat layak untuk dipelajari dan dipraktikkan.
Kita juga perlu hati-hati dengan terapi yang dilakukan di atas panggung atau di depan orang banyak. Seringkali terapi ini berlangsung cepat dan di akhir terapi, terapis akan bertanya pada klien, "Bagaimana, sudah sembuh, kan? Sudah enak, nyaman?" Klien bisa saja menjawab, "Ya... saya sudah lebih nyaman sekarang."
Apakah teknik ini efektif? Belum tentu. Klien bisa menjawab demikian karena sungkan, kasihan, atau tidak ingin membuat malu terapis di depan orang banyak. Bisa juga klien telah benar sembuh.
Satu pertanyaan kunci yang sering orang lupa tanyakan, "Berapa lama perubahan ini bisa bertahan?"
Teknik terapi yang benar-benar efektif adalah yang mampu membuat perubahan positif dalam diri klien, tidak penting perubahan ini dicapai dalam waktu singkat atau perlu beberapa sesi, dan bisa bertahan (sangat) lama, stabil.
Dan tentu akan sangat mencerahkan bila saat suatu teknik terapi diajarkan, teknik ini juga langsung dipraktikkan dan terbukti mampu mengatasi masalah klien.
Inilah esensi terapi sebenarnya. Perubahan terjadi, secara positif, dan bertahan lama untuk kebaikan klien. Bila perubahan ini hanya sifatnya sesaat, tidak stabil, maka teknik ini tidak layak untuk dipelajari dan dipraktikkan.
Pertanyaan kunci untuk menilai suatu teknik efektif adalah dari hasil terapinya, "Does it HOLD?" (apakah hasilnya bertahan lama/stabil)
Demikianlah kenyataannya.....