The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Adiksi Emosi

1 Juli 2015

Ada dua cara jalani hidup. Pertama, hidup di bawah kendali kesadaran. Dan kedua, hidup di bawah kendali emosi. Bila diminta memilih, secara sadar, tentu kita semua ingin jalani hidup dengan penuh kesadaran. Namun, pilihan pertama tidak mudah. Dibutuhkan upaya dan kesungguhan niat untuk melatih diri mampu sadar dalam berpikir, berucap, dan bertindak. 

Mayoritas orang, tanpa disadari, jalani hidup di bawah kendali emosi, terutama emosi-emosi seperti marah, benci, dendam, kecewa, terluka, sakit hati, frustasi, malu, tidak berharga, dan berbagai emosi negatif lainnya. 

Dari mana asal emosi negatif ini? 

Pengalaman hidup dan makna yang dilekatkan padanya menentukan emosi yang muncul. Setiap orang berbeda dalam memberi makna. Satu kejadian bisa bermakna negatif, bagi satu orang, namun bisa bermakna positif bagi yang lain. 

Pemaknaan dilakukan berdasar kepercayaan yang dipegang individu. Dan mengikuti gerak pikiran yang sangat cepat, pemaknaan terjadi dalam sekejap, di level pikiran bawah sadar (PBS), di luar kendali diri (pikiran sadar) dan individu hanya rasakan produk akhir pemaknaan yaitu emosi. 

Saat emosi muncul, bergantung pada intensitasnya, ia segera menguasai diri individu. Semakin intens emosi ini, semakin kuat daya kendali dan cengkeramannya atas pikiran sadar individu. Akibatnya, individu sulit berpikir logis, sulit gunakan nalar sehat saat diri dalam kendali emosi. 

Emosi yang melekat pada memori kejadian pertama selanjutnya bisa mendapat penguatan saat individu alami kejadian yang sama atau serupa dengan kejadian sebelumnya, memberi makna yang sama, dan muncul emosi yang sama. Rangkaian kejadian bermuatan emosi yang sama ini terangkai dalam jalinan memori dengan intensitas emosi yang semakin lama semakin kuat. Sama halnya bola salju yang menggelinding dan membangun momentum. 

Sesuai judul artikel ini, saya akan bahas adiksi emosi ditinjau dari dua perspektif: sifat pikiran bawah sadar (PBS) dan tubuh. Ada satu fungsi PBS yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami yaitu PBS sangat menyadari pentingnya resolusi trauma namun ia tidak punya kemampuan untuk melakukan resolusi ini. 

Cara PBS membantu individu untuk selesaikan trauma (emosi negatif) adalah dengan menempatkan individu pada situasi atau kejadian yang sama atau mirip dengan kejadian sebelumnya, belajar dari kejadian ini dan atasi emosinya. Namun, yang selama ini terjadi, saat individu alami kembali kejadian yang sama atau mirip dengan kejadian sebelumnya, bukannya ia belajar atau bertumbuh, emosinya menjadi semakin intens. PBS akan terus lakukan hal ini sampai individu sadar pesan yang ia sampaikan dan selesaikan trauma ini. 

Biasanya ada dua situasi di mana individu akhirnya sadar bahwa ia perlu atasi emosinya. Pertama, ia sadar bila dibiarkan emosi ini akan berakibat buruk bagi hidupnya. Dan untuk itu ia putuskan segera atasi emosi ini dengan berbagai cara.  Kedua, ia dalam kondisi yang sedemikian buruk, akibat emosi negatif dalam dirinya, sehingga tidak ada cara lain untuk atasi masalah ini kecuali dengan berubah. 

Hal menarik saat kita alami emosi, otak akan hasilkan senyawa kimiawi (neuropeptida) yang selanjutnya dikirim ke sel-sel tubuh. Senyawa kimiawi ini akan memengaruhi sel dan memodifikasi reseptor sel. Semakin sering seseorang alami emosi yang sama, karena PBS menempatkan ia dalam situasi yang sama atau mirip dengan sebelumnya, dan menimbulkan emosi yang sama, maka semakin banyak modifikasi terjadi pada reseptor sel hingga pada satu saat sel alami "desensitisasi" terhadap senyawa kimiawi ini. Satu-satunya cara untuk bisa menstimulasi sel-sel tubuhnya adalah dengan "memberi" senyawa kimiawi dengan "intensitas" yang lebih tinggi karena baseline-nya telah berubah. 

Orang yang sering alami emosi negatif tertentu, misalnya marah, sering tidak sadar bahwa marah telah menjadi kondisi alamiahnya. Dan ini terekam di sel-sel tubuhnya. Saat tidak marah, ia merasa tidak nyaman, karena ia di luar zona nyamannya. Sel-sel tubuhnya butuh senyawa kimiawi "marah' untuk bisa merasa nyaman. Dan disadari atau tidak, ia akan alami situasi, kejadian, peristiwa, atau apapun yang munculkan perasaan marah. Dan siklus ini terus berlanjut. 

Akan menjadi lebih buruk lagi bila individu mengidentifikasi dirinya dengan emosinya. Sebelumnya ia berkata, "Saya sedang marah." Lambat laut, bila ia sering marah, akhirnya ia berkata, "Saya pemarah", dan sejak saat ini marah identik dengan dirinya, menjadi identitasnya, yang akan terus ia perkuat. 

Ini yang terjadi di dalam pikiran dan tubuh. Yang tampak di luar sangatlah berbeda. Disadari atau tidak, individu yang alami adiksi emosi akan gunakan situasi, lingkungan, peristiwa, atau apa saja untuk perkuat emosinya. PBS menempatkan ia pada situasi itu, tubuhnya butuh senyawa kimiawi emosi tertentu, dan ia lakukan hal yang seharusnya dihindari yaitu memperkuat emosinya. 

Misalnya dalam diri seseorang ada emosi marah yang intens. Ia, tanpa disadari, akan memperkuat emosi marah ini dengan menggunakan lingkungannya. Misalnya, ia cerita pada temannya mengapa ia marah. Saat ia ceritakan apa yang dulu terjadi, yang membuat ia marah, di dalam pikirannya, lebih tepat pikiran bawah sadarnya, ia alami kembali kejadian ini. Dan senyawa kimiawi "marah" membanjiri tubuhnya dan membuat tubuhnya "nyaman" dan menjadi semakin mudah marah. 

Semakin lama, ia menjadi semakin mudah marah. Ia bisa marah pada hujan, rekan kerja, pasangan, jalan yang macet, sahabat yang tidak sependapat dengannya, marah karena harga bahan bakar naik, marah karena tarif listrik naik, dan marah pada hal yang seharusnya tidak perlu membuatnya marah. Intinya, ia selalu dapat temukan alasan atau pembenaran untuk marah pada apa saja. Dan hebatnya, ia merasa benar, dan punya alasan logis, masuk akal untuk marah. 

Memang demikianlah cara kerja pikiran. PBS memunculkan emosi tertentu dan pikiran sadar berusaha temukan pembenaran atas apa yang dilakukan.

Inilah yang disebut adiksi emosi. Saat saya jelaskan hal ini pada klien, di ruang terapi, klien menolak bila ia dikatakan alami adiksi emosi. Ia merasa wajar saja bila ia marah atau alami emosi negatif tertentu. 

Saya jelakan bahwa segala sesuatu yang tidak dapat atau sangat sulit dihentikan masuk dalam kategori adiksi. Bila ia sulit untuk "tidak marah" atau sulit berhenti menjadi marah karena situasi tertentu maka ia alami adiksi emosi. Sama seperti halnya anak yang sulit berhenti main game, orang dewasa yang sulit berhenti main gawai, orang yang sulit kendalikan nafsu makan. 

Apa solusi terbaik untuk atasi adiksi emosi? 

Saat pikiran dan hati tenang, suasana nyaman, saat tidak sedang alami emosi negatif tertentu, di saat inilah kita dapat berpikir (lebih) jernih. Dan putusan untuk berubah dapat dilakukan di momen ini.

Baca Selengkapnya

Hipnoterapi untuk Atasi Kebiasaan Lupa

16 Juni 2015

Saya sering dapat pertanyaan dari calon klien apakah hipnoterapi bisa sembuhkan pikun atau lupa? Biasanya, sebelum beri jawaban saya akan bertanya lebih detil apa yang ia maksud dengan pikun atau lupa, siapa yang mengalami kondisi ini, berapa usianya, dan sudah berapa lama ini dialami.

Apakah hipnoterapi bisa sembuhkan pikun atau lupa?

Jawabannya bergantung faktor penyebab seseorang lupa atau lemah daya ingatnya. Bila penyebabnya ada pada fisik otak, misalnya sudah tua dan alami kemunduran fungsi otak, atau karena stroke atau cedera, maka hipnoterapi tidak bisa membantu. Namun bila otak dalam kondisi baik dan orang sering mengalami lupa, tentu hipnoterapi bisa sangat membantu.

Artikel ini secara khusus hanya mengulas aplikasi hipnoterapi dalam membantu atasi kebiasaan lupa yang disebabkan faktor psikis.

Beberapa tahun lalu saya pernah tangani klien, sebut saja sebagai Fina, yang sangat pelupa. Fina sering ganti HP karena HP-nya hilang. Lebih tepatnya ia lupa di mana meletakkan HP-nya. Fina juga sering lupa di mana menyimpan slip gaji. Pernah di satu kesempatan Fina pergi ke mal bawa mobil dan pulang naik taksi. Setelah tiba di rumah ia bingung dan kaget karena mobilnya “hilang”. Baru setelah diberitahu pembantunya ia ingat mobilnya masih di mal. Melalui sesi hipnoterapi saya berhasil bantu Fina temukan penyebab kebiasaan lupa yang ia alami.

Pada contoh di atas, lupa bukan disebabkan oleh gangguan atau masalah pada otak namun karena aspek psikis. Fina masih muda, sekitar 40 tahun, dan bekerja sebagai trainer di sebuah bank besar. Yang menarik, walau Fina lupa di mana menyimpan HP, slip gaji, dll, namun ia ingat dengan sangat baik materi pelatihan yang biasa ia bawakan. Dengan kata lain Fina alami selective amnesia.

Mengapa orang sering lupa? Ini satu pertanyaan menarik yang memiliki banyak jawaban.

Orang sering lupa, terutama karena tidak fokus saat melakukan sesuatu. Biasanya saat sedang mengerjakan sesuatu, pikiran sibuk memikirkan hal lain atau tidak mindful namun mind-full.  Akibatnya, kegiatan ini tidak teregister dengan baik di memori pikiran bawah sadar sehingga sulit dipanggil atau diingat kembali. Ini sama seperti saat kita hendak menyimpan hasil kerja di sebuah folder di komputer dan kita tidak sadar atau melihat di folder mana file disimpan. Akibatnya saat membutuhkan file ini kita kerepotan harus mencarinya.

Kemungkinan lain orang menjadi mudah lupa adalah karena kurang tidur. Kurang tidur, apalagi dalam waktu yang lama, sangat memengaruhi kemampuan kognisi, salah satunya adalah fungsi memori. Stres kronis juga dapat mengakibatkan orang mudah lupa.  

Lupa bisa juga disebabkan karena perasaan takut atau tegang. Ini biasanya terjadi pada siswa/mahasiswa yang akan ujian. Saat perasaan takut, tegang, atau cemas muncul, apapun alasannya atau penyebabnya, otak seolah-olah berhenti bekerja. Informasi yang biasanya mudah diingat tiba-tiba hilang dan tidak dapat diingat. Dan semakin seseorang berusaha mengingat, semakin tidak bisa. 

Seseorang juga bisa (mudah) lupa karena mendapat imprint atau sugesti dari figur otoritas. Misalnya, anak saat masih kecil pernah lupa mengerjakan tugas. Figur otoritas, orangtua atau guru, menegur anak sambil mengucapkan kalimat “Kamu memang pelupa” atau “Heran ya.. kamu seringkali lupa”, atau “Kamu selalu lupa kerjakan tugas” atau kalimat sejenis.

Tanpa disadari kalimat-kalimat ini menjadi sugesti ampuh yang masuk ke pikiran bawah sadar anak dan selanjutnya membuat anak sering lupa. Kondisi ini menjadi semakin parah bila anak, tanpa disadari, memperkuat sugesti ini pada diri sendiri, saat ia lupa melakukan sesuatu, dengan kalimat, “Memang saya ini pelupa. Benar kata mama/guru saya memang pelupa.” Dan kebiasaan mensugesti diri sendiri berlanjut hingga dewasa.

Lupa juga bisa disebabkan oleh kepercayaan atau belief. Saya sering jumpa klien, biasanya berusia di atas 50an, yang mudah lupa karena percaya bahwa semakin bertambah usia semakin mudah mereka lupa. Menurut mereka, semakin bertambah usia, sama seperti kondisi tubuh, otak menjadi semakin lemah. Ini adalah kepercayaan yang salah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lemah atau tidaknya otak tidak bergantung pada usia namun lebih ditentukan oleh seberapa sering otak dilatih atau digunakan untuk berpikir dan memelajari hal-hal baru.

Dalam buku The Seven Sins of Memory, Daniel L. Schacter menyatakan ada tujuh jenis kegagalan fungsi memori: transience, absent-mindedness, blocking, misattribution, suggestibility, bias, dan persistence.

Transience adalah melemahnya ingatan akan hal-hal tertentu seiring berjalannya waktu. Kita biasanya lebih mudah mengingat hal atau kejadian baru daripada kejadian yang telah lama terjadi.

Absent-mindedness adalah kegagalan fungsi memori yang biasa kita alami karena pikiran sibuk memikirkan hal-hal lain saat melakukan sesuatu dan tidak fokus pada yang dilakukan. Ini mengakibatkan suatu informasi tidak teregister dengan baik di memori. Contohnya adalah lupa meletakkan kunci atau kaca mata, atau lupa dengan janji pertemuan.

Blocking adalah kondisi di mana saat otak berusaha mengingat sesuatu namun mengalami kendala. Contohnya adalah saat jumpa kawan lama dan berusaha mengingat-ingat namanya namun tidak bisa.

Misattribution terjadi saat seseorang mampu mengingat informasi dengan benar namun salah dalam mengingat sumber informasinya.

Suggestibility adalah terpengaruhnya memori seseorang karena sugesti dari pihak atau sumber di luar dirinya. Memori asli terpengaruh oleh informasi baru yang berasal dari orang lain atau sesuatu yang ia dengar atau baca sehingga menjadi tidak akurat.

Bias mirip dengan suggestibility dan disebabkan oleh terdistrosinya memori oleh perasaan atau persepsi seseorang sehingga memori tidak akurat.

Dan persistence adalah kondisi di mana seseorang terus teringat kejadian-kejadian tertentu. Ini yang dialami oleh penderita OCD.

Kembali pada Fina yang saya ceritakan di atas. Apa yang terjadi pada Fina sehingga jadi pelupa? Apa yang Fina alami sangat beda dengan yang dijelaskan oleh Schacter. Fina menjadi pelupa karena ulah pikiran bawah sadarnya.

Dengan teknik Ego Personality Therapy (EPT) saya temukan Ego Personality (EP) dalam diri Fina yang sengaja membuat Fina lupa. Tujuan EP ini agar Fina punya daya ingat kuat. Sebagai terapis saya tentu penasaran mendengar hal ini. Bagaimana mungkin Fina bisa menjadi kuat daya ingatnya bila sering dibuat lupa oleh EP ini?

Melalui wawancara mendalam dengan EP akhirnya diketahui bahwa di masa kecilnya Fina beberapa kali menghilangkan anting-anting emas pemberian ibunya. Di kejadian pertama, ibunya hanya menegur dan menasihati agar Fina lebih hati-hati saat memakai anting emas. Di kejadian selanjutnya ibunya marah besar karena Fina kembali menghilangkan antingnya.

Di salah satu momen inilah muncul EP yang ingin melindungi Fina agar tidak dimarahi ibunya. Agar tidak dimarahi Fina tidak boleh sampai hilangkan lagi anting emas pemberian ibunya. Agar tidak hilang Fina perlu punya daya ingat yang kuat. Dan agar punya daya ingat kuat, Fina sengaja dibuat lupa oleh EP. EP beralasan bila Fina lupa meletakkan atau menyimpan sesuatu maka ia pasti akan berusaha menemukannya. Dalam upaya menemukan kembali benda ini, menurut pemikiran EP, daya ingat Fina akan terasah dan menjadi kuat.

Namun yang terjadi adalah semakin lama Fina menjadi semakin pelupa. Dan EP menjadi semakin sering “melatih” Fina, terus berusaha menguatkan daya ingat Fina dengan membuatnya semakin sering lupa. Demikianlah seterusnya yang terjadi. Dan ini sangat memengaruhi hidup Fina.

Dalam proses terapi saya lakukan edukasi pada EP bahwa yang ia lakukan tidak tepat. Tujuan EP sangat baik untuk Fina namun cara yang ia gunakan justru menyusahkan Fina.

Saat mendengar penjelasan saya, EP baru sadar bahwa yang ia lakukan ternyata salah. Namun EP tidak tahu cara yang tepat untuk kuatkan daya ingat Fina. Di sini saya lakukan edukasi dan beri saran pada EP. Setelah EP menerima saran dan masukan ini, kemampuan mengingat Fina langsung pulih kembali dan ia bisa mengingat di mana meletakkan HP dan slip gajinya.

Ada banyak cara untuk tingkatkan daya ingat. Pertama, fokus atau sadar saat melakukan sesuatu. Kedua, memberi sugesti pada diri sendiri dengan kalimat "Semakin hari daya ingat saya semakin kuat". Ketiga, bila penyebab lupa adalah kurang tidur maka Anda perlu cukup tidur. Keempat, bila lupa disebabkan oleh stres berkepanjangan maka yang perlu dilakukan adalah segera atasi stres ini. Kelima, bila ada kepercayaan yang kurang tepat mengenai otak dan fungsi memori, misal Anda percaya semakin bertambah usia maka semakin mudah lupa atau pikun, maka cara paling efektif untuk atasi hal ini adalah dengan mengganti kepercayaan ini dengan kepercayaan yang lebih mendukung diri Anda. Terakhir, bila semua cara sudah dicoba dan Anda tetap sering lupa, padahal otak Anda tidak ada masalah, ada baiknya Anda minta bantuan terapis untuk mencari tahu apakah ada sabotase dari pikiran bawah sadar. 

Baca Selengkapnya

Efek Traumatik dari Berita Kekerasan Terhadap Kesehatan Mental

21 Mei 2015

Menyaksikan berita kekerasan di sosial media dapat mengakibatkan gejala yang mirip dengan post-traumatic stress disorder (PTSD). Sebuah studi telah menemukan bahwa 25% dari individu alami gejala mirip PTSD karena ikuti berita tentang kejadian 9/11 dan bom bunuh diri di sosial media. 

Semakin sering orang mengikuti berita-berita yang mengandung unsur kekerasan, seperti yang ditemukan oleh para peneliti, semakin besar trauma yang mereka alami. 

Simpulan ini dicapai melalui studi terhadap 189 orang dan dipresentasikan di konferensi tahunan British Psychology Society yang diselenggarakan di Liverpool. 

Dr Pam Ramsden, yang mempresentasikan penelitian ini, berkata: 

“Efek negatif yang ditimbulkan dari mendengar, melihat, atau mengikuti cerita atau kisah penderitaan orang lain telah lama dikenal. Berbagai studi telah mendokumentasikan reaksi psikologis negatif yang timbul setelah seseorang secara tidak langsung terpapar dengan orang yang mengalami trauma. Kondisi ini dinamakan vicarious traumatisation atau trauma yang seolah-olah dialami sendiri. 

Media sosial telah memungkinkan kisah kekerasan dan gambar-gambar kekerasan disaksikan oleh publik apa adanya, tanpa diedit. Dengan menyaksikan kejadian-kejadian ini dan turut merasakan penderitaan mereka yang mengalaminya akan sangat memengaruhi kualitas hidup anda. 

Dalam studi ini, kita ingin tahu apakah orang akan mengalami pengaruh yang berlangsung lebih lama seperti stres dan kecemasan, dan dalam beberapa kasus terjadi PTSD dari menyaksikan gambar-gambar ini.” 

Orang-orang ini alami gejala PTSD walau mereka tidak mengalami trauma dalam kehidupannya. 

Dr Ramsden melanjutkan:

“Ini cukup mengkhawatirkan karena hampir 25% dari mereka yang menyaksikan gambar-gambar itu menunjukkan hasil yang tinggi pada pengukuran PTSD. Juga terdapat peningkatan risiko bagi mereka dengan kepribadian ramah dan ekstrovert. Dengan meningkatnya akses ke sosial media dan internet melalui tablet dan smartphone, kita perlu pastikan bahwa orang sadar akan risiko melihat gambar-gambar ini dan tahu bahwa ada bantuan bagi mereka yang membutuhkannya.”

(Sumber: psyblog. Penejemah: AWG)


Baca Selengkapnya

Hipnoterapi dan Kanker

4 Mei 2015

Beberapa waktu lalu di group WA Hipnoterapis AWGI kami bahas penanganan kanker dengan hipnoterapi. Ada banyak kisah terapi yang diceritakan oleh rekan sejawat saya. Dan salah satu pertanyaan yang ditanyakan adalah apakah kanker pasti bisa sembuh dengan hipnoterapi? 

Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu ditegaskan bahwa hipnoterapi, dalam konteks membantu penderita kanker, sifatnya melengkapi atau mendukung dan bukan mengganti tindakan medis. Untuk itu, hipnoterapis perlu tahu dengan jelas batasan kompetensinya dan keefektifan hipnoterapi dalam bantu penderita kanker. 

Ada cukup banyak jenis kanker. Sejauh ini kita kenal, antara lain, kanker serviks, payudara, paru-paru, usus besar, usus, ovarium, hati, lambung, kulit, limfoma, lidah, prostat, kelenjar thyroid, kanker vagina, penis, osteosarcoma, multiple myeloma,  kerongkongan, pankreas, nasofaring, rongga mulut, tulang, laring, tumor jaringan lunak, ginjal, usus 12 jari, kandung kemih, endometrium, testis, saluran empedu, kantong empedu, anal, mata, adrenal, otak, dan leukemia (sumber: www.asiacancer.com). 

Penyebab kanker hingga saat ini tidak diketahui pasti karena sifatnya multikausatif dan dapat merupakan gabungan dari beberapa sebab/faktor seperti faktor genetik (keturunan), lingkungan, makanan, virus, infeksi, gaya hidup dan tingkat stres, gangguan keseimbangan hormonal, faktor emosi, dan radikal bebas. 

Hipnoterapi, dalam konteks membantu penderita kanker, hanya fokus pada aspek emosi dan dinamika yang terjadi di pikiran bawah sadar klien. Salah satu penyebab kanker adalah karena kinerja imun sistem menurun akibat stres kronis yang dialami seseorang. Dan di sinilah peran hipnoterapi dalam membantu penderita kanker. 

Apakah hipnoterapi bisa membantu dalam penyembuhan kanker? Jawabannya bisa. Tahun lalu saya sempat bantu seorang klien yang alami kanker tulang stadium lanjut dan telah menyebar ke dua tulang rusuk kanan dan ruas tulang belakang L2 dan L5. 

Sebelum saya tangani klien ini saya minta ia berdoa, sesuai keyakinannya dan mohon kesembuhan dari Tuhan/Allah yang ia imani. Saya tekankan pada klien ini, hipnoterapis hanya memfasilitasi prosesnya dan kesembuhan selalu dari Yang Kuasa. 

Saya tangani klien ini sebanyak tiga sesi, sebelum ia jalani enam sesi kemoterapi. Antara sesi kemoterapi tiga dan empat klien minta jumpa saya untuk lakukan satu sesi terapi lagi. 

Apa yang dilakukan hipnoterapis dalam upaya membantu penderita kanker? 

Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dan dilakukan. Pertama, terapis bantu klien atasi emosinya. Ada tiga emosi penting yang perlu dibereskan. Pertama, emosi yang mengganggu klien sehingga memengaruhi kinerja imun sistemnya. Kita tahu bahwa stres, apalagi kronis, menyebabkan kinerja imun sistem menurun. 

Selanjutnya terapis membantu klien menerima, mengerti, dan mengatasi berbagai emosi yang muncul karena kanker, antara lain, takut, cemas, khawatir, tidak berdaya, marah, bisa pada diri sendiri, lingkungan, atau pada Tuhan, merasa menyesal, dan terutama takut meninggal. 

Emosi ketiga yang perlu diproses adalah perasaan takut/cemas yang berhubungan dengan proses pengobatannya. Klien juga dapat diberi sugesti bahwa kemoterapi ini hanya membunuh sel-sel kanker saja dan sama sekali tidak memengaruhi sel tubuhnya yang sehat. Dan setiap kali usai jalani kemoterapi klien merasa tubuhnya sehat, segar, dan nafsu makannya meningkat. 

Selanjutnya, ini juga sangat penting, klien diajarkan mind-body healing melalui teknik sensualisasi yang perlu dilakukan minimal sehari tiga kali. Ini untuk memrogram ulang pikiran bawah sadar klien sehingga tubuhnya bisa ikut menjadi sehat. Teknik ini sejalan dengan riset epigenetics, bagaimana pikiran dan perasaan mampu memengaruhi kerja gen dan hubungannya dengan kesehatan. 

Hal lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah klien harus bisa temukan alasan yang kuat dan jelas untuk tetap hidup. Dalam contoh kasus yang saya tangani, alasan utama klien untuk bisa sembuh adalah demi membahagiakan istri dan anak-anak yang ia cintai. Berikutnya, pikiran bawah sadar klien diberi target untuk bisa sukses mencapai ini semua. Alasan hidup ini adalah salah satu motivasi internal yang sangat kuat. 

Puji dan syukur kepada Tuhan/Allah, hasilnya klien saat ini dinyatakan sembuh. Hasil pemeriksaan dengan PET Scan menyatakan klien “bersih”. Bulan lalu klien ke Penang untuk pemeriksaan rutin dan dinyatakan tetap “bersih”. Saat ini klien sudah bisa aktif bekerja dan bisnisnya semakin maju. Akibat kankernya, sendi peluru lengan kiri dan sekitar lima belas sentimenter tulang lengan atas harus diganti dengan sendi dan tulang buatan. 

Klien juga perlu dapat dukungan penuh dari keluarga intinya, terutama di aspek emosi. Hal ini penting karena saat kondisi klien rapuh dan labih, didera berbagai emosi yang berhubungan dengan sakitnya, ia butuh oase untuk bisa bertahan. 

Dalam melakukan proses penyembuhan, pikiran bawah sadar klien yang akan tentukan skenario atau metaforanya, bukan terapis. Skenario atau metafora yang dipilihkan oleh terapis seringkali tidak bisa diterima dengan baik oleh pikiran bawah sadar klien. 

Bagaimana bila penderita sudah tidak lagi bisa sembuh karena kondisinya sudah benar-benar parah? 

Seperti yang dijelaskan di atas, hipnoterapi bertujuan membantu penderita kanker. Bila dengan bantuan ini ternyata bisa meningkatkan kemungkinan klien sembuh, tentu ini sangat baik. Dan bila klien sembuh, terapis tidak boleh mengklaim bahwa kesembuhan ini semata karena hipnoterapi. Sebaliknya bila klien tidak bisa sembuh, hipnoterapi tetap punya kontribusi positif terhadap diri klien.   

Salah satu hipnoterapis AWGI,  yang adalah relawan paliatif, banyak membantu penderita kanker stadium lanjut. Beliau sering membantu penderita kanker yang kesakitan karena kondisinya sudah sedemikian parah dan dokter sudah tidak lagi bisa berikan morfin untuk atasi rasa sakitnya. Yang ia lakukan adalah membantu kliennya untuk masuk ke kondisi rileksasi yang sangat-sangat dalam sehingga tubuh secara alamiah hasilkan endorfin dan sakitnya berkurang drastis, bahkan ada yang tidak lagi merasa sakit sama sekali. 

Hipnoterapi juga bisa bantu penderita kanker untuk atasi beban emosi yang mereka bawa selama ini dalam hidup. Dengan demikian, bila tiba saatnya mereka kembali ke Yang Kuasa, mereka pergi dengan kondisi pikiran tenang, hati damai, bahagia, penuh rasa syukur dan pasrah.  

Saat seseorang menderita kanker maka bisa ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, ia sembuh. Kedua, kanker tetap ada di tubuhnya namun tidak mengganggu lagi. tidak mengecil atau membesar. Ketiga, dan ini yang paling sering terjadi, penderita meninggal. 

Satu buku bagus yang sangat disarankan untuk dibaca membahas kanker, dalam bahasa yang lugas dan mudah dimengerti orang awam, adalah "Pintar dan Bijak Hadapi Kanker" karya Widya Saraswati, CCH. 

Baca Selengkapnya

Diskusi tentang Inner Child

18 April 2015

(Artikel ini adalah diskusi antara saya dan rekan sejawat hipnoterapis klinis, Bpk. Adi Susanto, CCH., membahas Inner Child. Pertanyaan dan diskusi seperti ini kerap saya lakukan dengan para alumni AWGI membahas teori, teknik, dan temuan di ruang praktik.)

Email dari Bpk. Adi St:

Dear Pak Adi, 

Pak, apakah Bapak punya buku yang khusus atau banyak membahas tentang Inner Child? Saya sangat tertarik untuk mendalami lebih jauh tentang Inner Child...sepertinya banyak hal menarik yang bisa didapati. Buku "Anak Terluka Anak Ajaib" menurut Pak Adi bagaimana? Buat saya pribadi, saya merasa buku itu luar biasa isinya, banyak pemahaman tentang Inner Child yang saya dapatkan dan sangat membantu saya dalam proses menerapi klien. Kuat sekali 'benang merah'nya isi buku ini dengan pengetahuan yang didapatkan selama ini dari Pak Adi. 

Dan saya sadari bahwa saya tentu sebaiknya tidak hanya bersandar pada pemahaman dari satu buku saja. Kalau bisa didapatkan pemahaman tentang Inner Child dari beberapa penulis tentu lebih menguatkan dan lebih baik lagi. 

Salah satu alasan saya tertarik perihal Inner Child adalah di mana selama ini, boleh dikatakan hampir 99%, ISE yang kita temukan di Inner Child. Kita gunakan Affect Bridge untuk regresi dan menemukan Inner Child. Kita gunakan EPT dan regres ke EPCE juga ke Inner Child. 

Dari baca ulang buku "Anak Terluka Anak Ajaib" serta waktu QLT Pak Adi jelaskan tentang Inner Child - Adult - Parent, saya jadi punya pemikiran, entah benar atau tidak Pak, Inner Child itu sebenarnya kurang tepat bila dikategorikan sebagai salah satu EP kita. Seingat saya, kalau saya tidak salah, Inner Child dari penjelasan Pak Adi merupakan EP juga. 

Pemahaman saya saat ini, saya melihat Inner Child adalah satu entitas besar yang bisa kita sebut dengan "DIRI" dan sudah terbentuk sejak hadir dalam kandungan ibu. Dan DIRI inilah yang dengan bertambahnya usia jadi dapat dikategorikan sebagai Inner Child - Adult - Parent. Nah di samping DIRI ada EP awal sekali yaitu EP Pelindung (Protector) yang di buku "Anak Terluka Anak Ajaib" disebut sebagai EGO (halaman 68). Kemudian karena ada kejadian (luka/trauma) maka, entah oleh peran EGO atau bukan, terciptalah EP-EP yang memegang memori kejadian beserta emosi-emosinya. Jadi pada Inner Child yang terluka, disekelilingnya ada EP-EP yang pegang peran/fungsi tertentu yang bertujuan melindungi si Inner Child. 

Kalau saya review kembali proses terapi yang saya lakukan ke salah satu klien dulu, kondisi yang saya jelaskan ini memang demikian adanya terjadi di mana EP Pelindung begitu kuat dan dominan dan membawahi EP-EP lain yang pegang emosi-emosi tertentu. Saat itu pemahaman saya belum sampai ke tahap pemahaman sekarang setelah baca ulang buku "Anak Terluka Anak Ajaib" dan beberapa pengalaman terapi lainnya. 

Saya teringat ada rekan sejawat kita yang pernah menanyakan di milis bahwa mana lebih efektif terapi menggunakan AB dan regres sampai ketemu ISE atau EPT dan regres ke EPCE? 

Kalau dari sisi pemahaman saya, yang andai benar, maka EPT (EPCE) masih ada kemungkinan lemah sedikit dibanding AB (ISE). 

Walau EPCE sebenarnya juga sampai ke Inner Child namun bisa saja ada Inner Child sebelumnya lagi yang memegang sebagian emosi (dan yang menjadi akar masalah). Jadi misal setelah EPCE ketemu Inner Child usia 4 tahun yang sedang alami suatu kejadian dan kemudian kita bereskan, bisa saja ternyata ada Inner Child yang usia lebih muda, katakan 3 tahun, yang juga terluka dan ada EP yang pegang emosi yang sama (hanya masih belum intens). Ini yang saya curigai mengapa ada yang setelah diproses EPCE-nya dan diprogres, EP masih ada atau ada yang 'hilang' (dorman). Jadi supaya bisa mengimbangi AB (ISE) maka EPT (EPCE) harus dikombinasikan kembali dengan AB (ISE). 

Bagaimana menurut Pak Adi? 

Ini sekedar wacana dan intermezzo saja Pak. Andai saya bisa dapat pemahaman tentang Inner Child lebih dalam lagi, ingin rasanya menulis buku "Anak Terluka Anak Ajaib” versi kita. Soalnya buku "Anak Terluka Anak Ajaib" sudah tidak cetak ulang lagi dan buku itu sudah tidak ada di toko buku. 

Salam hangat, 

Adi St - Bandung 

- 

Berikut jawaban saya:

Dear Pak Adi St,

Senang bisa berdiskusi seputar materi hipnoterapi klinis, khususnya tentang Inner Child. Saya sudah cari di daftar buku yang saya miliki dan berusaha temukan yang khusus membahas Inner Child, ternyata tidak ada Pak. Dan memang seingat saya, saya belum punya buku yang khusus membahas tentang hal ini, kecuali buku “Anak Terluka Anak Ajaib” karya Wolfgang Bock.

Pengetahuan dan pemahaman saya mengenai Inner Child hingga saat ini adalah akumulasi dari berbagai buku yang pernah saya pelajari dan juga dari pengalaman klinis di ruang praktik sejak tahun 2005. Dan pemahaman ini tentu masih sangat terbuka untuk dikembangkan atau bahkan berubah dengan temuan atau teori baru, dan semakin diperkaya, salah satunya melalui diskusi kita ini. 

Saya sempat menelusuri situs Amazon.com dan mencari buku menggunakan kata kunci “Inner Child” dan  yang muncul adalah judul berikut: 

  • Homecoming: Reclaiming and Championing Your Inner Child (John Bradshaw)
  • Inner Child: Find Your True Self, Discover Your Inner Child and Embrace the Fun in Life (Matt Price)
  • Recovery of Your Inner Child: The Highly Acclaimed Method for Liberating Your Inner Self (Lucia Capacchione)
  • Healing The Child Within: Discovery and Recovery for Adult Children of Dysfunctional Families (Charles L. Whitfield M.D.)
  • Inner Child Healing Yourself For Life: Your Guide to Happiness, Healing Your Heart's Wounds and Loving Yourself (Veronica Bond)
  • Inner Bonding: Becoming a Loving Adult to Your Inner Child (Margaret Paul)
  • Reconciliation: Healing the Inner Child (Thich Nhat Hanh)
  • Healing Your Aloneness: Finding Love and Wholeness Through Your Inner Child (Margaret Paul and Erika J. Chopich)

 

Kita mulai dengan definisi Inner ChildInner Child adalah diri kita yang masih muda atau sosok anak di dalam diri kita. Inner Child ada yang dalam kondisi baik, ada juga yang bermasalah. Dalam konteks klinis, usia Inner Child yang kita akses bergantung pada kebutuhan dan tujuan terapi. Untuk mengakses  Inner Child klien, dalam konteks penyembuhan atau terapi, kita menggunakan dua teknik regresi utama, Affect Bridge (AB) dan Ego Personality Therapy(EPT). Bedanya, AB mengakses Inner Child pada SSE dan akhirnya ke ISE sedangkan EPT mengakses inner Inner Child di EPCE. Dan dari yang telah kita temukan, EPCE bisa ISE atau SSE. 

Konsep Inner Child sendiri masih ada pertentangan di antara beberapa pakar. Michael Yapko, salah satu tokoh hipnoterapi dan pakar depresi, menyatakan tidak ada Inner Child. Menurut Yapko, konsep Inner Child ini salah. Ada pakar lain yang mengatakan bahwa Inner Child adalah metafora. Banyak pakar lain setuju adanya Inner Child seperti Gil Boyne, Dave Elman, Gerald Kein, John Watkins, Eric Berne, Loiuse Hay, Randal Churchill, Calvin Banyan, dan masih banyak pakar lain. Frederick “Fritz” Perls, bapak Gestalt dunia, dengan teknik yang ia kembangkan, Gestalt Therapy, juga menyatakan keberadaan Inner Child 

Saya pribadi termasuk yang menerima keberadaan Inner Child karena dari praktik sekian lama terbukti memang Inner Child ada dalam diri setiap manusia. Protokol terapi yang kita gunakan, Quantum Hypnotherapeutic Protocol, pada fase ketiga, memang ditujukan untuk memroses Inner Child yang bermasalah atau mengalami trauma. 

Pak Adi St menyatakan, “Pemahaman saya saat ini, saya melihat Inner Childa dalah satu entitas besar yang bisa kita sebut dengan "DIRI" dan sudah terbentuk sejak bayi hadir dalam kandungan ibu. Dan DIRI inilah yang dengan bertambahnya usia dapat dikategorikan sebagai Inner Child - Adult - Parent. Nah di samping DIRI ada EP awal sekali yaitu EP Pelindung (Protector) yang di buku "Anak Terluka Anak Ajaib" disebut sebagai EGO (halaman 68). Kemudian karena ada kejadian (luka/trauma) maka, entah oleh peran EGO atau bukan, terciptalah EP-EP yang memegang memori kejadian beserta emosi-emosinya. Jadi pada Inner Child yang terluka maka disekelilingnya ada EP-EP yang pegang peran/fungsi tertentu yang bertujuan melindungi si Inner Child. 

Inner Child ini adalah Bagian Diri atau lebih tepat disebut sebagai Ego PersonalityEgo Personality adalah satu payung yang membawahi lima sub-egopersonality yaitu Ego State, Part, Introject, Identofact, dan Alter. Masing-masing sub-EP ini terbentuk melalui proses, karakteristik, sifat, sikap, kepribadian, struktur, dan cara penanganan yang berbeda. 

Daftar literatur membahas Bagian Diri atau Ego State bisa dilihat di http://goo.gl/OattRg. 

Beberapa buku bagus tentang Bagian Diri antara lain: 

  • Ego Psychology & The Psychoses (Paul Federn)
  • The Structure & Dynamics Of The Human Mind (Edoardo Weiss)
  • Ego States: Key Concepts in Transactional Analysis (Charlotte Sills & Helena Hargaden (Editor))
  • Ego States : Theory & Therapy (John G. Watkins & Hellen H. Watkins)
  • Ego State Therapy (Gordon Emmerson)
  • Ego & Archetype (Edward F. Edinger)
  • Divided Consciousness: Multiple Controls in Human Thought and Action (Ernest E. Hilgard)
  • Discover Your Subpersonalities : Our Inner World & The People In It (John Rowan)
  • Self Therapy for Your Inner Critic: Transforming Self-Criticsm into Self Confidence (Jay Earley & Bonnie Weiss)
  • Resolving Inner Conflict: Working Through Polarization Using Internal Family Systems Therapy (Jay Earley)
  • Hypnosis For Inner Conflict Resolution : Introducing Parts Therapy (Roy Hunter)

 

Teori Bagian Diri yang saya jelaskan di pelatihan Quantum Life Transformation (QLT) adalah teori Transactional Analysis (Eric Berne), yang menyatakan ada tiga Bagian Diri manusia yaitu Parent, Adult, dan Child. Uraian ini lebih mudah dipahami dibandingkan bila saya jelaskan materi Ego Personality yang diajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH). Dan ini sesuai dengan tujuan pelatihan QLT yaitu untuk pengembangan diri dan kesadaran, bukan untuk melakukan terapi ke orang lain. 

Yang menarik, di saat Eric Berne mengembangkan Transactional Analysis (TA), John G. Watkins juga mulai mengembangkan teori Ego State. Mereke berdua belajar dari sumber yang sama yaitu Paul Federn. Eric Berne selanjutnya menulis buku “Transactional Analysis in Psychotherapy” (1961) dan John G. Watkins dan istrinya, Helen H. Watkins, akhirnya menulis “Ego States Theory and Therapy (1997). 

Dalam buku “Ego States Theory and Therapy” Watkins dan Watkins menyatakan ada tiga proses terbentuknya Bagian Diri yang mereka sebut sebagai Ego State saat anak masih kecil. Pertama, proses normal differentiantion yang menghasilkan Ego State. Kedua, melalui introjection of significant others yang menghasilkan Introject. Dan ketiga, pengalaman traumatik yang menghasilkan Part. 

Bila dilihat dari penamaan Bagian Diri yang disebut oleh Watkins dan Watkins bisa timbul kerancuan. Mereka memberi nama Bagian Diri sebagai Ego State. Sedangkan Ego State ada tiga jenis yaitu Ego State, Introject, dan Part. Itu sebabnya kita menggunakan nama berbeda yaitu Ego Personality sebagai payung besarnya dengan komponen Ego State, Part, Introject, Identofact, dan Alter.  

Dari temuan klinis di ruang praktik, seperti yang saya tulis di buku The Miracle of MindBody Medicine, ternyata proses terbentuknya Ego Personality bisa melalui jalur lain, di luar yang telah dinyatakan oleh Watkins dan Watkins, yaitu: 

  • muncul sendiri untuk melaksanakan tujuan tertentu.
  • tercipta karena imprint.
  • sengaja diciptakan dengan sugesti.
  • akibat hasil pembelajaran.

 

“Diri” yang Pak Adi St sebut, dari perspektif teori yang dicetuskan Watkins dan Watkins saya simpulkan adalah Ego State yaitu Bagian Diri yang muncul secara alamiah melalui proses normal differentiantion. Ego State ini yang bisa bertumbuh besar dan dewasa seiring pertumbuhan usia seseorang. Namun, saat anak mengalami pengalaman traumatik akan tercipta Part, yang usianya sama dengan usia anak saat mengalami kejadian atau pengalaman traumatik, dan Part ini mengalami “freeze” atau “sangkut” di usia ini, dan tidak berkembang. Part inilah Inner Child bermasalah yang kita proses saat terapi.

Dalam TA, Parent adalah perilaku, pikiran, dan perasaan yang dikopi dari orangtua atau figur orangtua. Adult adalah perilaku, pikiran, dan perasaan yang adalah respon pada keadaan saat ini. Child adalah perilaku, pikiran, dan perasaan yang berasal dari masa kecil. Bila dihubungkan dengan teori Ego State-nya Watkins maka Parent adalah IntrojectAdult adalah diri Ego Statedewasa, dan Child adalah Ego State anak kecil atau Inner Child. 

Sesuai definisi Inner Child di atas, yaitu diri kita yang masih muda atau sosok anak di dalam diri kita, kita juga dapat mengakses Inner Child yang sehat. Dengan teknik regresi sederhana kita dapat membawa klien kembali ke usia muda, mengalami kembali pengalaman masa lalu yang membahagiakan, baik itu dengan revivifikasi tipe 1 komplit atau parsial, atau hipermnesia tipe 1. 

EP Pelindung atau Protector pasti adalah dalam setiap individu. Ini sejalan dengan tugas utama pikiran bawah sadar (PBS) yaitu melindungi keselamatan individu, baik pada aspek fisik maupun pikiran sadar, dari hal-hal yang ia, PBS, rasa, yakini, pikir, atau persepsikan sebagai hal yang berbahaya atau merugikan si individu. Dan dari temuan kita di ruang praktik selama ini, PBS melindungi individu menurut cara terbaik menurutnya, yang belum tentu baik menurut kita (pikiran sadar). 

Untuk bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik manusia butuh kestabilan sistem psikis. Sistem psikis mulai mengalami goncangan hebat saat seseorang mengalami (berbagai) pengalaman traumatik yang tentunya berisi muatan emosi yang (sangat) intens. Untuk bisa menyelamatkan sistem psikis dari “keruntuhan”, PBS menjalankan fungsi proteksi dengan mencipta EP baru dengan tujuan khusus menangani pengalaman traumatik beserta emosinya. EP baru ini seperti satu divisi baru di perusahaan yang dibentuk untuk tujuan khusus sehingga tidak mengganggu kinerja sistem secara keseluruhan. 

Saat anak mengalami masalah dalam proses tumbuh-kembangnya maka EP yang tercipta adalah EP anak atau Inner Child yang bermasalah. Dan Inner Child ini tidak bertumbuh. Ia tetap berusia sama seperti saat ia terbentuk. Dari pengalaman kita ketahui bahwa Inner Child ini bisa dibantu atasi masalahnya, emosi yang ia pegang bisa dilepas atau dinetralisir, dan bila dibutuhkan Inner Child ini bisa ditumbuhkan hingga menjadi EP dewasa (Adult). 

Bagaimana dengan EP-EP lain yang bertujuan melindungi Inner Child? Ini bisa ada, bisa juga tidak. Dalam beberapa kasus benar ada EP yang melindungi Inner Child yang lemah. Ada juga Inner Child yang sendirian, sama sekali tidak ada proteksi dari EP manapun dalam sistem psikisnya. 

Dalam sistem psikis yang sehat terdapat jenjang hirarki EP yang jelas dengan otoritas tertentu. Semakin tinggi levelnya dalam hirarki EP, semakin kuat EP ini. Namun, dalam banyak kasus klien yang kita tangani, garis komando EP ini tidak bekerja seperti yang seharusnya. Itu sebabnya kita butuh banyak teknik untuk bisa melunakkan, membujuk, mengedukasi, melemahkan, atau bahkan menetralisir EP yang keras kepala dan tidak bersedia bekerjasama dengan terapis dalam upaya membantu klien keluar dari masalahnya. 

Memang ada perbedaan mendasar dalam teknik AB dan EPT. AB mencari dan menemukan Inner Child pada SSE dan berakhir pada ISE. Sedangkan EPT menemukan Inner Child di EPCE. Proses eksplorasinya sangat berbeda. Saya pribadi lebih cenderung, sebisa mungkin menggunakan AB untuk eksplorasi memori yang sifatnya lebih lengkap dan menyeluruh. 

ISE adalah pengalaman atau kejadian paling awal yang dialami seseorang yang menjadi sebab munculnya simtom atau masalah tertentu. Sedangkan EPCE adalah kejadian yang membuat munculnya EP. EPCE bisa terjadi di ISE atau SSE. 

Bila terapis sudah melakukan proses penanganan EPCE dengan benar maka biasanya masalah tuntas. Bila simtom belum tuntas, saya cenderung akan cari “api” yang lain. Besar kemungkinan ini satu simtom tapi ada beberapa api masalah atau yang kita kenal dengan satu simtom multi-ISE.

Demikian penjelasan saya, Pak Adi St. Bila ada yang masih kurang jelas atau pemikiran lain bisa kita diskusikan lebih lanjut.

Bila Pak Adi St sangat tertarik dengan topik Inner Child ini, Bapak bisa lakukan penelusuran di internet, khususnya di scholar.google.com. Saya dukung sepenuhnya bila suatu saat nanti Pak Adi St menulis buku khusus tentang Inner Child.

Salam,

AWG

Baca Selengkapnya

Mengapa Anak Sulit Konsentrasi?

12 April 2015

Saya sering dapat keluhan atau curhat dari orangtua mengenai anak mereka yang sulit fokus atau konsentrasi. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi kemampuan dan prestasi belajar anak. Orangtua dalam upaya membantu anak mereka untuk bisa fokus atau konsentrasi biasanya telah melakukan banyak hal. Mulai dari membawa anak ke psikolog, psikiater, konseling, dan  bahkan terapi. Ada yang berhasil, dan banyak yang tidak berubah. Akhirnya, baik orangtua maupun anak sama-sama frustrasi. 

Lebih parah lagi, orangtua atau guru, yang bukan psikolog atau psikiater, "mendiagnosa" anak, yang belum tentu sulit konsentrasi, mengalami ADD/ADHD. 

Sebagai sesama orangtua, saya tentu bisa memahami perasaan orangtua lain yang anaknya mengalami sulit konsentrasi. Berikut ini adalah uraian tentang kondisi sulit konsentrasi yang saya pahami. Besar harapan saya, setelah baca artikel ini orangtua bisa mendapat solusi terbaik untuk putra-putrinya yang mengalami sulit konsentrasi. Dalam artikel ini saya menggunakan kata “fokus” dan “konsentrasi” secara bergantian namun dengan makna sama. 

Pemahaman Salah tentang Konsentrasi 

Dari pengalaman menangani klien anak sulit konsentrasi saya dapat pemahaman baru yang mengubah paradigma saya tentang kondisi sulit konsentrasi yang sering dialami anak. Seringkali label sulit konsentrasi ini diberikan pada anak, oleh orangtua atau guru, karena mereka tidak mengerti kemampuan fokus optimal anak. 

Ceritanya begini. Saya pernah menangani klien anak, usia 4 tahun, yang katanya sulit konsentrasi. Saat saya tanya Ibunya dari mana ia tahu anaknya sulit konsentrasi, si Ibu menjawab, “Anak saya tidak bisa belajar dalam waktu lama. Paling lama hanya beberapa menit setelah itu ia pasti tidak memerhatikan pelajarannya.” 

“Beberapa menit ini berapa lama?” tanya saya. 

“Paling lama sekitar 15 menit” jawab si Ibu. 

“Yang Ibu harapkan, anak Ibu bisa konsentrasi belajar atau mengerjakan tugas berapa lama?” tanya saya lagi. 

“Saya maunya anak saya bisa konsentrasi selama 1 jam,” jawab Ibu dengan tegas. 

Di kesempatan lain saya juga pernah dapat klien murid SD kelas 1 yang dirujuk oleh kepala sekolahnya, yang kebetulan pernah baca buku saya. Masalahnya sama dengan anak Ibu yang saya ceritakan di atas yaitu sulit konsentrasi. Guru kelasnya mengatakan bahwa anak ini konsentrasinya pendek, tidak bisa duduk diam memerhatikan pelajaran dalam waktu lama. 

Ada dua pertanyaan penting yang perlu dijawab. Pertama, apa yang dimaksud dengan konsentrasi? Kedua, berapa lama waktu konsentrasi yang wajar atau normal?” 

Fokus atau konsentrasi adalah kemampuan memusatkan perhatian dan pikiran pada satu objek atau kegiatan untuk waktu tertentu. Lama waktu fokus bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor, mulai dari situasi lingkungan, kondisi fisik dan emosi, motivasi, ketertarikan, dan tujuan yang hendak dicapai. 

Untuk mudahnya, dalam kondisi normal, lama waktu konsentrasi adalah sama dengan usia dijadikan menit. Bila anak usianya 5 tahun maka rentang waktu konsentrasi maksimal adalah 5 menit. Untuk orang dewasa maksimal 30 menit. Misal, usia orang dewasa 45 tahun, waktu fokus maksimal adalah 30 menit. 

Ini adalah kemampuan fokus dalam kondisi normal. Untuk fokus tentu butuh energi yang besar. Dan fokus dalam waktu lama akan sangat melelahkan. Namun bila objek fokus, dalam hal ini bahan ajar, memberi rasa senang atau bahagia, anak pasti bisa fokus dalam waktu yang lama. 

Saya pernah mengamati murid play group sekolah Anugerah Pekerti, saat itu usianya 3 tahunan, yang mampu fokus sekitar 30 menit “belajar” matematika. Yang ia lakukan tepatnya adalah bermain sambil belajar. Tentu ia sangat senang dan benar-benar fokus. Ia benar-benar tercerap dalam kegiatan yang ia lakukan dan seakan lupa dengan keadaan di sekelilingnya. Dan hebatnya lagi, ia melakukan kegiatan belajar ini secara mandiri, tanpa perlu ada guru yang mendampingi.  

Saya juga sering mengajukan pertanyaan berikut pada orangtua, “Bapak/Ibu tadi mengatakan kalau anak Anda sulit konsentrasi, benar?” 

“Benar,” jawab mereka. 

“Kalau anak Bapak/Ibu main game bisa berapa lama?” tanya saya.

“Wah… kalau main game, dia bisa sampai berjam-jam,” jawab mereka.

“Berarti anak Bapak/Ibu sebenarnya bisa konsentrasi, kan?” tanya saya lagi.

Biasanya orangtua akan mengamini pertanyaan saya ini. Anak yang dikatakan tidak bisa konsentrasi, saat belajar atau mengerjakan tugas, bisa (sangat) fokus saat main game dan ini bisa berlangsung lama sampai tiga atau empat jam nonstop.  

Satu pertanyaan penting yang sering saya tanyakan pada orangtua, dan ini dengan cepat mampu membuka wawasan mereka, “Anak Bapak/Ibu kalau belajar sulit konsentrasi. Tapi mengapa kalau main game bisa konsentrasi berjam-jam?” 

Biasanya, saat main game anak bukannya bisa konsentrasi lama. Yang terjadi adalah mereka, karena senang dan penasaran, memaksa diri mereka untuk terus main. Mata anak biasanya akan lelah sekali dan kepalanya bisa pusing.  

Dalam kondisi normal, saat anak fokus belajar, setelah mencapai rentang waktu fokus maksimal, misal untuk anak usia 6 tahun adalah 6 menit, maka anak perlu istirahat sejenak, misal 5 menit. 

Untuk orang dewasa, setelah fokus selama 30 menit perlu istirahat sekitar 10 menit. Ini perlu dilakukan rutin. Fokus, rileks, fokus, rileks.   

Imprint Sulit Konsentrasi 

Orangtua dan atau guru yang tidak mengerti fokus optimal memberi label “sulit konsentrasi” pada anak. Disadari atau tidak, label ini akhirnya menjadi imprint. Imprint adalah sugesti yang berasal dari figur otoritas, orangtua dan terutama guru, yang masuk ke pikiran bawah sadar anak dan menjadi program yang mengendalikan perilakunya. 

Untuk memahami cara kerja imprint saya akan jelaskan sekilas cara kerja pikiran. Saat lahir, bayi hanya beroperasi dengan pikiran bawah sadar. Pikiran sadarnya belum aktif. Dengan demikian apapun yang dikatakan pada bayi, positif maupun negatif, langsung masuk ke pikiran bawah sadarnya tanpa difilter sama sekali dan diterima sebagai kebenaran. 

Selanjutnya pada usia tiga tahun pikiran sadar anak mulai aktif, namun masih dominan beroperasi di pikiran bawah sadar. Fungsi critical factor pikiran sadar anak menjadi cukup kuat saat usia 12 atau 13 tahun, dan menjadi sangat kuat di usia 17 tahun dan seterusnya. Kuatnya critical factor disebabkan anak sudah punya banyak data atau informasi sebagai pembanding atau filter terhadap informasi yang ia terima dari lingkungan. Dengan demikian, mulai kecil hingga usia SMP adalah masa kritis untuk memasukkan informasi ke pikiran bawah sadar anak. 

Saat anak masih kecil dan orangtua atau guru memberi label “sulit konsentrasi” maka anak benar-benar jadi sulit konsentrasi. Ini adalah sugesti yang menjadiself fulfilling prophecy. Anak dikatakan sulit konsentrasi tentu tidak hanya sekali atau dua kali. Biasanya orangtua atau guru akan terus mengulangi, lebih tepatnya memperkuat, label ini di berbagai kesempatan. Dan ini semakin diperparah lagi dengan orangtua yang sibuk membawa anaknya ke banyak ahli atau pakar untuk membantu mengatasi masalah anak yaitu sulit konsentrasi. 

Bisa Anda bayangkan apa yang terjadi di pikiran anak? Anak yang semula tidak tahu apa-apa, bisa jadi sebenarnya tidak ada masalah dengan konsentrasinya, akhirnya benar-benar yakin dan percaya bahwa benar ia memang sulit konsentrasi. Dan demikianlah yang terjadi seterusnya. 

Solusinya? Orangtua atau guru perlu berhenti total mengatakan anak sulit konsentrasi dan mulai menggunakan kalimat (sugesti) positif seperti: Semakin hari …….. (nama anak) semakin konsentrasi belajar atau mengerjakan tugas, semakin senang, dan menikmati belajar. 

Sulit Konsentrasi karena Tidak Tertarik 

Salah satu alasan utama mengapa anak sulit konsentrasi saat belajar adalah karena ia tidak tertarik atau tidak suka dengan materi yang dipelajari. Jangankan anak, orangtua saja bila tidak tertarik atau tidak suka pada hal yang ia pelajari pasti sulit untuk konsentrasi. Ini adalah hal yang sangat wajar dan manusiawi. Walau dipaksa bagaimanapun, bila sudah tidak tertarik atau tidak suka, pasti akan sangat sulit untuk konsentrasi. 

Mengapa anak tidak tertarik atau suka pada materi pelajaran tertentu? 

Belajar adalah proses yang jarang dimengerti orang awam. Kebanyakan orang berpikir saat anak pegang buku dan mulai membaca maka anak pasti belajar. Atau, guru biasanya berpikir saat mereka mengajar di depan kelas maka anak pasti belajar. 

Benarkah? Belum tentu. 

Belajar sebenarnya terjadi pada tiga jenjang. Pertama, yang paling inti atau dasar adalah self system. Di atas self system ada meta-cognitive system Dan yang terakhir, yang tampak dalam bentuk kegiatan atau aktivitas belajar, anak duduk di kursi, pegang buku, membaca, mengerjakan soal, berusaha menghapal, atau apapun, disebut cognitive system. 

Dua jenjang pertama, self system dan meta-cognitive system tidak pernah bisa dilihat kasat mata karena ini terjadi di dalam diri anak. Self system adalah apa yang terjadi dalam diri anak sebelum ia memutuskan untuk belajar. Di dalamnya terdapat komponen relevansi, emosi, perasaan mampu. Bila anak merasa apa yang ia pelajari relevan dan berguna bagi dirinya, merasa senang dan mampu maka muncul motivasi internal yang akan mendorong akan ke tahap berikutnya yaitu meta-cognitive system. 

Dalam meta-cognitive system terdapat komponen goal atau target yang hendak dicapai dan determinasi untuk terus belajar hingga tercapai tujuan. Ini yang membuat anak terus semangat dan terus mencoba. 

Dan terakhir, cognitive system adalah kegiatan belajar. Yang selalu tampak adalah yang ini. Bila anak tidak semangat belajar, malas, tidak fokus, sulit konsentrasi, ini adalah bagian dari cognitive system. Yang perlu ditelusuri adalah apa yang menyebabkan anak seperti ini. 

Anak sulit konsentrasi bukannya mereka tidak mau konsentrasi. Bagaimana mungkin mereka konsentrasi bila apa yang mereka pelajari tidak menarik, mereka tidak suka, tidak relevan, dan mereka merasa tidak mampu? 

Solusinya? Pastikan anak merasa materi yang ia pelajari relevan, berguna, ia merasa senang, dan mampu sebelum mulai belajar. 

Sulit Konsentrasi karena Gangguan 

Salah satu faktor yang membuat anak sulit konsentrasi adalah gangguan dari lingkungan atau situasi yang tidak mendukung. Saat belajar di rumah, sebaiknya tidak boleh ada gangguan seperti televisi, radio, komputer, handphone, gadget, atau apa saja yang bisa membuat anak tidak bisa atau sulit fokus. 

Yang juga perlu diperhatikan adalah bila dalam satu ruang ada dua atau lebih anak belajar. Biasanya, karena gaya belajar anak berbeda, akan timbul masalah. Ada anak yang perlu keadaan tenang untuk belajar. Ada yang perlu mendengar musik atau suara televisi. Bila ini terjadi pasti anak yang butuh tenang saat belajar akan mengalami sulit konsentrasi. 

Dalam beberapa kasus saya pernah menemukan ada anak yang belajar sambil HP-nya aktif di meja belajarnya. Saat ia mulai fokus, tiba-tiba HP-nya bunyi dan ini adalah ajakan chatting dari temannya. Ini tentu akan sangat mengganggu konsentrasi anak. Bila dibiarkan atau dibiasakan seperti ini, anak nantinya akan disiplin untuk tidak fokus pada pelajaran tapi lebih fokus pada HP-nya. 

Sulit Konstrasi karena Kelelahan 

Proses, kegiatan, dan lama waktu belajar anak saat ini benar-benar menguras energi fisik maupun mental anak. Coba perhatikan jadwal sekolah anak. Umumnya sekolah masuk jam 07.15, bahkan ada yang lebih awal lagi, jam 06.30 seperti di Jakarta. Bila masuknya sepagi ini berarti anak harus bangun lebih awal lagi. Sering anak bangun dengan buru-buru, tidak sempat sarapan, masih mengantuk tapi sudah harus berangkat ke sekolah. Kondisi ini membuat tubuh fisik dan suasana hati anak tidak nyaman dan pasti berimbas pada kegiatan belajarnya di sekolah. 

Menurut Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, jam belajar anak SD di Indonesia mencapai 1.400 jam per tahun, jauh melampaui standar belajar jam per tahun yang ditetapkan UNESCO yaitu hanya 800 jam belajar. 

Sedangkan rata-rata jam belajar untuk anak SMP dan SMA di Indonesia, menurut UNESCO, adalah 1.680 jam atau setara dengan 42 jam per minggu. Ini tentu jauh lebih lama dibandingkan dengan lama waktu belajar per minggu anak SMP dan SMA di Jepang yang hanya mencapai 30 jam, Perancis 32 jam, dan Australia 25 jam. Dan ini belum termasuk waktu yang dihabiskan untuk les. 

Rata-rata anak SD belajar di sekolah 5-7 jam per hari. Setelah pulang sekolah biasanya anak masih belajar lagi di tempat les. Ini bisa 3 – 4 jam lagi. Total dalam sehari anak diforsir belajar selama 8 sampai 10 jam. Bisa dibayangkan betapa lelah fisik dan mental anak. Dalam kondisi kelelahan seperti ini anak tentu sulit konsentrasi karena butuh istirahat.   

Sulit Konsentrasi dan Gaya Belajar 

Dari cara memasukkan informasi ke dalam otak, melalui lima indera, kita mengenal ada lima gaya belajar: visual (penglihatan), auditori (pendengaran), tactile/kinestetik (perabaan/gerakan), olfaktori (penciuman), dan gustatori (pengecapan). Sebenarnya masih ada satu lagi cara memasukkan informasi ke otak yaitu melalui pikiran atau imajinasi. Namun ini jarang atau hampir tidak pernah dibahas di literatur yang pernah saya baca atau pelajari. 

Dalam konteks belajar bahan ajar, yang paling sering digunakan hanya tiga cara yaitu visual (27%), auditori (34%), dan tactile/kinestetik (39%). Apa saja yang perlu diketahui orangtua dan guru mengenai gaya belajar ini? 

Biasanya kita punya dua gaya belajar dominan. Misalnya, visual dan auditori, atau visual dan tactile/kinestetik, atau auditori dan tactile/kinestetik. Namun, ada juga yang dominan hanya di satu gaya belajar. 

Anak visual belajar dengan cara melihat, membaca, baik itu buku, brosur, internet, poster, mindmap, atau apa saja yang dapat dilihat atau dibaca. Anak ini dapat duduk diam memerhatikan guru atau orangtua, dan cenderung suka mencoret-coret. 

Anak auditori belajar dengan pendengaran, lebih suka dengar cerita daripada membaca sendiri. Anak tipe ini yang biasanya suka belajar sambil ditemani ibunya. Ibu membacakan materi pelajaran, anak duduk santai atau berbaring, dan ia belajar dengan mendengar. Dan saat dites, ia bisa. Anak auditori biasanya butuh kondisi tenang untuk dapat belajar. Bila belajar sendiri, ia akan membaca dengan mengeluarkan suara agar dapat mendengar apa yang ia pelajari. 

Anak tactile/kinestetik belajar melalui gerakan, sentuhan, berjalan, dan mengalami. Anak ini yang biasanya dicap sebagai anak hiperaktif karena tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Cara belajar efektif untuk anak ini melibatkan gerakan seperti manipulasi objek, membuat model, menggunting, menggarisbawahi, membuat mindmapping, atau apa saja yang mengandung gerak. Bila mereka tidak mendapat kesempatan bergerak dan dipaksa duduk diam, pikirannya yang akan bergerak ke sana ke mari. Dan ini yang disebut dengan tidak bisa konsentrasi. 

Dari tiga jenis gaya belajar, dapat disimpulkan bahwa yang paling berpontensi menjadi anak “bermasalah” di sekolah adalah anak kinestetik karena sulit duduk diam. Guru mengajar dengan cara visual dan auditori. Ini tidak dapat mengakomodasi kebutuhan gerak anak kinestetik. Bila anak banyak bergerak, guru biasanya akan menegur atau memarahi si anak dan akhirnya beri label “hiperaktif”, “sulit konsentrasi”, “ADD” atau “ADHD”. Semakin anak diminta diam memerhatikan pelajaran, semakin ia merasa gelisah. Konsentrasinya digunakan untuk mengendalikan tubuhnya supaya tidak bergerak, agar tidak dimarahi guru, dan bukan untuk memerhatikan pelajaran. 

Solusinya? Beri anak kesempatan untuk bergerak saat belajar atau memasukkan informasi ke dalam otaknya. Jangan paksa anak duduk diam, tidak boleh bergerak, apalagi dalam waktu lama. Dalam belajar, libatkan anak dalam aktivitas banyak gerak. 

Sulit Konsentrasi Akibat Cemas 

Bayangkan Anda sedang berjalan di taman yang indah di pagi hari menikmati udara sejuk. Tiba-tiba, entah dari mana, muncul segerombolan anjing liar dan buas. Mereka menatap Anda dan menunjukkan sikap akan segera menyerang, menerkam, dan mengigit Anda. Apa yang Anda rasakan di tubuh dan pikiran? Anda pasti merasa sangat takut, cemas, dan panik. 

Otak langsung bereaksi cepat dan hormon stres dalam jumlah besar membanjiri diri Anda. Jantung berdetak lebih cepat, napas memburu, tangan dan kaki menjadi dingin, tungkai kaku, pupil mata melebar, dan Anda siap untuk lawan atau lari menyelamatkan diri. 

Dalam kondisi genting ini otak terus melakukan pemindaian (scanning) pada tiga hal yang sangat penting untuk keselamatan hidup: tubuh, lingkungan, dan waktu. Otak akan memeriksa kondisi dan kesiapan tubuh, apa saja yang ada di lingkungan yang bisa digunakan untuk menyelamatkan hidup, misal ada pohon atau tempat yang tinggi untuk menghindari anjing-anjing ini, dan berapa waktu yang tersedia untuk lari secepatnya ke tempat yang aman.  

Dalam kondisi genting tidak mungkin kita bisa duduk tenang, fokus pada satu hal saja. Dengan kata lain tidak mungkin kita bisa konsentrasi atau fokus. 

Ditinjau dari gelombang otak, saat dalam kondisi  takut atau cemas, gelombang otak dominan aktif adalah beta tinggi. Untuk bisa fokus atau konsentrasi yang dibutuhkan adalah beta rendah, pada kisaran 13-15 Hz.   

Lalu, apa hubungan antara cerita di atas dengan anak sulit konsentrasi? 

Salah satu sebab anak sulit konsentrasi, dan ini jarang disadari orangtua, adalah karena anak merasa cemas atau takut. Anak sendiri tidak tahu bahwa ia cemas atau takut karena memang masih terlalu kecil untuk memahami hal ini. Saat anak cemas atau takut, ia mengalami hal yang telah saya ceritakan di atas. Pikirannya tidak bisa fokus dan terus melakukan pemindaian. Perilaku ini yang dinamakan ADD/ADHD. 

Pertanyaan penting berikutnya adalah mengapa atau apa yang menyebabkan anak cemas atau takut? 

Satu yang paling dibutuhkan anak adalah rasa aman. Bila rasa aman ini tidak ia dapatkan maka pasti timbul rasa cemas. Kecemasan anak bisa berawal sejak dalam kandungan ibu. Saat ibu mengandung dan mengalami berbagai emosi negatif, misal marah, cemas, takut, kecewa, sedih, terluka, atau perasaan negatif lain, tubuh ibu menghasilkan hormon stres. Hormon stres ini juga masuk ke dalam tubuh anak dan memengaruhi perkembangan otak anak yang berfungsi untuk kendali diri dan konsentrasi yaitu prefrontal cortex kiri, lebih tepatnya orbitofrontal cortex.   

Cemas pada anak juga bisa terjadi akibat proses tumbuhkembang yang tidak kondusif. Misalnya, anak tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis, orangtua sering ribut, anak sering ditinggal atau diabaikan, jarang diajak bicara, anak sering dipukul, jarang atau tidak pernah dibelai, diberi kasih sayang. Kurangnya kasih sayang ini membuat anak merasa cemas dan terlihat dalam perilakunya. Anak juga bisa merasa cemas dan takut karena sekolah, bisa karena guru, teman kelas, akibat perundungan (bullying), atau karena tidak menguasai materi pelajaran. 

Untuk mengatasi hal ini tentunya perasaan cemas atau takut dalam diri anak perlu dinetralisir. Selanjutnya anak perlu mendapatkan rasa aman, perhatian, dukungan, kasih sayang, cinta. Bila anak merasa dicintai, sering diberi sentuhan kasih sayang secara fisik, maka otaknya akan menghasilkan hormon oksitosin yang sangat baik untuk membantu perkembangan orbitofrontal cortex. 

Satu informasi bagus untuk para ibu yang sedang hamil. Usahakan untuk melahirkan secara normal. Saat proses persalinan normal tubuh ibu akan mengalami semburan oksitosin, yang tentu akan masuk juga ke tubuh anak dan memberi pengaruh positif. Hal ini tidak terjadi dalam persalinan dengan operasi. 

Cemas anak juga bisa berasal dari orangtua, terutama ibu. Bila ibu sering merasa cemas, sering menceritakan perasaan cemasnya pada si anak, sering melarang, ini tidak boleh, itu tidak boleh, atau anak melihat perilaku atau bahasa tubuh ibu yang menunjukkan kecemasan, disadari atau tidak, kecemasan ini juga masuk ke dalam diri anak. 

Sulit Konsentrasi karena Energi Berlebih 

Ada anak yang punya energi berlebih dalam tubuhnya. Anak tipe ini pasti tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Ia pasti gelisah karena ada desakan dari dalam untuk bergerak, mengeluarkan energi. Orangtua atau guru yang tidak menyadari hal ini akan menyebut anak sulit konsentrasi. 

Energi yang besar dalam diri anak sebenarnya adalah berkah luar biasa yang bila disalurkan dengan benar akan sangat positif bagi tumbuh-kembang anak. Anak, saat masih kecil, butuh energi besar untuk menjelajahi dunia sekitarnya, untuk menyempurnakan dirinya. Dorongan untuk bergerak bertujuan untuk melatih koordinasi otot-otot besar, motorik kasar, sehingga bekerja dengan baik. Energi yang tidak terpakai akan menumpuk di dalam badan dan membuat anak gelisah. 

Salah satu murid SD Anugerah Pekerti pernah mengalami hal ini. Anak ini cerdas dan rajin. Namun, kadang ia merasa sulit konsentrasi. Ia merasa ada energi berlebih dalam dirinya. Bila mulai sulit konsentrasi ia minta ijin guru untuk keluar kelas dan lari mengelilingi lapangan beberapa kali. Setelahnya ia kembali masuk kelas dan bisa duduk dengan tenang, nyaman, dan mampu menyimak materi yang dijelaskan gurunya dengan sangat baik. 

Di masa kecil saya dulu, saat masih di SD, saya tidak pernah menemukan ada kawan yang sulit konsentrasi karena energi berlebih. Setelah saya ingat-ingat lagi ternyata dulu waktu kecil kami banyak bergerak, bermain, kejar-kejaran, panjat pohon, lompat tali, main petak umpet, main bola, menyusuri sungai, menangkap ikan, berenang, dan permainan lain yang butuh gerak dan cukup menguras energi. Setiap sore kami kumpul di lapangan dan bermain. Tanpa disadari, kegiatan yang kami lakukan ternyata sangat menguras energi. 

Kondisi sekarang sangat beda. Anak sekarang yang bergerak adalah ibu jarinya yang digunakan main game. Anak sudah sangat jarang berlari di lapangan, kejar-kejaran atau main bola. Itu sebabnya ada banyak energi menumpuk di tubuh anak. 

Solusinya? Beri anak kegiatan yang menguras energinya. Tentunya kegiatan yang anak suka, misalnya bersepeda, lari, renang, olahraga beladiri, main piano, main basket, futsal, badminton, panjat tebit, atau yang lain. Setelah energinya terkuras anak pasti menjadi tenang. 

ADHD 

Saya sengaja menempatkan ADHD pada bagian terakhir artikel ini. Tujuannya adalah agar, setelah membaca uraian di atas, orangtua dan guru mengerti mengapa anak mengalami sulit konsentrasi dan tidak sembarangan melabel anak dengan ADHD.

ADHD adalah attention deficit/hyperactivity disorderAttention deficit artinya gangguan pemusatan perhatian. Sedangkan hyperactivity adalah perilaku hiperaktif. Ada juga yang mengalami baik attention deficit dan sekaligus hyperactivity.

Penjelasan berikut dimaksud untuk memberi informasi dan pengetahuan, bukan untuk diagnosa. Untuk memastikan apakah anak mengalami ADHD perlu bantuan profesional terlatih.

ADHD dapat terjadi pada anak hingga usia 12 tahun. Karakteristik ADHD, menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-5) yang diterbitkan Mei 2013, menyatakan bahwa orang yang mengalami ADHD menunjukkan pola persisten gangguan perhatian, dan atau  hiperaktivitas dan impulsive yang mengganggu perilaku atau perkembangan. Untuk dapat disebut mengalami ADHD haruslah memenuhi kriteria berikut:

1. Perhatian

Enam atau lebih gejala yang menunjukkan ketidakmampuan memusatkan perhatian pada anak berusia hingga 16 tahun, atau lebih dari lima atau lebih gejala pada remaja usia 17 tahun dan lebih tua, dan orang dewasa; simtom tidak mampu memusatkan perhatian harus dialami minimal selama 6 bulan, dan gejala ini tidak sesuai dengan jenjang perkembangan anak:

  • Sering gagal memusatkan perhatian pada hal kecil atau membuat kesalahan yang ceroboh (tidak hati-hati) dalam pekerjaan sekolah, pekerjaan / kegiatan lain.
  • Sering sulit mempertahankan perhatian saat melaksanakan tugas / kegiatan bermain
  • Sering  seperti tidak mendengarkan saat diajak bicara langsung
  • Sering tidak mengikuti petunjuk dan gagal menyelesaikan pekerjaan sekolah dan tugas.
  • Sering sulit mengatur tugas dan kegiatan
  • Sering menghindar, tidak suka, atau enggan melakukan tugas yang membutuhkan upaya mental dalam waktu lama (seperti PR atau tugas).
  • Sering menghilangkan benda yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan kegiatan (misal: pensil, buku, perkakas, dompet, kunci, kacamata, handphone, dll)
  • Perhatiannya mudah teralihkan karena pengaruh dari luar.
  • Sering lupa (dalam kegiatan sehari-hari).

 

2. Hiperaktivitas dan Impulsive

Enam atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsive pada anak hingga usia hingga 16 tahun, atau lebih dari lima atau lebih gejala pada remaja usia 17 tahun dan lebih tua, dan orang dewasa; simtom hiperaktivitas-impulsive harus dialami minimal selama 6 bulan hingga pada taraf mengganggu dan tidak sesuai dengan jenjang perkembangan anak:  

  • Tangan dan kaki tidak bisa diam, atau tidak bisa duduk diam/tenang di kursi.
  • Sering meninggalkan tempat duduk saat diharapkan tetap duduk.
  • Sering berlari-lari / memanjat dalam situasi yang tidak sesuai (remaja atau dewasa merasa gelisah).
  • Sering tidak mampu bermain atau ikut kegiatan santai dengan tenang.
  • Sering terus bergerak, bertindak seolah digerakkan oleh mesin.
  • Sering bicara berlebihan
  • Sering melontarkan jawaban sebelum tuntas mendengar pertanyaan.
  • Sering sulit menunggu giliran.
  • Sering menyela / memaksakan diri terhadap orang lain (misal : memotong percakapan/mengganggu permainan).

 

Selain syarat di atas, untuk dapat dikatakan mengalami ADHD perlu memenuhisyarat berikut:

  • Beberapa gejala tidak mampu fokus atau hiperaktiv-impulsif terjadi sebelum usia 12 tahun.
  • Beberapa gejala muncul di dua tempat atau lebih (misal: di rumah atau kerja; dengan kawan atau keluarga, di kegiatan-kegiatan lain)
  • Ada bukti nyata bahwa gejala-gejala ini memengaruhi dan mengganggu, atau mengurangi kualitas fungsi sosial, sekolah, atau kerja.
  • Gejala-gejala tersebut tidak disebabkan gangguan lain: skizofrenia / psikotik dan tidak merupakan akibat dari gangguan mental lain seperti gangguan cemas atau gangguan kepribadian.
Baca Selengkapnya

Mengapa Anak Tidak Suka, Takut, atau Bodoh Matematika?

6 April 2015

Beberapa minggu ini saya banyak menangani kasus anak “bermasalah”. Usianya beragam mulai empat tahun hingga remaja. Umumnya, dalam menangani klien anak, saya selalu mewajibkan kedua orangtua atau pengasuh utama anak hadir di sesi awal untuk konsultasi atau konseling. Dan biasanya dari sesi awal ini saya dapatkan gambaran umum pola asuh yang berlaku di rumah dan tentunya pengaruhnya terhadap kondisi psikologis anak.

Pada paragraf di atas saya menuliskan kata bermasalah di antara tanda kutip untuk menunjukkan bahwa belum tentu anak bermasalah. Sering dijumpai, anak normal, baik, namun dianggap bermasalah karena pemahaman orangtua yang salah mengenai tahap perkembangan psikologis anak. Banyak anak menjadi atau dibuat menjadi bermasalah karena pola asuh dan proses pendidikan yang tidak berpihak pada keunikan anak dan menciderai psikis anak.

Proses belajar yang benar seyogyanya memerhatikan tahap perkembangan anak. Piaget membagi perkembangan anak menjadi empat tahap: Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun), periode praoperasional (usia 2–7 tahun), periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun), dan periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa).

Dalam pembelajaran matematika yang umum terjadi adalah anak tidak mendapat kesempatan belajar secara konkrit. Yang dimaksud dengan pembelajaran konkrit adalah anak menggunakan benda-benda konkrit, yang bisa dimanipulasi dengan tangan, dipegang, dilihat, dirasakan, untuk memahami konsep banyak atau sedikit. Anak, biasanya, langsung dikenalkan dengan angka. Mulai angka 1,2,3, satuan, puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Angka adalah simbol dan sifatnya abstrak. Untuk memahami angka, anak terlebih dahulu perlu mengkonstruksi pemahaman menggunakan benda konkrit. Cara ini yang dulu digunakan para orangtua mengajar anak-anak mengenal jumlah dan angka. Namun sayangnya cara ini, saat ini, sudah jarang digunakan. Anak langsung diajari angka, tanpa melewati proses belajar konkrit.

Untuk bisa membuat anak jago matematika biasanya orangtua akan mengirim anak ke kursus matematika. Dari pengamatan saya, banyak kursus yang hanya menerapkan prinsip drilling, anak diberi tugas yang (sangat) banyak dengan prinsip pengulangan agar bisa menghitung cepat. Namun bila anak diberi soal cerita dan perlu mengerti maksud cerita untuk bisa melakukan kalkulasi matematis biasanya anak mengalami kesulitan. Anak juga biasanya tidak bisa merasakan berapa banyak selisih antara satu dan sepuluh, atau sepuluh dan dua puluh. Benar mereka tahu bahwa sepuluh lebih besar dari satu. Namun berapa bedanya, selisihnya, banyaknya, mereka tidak bisa merasakannya. Ini semua karena konstruksi pemahaman anak tidak berdasar proses belajar konkrit.

Kendala lain muncul saat anak yang belum fasih penjumlahan tiba-tiba diajari tabel perkalian. Ini juga satu kesalahan fatal. Perkalian adalah bentuk lain dari penjumlahan berulang. Lemah di penjumlahan membuat anak sulit menguasai perkalian.

Belum lagi bila orangtua menuntut anaknya pintar matematika seperti anak temannya, atau menguasai materi yang sebenarnya belum waktunya dipelajari dan dikuasai si anak. 

Kendala beruntun ini akhirnya membuat anak merasa matematika sulit, tidak menyenangkan, menakutkan, dan perlu dihindari sebisa mungkin. Dan ini akan terus terbawa hingga dewasa.

Orangtua, tanpa tahu duduk masalah yang sebenarnya, berusaha membantu anak mengatasi masalah dengan meminta atau mengharuskan anak belajar lebih keras, lebih lama, les matematika dengan guru berbeda. Ada juga orangtua yang menggunakan cara yang keras dalam upaya membuat anaknya pintar matematika, misalnya memarahi, mengancam, atau menghukum. Anak bukannya menjadi lebih berkembang justru menjadi semakin trauma dan tidak suka matematika. Anak menghubungkan belajar matematika atau matematika itu sendiri dengan penderitaan (pain), rasa sakit, tidak nyaman.

Faktor lain yang membuat anak tidak suka matematika adalah karena cara mengajar guru yang kurang menghargai keunikan dan kecepatan belajar anak. Ada guru yang menuntut anak menguasai bahan ajar dengan cepat. Bila anak agak lambat biasanya guru akan menegur atau memberi label anak bodoh. Ada juga guru yang karena sikapnya, disengaja atau tidak, membuat anak malu, di dalam kelas, karena tidak bisa mengerjakan soal. Semua ini memberi kontribusi pada ketidaknyamanan anak terhadap pelajaran matematika.

Solusi untuk masalah ini adalah pertama, emosi negatif yang berhubungan dengan matematika harus dihilangkan total. Kedua, kecakapan dasar matematika seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian perlu diperkuat. Bila perlu, anak tinggal kelas untuk mendapat kesempatan memperbaiki fondasi matematikanya. Dan ketiga, yang juga sangat penting adalah pendampingan, dukungan, kasih sayang dari orangtua pada anak.

Hal lain yang perlu diperhatikan orangtua adalah adanya lompatan materi yang cukup signifikan antara SD kelas 3 dan kelas 4. Anak yang kemampuan matematika dasarnya tidak kuat akan mengalami kesulitan saat naik kelas 4.

Satu kendala lain yang pernah saya temukan pada klien anak SD yang tidak suka matematika yaitu ia tidak mengerti soal, yang ditulis dalam bahasa Inggris, sehingga tidak bisa menjawab dengan benar. Saat soal ditulis dalam bahasa Indonesia anak mampu menjawab dengan benar.

Saya pernah menangani anak perempuan, sebut saja sebagai Jeni, kelas 4 SD yang sangat pintar penjumlahan, perkalian, dan pembagian. Namun, saat diminta mengerjakan soal pengurangan, Jeni tidak bisa. Jeni merasa takut dan cemas saat diminta mengerjakan soal pengurangan. Dan setelah diterapi baru diketahui penyebabnya.

Ayahnya Jeni telah berusaha membantu Jeni mengatasi masalah ini. Ia bahkan telah meminta Jeni menjalani tes IQ, tes sidik jari, konseling, memberi les matematika pada Jeni. Hasilnya, tidak seperti yang diharapkan. Bahkan tes sidik jari Jeni menyatakan IQ-nya Jeni hanya 90an. Saya tentu tidak percaya dengan hal ini. 

Saat jumpa saya di ruang terapi, Jeni mampu berkomunikasi dengan lancar dan menjelaskan masalahnya. Dari sini saya tahu Jeni punya rasa percara diri yang bagus. Dan semakin saya bicara dengan Jeni semakin saya meragukan hasil tes IQ-nya. Jeni tampak sebagai anak yang cerdas. 

Apa yang terjadi pada Jeni? Sekolah Jeni menggunakan kurikulum internasional dengan buku ajar dari Australia.  Saat kelas 1 SD mereka tentu diajari matematika. Di sinilah muncul masalah. Sistem mata uang Australia dan Indonesia jelas beda. Australia menggunakan dolar dan sen. Satu dolar sama dengan 100 sen. Dan saat itu Jeni diminta ke depan kelas mengerjakan soal cerita. Kendala mundul karena ia melakukan pengurangan 10 dolar dan 2 dolar 63 sen. Atau bila dalam bahasa matematis persamaannya adalah: 10 – 2,63. Ini adalah bilangan desimal yang tentu sangat sulit dipahami oleh anak kelas 1 SD.

Akibatnya, Jeni tidak bisa dan ditertawakan teman-temannya. Ini diperparah lagi dengan gurunya memberi “motivasi” negatif dengan berkata, “Masa soal begini mudah nggak bisa?”

Perasaan malu, cemas, takut, dan tidak mampu yang Jeni rasakan saat di depan kelas ini langsung terhubung dengan pengurangan. Dan setelahnya, setiap kali mengerjakan soal pengurangan Jeni pasti tidak bisa. Usai terapi, saat saya beri soal pengurangan ia dapat mengerjakan dengan mudah dan percaya diri.

Baca Selengkapnya

Inspirasi dari The Dog Whisperer Untuk Mengasuh Anak

26 Maret 2015

Kemarin malam saya nonton tayangan The Dog Whisperer, Cesar Milan, di saluran National Geography. Sudah lama saya tidak menikmati acara ini. 

Pendekatan Cesar Milan dalam menangani anjing bermasalah adalah pertama mengecek kualitas emosi, relasi, dan sikap pemilik anjing. Milan, dari pengalamannya menangani sangat banyak anjing bermasalah, menyatakan bahwa kondisi emosi pemilik anjing sangat memengaruhi anjingnya. 

Dengan kata lain, bila emosi yang mendominasi pikiran dan perasaan si pemilik adalah emosi takut, cemas, khawatir, tidak percaya diri, atau emosi negatif lainnya maka ini akan tampak dalam pola perilaku anjing karena anjing menangkap vibrasi energi pemiliknya.

Milan mengajari si pemilik cara mengatur energi emosi, sikap, ketenangan, serta kendali diri yang selanjutnya memengaruhi si anjing. Dan dengan cepat anjing ini berubah menjadi manis dan penurut, tidak lagi agresif. 

Bila anjingnya masuk kategori sangat bermasalah maka Milan akan melakukan "terapi" pada anjing ini dengan membawanya ke Pusat Psikologi Anjing miliknya. Di sini anjing bermasalah ini dididik ulang sehingga punya pola perilaku baru yang baik, santun, dan manis. 

Di lain kesempatan, saya melihat bagaimana Milan menangani anjing yang sangat aktif, tidak bisa duduk diam, suka menggonggong, lari ke sana ke mari, menggigit barang-barang di rumah. Pola perilaku ini mirip dengan ADHD (attention deficit with hyperactivity disorder) atau gangguan pemusatan perhatian dengan kecenderungan hiperkinetik. 

Bagaimana caranya Milan menyembuhkan anjing ini? 

Ternyata sangat mudah. Ia membimbing si anjing ke atas treadmill dan membuat si anjing lari selama setengah jam. Setelahnya, si anjing langsung tenang dan rileks. 

Apa yang terjadi? Ternyata dalam diri anjing ini terakumulasi energi yang cukup besar. Si pemilik jarang atau bahkan hampir tidak pernah membiarkan anjing ini bermain, berlari-lari di halaman luar. Secara alamiah, energi yang ada di dalam diri anjing perlu dikeluarkan dan keluarnya dalam bentuk yang tidak seperti yang diharapkan si pemilik. 

Saya melihat kesamaan yang sangat mirip dalam menangani kasus anak atau keluarga. Apapun yang terjadi pada anak, disadari atau tidak, diakui atau tidak, pasti ada hubungan dengan orangtuanya. 

Sebelumnya, mohon maaf ya, jangan sampai ada mispersepsi. Saya tidak bermaksud mengatakan anak-anak kita, anak manusia, sama dengan hewan peliharaan. Yang saya ingin sampaikan melalui status ini adalah adanya pola yang mirip dalam penanganan kasus anak dan keluarga. Saya bahkan minta kedua orangtua, dari klien saya yang anak-anak, untuk nonton Dog Whisperer minimal 10 sesi untuk bisa memahami maksud saya. 

Kondisi pikiran, emosi, sikap, perilaku, kepercayaan, dan kebiasaan orangtua sangat memengaruhi anak. Anak, tanpa perlu komunikasi verbal, sangat bisa merasakan dan terpengaruh oleh vibrasi orangtuanya, terutama ibu. Ini karena adanya kedekatan batin antara ibu dan anak. 

Dalam sangat banyak kasus anak yang saya tangani, seringkali saya tidak langsung menangani si anak. Biasanya saat orangtua menjalani sesi konseling dan memahami bahwa bila mereka berubah maka anak mereka juga berubah, dan mereka sungguh-sungguh bersedia menjalankan yang saya sarankan dan tentunya berubah, anak mereka turut berubah. 

Saya ingat beberapa tahun lalu saat sesi break di seminar, seorang ibu mendekati saya dan berkata, "Pak Adi, saya sedih melihat anak saya berubah setelah kepergian ayahnya. Ayahnya baru meninggal tiga bulan lalu. Dan sejak itu anak ini mudah menangis dan gelisah. Bagaimana caranya untuk bisa membantu anak saya ini?" 

"Bisa Ibu jelaskan lebih detil apa yang terjadi pada anak Ibu sejak kepergian ayahnya?" tanya saya. 

"Anak saya dulunya ceria. Sekarang jadi pemurung. Di sekolah juga rewel, padahal sebelumnya tidak seperti ini. Setiap kali saya sholat tahajud di tengah malam, saya mengeluh pada Alloh, mengapa suami saya begitu cepat pergi, saya menangis dalam sholat saya. Tiba-tiba anak saya, yang tadinya tidur pulas, bangun dan ikut menangis" jelasnya.

"Anak Ibu usianya berapa?" tanya saya lagi. 

"Tiga tahun Pak" jawab si Ibu. 

"Hmm... sepertinya yang belum ikhlas ini Ibu, bukan anak Ibu" jawab saya. 

Mendengar jawaban ini si Ibu langsung menangis terisak dan mengakui memang ia belum bisa merelakan kepergian suaminya. 

"Ibu perlu mengikhlaskan kepergian suami. Percayalah bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik. Saat ini mungkin Ibu belum bisa memahami atau menerimanya. Pasrahkan semuanya pada Tuhan dan mohon kekuatan dariNYA untuk bisa melewati ini semua. Dan bila Ibu bisa melakukannya maka anak ibu pasti juga bisa kembali normal" jawab saya. 

Di lain kesempatan saya pernah meminta seorang Ibu untuk mengubah persepsinya terhadap anaknya. Ibu ini selalu mengeluh kalau anaknya malas, tidak bisa diatur, tidak mau mendengar ucapannya, dll... dll. 

Saya katakan pada Ibu ini bahwa selama ia tetap mempertahankan sikap dan kepercayaan negatif seperti ini terhadap anaknya, walau memang anaknya seperti ini, maka anak tidak akan berubah. Bila cara pandang si Ibu berubah maka ini akan memengaruhi cara ia berkomunikasi, pengharapannya terhadap anak, kata-kata yang ia gunakan, tekanan suara, sikap, bahasa tubuh, dan semua ini pasti akan memengaruhi si anak menjadi lebih baik.

Baca Selengkapnya

Fokus Sempit vs Fokus Luas

2 Maret 2015

Seiring dengan kemajuan teknologi, kita semakin gencar terpapar dengan banjir informasi yang berasal dari berbagai sumber. Saat ini akses informasi utama lebih pada bahan bacaan yang diperoleh dari buku, surat kabar, majalah, email, Whatsapp, SMS, BBM, Twitter, Line, Path, dan berbagai sumber lain. Disadari atau tidak sejak bangun pagi hingga malam menjelang tidur kita terus membaca berbagai informasi.

Saat mata melihat dan membaca berbagai informasi, kita masuk ke fokus sempit. Fokus sempit sangat bermanfaat untuk hidup, misalnya untuk belajar, mengendarai mobil dengan cermat dan hati-hati, melakukan berbagai aktivitas yang membutuhkan konsentrasi.

Sejak kecil kita dikondisikan untuk melakukan fokus sempit. Masih ingat saat masih kecil, orangtua atau guru berkata: “Jangan melamun, perhatikan dan baca bukumu”; “Perhatikan tulisan di papan tulis”; “Konsentrasi”; “Hati-hati”; “Baca yang teliti dan cermat”.

Kalimat di atas yang diucapkan oleh orangtua atau guru sebenarnya mengatakan pada kita, saat masih kecil, bahwa fokus kita masih kurang sempit seperti yang mereka inginkan. Dengan kata lain kita kurang fokus, kurang konsentrasi, dan kurang mampu meniadakan hal-hal lain dari pusat perhatian kita selain hal-hal penting yang mereka ingin kita perhatikan. Semakin tinggi konsentrasi berarti semakin sempit fokus kita, semakin baik.

Fokus sempit sangat baik dan bermanfaat. Capaian, prestasi, dan kinerja tinggi sangat bisa diraih berkat kemampuan melakukan fokus sempit. Namun, segala sesuatu bila dilakukan secara berlebihan pasti berakibat tidak baik. Saat mata diarahkan melakukan fokus sempit, untuk waktu lama akan berdampak buruk bagi otak, pikiran, dan kesehatan pada umumnya. Fokus sempit juga terjadi saat seseorang membaca atau main game, apalagi di gadget dengan layar kecil.

Untuk memahami mengapa fokus sempit dalam waktu lama berakibat buruk terhadap kesehatan berikut ini akan dijelaskan mengenai gelombang otak.

Pada umumnya kita mengenal empat gelombang otak, Beta, Alfa, Theta, dan Delta. Beta adalah gelombang otak yang mewakili kondisi sadar normal, aktivitas berpikir, saat otak memroses informasi. Alpha adalah gelombang otak, pada kisaran frekuensi 8 sampai 12 Hz, saat pikiran santai dan rileks. Alpha adalah jembatan yang menghubungkan pikiran sadar, Beta, dan pikiran bawah sadar, Theta dan Delta. Theta, antara 4 – 8 Hz, dihasilkan saat pikiran sadar lebih rileks, lebih pasif, ada yang menyebutnya dengan kondisi meditatif atau trance. Sedangkan Delta, antara 0,1 – 4 Hz, gelombang otak mewakili kondisi tidur lelap atau pikiran nirsadar.

Beta terbagi dalam tiga rentang frekuensi, Beta rendah, Beta sedang, dan Beta tinggi. Beta rendah, berkisar antara 13 hingga 15 Hz, adalah gelombang otak yang aktif saat kita sedang membaca buku, mengenal dan memahami materi yang sedang dipelajari. Beta rendah muncul saat kita fokus pada sesuatu tanpa harus waspada. Dan kita belajar maksimal dengan Beta rendah.

Otak menghasilkan gelombang Beta sedang, pada kisaran frekuensi antara 16 hingga 22 Hz, saat kita fokus berkelanjutan pada stimulus dari luar diri. Beta tinggi, antara 22-50 Hz, muncul saat seseorang mengalami stres atau kecemasan tinggi, terlalu fokus pada sesuatu atau fokus sempit.

Beta tinggi adalah bagian dari sistem pertahanan diri dan sangat baik bila beroperasi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Bila otak beroperasi dalam frekuensi Beta tinggi dalam waktu lama mengakibatkan stres dan ketidakseimbangan karena untuk bisa mempertahankan Beta tinggi dibutuhkan energi yang sangat besar. Dengan kata lain, Beta tinggi adalah frekuensi otak saat dalam kondisi genting atau bahaya.

Saat seseorang melakukan fokus sempit, cepat atau lambat, namun sering tidak disadari, tubuh akan bereaksi. Yang sering dirasakan adalah otot tubuh, terutama wilayah pundak dan leher kaku, lelah, dan akhirnya sulit konsentrasi. Semua ini sebenarnya merupakan umpan balik dari tubuh kepada kita bahwa apa yang kita lakukan telah melebihi batas normal kemampuan tubuh.

Hal yang sama dapat dirasakan saat seseorang diminta fokus dalam proses belajar. Secara umum, orang dewasa hanya mampu fokus maksimal 30 menit. Setelah itu akan mulai mengalami kelelahan. Dengan demikian sangat baik bila setiap 30 menit kita rehat sejenak, sekitar 5 menit, untuk memulihkan kondisi.

Saat ini banyak anak yang mengalami gangguan konsentrasi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebabnya hampir sepanjang hari mereka melakukan fokus sempit saat main game atau gadget. Fokus sempit dalam waktu lama selain sangat melelahkan juga mengaktifkan gelombang Beta tinggi yang merupakan frekuensi otak saat dalam kondisi genting atau bahaya. Seringnya gelombang otak Beta tinggi ini muncul mengakibatkan seseorang, tanpa ia sadari, merasa cemas. Dan sudah tentu perasaan cemas ini pasti menganggu konsentrasi dan proses belajar.

Cara lain untuk fokus adalah melihat sesuatu secara luas, lebar, besar, yang dinamakan fokus luas. Otak dan pikiran kita pada dasarnya dirancang untuk lebih sering melakukan fokus luas. Fokus luas secara mudah kita lakukan saat berada di alam, saat melihat pemandangan, membayangkan dan merasakan ruang kosong, atau membayangkan objek “tanpa objek”. Saat seseorang melakukan fokus luas, baik itu secara sengaja atau tidak, otak menghasilkan gelombang Alfa sinkron pada seluruh wilayah otak. Gelombang Alfa sinkron sangat baik untuk kesehatan dan membuat kita merasa tenang, nyaman, rileks, damai, masuk ke kondisi respon rileksasi.

Itu sebabnya setelah pulang dari liburan ke alam kita merasa tenang, nyaman, dan jauh lebih rileks. Ini semua berhubungan dengan cara kita menggunakan fokus saat berada di alam dan gelombang otak Alpha sinkron yang aktif di seluruh wilayah otak saat kita fokus luas.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List