The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Buku, Trainer, dan Personal Brand

14 Februari 2015

"Pak Adi, saya baru selesai menulis buku. Dalam waktu dekat segera terbit dan beredar. Bisa kasih saya tips, dari pengalaman Bapak, bagaimana caranya supaya buku saya bisa laku dan syukur saya juga bisa jadi trainer seperti Bapak," demikian tanya salah satu rekan. 

"Apa tujuan yang ingin Anda capai dengan menulis buku?" tanya saya. 

"Buku ini saya gunakan untuk branding, Pak," jawabnya penuh semangat. 

Saat ini memang sedang menjadi trend menulis buku sebagai sarana personal branding. Ternyata menulis buku, menjadi trainer, dan personal branding tidaklah sesederhana yang kita pikir. 

Saya mulai dengan uraian menjadi penulis. Di jaman saya memulai karir sebagai penulis, di tahun 2003, penulis buku belum sebanyak sekarang. Dengan demikian saat seseorang menulis buku, apalagi buku bagus, pasti akan mendapat publikasi luas dan dukungan dari penerbit, khususnya penerbit besar. 

Buku pertama saya, Born to be a Genius, terbit Maret 2003. Buku kedua, Genius Learning Strategy, terbit Oktober di tahun yang sama. Dan dilanjut dengan buku-buku saya lainnya. 

Bagi penulis pemula seperti saya, di tahun 2003, untuk bisa menerbitkan buku tidak mudah. Apalagi bisa diterbitkan penerbit besar dan terkenal, Gramedia Pustaka Utama, yang didukung dengan toko buku mereka di seluruh Indonesia. Saat itu saya harus belajar sendiri teknik penulisan dan butuh waktu cukup lama hingga akhirnya berhasil menuangkan ide dan pemikiran ke dalam buku. 

Keadaan saat ini sudah sangat berbeda. Ada trainer atau lembaga yang menyelenggarakan pelatihan menjadi penulis. Ini tentu sangat memudahkan para penulis pemula yang sebenarnya banyak ide, pengalaman, keahlian, atau informasi berharga namun sulit menuangkannya ke dalam buku karena tidak mengerti sistematika penulisan yang baik dan benar. 

Saat ini untuk menerbitkan buku tidaklah sulit. Usai menulis buku, naskah buku bisa dikirim ke penerbit terkenal untuk diterbitkan. Bila karena sesuatu hal naskah ini tidak bisa mereka terbitkan maka penulis bisa menawarkannya ke penerbit lain atau bahkan bisa menerbitkankan sendiri bukunya. Ada banyak pihak yang bisa membantu. Demikian juga dengan pemasarannya. Jadi, saat ini sangatlah mudah untuk menulis, menerbitkan, dan memasarkan buku. 

Namun, saran saya, sebisa mungkin usahakan buku Anda diterbitkan oleh penerbit terkenal. Ada tiga alasan utama. Pertama, Anda bisa menggunakan nama besar penerbit sebagai daya ungkit (leverage) Anda. Kedua, mereka punya jaringan distribusi luas ke seluruh Indonesia. Ketiga, penjualan buku mereka didukung oleh jaringan toko buku mereka yang tersebar di seluruh Indonesia. 

Sekarang kita sampai pada bagian yang sangat menarik. Tahukah Anda, bahwa di Indonesia tahun lalu terbit sekitar 22.000 (dua puluh dua ribu) buku baru? Berarti, rata-rata dalam sebulan terbit 1.833 buku, seminggu 458 buku. 

Di mana buku-buku ini akan dijual? Tentu di toko buku. Setiap buku baru pasti akan dipajang di area tertentu di toko buku. Sayangnya ruang yang tersedia untuk memajang buku-buku baru sangatlah terbatas. Sedangkan setiap minggu toko buku kebanjiran buku-buku baru. Untuk itu toko buku membuat kebijakan memajang buku baru maksimal sampai satu bulan. Buku yang selama sebulan dipajang di toko tidak menghasilkan penjualan sama sekali akan langsung diretur. 

Sampai di sini, sebagai penulis Anda pasti sudah jelas bahwa menulis buku, walau kontennya sangat bagus, tidak menjamin buku Anda pasti laku. Dan bila selama sebulan di toko buku tidak laku satupun, buku Anda akan diretur oleh toko buku. Dengan kata lain, tamatlah riwayat buku yang Anda tulis. Buku ini langsung hilang dari peredaran dan masyarakat tidak akan tahu pernah ada buku ini. 

Untuk menghindari hal ini, buku diretur karena tidak ada penjualan padahal bukunya bagus, penulis perlu aktif, kreatif, dan konsisten berpromosi dan menjual dalam bentuk seminar, talkshow, sharing, dan terutama membangun kesadaran masyarakat mengenai buku Anda melalui media sosial. 

Bagaimana dengan menjadi trainer? 

Menulis buku adalah satu hal. Menjadi pembicara atau trainer adalah hal lain. Untuk menjadi trainer dibutuhkan tidak hanya kemampuan komunikasi yang baik saat menyajikan materi dalam berbagai kesempatan dan forum, termasuk kecakapan mendesain slide yang komunikatif secara visual, dan juga sangat butuh rasa percaya diri yang tinggi, wawasan yang luas, visi dan misi yang jelas, personal strength, kharisma, serta tujuan jelas yang ingin dicapai.

Tampaknya, ini bukan kerja yang sedikit. Benar, ini butuh upaya dan proses. Berita baiknya, ada trainer atau lembaga yang mengajarkan cara menjadi pembicara publik. Di sinilah Anda, sebagai penulis yang ingin jadi pembicara, bisa mulai belajar. Setelah itu sepenuhnya bergantung pada Anda. 

Kuncinya, Anda suka dan sangat menguasai apa yang Anda tulis dan senang berbagi pengetahuan kepada khalayak ramai. Anda bisa mulai dengan berbicara dalam forum kecil, kemudian meningkat ke forum yang lebih besar. Semakin sering Anda bicara, semakin terasah kemampuan komunikasi dan presentasi Anda.

Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan, dipelajari, dikuasai, dan dikembangkan bila Anda benar ingin menjadi trainer yang langgeng, yang mampu memberi kontribusi positif pada masyarakat, tidak sekedar muncul dan kemudian hilang. 

Bagaimana dengan personal brand? 

Banyak rekan penulis yang berpikir bahwa bila mereka telah menulis dan menerbitkan buku maka ini sudah pasti akan menjadi personal brand mereka. Kenyataannya, belum tentu seperti ini. Benar, buku adalah salah satu marketing tool yang sangat kuat daya ungkitnya. Namun, personal brand bukan sekedar buku. Masih ada hal lain yang perlu diketahui, diperhatikan, dan dikembangkan bila Anda ingin punya personal brand yang kuat. 

Istilah personal brand pertama kali menjadi populer berkat artikel "A Brand Called You" yang ditulis oleh Tom Peters, penulis dan guru manajemen, dan pertama kali dipublikasi dalam Fast Company Magazine di bulan Agustus1997.

"Today brands are everything, and all kinds of products and services—from accounting firms to sneaker makers to restaurants—are figuring out how to transcend the narrow boundaries of their categories and become a brand surrounded by a Tommy Hilfiger-like buzz. Regardless of age, regardless of position, regardless of the business we happen to be in, all of us need to understand the importance of branding. We are CEOs of our own companies: Me Inc. To be in business today, our most important job is to be head marketer for the brand called You."

Erwin Parengkuan dan Becky Tumewu, dalam karya anyar mereka, Personal Brand-Inc,  mendefinisikan personal brand sebagai suatu kesan yang berkaitan dengan nilai, keahlian, perilaku, maupun prestasi yang dibangun oleh seseorang baik secara sengaja ataupun tidak sengaja dengan tujuan untuk menampilkan citra dirinya. 

Pada definisi di atas, bila dibaca dengan cermat, personal brand adalah kesan atau persepsi orang lain terhadap Anda. Dan untuk itu dibutuhkan pengetahuan, upaya, dan strategi yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur untuk membangun kesan positif. 

Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa berdasar sifatnya, komponen personal brand terbagi menjadi dua bagian yaitu komponen utama dan komponen tambahan. Komponen utama terdiri atas nilai hidup (value), kemampuan/ keterampilan (skill/competence), dan perilaku (behavior). Sedangkan komponen tambahan terdiri atas penampilan (total look), keunikan (uniqueness), dan otentik (authentic). Kedua komponen personal brand ini juga perlu didukung dengan prestasi (achievement), kekuatan (strength), dan tujuan (goal). 

Masih menurut kedua penulis ini, personal brand sebaiknya dibangun dan selaras dengan nilai hidup. Ini tentu akan sangat memudahkan karena apa yang Anda lakukan sudah sejalan dengan nilai hidup Anda. Dengan kata lain, Anda tidak berpura-pura atau menjadi orang lain. Selain itu, Anda juga perlu punya keahlian atau kompetensi yang menjadi kekuatan dan mendukung isi buku Anda. Dan ini semua tentu perlu didukung dengan perilaku yang konsisten dengan brand yang Anda bangun. 

Penampilan, pada komponen tambahan, adalah bagaimana cara Anda tampil atau berpakaian dan dilihat oleh orang lain. Cara Anda berpakaian, suka atau tidak, pasti akan dinilai oleh orang lain. Penilaian ini akan memengaruhi brand Anda. Sedangkan keunikan adalah sesuatu yang menjadi ciri khas Anda, yang membedakan Anda dengan penulis atau trainer lain. Otentik artinya, brand yang Anda bangun mencerminkan karakter asli, nilai kekuatan, keunikan, dan keunggulan Anda. 

Komponen lain yaitu prestasi maksudnya adalah apa saja prestasi yang telah Anda capai, seperti capaian akademik, sertifikat, penghargaan, gelar, jumlah buku yang telah ditulis, pengalaman bicara, atau apa saja yang telah Anda capai yang bisa digunakan untuk memperkuat brand yang ingin Anda bangun. Kekuatan adalah kelebihan yang dimiliki sebagai sesuatu yang membedakan Anda dengan orang lain, khususnya dalam bidang yang sama. Sedangkan tujuan adalah hal yang ingin dicapai. Ini adalah sumber motivasi, arah, dan ketekunan dalam mencapai target yang telah dibuat. 

Saran saya, untuk Anda yang ingin jadi penulis, pembicara dan membangun personal brand yang kuat, mulailah dengan menulis sesuatu yang benar-benar Anda suka dan kuasai dengan sangat baik, sesuatu yang menjadi passion Anda. Jangan menulis buku hanya sekedar mengikuti trend. 

Selanjutnya, Anda perlu konsisten. Walau Anda sangat menguasai banyak bidang, Anda perlu menulis buku dengan tema yang konsisten. Ada rekan penulis yang menulis buku dengan tema berbeda. Misal, buku pertamanya tentang pendidikan keluarga, buku kedua tentang bisnis dan marketing, buku ketiga tentang usaha burung walet. Ini tentu akan menimbulkan pertanyaan di benak pembaca tentang bidang keahlian si penulis. 

Anda juga perlu aktif mengenalkan buku Anda ke masyarakat. Bisa melalui seminar, talk show, sharing di komunitas tertentu, bicara di radio, atau menulis artikel di media massa dan media sosial. Intinya, penulis perlu aktif untuk promosi. Sebuah buku, sebagus apapun, tidak mungkin jadi buku laris tanpa ada upaya sadar, terstruktur, dan sistematis untuk membuatnya laris. Dan ternyata ada banyak buku yang lebih bermutu yang kalah laris dibanding buku yang lebih populer. Jadi, menulis buku bagus saja tidaklah cukup. 

Salah satu komponen penting membangun personal brand yang kuat adalah kesinambungan paparan publik. Sebagai penulis Anda perlu konsisten mengenalkan diri Anda ke publik melalui berbagai kegiatan dan sarana seperti yang telah dijelaskan di atas. 

Saat ini, seiring perkembangan teknologi, paparan publik bisa dilakukan dengan lebih mudah dan masif melalui media sosial. Ini adalah sarana yang bila digunakan dengan cerdas mampu membantu membangun kesadaran publik akan keberadaan diri dan karya Anda dan sudah tentu personal brand Anda. 

Bila menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, atau yang lain, untuk membangun personal brand, Anda perlu sangat hati-hati, cermat, dan bijak dalam menuangkan ide atau pemikiran Anda. Apapun yang Anda tulis akan dibaca oleh sangat banyak orang. Saat publik membaca status atau tulisan Anda akan muncul persepsi atau kesan terhadap Anda, bisa positif atau negatif, yang tentunya memengaruhi personal brand yang sedang Anda bangun.

Baca Selengkapnya

Pikiran, Emosi, Gen, dan Kesehatan

11 Februari 2015

(Artikel ini ditulis dengan tujuan memberi informasi hubungan antara pikiran, emosi, dan kesehatan, dan untuk memberi harapan bahwa masih ada peluang untuk sembuh dari sakit “berat” dengan pendekatan berbeda sebagai komplemen tindakan medis. Pembaca disarankan untuk selalu mengutamakan konsultasi ke dokter atau menjalani tindakan medis bila sakit.)

Di artikel sebelumnya, “Hidup Di Masa Kini, Kunci Transformasi Diri”, sekilas saya menyinggung keterkaitan pikiran, emosi, dan tubuh. Beberapa waktu lalu di sela acara seminar, salah satu peserta berdiskusi dengan saya mengenai kondisi kesehatannya. Rekan ini adalah pebisnis sukses, usianya baru sekitar 30an, dan sudah lima tahun menderita penyakit autoimun, ankylosing spondylitis. Rekan ini merasakan lehernya sakit setiap kali ia menoleh. Ia juga berkata bahwa penyakit ini tidak ada obatnya, tidak bisa sembuh, karena disebabkan oleh kelainan gen.

Benarkah semua ini karena gen? Bila benar karena gen, bisakah kondisi ini disembuhkan? Sebelumnya, ia dalam kondisi sehat, bugar. Namun, entah apa yang terjadi padanya, ia menjadi sakit. Dapatkah kita memengaruhi kerja gen untuk kebaikan, kesembuhan, dan kesehatan?

Kelainan gen tunggal yang memengaruhi hidup manusia dan mengakibatkan penyakit seperti Huntington’s disease (HD), beta thalasemia, dan cystic fibrosis, hanyalah sebesar 2%. Mayoritas manusia, 98%, lahir dengan gen-gen yang seharusnya mampu membuat kita hidup sehat dan bahagia. Penyakit yang menjadi momok manusia modern seperti diabet, sakit jantung, dan kanker, bukanlah karena pengaruh gen tunggal, namun adalah akibat atau hasil interaksi banyak gen dan faktor lingkungan.

James Watson, Ph.D., dan Francis Crick, Ph.D., adalah penemu struktur DNA double helix, yang menyatakan, di jurnal Nature, terbit tahun 1970, bahwa kondisi biologis manusia ditentukan sepenuhnya oleh gen. Hingga saat ini, dogma ini masih sangat kuat memengaruhi pandangan awam.

Pergesaran paradigma luar biasa terjadi saat ilmuwan akhirnya berhasil memetakan gen manusia melalui Human Genome Project (HGP). HGP diawali tahun 1990 dan berakhir tahun 2003. Semula para ilmuwan berharap dapat menemukan 140.000 gen berbeda. Angka ini berasal dari 100.000 jenis protein yang ada di tubuh manusia dan 40.000 protein pengatur yang dibutuhkan untuk membuat protein lainnya, dan setiap gen menghasilkan protein spesifik.

Di akhir proyek pemetaan gen manusia, tahun 2003, para ilmuwan hanya menemukan 23.688 gen. Dari dogma Watson tampak jelas bahwa jumlah gen yang terpetakan tidak sejalan dengan jumlah protein yang ada dan membentuk struktur tubuh manusia.

Satu kemungkinan yang bisa terjadi hanyalah gen-gen ini bekerjasama dengan kombinasi tertentu, ada yang “nyala” (aktif) dan “padam” (tidak aktif) dalam waktu bersamaan di dalam sel. Sama halnya dengan lampu pohon natal yang menyala dan padam. Kombinasi “nyala” dan “padam” ini menentukan jenis protein yang dihasilkan.

Gen dikelompokkan berdasar stimulus yang mengaktifkan dan menonaktifkan mereka. Ada experience-dependent gen atau activity dependent gen yaitu gen yang aktif saat seseorang belajar hal baru, mengalami pengalaman baru, atau sedang dalam proses penyembuhan. Gen-gen ini menghasilkan sintesa protein dan senyawa kimiawi yang memberi perintah pada stem sel untuk berubah menjadi sel yang dibutuhkan untuk penyembuhan.

Behavioral-state-dependent gen menjadi aktif saat individu sedang mengalami kondisi emosi intens, stres, atau mengalami beragam kondisi kesadaran yang berbeda, termasuk saat kita sedang bermimpi. Gen-gen ini menghubungkan pikiran dan tubuh.

Bagaimana pikiran dan emosi sampai bisa memengaruhi gen dalam inti sel?

Saat kita berpikir dan merasakan emosi tertentu otak menghasilkan senyawa kimiawi yang disebut neuropeptida. Neuropeptida ini berfungsi sebagai pembawa pesan dan menyebar ke sel-sel di seluruh tubuh dan mencari reseptor atau docking station yang sesuai untuk dapat menyampaikan pesan kepada DNA dalam sel. Ini sama seperti kita memasukkan flashdisk ke USB-port di laptop dan selanjutnya mengunduh datanya ke komputer.

Melalui gen-gen inilah akhirnya dimengerti bagaimana kita dapat memengaruhi kesehatan tubuh melalui kondisi pikiran dan tubuh guna meningkatkan kesehatan, ketahanan fisik, dan kesembuhan.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa hampir 90% gen dipengaruhi oleh interaksi dengan keluarga, lingkungan, tempat kerja, teman, rekan kerja, stres, makanan, gaya hidup, praktik spiritual, kondisi emosi, dll.

Riset terkini di bidang genetika menemukan bahwa faktor di luar sel memengaruhi gen. Ini dinamakan epigenetics yang secara harafiah berarti “control above genetics” atau “kendali atas gen”. Faktor ini bisa yang berasal dari luar sel, masih di dalam tubuh, dan bisa berasal dari luar diri individu seperti interaksi dengan lingkunan, keluarga, teman, rekan kerja, stres, emosi, pikiran, polusi, makanan, gaya hidup, praktik spiritual, kondisi emosi, dll.

Epigenetics menyatakan bahwa nasib kita tidak sepenuhnya ditentukan oleh gen-gen kita dan perubahan kondisi kesadaran manusia dapat menghasilkan perubahan fisik, baik pada struktur dan fungsi di tubuh manusia.

Contoh nyata epigenetics adalah pada kembar identik dengan DNA yang persis sama. Jika mengacu pada pernyataan bahwa semua penyakit ditentukan oleh gen – genetic predeterminism, berarti kedua kembar ini punya ekspresi gen yang sama dan sakit yang sama.

Namun ternyata tidaklah demikian. Kembar identik bisa punya gen yang sama namun kondisi fisik atau kesehatan yang berbeda. Studi epigenetics memunculkan satu pertanyaan penting: Bagaimana bila kita tidak dapat mengubah lingkungan eksternal?

Bagaimana bila kita melakukan hal yang sama setiap hari, bertemu orang yang sama pada waktu yang sama setiap hari – hal-hal yang mengakibatkan pengalaman yang sama dan menghasilkan emosi yang sama yang memberi sinyal kepada gen-gen dengan cara yang sama?

Selama kita melihat atau menjalani hidup dengan kacamata masa lalu dan bereaksi pada kondisi yang kita alami menggunakan jaringan otak yang sama, merasakan emosi yang sama, maka senyawa kimiawi yang dihasilkan otak, neurotransmitter dan neuropeptida yang menyebar ke sel-sel tubuh, yang berperan sebagai pembawa pesan (messenger), adalah sama, dan kita mengirim sinyal yang sama pada gen-gen yang sama, dan membuat gen-gen ini aktif atan nonaktif dengan cara yang sama, dan mengakibatkan kondisi kita tetap sama.

Dengan kata lain, tubuh kita tinggal di masa lalu. Salah satu sebab utama dan paling kuat dari perubahan epigenetics adalah stres. Stres menyebabkan tubuh kehilangan keseimbangan (homeostasis). Ada tiga bentuk stres: stres fisik (trauma), stres kimiawi (racun), dan stres emosi (takut, khawatir, kewalahan, terluka, marah, benci, dll).

Setiap bentuk stres ini dapat mengakibatkan terjadinya 1.400 reaksi kimia dan menghasilkan lebih dari 30 hormon. Saat senyawa kimiawi/hormon ini terpicu, pikiran memengaruhi tubuh melalui sistem saraf otonom dan kita mengalami keterhubungan pikiran dan tubuh.

Ironisnya, merasakan atau mengalami stres bersifat adaptif, maksudnya semua makhluk hidup diprogram untuk mampu mengalami stres jangka pendek guna memobilisasi dan menggunakan semua sumber daya yang mereka miliki untuk mengatasi kondisi genting.

Saat Kita merasakan adanya ancaman di lingkungan, nyata atau hanya dalam pikiran, repson lawan atau lari (fight or flight) mengaktifkan sistem saraf simpatik (subsistem dari sistem saraf otonom), dan denyut jantung meningkat, tekanan darah naik, otot menegang, hormon seperti adrenalin dan kortisol membanjiri tubuh menyiapkan kita untuk menyelamatkan diri melalui mekanisme lawan atau lari.

Setelah melewati masa genting, misalnya berhasil lolos dari kejaran anjing liar, tubuh akan kembali ke kondisi normal, homeostasis, segera setelah kita merasa aman atau berada di tempat yang aman. Inilah cara tubuh kita dirancang. Tubuh bisa keluar dari kondisi homeostasis namun hanya untuk waktu yang singkat, hingga bahaya lewat.

Hal serupa terjadi di dunia modern. Saat sedang mengendarai mobil dan tiba-tiba ada pengemudi lain memotong jalur kita, untuk beberapa saat kita mungkin kaget dan marah. Ini bisa kita rasakan tidak hanya di perasaan namun juga terutama di tubuh Kita. Ini adalah respon stres. Beberapa saat setelah menyadari bahwa kita tidak sampai menabrak atau tertabrak, kita menjadi kembali rileks.

Respon stres juga bisa terjadi saat kita mengingat kejadian di masa lalu, yang berisi muatan emosi negatif intens namun belum terselesaikan, atau membayangkan kejadian di masa depan, yang juga menimbulkan emosi negatif.

Semua ini mengakibatkan kita hidup dalam mode survival yang nyata namun tidak nyata. Dan setiap kali kita merasakan emosi tertentu, otak menghasilkan neuropeptida yang akan menyebar ke sel-sel di seluruh tubuh dan memengaruhi gen-gen yang ada pada inti sel.

Bila emosi yang dirasakan adalah emosi negatif maka gen-gen ini akan terpengaruh secara negatif. Sebalilknya bila yang dirasakan adalah emosi positif maka gen-gen juga akan terpengaruh secara positif. Dalam mode fight-flight, energi kehidupan dimobilisasi dan digunakan oleh tubuh untuk melawan atau lari. Namun, bila tubuh tidak kembali ke homeostasis, karena kita terus merasa atau yakin ada bahaya, energi vital ini hilang tak berbekas.

Energi kehidupan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel atau penyembuhan terpakai untuk tujuan lain. Komunikasi antarsel terhambat. Semua sistem diri fokus hanya pada upaya keselamatan hidup secara fisik. Sistem imun dan endokrin melemah karena gen-gen pada wilayah yang berhubungan dengan fungsi-fungsi ini terganggu.

Ini sama seperti 98% sumberdaya yang ada pada satu negara semuanya digunakan untuk pertahanan, dan tidak lagi ada yang tersisa untuk membangun infrastruktur, sistem komunikasi, produksi makanan, kesehatan, pendidikan, dll.

Peneliti di Ohio State Universty Medical Center menemukan lebih dari 170 gen yang terpengaruh oleh stres, 100 di antaranya benar-benar “off” (termasuk banyak di antaranya adalah gen yang memfasilitasi pembentukan protein untuk penyembuhan). Para peniliti melaporkan bahwa luka pada pasien yang mengalami stres butuh waktu 40% lebih lama untuk sembuh. Stres yang kita alami berbeda dari masa ke masa.

Stres di masa sekarang bisa muncul dari banyak kondisi atau sebab seperti akibat tekanan pekerjaan, berusaha memenuhi target perusahaan, kondisi finansial yang kurang baik, cemas akan masa depan, kerja berlebih dan kurang istirahat, menentukan target pribadi terlalu tinggi sehingga diri merasa tidak berdaya, lingkungan atau suasan kerja yang tidak kondusif, masalah rumah tangga, dan berbagai masalah lainnya.

Stres juga lebih sering dialami seseorang akibat pola pikir yang salah. Kondisi, kejadian, atau situasi yang sebenarnya tidak perlu menjadi masalah, bisa menjadi masalah (besar) dan mengakibatkan stres karena sikap dan pola pikir yang salah. Dan saat stres berlangsung dalam waktu lama, yang kita sebut stres kronis, tubuh terpengaruh, tidak mampu beroperasi optimal, menjadi tidak sehat atau bahkan sakit.

Sehat Berkat Pikiran

Setiap bentuk pikiran yang kita pikirkan, baik yang menyenangkan atau tidak menyenangkan/stres, setiap emosi yang kita rasakan, dan setiap kejadian yang kita alami, dapat menjadi penyebab perubahan epigenetics dari sel-sel tubuh. Dengan menyadari keterhubungan pikiran, emosi, dan perubahan epigenetics kita dapat membalik proses yang membuat kita sakit.

Caranya, pertama adalah dengan menetralisir emosi-emosi negatif yang selama ini terus dirasakan dan menganggu hidup kita. Emosi negatif, yang adalah stres, harus dihilangkan secepatnya dan setuntasnya. Selanjutnya adalah dengan memrogram pikiran bawah sadar untuk mencapai kondisi tubuh sehat.

Kunci untuk memrogram pikiran bawah sadar untuk kesembuhan dan kesehatan adalah dengan relaksasi mental dan fisik yang dalam (deep trance) yang digabungkan dengan teknik sensualisasi yang tepat, dan merasakan emosi positif spesifik dan intens.

Penjelasan detil teknik mengolah pikiran, perasaan, dan tubuh untuk kesembuhan dan kesehatan akan sangat panjang bila dijelaskan di sini. Teknik ini yang saya ajarkan kepada salah satu klien penderita kanker tulang stadium empat guna melengkapi perawatan medis yang ia jalani. Sel-sel kankernya telah menyebar ke tulang rusuk dan tulang belakang L2 dan L5.

Dengan rutin mempraktikkan teknik penyembuhan berbasis sensualisasi dan emosi positif, tentunya dengan tetap menjalani perawatan medis, hasilnya klien dinyatakan sembuh total. Hasil PET Scan menunjukkan ia telah benar-benar bersih.

Dua penelitian penting tentang pengaruh relaksasi mental dan fisik yang dalam dan emosi positif yang memicu perubahan epigenetics untuk meningkatkan kesehatan diselenggarakan di Benson-Henry Institute for Mind Body Medicine di Massachusetts General Hospital di Boston.

Relaksasi mental dan fisik yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan perasaan tenang, damai, sangat menyenangkan, dan melihat pengaruhnya pada ekspresi gen. Dalam penelitian pertama, tahun 2008, dua puluh relawan mendapat pelatihan selama delapan minggu mempraktikan teknik yang berhubungan dengan pikiran dan tubuh (termasuk beberapa jenis meditasi, yoga, dan doa repetitif) yang bertujuan menghasilkan respon relaksasi, satu kondisi fisik yang sangat rileks dan nyaman.

Penelitian ini juga melibatkan sembilan belas meditator berpengalaman. Di akhir masa penelitian, meditator pemula menunjukkan perubahan pada 1.561 gen (874 mengalami upregulated untuk kesehatan dan 687 downregulated untuk stres), penurunan tekanan darah, denyut jantung dan napas. Sementara praktisi berpengalaman menunjukkan ekspresi 2.209 gen. Sebagian besar perubahan genetik ini meningkatkan respon tubuh terhadap stres psikologis kronis.

Penelitian kedua, tahun 2013, menemukan bahwa respon relaksasi mengakibatkan perubahan ekspresi gen setelah hanya satu sesi relaksasi mental dan fisik baik pada para pemula maupun praktisi berpengalaman. Gen yang mengalami upregulated antara lain yang memengaruhi fungsi kekebalan tubuh, metabolisme, energi, dan sekresi insulin, sementara gen yang mengalami downregulated antara lain yang behubungan dengan radang dan stres.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal penting berikut:

- Pikiran, otak, dan tubuh saling terhubung dan memengaruhi satu terhadap yang lain.

- Bentuk pikiran dan emosi yang kita pikirkan atau rasakan setiap hari membentuk siapa diri kita pada level seluler.

- Betuk pikiran dan emosi yang sama menghasilkan pengaruh yang sama pada sel-sel tubuh dan mengakibatkan kondisi tubuh yang sama, bisa sehat atau sakit.

- Saat memikirkan atau merasakan hal yang berbeda, kita mengubah pola listrik otak dan memulai pengaruh sistemik yang meliputi perubahan pada tegangan otot, ritme napas, dan aliran neurotransmitter dan hormon.

Baca Selengkapnya

Hidup Di Masa Kini, Kunci Transformasi Diri

27 Januari 2015

Perubahan atau transformasi diri bagi kebanyakan orang (sangat) sulit dilakukan. Kerja keras saja ternyata tidak cukup untuk berubah. Bila ditilik lebih dalam, perubahan diri memang tidak mudah karena ada dua faktor penting yang sangat berpengaruh, faktor pikiran dan fisik. Selama ini fokus lebih sering diarahkan pada pikiran. Ternyata, dari hasil penelitian diketahui bahwa sulitnya perubahan juga disebabkan oleh faktor fisik, tepatnya apa yang terjadi pada otak dan tubuh.

Selama ini kita tidak menyadari atau mungkin mengabaikan kenyataan bahwa pikiran dan tubuh bukan dua aspek diri yang terpisah namun sesungguhnya saling terhubung erat dan memengaruhi.

Pandangan dan keyakinan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua aspek yang terpisah, yang saling berdiri sendiri, sejatinya berawal dari era Descartes di abad ketujuh belas. Descartes, yang terkenal dengan pernyataan “Cogito ergo sum” atau “Aku berpikir maka aku ada”, adalah ilmuwan cemerlang dan berdasar penelitian mendalam yang ia lakukan menyimpulkan bahwa tubuh dan pikiran adalah dua entitas yang terpisah.

Descartes memutuskan untuk membatasi diri hanya memelajari anatomi tubuh manusia. Sedangkan segala hal yang berhubungan dengan pikiran dan jiwa menjadi wilayah yang diurus oleh lembaga keagamaan.

Para ilmuwan  membatasi diri hanya meneliti sesuatu yang dapat dilihat, dihitung, dan nyata. Sedangkan mereka yang berada di jalur keagamaan “mengangkat” pikiran dan emosi keluar dari tubuh dan memasukannya ke ranah spiritual. Sejak saat itulah studi mengenai pikiran dan tubuh menjadi dua bidang yang berbeda dan muncul dualisme.

Dari jalur timur, para guru agung spiritual, filsuf, dan juga pemikir besar sejak dulu selalu menyatakan dan mengajarkan bahwa pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan, tidak terpisah, saling memengaruhi.

Baru sekitar dua atau tiga puluh tahun terakhir ini, berdasar riset intensif yang dilakukan di barat, diketahui bahwa apa yang dikatakan dan diajarkan di timur adalah benar. Pikiran dan tubuh saling terhubung dan adalah satu kesatuan.

Lalu, bagaimana hubungan antara pikiran dan tubuh?

Setiap kali kita berpikir atau memikirkan sesuatu, sel otak yang disebut neuron menjadi aktif dan berkomunikasi dengan neuron lain dan otak menghasilkan neurotransmitter seperti serotonin, dopamin, asetilkolin, dll. Neuron yang aktif saat kita berpikir bukan hanya satu atau dua neuron tapi jumlahnya banyak. Neuron yang aktif bersama semakin lama menjadi semakin kuat dan membentuk kelompok sendiri yang disebut synaptic potentiation. Bila kita sering atau selalu memikirkan hal yang sama, melakukan hal yang sama, maka kelompok neuron ini menjadi semakin terhubung, permanen, dan mengendalikan pola pikir dan perilaku kita.

Setiap kali kita memikirkan satu bentuk pikiran, otak, selain menghasilkan neurotransmitter, juga menghasilkan senyawa kimiawi lain, protein yang disebut neuropeptida yang menyebar ke seluruh tubuh dan berfungsi sebagai pembawa pesan (messenger) ke sel-sel tubuh. Caranya adalah dengan mencari reseptor yang sesuai, atau docking station, pada berbagai sel sehingga ia dapat menyampaikan pesan kepada DNA dalam sel.

Tubuh kita, selanjutnya, bereaksi dengan merasakan perasaan tertentu. Otak mengetahui bahwa tubuh sedang merasakan perasaan tertentu dan menghasilkan bentuk pikiran lain yang persis sejalan dengan perasaan ini yang mana menghasilkan lebih banyak senyawa kimiawi yang sama yang membuat kita berpikir sejalan dengan yang kita rasakan.

Dengan demikian pikiran menghasilkan perasaan, dan selanjutnya perasaan menghasilkan pikiran yang sejalan atau sama dengan perasaan-perasaan ini. Ini adalah lingkaran yang pada kebanyakan orang bisa berlangsung bertahun-tahun. Dan karena tubuh berespon atas perasaan yang ia rasakan dengan cara menghasilkan bentuk pikiran yang sama yang menghasilkan perasaan yang sama, maka jelaslah bahwa berbagai bentuk pikiran yang muncul memengaruhi sel-sel otak sehingga membentuk rangkaian permanen.

Kendala untuk berubah, dari sisi pikiran, disebabkan karena 90% bentuk pikiran yang kita pikirkan sama dengan sehari sebelumnya dan 70% adalah bentuk pikiran yang negatif dan tidak bermanfaat.

Saat kita memikirkan hal yang sama, terus menerus, maka neuron-neuron menyala dengan cara yang sama, mereka memicu pelepasan senyawa kimiawi neurotransmitter dan neuropeptida yang sama di otak dan tubuh.

Lalu, bagaimana dengan tubuh? Karena perasaan adalah modus operandi tubuh, emosi yang konsisten dirasakan berdasar bentuk pikiran otomatis yang selalu kita pikirkan mengkondisikan tubuh untuk tidak hanya mengenal tapi juga merekam emosi-emosi ini sejalan dengan rangkaian tubuh dan pikiran yang terjadi secara tidak sadar. Hal ini berarti pikiran sadar sebenarnya tidak lagi memegang kendali. Tubuh secara tanpa disadari telah diprogram dan dikondisikan menjadi pikirannya sendiri.

Akhirnya, saat lingkaran pikiran dan perasaan dan kemudian perasaan dan pikiran berjalan cukup lama, tubuh kita merekam emosi-emosi yang semula berasal dari otak. Siklus ini menetap dan terpatri dengan sangat kuat dan mencipta kondisi diri yang kita kenal – satu kondisi berdasar informasi lama yang terus berputar. Emosi-emosi ini, yang sebenarnya tidak lebih dari sekedar rekaman kimiawi dari pengalaman masa lalu, mengendalikan pikiran kita dan terus dimainkan. Selama ini terus berlangsung, kita tinggal di masa lalu.

Bila proses ini terus berlanjut selama bertahun-tahun, kita berpikir, bertindak, dan merasakan perasaan yang sama setiap hari, tidak ada pikiran baru, tidak ada pilihan baru, tidak ada keputusan baru, tidak ada tindakan baru, tidak ada pengalaman baru, dan tidak ada perasaan baru yang tercipta, maka ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.

Pertama, karena sel konsisten menerima informasi yang sama, ia melakukan modifikasi dan membuat lebih banyak reseptor sehingga mampu menerima lebih banyak senyawa kimiawi yang berasal dari otak.

Dengan jumlah reseptor yang lebih banyak, saat otak tidak menghasilkan senyawa kimiawi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan reseptor, konsekuensinya perasaan kita akan menentukan pikiran kita – dengan kata lain tubuh mengingat emosi.

Kedua, sel menjadi kewalahan menerima pesan dari senyawa kimiawi yang dihasilkan oleh pikiran dan emosi tertentu dan akhirnya mengalami desensitisasi atau “terbiasa”/“kebal”. Dengan demikian sel-sel ini hanya akan bereaksi bila mendapat senyawa kimiawi yang berasal dari emosi yang lebih intens atau dosis yang lebih tinggi. Dengan kata lain, agar tubuh bisa terstimulasi atau diperbaiki butuh emosi yang lebih intens dari sebelumnya.

Kondisi ini yang mendorong orang untuk menjadi lebih pemarah, lebih merasa bersalah, lebih sedih, tidak bisa berhenti menceritakan pengalaman tertentu. Semua ini bertujuan, secara sadar maupun tidak sadar, untuk memenuhi kebutuhan senyawa kimiawi dengan dosis dan kekuatan yang cukup untuk menstimulasi sel. Atau kita mulai membayangkan satu kejadian tertentu yang mengerikan sehingga tubuh menghasilkan adrenalin. Saat tubuh tidak mendapat senyawa kimiawi yang ia butuhkan, tubuh akan memberi sinyal pada otak untuk menghasilkan lebih banyak senyawa kimiawi itu. Dengan demikian tubuh mengendalikan pikiran. Ini sangat mirip dengan adiksi, lebih tepatnya adiksi emosi.

Saat perasaan menjadi alat untuk berpikir, atau kita tidak bisa berpikir lebih besar dari perasaan kita, maka saat itu kita tunduk pada program yang terekam di tubuh. Pikiran kita adalah apa yang kitaa rasakan, dan perasaan kita adalah bagaimana kita berpikir. Apa yang kita alami adalah gabungan antara pikiran dan perasaan.

Kita terperangkap dalam lingkaran ini, tubuh kita yang bertindak atau menjadi pikiran bawah sadar, percaya bahwa ia hidup di pengalaman yang sama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan 365 hari setahun. Tubuh dan pikiran kita adalah satu, bersekutu untuk menjalani takdir yang ditentukan oleh program-program di pikiran bawah sadar.

Untuk mengubah ini dibutuhkan sesuatu yang lebih besar dan kuat daripada tubuh dan semua memori emosi, adiksi, dan kebiasaan-kebiasaan tak sadar. Dengan kata lain, tidak lagi ditentukan oleh tubuh yang bertindak sebagai pikiran.

Lingkaran repetisi dari berpikir dan merasa dan kemudian merasa dan berpikir adalah proses pengkondisian dari tubuh  yang dicipta pikiran sadar. Saat tubuh menjadi pikiran itulah yang kita sebut “kebiasaan”.

Lalu, bagaimana caranya berubah?

Langkah awal adalah dengan menyadari bahwa selama ini pikiran dan tubuh kita hidup di masa lalu, terhubung pada berbagai kejadian masa lalu melalui emosi yang kita rasakan atau alami. Langkah selanjutnya, memutuskan hidup seperti apa yang ingin kita jalani. Keputusan ini harus dilakukan secara sadar dan bijaksana.

Pikiran yang berbeda menghasilkan keputusan yang berbeda, berlanjut ke pilihan yang berbeda, tindakan dan perilaku berbeda, pengalaman berbeda, dan akhirnya menghasilkan perasaan atau emosi berbeda.

Perasaan atau emosi berbeda mengaktifkan jaringan neuron yang berbeda dan juga menghasilkan neuropeptida yang berbeda yang dikirim ke seluruh tubuh. Bila ini berlangsung dalam waktu yang lama, cepat atau lambat, jaringan neuron yang sebelumnya sangat aktif karena berdasar pikiran dan pengalaman lama menjadi lemah karena jarang digunakan dan akhirnya tidak lagi aktif, tercipta jaringan neuron baru di otak dan sel-sel tubuh mendapat kiriman senyawa kimiawi yang berbeda, dan akhirnya berubah.  

Untuk itu, sangat penting hidup di masa kini, sekarang. Saat kita hidup di masa sekarang, pikiran dan tubuh tidak lagi hidup di masa lalu dan tidak lagi terhubung dengan berbagai pengalaman di masa lalu. 

Baca Selengkapnya

Teknik Terapi Berbasis Pain dan Pleasure yang Tidak Efektif

18 Desember 2014

Di berbagai buku yang pernah saya baca dan seminar yang pernah saya ikuti selalu ada pernyataan bahwa secara psikologis manusia bergerak menjauhi pain (rasa sakit) dan mendekati pleasure (rasa senang). Pain dan pleasure adalah dua pengendali utama dalam hidup manusia. 

Dari hasil pembelajaran saya lebih lanjut, khususnya dalam konteks tekonologi pikiran, ternyata pemahaman ini ada pada dua tataran, pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Dua pikiran ini memaknai pain dan pleasure secara sangat berbeda. 

Pikiran sadar memaknai pain sebagai segala sesuatu yang menimbulkan rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun di hati (emosi). Misalnya, saat udara sedang panas, perut sedang lapar, tubuh lagi sakit, mengalami emosi-emosi negatif seperti marah, jengkel, terluka, benci, dll, maka ini semua dimaknai sebagai pain oleh pikiran sadar. 

Sebaliknya, semua yang menimbulkan atau menyebabkan rasa nyaman, senang, enak, bahagia, baik di aspek fisik maupun hati, oleh pikiran sadar dimaknai sebagai pleasure. 

Pemaknaan pain dan pleasure oleh pikiran bawah sadar sangat berbeda. Pain, menurut pikiran bawah sadar, adalah segala sesuatu yang ia tidak kenal. Sedangkan pleasure adalah segala sesuatu yang ia kenal. Pemaknaan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan rasa sakit atau senang secara fisik atau hati. 

Segala sesuatu yang dikenal oleh pikiran bawah sadar, walau itu sebenarnya menyakitkan, menurut pikiran sadar, adalah pleasure atau rasa senang. Contohnya, ada seorang wanita yang telah menjalin relasi selama bertahun-tahun dengan seorang pria yang kasar dan sering melakukan kekerasan fisik, mental, dan verbal. Namun ia tidak berani memutuskan relasi ini. Secara sadar ia tahu bahwa pasangannya sering menyakiti dirinya. Namun mengapa ia tidak berani memutuskan untuk mengakhiri relasi ini? 

Jawabannya sangat sederhana. Pikiran bawah sadarnya memaknai relasi ini sebagai pleasure karena ia (pikiran bawah sadar) kenal. Saat ditanya alasan mengapa ia tidak juga kunjung memutuskan hubungan yang oleh semua rekan atau keluarganya dinilai tidak baik dan merugikan dirinya, ia menjawab, “Ya kalau putus dengan yang ini saya bisa dapat pasangan yang lebih baik. Kalau dapat yang lebih buruk bagaimana?” 

Dan sesuai dengan hukum pikiran, pikiran bawah sadar mengendalikan 90% diri manusia sedangkan pikiran sadar hanya 10%. Jadi, apapun yang dipilih oleh pikiran bawah sadar selalu menang dan menentukan setiap pikiran, ucapan, dan tindakan seseorang. Dan salah satu fungsi pikiran bawah sadar adalah melindungi individu dari segala hal yang ia, pikiran bawah sadar, pikir, rasa persepsikan, bayangkan, atau yakin merugikan individu. 

Sekarang, kembali pada judul artikel ini. Pemahaman yang kurang tepat tentang pain dan pleasure ini ternyata telah menyusahkan banyak orang. Salah satunya klien yang dengan menggunakan pemahamannya yang salah, tentang pain dan pleasure, berusaha melakukan perubahan diri. 

Klien ini ingin mengubah kepercayaan (belief) yang menghambat kemajuan dirinya, khususnya di aspek finansial. Beberapa kepercayaan menghambat yang ingin ia ganti antara lain cari uang itu susah, uang adalah sumber masalah, uang adalah akar kejahatan, orang kaya itu jahat, uang bisa merusak moral seseorang. 

Saya menghargai keinginannya untuk berubah. Saya sangat menghargai upaya sungguh-sungguh yang ia lakukan untuk berubah. Dan yang membuat saya agak kaget sampai geleng-geleng kepala adalah teknik yang ia gunakan ternyata, secara teknis, salah. Itu sebabnya ia tetap tidak bisa berubah dan akhirnya minta jumpa saya. 

Apa yang ia lakukan? Ternyata ia menggunakan pemahaman pain dan pleasure di pikiran sadar untuk berubah. Ia menuliskan kepercayaan yang ingin ia ubah dan kepercayaan penggantinya. Misal, kepercayaan “uang adalah sumber masalah” diganti dengan “uang bisa membantu saya mencapai yang saya inginkan”. 

Klien ini juga melakukan pengecekan ke dalam dirinya untuk mengetahui seberapa yakin ia akan kebenaran kepercayaan menghambat ingin ia ganti. Ia menggunakan skala 1 sampai 10. Semakin tinggi angkanya berarti ia semakin yakin. Kepercayaan “uang adalah sumber masalah” mendapat angka sembilan. 

Selanjutnya, untuk mengubah kepercayaan ini, ia membaca dengan keras kalimat “uang adalah sumber masalah” dan diikuti dengan ia mencubit keras paha kanan sebelah dalam. Setelah itu ia mengelus paha kanan yang sakit ini dan mengucapkan “uang bisa membantu saya mencapai yang saya inginkan”. Ini ia lakukan sampai lima kali untuk setiap kepercayaan. Semakin tinggi angka pada setiap kepercayaan maka semakin keras ia melakukan cubitan. 

Saat saya tanya apa logika di balik tindakannya ini, ia menjawab bahwa manusia menghindari pain. Saat ia membaca kalimat kepercayaan negatif dan langsung mencubit keras pahanya maka pikiran akan melakukan asosiasi antara kepercayaan ini dengan pain/rasa sakit. Dan selanjutnya saat ia mengelus pahanya dan membacakan kepercayaan positif, pikiran juga akan melakukan asosiasi antara kepercayaan positif dengan pleasure/rasa senang.   

“Apakah Anda yakin teorinya sudah benar?” tanya saya. 

“Saya yakin benar Pak. Ini yang saya pelajari di berbagai buku dan pelatihan yang pernah saya ikuti,” jawabnya polos. 

“Lalu, bagaimana hasilnya?” tanya saya lagi. 

“Hasilnya tidak ada. Saya bingung apa ya yang salah?” jawabnya. 

“Apa yang Anda lakukan pasti ada hasilnya,” komentar saya dengan sangat yakin. 

“Tidak ada Pak. Buktinya saya tetap tidak berubah,” jawabnya. 

“Ada. Saya yakin tempat cubitan di paha Anda pasti jadi biru,” jawab saya sambil tertawa lepas. 

Demikianlah yang dialami klien ini. Ia tetap tidak berubah dan pahanya jadi biru akibat cubitan. Yang terjadi, pikiran bawah sadarnya justru membuat asosiasi antara rasa sakit fisik dengan upaya perubahan yang ia lakukan. Selanjutnya setiap kali ia berpikir untuk melakukan perubahan, langsung timbul perasaan tidak nyaman di hatinya. 

Yang klien ini tidak tahu, kepercayaan tersimpan di pikiran bawah sadar, bukan di pikiran sadar. Untuk itu ia perlu tahu sifat, cara kerja, dan hukum yang berlaku di pikiran sadar. Saya menjelaskan panjang lebar apa saja yang perlu ia ketahui agar bisa berubah dengan cepat dan mudah, tanpa harus menyakiti dirinya sendiri. 

Saya ingat beberapa tahu lalu seorang sahabat saya mencoba menyembuhkan anaknya yang berusia 6 tahun dari kebiasaan mengompol (enuresis). Yang ia lakukan adalah saat di pagi hari ia mendapati anaknya mengompol, ranjangnya basah, maka ia langsung menyirami si anak dengan air. 

Logika berpikir yang ia gunakan sama dengan klien di atas. Hasilnya? Anaknya tidak sembuh dari kebiasaan mengompol dan menjadi trauma dengan air.

Satu lagi, untuk melakukan perubahan, semakin besar upaya pikiran sadar maka semakin kecil respon pikiran bawah sadar. Artinya, perubahan yang dipaksakan dengan menggunakan cara atau teknik yang tidak sejalan dengan sifat dan cara kerja pikiran bawah sadar niscaya akan sia-sia dan justru bisa menimbulkan masalah baru. 

 

Baca Selengkapnya

Mindfulness vs Trance

17 November 2014

Bila kesadaran digambarkan sebagai satu garis kontinum maka mindfulnessdan trance berada di masing-masing ujung ekstrim. Mindfulness dan tranceadalah dua kondisi kesadaran yang berbeda dan selama ini tidak bisa disandingkan.

Istilah mindfulness, dalam bahasa Inggris, berasal dari kata Pali, sati, yang artinya kesadaran, perhatian, ingatan, pengenalan, kejernihan pikiran. Sedangkan trance, atau lengkapnya hypnotic trance, adalah kondisi kesadaran yang berbeda dengan kondisi sadar normal (altered state) yang dialami oleh seseorang melalui bimbingan terapis. Hypnotic trance sendiri terdiri atas banyak lapis kesadaran.

Perbedaan mendasar antara kondisi mindful dan trance terletak pada kesadaran yang aktif pada satu saat. Individu yang mindful sadar akan apa yang ia alami, rasakan, pikirkan, dan apa yang terjadi di sekelilingnya. Pikirannya benar-benar sadar. Sebaliknya kondisi tidak mindful seperti pikiran melayang ke masa lalu atau masa depan, mengunci pintu namun tidak ingat telah melakukannya, tidak ingat apakah sudah mematikan lampu atau belum, diajak bicara seseorang kemudian anda lupa apa yang baru dibicarakan, atau mengendarai mobil atau sepeda motor dan tanpa disadari telah tiba di tujuan, mencari kunci dan tidak menemukannya padahal kunci ada di depan mata, semua ini masuk dalam kategori trance.

Kondisi trance memang sangat berbeda dengan kondisi mindful. Mindfulness merujuk pada perhatian yang netral terhadap pengalaman yang dialami oleh individu dari waktu ke waktu (Kabat-Zinn, 1990/2005). Sedangkan Brown dan Ryan (2003) mendefiniskan mindfulness sebagai kondisi kesadaran penuh perhatian pada apa yang sedang terjadi di saat sekarang.

Dalam kondisi trance, individu melepas kendali atas fungsi kritis pikirannya, lepas dari fungsi pengawasan kekinian pengalaman, dan teregresi ke proses berpikir primer di mana terdapat kebebasan dan keleluasaan pikiran dalam memunculkan berbagai bentuk gambaran mental, daya khayal, menerima segala sesuatu yang sebelumnya tidak rasional menjadi rasional, dan individu mengalami fenomena trance logic (Orne, 1959).

Para praktisi mindfulness sangat menghindari kondisi tidak mindful yang dijelaskan di atas. Kondisi tidak mindful sangat tidak baik dan bisa merugikan.

Ditinjau dari perspektif terapi, baik mindfulness dan trance masing-masing memiliki manfaat terapeutik. Keduanya dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kebaikan individu tentunya dengan mengikuti prinsip yang berlaku untuk kedua kondisi kesadaran ini.

Dalam terapi berbasis mindfulness klien dilatih untuk hanya melakukan pengamatan, menyadari, mengetahui, dan menerima aliran pengalaman dari waktu ke waktu, membiarkan pengalaman itu bergulir apa adanya, tidak masuk dan terlibat di dalam pengalaman itu, tidak melakukan pembatasan pada bentuk pikiran, perasaan, dan perilaku tertentu. Klien tidak dibimbing oleh terapis, klien tidak menerima sugesti tertentu, klien tidak masuk ke dalam kejadian atau pengalaman dan memrosesnya. Intinya, klien menerima apapun yang ia rasakan atau alami dengan hanya menyadari pengalamannya.

Dengan demikian mindfulness mendorong pergeseran perhatian secara global, menggantikan perhatian yang sebelumnya melekat erat pada pengalaman, perasaan, bentuk pikiran tertentu.

Mindfulness, menurut Sri Paññavaro Mahathera, dapat dilatih melalui metode meditasi. Salah satunya dengan memerhatikan napas, atau dengan mengamati pengalaman dan bagaimana pengalaman itu berlangsung tanpa memberikan pemaknaan, menghakimi, menilai, memberi nama atau label, melibatkan emosi, atau berusaha dengan sesuatu cara mengubah pengalaman itu. Mindfulness juga dapat dipraktikkan dan dilatih secara informal dalam keseharian dengan mengembangkan kesadaran menerima pengalaman internal maupun eksternal. Dalam berlatih meditasi, para meditator berlatih untuk selalu sadar, menyadari apapun yang ia rasakan, alami, pikirkan, atau yang terjadi di sekitar.

Keefektifan dan manfaat mindfulness dalam konteks klinis terletak pada kemampuan kesadaran memutus response set yang mengendalikan diri individu. Response set adalah pola asosiasi terkondisi yang memfasilitasi pola perilaku, pola pikir, dan respon individu terhadap stimulus atau situasi tertentu. Response set dapat diaktifkan baik oleh stimuli internal maupun eksternal, seperti sugesti dan beragam sinyal yang berasal dari lingkungan.

Mindfulness dapat memutus respon perilaku otomatis yang selama ini menguasai diri seseorang, baik disadari atau tidak, dan membuat individu menjadi sadar akan pola perilaku maladaptif yang ia alami atau lakukan.

Pelatihan mindfulness pada klien akan memampukan klien menyadari dan menangkap pola perilaku yang relatif otomatis dan reaktif menjadi respon yang lebih terkendali (Teasdale, Segal, dan Williams, 2003).

Dengan lebih menggiatkan kesadaran tanpa kondisi, tidak menghakimi, mindfulness mengaktifkan proses perhatian pengawasan diri dan memberdayakan klien dalam membuat pilihan dan keputusan akan respon yang lebih adaptif dan konstruktif menggantikan respon maladaptif yang selama ini ia alami.

Kesadaran yang menjadi landasan mindfulness terhadap pengamatan pasang surut pengalaman mencipta fondasi terapi dalam mengatasi pengaruh pikiran yang sifatnya mengganggu, bias kognitif, dan berbagai pengkondisian yang terjadi di masa sebelumnya yang menjadi penyebab masalah emosi dan perilaku maladaptif.

Contohnya, individu yang sebelumnya akan marah besar saat mendapat kritik, dengan melatih mindfulness, ia dapat menyadari munculnya kemarahan, dapat mengamati kemarahan ini tanpa turut larut di dalamnya, dan selanjutnya mampu memilih opsi respon yang lebih konstruktif menggantikan respon marah (maladaptif).

Melatih mindfulness tentu butuh upaya serius dan berkelanjutan. Kita jarang bisa dalam kondisi mindful. Pikiran kita biasanya dipenuhi berbagai bentuk pikiran yang mengganggu atau sibuk memberi pendapat atas apa yang sedang terjadi pada satu saat.

Kendala yang sering dialami praktisi mindfulness dalam melatih diri adalah pengaruh emosi intens, yang tersimpan di pikiran bawah sadar, yang dengan sangat cepat menguasai diri individu sehingga yang terjadi bukannya mindfulness tapi mind-full-ness di mana pikiran (mind) dipenuhi berbagai bentuk pikiran (thought) yang sangat mengganggu karena adanya emosi intens yang menyertai bentuk-bentuk pikiran ini. 

Untuk bisa masuk kondisi trance maka seseorang justru tidak boleh dalam kondisi mindful atau awas dan waspada. Mindful adalah ranah kerja dan aktivitas pikiran sadar dan trance adalah ranah pikiran bawah sadar. Ini adalah dua pikiran yang sangat berbeda fungsi dan cara kerjanya.

Praktisi mindfulness yang ingin masuk trance perlu melepas, untuk sementara waktu, kondisi pikiran yang mindful dan mengikuti bimbingan terapis.

Saat mindful kendali pikiran atas fungsi kritis menjadi sangat kuat. Terapis sangat sulit atau tidak bisa membimbing klien menembus faktor kritis pikiran sadarnya yang menjadi syarat mutlak untuk masuk kondisi trance.

Itu sebabnya para meditator biasanya mengalami kesulitan untuk masuk kondisi trance dengan bimbingan terapis. Sebenarnya, saat mereka melakukan meditasi dan benar-benar fokus pada objek meditasi maka mereka juga masuk kondisitrance. Bedanya, saat mereka dibimbing oleh terapis, pikiran sadar mereka akan terus mengamati atau menyadari apapun yang diucapkan oleh terapis. Ini yang membuat mereka sulit masuk kondisi trance.

Trance adalah kondisi di mana fungsi kritis pikiran sadar berhasil ditembus dan individu masuk ke pikiran bawah sadar untuk menemukan kejadian, peristiwa, pengalaman traumatik, atau berbagai program pikiran (imprint) yang menjadi akar masalah gangguan perilaku. Selanjutnya, bisa dengan bantuan terapis atau melakukannya sendiri, dengan teknik yang sesuai, akar masalah ini diproses hingga terjadi resolusi trauma menyeluruh dan tuntas. Masalah dikatakan telah selesai diproses saat emosi yang sebelumnya melekat pada pengalaman itu berhasil dinetralisir dan terjadi pemaknaan baru.

Dari uraian di atas tampak dua perbedaan mendasar aplikasi mindfulness dan trance dalam mengatasi masalah. Dalam terapi berbasis mindfulness yang dikembangkan adalah kesadaran mengamati, menerima, tidak masuk ke dalam pengalaman, terjadi pemisahan tegas antara diri pengamat dan pengalaman (disosiasi). Dan untuk bisa melakukan disosasi dengan baik dibutuhkan tidak hanya kekuatan kehendak, kekuatan konsentrasi, namun juga energi psikis yang besar untuk terus mempertahankan kondisi disosiasi.

Apabila individu tidak kuat dalam mempertahankan kondisi disosiasi ini dan masuk atau tertarik masuk ke dalam pengalaman yang sedang diamati maka ia dapat mengalami trauma ulang dan ini akan semakin memperburuk kondisinya.

Saat individu dapat melakukan pengamatan, hanya mengamati saja, terhadap kejadian atau pengalaman maka kekuatan cengkeraman dan pengaruh kejadian itu pada diri individu menjadi sirna. Emosi yang tadinya sangat intens melekat pada pengalaman semakin lama menjadi semakin lemah hingga akhirnya runtuh dan pengalaman itu hanya menjadi satu bentuk memori yang netral.

Hal yang berbeda terjadi dalam pemanfaatan trance untuk (hipno)terapi. Saat seseorang dalam kondisi trance, saat fungsi kritis pikiran sadar untuk sementara waktu tidak bekerja, ia dapat leluasa masuk ke pikiran bawah sadar, mengakses dan mengalami kembali (asosiasi) berbagai pengalaman yang mengganggu hidupnya (revivifikasi) dan memroses pengalaman ini hingga tuntas. Namun, dari pengalaman klinis, sebaiknya untuk memroses kejadian dengan muatan emosi yang intens hanya dilakukan dengan bantuan terapis, jangan dilakukan sendiri karena seringkali saat emosi muncul dan sepenuhnya dirasakan oleh individu kendali atas proses yang sedang ia alami menjadi lemah dan dapat berpengaruh buruk pada dirinya.  

Mindfulness dan trance dapat digunakan, secara gabungan, untuk mengatasi respon maladaptif dan membangun respon adaptif yang baru. Kedua kondisi kesadaran ini berbeda namun memiliki kesamaan, dalam konteks terapi, yaitu keduanya dapat mengubah perhatian atau persepsi untuk mencapai goal terapeutik.

Baca Selengkapnya

Hipnoterapi Sebagai Terapi Alternatif Komplementer

10 November 2014

Terapi alternatif komplementer sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan adalah pengobatan nonkonvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik tapi belum diterima dalam kedokteran konvensional. 

Adapun dasar hukum pelayanan pengobatan komplementer-alternatif adalah sebagai berikut: 

·        UU no. 36 tahun 2009 pasal 59 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pasal 1 butir 16 Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Pasal 48 Pelayanan kesehatan tradisional.

Bab III Pasal 59 s/d 61 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisonal.

·       Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. : 1076/Menkes/SK/2003 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional

·       Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. : 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan.

·       Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, No. HK.03.05/I/199/2010 tentang pedoman kriteria penetepan metode pengobatan komplementer – alternatif yang dapat diintegrasikan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Jenis pelayanan pengobatan komplementer – alternatif berdasarkan Permenkes RI, Nomor : 1109/Menkes/Per/2007 adalah :

·  Intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions) : hipnoterapimediasi, penyembuhan spiritual, doa dan yoga.

·  Sistem pelayanan pengobatan alternatif : akupuntur, akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda.

·  Cara penyembuhan manual : chiropractice, healing touch, tuina, shiatsu, osteopati, pijat urut.

·  Pengobatan farmakologi dan biologi: jamu, herbal, gurah.

·  Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan : diet makro nutrient, mikro nutrient.

·  Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan : terapi ozon, hiperbarik, EECP.

Baca Selengkapnya

Dua Kesadaran : Ego Partisipan dan Ego Pengamat

10 November 2014

Setiap klien yang masuk kondisi hipnosis, sedalam apapun, tetap sadar sepenuhnya. Sadar dalam hal ini merujuk pada fungsi ego yang berbeda, yang tetap aktif pada satu saat. Hilgard (1977), Fromm dan Shor (1979) dan beberapa pakar lain menemukan keberadaan dua fungsi ego yang umum terjadi dalam hipnosis atau yang dialami oleh klien: (a) ego partisipan, yaitu yang melepas kendali atas fungsi kritis dan menyerahkannya pada terapis yang ia percaya atau kepada ego yang mengendalikan proses hipnosis yang dilakukan sendiri (self hypnosis), dan (b) ego pengamat, yang tetap mempertahankan fungsi kritis dan mengawasi/mengamati derajat keterlibatan ego partisipan. Nash (1991) merujuk fenomena ini sebagai pengalaman pemisahan (experienced separation) antara niat untuk tunduk dan kesadaran akan niat itu.

Klien dalam kondisi hipnosis tetap dalam kondisi sadar penuh dan tidak di bawah kendali terapis. Klien, karena tetap dalam keadaan sadar penuh, dapat menolak, melawan, atau mengabaikan sugesti yang merugikan diri mereka atau yang tidak sejalan dengan nilai-nilai hidup klien (Lynn, Rhue, dan Weekes, 1990).

Pengalaman hipnosis menjadi pengalaman yang aman dan membuat ego partisipan teregresi ke situasi yang jauh lebih awal karena keberadaan ego pengamat yang tetap memegang kendali penuh diri klien. Ego pengamat ini jugalah yang mampu menerjemahkan representasi simbolik dari gambar mental dan mimpi karena ia mampu mengakses informasi yang terpisah (split off) dari pengalaman sadar (Hilgard, 1973, 1974).

Dalam riset mereka terhadap mimpi hipnotik, dengan atau tanpa mengaktifkan ego pengamat sebagai penerjemah, Pinnel, Lynn, dan Pinnel (1998) menemukan bahwa pengaruh sugesti yang meminta keterlibatan ego pengamat menghasilkan materi yang berasal dari proses primer. Tanpa sugesti, ego pengamat masih berfungsi, namun ego partisipan lebih memiliki kebebasan untuk turut serta dalam kegiatan proses primer.

Ego pengamat, saat dipanggil untuk tampil dan aktif, berdiri di antara jembatan yang menghubungkan antara si pemimpi dan pemikir, antara fungsi ego-reseptif dan ego-aktif. Peneliti juga menemukan bahwa mimpi yang dilaporkan oleh subjek yang dihipnosis mengandung lebih banyak proses primer daripada mimpi yang yang dilaporkan oleh subjek yang tidak dihipnosis.

Freud (1900/1953a) mengidentifikasi dua mode fungsi mental yaitu fungsi proses primer, tipikal proses berpikir di masa kecil (anak-anak) dan yang kedua, fungsi proses sekunder, yang lebih matang, lebih dewasa.

Format utama proses berpikir primer adalah preverbal -  gambaran mental yang sangat aktif, cair, dan tampak mirip. Dalam mode ini, segala sesuatu bisa terjadi, bahkan yang tidak masuk akal sekalipun. Kemampuan berpikir kritis, logis, dan analitis menurun drastis saat seseorang dalam mode berpikir primer. Sebaliknya, proses berpikir sekunder sifatnya logis dan berurutan. Ia berfungsi lebih berdasar bahasa daripada gambar, dan berorientasi realita, diarahkan oleh fungsi kritis dan analitis dari ego.

Walau proses berpikir primer mendahului yang sekunder, dalam urutan perkembangan kognisi, proses ini tidak hilang dengan bertambahnya usia dan terus bertahan hingga usia dewasa (Brown dan Fromm, 1986) dan mengambil bentuk lain seperti kemampuan imajinasi dan karakteristik tidak logis seperti dalam aktivitas bermain, canda gurau, dan mimpi.

Terdapat berbagai kondisi kesadaran pada garis kontinum yang menghubungkan proses berpikir primer dan sekunder. Hal ini tampak saat kondisi kesadaran invididu bergeser dari fantasi ke realita, dari mimpi saat tidur ke kondisi sadar normal, dan dari kondisi tidak fokus, melamun, ke kondisi fokus penuh.

Bahkan di masa dewasa, kesukaan bermain dan kreativitas menggunakan regresi sebagai layanan ego, yang mana merupakan aspek yang diakses oleh hipnosis dalam proses penyembuhan. Kondisi ini disebut dengan regresi adaptif (Hartmann, 1936/1948). Kris (1934/1952) menggunakan istilah regresi sebagai layanan ego dan menjelaskan bagaimana para artis yang kreatif kembali ke mode berpikir primer yang dipenuhi dengan imajinasi dan daya khayal saat menghasilkan karya-karya mereka.

Dalam kondisi hipnosis ego melepas kendali atas fungsi kritis dan kembali ke proses berpikir primer, maka individu dapat membayangkan dan mengkonkritkan sesuatu yang abstrak seperti emosi yang sedang ia rasakan atau alami. Dalam mode berpikir primer inilah individu mampu mengalami fenomena yang oleh Orne (1959) disebut dengan trance logic

Baca Selengkapnya

Bukti Ilmiah Manfaat Hipnoterapi, Pendidikan Serta Kualifikasi Praktisi Hipnoterapi

6 November 2014

Pendahuluan

Akhir-akhir ini hipnoterapi mulai tumbuh subur di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Namun demikian pemahaman masyarakat mengenai hipnoterapi nampaknya masih salah kaprah. Salah satu contoh, sebagian masyarakat belum sepenuhnya menyadari bahwa hipnoterapi sangat berbeda dengan hipnosis panggung (stage hypnosis) yang biasa disaksikan dalam acara hiburan di TV. Sebagian masyarakat juga tidak tahu perbedaan arti dari hipnosis, hipnotis, hipnoterapi, dan hipnoterapis.

Hipnosis adalah ilmu psikoneurofisiologis yang secara saintifik mendasarkan pada perubahan frekuensi dan amplitude gelombang otak dari kondisi beta ke kondisi delta yang mengakibatkan meningkatnya fokus, konsentrasi, dan penerimaan terhadap pesan-pesan mental yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2012).

- Hipnotis adalah orang yang melakukan hipnosis.

- Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis.

- Hipnoterapis adalah orang yang melaksanakan hipnoterapi.

Praktik hipnoterapi dan program pendidikan praktisi hipnoterapi mulai banyak berkembang di Indonesia. Namun, sebagai bidang baru dalam ranah kesehatan, sejauh ini belum terdapat kesepakatan mengenai standar praktik maupun pendidikannya di Indonesia. Bagaimanapun juga, manfaat hipnoterapi sangat tergantung dari luas dan mendalamnya penguasaan seseorang mengenai teknik-teknik hipnoterapi yang efektif dan efisien yang didasari oleh riset-riset ilmiah.

Hipnoterapi sangat bermanfaat bagi klien bila dilakukan dengan teknik yang benar sesuai dengan prinsip kerja pikiran sadar dan bawah sadar, dan sebaliknya dapat membahayakan klien bila dilakukan tanpa penguasaan mendalam mengenai prinsip kerja pikiran sadar dan bawah sadar. Itulah sebabnya, profesi hipnoterapis perlu dikembangkan melalui standar pendidikan yang bukan hanya memelajari pengetahuan dan teknik hipnoterapi, melainkan sekaligus membentuk rasa tanggung jawab dan integritas peserta dalam melaksanakan fungsinya sebagai hipnoterapis. 

Bukti Ilmiah Manfaat Hipnoterapi

Hipnoterapi klinis adalah modalitas terapi yang telah diterima dan mendapat pengakuan dari American Psychological Association (APA) sebagai cabang ilmu psikologi di tahun 1960 dan merupakan divisi ke tiga puluh (Society of Psychological Hypnosis) dari lima puluh enam divisi dalam APA.

Di tahun 1955 British Medical Association menerbitkan laporan yang menyatakan bahwa hipnosis adalah alat bantu medis yang berharga. American Medical Association di tahun 1958 juga mengeluarkan pernyataan resmi bahwa hipnosis adalah modalitas terapi yang layak dan ilmiah. Sedangkan di tahun 1962 American Psychiatric Association juga mengakui hipnosis sebagai modalitas terapi yang layak untuk menangani beberapa masalah psikologis (Nash dan Barnier, 2008).

Barios (1970) telah melakukan survei berbagai literatur ilmiah dan membandingkan tingkat kesembuhan yang berhasil dicapai dengan modalitas terapi berbeda, dengan temuan sebagai berikut:  

- Psikoanalisa38% kesembuhan setelah dilakukan 600 sesi terapi.

 - Terapi perilaku (behavior therapy): 72% kesembuhan setelah dilakukan 22 sesi terapi.

- Hipnoterapi 93% kesembuhan setelah 6 sesi terapi.

Hipnoterapi klinis sesuai dengan pernyataan Barios (1970) lebih unggul dibandingkan psikonalisa dan terapi perilaku karena dapat langsung menembus faktor kritis pikiran sadar dan menjangkau pikiran bawah sadar di mana tersimpan berbagai program pikiran maupun emosi yang menjadi akar masalah yang berhubungan dengan atau yang menjadi penyebab berbagai gangguan emosi, perilaku, dan penyakit psikosomatis.

Pentingnya terapi dilakukan di pikiran bawah sadar karena pengaruh pikiran bawah sadar yang sangat besar terhadap hidup manusia. Hal ini sejalan denganhasil riset Azegedy-Maszak (2005) yang menyatakan bahwa pikiran bawah sadar bertanggungjawab, mempengaruhi, dan menentukan 95% hingga 99%proses aktivitas berpikir, sehingga pikiran bawah sadar menentukan hampir semua keputusan, tindakan, emosi, dan perilaku kita.

Hipnoterapi, menurut Tebbetts (1985), bekerja berdasar dua prinsip penting berikut. Pertama, sebagian besar perilaku maladaptif adalah hasil dari respon penyesuaian yang tidak tepat, yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan masa kecil, yang tidak sesuai dengan situasi atau kondisi saat dewasa. Kedua, sebagian besar penyakit bersifat psikosomatis dan dipilih secara tidak sadar, sebagai upaya untuk lari dari situasi yang dianggap sebagai situasi dengan tekanan mental yang berlebih, yang disebabkan oleh emosi destruktif seperti kemarahan, kebencian, dendam, perasaan bersalah, dan takut.

Berdasarkan berbagai literatur dan pengalaman praktik selama hampir sepuluh tahun, penulis menyimpulkan bahwa hubungan antara satu atau beberapa kejadian dengan muatan emosi intens dan simtom yang muncul dalam diri klien, adalah sebagai berikut (Gunawan, 2012):

- Simtom/masalah adalah bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar dengan muatan pesan yang spesifik.

- Simtom muncul atau tercipta melalui rangkaian proses yang selalu diawali dengan kejadian paling awal yang dinamakan akar masalah (ISE/initial sensitizing event) dan bisa diperkuat oleh beberapa kejadian lanjutan (SSE/subsequent sensitizing event).

- Simtom bertujuan melindungi individu dari hal-hal yang oleh pikiran bawah sadar dipersepsi merugikan atau membahayakan individu.

- Kekuatan dan intensitas simtom berbanding lurus dengan intensitas emosi yang mendasari munculnya simtom.

-Penyelesaian masalah efektif terjadi saat terjadi ketuntasan resolusi pada akar masalah.

-Pilihan simtom sepenuhnya bergantung pada dinamika pikiran bawah sadar individu.


Aplikasi hipnoterapi klinis oleh praktisi yang terlatih dan cakap mampu membantu klien mengatasi beragam masalah, antara lain meliputi aspek kesehatan, pekerjaan, karier, keuangan, rumah-tangga, relasional, sosial, spiritual, pengembangan diri dan lain-lain. Berikut ini adalah beberapa contoh aplikasi dan manfaat hipnoterapi klinis:

Tabel 1. Manfaat hipnoterapi untuk berbagai simtom

Masalah/Simtom

Manfaat

Rujukan

Amnesia psikogenik

Mengungkap memori yang terepresi akibat pengalaman traumatik

Crasilneck and Hall, 1975

Asma

Membantu meringankan simtom asma

Hackman, Stern, & Gershwin, 2000; Kohen, 1996; Ferreiro, 1993

Bayi sungsang

Membalik posisi bayi sungsang dalam kandungan

Mehl, 1994

Cemas

Mengurangi cemas

Barlow, 1996

Depresi

Membantu mengatasi depresi

Lynn, Kirsch, Barabasz, Cardena & Patterson, 2000

Dermatologi

Hipnosis membantu mengurangi/ menyembuhkan beragam masalah kulit.

Shenefelt, 2000; Ewin & Eimer, 2006; Goldstein, 2005

Enuresis

Mengurangi frekuensi dan menyembuhkan enuresis

Banerjee, Srivastav, & Palan, 1993; Gottsegen, 2003

 

Menyembuhkan fobia naik pesawat terbang

Kroger & Fezler, 1976

Fobia

Menyembuhkan fobia binatang seperti ular, anjing, tikus, dll

Lang et al., 1965; Daniels, 1976; Spiegel & Spiegel 1978; O’Brien, Cooley, Ciotti, & Henninger, 1981

 

Menyembuhkan fobia jarum suntik

Daniels, 1976

 

Menyembuhkan fobia tes atau ujian

Spies, 1979

Gangguan stres pascatrauma (PTSD)

Membantu mengatasi pengalaman disosiatif saat dan pascatrauma

Butler, Duran, Jasiukaitis, Koopman, & Spiegel, 1996; Christianson & Loftus, 1987

Imun Sistem

Meningkatkan jumlah sel T dan B

Ruyylasmith, et al., 1995

Irritable Bowel Syndrome

Mengurangi gangguan IBS

Gonsalkorale, Houghton, & Whorwell, 2000; Palsson, 2006; Palsson, Turner, Johnson, Burnett, & Whitehead, 2006; Whitehead 2006

Kelumpuhan histerikal

Menyembuhkan kelumpuhan histerikal

Bryan, 1961; Moskowitz,1964

Masalah Pencernaan

Memperbaiki kondisi/mengurangi sakit karena dispepsia fungsional

Calvert, Houghton, Cooper, Morris, & Whorwell, 2002

Merokok

Menghentikan kebiasaan merokok

Neufeld & Lynn, 1988

Migrain

Menyembuhkan migrain

Kukuruzovic, 2004

Perilaku obsesif kompulsif

Menghentikan dan menyembuhkan perilaku obsesif kompulsif

Watkins, 1971

 

Mengurangi kebutuhan obat penenang

Lang, Joyce, & Spiegal, 1996

Prosedur medis

Mengurangi/menghilangkan mual akibat kemoterapi

Meyers & Mark, 1995

 

Mengurangi kebutuhan obat analgesik dan lama masa inap di rumah sakit pascaoperasi.

Lang, Berotsh, & Fick, 2000

 

Mengurangi rasa sakit secara umum

Liossi & Hatura, 2003; Raz, 2005

 

Rasa sakit

Mengurangi rasa sakit temporomandibular disorder (TMD)

NIH/OAM, 1998

 

Mengurangi rasa sakit akibat luka bakar serius

Patterson, Adcock, & Bombardier, 1997; Ewin, 1986a, 1986b; Gilboa, Borensteim, Seidman, & Tsur, 1990

 

 

Serangan panik

Sama efektifnya seperti penggunaan obat untuk mengatasi serangan panik dan agorafobia

Gallo, 1999

 

Dalam jangka panjang lebih efektif daripada penggunaan obat-obatan

Barlow, 2000

Tics

Menyembuhkan tics

Dillenburger & Keenan, 2003

Trichotillomania (TTM)

Menyembuhkan TTM

Cohen, Barzilai, & Lahat, 1999; Rowen, 1981; Zalsman, Hermesh, & Sever, 2001

 

 Pendidikan dan Kualifikasi Praktisi Hipnoterapi

Untuk dapat mempraktikkan hipnoterapi klinis secara benar, efektif, efisien, dan berdasar kaidah ilmiah, setiap calon hipnoterapis harus menjalani pendidikan dan sertifikasi dengan standar tertentu.

Dua lembaga terkemuka yang menjadi acuan standar pelatihan dan sertifikasi hipnoterapi klinis dunia adalah American Council of Hypnotist Examiners (ACHE) dan American Society of Clinical Hypnosis (ASCH). Keanggotaan ACHE sifatnya terbuka dan bisa diikuti siapa saja yang telah mengikuti pendidikan dan tersertifikasi menurut standar ACHE. Sedangkan ASCH bersifat tertutup dan hanya bisa diikuti oleh dokter, psikiater, psikolog, konselor, atau perawat.

Untuk bisa mendapat sertifikasi hipnoterapi klinis menurut standar ASCH peserta harus menyandang gelar magister dalam disiplin ilmu yang berhubungan dengan kesehatan, memiliki ijin praktik resmi, mengikuti pelatihan yang diakreditasi oleh ASCH minimal 40 (empat puluh jam), mengikuti pelatihan/konsultasi individual selama minimal 20 jam dengan konsultan yang diakui oleh ASCH, dan menjalani praktik mandiri menggunakan hipnosis klinis selama dua tahun (Hammond, 1988).

ACHE menetapkan dua jenjang pendidikan dan sertifikasi dengan persyaratan berikut:

a. Certified Hypnotherapist (C.Ht)

    Peserta mengikuti pelatihan di lembaga pelatihan hipnoterapi yang terakreditasi oleh ACHE minimal selama 200 (dua ratus) jam tatap muka di kelas. Hipnoterapis juga harus lulus ujian tulis dan praktik sesuai standar ACHE.

b. Certified Clinical Hypnotherapist (CCH)

Peserta telah menyelesaikan pendidikan dan sertifikasi hipnoterapis dengan lama masa studi 300 (tiga ratus) jam tatap muka di kelas di lembaga hipnoterapi yang terakreditasi oleh ACHE.

Standar pendidikan dan sertifikasi yang ditetapkan dua lembaga terkemuka di atas, ACHE dan ASCH, tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia, terutama syarat minimal pendidikan S2 dan lama masa pendidikan selama 200 hingga 300 jam.

Idealnya, syarat memelajari hipnoterapi klinis adalah minimal sarjana strata satu dengan lama masa pendidikan 100 (seratus) jam untuk sertifikasi hipnoterapis (C.Ht) dan 200 (dua ratus) jam untuk hipnoterapis klinis (CCH). Setiap jenjang dilaksanakan selama sembilan hari yang terbagi menjadi tiga kali pertemuan masing-masing selama tiga hari penuh.

Penutup

Uraian di atas telah menjelaskan secara singkat pengertian dari hipnoterapi, bukti ilmiah manfaat hipnoterapi, pendidikan serta kualifikasi praktisi hipnoterapi. Khususnya mengenai pendidikan, selain menyajikan materi sesuai dengan kurikulum, untuk mengembangkan tanggung jawab dan integritas para peserta, penulis sebagai pelaksana pendidikan profesi hipnoterapis telah menegakkan standar praktik hipnoterapi. Peserta yang telah lulus dalam pendidikan mendapatkan sertifikat praktik yang berlaku selama satu tahun, sepanjang alumni yang bersangkutan melaksanakan praktik terapi sesuai protokol yang telah ditetapkan. Perpanjangan sertifikat praktik dilakukan tiap tahun dengan persyaratan tertentu untuk menjaga kesinambungan mutu layanan. Mutu layanan juga dirawat melalui ruang konsultasi yang disediakan melalui milis.

Harapan penulis, semoga penegakan standar yang tinggi seperti ini juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan praktisi hipnoterapi. Dengan standar yang memadai tentu saja hipnoterapi layak untuk diakui secara formal oleh pemerintah (melalui Depkes) dan diberikan tempat yang terhormat, sejajar dengan profesi kesehatan lainnya.

 

Catatan:

Saat presentasi di Jakarta beberapa waktu lalu, saya menjelaskan detil kurikulum pendidikan dan sertifikasi CHt (certified hypnotherapist) dan CCH (certified clinical hypnotherapist). Dalam artikel di atas sengaja tidak saya cantumkan karena akan sangat panjang uraiannya. Demikian juga daftar rujukan saya sertakan lengkap dalam artikel yang dibagikan saat presentasi namun tidak dalam artikel ini karena cukup banyak.

Baca Selengkapnya

Mengenal dan Memahami Faktor Kritis

12 Oktober 2014

Setiap bahasan tentang hipnosis dan hipnoterapi pasti juga membahas faktor kritis (critical factor). Faktor kritis adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan hipnosis. Hal ini sangat jelas tampak dalam definisi hipnosis menurut U.S. Dept. of Education, Human Services Division yang menyatakan bahwa hypnosis is the by-pass of the critical factor of the conscious mind followed by the establishment of acceptable selective thinking atau hipnosis adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar diikuti dengan diterimanya suatu pemikiran selektif (sugesti).

Berdasar definisi di atas tampak bahwa kondisi hipnosis hanya bisa terjadi bila memenuhi dua syarat. Pertama, terjadi penembusan faktor kritis dari pikiran sadar dan kedua, diterimanya suatu pemikiran selektif atau sugesti.

Apa sebenarnya faktor kritis yang dimaksud dalam definisi di atas?

Faktor kritis adalah filter mental terletak di antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar, menyimpan sistem kepercayaan atau segala hal yang kita pikir, tahu, yakin, atau rasa sebagai hal yang benar menurut kita.

Walau terletak di antara pikiran sadar dan bawah sadar, filter ini bekerja semata demi kebaikan dan keuntungan pikiran bawah sadar. Filter ini menjaga dan melindungi setiap data yang dianggap, diyakini, dipikirkan, dipersepsikan, diasumsikan, atau dirasa benar, yang telah tersimpan di pikiran bawah sadar, agar tidak mudah berubah atau diubah karena masuknya informasi baru yang berbeda dengan data sebelumnya.

Faktor kritis mulai terbentuk saat anak berusia tiga tahun karena pada usia inilah pikiran sadar baru mulai aktif. Seiring dengan pertumbuhannya, pikiran anak menyerap sangat banyak informasi dan digunakan sebagai acuan untuk berpikir atau bertindak.

Sayangnya, saat masih kecil, anak belum mampu berpikir kritis, belum memiliki data yang memadai sebagai pembanding, faktor kritis belum terbentuk, sehingga informasi apapun yang ia terima dari lingkungan terutama dari figur otoritas seperti orangtua dan guru diterima sebagai kebenaran.

Kekuatan faktor kritis dalam melakukan penyaringan informasi yang diijinkan masuk ke pikiran bawah sadar ditentukan oleh jumlah data yang sudah ada dan seberapa yakin dan percaya seseorang akan kebenaran data ini. Semakin banyak data, semakin yakin dan percaya, semakin kuat faktor kritis bekerja melakukan penyaringan informasi.

Saat satu bentuk pikiran atau data diterima atau dianggap benar menurut kita, karena sejalan dengan data yang telah ada di pikiran bawah sadar, atau sejalan dengan sistem kepercayaan kita, maka ia akan diijinkan melewati faktor kritis dan masuk ke pikiran bawah sadar. Di pikiran bawah sadar bentuk pikiran atau data ini mulai menstimulasi fungsi-fungsi pikiran bawah sadar yaitu imajinasi, memori, dan emosi.

Bila bentuk pikiran atau data yang akan masuk ternyata tidak sejalan atau bertentangan dengan data yang telah lebih dulu ada dan diterima sebagai kebenaran maka data ini akan ditolak sehingga tidak bisa melewati atau menembus faktor kritis.

Mengacu pada banyak kasus klinis yang telah ditangani, kami sampai pada satu simpulan penting mengenai fungsi faktor kritis. Data yang ditolak oleh faktor kritis tidak berarti serta merta hilang tak berbekas. Data ini tetap dapat masuk ke pikiran bawah sadar dan disimpan di segmen memori khusus untuk menyimpan berbagai data yang tidak digunakan.

Sedangkan bila data berhasil melewati faktor kritis maka ia akan disimpan di segmen memori yang khusus digunakan sebagai bagian dari sistem kepercayaan yang memengaruhi dan menentukan cara berpikir, sikap, perilaku, kebiasaan, dan hidup kita secara keseluruhan. Data baru ini akan semakin menguatkan kebenaran data lama.

Data yang tadinya dianggap salah, dan tidak berhasil melewati faktor kritis, suatu saat dapat berpindah ke memori tempat menyimpan data yang dianggap benar bila terjadi perubahan pada (sistem) kepercayaan yang menjadi dasar kerja faktor kritis. Perubahan ini bisa terjadi karena upaya yang dilakukan oleh klien sendiri atau dengan bantuan terapis.

Contoh konkritnya seperti ini. Ada banyak orang yang tidak suka atau merasa tidak nyaman dengan hipnosis atau hipnoterapi. Data lama di pikiran bawah sadar mereka mengatakan bahwa hipnosis adalah praktik supranatural, menggunakan jin atau makhluk halus, tidak ilmiah, dan menggunakan kuasa gelap. Dari mana mereka mendapat data ini? Dari informasi yang salah, pemberitaan di media massa, dan figur otoritas tertentu.

Apapun yang dilakukan untuk meyakinkan orang ini, dengan kata lain memberi sugesti atau data untuk menembus faktor kritisnya, tidak bisa. Data ini ditolak dengan sangat kuat oleh faktor kritis.

Namun, saat ia mulai membaca publikasi ilmiah tentang hipnosis dan hipnoterapi dan manfaatnya untuk peningkatan kualitas hidup manusia, dan mungkin juga ada figur otoritas lain yang memberi informasi bahwa hipnosis dan hipnoterapi sangat ilmiah dan bermanfaat, maka informasi ini mulai berhasil menembus faktor kritisnya. Hingga satu saat ia mendapat pemahaman yang benar.

Saat ia mendapat pemahaman yang benar, terjadi perubahan pada data di pikiran bawah sadarnya, apa yang ia tahu, rasa, dan yakini benar tentang hipnosis dan hipnoterapi juga berubah. Dan semua informasi yang tadinya tersimpan di segmen memori untuk data yang tidak digunakan kini berpindah ke segmen memori untuk data yang digunakan.

Kini, bila ada orang yang mengatakan bahwa hipnosis dan hipnoterapi adalah kuasa gelap, klenik, tidak ilmiah, dan sebagainya, data-data ini justru ditolak oleh faktor kritisnya. Ia akan bersikeras mengatakan hipnosis dan hipnoterapi sangatlah ilmiah, baik, bermanfaat, dan adalah salah satu cabang ilmu psikologi. Apalagi bila ia telah mengikuti pelatihan hipnosis dan hipnoterapi, berpraktik sebagai hipnoterapis klinis yang telah membantu banyak kliennya berubah, berhasil mengatasi masalah, dan menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sukses, damai, dan bahagia. Dalam kondisi ini tidak ada siapapun yang bisa mengubah keyakinannya mengenai manfaat hipnosis dan hipnoterapi.  

Inilah proses yang terjadi pada diri seorang yang membenci atau skeptis akan sesuatu dan akhirnya menjadi fanatik.

Dalam konteks hipnoterapi klinis, masalah yang berhubungan dengan emosi dan atau perilaku selalu disebabkan adanya satu atau beberapa pikiran dominan yang memengaruhi dan mengendalikan diri klien. Pikiran dominan ini masuk atau dimasukkan ke pikiran bawah sadar umumnya dalam rentang usia antara sejak lahir hingga sekitar tiga belas tahun.

Saat klien jumpa terapis, umumnya sudah berusia jauh di atas tiga belas tahun, data yang terekam di pikiran bawah sadar dan mengendalikan diri klien sulit diubah atau diganti karena dilindungi oleh faktor kritis.

Untuk dapat menembus faktor kritis dengan leluasa dan melakukan modifikasi data dibutuhkan kondisi hipnosis atau trance. Semakin dalam kondisi hipnosis yang berhasil dicapai klien, semakin lemah kekuatan faktor kritis. Dalam kondisi hipnosis yang (sangat) dalam, faktor kritis tidak bekerja sehingga terapis leluasa membantu klien melakukan restrukturisasi data di pikiran bawah sadar sesuai tujuan terapi.

Dengan membaca uraian di atas kini jelas bahwa perubahan sulit dilakukan karena, salah satunya adalah, kerja faktor kritis yang bertujuan melindungi konten pikiran bawah sadar. Mekanisme proteksi ini demi kebaikan individu. Kebaikan ini justru menjadi sumber masalah saat individu ingin berubah namun mengalami kendala juga oleh karena kerja faktor kritis. 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List