The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Fobia dan Cara Mengatasinya

11 Oktober 2017

Fobia, menurut American Psychiatric Association, adalah rasa takut irasional dan berlebih terhadap suatu objek atau situasi. Ada sangat banyak fobia. Seiring perkembangan jaman, muncul fobia-fobia baru seperti nomofobia atau ketakutan bila tidak memiliki akses atau kesempatan menggunakan telepon genggam. 

Fobia dikategorikan sebagai gangguan kecemasan karena rasa cemas adalah emosi paling dominan yang dirasakan penderitanya. Rasa cemas biasanya berlanjut menjadi rasa takut, yang bila tidak ditangani dengan benar bisa berubah menjadi serangan panik. Adapun simtom yang berhubungan dengan fobia meliputi antara lain sesak napas, mual, pusing, gemetar, detak jantung meningkat, pandangan menjadi kabur, tubuh menjadi dingin, atau berkeringat.

Penyebab Fobia

Saat bayi lahir, ia hanya punya dua rasa takut: takut suara keras dan takut jatuh. Dengan demikian, takut-takut lainya ia pelajari dari lingkungan dalam proses tumbuh kembangnya, termasuk fobia.

Setiap fobia pasti memiliki kejadian paling awal yang membuat anak menjadi sensitif terhadap sesuatu. Kejadian paling awal ini disebut ISE atau initial sensitizing event. Selanjutnya anak akan mengalami satu atau beberapa kejadian lanjutan yang disebut dengan SSE atau subsequent sensitizing event hingga akhirnya muncul simtom berupa rasa takut berlebih. Walau jarang terjadi, ISE bisa langsung menyebabkan terjadinya fobia dalam diri seseorang.

Dari pengalaman klinis dan temuan di ruang praktik, seringkali ISE adalah kejadian sepele. Saya pernah membantu seorang klien fobia kecoak. Saat dilakukan hipnoanalisis untuk mencari akar masalah, ditemukan kejadian paling awal yaitu saat ia berusia lima tahun, sedang mandi dan tiba-tiba ada seekor kecoak muncul, entah dari mana, dan membuatnya kaget. Usai kejadian ini ia belum takut kecoak. Klien mengalami beberapa kejadian lanjutan, yang berhubungan dengan kecoak, antara lain ia melihat ibunya panik dan berteriak saat ada kecoak, hingga akhirnya rasa takut ini menjadi sangat kuat dan menetap dalam dirinya, menjadi fobia.

Ada lagi klien, seorang pria, takut tikus. Kejadian paling awal adalah saat berusia tujuh tahun, malam hari, ia berjalan di kebun dan tidak sengaja menginjak tikus. Tikusnya menjerit kesakitan, klien kaget karena merasa ada yang kenyal di telapak kakinya. Sejak saat itu ia fobia tikus.

Ada juga anak yang belajar menjadi fobia dari orang tua, terutama ibunya. Saat anak berulang kali melihat perilaku ibunya yang merasa takut berlebih pada sesuatu, ia belajar dan menyerap perilaku ibu ke dalam dirinya. Dengan pengulangan, akhirnya fobia ibu juga tercipta dalam diri si anak. Rasa takut berlebih bisa terhadap serangga, binatang, orang, benda, situasi, atau apa saja.

Cara Kerja Fobia

Prinsip kerja fobia sebenarnya sederhana. Fobia adalah program pikiran yang tercipta melalui suatu proses. Ia selalu menautkan dan terdiri dari dua hal, pemicu dan emosi. Bila, misalnya, seseorang fobia jarum suntik, maka jarum suntik adalah pemicu yang akan mengaktifkan emosi tertentu, misalnya cemas, takut, atau ngeri. Pemicu ini bisa berupa sesuatu yang nyata, klien melihat langsung jarum suntik, atau hanya dalam imajinasi, gambar, atau mendengar cerita tentang jarum suntik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber masalah terletak bukan pada objek atau situasi, sebagai pemicu, tapi lebih pada emosi yang terpicu. Bila variabel emosi dapat dihilangkan maka tidak ada lagi yang bisa dipicu, klien sembuh. Pemicu ini bisa berupa gambar, suara, rasa, bau, sensasi fisik, atau perasaan yang terhubung dengan rasa takut atau cemas intens.

Mengatasi Fobia

Ada banyak cara mengatasi fobia. Dari semua cara ini, bila ditelisik lebih mendalam, sejatinya hanya terbagi menjadi dua kategori: memroses akar masalah dan tanpa memroses akar masalah.

Bila fobia diatasi dengan cara pertama, memroses akar masalah, maka terapis akan melakukan hipnoanalisis guna mencari dan menemukan kejadian paling awal penyebab fobia.

Saya pernah membantu klien fobia ular. Ternyata akar masalahnya sangat sederhana. Klien, saat berusia 5 tahun, sedang jalan di kebun, dan tiba-tiba jumpa bangkai ular. Klien kaget luar biasa. Saya memroses kejadian ini dan setelahnya klien langsung sembuh dari fobianya.

Ada banyak varian teknik mengatasi fobia tanpa memroses akar masalah atau sering disebut content free. Yang paling umum adalah desensitisasi. Bila fobia tercipta karena proses sensitisasi maka desentisasi membalik proses ini sehingga, diharapkan, fobia bisa hilang.

Dalam proses desensitisasi, klien dipertemukan dengan objek yang membuatnya takut, misal ulat. Ulat ini diletakkan agak jauh dari klien. Klien tentu merasa tidak nyaman. Namun, setelah beberapa saat, rasa tidak nyaman ini akan berkurang dan terus berkurang hingga ke level yang bisa ditolerir atau dikendalikan. Setelahnya, ulat ini semakin didekatkan pada klien. Proses ini terus diulangi dengan semakin mendekatkan objek pada klien hingga akhirnya objek berada di depan klien namun klien tidak lagi merasa takut.

Cara lain adalah flooding. Bila desensitisasi berusaha menghilangkan rasa takut secara gradual, flooding adalah kebalikannya. Klien langsung dihadapkan pada objek yang ia takuti. Bila fobia ulat, klien akan dihadapkan dengan banyak ulat. Bila fobia ketinggian, klien akan langsung dibawa ke tempat tinggi. Logika di balik teknik ini adalah saat klien dihadapkan pada objek fobia, emosi yang muncul dalam dirinya akan sangat intens. Namun emosi ini tidak bisa terus meningkat atau bertahan selamanya, karena sampai pada satu titik, energi yang dibutuhkan sebagai bahan bakar emosi akan habis. Dan pada saat inilah intensitas emosi mulai menurun hingga akhirnya dapat dikendalikan.

Fobia juga bisa diatasi dengan sugesti, baik melalui proses swahipnosis atau heterohipnosis. Ada beberapa variabel yang perlu diperhatikan agar sugesti bisa bekerja maksimal mengatasi fobia. Pertama, skrip sugesti disusun menggunakan struktur yang benar agar dapat memberi pengaruh maksimal ke pikiran bawah sadar klien. Ada empat belas aturan yang perlu diindahkan saat menyusun skrip sugesti. Kedua, kedalaman hipnosis yang dicapai klien harus sesuai untuk kebutuhan teknik ini, minimal profound somnambulism, lebih dalam lebih baik. Ketiga, cara terapis menyampaikan sugesti pada klien. Keempat, intensitas emosi karena fobia, dan tingkat resistensi dalam diri klien terhadap sugesti.

Terapi kognitif dan perilaku (CBT) juga masuk kategori ini. Demikian pula EFT (Emotional Freedom Technique) dan beberapa teknik terapi berbasis NLP seperti mengubah strategi, mengubah submodalitas, swish pattern, collapsing anchor, dan fast phobica cure.

Fobia akan sangat mudah diatasi bila bersifat lapis tunggal, bukan lapis banyak. Yang dimaksud lapis tunggal adalah bila rasa takut pada objek atau situasi tertentu bukan berupa terusan dari objek atau situasi lain. Bila fobia bersifat lapis banyak maka harus dilakukan penelusuran di pikiran bawah sadar untuk menemukan akar masalah agar bisa tuntas. 

Baca Selengkapnya

Saya Tidak Bisa Dihipnosis, Kata Siapa?

19 September 2017

“Pak Adi, saya ini sudah ke tujuh hipnoterapis. Tidak ada satupun yang bisa hipnotis saya. Semua hipnoterapis bilang saya tipe orang yang tidak bisa dihipnotis,” demikian kalimat pembuka yang diucapkan seorang klien saat duduk di ruang praktik saya, sambil menunjukkan wajah agak frustrasi.

“Pertama, saya mau luruskan penggunaan istilah. Yang benar adalah “dihipnosis”, bukan “dihipnotis”. Hipnosis adalah ilmu, sedangkan hipnotis adalah orang yang melakukan hipnosis. Hipnoterapis adalah orang yang melakukan terapi dengan bantuan atau dalam kondisi hipnosis,” jelas saya pada klien.

Cukup sering saya jumpa klien yang telah “shopping” ke beberapa terapis dan dikatakan tidak bisa dihipnosis. Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan rekan sejawat, hipnoterapis AWGI, mereka juga kerap jumpa klien yang oleh hipnoterapis lain dinyatakan tidak bisa dihipnosis. Apakah benar ada orang tidak bisa dihipnosis?

Untuk mengenali individu yang bisa mendapat manfaat maksimal dari hipnosis, dan untuk menyelidiki karakteristik kondisi hipnosis, selama lebih dari lima puluh tahun, para pakar dan peneliti telah mengembangkan sejumlah skala untuk mengukur dan menentukan responsiveness atau kesigapan (kecepatan dalam merespon) hipnotik. Namun, manfaat skala-skala ini, dalam konteks klinis, masih terus menjadi perdebatan hingga saat ini, khususnya aplikasi klinis dari hipnosis (hipnoterapi).

Pengukuran kesigapan hipnotik yang dinyatakan dalam skala-skala ini, dibuat terutama berdasar pada sejumlah perilaku konsisten yang muncul dalam kondisi hipnosis, seperti katalepsi, mata tertutup, amnesia, dan respon pascahipnosis. Tes yang diberikan pada individu juga terus mengalami revisi oleh pencipta skala ini, dan tes-tes ini masih terus dikembangkan. Skala-skala yang paling umum digunakan para peneliti dan klinisi, secara singkat, adalah sebagai berikut:

Stanford Hypnotic Susceptibility Scale (SHSS), Forms A, B, and C (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1959, 1962). Formulir A telah menjadi standar bagi skala-skala respon hipnotik lainnya. Formulir A dan B, berisi 12 tes, terutama menguji respon fungsi motorik. Formulir C mencakup lebih banyak tes guna mengukur fantasi dan distorsi kognisi.

Harvard Group Scale of Hypnotic Susceptibility, Form A (Shor dan Orne, 1962). Skala ini adalah adaptasi dari SHSS, Formulir A, dan digunakan untuk group.

Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility (SPS), Forms I and II (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1963). Penggunaan skala ini butuh waktu lebih lama daripada SHS, namun skala-skala ini lebih baik dalam mengenali individu dengan suseptibilitas tinggi. SPS juga menyediakan informasi diagnostik lebih banyak bagi peneliti yang ingin memilih individu dengan suseptibilitas moderat hingga tinggi dengan talenta hipnotik spesifik.

Stanford Hypnotic Clinical Scales for Adults (Hilgard dan Hilgard, 1975) dan Stanford Hypnotic Clinical Scale for Children (Morgan dan Hilgard, 1979). Skala-skala ini telah distandarisasi mengikuti SHSS dan dipersingkat untuk penggunaan klinis. Skala dewasa berisi lima item dan butuh waktu dua puluh menit pelaksanaan. Skala anak digunakan untuk anak usia enam hingga enam belas tahun.

Children’s Hypnotic Susceptibility Scale (London, 1963). Skala ini mengukur respon anak terhadap sugesti hipnotik. Ada juga formulir, untuk anak usia 5 – 12 tahun, dan 13-16 tahun. Skala ini terdiri atas 22 item dan butuh waktu sekitar satu jam untuk pelaksanaannya.

Barber Suggestibility Scale (Barber dan Glass, 1962). Skala ini digunakan, terutama, untuk tujuan eksperimen, meliputi delapan uji sugesti terstandarisasi dan butuh 10-12 menit pelaksanaan.

Creative Imagination Scale (Wilson dan Barber, 1978). Skala ini dirancang untuk memehuni kebutuhan akan uji sugesti permisif terstandarisasi untuk keperluan eksperimen dan klinis. Ia dapat diberikan kepada perorangan atau kelompok, dengan atau tanpa didahului induksi hipnotik, dan butuh waktu pelaksanaan sekitar 23 menit.

Hypnotic Induction Profile (HI) (Spiegel, 1973). HIP adalah skala pertama yang dirancang secara khusus untuk tujuan klinis. Ia berfungsi baik sebagai induksi maupun uji sugestibilitas yang dapat dilaksanakan hanya dalam waktu 5-10 menit.

Alman-Wexler Indirect Hypnotic Susceptibility Scale (Wexler, 1982). Tes ini berdasar pada Harvard Group Scale, namun tidak seperti skala-skala Harvard yang menggunakan bahasa langsung (direct), skala Alman-Wexler menggunakan bahasa tidak langsung (indirect).

Beberapa peneliti berusaha mencari korelasi antara kesigapan hipnotik dan variabel usia, jenis kelamin, dan kepribadian. Ternyata, tidak terdapat perbedaan signifikan antara pria dan wanita dalam hal kesigapan hipnotik (Weitzenhoffer dan Weitzenhoffer, 1958). London dan Cooper (1969) menemukan anak-anak lebih responsif dibandingkan orang dewasa. Sementara studi yang dilakukan Hilgard dan Morgan (1973) pada 1.232 subjek menemukan kesigapan hipnotik mencapai puncak pada usia antara 9 – 12 tahun dan menurun secara gradual setelahnya. Studi yang dilakukan di laboratorum menunjukkan korelasi positif antara kesigapan hipnotik dan kemampuan menghilangkan persepsi sakit melalui hipnosis (Evans dan Paul, 1970; Hilgard dan Hilgard, 1975). Peneliti lain menemukan korelasi positif antara kesigapan hipnotik dan keberhasilan terapi (Frankel, dkk., 1979; Mott, 1979).

Skala suseptibilitas hipnotik, dengan demikian, dipandang sebagai prediktor keberhasilan dalam seting klinis. Namun, banyak klinisi mempertanyakan asumsi ini. Salah satu poin penting yang masih menjadi perdebatan yaitu konsep hipnotisabilitas, mudah atau sulit seseorang masuk kondisi hipnosis, adalah sifat bawaan sejak lahir, bervariasi antara satu orang dengan yang lain, namun sifatnya konstan dalam diri seseorang (Morgan, Johnson, dan Hilgard, 1974). Implikasi serius dari konsep ini yaitu bila klien “tidak bisa dihipnosis” maka dengan sendirinya hipnosis tidak boleh digunakan untuk menerapi klien ini.

Walaupun benar bahwa individu dengan skor tinggi pada skala terstandarisasi adalah kandidat baik untuk penanganan menggunakan hipnosis, orang-orang yang mendapat skor rendah tidak seharusnya diabaikan. Beberapa pakar memandang hipnosis sebagai keterampilan (skill), bukan sifat bawaan (trait). Dari penelitian diketahui bahwa banyak metode bisa diterapkan untuk memodifikasi keterampilan ini, seperti meniru, instruksi, dan berlatih (Kinney dan Sachs, 1974; Diamond, 1977; Reilley, Perisher, Corona, dan Dobrovolsky, 1980). Gardner dan Olness (1981, p.25) menyatakan bahwa kemampuan seseorang mengalami hipnosis kini lebih tepat disebut sebagai “kemampuan merespon”, bukan “suseptibilitas”. Ini berimplikasi pada pemahaman bahwa sejatinya untuk mengalami kondisi hipnosis, kendali sepenuhnya ada dalam diri klien, bukan terapis. Bila kemampuan merespon dapat ditingkatkan, dan dari pengalaman kami, hipnoterapis AWGI, sangat bisa dan mudah dilakukan, maka tidak ada klien yang boleh disebut sebagai “tidak bisa dihipnosis” karena semua orang sebenarnya bisa masuk kondisi hipnosis, asalkan ia menginginkan dan mengijinkan.

Dalam seting eksperimen, penggunaan pengukuran respon hipnotik terstandar memberi informasi berharga perihal karakteristik hipnosis dan mengidentifikasi subjek yang paling responsif. Namun, satu hal yang sangat perlu diperhatikan, skor rendah pada skala hipnotisalibiltas tidak serta merta berarti hipnosis tidak efektif sebagai modalitas terapi.

Respon hipnotik juga sangat dipengaruhi oleh motivasi. Perry, Gelfand, dan Marcovith (1979) menemukan motivasi pasien adalah faktor paling penting yang menentukan keberhasilan intervensi menggunakan hipnosis untuk mengurangi kebiasaan merokok. Faktor motivasi klien untuk sembuh dari suatu masalah, situasi, atau kondisi yang mengganggu hidupnya tidak bisa muncul dengan kuat dalam eksperimen yang dilakukan di laboratorium universitas yang menggunakan mahasiswa sebagai subjek penelitian. Sudah tentu ini sangat memengaruhi skor yang dicapai saat menjalani tes terstandarisasi. Dan seperti yang dinyatakan oleh Crasilneck dan Hall (1975), “The only final reliable test of hypnotizability is a clinical attempt at induction, repeated several times (Satu-satunya tes akhir hipnotisabilitas yang dapat diandalkan adalah upaya induksi klinis yang dilakukan beberapa kali.)”

Tapi, mengapa hingga kini masih ada hipnoterapis suka melabel klien mereka “tidak bisa dihipnosis”?

Ada beberapa kemungkinan penyebab klien “tidak bisa dihipnosis”. Pertama, bila terapis berpegang pada hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium, seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa individu terbagi menjadi mudah, moderat, sulit, sangat sulit atau tidak bisa dihipnosis, maka pemahaman ini dengan sendirinya mewujud dalam praktik yang ia lakukan. Saat ia mengalami kendala menuntun kliennya masuk kondisi hipnosis, alih-alih mencari tahu mengapa ini terjadi atau menyesuaikan teknik induksi mengikuti karakter klien, terapis dengan cepat menyimpulkan bahwa kliennya masuk kategori tidak bisa dihipnosis. Dengan demikian, upaya induksi tidak perlu dilanjutkan. Kedua, terapis tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk melakukan hipnosis. Ini berkaitan erat dengan pendidikan hipnoterapi yang pernah ia jalani, dan akumulasi pengalaman yang telah ia kumpulkan melalui praktik hipnoterapi berkelanjutan. Ketiga, teknik induksi yang terapis gunakan tidak tepat. Keempat, dan ini adalah alasan paling utama klien tidak bisa masuk kondisi hipnosis, adalah klien tidak percaya, tidak nyaman dengan terapis, dan ada rasa takut, baik pada terapis atau pada proses hipnosis/hipnoterapi yang akan ia jalani. 

Baca Selengkapnya

Hipnosis dan Fenomenanya

3 September 2017

Hipnosis berkembang pesat di Indonesia sejak tahun 2004. Seiring perjalanan waktu, pemahaman awam tentang hipnosis saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan waktu dulu. Melalui edukasi konsisten yang dilakukan para pengajar hipnosis dan hipnoterapi, baik melalui pelatihan maupun berbagai publikasi di media sosial, kini banyak warga masyarakat telah memiliki pemahaman benar tentang hipnosis. Walau demikian, dalam beberapa kali perjumpaan dengan klien di ruang praktik dan juga saat seminar publik, masih juga ada mispersepsi tentang hipnosis.

Memahami hipnosis diawali dengan definisi yang benar. Saat berselancar di dunia maya, saya menemukan hal menarik terkait definisi hipnosis. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online atau daring (https://kbbi.web.id) mendefinisikan hipnosis sebagai keadaan seperti tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.

Kesalahan terkandung dalam definisi ini sangat mengganggu. Pertama, hipnosis adalah keadaan seperti tidur. Yang benar, hipnosis bukan tidur. Dalam kondisi hipnosis subjek tetap sadar sepenuhnya. Kedua, orang yang dihipnosis berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugesti. Yang benar, operator tidak bisa mengendalikan pikiran subjek. Ketiga, sujek menjadi tidak sadar sama sekali. Yang benar, dalam kondisi hipnosis, sedalam apapun, subjek tetap sadar.

Hal kurang tepat lainnya adalah penggunaan istilah “hipnotis”. Banyak yang menyamakan “hipnosis” dan “hipnotis”. Ini tampak dalam kalimat “Terapis menghipnotis klien” atau “Saya tidak takut dihipnotis.” Hipnosis adalah ilmunya. Sementara hipnotis adalah orang yang mempraktikkan atau melakukan hipnosis. Hipnoterapis adalah orang yang melakukan terapi di dalam atau dengan bantuan kondisi hipnosis. Ini sama seperti penggunaan kata “piano” dan “pianis”. Piano adalah alat musiknya, sementara pianis adalah orang yang memainkan piano. Dengan demikian, kalimat yang benar adalah “Terapis menghipnosis klien” atau “Saya tidak takut dihipnosis.”

Pemahaman lama, yang masih dipegang terapis tradisional, hipnosis adalah kondisi yang diciptakan atau dilakukan terapis pada klien. Dengan demikian, orang yang dihipnosis adalah objek, bukan subjek. Yang benar, terapis tidak bisa melakukan tanpa ijin klien. Semua hipnosis pada dasarnya adalah swahipnosis (self-hypnosis). Artinya, kemampuan untuk masuk dan keluar kondisi hipnosis adalah kemampuan bawaan (innate), ada dalam diri individu, tanpa perlu dipelajari secara khusus. Hipnoterapis modern paham benar bahwa setiap orang pasti bisa masuk kondisi hipnosis. Tugas terapis adalah menuntun klien, atas persetujuannya secara sadar, mengakses dan menggunakan kemampuan bawaan yang klien miliki, beralih dari kondisi sadar normal dan masuk ke kondisi kesadaran khusus, yang disebut kondisi hipnosis, atau dikenal dengan Altered State of Consciusness (ASC).

Pemahaman salah lainnya, hipnosis mampu menyembuhkan masalah klien. Dalam konteks klinis, hipnosis per se, tidak terapeutik. Kroger (1977) dengan tegas menyatakan pasien tidak diobati dengan hipnosis, tetapi dalam hipnosis. Hipnosis hanya satu kondisi kesadaran. Dalam kondisi inilah dilakukan “kerja” untuk membantu klien mengatasi masalahnya. Ini sama seperti pasien yang akan menjalani operasi. Sebelum dokter melakukan pembedahan, pasien perlu dibius terlebih dahulu. Bius, sendiri, tidak menyembuhkan pasien. Apa yang dokter lakukan atau kerjakan saat pasien dalam kondisi terbius inilah yang menyembuhkan pasien.

Suatu kondisi dapat dinyatakan sebagai hipnosis, menurut Hilgard (1992), bila terdapat tujuh ciri berikut: berkurangnya fungsi perencanaan, atensi dan inatensi menjadi selektif, produksi fantasi dan memori visual masa lalu meningkat, terdapat toleransi pada distorsi realitas dan berkurangnya pengecekan realita, terjadi peningkatan sugestibilitas, terjadi penerimaan atas alih peran, dan terdapat, paling tidak sedikit, amnesia atas atau yang terjadi selama dalam kondisi hipnosis.

Kondisi hipnosis bersifat tidak statis, tunggal, melainkan dinamis, mulai dari hipnosis sangat dangkal, dangkal, menengah, dalam, hingga sangat dalam. Hipnosis, bila digabungkan dengan psikoterapi, dapat membantu klien memahami penyebab simtom, dan mengurangi atau menghilangkan simtom ini. Dalam kondisi hipnosis, dengan bimbingan terapis, klien dapat dilatih untuk mengalami kembali pengalaman traumatik, memodifikasi gambaran mental yang mengganggu, memulai pola atau pertahanan diri baru yang lebih sehat dan fungsional (Pratt, Wood, dan Alman, 1988).

Hipnoterapis modern memahami hipnosis sebagai proses belajar di satu level baru, bukan sekedar kepatuhan pada sugesti yang dirumuskan oleh terapis. Pembelajaran yang terjadi di pikiran bawah sadar, tentunya difasilitasi oleh terapis, inilah yang memberdayakan klien mengatasi masalahnya. Tanggung jawab terhadap proses dan hasil terapi ada pada klien dan terapis. Terapi adalah upaya bersama dari dua individu, klien dan terapis, satu yang sadar ada masalah, ingin masalahnya diatasi, bersedia bekerjasama penuh, dan satu lagi memiliki kecakapan untuk membantu mengatasi masalah. Keduanya bekerjasama secara harmonis sebagai tim untuk mencapai tujuan yang sama, seperti sopir dan navigator. Klien adalah sopir dan terapis adalah navigator.

Pemahaman tentang kerja hipnoterapi bisa didapatkan dari dua jalur: eksperimen yang dilakukan di laboratorium dan ruang praktik. Celah di antara keduanya tampak semakin melebar dalam pengertian konsep yang bermanfaat untuk satu, tidak selalu bisa diterapkan di satunya. Contohnya, dari hasil eksperimen di laboratorium, subjek terbagi menjadi tiga kategori: sangat mudah, moderat, sulit dihipnosis. Sementara dalam konteks praktik klinis, siapa saja yang butuh mengatasi masalah pasti bisa dengan mudah masuk kondisi hipnosis.

Berdasar pengalaman klinis, saya menemukan bahwa klien masuk ke kedalaman hipnosis, sedalam yang ia butuhkan untuk mengatasi masalahnya, dan bertahan sedangkal mungkin untuk melindungi dirinya dari hal-hal yang ia rasa atau yakini merugikan dirinya.

Dalam konteks klinis, masing-masing terapis juga memiliki acuannya sendiri untuk mengukur kedalaman hipnosis yang dicapai kliennya. Ada yang menggunakan fenomena fisik, sementara lainnya lebih mengutamakan fenomena mental.

Fenomena Hipnotik

Orang yang pernah mengalami kondisi hipnosis biasanya mengalami dan mengenali fenomema sangat berbeda dengan yang mereka alami dalam kondisi sadar normal, namun sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata. Beberapa perilaku terjadi dalam kondisi hipnosis, walau tidak selalu. Beberapa fenomena rutin terjadi di hipnosis dangkal, dan beberapa sering terjadi di hipnosis menengah dan dalam. Berikut ini adalah beberapa fenomena yang terjadi dalam kondisi hipnosis:

Inhibisi Berhenti (Hipnosis dangkal hingga menengah). Inhibisi, yang dalam kondisi sadar normal ada dan bekerja dalam diri individu, dalam kondisi hipnosis memudar sehingga memungkinkan ekspresi emosi, pikiran, dan pendapat mengenai suatu perilaku menjadi lebih mudah.

Perubahan dalam kapasitas aktivitas sadar (Hipnosis dangkal hingga dalam). Dalam kondisi hipnosis, orang menjadi enggan memulai tindakan yang biasanya dengan mudha mereka lakukan. Contohnya, saat telepon berbunyi, biasanya orang akan langsung berdiri dan menjawab telpon ini. Dalam kondisi hipnosis, orang yang sama, mendengar telpon berdering namun kurang berminat atau enggan menjawabnya karena perhatiannya sedang terfokus ke hal lain.

Sugestibilitas (Hipnosis dangkal hingga dalam). Kemampuan berespon positif pada ide-ide, baik diberikan oleh diri sendiri atau orang lain meningkat. Sugestibilitas adalah sine qua non hipnosis. Meningkatnya penerimaan sugesti berhubungan dengan menurunnya aktivitas ego kritis dan meningkatnya aktivitas ego pengamat, membuat pikiran bawah sadar lebih mudah diakses.

Keterpisahan (Hipnosis dangkal hingga dalam). Fenomena ini adalah proses di mana persepsi akan posisi tubuh dalam ruang dan waktu mengalami perubahan. Orang bisa melihat dirinya sendiri dari satu tempat. Fenomena keterpisahan ini dapat digunakan untuk manajemen rasa sakit.

Disosiasi (Hipnosis menengah hingga dalam). Kemampuan melihat diri sendiri dari jarak aman dan menyenangkan, yang sebenarnya terutama adalah fenomena kognitif, secara teoritis memungkinkan proses disosiasi emosi terjadi. Dalam kondisi hipnosis, seseorang dapat mengalami kembali pengalaman negatif, dengan cara disosiasi, dan tidak merasakan emosi negatif atau rasa sakit.

Katalepsi (Hipnosis menengah hingga dalam). Katalepsi adalah satu bentuk kekakuan otot yang membuat tungkai dapat bertahan pada satu posisi tertentu dalam waktu lama.

Regresi usia (Hipnosis menengah hingga dalam). Mengalami kembali pengalaman masa lalu dapat terjadi dalam dua bentuk: revivifikasi komplit dan parsial. Tiap bentuk revivifikasi memiliki cara kerja dan manfaatnya sendiri.

Amnesia (Hipnosis menengah hingga dalam). Amnesia spontan bisa terjadi secara alamiah dalam kondisi hipnosis menengah hingga dalam.

Aktivitas Ideomotor (Hipnosis menengah hingga dalam). Aktivitas gerakan otot dan sistem saraf, di luar kendali pikiran sadar, sebagai respon terhadap bentuk pikiran dan emosi, digunakan terapis untuk bekomunikasi dengan pikiran bawah sadar.

Halusinasi, positif dan negatif (Hipnosis menengah hingga dalam). Halusinasi meliputi kelima indra. Halusinasi positif artinya sesuatu yang riil ada namun dipersepsikan menjadi tidak ada. Sementara halusinasi negatif artinya sesuatu yang riil tidak ada dipersepsikan menjadi ada.

Hipermnesia (Hipnosis menengah hingga dalam). Hipermnesia adalah peningkatan daya ingat secara signifikan sehingga mampu mengingat hal-hal yang tidak dapat diingat dalam kondisi sadar normal.

Distorsi waktu (Hipnosis menengah hingga dalam). Dalam kondisi hipnosis, waktu dapat berjalan sangat lambat atau sangat cepat, dan batas antara masa lalu, sekarang, dan masa depan menjadi kabur.

Fenomena-femonena ini tidak eksklusif terjadi dalam kondisi hipnosis. Banyak juga yang terjadi di kondisi kesadaran lainnya, misal amensia. Amnesia bisa terjadi saat kita jumpa seseorang yang kita kenal dan mengalami kesulitan mengingat namanya. Demikian pula dengan halusinasi positif. Fatamorgana adalah satu bentuk halusinasi positif yang terjadi di gurun pasir.  

Baca Selengkapnya

Hati-Hati dengan Sesat Pikir

20 Agustus 2017

Beberapa waktu lalu saya jumpa klien yang ingin dibantu mengatasi masalah emosi. Klien ini, sebut saja sebagai Budi, usia 37 tahun, marah pada sahabatnya, Arto. Budi telah dua tahun lebih memendam perasaan marah, kecewa, sakit hati, dendam, dan merasa dikhianati oleh Arto.  

Sesuai protokol terapi, saya mulai dengan memelajari intake form yang telah Budi isi dan lanjut dengan wawancara mendalam. Saya perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi, secara lebih detil, sehingga Budi marah besar pada Arto. Informasi ini dibutuhkan sebagai landasan penting dalam proses menentukan strategi yang akan saya gunakan untuk melakukan terapi di kedalaman kondisi hipnosis.

Ternyata, Budi marah karena secara tidak sengaja membaca status yang diunggah Arto di media sosial. Menurut Budi, Arto ini sengaja menulis status di media sosial dengan tujuan menyindir dan mempermalukan dirinya.

Saya tanya Budi apakah di status itu secara eksplisit ada menyebut namanya, Budi menjawab tidak. Tapi Budi yakin dan menyimpulkan bahwa yang dimaksud Arto adalah dirinya. Saya tanya lagi mengapa ia tidak melakukan tabayun atau klarifikasi dengan bertanya langsung pada Arto untuk meluruskan hal ini, Budi menjawab tidak perlu. Budi yakin sekali bahwa Arto memang bertujuan negatif pada dirinya. Dengan terus memelihara emosi-emosi negatif dalam dirinya, di beberapa kesempatan jumpa sahabat lainnya dan juga di media sosial, Budi menjelekkan Arto.

Pembaca, saya tidak akan masuk ke hal-hal teknis terkait terapi yang saya lakukan pada Budi. Dalam artikel ini saya fokus mengulas apa yang sebenarnya terjadi di pikiran Budi agar Anda tidak mengalami atau terjebak oleh sesat pikir yang Budi alami.

Dari Mana Munculnya Emosi?

Setiap kejadian, apapun itu, sejatinya netral, tidak baik dan tidak pula buruk. Kejadian ini menjadi “sesuatu” karena kita tidak melihatnya apa adanya, tapi apa kitanya. Begitu kita mengalami suatu kejadian, dengan sangat cepat kita memberi makna pada kejadian ini. Makna yang diberikan, hampir selalu terjadi secara spontan, bisa positif, netral, atau negatif. Makna selanjutnya memproduksi emosi. Mengikuti makna, muncul emosi positif, netral, atau negatif, yang selanjutnya mendorong respon perilaku. Emosi yang tercipta memiliki bobot atau intensitas yang menjadi sumber kekuatannya. Semakin tinggi intensitasnya, semakin kuat ia mengendalikan respon perilaku individu. Emosi adalah pendorong perilaku. Dengan demikian, bisa muncul tiga respon, positif, netral, atau negatif. Dari uraian di atas, dipahami bahwa setelah suatu kejadian diberi makna, muncul emosi yang memberi warna padanya.

Pengalaman hidup ini selanjutnya disimpan dalam bentuk memori di pikiran bawah sadar, tentu disertai emosi yang lekat padanya. Dan setiap kali Budi jumpa Arto atau mengingat “perbuatan tercela” Arto, yang terjadi adalah Budi secara sengaja memilih satu memori di pikiran bawah sadar dan “mengangkat” memori ini ke pikiran sadar sehingga menjadi aktif kembali.  

Saat memori ini aktif, emosi yang lekat padanya juga menjadi aktif. Bila ini sering diulang, dan inilah yang dilakukan oleh Budi, ia mengalami “dipermalukan” berulang yang “dilakukan” Arto. Kejadian riil hanya terjadi sekali. Namun kejadian yang sama terus berulang di pikiran Budi. Setiap kali memori ini aktif, emosi juga aktif, dan semakin lama menjadi semakin kuat. Budi semakin benci Arto.

Mengingat kembali kejadian bermuatan emosi negatif, dalam konteks hipnoterapi klinis, kami sebut sebagai pseudo-SSE. Pseudo-SSE terjadi karena salah satu atau gabungan dari hal berikut ini:

1. Individu secara sengaja dan berkala terus mengingat kejadian bermuatan emosi     (kejadian traumatik).

2. Individu secara sengaja dan berkala menceritakan kejadian bermuatan emosi (kejadian traumatik).

3. Individu secara sengaja atau tidak, terpicu memori traumatiknya. Ini bisa dengan kembali ke tempat yang mirip atau sama dengan tempat kejadian pengalaman traumatik, atau kembali jumpa pelaku.

4. Kilas balik ingatan (flashback) yang dilakukan pikiran bawah sadar sebagai bentuk komunikasi ke pikiran sadar. 

Semakin Budi mengingat-ingat kembali perbuatan Arto, semakin besar api emosi dalam dirinya, semakin ia benci sahabatnya. Dan respon perilaku Budi terhadap Arto tentu mengikuti emosi ini. 

Dari Mana Sumber Pemaknaan?

Manusia adalah makhluk kebiasaan dan tidak mau repot. Pemaknaan spontan, dilakukan pikiran bawah sadar menggunakan data yang ada di dalam memori. Data ini berasal dari akumulasi pengalaman hidup sejak lahir hingga masa kini.

Lebih jelasnya begini. Saat anak lahir, ia bisa dibilang tidak punya data di memori pikiran bawah sadarnya. Orang tua dan lingkungan, melalui interaksi dengan anak, memberi input data secara berkelanjutan. Data ini digunakan anak sebagai acuan guna menerjemahkan beragam kejadian yang ia alami, mana yang baik, mana yang buruk. Contohnya, wajah tersenyum umumnya mengadung makna ramah, senang. Wajah merengut artinya tidak senang atau marah.

Begitu data ini masuk ke pikiran bawah sadar, ia digunakan sebagai acuan untuk memberi makna pada kejadian yang mirip atau serupa di masa depan. Inilah yang dimaksud dengan kebiasaan dan tidak mau repot. Jadi, bila suatu saat nanti kita jumpa orang tersenyum maka secara otomatis kita memberi makna orang ini ramah, senang.

Sebenarnya kita tidak secara sadar memberi makna pada satu kejadian. Kita hanya menggunakan referensi yang tersimpan di pikiran bawah sadar dan melakukan “copy-paste” makna pada kejadian sebelumnya yang sama atau mirip dengan kejadian yang kita alami saat ini.

Yang menjadi masalah utama, referensi yang digunakan sebagai acuan untuk memberi makna ternyata salah atau tidak valid. Dan ini tidak kita sadari karena sudah menjadi ranah pikiran bawah sadar, kecuali secara sadar kita melakukan penelaahan secara cermat dan hati-hati pada proses pemaknaan. Jarang ada orang yang mau repot melakukan hal ini. Faktor lain, saat emosi sudah aktif, ia mencengkeram, membelenggu, dan melumpuhkan nalar.

Solusi

Sebenarnya, untuk menyelesaikan masalah Budi ini sangatlah mudah. Tidak butuh bantuan hipnoterapis atau konselor. Budi hanya perlu menghubungi Arto, bertanya dengan pikiran dan hati tenang, terbuka. Berdasar jawaban Arto, baru Budi memberi makna. Tapi, solusi ini sejak dari awal ditolak oleh Budi.

Dalam proses terapi, saya menelisik pikiran bawah sadar Budi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dari mana sumber pemaknaan ini, dan mengapa Budi begitu kuat menolak saat diminta melakukan klarifikasi.

Singkat cerita, ternyata Budi sebenarnya iri dan terancam dengan kemajuan bisnis Arto. Budi marah mengetahui bisnis Arto berkembang begitu pesat dan merasa cemas, lebih tepatnya takut kalah bersaing. Budi takut pangsa pasar bisnisnya akan tergerus oleh Arto.

Saya jelaskan pada pikiran bawah sadar Budi bahwa semua ketakutan ini tidak beralasan. Segmen pasar bisnis Budi dan Arto berbeda. Budi bermain di kelas menengah bawah sementara Arto bermain di kelas premium. Segmen pasar ini tidak mungkin bersatu. Dengan demikian, sebenarnya bisnis Budi sangat aman.

Saya mendapat resistensi dari pikiran bawah sadar Budi saat mendengar penjelasan ini. Saya lakukan penelusuran lebih lanjut untuk menemukan dari mana sumber rasa takut ini pertama kali muncul dalam hidup Budi. Setelah ditemukan, dilakukan resolusi pada kejadian paling awal, dan selesai.

Pikiran bawah sadar Budi akhirnya bisa menyadari kekeliruannya, menerima apa yang saya jelaskan. Dan saya sarankan, usai terapi, Budi menghubungi Arto dan bertanya langsung. Bila memang Budi salah paham, sebaiknya ia minta maaf dengan jujur dan tulus pada Arto.

Dan inilah yang Budi lakukan. Ternyata yang Arto tulis itu sama sekali bukan membicarakan Budi, tapi apa yang ia alami secara pribadi. Budi akhirnya minta maaf pada Arto. Relasi kedua sahabat ini kembali terjalin dengan baik. 

Baca Selengkapnya

Mengatasi Hambatan dalam Proses Induksi Hipnosis

17 Juli 2017

Hipnoterapi, sesuai namanya, terdiri dari dua komponen, hipnosis dan terapi. Dengan demikian, definisi hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Sebelum melakukan hipnoterapi, terapis perlu menuntun klien masuk kondisi hipnosis, mencapai kedalaman tertentu sesuai kebutuhan dan teknik intervensi yang digunakan, melalui proses yang dinamakan induksi.

Dengan demikian, sangatlah penting bagi hipnoterapis untuk mampu secara sadar dan cermat mengenali kondisi hipnosis yang dialami klien. Hal ini sejalan dengan Fromm (1987) yang menyatakan bahwa identifikasi kondisi hipnosis fundamental bagi praktik klinis dan juga untuk penelitian mengenai sifat-sifat hipnosis.

Menjadi hipnoterapis melibatkan integrasi kreatif kompetensi psikologis terapis dan kemampuan membangun dan mempertahankan relasi dengan setiap klien, setelah membangun motivasi, kerjasama, dan komitmen (Gilligan, 1987; Kane dan Olness, 2004), dan menemukan kombinasi yang tepat untuk membuka hati dan pikiran klien melalui konteks komunikasi efektif (Zeig, 2006).

Hipnoterapi sejatinya adalah upaya bersama, klien dan terapis, dalam menyiapkan pikiran bawah sadar menjalani dan menghasilkan perubahan terapeutik bagi klien. Dengan pemahaman ini, hipnoterapi butuh keseimbangan dan perlu dibangun atas dasar rasa saling percaya dan persetujuan secara sadar antara klien dan terapis. Hal ini medakan hipnoterapi dengan hipnosis yang dipraktikkan atau digunakan untuk pertunjukan hiburan (Hassan, 2012), atau oleh interogator CIA (Central Intelligence Agency) (Ross, 2007).

Proses induksi tidak selamanya berlangsung mulus atau mudah. Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya hambatan terdapat pada terapis dan klien. Hipnoterapis yang bersikap sangat kaku, otoriter, bersifat memaksa, atau tidak peka akan kondisi dan kebutuhan klien pasti akan mengalami masalah selama induksi (Fromm, 1980; Lazar dan Dempster, 1984; Yapko, 2013). Bila klien merasa dihargai, diundang untuk berpartisipasi aktif dalam proses permisif, kolaboratif, dan didasari penghormatan pada tujuan yang hendak ia capai, maka kecil kemungkinan muncul kendala dalam proses induksi (Fromm, 1980). Saat hipnoterapis bersikat lentur, penuh perhatian, tulus, terbuka, dan fokus pada kebaikan klien maka sangat tinggi peluang keberhasilan induksi dan terapi (Gunawan, 2010).

Sebelum membahas tentang faktor-faktor yang menyebabkan kendala dalam proses induksi, ada baiknya dibahas terlebih dahulu tentang hipnosis dan fenomenanya.

Hipnosis Sebagai Fenomena Alamiah

Trance atau kondisi hipnosis adalah fenomena alamiah dan sekaligus kondisi kesadaran khusus pada garis kontinum. Sebagai fenomena alamiah, trance dialami oleh setiap individu. Sebagai kondisi kesadaran khusus, trance adalah kondisi kesadaran dengan rentang lepas dari kondisi sadar normal hingga kondisi hipnosis sangat dalam. Setiap individu, dengan demikian, memiliki kemampuan alamiah untuk masuk dan keluar kondisi hipnosis. Berdasar pemahaman ini, saat melakukan induksi, yang sesungguhnya terjadi adalah terapis hanya membimbing klien mengakses dan menggunakan kemampuan alamiah yang telah dimiliki klien dan selanjutnya klien masuk kondisi hipnosis sendiri, bukan karena terapis melakukan sesuatu padanya (Gunawan, 2014).

Walau trance adalah fenomena alamiah, untuk bisa menuntun klien masuk kondisi hipnosis, terapis perlu memahami motivasi klien dan latar induksi dilakukan. Dalam latar klinis, tujuan utama klien adalah untuk mengatasi masalah, meningkatkan kualitas hidup, mengubah perilaku, sikap, atau pikiran disfungsional. Dalam latar laboratorium, motivasi subjek adalah karena rasa ingin tahu, ingin mengalami hal baru, berkontribusi pada riset atau belajar. Sementara di latar demonstrasi, motivasi subjek biasanya adalah belajar sambil melakukan atau praktik, bukan dari mengamati atau mendengar (Kane dan Olness, 2004). Dan di latar pertunjukan hiburan, tujuan subjek biasanya adalah untuk mendapat perhatian dari audiens dan mencoba sesuatu yang baru dan menantang (Gunawan, 2014).

Hipnosis Sebagai Fenomena Intrapersonal

Sebagai fenomena intrapersonal, trance dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, pemahaman individu akan kondisi hipnosis, termasuk kepercayaan tentang hipnosis, yang selanjutnya memengaruhi persepsi. Persepsi ini yang diterima klien sebagai realita dan kebenaran. Menurut Bandler dan Grinder (9175), kita tidak dapat memahami dunia luar diri apa adanya sehingga kita mencipta representasi internal, sebuah peta berdasar proses seleksi, generalisasi, dan distorsi. Namun seringkali kita lupa bahwa peta ini bukan teritori (Korzybski, 1958), sehingga kita menipu diri sendiri dengan menyatakan peta internal ini adalah realita eksternal dan memperlakukan kepercayaan ini sebagai fakta (Bateson, 1972).

Kedua, trance juga dipengaruhi oleh interpretasi individu terhadap kondisi kesadaran dan pengalaman yang ia alami. Seseorang bisa saja telah masuk kondisi hipnosis namun ia memberi makna beda dan bersikeras bahwa ia belum berhasil masuk. Ada juga yang mengatakan bahwa dirinya sangat mudah masuk trance atau sebaliknya, sangat sulit atau tidak mungkin bisa dihipnosis. Interpretasi ini tentunya dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya.

Ketiga, trance sangat dipengaruhi pengharapan atau ekspektasi. Saat individu berharap atau tidak berharap bisa masuk kondisi hipnosis maka pengharapan ini, melalui mekanisme bawah sadar, akan mewujud menjadi realita. Mekanisme ini disebut “self-fulfilling prophecy” (ramalan swawujud) dan pertama kali diungkap oleh sosiolog Robert K. Merton. Self-fulfilling prophecy menyatakan bahwa suatu keyakinan, benar atau salah, akan mendorong perilaku tertentu yang mengakibatkan keyakinan ini terwujud menjadi realita atau terbukti benar (Merton, 1948).

Hipnosis Sebagai Fenomena Interpersonal

Trance juga adalah fenomena interpersonal karena merupakan akibat dari relasi antara hipnoterapis dan klien (Watkins, 1999), dengan keterlibatan empatik satu dengan lainnya (Yapko, 2011). Relasi ini perlu dibangun atas dasar saling percaya, kerjasama, saling menghargai (Gunawan, 2012). Membangun dan menjaga kerjasama terapeutik sangat penting dalam setiap upaya psikoterapi dan wajib dalam hipnosis dan hipnoterapi. Tanpa rasa saling percaya dan kerjasama, sangat sulit untuk bisa mencipta suasana yang mampu memfasilitasi terjadinya dan pemanfaatan trance (Gilligan, 1987).

Takut

Para pakar sepakat bahwa salah satu penyebab utama munculnya hambatan dalam induksi adalah perasaan takut (Frauman, Lynn, dan Brentar, 1993; Weizenhoffer, 1989; Yapko, 2013). Rasa takut ini bisa terjadi hanya pada diri klien, pada terapis, atau keduanya. Rasa takut pada diri terapis terjadi karena ia tidak menguasai dengan baik dan benar teknik induksi yang digunakan, merasa tidak cakap, atau tidak percaya diri karena pengetahuan yang minim akibat pelatihan yang tidak memadai (Gunawan, 2014).

Perasaan takut dalam diri klien bisa muncul karena banyak hal. Di masa awal saya praktik sebagai hipnoterapis klinis, awal tahun 2005, perasaan takut klien didominasi oleh pandangan salah bahwa hipnoterapi melibatkan kuasa gelap, mantra, atau makhuk halus. Seiring waktu berjalan, dengan semakin maraknya publikasi dan edukasi tentang hipnosis dan hipnoterapi yang ilmiah, kini sudah sangat jarang dijumpai klien yang merasa takut karena hal di atas.

Dari interaksi dengan para klien selama ini, secara umum, dapat disimpulkan bahwa perasaan takut yang dialami klien antara lain berupa takut hilang kesadaran, mengungkap hal-hal yang menjadi rahasia pribadi, takut kehilangan kendali atas pikiran dan diri, takut dengan kondisi hipnosis karena seperti memasuki dunia atau dimensi lain, takut gagal atau tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis, takut tersangkut dan tidak bisa keluar dari kondisi hipnosis, takut hilang ingatan setelah menjalani terapi (Gunawan, 2014).

Mengatasi Takut

Sangat penting bagi terapis untuk mengatasi rasa takutnya dalam melakukan induksi. Bila rasa takut ini disebabkan karena pengetahuan yang minim, kurang berlatih, tidak yakin dengan teknik induksi yang digunakan, terapis bisa mengatasinya dengan belajar, menambah pengetahuan, dan rajin berlatih. Ketakutan lain yang dialami terapis adalah takut melakukan kesalahan. Untuk yang satu ini, terapis tidak perlu terlalu khawatir bila melakukan kesalahan kecil. Klien sebenarnya tidak tahu apakah teknik yang digunakan sudah benar atau tidak, atau terapis melakukan kesalahan atau tidak. Selama klien tahu terapis sungguh-sungguh fokus, tulus, dan memerhatikan kesejahteraan klien, mereka biasanya bisa memaklumi kesalahan kecil yang terjadi. 

Untuk mengatasi rasa takut dalam diri klien, sebelum dilakukan induksi terapis perlu menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan proses, kondisi hipnosis, bagaimana rasanya berada dalam kondisi hipnosis, bahwa klien tetap sadar sepenuhnya, bisa mendengar suara, klien tetap memegang kendali penuh atas pikiran dan dirinya, klien bisa buka mata kapanpun ia inginkan. Terapis juga bisa menceritakan pengalaman klien sebelumnya, tentunya yang dapat masuk ke kondisi hipnosis dengan mudah, dengan tujuan untuk membangun ekspektasi dalam diri klien. Menurut Weitzenhoffer (1989), hipnoterapis berpengalaman tahu benar bahwa saat klien sangat percaya satu metode dapat menghipnosis dirinya maka metode-metode induksi lainnya juga akan sama efektif.

Saat membimbing klien, dalam proses induksi, terapis perlu memberi sugesti pada klien secara bertahap. Saat satu sugesti diterima dan dijalankan oleh klien, ini membuka peluang dan memperkuat peluang sugesti berikutnya dijalankan. Kata-kata yang digunakan juga perlu sesederhana dan sejelas mungkin, tanpa klien perlu menafsirkan maknanya.

Sugesti Pascahipnotik dan Secondary Gain

Resistensi juga bisa terjadi akibat sugesti salah yang diberikan oleh hipnoterapis sebelumnya. Seorang rekan sejawat hipnoterapis pernah membantu klien yang tidak bisa masuk kondisi hipnosis. Setiap kali klien ini mendengar kata “rileks”, “nyaman”, “tenang”, tubuhnya menjadi tidak enak, merasa sakit, dan menjadi sulit fokus. Rekan sejawat ini sangat berpengalaman dalam melakukan terapi. Ia melakukan modifikasi teknik induksi tanpa menggunakan kalimat panjang, menghindari penggunaan kata-kata yang bisa memicu perasaan tidak enak dalam diri klien, dan fokus pada induksi berbasis pendekatan somato-psikis. Dengan cara ini ia berhasil menuntun klien masuk kondisi hipnosis dalam dan melakukan hipnosis forensik untuk mencari tahu apa yang telah dilakukan terapis sebelumnya.

Melalui penggalian data di pikiran bawah sadar klien akhirnya diketahui bahwa klien, sebelumnya, telah datang ke seorang hipnoterapis untuk minta bantuan meningkatkan kinerjanya. Klien merasa kurang motivasi untuk membangun bisnis lebih besar karena telah puas dengan apa yang ia capai. Oleh terapisnya, klien diberi sugesti, “Saat anda merasa puas, senang, tenang, atau nyaman maka tubuh anda menjadi sakit. Semakin anda merasa nyaman, puas, tenang, atau nyaman semakin tubuh anda menjadi sakit atau tidak enak.” Selanjutnya, rekan sejawat saya melakukan terapi untuk menetralisir sugesti salah yang diberikan terapis sebelumnya.

Resistensi klien untuk masuk kondisi hipnosis bisa juga diakibatkan oleh sugesti yang berfungsi sebagai segel hipnosis (hypnotic seal). Resistensi ini terjadi karena pikiran bawah sadar secara aktif menolak atau melawan upaya induksi mengikuti sugesti yang diberikan oleh terapis sebelumnya (Gunawan, 2010).

Ada juga klien yang datang ke terapis dengan tujuan gagal diterapi. Klien ini tidak sungguh-sungguh bermaksud mengatasi masalahnya. Yang ia tuju adalah kebanggaan karena telah menjumpai banyak hipnoterapis dan tidak ada satupun yang berhasil menghipnosis dirinya. Selanjutnya klien ini dengan bangga menceritakan pengalamannya kepada orang lain untuk mendapat perhatian. Kondisi ini disebut secondary gain.

Ambivalensi

Ambivalensi didefinisikan sebagai ketidaksesuaian antara niat sadar dan perilaku nirsadar yang berakibat pada tindakan-tindakan kontradiktif dalam diri. Contohnya, ada klien datang ke terapis dan secara sadar ingin dibantu mengatasi masalahnya dengan hipnoterapi. Namun ia mendominasi pembicaraan sehingga terapis tidak punya cukup kesempatan untuk melakukan yang ia minta. Ada juga klien yang ingin dibantu dengan hipnoterapi namun kekeh menyatakan ia tidak bisa dihipnosis (Erickson, Rossi, dan Rossi, 1976).

Ambivalensi menunjukkan keberadaan konflik internal pada klien. Ada satu bagian dalam diri klien yang ingin dibantu dan ada bagian lain yang menolak. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk mengatasi hal ini. Erickson menggunakan empat kursi di ruang praktiknya. Ia menghipnosis klien di kursi pertama, kedua, ketiga dan semuanya gagal. Kegagalan ini memberi kepuasan pada bagian diri yang yakin dirinya tidak bisa dihipnosis. Dan pada kursi ke empat, bagian diri yang ingin dibantu mendapat kesempatan untuk aktif dan klien akhirnya bisa masuk kondisi hipnosis dengan mudah.

Pendekatan kedua, ini yang biasa kami, para hipnoterapis AWGI, lakukan adalah mengaktifkan dan berbicara langsung dengan bagian diri yang merasa yakin dirinya tidak bisa dihipnosis. Kami melakukan edukasi, negosiasi, dan bila perlu terapi pada bagian diri ini sehingga ia bisa mengijinkan atau melepas keyakinan tidak bisa dihipnosis. Baru setelahnya terapis sesungguhnya dilakukan. 

Baca Selengkapnya

Penyakit Autoimun dan Hipnoterapi

2 Juli 2017

Penyakit autoimun hingga saat ini masih menjadi momok karena penyebabnya belum diketahui dan sulit disembuhkan. Yang kita ketahui adalah penyakit ini terjadi karena imun sistem yang seharusnya berfungsi mengenali dan menghancurkan benda asing, yang masuk ke dalam tubuh, yang dapat menyebabkan sakit seperti bakteri, virus, atau jamur patogen, ternyata menyerang sel atau jaringan tubuh sehat. Serangan ini mengakibatkan peradangan dan penyakit autoimun. Apa yang memicu imun sistem hingga menyerang sel atau jaringan tubuh hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Dalam literatur disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang besar kemungkinan menyebabkan terjadi penyakit autoimun yaitu terpapar bahan atau zat tertentu seperti merkuri, faktor keturunan, dan perubahan hormon. 

Berikut ini adalah beberapa penyakit yang teridentifikasi melibatkan mekanisme autoimun: acute rheumatic fever, Addison’s disease, ankylosing spondylitis, antiphospholipid syndrome, autoimmune alopecia, autoimmune hemolytic anemia, autoimmune polyglandular syndrome, autoimmune thrombocytopenic purpura, Behcet’s syndrome, celiac disease atau sprue, chronic fatigue immune dysfunction syndrome, dermatitis herpetiformis, dermatomyositis, diabetes mellitus type I, diffuse scleroderma, fibromyalgia syndrome, Goodpasture’s syndrome, Graves’ disease, Guillain-Barre syndrome, Hashimoto’s thyroiditis, Henoch-Schonlein purpura, autoimmune hepatitis, immune-mediated infertility, insulin-resistant diabetes mellitus, lupus erythematosus, microscopic polyangiitis, multiple sclerosis, myasthenia gravis, pemphigus foliaceus, pemphigus vulgaris, pernicious anemia, polyarteritis nodosa, polymyalgia rheumatica, polymyositis/dermatomyositis, psoriasis, psoriatic arthritis, Reiter’syndrome, relapsing polychondritis, rheumatoid arthritis, Sjogren’s syndrome, stiff-man syndrome, sympathetic ophthalmia, systemic lupus erythematosus, systemic necrotizing vasculitis, vitiligo, and Wegener’s granulomatosis. 

Dari sekian banyak penyakit autoimun di atas, yang paling sering dijumpai adalah rheumatoid arthritissystemic lupus erythematosus, diabetes tipe 1,multiple sclerosis (MS), Graves’ disease, dan psoriasis. 

Penyakit autoimun memiliki ciri khas berupa pola hilang-kambuh. Saat penyakit autoimun pertama kali dialami, banyak penderita mengalami remisi spontan dan sakitnya reda atau hilang dengan sendirinya. Tujuan dari semua upaya pengobatan saat ini adalah untuk menyingkat fase akut dan mengurangi intensitas inflamasi dan simtom yang muncul pada fase akut penyakit ini. Tujuan pertama pengobatan adalah untuk secepat mungkin membawa klien masuk ke tahap remisi sepenuhnya. Tujuan kedua pengobatan adalah untuk mempertahankan pasien pada kondisi remisi selama mungkin, idealnya seumur hidup mereka. 

Informasi penting dan menarik dari bidang psikoneuroimunologi sangat layak diperhatikan untuk memahami penyakit autoimun. Menurut psikoneuroimunologi, sistem saraf pusat dan imun sistem saling berkomunikasi secara teratur dan rutin. Di tahun 1970an, psikolog Robert Ader dan rekan sejawatnya, ahli imunologi Nicholas Cohen, keduanya dari University of Rochester School of Medicine, melakukan percobaan menggunakan tikus, berhasil menunjukkan bahwa respon imun sistem dapat dikondisikan (Ader dan Cohen, 1975). Selanjutnya, Ader dan Cohen (1981, 1982, 1985) memelajari sekelompok tikus yang mengalami lupus erythematosus. Ader mampu mengkondisikan tikus-tikus ini dan menurunkan keagresifan imun sistem mereka terhadap sel-sel tubuhnya sendiri, sehingga terjadi pengurangan inflamasi akut lupus secara signifikan.

Beberapa tahun kemudian, Olness dan Ader (1992) menggunakan model yang sama, berhasil membantu seorang anak perempuan penderita lupus, mengkondisikan imun sistemnya sehingga mengurangi jumlah kemoterapi yang semula direncanakan 12 kali turun menjadi hanya 6 kali, mencapai hasil pengobatan yang sangat baik dan bertahan lebih dari lima tahun.

Ader (2000) menyimpulkan bahwa sistem saraf pusat memengaruhi fungsi imun sistem. Sementara Dantzer (2001) dan Volmer-Conna (2001) menyatakan perilaku sakit yang berhubungan dengan infeksi akut sebenarnya adalah hasil dari komunikasi antara imun sistem dan otak, yang sebenarnya bersifat adaptif untuk kesembuhan dan keselamatan individu. 

Otak terhubung dengan imun sistem melalui jalur limbic-hypnothalamic-pituitary. Otak memengaruhi imun sistem dengan mengeluarkan neurotransmitter dan hormon yang mengaktifkan reseptor spesifik pada permukaan limfosit T dan B. Hal ini mengaktifkan mekanisme intraseluler tertentu yang dapat menekan atau meningkatkan kinerja imun sistem. Molekul spesifik yang disekresi oleh sistem saraf pusat untuk memengaruhi imun sistem disebut neuroimmunotransmitter.Imun sistem dan sistem saraf adalah satu kesatuan dengan tujuan bersama untuk menjaga dan memelihara identitas diri organisme hidup (Booth dan Ashbridge, 1993).

Membantu Penderita Autoimun dengan Hipnoterapi

Penelitian pengaruh pikiran dan emosi terhadap imun sistem diawali oleh George F. Solomon dari Stanford University, orang Amerika pertama yang memelajari interaksi antara pikiran dan imun sistem. Solomon di tahun 1960an mengobati pasien-pasien penderita rheumatoid arthritis dan ia mengamati para pasien ini kambuh saat mengalami stres. Ia berhipotesis bahwa imun sistem, melalui mekanisme yang belum diketahui saat itu, terpicu untuk menyerang sendi-sendi para pasien ini pada saat mereka mengalami stres. Ia selanjutnya mengajukan hipotesis bahwa imun sistem pasti sangat sensitif terhadap stres dan responsif pada emosi dan pikiran (Solomon dan Moss, 1964; Solomon, Levine, dan Kraft, 1968; Solomon, Amkraut, dan Kasper, 1974; Solomon,1981).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa imun sistem dipengaruhi oleh emosi yang dialami seseorang, baik emosi positif maupun negatif. Pengalaman hidup yang melibatkan emosi negatif seperti kesedihan mendalam, marah, terluka, persaan bersalah, dan depresi memengaruhi secara negatif dan menekan kinerja imum sistem dalam melawan bateri, virus, atau jamur pagoten (Ipsa, Devi, dan Ravindra, 2014; Kiecolt-Glaser dan Glaser, 2002). Sementara hal-hal seperti optimisme, kegembiraan, kebahagiaan, tawa-canda, nutrisi yang sesuai, cukup tidur, dan manajemen stres yan baik efektif meningkatkan fungsi dan kinerja imun sistem seperti yang dinyatakan oleh Cousins (1976), Rossi (1993), Dreher (1995), Ravics (2000), Carhnetski dan Brenman (2001), Klasing (2007), dan Lange, Dimitrov dan Born (2010).

Earnest Rossi (1986, 1990, 1993; Rossi dan Cheek, 1998) melaporkan bahwa pikiran dan imun sistem berkomunikasi melalui beragam mekanisme, dan penggunaan hipnosis dapat membantu memulihkan kondisi penderita penyakit autoimun. Menurut Rossi, saat penderita masuk ke kondisi hipnosis, mereka dapat berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar dan berbicara langsung kepada jaringan dan sel-sel tubuh melalui bahasa gambaran mental yang melibatkan ke lima indra.

Penurunan tingkat keparahan serangan akut penyakit autoimun dan peningkatan remisi dapat dicapai melalui hipnoterapi, yaitu dengan dengan mengurangi konflik emosi intrapsikis yang berhubungan dengan masalah kesehatan atau sakit (Cheek dan LeCron,1968).

Ada banyak teknik hipnoterapi hipnoterapi yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan klien. Teknik apapun yang mampu melakukan hal ini, juga dapat memberi kontribusi positif bagi regulasi positif imun sistem (Bowers dan Kelly, 1979). Sementara menurut Achterberg, McGraw dan Lawis (1981), pelatihan relaksasi dan praktik teratur relaksasi otot memiliki efek profilaktik dalam menunda dan besar kemungkinan bisa mencegah kambuhnya simtom rheumatoid arthritis.

Penelitian yang dilakukan Laidlaw, Booth, dan Large (1996) menunjukkan bahwa 32 dari 38 partisipan penelitian mampu mengurangi ukuran kulit yang memerah setelah menerima sugesti. Kiecolt-Glaser dan rekan sejawatnya (Kiecolt-Glaser, Marucha, Atkinson dan Glaser, 2001) menyatakan hipnosis dapat digunakan sebagai modulator disregulasi selular imun sistem. Brigham-Davis (1994) melaporkan bahwa gambaran mental dapat digunakan dan memberi efek terapeutik pada penderita systemic lupus erythematosus, scleroderma, reumathoid arthritis, multiple sclerosis, amyotrophic lateral sclerosis, chronic fatique, immune dysfuntion syndrome, fibromyalgia, dan myasthenia gravis.Strategi yang digunakan Brigham-Davis yaitu membantu klien memandang imun sistem sebagai sahabat yang mengasihi dan melindungi tubuh mereka. Brigham-Davis menekankan pentingnya keseimbangan antara sel T helper dan Tsuppressor agar imun sistem dapat berfungsi optimal.

Rasa sakit dan tidak nyaman yang disebabkan oleh penyakit autoimun juga dapat dikurangi dengan hipnoterapi dengan hasil yang baik sesuai laporan dari Van Pelt (1961), Millikin (1964), Crasilneck dan Hall (1975), Smith dan Balaban (1983) dan Torem (2007).

Berikut ini adalah teknik yang bisa digunakan dalam hipnoterapi untuk membantu penderita autoimun: relaksasi pikiran dan tubuh (mind-body relaxation), pemberian sugesti, penguatan ego (ego strengthening), ego state therapy, pemberi label baru (relabeling),  pemaknaan ulang (reframing), restrukturisasi, “kembali dari masa depan”, dan metafora terapeutik dengan gambaran mental simbolik terbimbing (Torem, 1987, 1992a, 1992b, 1993, 2007).

Penyakit Autoimun yang Pernah Kami Tangani

Dari perspektif ilmu pikiran, sangat erat keterkaitan antara pikiran, emosi, dan tubuh. Emosi, menurut hukum pikiran, selalu butuh ekspresi. Ekspresi ini bisa ke arah luar dalam bentuk ucapan atau tindakan. Atau bila emosi direpresi, tidak bisa keluar, maka ia akan diekspresi melalui organ, dalam bentuk sakit fisik. 

Bila sampai terjadi sakit fisik karena ekspresi emosi yang direpresi maka solusinya adalah mengeluarkan emosi ini dari sistem psikis, mengekspresikannya ke luar, dengan teknik atau cara yang tepat dan aman, sehingga tidak lagi mengganggu kesehatan. 

Kami pernah menangani klien penderita myasthenia gravis, fibromyalgia, psoriasis, ankylosing spondylitis ,dan lupus erythematosus. Walau gejala penyakit autoimun ini berbeda satu dengan yang lain, secara teknis terapi sebenarnya sama. Penyakit autoimun, dalam pemahaman kami, hipnoterapi klinis AWGI, adalah simtom yang diungkap oleh pikiran bawah sadar (PBS) dalam upaya menyampaikan pesan spesifik ke pikiran sadar. Akar masalah simtom ini, antara lain, bisa karena PBS menghukum individu atas kesalahan yang individu lakukan, bisa karena emosi negatif yang direpresi hingga akhirnya menumpuk di PBS dan diekspresikan melalui organ atau fisik, bisa karena perasaan bersalah, sugesti atau imprint dari figur otoritas, identifikasi, atausecondary gain.

Pada kasus myasthenia gravis, PBS klien memunculkan simtom dengan tujuan agar suami memberi perhatian pada klien. Rupanya klien merasa kurang mendapat perhatian dari suaminya. Dan yang menarik adalah saat terapis bertanya pada PBS klien dari mana PBS mendapat ide untuk memunculkanmyasthenia gravis dan mengapa bukan sakit lain, dengan lugas PBS menjawab bahwa ide ini ia dapat saat klien melakukan pemeriksaan darah di laboratorium. Saat itu klien membaca brosur tentang myasthenia gravis. Dan PBS klien mendapat ide untuk memunculkan simtom ini dalam diri klien agar suami lebih sayang dan perhatian.

Melalui proses hipnoterapi, terapis melakukan edukasi pada PBS klien dan akhirnya PBS setuju untuk menghilangkan simtom ini dan hingga saat ini klien terbebas dari simtom myasthenia gravis. 

Apakah klien sembuh? Kami, hipnoterapis klinis, tidak dalam posisi menyatakan demikian, karena ini adalah ranah medis. Yang bisa menentukan klien sembuh atau tidak adalah dokter. Kami hanya membantu menangani emosi atau program pikiran yang menyebabkan munculnya simtom. Dalam penanganan sakit fisik, prinsip yang kami, hipnoterapis AWGI, pegang teguh adalah hipnoterapi adalah terapi komplementer. Yang utama selalu adalah pengobatan yang dilakukan oleh dokter. 

Baca Selengkapnya

Aktivasi Ego Personality

12 Juni 2017

Usai seminar “Hipnoterapi Klinis: Solusi Efektif untuk Masalah Emosi & Perilaku”  di Denpasar beberapa waktu lalu, saya mendapat pertanyaan dari tiga peserta melalui email. Di seminar ini saya menjelaskan bahwa di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH) saya mengajarkan dua teknik utama untuk mencari, menemukan, dan menyelesaikan akar masalah: regresi berbasis afek dan teknik EP. Mereka bertanya tentang teknik terapi yang saya ajarkan dan praktikkan, khususnya teknik ego personality atau yang mereka sebut dengan teknik ego state. 

Inti pertanyaan mereka adalah mereka sudah belajar teknik ego state, sudah mempraktikkannya, tapi hasilnya masih kurang maksimal. Dari tanya jawab yang terjadi, saya simpulkan ada dua hal yang menjadi kendala mereka. Pertama, mereka kurang fasih dalam berkomunikasi dengan EP. Kedua, bila EP berhasil dipanggil keluar, teknik yang mereka gunakan untuk membantu klien berubah adalah hanya melakukan negosiasi dengan EP penyebab masalah. Dan seringkali EP bersikeras pada pendiriannya, tidak bersedia berubah. Bila ini terjadi, terapis menyerah.

Dalam artikel ini saya menyebut Bagian Diri sebagai Ego Personality (EP). Bagi pembaca yang familiar dengan istilah ego state (ES), untuk mudahnya, EP sama dengan ES.

Perlu disadari bahwa saat terapis berbicara dengan klien, sebenarnya yang terjadi adalah ia sedang berkomunikasi dengan satu EP. EP ini yang mendorong klien jumpa terapis untuk mengatasi masalah. Sementara yang membuat masalah adalah EP lain. Dengan demikian terapis perlu memiliki kecakapan untuk mengundang keluar atau mengaktifkan atau memunculkan EP yang ingin diproses.

 

Cara Mengaktifkan EP

Ada banyak cara untuk mengaktifkan EP. Idealnya, proses komunikasi dengan EP dilakukan  dalam kondisi hipnosis, lebih baik hipnosis dalam, untuk dapat mengakses EP yang tinggal di kedalaman. Berikut ini adalah cara yang bisa digunakan:

  1. Komunikasi tidak langsung: dalam hal ini terapis berbicara pada klien, tapi sebenarnya yang dituju adalah EP spesifik. Komunikasi seperti ini mengandung banyak elemen psikoedukasi. Komunikasi tidak langsung juga bisa memasukkan pengharapan, kekuatan, dan kecakapan ke pikiran bawah sadar (Phillips dan Frederick, 1995). 
  2. Komunikasi langsung. Ini adalah pendekatan “to the point” di mana terapis langsung mengarahkan komunikasi ke EP yang dituju, yaitu EP yang membuat masalah atau mengganggu hidup klien. Kalimat yang bisa digunakan: Saya ingini bicara dengan Bagian Diri atau EP yang membuat X (klien) melakukan ……. (Frederick, 2005, p. 372). 
  3. Memanggil keluar EP untuk interaksi verbal langsung. Cara ini berbeda dengan poin no 2. Kalimat yang digunakan: Saya ingin tahu apakah ada Bagian Diri dari (klien) yang tahu atau yang membuat munculnya simtom …. Dalam diri X. Bila ada Bagian Diri ini, saya mau bicara langsung dengan Anda (Frederick, 2005, p. 372). 
  4. Teknik Imajinasi. Teknik ini menggunakan kemampuan imajinasi klien. Terapis mengundang beberapa EP klien untuk duduk di meja bundar untuk diskusi (Watkins dan Watkins, 1997; Frasier, 2003). Frederick (2005) menggunakan pendekatan imajinatif yang lebih longgar di mana terapis secara eksplisit memberitahu EP bahwa mereka tidak harus berinteraksi dengan EP lainnya. 
  5. Eksplorasi Ideomotor. Ini adalah teknik yang sangat disarankan untuk praktisi EP pemula. Penggunaan teknik ini memberi keleluasaan pada pikiran bawah sadar klien untuk sepenuhnya memegang kendali atas apa yang terjadi. EP tidak perlu langsung berbicara dengan terapis namun cukup melalui gerakan jari. 
  6. Aktivasi afek dan somatik. Metode aktivasi ini fokus pada apa yang klien rasakan secara emosi atau sensasi fisik saat muncul simtom masalah. Dari sini terapis melanjutkan dengan eksplorasi emosi, persepsi, pikiran, dan yang lain untuk menggali dan mendapatkan informasi lebih lanjut. 
  7. Teknik-teknik eskternalisasi. Teknik yang digunakan bertujuan untuk mengaktifkan EP melalui tindakan seperti menggunakan kursi (Watkins dan Watkins, 1997; Fagan dkk, 1974). Termasuk dalam kelompok teknik ini adalah menulis otomatis (automatic writing), membuat patung dengan menggunakan plastisin (soft sculture), menggambar, melakukan gambar atau coretan-coretan bebas (doodling), dan teknik topi berpikir Edward de Bono. 
  8. Aktivasi gambaran mental. Teknik ini sangat jarang dipraktikkan karena praktisi sering tidak cermat akan hal ini. Dalam proses terapi, saat terapis berusaha mengaktifkan EP tertentu, bisa jadi tidak muncul respon apapun, baik secara perasaan atau fisik. Namun yang muncul di pikiran klien adalah gambara mental, bisa konkrit atau abstrak, bisa berupa warna atau cahaya. Bila ini terjadi, sebenarnya sudah ada EP yang aktif. Terapis perlu melakukan eksplorasi lanjutan (Gunawan, 2014, p. 373). 
  9. Aktivasi EP berlapis. Dalam beberapa kasus, bisa terjadi EP yang pertama kali aktif bukan EP yang membuat masalah. EP ini adalah “anak buah” dari EP lain yang lebih kuat atau berkuasa. Secara teknis kondisi ini disebut EP multilayer atau berlapis. Untuk itu, terapis, melalui EP yang pertama muncul, mengakses EP di lapis kedua dan seterusnya (Gunawan, 2014, p. 373). 
  10. EP aktif spontan. EP juga bisa aktif spontan, tanpa terapis melakukan apapun. EP seperti ini biasanya sudah sangat ingin berkomunikasi dengan seseorang untuk membantu menyelesaikan masalah klien. Saat mendapat kesempatan, tanpa diminta, EP ini langsung aktif dan mengajak bicara terapis. Dan bisa terjadi yang aktif beberapa EP sekaligus (Gunawan, 2014, p. 373). 
  11. Aktivasi EP melalui mimpi hipnotik. Bila klien mengalami mimpi berulang dengan tema yang sama, ini adalah satu bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar. Terapis bisa memberi sugesti agar klien mengalami kembali mimpinya dan dari sini dilakukan eksplorasi dengan memanggil keluar EP yang memberi mimpi (Gunawan, 2014, p. 374).

 

Mengaktifkan EP adalah keterampilan yang perlu dikuasai dengan baik oleh terapis. Dengan aktifnya EP tidak berarti masalah klien serta merta selesai. Ini barulah langkah awal. EP yang telah aktif perlu divalidasi untuk memastikan bahwa benar EP inilah yang memunculkan simtom atau membuat masalah dalam diri klien.

Setelah EP muncul, langkah berikutnya adalah penyelesaian masalah. Teknik yang sangat sering digunakan, namun kurang efektif, adalah dengan hanya melakukan negosiasi dengan EP. Terapis mewakili klien berbicara dengan EP, bisa juga terapis memfasilitasi komunikasi antara klien dan EP, dan meminta EP berhenti melakukan apa yang selama ini ia lakukan sehingga klien tidak lagi bermasalah. Contohnya, bila klien adalah perokok, maka terapis akan berbicara dengan EP yang membuat klien merokok, misal sebut saja sebagai EP Perokok, agar berhenti merokok. Bila EP Perokok setuju berhenti merokok, masalah klien juga selesai.

Teorinya seperti ini. Dalam praktiknya, tidak semudah teori. Seringkali EP Perokok punya tujuan, alasan, agenda tersendiri yang membuat ia merokok. Negosiasi, rayuan, atau bujukan terapis seringkali tidak membuahkan hasil. Dalam banyak kasus, setelah EP Perokok setuju berhenti merokok, benar klien juga berhenti merokok. Namun ini hanya berlangsung satu atau dua hari. Setelahnya, klien kembali merokok.

Untuk mengatasi hal ini terapis butuh teknik lain, selain negosiasi. Ada banyak cara untuk melunakkan EP sehingga akhirnya setuju untuk mendukung hidup klien. Teknik-teknik ini sangat penting untuk dikuasai agar terapi berbasis EP efektif dan tuntas. Pada beberapa kasus, terjadi EP berlapis (multilayer). Bahkan pernah dijumpai empat lapis EP. Artinya, EP yang pertama muncul, sebut saja sebagai EP A, dikendalikan oleh EP B. EP B dikendalikan oleh EP C, dan EP C dikendalikan oleh EP D. Masalah klien hanya bisa terselesaikan bila terapis mampu mengakses EP D dan membuat EP ini bersedia menuruti permintaan klien. 

Baca Selengkapnya

Memahami LGBT dari Perspektif Ego Personality

31 Mei 2017

Istilah LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) telah digunakan sejak tahun 1990an menggantikan frasa komunitas gay. LGBT bisa disebabkan oleh faktor fisik dan nonfisik atau psikologis. Ada yang mengatakan LGBT disebabkan oleh faktor keluarga, genetik, lingkungan, pergaulan, dan trauma. Artikel ini membahas penyebab LGBT dari perspektif ilmu pikiran, khususnya teori Ego Personality.

Kami, hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), telah berulang kali berhasil membantu klien-klien yang tadinya adalah LGBT, sesuai pilihan dan keputusan mereka, untuk kembali menjadi heteroseksual sesuai dengan kondisi lahiriahnya. 

Ego Personality

Manusia, dari perspektif Ego Personality, bukan entitas tunggal. Dalam diri manusia terdapat banyak Bagian Diri atau Ego Personality (EP) dengan tugas, fungsi, tujuan, dan agendanya masing-masing. Ada sepuluh kemungkinan terciptanya EP. Tiga di antaranya adalah melalui proses pengalaman normal yang dialami individu, melalui introjeksi figur penting, dan trauma. Lebih lengkapnya bisa dibaca di https://goo.gl/xOvh5c.  

Saat EP tercipta dalam diri individu, ia bisa bertumbuh dan bekembang mengikuti usia kronologis individu. Ada juga EP yang semula turut bertumbuh mengikuti usia kronologis individu lalu mengalami fiksasi. Dan ada yang begitu tercipta, tidak bertumbuh sama sekali atau mengalami fiksasi. Ini biasanya disebabkan oleh trauma.  Dengan demikian, rentang usia EP bisa mulai sebagai janin hingga dewasa dan tua. EP memiliki jenis kelamin, laki dan perempuan. EP laki tentunya bersifat maskulin dan EP wanita, feminin. Tidak pernah ada EP yang sifatnya banci.  Untuk memudahkan pemahaman, EP adalah “individu” dalam diri kita, lengkap dengan memori, perilaku, cara berpikir, kebiasaan, karakter, sikap, emosi, tujuan, dan sebagainya.

EP dan LGBT

Ani adalah wanita dewasa, cerdas, dengan karir yang sangat baik. Semua hal dalam diri Ani, menurut ukuran awam, normal kecuali ia lebih suka pada sesama wanita daripada pria. Sebenarnya ada banyak pria yang berusaha mendekati dirinya namun selalu ia tolak. Dengan kata lain, Ani lesbian.

Melalui proses penelusuran di pikiran bawah sadar (PBS) Ani diketahui ada satu EP, namanya Johan, yang sangat dominan mengendalikan diri Ani. Johan, sesuai namanya adalah EP laki dan dengan demikian bersifat maskulin.

EP Johan pertama kali muncul saat Ani dilahirkan. Saat itu ayah Ani yang sangat berharap mendapat anak laki kecewa berat dan menolak melihat Ani. Ani dengan sangat jelas, sesuai dengan data yang terekam di PBS-nya, mendengar ucapan ayahnya pada suster di rumah sakit, “Anak perempuan lagi. Tidak ada gunanya. Saya mau anak laki. Nggak usah saya lihat.”

EP Johan ini saat muncul masih sangat kecil, lemah. Seiring waktu berjalan, ayah Ani, yang sangat berharap Ani adalah anak laki, memperlakukan Ani sebagaimana layaknya anak laki. Ayah membelikan Ani mainan dan baju untuk anak laki. Perlakuan ayah ini tanpa disadari telah semakin mengaktifkan dan memperkuat EP Johan. Ani yang ingin mendapat perhatian dan kasih sayang ayah berusaha bersikap sesuai yang ayah harapkan yaitu sebagai anak laki. Dengan demikian, EP Johan semakin hari menjadi semakin kuat.

EP Johan adalah pria, bersifat maskulin. Saat Ani dewasa, EP Johan, sesuai karakteristiknya, mencari pasangan wanita. Yang tampak dari luar adalah Ani, seorang wanita, tertarik pada sesama wanita, dan oleh sebab itu disebut lesbian. Yang terjadi sesungguhnya adalah Ani, benar adalah seorang wanita, dikendalikan oleh satu EP dominan, Johan, bersifat maskulin, yang mencari pasangan wanita. Masyarakat awam menilai Ani “tidak normal”. Kami, hipnoterapis klinis, yang memelajari dan paham teori EP, menilai Ani “normal”. Selain EP Johan dalam diri Ani juga ada EP perempuan. Namun sayangnya EP ini kalah kuat.

Kondisi lain yang mengakibatkan seorang wanita lebih tertarik pada wanita lain adalah dalam dirinya ada satu EP yang sangat merindukan kasih sayang ibu. EP ini tentunya akan sangat tertarik pada wanita lain, yang lebih dewasa dan matang tentunya, untuk bisa mendapatkan kasih sayang.

Saya pernah menangani klien gay, sebut sebagai Budi. Dari hasil penelusuran PBS klien ditemukan data bahwa waktu kecil Budi tidak mendapat kasih sayang ayah. Ayahnya meninggalkan Budi dan ibunya saat ia masih kecil dan menikah dengan wanita lain. Budi, lebih tepatnya ada satu EP, merasa sangat rindu pada ayah. EP ini yang membuat Budi mencari perhatian, cinta, atau kasih sayang pada pria lain sebagai pengganti ayahnya.

Klien saya yang lain, Bambang, datang ke saya untuk minta pendapat sebelum ia berangkat ke Thailand menjalani operasi kelamin. Bambang sudah sangat yakin dengan keputusannya. Namun, atas permintaan tante yang sangat ia hormati, ia jumpa saya konsultasi. Saat saya berbicara dengan PBS Bambang diperoleh informasi bahwa ada satu EP bernama Michelle yang mendorong Bambang untuk menjadi wanita. Tujuan EP Michelle adalah agar Bambang mendapat bisa perhatian.

Ternyata Bambang sangat benci ibunya. Ia merasa tidak mendapat kasih sayang dari ibunya. Dan saat Bambang di SMP kelas dua, tanpa disadari ia tertawa sambil menggerakkan tangan dan mengerlingkan mata secara halus seperti wanita, dan teman-temannya memberi tepuk tangan dan menyorakinya. Respon rekan-rekannya ini oleh PBS dianggap sebagai perhatian. Dan ini yang Bambang sangat inginkan. Di kejadian inilah muncul EP Michelle.

EP Michelle selanjutnya mendorong Bambang mengulangi perilaku seperti wanita dan kembali Bambang mendapat “perhatian” dari rekan-rekannya. Demikian selanjutnya dan EP Michelle ini menjadi semakin sering aktif, semakin kuat menguasai diri Bambang. Dalam diri Bambang ada EP yang memegang sifat maskulin namun sayangnya EP ini lemah.

Bagaimana dengan biseksual? Biseksual menandakan keberadaan dua EP yang sama kuat, satu EP laki, satu EP perempuan. Masing-masing mencari pasangan berlainan jenis gender. EP laki tentunya akan mencari pasangan wanita sementara EP perempuan akan mencari pasangan pria.

Menyembuhkan LGBT

Kata “menyembuhkan” sebenarnya kurang tepat digunakan dalam konteks penanganan kasus LGBT. LGBT bukan penyakit namun pilihan. Saat klien datang ke kami, terapis, dan minta tolong dibantu agar bisa kembali “normal” maka yang sebenarnya terjadi adalah klien memutuskan untuk mengubah orientasi seksualnya.

Sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas, LGBT disebabkan oleh EP. Untuk membantu klien kembali “normal” yang perlu dilakukan adalah mengakses EP yang selama ini membuat klien menjadi LGBT. EP ini perlu diedukasi agar mengijinkan klien menjadi normal dengan menjadi tidak aktif atau memberi kesempatan pada EP lainnya, yang sesuai dengan kondisi fisik klien, aktif dan mengendalikan diri klien.

Walau uraiannya di atas tampak mudah namun dalam praktiknya tidak semudah yang dibayangkan. EP punya agenda dan tujuannya sendiri untuk klien. Butuh kecakapan khusus untuk bisa merayu, membujuk, memberi edukasi pada EP ini agar ia bersedia mendukung klien menjadi “normal”. Dalam beberapa kasus ada EP yang bersikeras tidak bersedia mendukung klien. EP ini ingin klien tetap sebagai LGBT sementara klien ingin menjadi “normal”.

Untuk bisa membuat EP akhirnya berubah pikiran dan bersedia mendukung klien, terapis perlu mengerti tentang kekuatan EP. Kekuatan EP ditentukan sembilan hal berikut: alasan terciptanya, motivasi / tujuan yang ingini dicapai, intensitas emosi, level energi psikis, repetisi, pengetahuan yang dimilikinya, dan level otoritas dalam sistem psikis. Bila setelah mencoba segala cara ternyata EP tetap tidak bersedia bekerjasama maka satu-satunya cara untuk bisa mengubah pendirian EP ini adalah dengan mengubah struktur pembentukannya. Dan untuk ini dibutuhkan teknik tersendiri. Saat struktur pembentukannya berubah, lebih tepatnya diubah oleh terapis, maka sikap, perilaku, dan tujuan EP juga berubah.

Baca Selengkapnya

Beberapa Temuan Penting Terkini Dinamika Pikiran di AWGI

25 April 2017

Format pelatihan hipnoterapi klinis profesional SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy) mulai tahun 2017 ini mengalami perubahan. Bila sebelumnya pelatihan berlangsung selama sembilan hari, terbagi menjadi tiga pertemuan masing-masing tiga hari, kini lama pelatihan sepuluh hari dan khusus di minggu kedua, lama masa pelatihan adalah empat hari. Keputusan menambah waktu pelatihan satu hari bertujuan untuk memberi lebih banyak ruang dan waktu untuk memaparkan materi secara lebih mendalam karena banyak sekali update dan temuan terkini yang diajarkan di kelas SECH.

Di pertemuan barusan, para peserta berlatih teknik regresi dan juga EP (ego personality). Sebelumnya, setelah tiga hari pertama, para peserta mendapat tugas melakukan induksi kepada minimal sepuluh klien dan memastikan para klien berhasil dibimbing masuk kondisi hipnosis dalam (deep trance / profound somnambulism). Hasil praktik induksi, semua klien berhasil masuk kondisi hipnosis dalam. Bahkan banyak yang masuk ke kondisi sangat dalam.

Ada beberapa temuan penting dan menarik berkenaan dengan dinamika pikiran, saat klien dalam kondisi hipnosis dalam dan menjalani proses regresi. Temuan ini adalah hasil dari pengalaman para peserta pelatihan yang diceritakan kepada forum usai latihan sekaligus menjadi bahan diskusi menarik dan ditinjau dari teori dan cara kerja pikiran bawah sadar yang dikembangkan AWGI.

Saat klien dalam kondisi hipnosis dalam, pikiran bekerja tidak seperti dalam kondisi sadar normal, light atau medium trance. Kondisi kedalaman hipnosis yang wajib dicapai klien untuk bisa menjalani terapi berdasar protokol AWGI adalah profound somnambulism. Saat dalam kondisi profound somnambulism, pikiran sadar sangat rileks, malas berpikir, dan menjadi pasif. Dengan kata lain, pikiran klien diam menunggu instruksi terapis, apa yang akan dilakukan. Saat terapis minta klien mundur ke satu masa atau kejadian spesifik yang dulu pernah klien alami, secara spontan klien langsung teregresi dan mengalami kembali kejadian ini (revivifikasi). Setelahnya, klien hanya diam di kejadian ini sampai ada instruksi lebih lanjut. Saat instruksi diberikan, misalnya klien sedang berdiri di pinggir jalan menanti bus, dan bila terapis berkata, “Sekarang anda lihat bus sudah datang, bus berhenti di depan anda, dan anda naik bus ini”, klien tidak mengalami ini semua secara bertahap tapi dari posisi berdiri di pinggir jalan, klien merasa seolah menaiki bus tapi tiba-tiba sudah duduk di dalam bus. Jadi, prosesnya sangat cepat.

Peserta lain, “stuck” dan sama sekali tidak bisa mundur saat diregresi. Upaya regresi dilakukan berulang kali namun ia tetap tidak bisa mundur, tersangkut di saat ini, pikirannya diam, sama sekali tidak bereaksi, dan muncul warna tertentu seperti cahaya di pikirannya. Berdasar teori yang dikembangkan di AWGI, kami tahu apa yang terjadi pada peserta ini, mengapa ia tidak bisa mundur, dan berapa kedalaman trance yang ia capai. Peserta ini masuk terlalu dalam, minimal ke kedalaman 30 dari total 40 kedalaman trance pada AWG Hypnotic Depth Scale. Saat ia diminta buka mata, dibawa naik dulu, kemudian diminta menutup mata dan diregresi, kali ini bisa.

Saat klien diregresi dan mengalami revivifikasi ternyata gambaran yang muncul di pikiran belum tentu jelas. Yang umum terjadi, klien mengalami kejadian, melihat apa yang sedang terjadi namun agak samar. Ini hal yang wajar dan tidak penting. Yang penting adalah perasaan atau emosi yang dirasakan saat mengalami kejadian, karena protokol hipnoterapi klinis AWGI fokus pada upaya menetralisir emosi yang lekat pada memori.

Revivifikasi membutuhkan klien bisa menjelaskan, berdasar “penglihatan”-nya, apa yang sedang ia alami. Namun hal ini tidak selalu berlaku saat menggunakan teknik EP. Saat terapis mengakses EP tertentu untuk menyelesaikan masalah klien, EP menjadi aktif dan bisa langsung berkomunikasi, memberi informasi yang diminta oleh terapis, tanpa harus revivifikasi. “Jalur” aktivasi dan penggalian informasi yang digunakan oleh EP berbeda dengan regresi. Walau sejatinya, saat klien mengalami regresi dan memberi informasi yang diminta oleh terapis, yang berkomunikasi dengan terapis adalah juga EP.

Hal menarik lain, dan ini sudah dijelaskan detil kepada para peserta sebelum mereka berlatih praktik, pikiran bawah sadar memiliki kecerdasan dan cara berpikir yang terpisah dari pikiran sadar. Saat klien dalam kondisi deep trance, pikiran sadar menjadi sangat rileks, malas berpikir, dan saat itu pikiran bawah sadar mengambil alih kendali diri. Gerakan pikiran bawah sadar sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh input yang diberikan padanya, dalam hal ini adalah ucapan atau sugesti dari terapis. Lebih spesifik lagi, semantik yang digunakan oleh terapis.

Pilihan semantik yang kurang tepat, disadari atau tidak, membuat pikiran bawah sadar bergerak tidak seperti yang diharapkan. Contoh semantik yang kurang tepat adalah penggunakan kata “itu”, “di situ”, “waktu itu”, “di sana”, “saat itu”, “ingat-ingat”, atau “bayangkan” secara tidak disadari menggeser posisi revivifikasi (asosiasi) menjadi hipermnesia (disosiasi). Contoh lainnya adalah saat klien, sebut saja sebagai Ibu Ani, telah teregresi ke usia lima tahun, misalnya, dan pada saat itu terapis tetap menyebut klien sebagai Ibu Ani. Salah sebut ini berakibat klien mengalami progresi, dari titik mendarat regresi, di masa kecil, kembali ke masa sekarang di ruang terapi. Itu sebabnya saat terapis bertanya pada klien apa yang terjadi, apa yang ia rasakan, klien tidak bisa memberi jawaban atau hanya berkata tidak merasakan apapun.  

Melalui praktik beberapa kali, di bawah supervisi ketat para asisten, peserta SECH belajar dari kesalahan kecil berdampak besar, yang mereka lakukan tanpa disadari, memetik hikmah, memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan siap untuk menjadi hipnoterapis cakap dan andal.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List