The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Memori Normal dan Traumatik

29 Maret 2017

Riset terkini menunjukkan bahwa manusia memiliki lebih dari satu jenis memori. Ada memori jangka pendek dan panjang. Memori jangka panjang terbagi menjadi dua kelompok yaitu memori nondeklaratif, juga disebut dengan memori implisit, meliputi memori prosedural, keterampilan motorik, emosional, dan otomatis. Kelompok kedua, memori deklaratif, juga disebut dengan memori eksplisit, meliputi memori semantik dan episodik (Gunawan, 2003).

Memori jangka pendek berguna menampung informasi yang masuk ke pikiran individu. Rentang waktu maksimal untuk menyimpan informasi di memori ini sangat singkat, sekitar 15 – 30 detik. Memori prosedural (Tulving, 1985; Gunawan, 2003) merujuk pada kemampuan mengingat cara melakukan sesuatu, seperti berenang, naik sepeda, mengendari mobil, membuka pintu, mengikat tali sepatu, dan sejenisnya. Sesuai namanya, memori keterampilan motorik adalah memori yang menyimpan semua data yang berhubungan dengan gerakan motorik dalam melakukan suatu kegiatan. Sementara memori emosional adalah satu bentuk memori yang dipengaruhi oleh, dan dengan demikian bermuatan, emosi baik positif maupun negatif. Memori otomatis adalah memori yang terbentuk karena respon terkondisi. Saat memori ini aktif, ia akan mengaktifkan memori lainnya.

Memori semantik, juga disebut memori fakta, berisi data atau informasi yang dipelajari dari berbagai sumber, seperti buku, ceramah, internet, video, dan semua bentuk informasi yang disampaikan menggunakan kata-kata. Memori episodik adalah berisi informasi tentang fakta-fakta atau kejadian yang terjadi pada suatu waktu dan tempat tertentu (Tulving, 1972, 1985; Gunawan, 2003). Memori episodik berkembang setelah memori semantik dan prosedural, dan berhubungan perkembangan hipokampus pada fase tumbuhkembang anak.

Perlu diingat bahwa tidak terdapat relasi antara keyakinan individu akan akurasi memori dan realibilitasnya. Dalam konteks memori, bisa terjadi konfabulasi, terciptanya memori palsu, dan kriptomnesia, individu mengingat satu bentuk memori seolah-olah adalah memori ini benar miliknya, sesuatu yang ia alami sendiri, dan sejatinya data ini berasal dari sumber lain yang bukan miliknya.

Distorsi Memori

Telah banyak pakar meneliti tentang memori (Loftus dan Loftus, 1976; Loftus, 1980; Pettinati, 1988; Loftus dan Ketcham, 1994; Brown, Scheflin, & Hammond, 1997), dan para peniliti ini sepakat akan tiga hal tentang pembentukan memori. Tahap pertama, akuisisi, saat data masuk ke dalam pikiran dan dikodekan untuk disimpan. Proses pengkodean ini terjadi beberapa cara, permukaan (superficial) atau dalam (deep), dan holistik atau berorientasi detil / detail-oriented (Orner, Whitehouse, Dinges, & Orne, 1988). Di tahap akuisisi, informasi yang masuk ke pikiran individu dipengaruhi banyak faktor baik eksternal maupun internal. Dan ini dapat menyebabkan distorsi. Data yang masuk bukan data murni, apa adanya, namun data ditambah komponen lain yang berasal dari faktor-faktor tadi, terutama faktor persepsi atau pemaknaan oleh individu.

Saat data berhasil diakuisisi, data ini diproses di tahap kedua, tahap retensi. Pada tahap ini juga dapat terjadi distorsi. Salah satu bentuk distorsi memori di tahap ini adalah memori dapat pudar, menjadi kurang intens setelah selang waktu tertentu. Individu bisa, secara tidak sadar atau sengaja, menambah atau mengurangi data memori asli akibat pengalaman hidupnya. Demikian pula, mimpi dan fantasi dapat mendistorsi memori. Memori dapat dikonstruksi ulang, dimodifikasi, diubah oleh pikiran bawah sadar karena beragam alasan (Phillips dan Frederick, 1995). Dan terdapat bukti informasi palsu yang diberikan setelah kejadian nontraumatik lebih mudah diingat daripada kejadian itu sendiri (Loftus, Miller, dan Burns, 1978; Loftus, 1979).

Distorsi lebih lanjut dapat terjadi di tahap pemanggilan kembali data memori (retrieval). Faktor yang memengaruhi adalah cara pertanyaan diajukan, bersifat mengarahkan (leading) atau menuntun (guiding) dan relasi antara penanya dan subjek. Sehalus apapun leading yang terjadi atau dilakukan pasti berpengaruh signifikan atas daya ingat individu (Loftus & Zanni, 1975; Bowers dan Hilgard, 1988).

Memori Traumatik

Walau telah banyak penelitian memori dilakukan, ternyata banyak pula temuan yang tidak sejalan (Hammond, 1993; Brown, Scheflin, dan Hammond 1997). Dari hasil penilitian juga ditemukan bahwa memori pengalaman traumatik disimpan dengan cara berbeda dari pengalaman nontraumatik (van der Kolk, 1996a, 1996b, 1997; Brown, Scheflin, dan Hammond 1997). Hasil pemindaian otak menemukan saat memori negatif muncul, ia mengaktifkan amigdala, tempat memori kejadian psiko-fisiologis dan bermuatan emosi disimpan, hemisfir kanan otak menjadi aktif sementara hemisfir kiri menjadi sangat berkurang keaktifannya. Temuan ini membantu memberi pemahaman mengapa proses penyimpanan dan kerja memori traumatik tidak mengikuti aturan yang sama dengan memori nontraumatik. Memori traumatik berisi konten tinggi afeksi dan rendah kognisi.

Dalam upaya penelusuran dan pengungkapan memori traumatik, terapis perlu cermat dan hati-hati dalam menyikapi setiap informasi yang muncul dari pikiran bawah sadar. Informasi ini secara subjektif benar adanya namun belum tentu benar secara objektif. Proses terapi mengedepankan penggalian informasi tanpa perlu melakukan validasi karena pengalaman subjektif inilah yang menjadi sumber masalah klien. Dengan demikian, apapun yang muncul atau ditemukan, inilah yang diproses hingga tuntas. Hal ini tentu berbeda bila penggalian informasi dari pikiran bawah sadar dilakukan dengan tujuan forensik (Gunawan, 2009).

Memori apapun yang muncul dalam proses terapi, baik tanpa atau dengan kondisi hipnosis disebut materi memori atau pengalaman memori (Phillips dan Frederick, 1995), atau lebih mudah disebut sebagai memori traumatik (Gunawan, 2009).

Sifat Memori Traumatik

Dari temuan di ruang praktik para hipnoterapis AWGI, ditemukan data menarik. Memori secara keseluruhan disebut dengan memori autobiografi, berisi semua jenis memori. Namun, memori traumatik yang berisi data atau informasi dari kejadian spesifik dengan muatan emosi negatif intens memiliki kehidupan sendiri dan tidak menyatu dengan memori autobiografi. Memori ini sangat ingin menyatu dengan memori autobiografi namun tidak bisa karena terhalang muatan emosi negatif yang lekat padanya.

Menyadari hal ini, pikiran bawah sadar, sesuai dengan sifat dan fungsinya, akan terus memunculkan memori ini dalam bentuk kilas balik ingatan atau flashback yang tentunya cukup mengganggu individu. Setiap kali kilas balik ini terjadi, diri individu segera terisi emosi negatif. Saat emosi negatif yang lekat pada memori berhasil dinetralisir atau dilepas maka pada saat itu pula ia dapat segera menyatu dengan memori autobiografi.

Memori-memori di pikiran bawah sadar semuanya aktif secara simultan, di masa kini. Masing-masing memiliki kehidupannya sendiri. Memori dengan muatan emosi negatif intens menjadi memori yang paling mudah dipanggil kembali atau diingat. Sementara memori normal, tanpa muatan emosi negatif (intens) akan pudar, menjadi samar, dan bahkan terlupakan.

Dalam proses terapi, hampir semua memori traumatik berasal dari kejadian saat individu berada dalam kandungan ibu hingga usia sekitar 10 tahun. Saat terjadi pembuahan, telah ada kesadaran dan yang aktif adalah pikiran bawah sadar. Apapun yang dialami oleh janin dan apa yang dialami dan dirasakan ibunya semuanya terekam di pikiran bawah sadar, menunggu hingga individu belajar bahasa untuk bisa mengungkapkannya.

Kejadian di masa kecil, seperti pelecehan seksual, saat dialami oleh anak, pada saat kejadian, belum dimaknai sebagai pengalaman traumatik. Pada saat itu anak belum paham mengenai hal ini. Namun seiring bertambahnya usia dan pemahaman, pikiran bawah sadar memberikan pemaknaan pada peristiwa itu sehingga menjadi pengalaman traumatik dan mengganggu kestabilan sistem psikis.

Pengalaman Emosional Korektif

Istilah pengalaman emosional korektif (corrective emotional experience) pertama muncul dalam buku Psychoanalytic Therapy: Principles and Application. Pengalaman emosional korektif adalah pemaparan ulang pasien, dalam situasi yang lebih mendukung, pada situasi emosional yang tidak dapat ia hadapi di masa lalu. Hal ini meliputi proses di mana klien meninggalkan pola perilaku lama dan belajar atau belajar ulang pola-pola baru dengan mengalami kembali kebutuhan dan perasaan-perasaan yang belum terselesaikan di masa lalu.  (Alexander, French, dkk., 1946). Dalam upaya mengatasi masalahnya, klien harus menjalani pengalaman emosional korektif yang sesuai untuk memperbaiki pengaruh dari pengalaman-pengalaman traumatik sebelumnya.

Dalam kaitannya dengan memori, hingga saat ini ada kepercayaan, di kalangan terapis tertentu, yang menyatakan bahwa pengungkapan memori traumatik per se bersifat terapeutik. Dengan kata lain, saat memori traumatik berhasil diungkap atau diketahui maka secara otomatis terjadi proses penyembuhan. Hasil penelitian dan temuan di ruang pratik tidak demikian. Pengungkapan memori adalah satu hal. Dan yang sangat penting dan bersifat terapeutik adalah penuntasan trauma. 

Baca Selengkapnya

Tentang Teknik, Proses, dan Biaya Terapi

16 Maret 2017

Saya dapat inbox dari calon klien. Yang pertama ia tanya adalah fee. Kedua, rincian teknik yang akan digunakan dalam membantu dirinya mengatasi masalah dan berapa biaya untuk tiap teknik. Dan ketiga, apakah ada pahe atau paket hemat. Maksudnya, terapi dengan sistem paket.

Saya agak bingung membaca pertanyaan kedua dan ketiga. Kalau soal fee, ini wajar. Klien perlu tahu di depan berapa biaya yang akan ia keluarkan. Untuk sesi terapi, kami, saya dan hipnoterapis AWGI, mensyaratkan komitmen hingga empat sesi. Artinya, bila dalam satu sesi belum tuntas maka terapi dilanjutkan ke sesi berikutnya hingga maksimal empat sesi. Bila sampai empat sesi belum juga tuntas maka terapis akan menyatakan tidak sanggup membantu klien dan menyarankan klien untuk minta bantuan pada terapis lain yang lebih cakap. Namun bila dalam satu atau dua sesi masalah klien telah berhasil diatasi maka tidak perlu lanjut ke sesi berikutnya.

Komitmen empat sesi ini berlaku baik untuk klien maupun terapis. Artinya, bila terapis, karena kondisi tertentu, tidak mungkin memberi terapi hingga empat sesi maka ia tidak boleh menerima klien ini. Ia perlu merujuk klien ke terapis lain.

Mengenai fee yang dihubungkan dengan teknik, setelah saya tanya lebih jauh, barulah jelas duduk persoalannya. Ternyata calon klien ini telah beberapa kali menjalani sesi terapi dengan terapis lain. Saat ditanya berapa fee terapi, terapis menjawab, "Ini bergantung mudah atau sulit kasus anda. Juga bergantung teknik apa yang nanti saya pakai saat menerapi anda. Kalau saya pakai sugesti, biayanya sekian rupiah. Kalau pakai regresi, sekian rupiah. Pakai terapi ego state, beda lagi. Kalau pakai EFT, beda lagi. Kalau terpaksa pakai teknik gabungan, ya harganya juga beda."

Saya sampaikan bahwa sejak tahun 2005 menjalani profesi sebagai hipnoterapis profesional hingga saat ini, saya tidak pernah menemukan kasus mudah atau sulit. Semua kasus sifatnya unik. Seringkali, kasus yang kita anggap mudah, seperti fobia, ternyata setelah diproses, apa yang terungkap di pikiran bawah sadar klien sangat kompleks. Fobia bisa jadi adalah simtom dari satu simtom lain yang berasal dari kejadian traumatik hebat. Pernah ada klien fobia ulat bulu ternyata saat diproses baru ketahuan bila ini berasal dari pengalaman pelecehan seksual berat semasa kecil. Pengalaman ini direpresi oleh pikirannya sehingga ia sendiri tidak sadar. Dan saat ini terungkap, sangat riskan bagi klien bila terapis tidak mampu menangani dengan benar. Ada lagi kasus yang tampak sangat berat, tapi setelah diproses ternyata akar masalahnya sangat sepele. Ini bisa ditangani dengan cepat. Jadi, tidak ada kasus mudah atau sulit. Yang ada, setiap kasus unik.

Sementara tentang fee, saya menentukan per sesi yang berlangsung sekitar 2 - 3 jam. Dalam satu sesi saya bisa memberi konseling dan atau terapi sesuai kebutuhan dan kesiapan klien. Saya tidak pernah menentukan fee berdasar teknik karena saat saya membantu klien saya akan gunakan semua pengetahuan, pengalaman, pemahaman, teknik, atau apapun yang saya kuasai untuk bisa membantu klien secara optimal. Seringkali dalam satu sesi terapi saya menggunakan lebih dari sepuluh teknik.

Berikut ini saya beri contoh agar jelas. Saat sesi wawancara, saya melakukan teknik waking hypnotherapy, memberi sugesti tanpa klien sadari, membantu klien memberi makna baru pada kejadian tertentu. Saya juga sering mengajari klien teknik sederhana namun sangat efektif untuk mengatasi emosi negatif seperti Hypno-EFT. Di tahap ini saja bisa dihitung berapa teknik yang digunakan.

Sebelum terapi, saat melakukan induksi, saya banyak memberi sugesti untuk memperkuat daya psikis klien. Ini satu teknik tersendiri. Kemudian, saya gunakan IMR untuk berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar klien dan hypnotic regression untuk menemukan akar masalah. Dalam proses menemukan akar masalah atau ISE biasanya akan melewati beberapa SSE. Setelah mencapai ISE, saya melakukan rekonstruksi kejadian traumatik dan resolusi trauma. Di sini ada teknik abreaksi, saya bisa menggunakan hingga tiga teknik abreaksi bergantung kondisi klien, lanjut dengan teknik RH, Gestalt, IM/IF/IP, RF, AOO, SB, dan masih banyak teknik lagi. Ini baru ISE. Hal yang sama juga dilakukan di SSE-SSE. Jalur terapi akan berbeda saat saya menggunakan EPT untuk mencari dan menemuka iEPCE.

Apakah sudah selesai sampai di sini? Belum. Ini baru separuh jalan. Proses terapi masih sangat panjang. Saya masih perlu menggunakan teknik spesifik untuk mengecek bahwa proses terapi telah benar-benar tuntas dilakukan. Tidak ada sisa emosi atau EP yang menolak proses dan hasil terapi. Teknik ini juga memastikan tidak ada EP yang sembunyi dan nanti akan mengganggu hasil terapi yang telah dicapai. Setelah semua proses dipastikan berjalan seperti yang diharapkan, baru dilakukan terminasi. Sebelum terminasi, klien kembali diberi penguatan daya psikis yang dilakukan secara compounding. Saat sudah selesai terapi, selama masih duduk di kursi terapi, pemberian sugesti, tanpa klien sadari, terus diberikan.

Mengacu pada penjelasan saya di atas, bila setiap teknik dikenakan biaya tersendiri, kira-kira berapa yang harus klien bayar? Saya tentu sangat senang bila klien minta sistem pembayarannya berdasar jumlah teknik yang digunakan. 

Ada juga calon klien yang meyampaikan pada saya bahwa biaya terapi yang ia bayar dihitung berdasar berapa SSE dan ISE. Jadi, misalnya, saat mencari akar masalah (ISE) melewati lima SSE akan beda bila hanya melewati dua SSE. Semakin banyak SSE akan semakin mahal.

Kami tidak melakukan hal ini. Yang kami hitung adalah per sesi. Dengan demikian klien tidak bingung untuk turut menghitung berapa teknik yang digunakan untuk membantu dirinya.

Terakhir, soal pahe. Kami tidak pernah melakukan hal ini. Di tempat kami, tidak ada terapi sistem paket. Bila sistem paket diterapkan, ini akan merepotkan. Misal, satu paket terdiri tujuh sesi terapi dan klien sembuh di sesi pertama. Bagaimana dengan enam sesi lainnya? Apakah masih tetap diberlakukan? Kalau tidak, apa ada diskon?

Baca Selengkapnya

Lebih Memahami Self Hypnosis

22 Februari 2017

Hipnosis adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar dan diikuti dengan diterimanya suatu sugesti atau pemikiran tertentu. Sesuai definisinya, hipnosis sejatinya relaksasi pikiran, bukan relaksasi fisik. Relaksasi fisik bisa, namun tidak selalu, terjadi saat individu dalam kondisi hipnosis. Dengan demikian relaksasi fisik tidak dapat digunakan sebagai acuan penentu kondisi dan kedalaman hipnosis. Acuan presisi yang digunakan adalah relaksasi mental.

Hipnosis dapat terjadi sebagai heterohypnosis, yaitu hipnosis yang dilakukan operator pada subjek, parahypnosis yaitu hipnosis yang terjadi karena pengaruh obat, autohypnosis yaitu hipnosis yang terjadi secara spontan dan bersifat adaptif untuk keselamatan hidup, serta self-hypnosis yaitu hipnosis yang dilakukan pada dan oleh diri sendiri.

Proses mental pada masing-masing hipnosis berbeda satu dengan yang lain. Pada heterohypnosis, ego terbagi menjadi dua yaitu satu bagian yang mengalami kondisi hipnosis dan satu lagi yang mengamati. Pada parahypnosis, bagian yang mengamati sangat lemah, bisa juga non-aktif, sehingga yang ada hanyalah bagian yang mengalami hipnosis. Dalam autohypnosis, individu tidak menyadari keberadaan hipnosis karena prosesnya sepenuhnya dijalankan oleh pikiran bawah sadar. Bahkan saat keluar dari kondisi hipnosis, ia juga tidak menyadarinya. Pada self-hypnosis, terjadi aktivasi tiga ego berbeda yaitu bagian yang mengalami hipnosis, bagian yang melakukan hipnosis (director / sutradara), dan bagian yang mengamati.

Mode Fungsi Ego dalam Self Hypnosis

Dalam self-hypnosis terdapat tiga mode fungsi ego, yaitu ego pasif (ego passivity), ego aktif (ego activity), dan ego reseptif (ego receptivity). Konsep ini dikembangkan oleh Fromm dan Kahn (1990). Ego pasif didefinisikan sebagai ketidakberdayaan akibat dorongan internal atau batasan lingkungan. Ini bisa berupa ketidakmampuan sementara untuk membuat keputusan atau sebuah regresi patologis, seperti dalam psikosis. Dalam self-hypnosis, ego pasif terjadi saat klien merasa terbebani oleh gambar mental yang ia alami dan tidak mampu mengatasi konflik akibat bentuk-bentuk pikiran yang muncul dari dalam diri.

Ego aktif terdiri atas pembuatan keputusan, kegiatan yang diarahkan oleh tujuan, berpikir logis berurutan, aktivasi dan pemeliharaan mekanisme pertahanan diri secara psikologis. Dalam self-hypnosis, ego aktif adalah aktivitas mental yang diarahkan seperti keputusan, pikiran, atau sugesti yang klien berikan pada dirinya sendiri (Fromm dan Kahn, 1990). Mode ini melibatkan pilihan, kehendak bebas, mekanisme pertahanan, dan penguasaan.

Ego reseptif adalah mode di mana kendali secara sadar dari pengalaman internal, penilaian kritis, dan berpikir yang diarahkan oleh tujuan, untuk sementara waktu dilepas, dan individu mengijinkan materi dari nirsadar dan bawah sadar secara bebas muncul (Fromm dan Kahn, 1990). Ini serupa dengan sugestibilitas dalam heterohypnosis.

Dalam penelitian Chicago Paradigm, pada subjek-subjek yang sangat sugestif ditemukan mode yang paling sering terjadi dalam self hypnosis adalah ego aktif dan ego reseptif. Suseptibilitas hipnosis, kedalaman hipnosis, ketercerapan, dan imaji berorientasi realita semuanya berhubungan dengan ego reseptif. Ini semua menunjukkan bahwa ego menjadi sangat reseptif terhadap stimuli yang berasal dari dalam diri saat terjadi self-hypnosis.

Dari perspektif teori kepribadian, individu yang menyukai keteraturan, kepastian, struktur baku dalam kehidupan mereka, dan membutuhkan peneguhan atau penguatan serta arahan dari orang lain, saat melakukan self-hypnosis akan bersifat ego aktif. Mereka akan memberi diri mereka sangat banyak sugesti sehingga tidak mengijinkan gambaran mental muncul spontan dan tidak tercerap dalam proses yang dijalani, atau mengijinkan diri mereka masuk ke kondisi hipnosis lebih dalam. Sementara individu mandiri, berani mengambil risiko, butuh sedikit dukungan eksternal, dan tidak membutuhkan keteraturan yang tinggi dalam hidup cenderung akan sangat ego reseptif dan terbuka terhadap pengalaman internal (Fromm dan Kahn, 1990).

Self-Hypnosis Klinis

Self-hypnosis klinis berbeda dengan self-hypnosis umumnya yaitu ia merupakan pelengkap pendekatan terapi lainnya, bisa psikoterapi individual, terapi kelompok, atau terapi keluarga (Sanders, 1991). Dalam konteks ini, terapis mengajari klien self-hypnosis, biasanya melalui heterohypnosis, mengarahkan klien untuk kemudian mempraktikkannya sendiri di rumah. Ini mendorong klien untuk berperan serta aktif dalam terapi, bekerja sama dengan terapis, dan membangun kecakapan penguasaan diri dan pemeliharaan diri. Klien melakukan self-hypnosis di rumah, di sela sesi terapi.

Cara Melakukan Self-Hypnosis

Cara paling mudah melakukan self-hypnosis adalah melalui heterohypnosis. Dalam heterohypnosis subjek masuk kondisi hipnosis karena bimbingan operator. Setelah subjek berada di kedalaman yang diinginkan, subjek bisa diberi sugesti atau jangkar (anchor) sehingga nanti dapat masuk kembali ke kedalaman yang sama, atau lebih dalam lagi, sendiri tanpa perlu bantuan orang lain.

Situasinya berbeda bila sedari awal subjek berusaha melakukan self-hypnosis sendiri. Dari uraian di atas jelas sekali bahwa subjek yang dibimbing masuk kondisi hipnosis, melalui heterohypnosis, ego yang aktif hanya dua: yang mengalami dan yang mengamati. Saat melakukan self-hypnosis, ego terbagi menjadi tiga: yang mengalami, yang melakukan, dan yang mengamati. Bagi yang tidak biasa, ini tentu akan cukup sulit untuk bisa masuk ke kondisi hipnosis yang (sangat) dalam karena ada satu bagian diri (ego) yang harus tetap aktif melakukan hipnosis pada diri sendiri.

Cara lain melakukan self-hypnosis adalah menggunakan rekaman audio yang berisikan skrip tertentu. Prosesnya sama seperti heterohypnosis. Bedanya, heterohypnosis butuh orang lain sebagai operator sementara dalam rekaman audio peran operator digantikan oleh mesin yang memainkan rekaman yang telah disiapkan sebelumnya.

Fenomena dalam self-hypnosis, yang umum dipahami, melibatkan keseluruhan kepribadian (ego). Namun pada beberapa klien yang mengalami resistensi biasanya ada satu atau beberapa bagian diri (ego personality/ EP) yang merasa tidak nyaman, takut, atau menolak proses self-hypnosis.

Untuk mengatasi hal ini terapis perlu mencari dan menemukan EP yang resisten, melakukan terapi pada EP ini sehingga akhirnya subjek dapat dengan mudah dan mampu melakukan self-hypnosis (McNeal dan Frederick, 1998).

Belajar Self-Hypnosis

Self-hypnosis, bila mampu dilakukan dengan benar, sangat banyak manfaatnya. Saat seseorang dalam kondisi hipnosis, tubuhnya mengalami respon relaksasi yang sangat baik untuk kesehatan. Penelitian tentang respon relaksasi ini telah dilakukan secara intensif oleh Herbert Benson dari Harvard Medical School.

Untuk tujuan terapi diri, self-hypnosis, dalam pengertian sebagai upaya swadaya untuk masuk kondisi hipnosis, tidak terapeutik. Kondisi hipnosis per se tidak bersifat terapeutik, namun adalah prasyarat untuk bisa melakukan teknik-teknik penyembuhan secara efektif yang melibatkan pikiran bawah sadar. Untuk bisa melakukan penyembuhan diri swadaya membutuhkan teknik yang sesuai dengan kondisi yang hendak diatasi.

Ada banyak trainer atau lembaga yang mengajarkan self-hypnosis, masing-masing dengan durasi pelatihan dan kurikulum yang berbeda. Artikel ini tidak bertujuan untuk menunjuk langsung atau merekomendasikan pelatihan mana yang sebaiknya diikuti. Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi agar satu pelatihan dikatakan baik dalam konteks mengajarkan self-hypnosis.

Syarat ini antara lain, pertama, pengajarnya adalah seorang hipnoterapis klinis yang aktif menangani klien di ruang terapi. Syarat pertama ini mutlak perlu dipenuhi mengingat trainer yang baik adalah trainer yang praktisi, bukan teoris. Kedua, dalam pelatihan dijelaskan detil tentang landasan teoretik yang digunakan trainer mengajar self-hypnosis, cara kerja pikiran sadar dan bawah sadar, apa itu kondisi hipnosis, bagaimana cara mencapai kondisi ini, apa saja ukuran baku untuk mengetahui dan memastikan seseorang telah masuk kedalaman kondisi hipnosis tertentu. Akan sangat baik bila trainer memiliki alat ukur guna membuktikan secara kuantitatif kondisi hipnosis yang dicapai peserta. Ketiga, teknik self-hypnosis yang diajarkan mampu membawa peserta dengan tipe sugestibilitas berbeda untuk bisa masuk kondisi hipnosis. Ini sangat penting mengingat sering dijumpai peserta pelatihan yang tidak bisa masuk kondisi hipnosis karena teknik yang diajarkan tidak efektif. Keempat, peserta mendapatkan teknik-teknik self-healing yang telah teruji secara klinis efektif untuk mengatasi masalah. 

Dari berbagai literatur dan juga pengalaman klinis dapat disimpulkan bahwa untuk memelajari self-hypnosis secara mendalam tidak mungkin dilakukan hanya dalam dua atau tiga jam. Selain perlu mendapat uraian mendalam tentang teori dan teknik, para peserta juga perlu berlatih, di tempat pelatihan, untuk bisa masuk ke kondisi hipnosis sendiri. Dan di tahap awal ini tentu butuh bimbingan dan bantuan trainer.

Kontraindikasi untuk Self-Hypnosis Klinis

Walau self-hypnosis memiliki banyak manfaat, terdapat beberapa kontraindikasi penggunaannya. Self-hypnosis sebaiknya tidak digunakan oleh klien dengan transferensi erotik atau negatif yang kuat (Soskis, 1986). Self-hypnosis juga tidak disarankan digunakan oleh klien yang mengalami gangguan stres pascatrauma atau PTSD (post-traumatic stress disorder) atau disosiatif yang belum memelajari bagaimana menghasilkan kondisi hipnosis yang positif atau bebas konflik, atau yang belum cukup mampu mengendalikan pergantian alter yang bermasalah. Self-hypnosis juga tidak disarankan penggunaannya oleh klien delusi paranoid, atau klien psikotik atau gangguan kepribadian ambang (borderline) yang sebaiknya tidak mengalami kontak dengan imaji atau gambaran mental yang berasal dari proses berpikir primer. 

Selain itu, self-hypnosis juga sebaiknya tidak diajarkan pada klien yang motivasinya rendah, atau yang menggunakan self-hypnosis sebagai pelarian dari realita atau yang secara aktif menolak terapi. Beberapa klien bisa menggunakan self –hypnosis sebagai cara untuk memuaskan adiksinya pada trauma, dengan secara sengaja dan berulang mengakses pengalaman traumatik dan mengalami abreaksi sebagai bentuk stimulasi yang membangkitkan gairah.

Self-hypnosis juga sebaiknya tidak diajarkan pada klien yang bertujuan untuk mengungkap “fakta” yang tersimpan di memori pikiran bawah sadar. Memori bersifat rekonstruktif, bukan reproduktif. Dengan demikian, sama seperti dalam heterohypnosis, memori yang terungkap belum tentu akurat mengingat distorsi yang dapat terjadi pada memori.

(sumber: www.AgusWirajaya.com)

Baca Selengkapnya

Mengatasi Dorongan Bunuh Diri dengan Hipnoterapi Klinis

9 Februari 2017

Beberapa waktu lalu saya kedatangan seorang klien dari luar kota. Klien ini, sebut saja sebagai Budi, usia awal 40an, telah berkeluarga. Budi datang ke saya setelah didesak oleh istrinya dan juga kedua orangtuanya untuk mencari bantuan profesional. Masalah Budi adalah ia sering tiba-tiba menangis tanpa sebab dan ia juga tidak bisa merasakan apa emosi yang menyebabkan ia menangis. Kondisinya semakin diperparah dengan adanya dorongan sangat kuat untuk melakukan tindakan bunuh diri. Beberapa kali Budi mencoba bunuh diri dengan minum obat penenang dan mengiris urat nadi. Kejadian terakhir yang akhirnya mendorong Budi jumpa saya adalah saat berada di lantai sepuluh salah satu mal muncul keinginan sangat kuat untuk melompat, terjun bebas ke lantai dasar. 

Melalui proses wawancara ditemukan beberapa fakta menarik mengenai proses perjalanan hidup Budi. Kedua orangtua, terutama ayah Budi, sangat keras dalam mendidik Budi. Setiap kali Budi dapat nilai ujian jelek, ayahnya pasti akan memberi hukuman dalam bentuk pukulan menggunakan rotan atau sabuk hingga kaki Budi terluka dan berdarah. Dan memang saat kecil Budi mengalami kesulitan belajar. Ia sulit konsentrasi sehingga tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Budi berulang kali mengatakan bahwa ia yakin pengalaman buruk dengan ayahnya inilah yang menjadi penyebab dorongan untuk bunuh diri yang ia rasakan. 

Saat kelas empat, Budi sering berkelahi dengan teman-temannya. Menurut Budi, sebenarnya ia tidak berkelahi. Ia meminta teman-temannya untuk memukuli dirinya dan ia sama sekali tidak melawan. Budi menikmati setiap pukulan yang mendarat di tubuhnya, termasuk saat ia ditendang dan diinjak-injak. Dorongan menyakiti diri sendiri ini terus berlanjut hingga usia remaja, terutama saat SMP dan SMA. 

Dorongan bunuh diri, menurut Budi, muncul pertama kali saat usia 15 tahun. Untuk mengatasi dorongan bunuh diri, setiap hari Budi minum minuman beralkohol, olahraga berlebih, dan menyibukkan diri dengan bekerja mulai pagi hingga larut malam. Budi juga suka memukul tembok atau objek lain untuk menghilangkan dorongan bunuh diri. Semua yang Budi lakukan tak kuasa menanggulangi dorongan yang semakin lama semakin kuat ia rasakan. 

Saya mencatat semua yang Budi sampaikan dan selanjutnya mulai melakukan terapi dengan mengakses pikiran bawah sadar Budi. Mengikuti alur Quantum Hypnotherapeutic Protocol, saya mengakses Bagian Diri atau Ego Personality (EP) yang mendorong Budi melakukan tindakan bunuh diri. EP ini jugalah yang menikmati rasa sakit yang dialami klien saat dipukuli teman-temannya dulu. 

Ternyata tidak mudah melakukan negosiasi dan edukasi pada EP ini agar ia berhenti melakukan yang telah ia lakukan selama ini pada Budi. Walau terkesan setuju dengan usul atau saran saya, agar ia mengganti peran dalam diri Budi, saya menangkap ada keengganan. 

Tidak ada cara lain, untuk menuntaskan kasus ini, saya perlu mengakses dan memodifikasi struktur pembentukan EP. Dengan teknik tertentu, setelah melalui rangkaian yang terdiri dari dua kejadian, saya berhasil menemukan struktur awal pembentukan EP. Saya memodifikasi dan mengubah struktur ini. Selanjutnya saya melakukan pengecekan apakah dorongan bunuh diri ini masih ada atau tidak. 

Saat saya tanyakan hal ini pada Budi, ia menjawab dorongan bunuh diri masih ada. Hal ini tentu membuat saya penasaran. Biasanya, saat struktur pembentukan EP dimodifikasi, sifat EP pasti berubah. Tapi, kali ini tidak. Apa yang terjadi?

Saat saya bertanya siapa yang mendorong Budi bunuh diri, sekarang, ternyata buka EP ini. Ada EP lain yang memunculkan dorongan ini. Saya segera sadar bahwa ini bukan kasus sederhana. Dorongan bunuh diri ini bersifat multilayer atau banyak lapisan. 

Saya putuskan mengganti teknik untuk mencari dan menuntaskan akar masalah. Dengan teknik hipnoanalisis, yang dilakukan dalam kondisi deep trance, ditemukan hal sangat menarik. 

Pada hipnoanalisis pertama, dorongan bunuh diri dirasakan disekujur lengan kiri dengan intesitas delapan, menggunakan skala nol hingga sepuluh. Dibutuhkan dua regresi berbasis afek untuk bisa menemukan kejadian paling awal (ISE). Setelah ini dibereskan, dorongan bunuh diri masih ada. 

Saya lanjut dengan hipnoanalisis kedua. Kali ini dorongan bunuh diri dirasakan di seluruh telapak tangan kiri, dengan intensitas sembilan. Sama dengan sebelumnya, butuh dua kali regresi berbasis afek untuk bisa menemukan ISE. Setelah dilakukan proses menetralisir emosi di dua kejadian ini, dorongan bunuh diri masih tetap ada. 

Proses terapi dilanjutkan dengan hipnoanalisis ketiga. Kali ini Budi merasakan dorongan bunuh diri hanya di empat jari kiri, dengan intensitas lima. Untuk menemukan akar masalah dibutuhkan tiga kali regresi. Saat emosi pada tiga kejadian ini telah dinetralisir, saat ditanya, Budi tetap masih merasakan adanya dorongan bunuh diri. 

Lanjut dengan hipnoanalisis keempat. Dorongan bunuh diri kali ini dirasakan di ujung-ujung jari tangan kiri dengan intensitas enam. Kali ini hanya butuh dua regresi untuk menemukan akar masalah (ISE). Saat tahap ini selesai dilakukan, Budi merasa lega dan menyatakan tidak lagi merasakan keberadaan dorongan bunuh diri. 

Selaku terapis saya tentu gembira dengan pernyataan Budi. Namun, pengalaman klinis membuat saya menunda rasa gembira ini. Saya memutuskan melakukan pemeriksaan menyeluruh pada sistem psikis dan tubuh Budi. Menggunakan teknik khusus yang didesain untuk tujuan ini, saya melakukan pengecekan dan akhirnya ditemukan sisa dorongan bunuh diri yang menempati betis kanan Budi. Walau disebut sisa, namun dorongan ini masih cukup kuat karena intensitasnya masih di angka delapan. Dorongan ini yang membuat Budi ingin melompat dari tempat tinggi untuk bunuh diri. 

Saya putuskan lanjut dengan hipnoanalisis kelima. Dan kali ini, hanya dengan sekali regresi berhasil ditemukan akar masalah. Saya memroses tuntas akar masalah ini. Kemudian lanjut dengan pengecekan ulang. Hasilnya, bersih. Sama sekali tidak ada sisa sedikitpun dorongan untuk bunuh diri. 

Proses terapi dilakukan selama empat jam dua puluh menit. Proses ini cukup melelahkan Budi. Sebenarnya masih ada satu kasus lagi yang Budi ingin saya bantu atasi namun saya putuskan ditunda mengingat kondisinya yang sudah cukup lelah. 

Kasus ini, jujur, bukan kasus yang mudah. Butuh kesabaran tinggi dan kejelian untuk bisa benar-benar menuntaskan akar masalah. Total, ada enam proses. Masing-masing proses menemukan akar masalah berbeda. Bila diibaratkan sungai, dorongan bunuh diri pada Budi adalah muara yang aliran airnya dipasok oleh enam sungai berbeda. Masing-masing sungai dengan deras dan debit air yang berbeda namun sama kuatnya. Dengan demikian bisa dibayangkan betapa besar kekuatan tenaga aliran sungai di muara.  

Usai terapi, saya sengaja mengajak Budi diskusi. Dan ini saya lakukan selama dua puluh menit sambil mengamati kondisi fisik dan terutama psikis Budi. Budi barusan melewati proses terapi yang panjang. Dan saya perlu memastikan Budi benar-benar telah keluar dari kondisi somnambulisme dan berada di kesadaran normalnya. Selain itu, fisik Budi juga perlu segar kembali. Semua ini penting mengingat Budi datang ke tempat saya dengan mengendarai mobil. Cukup riskan bila ia pulang ke rumahnya, mengendarai mobil, dengan kondisi fisik dan psikis yang belum segar sepenuhnya. 

Tiga hari kemudian Budi jumpa saya lagi untuk sesi lanjutan. Saat jumpa saya, saya bertanya apa saja yang ia rasakan atau alami pascaterapi. Budi dengan gembira menjawab bahwa ia kini sudah bisa merasakan emosinya. Ia juga tidak lagi ada dorongan bunuh diri. Biasanya, sebelum diterapi, setiap bangun tidur selalu muncul keinginan untuk melukai diri. Namun setelah terapi, keinginan ini hilang total. Budi juga bisa tidur dengan mudah, tidak lagi minum minuman beralkohol. Budi merasa ada beban yang sangat besar lepas dari dirinya dan ia kini merasa bebas. Wajah Budi juga lebih cerah dan ceria. Orangtua Budi juga mengabarkan perubahan positif Budi. Mereka merasakan benar perubahan Budi pascaterapi. 

Di sesi kedua saya membantu Budi mengatasi kasus lain, yang belum sempat tertangani di sesi pertama karena Budi sudah kelelahan. 

(Kisah ini ditulis dan dipublikasi atas ijin klien. Nama klien diganti untuk menjaga kerahasiaan dan privasi. Klien mengijinkan kisahnya ditulis dan dibaca publik agar dapat memberi inspirasi dan harapan bahwa sesulit apapun suatu kondisi, tetap ada solusi.)

Baca Selengkapnya

Pikiran: Satu Tapi Banyak, Banyak Tapi Satu

14 Januari 2017

(Dalam artikel ini penulis sengaja menggunakan istilah ego state karena merujuk pada sejarah, teori, dan literatur awal yang membahas topik tulisan agar dapat memberi perspektif yang sesuai. Dalam berbagai artikel lain yang telah dipublikasi, penulis menggunakan istilah ego personality.)

Perjalanan panjang peradaban manusia tentu tak lepas dari upaya meraih kebahagiaan. Upaya ini tidak senantiasa berjalan mulus seperti diharapkan. Ada beragam masalah muncul atau dialami individu terutama yang berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental.

Di masa lampau, saat individu mengalami masalah, baik fisik dan atau mental, dan meminta bantuan penyembuh untuk mengatasi masalahnya, para penyembuh masa itu menggunakan salah satu dari dua pendekatan. Pertama, individu bermasalah karena jiwa atau rohnya keluar dari tubuh, disandera, atau disembunyikan oleh kekuatan dari luar diri individu. Untuk sembuh tidak ada cara lain selain menemukan dan memasukkan kembali jiwa atau roh ke dalam diri. Kedua, individu bermasalah karena dirinya dimasuki roh atau entitas asing dan menguasai dirinya. Ia hanya bisa sembuh saat roh asing ini berhasil diusir keluar dari dirinya (Clement, 1932; Ellenberger, 1970). Ritual pengusiran setan (exorcism) bertujuan untuk mengeluarkan elemen diri asing telah digunakan selama ribuan tahun dalam praktik penyembuhan dan sayangnya masih terus berlanjut hingga saat ini dan direkomendasi oleh terapis tertentu (Friesen, 1991).

Pemahaman para penyembuh di masa lalu tentunya benar untuk masanya. Seiring perkembangan dan kemajuan zaman, pemahaman akan diri, dalam konteks psikologi  klinis, juga berkembang pesat. Kepercayaan bahwa kepribadian manusia terdiri atas banyak bagian atau subdiri diyakini oleh banyak praktisi dan teoretikus. Para klinisi seperti Janet (1919/1976), William James (1890/1983), Morton Prince (1905/1978), Franz Alexander (1930), dan Milton Erickson (1940/1980) meyakini pikiran terdiri atas banyak bagian. Demikian pula Assagioli (1965) dengan psikosintesa-nya dan Eric Berne (1961) dengan Analisis Transaksional-nya. Sementara Carl Jung (1969) mengembangkan versinya sendiri dan membagi bagian pikiran menjadi kompleks dan arketipe.

Temuan riset menyatakan bahwa pikiran tidak bersifat tunggal namun tersusun atas bagian-bagian. Riset yang dilakukan oleh Hilgard (1977, 1984) menemukan keberadaan pengamat tersembunyi (hidden observer) yang sebelumnya tidak diketahui keberadaannya namun menjadi aktif saat diakses dengan cara tertentu. Watkins dan Watkins (1979/1980) juga menemukan hal serupa. Gazzaniga (1989,1995) yang fokus pada penelitian di bidang neurobiologis otak menemukan substrat yang mengatur aktivitas mental dan membenarkan bahwa pikiran terdiri atas bagian-bagian. Demikian pula interpretasi bukti neurobiologis yang dilakukan oleh Ornstein (1987) menyimpulkan bahwa manusia sejatinya memiliki multi-pikiran.

Pandangan salah bahwa kepribadian bersifat tunggal mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman akan kondisi diri, memunculkan pandangan negatif dan harga diri yang buruk, saat seseorang memandang dirinya hanya dari satu perspektif. Individu positif yang melakukan banyak kebaikan bisa salah menilai dirinya sebagai orang yang buruk hanya karena ada satu bagian dirinya melakukan hal buruk dan ia memaknainya keseluruhan dirinya buruk (Schwartz, 1995).

 

Teori Ego State

Salah satu teori yang sangat gamblang dalam menjelaskan konsep pikiran bersifat majemuk adalah teori Ego State yang dikembangkan oleh Federn (1952). Teori dan pemikiran Federn selanjutnya diterbitkan dalam buku berjudul Ego Psychology and the Psychoses (Federn, 1952).

Dalam teori Federn, sistem psikis digerakkan oleh energi. Berbeda dengan Freud, Federn tidak menggunakan istilah libido tapi cathexis, yang bermakna penyaluran atau pemanfaatan energi. Federn percaya bahwa energi psikis dapat dimanfaatkan atau disalurkan pada ego (ego cathexis) atau pada objek (object cathexis). Ego cathexis dapat dipandang sama dengan atau sebagai “diri” dan memiliki satu kualitas dasar yaitu perasaan “keakuan” (Watkins, 1992). Saat suatu objek mendapat atau dialiri dengan object cathexis, ia dialami sebagai sesuatu yang berada di luar diri. Federn mendefinisikan ego state hanya memiliki ego cathexis.

Ego state terbentuk di usia dini dan mereka hidup berdampingan dalam keseimbangan dinamis. Setiap ego state memiliki riwayat atau sejarah hidup, pemikiran, persepsi, perasaan, perilaku, dan keterlibatan fisik (Federn, 1952), peran, fungsi, atau tugas spesifik dalam sistem diri individu dan fungsi kognitifnya sendiri (Gunawan, 2012).   

Kekhasan ego state menjadikannya tidak bisa direduksi menjadi kategori umum seperti inner child, atau orangtua (parent), orang dewasa (adult), dan anak (Berne, 1961). Ego state juga bukan arketipe Jungian. Ego state adalah komponen dari pengelompokan energi internal yang masing-masing saling memengaruhi.

Cara sederhana untuk memahami distribusi energi di antara ego state adalah melalui konsep executive ego state atau ego state yang aktif. Ego state, yang pada satu saat tertentu memiliki paling banyak energi dalam sistem psikis disebut executive atau aktif menjalankan, mengendalikan, dan adalah diri individu pada saat itu. Setiap kali satu ego state menjadi executive, ia mengalami dirinya sendiri sebagai “saya” atau “aku”, dan mengalami ego state lainnya sebagai “dia” atau mereka”.

Upaya mempelajari dan memahami teori ego state perlu dilandasi konsep bahwa setiap ego state adalah baik dan bertujuan membantu dan demi kebaikan individu. Menurut Federn (1952) ego state terbentuk di usia dini. Namun para klinisi yang melakukan terapi berbasis ego state menemukan bahwa ego state dapat terbentuk kapan saja, walau benar masa utama pembentukan mereka adalah di usia dini. Ego state terbentuk melalui tiga cara: proses bertumbuh individu secara normal, introjeksi dari orangtua atau figur penting/otoritas, atau kejadian penting, dan tercipta untuk mengatasi pengalaman traumatik (Watkins, 1993).

Yang dimaksud dengan pengalaman traumatik di sini antara lain kecelakaan, sakit,bencana alam, cedera, kekerasan yang dilakukan pada anak, atau kejadian lain dengan muatan emosi intens yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh diri individu. Temuan kami menyatakan, selain tiga cara di atas, ego state juga dapat terbentuk melalui dua belas cara lain yaitu, antara lain, muncul sendiri untuk melaksanakan tujuan tertentu, tercipta melalui imprint, sengaja diciptakan dengan sugesti, dan akibat hasil pembelajaran (Gunawan, 2012).

Watkins dan Watkins (1990) mengajukan teori bahwa banyak ego state tercipta untuk membantu anak berhadapan dengan dan mengatasi pengalaman traumatik. Mereka meyakini bahwa anak memiliki keterbatasan respon saat menghadapi trauma berlebih. Respon anak bisa berupa menarik diri dari realita dan menjadi psikotik. Respon lainnya, sama buruknya, yaitu anak, karena tidak tahan menghadapi atau mengalami trauma, akhirnya melakukan tindakan bunuh diri. Dan kemungkinan ketiga adalah anak, pada level pikiran bawah sadar, membentuk ekspresi diri kreatif, sebuah ego state, sebagai bagian dari pertahanan diri (defense mechanism), yang khusus berfungsi melokalisir atau menghadapi trauma demi kebaikan sistem psikis secara umum.

Umumnya ego state, setelah tercipta, akan bertumbuh mengikuti pertumbuhan dan perkembangan individu, termasuk dalam hal ini usia, pengetahuan, dan pengalamannya juga bertambah. Namun ego state tertentu, terutama yang tercipta dari pengalaman traumatik, mengalami fiksasi, tidak bertumbuh.

 

Spektrum Ego State

Untuk lebih mudah memahami ego state, ia dapat dipandang sebagai entitas yang dipisahkan, dengan ego state lainnya, oleh sebuah membran semipermeabel. Kondisi ideal membran yaitu ia cukup tebal untuk memisah, dan cukup tipis untuk memungkinkan komunikasi egostate. Terdapat variasi keterpisahan dan keteraksesan di antara ego state normal. Patologi terjadi saat membran ego state mulai menebal dan ia memisahkan diri dari keterhubungan dengan ego state lainnya. 

Bila menggunakan garis kontinum, pada ekstrim kiri adalah kondisi ego state sehat, normal, hubungan di antara mereka baik, harmonis. Para ego state ini saling mengenal, berbagi informasi atau konten mental. Pada titik tengah adalah spektrum ego state yang mulai terpisah, namun belum sepenuhnya disosiatif. Masuk dalam kategori ini adalah kondisi gangguan makan (Frederick, 1994g; Torem, 1987a), depresi (Frederick, 1993b; Newey, 1986), gangguan obsesif kompulsif (Phillips, 1993a, 1993b), dan gangguan panik (Frederick, 1993c).

Sementara pada ekstrim kanan adalah ego state yang memisah diri karena tebalnya membran dan komunikasi dengan ego state lainnya, dalam sistem psikis, terputus total. Dalam kondisi ini ego state, saat executive, mengendalikan sepenuhnya diri individu dan ego state lainnya tidak tahu apa yang terjadi karena konten mental ego state yang bermasalah tidak dapat diakses oleh ego state lainnya. Kondisi ini dikenal dengan split-off atau Dissociative Identity Disorder (DID) yang sebelumnya dikenal dengan Multiple Personality Disorder (MPD). Penebalan dinding membran yang mengakibatkan disosiasi disebabkan oleh pengalaman traumatik dengan emosi sangat intens (Gunawan, 2012), dan sekitar 90% disebabkan oleh pelecehan seksual berat (Putnam, 1989).

 

Aktivasi Ego State

Ego state dalam diri individu terbagi menjadi dua kategori. Pertama, ego state permukaan (surface) atau juga dikenal sebagai executive ego state yang aktif dalam kondisi sadar normal dan dikenal sebagai "diri". Kedua, ego state yang aktif di "kedalaman", lebih tidak disadari keberadaannya atau underlying dan bersifat lebih disosiatif serta memiliki jarak dengan ego state lainnya.Para ego state yang aktif di permukaan saling mengenal namun biasanya tidak mengenal ego state yang aktif di kedalaman (underlying).  

Semua ego state, karena berbagi konten mental, sangat sadar apa yang sedang berlangsung atau dialami individu. Dalam konteks klinis, saat satu ego state diaktifkan oleh terapis, ia menjadi executive. Sementara ego state lainnya tetap aktif namun bersifat underlying atau aktif di kedalaman sampai mereka diaktifkan menjadi executive.

Terdapat banyak cara untuk mengaktifkan ego state. Terapis bisa menggunakan metode talking through yaitu bicara dengan ego state melalui kepribadian yang lebih besar, sebagai wadah keseluruhan ego state. Ada dua cara yang bisa dilakukan, langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Cara lain untuk aktivasi ego state adalah dengan langsung memangilnya keluar dan mengajaknya berkomunikasi (Edelstein, 1981; Watkins, 1992). Selanjutnya ego state dapat diaktifkan melalui teknik imajinasi. Teknik ini sifatnya lembut dan memungkinkan terapis memahami apa yang terjadi dalam diri individu berdasar perspektif ego state. Salah satu tekniknya adalah Dissociative Table Technique (Fraser, 1991).

Teknik yang juga banyak digunakan untuk aktivasi ego state adalah ideomotor response. Ego state diundang untuk aktif atau executive dan berkomunikasi dengan terapis melalui gerakan jari. Dalam hal ini terapis perlu cakap dalam menyusun pertanyaan yang diajukan pada ego state. Ego state juga dapat menjadi aktif saat dilakukan regresi dan progresi hipnotik. Regresi bisa dilakukan, antara lain, dengan teknik affect bridge, somatic bridge, atau content bridge. Ego state, khususnya yang resisten dan menghambat proses hipnosis, juga bisa diakses menggunakan resistance deepening technique (Emmerson, 2001). Menulis surat atau jurnal juga sangat efektif untuk mengaktifkan ego state. Menulis surat diawali oleh ego state dewasa (surface) kepada ego state sasaran.

Selanjutnya ego state sasaran menulis surat balasan kepada ego state surface. Selain menulis surat, cara lain yang juga menggunakan menulis untuk aktivasi ego state adalah menulis ekspresif. Dalam konteks ini, individu mengingat satu kejadian kemudian menuangkan kisahnya, beserta perasaan berhubungan dengan kejadian ini dengan tulisan tangan. Saat ini dilakukan ego state surface yang tadinya mengawali menulis, dan bukan yang mengalami pengalaman traumatik, akan bergeser digantikan oleh ego state yang memang benar bermasalah.

Cara berkomunikasi dengan ego state seperti yang dijelaskan di atas adalah cara komunikasi dalam kondisi normal dan dengan ego state normal. Lain halnya bila yang diajak komunikasi adalah ego state yang keras dan (sangat) resisten. Bila berhadapan dengan ego state seperti ini terapis perlu ekstra hati-hati dan cermat. Ego state tipe ini sering menampilkan dirinya dalam bentuk gambaran mental abstrak atau tidak relevan atau mewujud dalam sensasi fisik tertentu. Terapis tidak berpengalaman dapat secara tidak sengaja mengabaikan keberadaan mereka karena tidak mengerti bentuk komunikasi tak lazim dan unik yang dilakukan oleh ego state ini.

Ego state dapat diaktifkan baik dengan atau tanpa kondisi hipnosis. Namun, dari pengalaman klinis, terapi ego state tanpa kondisi hipnosis tidak mampu memberikan akses penuh pada semua ego state dan kemungkinan penyembuhan (Emmerson 2003; Gunawan, 2012).

 

Tujuan Terapi Ego State

Masalah yang dialami individu adalah pertanda bahwa para ego state dalam sistem psikis tidak harmonis. Yang terjadi, karena telah terjadi pemisahan akibat penebalan dinding membran, ada satu atau beberapa ego state yang menjalankan agenda sendiri dengan mengabaikan kepentingan ego state lainnya tanpa memikirkan kepentingan diri individu secara keseluruhan.

Walau ada ego state bertindak tidak harmonis dengan tujuan keseluruhan sistem, dari pengalaman klinis ditemukan bahwa tujuannya selalu baik, menurut pemikiran, perspektif, atau pemahaman ego state tersebut. Seringkali masalah muncul karena ego state ingin melindungi individu melalui mekanisme proteksi yang dipilih olehnya, tanpa sepengetahuan dan persetujuan individu dan ego state lainnya. Dibutuhkan proses terapi demi menyelaraskan kembali tujuan ego state ini sehingga bisa sejalan dengan ego state lainnya demi kebaikan individu (Gunawan, 2012).

Tujuan akhir dari terapi ego state adalah integrasi, bukan fusi. Fusi adalah penyatuan beberapa ego state menjadi satu, sementara integrasi adalah kondisi di mana para ego state mampu berkomunikasi secara penuh satu dengan yang lain, berbagi konten mental, hidup harmonis dalam relasi kooperatif dan suportif (Watkins, 1993).

 

Terapi Ego State dan Neuroplastisitas

Hasil penelitian terkini menggunakan beragam instrumen pemindai canggih menunjukkan bahwa otak tidak statis namun dinamis. Otak memiliki kemampuan neuroplastisitas, kemampuan berubah secara struktural dan fungsional sebagai akibat dari input internal dan eksternal dalam bentuk berpikir, belajar, tindakan berulang, perilaku, perhatian, mengalami pengalaman baru. Semua kegiatan ini memengaruhi gen dan dengan demikian memengaruhi konfigurasi anatomi otak yang selanjutnya berpengaruh pada perilaku, emosi, kognisi, kemampuan motor dan sensori. Singkat kata, perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh pemakaiannya (Perry, 1997; Siegel, 1999; Cozolino 2002; Schore, 2003). 

Setiap terapi yang menghasilkan perubahan, baik pada aspek emosi, perilaku, maupun fisik pasti melibatkan dan berpengaruh pada otak. Laporan tentang hal ini semakin meningkat sejak tahun 1990an, termasuk beragam studi neurofisiologi seperti aliran darah di otak (Yamanishi, Nakaaki, dkk., 2009), tingkat metabolik glukosa otak (Schwartz, Stoeddel, dkk., 1996), studi gelombang otak (Thase, Simons, & Reynolds III, 1996) dan pemetaan otak (Baxter, 1992).

Reinder, Nijenhuis, dkk., (1997) berhasil merekam perbedaan pola gelombang otak pada individu yang mengalami Dissociative Identity Disorder (DID) saat alter berbeda aktif. Walau penelitian hubungan antara psikoterapi dan otak masih perlu terus dilakukan, untuk bisa mendapat gambaran lebih utuh atas apa yang terjadi, saat ini para peneliti berkeyakinan bahwa terapi ego state memengaruhi struktur otak. Dan saat ini, dapat ditunjukkan, bahwa intervensi yang dilakukan secara nyata memengaruhi gen untuk aktif dan nonaktif yang memungkinkan terjadinya neuroplastisitas. 

Baca Selengkapnya

Tidak Ada Masa Lalu atau Masa Depan, Hanya Masa Sekarang

18 Desember 2016

Sistem psikis manusia sejatinya dirancang untuk mengalami hal-hal yang baik, terutama emosi positif yang menyertai atau lekat pada rekam jejak kejadian yang mengkristal dalam wujud memori. Saat seseorang mengalami kejadian bermuatan emosi positif, ia merasa girang, bahagia, senang, nyaman. Dan setelah ingar bingar perasaan mereda, ia kembali ke kondisi normal seimbang. Di kemudian hari, saat mengingat kembali pengalaman ini, ia dapat mengalami kembali perasaan yang sama seperti dulu. Ini hal normal dan baik adanya.

Namun tidak demikian dengan pengalaman bernuansa emosi negatif. Emosi negatif adalah virus yang mengganggu dan menggoyahkan sendi-sendi keseimbangan sistem psikis. Berbeda dengan emosi positif, yang seiring waktu berjalan akan memudar, emosi negatif, sesuai sifatnya, tidak dapat pudar dengan sendirinya. Emosi negatif ibarat api yang terus menyala, berkobar, membara hingga suatu saat dipadamkan secara sengaja atau sadar. Bila tidak, emosi ini akan terus menganggu keseimbangan sistem psikis individu dan terwujud dalam beragam simtom baik di aspek mental maupun fisik. Bila individu kembali meningat kejadian masa lalu yang bermuatan emosi negatif maka terjadi efek penguatan, emosi ini menjadi semakin kuat.

Emosi negatif ini, dalam situasi tertentu, seolah telah padam, tidak lagi dirasakan keberadaannya, secara sadar.  Namun bila terpicu, ia kembali akan naik ke permukaan dan menimbulkan masalah. Emosi ini tetap ada di pikiran bawah sadar, seolah tertidur lelap, menunggu situasi atau saat yang tepat untuk menggeliat bangun dan kembali menunjukkan keberadaannya. Ini disebut dengan padam semu. Padam semu dapat diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain, represi yaitu emosi ditekan sehingga “tenggelam” di kedalaman pikiran bawah sadar, distraksi atau pengalihan di mana individu menyibukkan diri dengan kegiatan lain sehingga tidak merasakan emosi ini, atau “dijinakkan” dengan obat-obatan. Padam semu ini ibarat bom waktu yang sangat destruktif bila suatu saat meledak. Semakin intens emosi, semakin besar energi yang dikandungnya, semakin tinggi daya ledaknya.

Curhat atau meluapkan emosi dalam bentuk ekspresi tertentu, misal verbal atau fisik, yang biasa disebut abreaksi, benar dapat memberi kelegaan, sesaat, namun tidak mampu memadamkan api emosi. Selang beberapa saat, individu akan mengalami simtom yang sama seperti sebelumnya.

Fenomena emosi dan memori, dalam konteks hipnoterapi klinis, sangatlah menarik untuk dikaji. Memori adalah rekaman peristiwa, bukan apa adanya, yang telah dibumbui makna berdasar persepsi atau pemahaman individu. Pemberian makna selanjutnya memunculkan salah satu dari tiga bentuk emosi, positif, netral, atau negatif. Emosi ini dengan sendirinya lekat pada memori. Dan yang selalu menjadi sumber masalah bukan pengalaman atau memori namun emosi. Emosi adalah kunci penyelesaian masalah.

Pandangan awam yang sering mengatakan waktu akan menyembuhkan luka hati/batin akibat pengalaman negatif. Faktanya, waktu tidak dapat menyembuhkan. Luka hati atau batin beda dengan luka fisik. Tubuh fisik bekerja mengikuti hukumnya sendiri dan ini beda dengan hukum yang mengatur kerja pikiran bawah sadar, yang oleh awam disebut sebagai hati.

Pengalaman klinis membuktikan bahwa emosi yang, bahkan, berasal dari pengalaman semasa dalam kandungan tetap eksis dan terus muncul, lebih tepatnya dimunculkan oleh pikiran bawah sadar, sehingga dirasakan dan diketahui keberadaannya oleh individu. Tujuannya satu, ia perlu segera dikeluarkan dari sistem psikis agar keseimbangan asal (default equilibrium) kembali tercapai dan individu bisa kembali tenang, damai, dan bahagia.

Sejatinya, tidak ada masa lalu, tidak ada masa depan, yang ada masa sekarang, di sini, saat ini. Inilah satu-satunya waktu yang berlaku di pikiran, tepatnya  pikiran bawah sadar. Masa lampau, masa sekarang, dan masa depan adalah kreasi ilusif pikiran sadar guna memudahkan individu meletakkan kejadian atau peristiwa di lini masa. Saat individu berkata, “Oh…waktu saya masih kecil…..”, atau “Tahun lalu, saya mengalami…..”, sebenarnya yang mengutarakan hal ini adalah pikiran sadar seolah-olah kejadian ini terjadi di masa lalu, telah selesai, berlalu. Namun, di pikiran bawah sadar, semua kejadian yang pernah dialami seseorang, kapanpun itu, baik di masa lalu, masa sekarang, atau di masa depan, dalam imajinasi, dan bahkan dalam mimpi sekalipun, semuanya sedang berlangsung, terjadi, serentak, bersamaan, simultan.

Saat individu mengingat kembali kejadian di masa lalu, emosi yang lekat pada memori ini kembali muncul dan dialaminya persis sama seperti dulu, namun ia mengalaminya saat ini, sekarang (revivifikasi). Demikian pula bila ia membayangkan sesuatu di masa depan, emosi dirasakan saat ini, bukan nanti. Dengan demikian, sejatinya, tidak ada masa lalu dan masa depan, yang ada hanya masa sekarang di pikiran bawah sadar. Dan perlu diingat, pengaruh bawah sadar terhadap diri individu berkisar antara 95% hingga 99%.

Dari perspektif teori Ego Personality (EP), ini menjadi semakin jelas dan menarik. Pengalaman bermuatan emosi netral atau menyenangkan dapat langsung terintegrasi ke dalam memori global, sementara pengalaman dengan emosi negatif, terutama yang intens, akan terpisah dan memiliki kehidupan sendiri. Memori dan emosi spesifik ini dipegang oleh EP spesifik pula. EP adalah “entitas” dalam diri dengan usia, sikap, pola pikir, karakter, kebiasaan, memori, emosinya sendiri. Ia berlaku seperti “manusia kecil” dalam diri kita. EP bisa aktif kapan saja dan saat aktif, ia yang menjalankan dan mengendalikan tubuh fisik, ia menjadi individu, pada saat itu. EP tidak hidup di masa lalu atau masa depan. EP ada di pikiran bawah sadar, ia bisa dorman, bisa aktif di kedalaman (underlying) atau aktif di permukaan (executive). EP tinggal di masa kini, mengikuti waktu yang berlaku di pikiran bawah sadar.

Uraian di atas menjawab pertanyaan mengapa pengalaman masa lalu terus memengaruhi diri seseorang padahal kejadiannya sudah sangat lama. Benar, kejadian sudah lama menurut pikiran sadar namun di pikiran bawah sadar ini sedang terjadi.

Demikianlah kenyataannya… 

Baca Selengkapnya

Satu Simtom, Satu iEPCE, dan Multi-EP

28 November 2016

Selalu ada hal baru yang kami temukan saat menangani kasus-kasus klien di ruang praktik kami. Kami yang saya maksudkan di sini adalah segenap hipnoterapis klinis AWGI yang rutin praktik tiap hari membantu masyarakat mengatasi beragam masalah yang berhubungan dengan emosi dan perilaku.

Saat ini ada ratusan hipnoterapis klinis AWGI berpraktik hipnoterapi, mulai dari Aceh hingga Jayapura. Mereka praktik berpegang pada Quantum Hypnotherapeutic Protocol yang diajarkan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH). Dalam artikel kali ini saya akan berbagi temuan kami khususnya dalam Ego Personality Therapy (EPT).

Beberapa waktu lalu, dalam salah satu diskusi hangat yang terjadi di group Telegram Hipnoterapis AWGI, kami membahas fenomena tidak lazim yang berhubungan dengan Ego Personality (EP). Ada satu rekan sejawat membahas tentang kliennya yang takut bicara di depan umum. Dengan teknik EPT, berhasil ditemukan EP yang membuat klien takut bicara di depan umum dan kejadian yang mengakibatkan terciptanya EP, yang kami sebut sebagai iEPCE. Selanjutnya terapis melakukan restrukturisasi struktur EP di kejadian awal dan tuntas teratasi.

Hal menariknya adalah saat dilakukan pengecekan final terhadap hasil terapi, dengan asumsi bila terapi sudah benar-benar tuntas maka tidak akan lagi ada masalah dalam diri klien yang berhubungan dengan bicara di depan umum, ditemukan klien masih merasa tidak nyaman. Bila sebelumnya yang klien rasakan adalah takut, kini perasaannya beda. Klien sudah tidak takut tapi merasa tidak percaya diri, grogi, cemas, dan tegang. Sesuai protokol, bila masih ditemukan perasaan tidak nyaman pada kasus yang sama maka terapi perlu dilanjutkan hingga masalah berhasil diatasi secara tuntas.

Sesuai protokol, terapis mengulangi proses terapi. Yang menarik adalah perasaan-perasaan tidak nyaman ini masing-masing dikendalikan oleh satu EP. Dan yang lebih menarik lagi, dan ini di luar dugaan, EP-EP ini ternyata muncul pada kejadian yang sama dengan EP yang memegang rasa takut.

Di sini kami simpulkan bahwa satu masalah atau simtom bisa terjadi karena ada satu atau beberapa EP yang bersama-sama menyebabkan simtom. Penanganannya, agar benar-benar tuntas, tentu perlu menetralisir pengaruh dari masing-masing EP. Ini kerja yang tidak sedikit namun tetap perlu dilakukan. Dan kami sudah mengembangkan teknik yang bila dilakukan hanya sekali saja mampu menetralisir semua EP yang menjadi penyebab munculnya simtom.

Dari diskusi yang terjadi, ternyata hipnoterapis AWGI lainnya juga menemukan hal yang sama. Dengan demikian fenomena ini menarik dan menjadi catatan penting untuk mengembangkan dan memperkaya teori Ego Personality versi AWGI. Kondisi yang saya jelaskan di atas ini disebut dengan “Satu Simtom, Satu iEPCE, dan Multi-EP”.

Masih ada temuan-temuan lain yang juga sangat menarik di bidang hipnoterapi klinis. Saya akan ceritakan di lain kesempatan. 

Baca Selengkapnya

Ungkapan Emosi Memerdekakan Diri

16 November 2016

Dalam terapi bertujuan melepas emosi negatif, sering terjadi terapis salah atau gagal paham akan proses dan cara mengungkap emosi yang tepat dan efektif. Ada yang menyatakan bahwa hanya dengan menggerakkan atau mengibaskan tangan, kaki, atau kepala efektif melepas emosi yang terperangkap dalam diri seseorang. Ada juga yang menyarankan untuk memukul sansak hingga merasa lega. Benarkah demikian?

Pada beberapa kasus, teknik ini bisa bekerja efektif. Namun, dalam lebih banyak kasus, menggerakkan atau mengibas kaki dan tangan saja tidak mampu tuntas menguras emosi negatif. Bukan tekniknya yang salah namun pilihan tindakannya kurang tepat.

Selain menggerakkan atau mengibas tangan, kaki, dan kepala, masih ada cara lain untuk mengungkap dan melepas emosi seperti melalui ucapan, menangis, teriak, gerakan seperti memukul, meninju, menendang, meremas, mencengkeram, menggigit, atau berguling. Pemilihan cara ekspresi yang tepat sangat penting dan menentukan keefektifan proses pelepasan emosi. Berdasar pengalaman dan temuan di ruang praktik, kami, hipnoterapis klinis, tidak asal meminta klien melakukan sesuatu untuk ekspresi emosi namun kami memerhatikan sinyal atau tanda yang dimunculkan oleh pikiran bawah sadar (PBS). Bila PBS memberi sinyal untuk menangis, maka jalur ekspresi inilah yang paling efektif untuk mengeluarkan emosi. Demikian pula bila sinyalnya adalah dengan teriak, menangis, atau memukul. Intinya, terapis mengarahkan klien sesuai dengan sinyal PBS, bukan seperti yang diinginkan atau disuka oleh terapis. Dengan demikian adalah tidak bijak bila terapis memaksakan jalur ekspresi emosi yang ia pikir terbaik untuk klien. Prinsip terapi yang kami lakukan berpusat pada klien (client centered) bukan berpusat pada terapis (therapist centered). 

Pentingnya pemahaman akan jalur ekspresi ini berasal dari temuan bahwa setiap individu, saat mengalami kejadian traumatik, dipaksa tunduk pada kekuatan yang jauh lebih besar dari diri mereka. Agar selamat, mereka terpaksa patuh atau tunduk pada kemauan pelaku tindak kekerasan. Mereka tidak bisa melawan atau melakukan hal yang sebenarnya ingin dilakukan untuk mengatasi situasi itu. Pengalaman traumatik ini terekam dengan sangat kuat di PBS dan menjadi pola tunduk dan takluk yang mengendalikan diri korban.

Cara terbaik dan efektif untuk membongkar dan membebaskan individu dari pola ini adalah dengan memberi mereka kesempatan melakukan hal yang dulu ingin mereka lakukan untuk mengatasi pengalaman traumatik namun tidak bisa. Bila dulu mereka ingin teriak tapi tidak bisa, maka dalam proses terapi klien diberi kesempatan melakukan hal ini. Demikian pula bila mereka dulunya ingin melawan pelaku dengan memukul namun tidak bisa karena kalah kuat, maka saat diterapi klien diberi dukungan,  kesempatan, dan dibebaskan untuk melakukan hal ini.

Saat klien berani menghadapi pelaku, yang dulu melakukan tindak kekerasan padanya, walau ini dilakukan secara imajinatif, di PBS, mengungkap hal yang perlu diungkap, klien mengalami pemberdayaan. Ia merasa mampu, kuat, berdaya, dan memegang kendali atas kejadian, bukan menjadi korban.

Saya teringat salah satu sesi terapi yang dilakukan guru saya, Gil Boyne, menangani klien gagap. Melalui proses hipnoanalisis, Boyne berhasil menemukan akar masalah yang menyebabkan kliennya, berusia 55 tahun, gagap, yaitu kejadian di usia 5 tahun. Saat itu, klien kecil menangis dan dibentak oleh ayahnya. Ayahnya memaksa klien untuk berhenti menangis. Bila klien menangis, ia akan dihajar oleh ayahnya. Yang Boyne lakukan adalah memberi kesempatan pada klien usia 5 tahun ini untuk menyelesaikan tangisnya hingga tuntas seperti yang seharusnya terjadi dulu. Usia menuntaskan tangisnya, klien sembuh dari gagapnya. Inilah yang Pierre Janet, pionir peneliti trauma yang mashyur, nyatakan di tahun 1893, saat ia menulis tentang “nikmat tindakan yang selesai” (the pleasure of completed action).

Dengan demikian, terapis perlu memerhatikan benar jalur ekspresi yang tepat untuk klien. Selain itu, juga perlu ada parameter yang jelas sebagai indikator emosi telah tuntas dikeluarkan dari diri klien. 

Baca Selengkapnya

Memahami Trauma dan Penyembuhannya dari Perspektif Hipnoterapi Klinis dan Neurosains

1 November 2016

Perspektif Hipnoterapi Klinis

Setiap kejadian yang kita alami sejatinya netral namun berpotensi menjadi masalah. Kejadian menjadi masalah atau tidak sepenuhnya bergantung pada makna yang diberikan padanya. Pemberian makna diikuti dengan munculnya emosi, bisa positif, negatif, atau netral, yang lekat pada memori kejadian ini. Suatu kejadian disebut traumatik bila emosi yang muncul dan lekat pada memori kejadian adalah emosi negatif dengan intensitas tinggi. Semakin tinggi intensitasnya semakin traumatik.

Pemaknaan yang diberikan pada satu kejadian tentunya sangat dipengaruhi pengalaman hidup individu. Saat masih kecil, makna kejadian berasal dari meniru pola orangtua atau pengasuh utama. Setelah lebih besar, makna dilakukan dengan mengandalkan data yang telah terakumulasi di pikiran bawah sadar (PBS). Proses pemaknaan berlangsung dengan sangat cepat, bekerja di level PBS, dan akan terus demikian sampai dilakukan upaya sadar untuk mengubahnya (Gunawan, 2014).

Kejadian traumatik, berdasar temuan di ruang praktik hipnoterapi klinis, bisa berawal sedini sejak dalam kandungan ibu. Namun, pada umumnya, pengalaman traumatik terjadi antara usia 0 hingga 10 tahun. Berbagai pengalaman ini tersimpan di memori pikiran bawah sadar. Ada yang masih bisa diingat dan ada yang sudah terlupakan namun tetap mengganggu hidup individu.

Terdapat perbedaan signifikan antara memori normal dan memori traumatik. Memori normal dapat diakses dengan mudah, bersifat sosial, adaptif, lentur, dan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi tertentu. Sementara memori traumatik muncul kembali, lebih sering karena terpicu oleh satu atau beberapa pemicu spesifik, yang selanjutnya diikuti dengan elemen memori terkait lainnya. Memori traumatik, karena adanya emosi intens yang lekat padanya, berubah sifat dan menjadi terpisah (split off) dari struktur memori global, memiliki kehidupan sendiri, kehilangan kemampuan untuk integrasi dan mengasimilasi pengalaman baru. Dengan kata lain, individu berhenti bertumbuh/fiksasi (LeDoux, 2016).

Split off yang juga dikenal sebagai disosiasi mencegah pengalaman traumatik terintegrasi ke dalam memori autobiografi yang terus menerus berkembang seiring perjalanan hidup individu. Dengan demikian tercipta dua sistem memori. Memori normal mengintegrasi elemen dari setiap pengalaman ke dalam aliran berkesinambungan dari pengalaman diri melalui proses asosiasi yang kompleks. Sementara memori traumatik disimpan terpisah, sebagai fragmen-fragmen beku yang sangat sulit dipahami.

Pengalaman atau memori traumatik muncul dalam dua skenario gangguan. Pertama, individu mengalami flasback atau tiba-tiba teringat kejadian atau elemen kejadian masa lalu disertai intensitas emosi yang tinggi. Setelah beberapa saat, bentuk pikiran ini hilang namun terus menyisakan residu emosi yang mengganggu. Kedua, individu tidak lagi mengingat apapun dari kejadian masa lalu namun yang muncul adalah perasaan tidak nyaman yang tidak diketahui sumber atau penyebabnya (Gunawan, 2016).

Jean-Martin Charcot, Pierre Janet, dan Sigmund Freud menyebut memori traumatik sebagai “rahasia patogen” (pathogenic secrets) atau parasit mental (mental parasites) karena walau penderita sangat ingin menghilangkan, melupakan, tidak lagi mau mengingat apa yang telah terjadi namun memori ini terus menerus muncul tanpa dapat dicegah atau dikendalikan, dan memerangkap individu dalam teror dan horor berkepanjangan.

Dua skenario yang dijelaskan di atas sepenuhnya adalah hasil kerja PBS. Pengalaman klinis kami menangani sangat banyak klien memampukan kami menarik simpulan penting perihal fungsi PBS yang dapat menjelaskan apa yang dialami individu. Pertama, PBS berfungsi melindungi individu, dalam hal ini pikiran sadar dan tubuh fisik, dari hal-hal yang ia, PBS, rasa, yakin, persepsikan merugikan atau membahayakan. Kedua, PBS sangat menyadari pentingnya resolusi trauma namun ia bukan penyelesai masalah. PBS butuh bantuan orang lain untuk bisa menuntaskan masalah individu. Untuk itu, ia akan terus berkomunikasi dengan pikiran sadar dalam bentuk flashback atau perasaan tidak nyaman atau menempatkan individu pada situasi yang sama atau mirip dengan pengalaman traumatik (reenactment) sampai masalah ini tuntas terselesaikan.

Hal di atas sejatinya sejalan dengan paper Josef Breuer dan Sigmund Freud berjudul “Hysterics suffer mainly from reminiscences” yang dipublikasi tahun 1893. Dalam tulisan ini mereka menyatakan bahwa memori traumatik tidak tunduk pada proses “pemudaran” seperti yang terjadi pada memori normal. Memori traumatik terus aktif, segar, seolah baru terjadi. Individu dengan memori traumatik tidak dapat mengendalikan atau tahu kapan memori ini akan muncul (kembali).

Trauma terselesaikan tuntas, dari pengalaman klinis kami, hanya bila emosi yang melekat pada memori kejadian sepenuhnya berhasil dinetralisir. Selama masih ada sisa emosi, resolusi belum tuntas dan individu tetap akan mengalami gangguan. Goal terapi adalah mengintegrasi elemen beku, yang berasal dari pengalaman traumatik, melalui proses yang tepat, ke dalam narasi hidup sehingga otak mengenalinya sebagai “itu terjadi di masa lalu, ini yang sekarang”.

Perspektif Neurosains

Uraian berikut ini tidak bermaksud menjelaskan secara detil dan teknis mengenai cara kerja otak, saat individu mengalami trauma, namun lebih bertujuan untuk memberi gambaran besar agar pembaca bisa mendapat pemahaman mendasar.

Salah satu fungsi utama otak manusia adalah proteksi keselamatan melalui sistem peringatan dini akan bahaya atau hal-hal yang bisa mengancam keselamatan individu. Sistem saraf otonom mengatur tiga kondisi fisiologis fundamental yang diaktifkan, pada satu waktu tertentu, mengacu pada tingkatan bahaya atau ancaman yang sedang dihadapi individu. Dalam kondisi normal, saat individu merasa terancam, secara instingtif ia akan mengaktifkan jenjang pertama pengaman yaitu keterlibatan sosial (social engagement). Dalam hal ini, individu akan berteriak minta tolong, bantuan, dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Namun bila tidak ada yang datang menolong, atau bila bahaya semakin mendekat, individu akan kembali pada upaya penyelamatan hidup yang lebih primitif: lawan atau lari (fight or flight). Ia akan melawan pihak yang menyerang atau lari ke tempat aman. Namun, saat upaya ini gagal dan ia tertangkap maka individu akan mencoba mempertahankan diri dengan menjadi pasif dan mengeluarkan sedikit mungkin energi. Kondisi ini disebut freeze atau collapse.

Dalam konteks perlindungan diri individu dari bahaya, informasi atau stimuli yang berasal dari luar diri, yang diperoleh dari indera mata, telinga, hidung, dan kulit, semuanya berkumpul di thalamus. Dari thalamus informasi ini diteruskan turun ke amygdala, di sistem limbik, dan ke atas ke lobus frontalis untuk kita sadari.

Neurosaintis Joseph LeDoux (2008) menyebut jalur ke amygdala sebagai “jalur bawah” di mana kecepatan transmisi datanya sangat cepat. “Jalur atas” berawal dari thalamus, melalui hippocampus dan anterior cingulate, dan lanjut ke prefrontal cortex, otak rasional, untuk pemaknaan secara sadar dan lebih baik. Kecepatan transmisi data melalui “jalur atas” butuh waktu lebih lama beberapa milidetik dibanding “jalur bawah”.

Fungsi utama amygdala adalah seperti detektor asap yaitu mengenali apakah input yang diterima bersifat netral atau berpotensi membahayakan keselamatan. Amygdala melakukan ini dengan bantuan hippocampus, bagian otak yang berfungsi menghubungkan input baru dengan pengalaman masa lalu.  

Bila amygdala mendeteksi bahaya, ia segera mengirim sinyal ke hypothalamus sehingga terjadi aktivasi poros HPA (hypothalamus, pituitary, adrenal) dan terjadi sekresi hormon stres, seperti adrenalin dan cortisol, yang meningkatkan detak jantung, menaikkan tekanan darah, napas menjadi lebih cepat, pandangan mata menjadi lebih awas, dengan tujuan menyiapkan individu untuk menghadapi bahaya atau ancaman.

Sensitivitas amygdala, menurut Gray (1985), dalam penelitiannya dengan hewan, dalam menentukan apakah suara, gambar, atau sensasi tubuh adalah ancaman atau tidak, dipengaruhi di antaranya oleh jumlah neurotransmiter serotonin di bagian otak ini. Bila jumlah serotonin di amygala rendah maka hewan menjadi hiperaktif terhadap stimuli yang dapat mengakibatkan stres (seperti suara keras), sementara level serotonin yang tinggi membuat mereka lebih kuat dan tidak mudah bersikap agresif atau “membeku” sebagai respon terhadap situasi yang mengancam.

Scott Rauch, dari Massachusetts General Hospital Neuroimaging Laboratory, menggunakan fMRI (functional magnetig resonance imaging), merekam aktivitas otak saat seseorang mengalami “trauma”. Yang aktif daerah sistem limbik, tepatnya amygdala, bagian otak yang bertanggung jawab dalam memberi sinyal bahaya dan mengaktifkan respon stres tubuh. Daerah Broca’s, pusat bahasa, menjadi nonaktif, mengakibatkan individu tidak mampu mengungkap perasaan dan pikiran ke dalam kata-kata. Daerah Broca’s nonaktif setiap kali muncul gambar kejadian traumatik.

Satu bagian dari korteks visual, Brodmann’s area 19, aktif. Ini adalah bagian otak yang menerima gambar-gambar saat pertama kali masuk ke otak melalui mata. Dalam kondisi normal, setelah bagian ini menerima gambar, gambar ini diteruskan ke bagian lain yang memberi makna atas apa yang dilihat individu. Saat bagian ini menyala, aktif, seolah-olah kejadian ini baru terjadi. Dengan demikian trauma membuat gambar ini terus muncul dan mengganggu hidup individu (revivifikasi). 

Hasil pemindaian pada otak juga mengungkap data menarik yaitu saat individu mengalami trauma, wilayah otak yang aktif dominan adalah otak kanan sementara otak kirinya menjadi tidak aktif. Deaktivasi otak kiri berpengaruh langsung pada kemampuan mengorganisir pengalaman ke dalam alur logis dan menerjemahkan perubahan perasaan dan persepsi ke dalam kata-kata. Tanpa kemampuan mengurutkan seperti ini kita tidak dapat mengenali sebab dan akibat, memahami pengaruh jangka panjang dari setiap tindakan kita atau membuat perencanaan masa depan. Orang yang sedih atau dalam kondisi emosinya terganggu sering berkata bahwa pikiran mereka “buntu”. Secara teknis yang terjadi adalah mereka, pada saat itu, kehilangan fungsi eksekutif dari otaknya.

Saat sesuatu mengingatkan seseorang yang pernah mengalami trauma di masa lalu, otak kanan mereka bereaksi seolah-olah pengalaman traumatik ini sedang terjadi. Berhubung otak kiri mereka sedang tidak bekerja dengan baik, mereka tidak sadar bahwa yang mereka alami adalah pengalaman dari masa lalu. Mereka kembali merasakan berbagai emosi sama seperti yang dulu mereka alami seperti marah, kecewa, takut, sedih, sakit hati, atau malu.

Hasil pemindaian yang sama sekali berbeda tampak pada individu yang melakukan penyangkalan (denial). Saat terjadi penyangkalan, di pikiran individu seolah-olah tidak ada masalah atau tidak ada yang terjadi. Ini sejatinya adalah bentuk proteksi diri (defense mechanism) yang dilakukan PBS untuk melindungi individu. Hasil pemindaian otak indivdu yang melakukan penyangkalan menunjukkan hampir semua wilayah otak tidak terdapat aktivitas berarti. Semuanya “padam”. Walau hasil pemindaian menunjukkan demikian, padamnya aktivitas otak, individu tidak merasa apapun secara emosi, namun fisik mereka tetap menunjukkan reaksi stres.

Trauma juga mengakibatkan wilayah otak yang berperan mengenali diri menjadi nonaktif. Wilayah otak yang dimaksud meliputi medial prefrontal cortex (MPFC), anterior cingulate (koordinasi emosi dan berpikir), lobus parietal (integrasi informasi sensori), dan insula (meneruskan berita dari organ dalam ke pusat emosi). Satu bagian yang sedikit aktif adalah posterior cingulate yang bertanggung-jawab untuk orientasi ruang atau GPS internal sehingga kita tahu di mana posisi dan keberadaan diri.

Ini terjadi sebagai bentuk respon terhadap trauma, dan dalam upaya mengatasi ketakutan yang terus menghantui seseorang sebagai akibat dari trauma itu, individu belajar menonaktifkan wilayah otak yang mengirim perasaan yang berasal dari organ dalam dan emosi yang menyertai dan mendefinisikan teror. Sementara, dalam kehidupan sehari-hari, bagian otak yang sama berfungsi untuk meregister semua bentuk sensasi dan emosi yang membentuk kesadaran akan diri. Ketidakmampuan merasakan sensasi fisik akibat emosi tertentu mengakibatkan individu tidak mampu mengungkap perasaannya, khususnya dengan ungkapan verbal. Kondisi ini dinamakan alexithymia.

Medial prefrontal yang nonaktif menjelaskan mengapa begitu banyak individu yang mengalami trauma kehilangan arah dan tujuan. Ini juga yang menyebabkan klien yang meminta saran atau masukan, setelah diberi oleh terapis, tidak menjalankan saran tersebut walau mereka tahu ini penting dilakukan untuk kebaikan mereka. Ini terjadi karena relasi mereka dengan realita internal terganggu. Mereka tidak dapat melakukan suatu tindakan atau putusan karena mereka tidak lagi tahu atau mengenali tujuan secara spesifik, bagaimana sensasi atau rasa di tubuh, yang menjadi dasar dari semua hal tentang emosi yang kita ceritakan pada mereka.

Hipnoterapi untuk Mengatasi Pengalaman Traumatik

Hipnoterapi, sesuai namanya, terdiri atas dua kata, “hipnosis” dan “terapi”. Saya mendefinisikan hipnoterapi sebagai terapi, bisa menggunakan teknik apa saja, yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Berdasar definisi ini muncul sangat banyak varian hipnoterapi bergantung teknik yang digunakan.

Namun, secara garis besar, terdapat dua mazhab hipnoterapi yaitu hipnoterapi berbasis sugesti dan hipnoanalisis. Tipe pertama sepenuhnya mengandalkan sugesti untuk membantu klien mengatasi masalah. Sementara tipe kedua mengutamakan upaya mencari dan menemukan akar masalah dan memroses emosi yang ada pada kejadian awal. Hipnoterapi berbasis hipnoanalisis lebih kompleks namun jauh lebih efektif.

Dalam mencari akar masalah biasanya menggunakan tenik regresi, baik regresi berbasis afek maupun ego personality. Kedua teknik regresi ini mirip namun berbeda signifikan dalam cara penelusuran ke akar masalah dan kompleksitas emosi yang diproses.

Para hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), dalam upaya membantu klien mengatasi masalah, menggunakan prinsip “The symptom is the key to the solution”. Kami menggunakan simtom untuk menemukan sumber masalah yang terletak di PBS klien.

Intinya, setelah berhasil menemukan akar masalah, kami melakukan restrukturisasi PBS dan menetralisir tuntas emosi-emosi yang muncul akibat kejadian itu. Setelahnya kami melakukan edukasi PBS untuk memberi pemahaman, pengetahuan, atau strategi baru dalam menghadapi kejadian yang mirip atau sama dengan yang sebelumnya dialami klien. Dengan demikian, di kemudian hari, kejadian serupa tidak lagi bisa menjadi sumber trauma. 

Apa yang dilakukan hipnoterapis klinis AWG Institute sejatinya sangat sejalan dengan yang dinyatakan Breuer dan Freud. Dalam paper Breuer dan Freud (1893) secara gamblang diungkap bahwa cara untuk menyembuhkan klien histeria segera dan permanen adalah dengan mengungkap memori kejadian beserta emosi yang menyertainya, klien menceritakan secara detil yang ia rasakan dengan kata-kata, dan terjadi “reaksi energetik” pada kejadian traumatik untuk menguras habis emosi. Bila klien hanya menceritakan tanpa emosinya dikuras habis melalui proses abreaktif, bisa dengan menangis hingga tindakan tertentu, maka proses yang dialami klien tidak terapeutik.

Berikut ini adalah kutipan pernyataan Breuer dan Freud (1893):

“ ……We found, to our great surprise, at first, that each individual hysterical symptom immediately and permanently disappeared when we had succeeded in bringing clearly to light the memory of the event of which it was provoked and in arousing its accompanying affect, and when the patient has described that event in the greratest possible detail and had put the affect into words. Recollection with out affect invariably produces no result.

……it brings to an end the operative force … which was not abreacted in the first instance by allowing its strangulated affect to find a way out through speech; and it subjects it to associative correction by introducing it into normal consciousness.”

Dari hasil pemikiran dan tulisan Breuer dan Freud inilah sebenarnya bermula terapi bicara yang sekarang digunakan dalam dunia psikologi. Namun sayangnya, umumnya dipercaya bahwa hanya dengan menceritakan trauma dengan detil dapat membantu seseorang mengatasi trauma itu. Kenyataannya tidaklah demikian. Mengutamakan pikiran sadar baik untuk eksplorasi sumber masalah maupun untuk mengatasi emosi tidak efektif dan juga tidak terapeutik.

Trauma hanya bisa selesai bila emosi yang lekat pada kejadian berhasil dinetralisir. Dan hasil pemindaian otak menunjukkan dengan jelas bahwa saat inividu diminta menceritakan kembali pengalaman traumatik, otak rasionalnya tidak mampu bekerja dengan baik.

Sejalan dengan pemikiran Breuer dan Freud, AWGI telah mengembangkan teknik terapi berbasis pengungkapan kejadian awal dan teknik-teknik abreaksi yang jauh lebih maju, aman, dengan tingkat ketuntasan dan signifikansi abreaktif sangat tinggi karena langsung bekerja di pikiran bawah sadar, bukan pikiran sadar.

Mengatasi Trauma dengan Pendekatan Neurosains

Reaksi pascatrauma dijalankan oleh “mesin” yang terletak di otak emosi yang biasanya bereaksi dalam dua bentuk, sikap waspada berlebih, cemas, emosi meningkat tinggi, agitasi (hyperarousal) atau merasa sedih, “down”, lesu, tidak semangat, apatis, respon dan aktivitas fisik melambat (hypoarousal). Berbeda dengan otak rasional yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk pikiran, otak emosi berekspresi melalui reaksi fisik seperti perasaan tidak nyaman di perut, degup jantung lebih cepat, napas memburu, bicara dengan nada tinggi, dan berbagai gerakan tubuh yang menunjukkan kemarahan, situasi bertahan, atau beku (freeze).

Otak rasional sangat baik dalam membantu kita memahami asal emosi namun ia tidak dapat menghilangkan emosi, sensasi atau bentuk pikiran yang muncul. Dengan memahami mengapa kita merasakan perasaan tertentu tidak serta merta mengubah bagaimana kita merasa.

Hal terpenting dalam mengatasi trauma adalah dengan mengembalikan keseimbangan operasional antara otak rasional dan otak emosi. Untuk mengubah reaksi pascatrauma dibutuhkan akses langsung ke otak emosi dan melakukan “terapi sistem limbik” yaitu memperbaiki sistem peringatan bahaya yang “rusak” dan mengembalikan otak emosi pada tugas normalnya sebagai pengatur kerja tubuh, memastikan kita makan, tidur, relasi dengan pasangan, melindungi anak-anak, dan menghadapi bahaya.

Otak rasional berpusat di dorsolateral prefrontal cortex dan tidak memiliki koneksi langsung dengan otak emosi di mana hampir semua jejak trauma tersimpan. Bagian otak, medial prefrontal cortex, pusat kesadaran diri, memilki koneksi langsung dengan otak rasional. Dengan demikian, untuk mengakses otak emosi secara sadar, seperti yang dinyatakan oleh neurosaintis Joseph LeDoux (1998) adalah melalui kesadaran diri yaitu mengaktifkan medial prefrontal cortex guna mengetahui dan menyadari apa yang sedang terjadi dalam diri dan memungkinkan kita merasakan apa yang kita rasakan. Secara teknis, ini disebut interoception. Riset neurosains menunjukkan bahwa satu-satunya cara kita dapat mengubah cara kita mengelola emosi adalah dengan menjadi sadar akan pengalaman di dalam diri dan belajar bersahabat dengan apa yang terjadi di dalam diri. Secara ringkas, kunci kesembuhan adalah kesadaran diri (mindfulness).

Aplikasi mindfulness dalam mengatasi emosi yang lekat pada pengalaman traumatik adalah dengan menyadari munculnya memori traumatik, hanya menyadari atau mengamati, hanya tahu, tanpa masuk ke dalam kejadian, tidak memberi label atau makna. Saat memori traumatik muncul dan diperlakukan seperti ini, ia akan tenggelam atau hilang. Kemudian, ia akan muncul lagi, hilang, muncul, hilang, demikian seterusnya. Setiap kali ia muncul dan diperlakukan seperti ini, emosi yang lekat padanya menjadi semakin pudar hingga akhirnya hilang dan memori traumatik menjadi memori biasa.

Mindfulness telah terbukti memiliki efek positif pada beragam simtom psikologis, psikiatris, psikosomatis, termasuk depresi dan rasa sakit kronis (Hofmann dkk., 2010). Midfulness juga berpengaruh positif pada respon kekebalan tubuh, tekanan darah, dan level kortisol (Davidson, dll., 2003; Carlson dkk., 2007), dan juga berpengaruh positif pada wilayah otak yang terlibat dalam regulasi emosi (Hölzel dkk., 2010) yang selanjutnya memengaruhi perubahan pada wilayah otak yang terlibat dalam kesadaran akan tubuh dan rasa takut (Craig, 2003). Berlatih mindfulness juga dapat mengurangi keaktifan amygdala, dengan demikian mengurangi reaktivitas terhadap pemicu situasi atau tanda bahaya (Banks, 2007).

Cara lain untuk mengatasi emosi adalah dengan melatih atau olah napas, melakukan gerakan tubuh tertentu dengan lambat dan ritmik, dan chanting (membaca berulang kalimat tertentu). Teknik ini bekerja karena sekitar 80% jaringan saraf vagus, yang menghubungkan otak dengan banyak organ dalam, memiliki arah koneksi dari tubuh ke otak.

Sengaja bernapas dengan sangat lambat dan dalam, serta tetap dalam kondisi tubuh rileks, saat mengakses memori yang menyakitkan, sangat penting untuk penyembuhan (Brown dan Gerbarg, 2005). Saat kita secara sengaja menarik napas panjang dan lambat, sistem saraf parasimpatik menjadi aktif. Semakin seseorang fokus pada napas, semakin besar manfaat yang akan ia peroleh, terutama bila fokus atau perhatian ini diarahkan hingga momen akhir embusan napas dan sebelum tarikan napas berikutnya.

Mengendalikan emosi dengan melalui media prefrontal cortex disebut regulasi melalui “jalur atas” sementara bila menggunakan napas dan gerakan tubuh adalah regulasi melalui “jalur bawah”.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List