The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Klien Tidak (Bisa) Keluar dari Trance?

1 Juli 2014

Membaca judul di atas mungkin agak “mengerikan” bagi orang awam atau hipnoterapis pemula. Benarkah ada kasus di mana klien tidak bisa keluar daritrance? Jawabannya, “Ada, pernah terjadi, walau sangat jarang.”

Trance atau kondisi hipnosis adalah satu kondisi kesadaran yang dihasilkan melalui proses induksi yang dilakukan oleh terapis. Induksi adalah proses di mana terapis, dengan menggunakan pendekatan atau teknik tertentu, membimbing klien untuk bergeser dari kondisi sadar normal dan masuk ke kondisi rileksasi pikiran yang sangat dalam, bisa diikuti dengan relaksasi fisik namun tidak selalu. Ada banyak lapisan kesadaran trance. Setiap kedalaman punya karakteristik spesifik baik di aspek mental maupun fisik. 

Ada beberapa kondisi atau situasi yang menyebabkan klien tetap bertahan di kondisi trance yang dalam. Berikut ini adalah beberapa kemungkinan yang bisa terjadi berdasar temuan kami. Ini bisa terjadi saat hipnotis sedang melakukan pertunjukan hiburan atau di ruang praktik saat terapis melakukan terapi. Pada uraian di bawah ini kata “terapis” yang saya gunakan juga berlaku bagi hipnotis.

Klien Tertidur

Pada beberapa klien yang sangat sugestif, biasa disebut somnambulis, atau yang kebetulan mengalami kelelahan fisik, induksi akan membawa mereka turun dengan sangat cepat ke dalam kondisi trance yang sangat dalam. Seringkali, karena terlalu dalam, klien secara alamiah masuk ke kondisi tidur. Dalam kondisi ini klien tidak bisa mendengar suara terapis. Saat terapis membimbing klien untuk naik atau keluar dari trance klien tidak bisa keluar.

Yang perlu terapis lakukan adalah memastikan apakah klien berada di kedalaman trance ekstrim (sangat dalam) ataukah tertidur. Bila klien tertidur maka perlu dibangunkan dengan berbicara agak keras dan menepuk pundak klien.

Klien Masuk Terlalu Dalam

Trance yang (sangat) dalam adalah kondisi yang begitu rileks, baik secara mental dan umumnya juga disertai relaksasi fisik yang sangat dalam. Terapis yang tidak berpengalaman biasanya mengalami kesulitan membimbing keluar klien yang berada di kedalaman trance ekstrim.

Aturan yang lazim berlaku untuk membimbing klien keluar dari trance, semakin dalam trance semakin lambat hitungan naiknya. Terapis yang tidak menyadari hal ini biasanya akan menghitung naik dengan kecepatan standar dan mengakibatkan klien “tersangkut” di kedalaman trance tertentu.

Bila klien dipaksa atau memaksakan diri buka mata padahal ia belum sepenuhnya keluar dari trance biasanya ia akan merasa agak melayang, bisa juga pusing, pandangan berputar, atau mual. Secara teknis ini disebut denganhypnotic hangover.

Untuk itu terapis perlu menghipnosis klien sekali lagi, membawa klien ke kedalaman seperti sebelumnya, setelah itu terapis membimbing klien keluar daritrance dengan menggunakan teknik terminasi yang lebih lambat.

Klien Terperangkap dalam Abreaksi 

Dalam beberapa kasus pernah terjadi klien mengalami abreaksi hebat dan terapis tidak tahu cara menangani dengan benar sehingga klien “terperangkap” di dalam abreaksi. Akibatnya klien tidak bisa keluar dari kondisi trance. Abreaksi adalah salah satu kondisi trance yang dalam.

Untuk klien yang secara mental dan fisik kuat, abreaksi biasanya akan surut dengan sendirinya. Setelahnya klien bisa keluar dari trance. Untuk klien yang lemah pada aspek fisik dan terutama mental, abreaksi berlebih yang tidak ditangani dengan baik mengakibatkan kondisi klien menjadi semakin lemah sehingga tidak lagi punya energi, baik fisik maupun psikis, untuk menjalankan bimbingan terapis.

Klien Lelah Secara Fisik dan Mental

Kondisi ini mirip dengan yang dijelaskan di atas namun agak berbeda. Ada klien yang datang ke terapis dengan keluhan insomnia dan sering mual. Ternyata, dalam proses wawancara, klien tidak menjelaskan pada terapis bahwa ia tidak bisa tidur selama sepuluh hari menjelang jumpa terapis. Yang klien sampaikan hanya insomnia. Dan klien juga tidak menjelaskan bahwa sudah sepuluh hari ia sulit makan. Setiap kali makan yang terjadi adalah ia langsung mual dan muntah. Kondisi ini mengakibatkan klien secara fisik dan mental cukup lelah dan lemah.

Proses terapi berjalan sangat lancar. Klien mampu mengikuti bimbingan terapis dengan baik hingga akhir sesi terapi. Namun sesuatu yang tidak lazim terjadi di akhir sesi. Saat terapis membimbing klien keluar trance, klien bisa keluar. Beberapa saat kemudian klien kembali masuk trance dan sulit diajak komunikasi. Demikian seterusnya.

Ternyata setelah diselidiki lebih jauh klien mengalami dehidrasi dan tubuhnya kekurangan elektrolit sehingga memengaruhi kesadaran atau kognisinya. Mengetahui hal ini terapis menyarankan keluarganya untuk membawa klien ke rumah sakit untuk mendapat penanganan dokter. Setelah istirahat beberapa hari di rumah sakit kondisi klien pulih seperti sediakala.

 

Intonasi Suara Terapis Tidak Konsisten

Saat dalam kondisi trance dan mata tertutup, klien hanya mengandalkan pendengarannya sebagai media komunikasi dengan terapis. Pikiran bawah sadar klien mendengar tidak hanya kata-kata yang digunakan oleh terapis dan juga terutama intonasi atau tekanan suara.

Saat akan membimbing klien keluar dari trance terapis harus menggunakan intonasi yang sesuai. Walau kata-kata yang digunakan bertujuan membawa klien keluar namun bila intonasi suaranya tidak sejalan atau tetap lembut maka pikiran bawah sadar klien akan mengartikan ini sebagai perintah untuk masuk ke kondisi trance yang semakin dalam. Akibatnya, terminasi tidak bisa bekerja sempurna dan klien tetap trance.

Klien Tidak Bisa Keluar Trance Akibat Sugesti

Ada klien yang tidak bisa keluar dari trance karena mendengar suara terapis. Ada terapis yang memberi sugesti semakin klien mendengar suaranya maka klien menjadi semakin rileks. Tujuannya baik yaitu untuk mempertahankan klien dalam kondisi trance yang dalam. Namun tanpa disadari, sugesti ini juga berlaku saat terapis membimbing klien keluar dari trance sehingga saat dibimbing keluar klien tetap bertahan di kondisi trance yang dalam.

Hypnotic Rapport Terputus

Rapport yang terjalin antara terapis dan klien sangat penting dalam komunikasi. Bisa terjadi, karena hal tertentu yang diucapkan oleh terapis, rapport ini terputus sehingga pikiran bawah sadar klien tidak lagi bersedia berkomunikasi atau menjalankan bimbingan terapis, termasuk bimbingan untuk keluar dari trance. Bila ini terjadi, terapis perlu segera kembali menjalin rapport dengan klien.

Terapis Tidak Konsisten Dalam Menghitung

Konsistensi dalam menghitung perlu diperhatikan terapis. Misal, saat deepeningterapis menggunakan hitungan 1 turun ke 10. Saat awakening atau membawa klien keluar trance seharusnya dibalik menjadi naik dari 10 ke 1. Bila terapis tetap menggunakan hitungan 1 ke 10 klien bukannya naik malah akan semakin turun. Memang tidak banyak kejadian seperti ini. Namun ini pernah terjadi.

Klien Memutuskan Tidak Keluar dari Trance

Ini adalah kondisi yang akan cukup menyulitkan terapis bila terjadi. Klien tidak bisa keluar trance bukan karena terapis tidak mampu melakukan terminasitrance namun karena klien memutuskan untuk tidak keluar. Bila ini terjadi, terapis yang tidak berpengalaman biasanya akan panik. Saat terapis panik, apalagi bila ada orang lain ikut campur dalam upaya membawa klien keluartrance, akan mengakibatkan rapport terputus dan klien semakin tidak mau keluar. Terapis telah kehilangan otoritasnya. Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, karena terapis tidak mampu membawa klien keluar dari trance, akhirnya klien dibawa ke rumah sakit.

Untuk bisa membawa klien seperti ini keluar dari trance membutuhkan teknik khusus. Ada klien yang “tersangkut” dalam kondisi trance selama beberapa jam. Dan ada juga yang sampai beberapa hari tetap tidak mau keluar.

Ada beberapa alasan klien tidak mau keluar dari trance. Pertama, klien merasa begitu nyaman saat berada dalam kondisi trance yang dalam, pikirannya tenang, ia merasa damai, dan tubuhnya sangat rileks. Klien belum pernah merasakan kondisi yang sedemikian nikmatnya sehingga ia ingin terus berada dalam kondisi ini. Apapun yang terapis lakukan tidak akan bisa membuat klien keluar trance. Klien tipe ini biasanya sedang mengalami banyak tekanan dalam hidupnya dan kondisi trance adalah kesempatan ia untuk lepas dari tekanan ini.

Kedua, klien ingin mendapat perhatian dari terapis yang dipandang sebagai figur otoritas. Dengan klien tidak keluar dari trance tentu terapis perlu memberi perhatian dan berupaya membimbing klien keluar. Dalam hal ini klien akan sangat menikmati perhatian ekstra yang diberikan oleh terapis. Bila terapis tidak memberi perhatian, klien bisa marah, memutuskan untuk terus berada dalamtrance, dan menikmati perhatian yang ia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya yang mungkin panik atau cemas dengan kondisinya.

 

 

Baca Selengkapnya

Rahasia Sukses Trading Ditinjau dari Perspektif Ilmu Pikiran

23 Juni 2014

Beberapa waktu lalu saya jumpa seorang kawan lama. Setelah diskusi ngalor-ngidul kami sampai pada diskusi mengenai bisnis dan dan investasi. Kawan saya ini lagi semangat sekali menjalani trading. Ia bercerita apa saja yang telah ia lakukan, yang telah ia capai, dan juga situasi terakhir yang ia alami.

Singkat cerita, kawan saya ini, mengeluhkan kinerjanya di bidang trading yang menurun drastis hingga beberapa kali mengalami kerugian dalam jumlah yang lumayan. Sebelumnya, ia telah mendapat untung yang cukup besar. Tapi sekarang, sepertinya dewi Fortuna telah berpaling darinya dan ia lebih sering merugi daripada untung. Apa yang sebenarnya terjadi?

Trading adalah satu bentuk kegiatan yang sangat menarik. Benar, kita bisa menghasilkan uang banyak dan juga bisa rugi besar. Berikut ini adalah intisari diskusi kami. Saya tidak akan masuk ke teknik melakukan trading. Penjelasan saya lebih pada rahasia sukses trading dari sudut ilmu pikiran.

Untuk bisa sukses trading maka kita perlu tahu apa saja yang membuat orang gagal. Dengan mengatasi atau menghilangkan penyebab kegagalan maka kita akan bisa berhasil.

Ada beberapa alasan orang gagal dalam melakukan trading. Saya akan menjelaskan poin-poin penting yang saya temukan, baik dari pengalaman pribadi maupun dari kasus yang dialami klien-klien saya. Besar harapan saya informasi dalam artikel ini bisa menginspirasi rekan-rekan yang biasa melakukan trading sehingga bisa semakin sukses.

Di buku Quantum Life Transformation saya menjelaskan bahwa untuk sukses dibutuhkan dua komponen yaitu God Factor dan Human Factor. Saya menuliskannya menjadi rumus: God Factor X Human Factor = Success.  Saya tidak membahas God Factor karena ini di luar ranah keilmuan saya. Selain itu, relasi kita dengan Tuhan / Allah sifatnya sangat personal. Dalam kesempatan ini saya hanya akan membahas Human Factor yang terdiri atas BE dan DO.

Berikut ini adalah faktor penghambat sukses di bidang trading yang saya temukan dalam diri klien-klien saya.

Minim Pengetahuan dan Skill

Trading, sama seperti kegiatan usaha lainnya membutuhkan pengetahuan dan kecakapan agar bisa menghasilkan keuntungan seperti yang diharapkan. Banyak trader yang  menipu diri sendiri dengan mengaku sebagai investor padahal mereka sebenarnya gambler atau penjudi

Seorang investor punya pengetahuan yang mendalam mengenai trading, market, mampu melakukan analisis tidak hanya analisis statistik tapi juga fundamental. Investor punya strategi yang jelas, terukur, dan biasanya bermain dalam jangka menengah dan panjang. Investor tahu benar kapan masuk dan keluar dari pasar.

Gambler masuk dan keluar dari pasar hanya berdasar feeling. Kalau pas lagi nasib baik, gambler akan mendapat untung besar. Kalau pas lagi apes… ya rugi besar. Seringkali gambler hanya ikut-ikutan dan tidak tahu alasan mengapa ia masuk atau keluar dari market.

Dari mana seseorang bisa mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk bisa melakukan trading dengan hati-hati, cermat, terukur, dan untung? Bisa belajar sendiri atau mengikuti pelatihan.

Kriteria Trainer yang Kompeten

Bila Anda memutuskan untuk memperoleh pengetahuan melalui pelatihan maka beberapa saran berikut patut mendapat perhatian serius. Mengapa? Karena trading menggunakan uang sungguhan, bukan uang mainan. Jadi, kalau rugi, Anda yang akan kehilangan uang, bukan trainer. Kerugian ini bisa sangat besar dan seharusnya tidak perlu terjadi bila kita tahu cara bermain yang cantik.

Langkah awal untuk memilih trainer adalah dengan mencari-tahu rekam jejak atau track record si trainer, bisa melalui Google atau dari alumni pelatihannya. Jangan mudah terpengaruh dengan iming-iming pasti untung. Bila trainer ini menjamin atau menjanjikan pasti selalu untung, jangan ikut pelatihannya karena tidak mungkin kita selalu untung. Namun sayangnya masyarakat umumnya kurang cermat atau kritis. Mereka sangat suka dan tanpa pikir panjang mengikuti pelatihan yang menjanjikan pasti untung dalam jumlah besar dan konsisten. Banyak yang kecewa karena setelah mempraktikkan apa yang dipelajari di pelatihan, yang katanya pasti untung besar dan konsisten, ternyata malah banyak yang buntung besar dan konsisten.

Cara lain adalah dengan meminta trainer menunjukkan rekam jejak trading yang ia lakukan. Dalam hal ini trainer perlu membuka account-nya dan menunjukkan secara live pada peserta pelatihannya. Akan sangat baik bila ia dapat menunjukkan aktivitas tradingnya selama dua atau tiga tahun terakhir. Dari sini kita akan tahu dan yakin bahwa pengetahuan, teknik, atau protokol yang ia gunakan benar-benar bisa menghasilkan keuntungan seperti yang ia janjikan. Dengan kata lain trainer ini punya rekam jejak yang proven.

Trial and Error

Ini yang paling sering dilakukan oleh trader pemula. Bila diperhatikan dengan cermat semantik trial and error secara jelas menunjukkan apa yang akan didapat oleh pelakunya. Pertama, trial atau coba dulu. Setelah itu akan error atau rugi. Saran saya, jangan pernah melakukan trial and error di dunia trading. Bila Anda ingin melakukan trading pastikan Anda punya pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan untuk mendapat keuntungan.

Fokus Pada Loss, Baru Setelah itu Profit

Ini sepertinya bertentangan dengan prinsip positive thinking atau hukum pikiran yang biasa saya ulas di berbagai artikel saya. Benar, kita perlu fokus pada hal-hal positif. Dalam trading, saat Anda fokus pada loss atau kerugian maka sebenarnya Anda fokus pada hal positif.

Anda mungkin tidak setuju dengan pernyataan saya di atas. Baik, saya akan ceritakan apa maksud saya. 

Umumnya orang akan fokus pada keuntungan atau profit. Semakin mereka fokus pada untung maka semakin hilang kewaspadaan mereka. Trader yang baik memahami benar bahwa trading mengandung potensi yang sangat besar, baik potensi untung maupun rugi.

Untuk itu, yang perlu diperhatikan di awal adalah me-manage risiko. Bila kemungkinan atau potensi yang mungkin mengakibatkan kerugian bisa diantisipasi atau diminimalkan, tidak mungkin dihilangkan, maka keuntungan bisa dengan mudah didapat.

Tidak Mengenali Karakter Diri

Trading, walaupun sangat menjanjikan, tidak cocok untuk semua orang. Untuk itu setiap trader, sebelum melakukan trading, perlu memahami siapa dirinya. Trader bisa melakukan tes Investor Risk Profile untuk mengetahui karakter mereka, apakah masuk tipe agresif, moderat, atau konservatif. Dari sini baru ditentukan jenis instrumen investasi yang sesuai dengan karakternya.

Dari hasil tes ini akan diketahui tingkat kemampuan penerimaan seseorang terhadap kerugian. Ada yang kuat atau sanggup menerima kerugian signifikan dengan kompensasi keuntungan yang (sangat) besar. Ada yang tahan bila ruginya tidak terlalu besar. Ada yang tidak bisa menerima walau rugi hanya sedikit.

Dikuasai Perasaan Takut dan Serakah

Ini adalah dua emosi dasar yang menguasai manusia. Seseorang memilih melakukan trading pasti berharap mendapat untung. Kalau bisa untung sebesar-besarnya. Ini namanya serakah. Di sisi lain ia takut bila rugi. Jadi, setiap kali masuk ke pasar dua perasaan ini selalu menghantui dan menguasai pikirannya.

Dan yang kita tahu, saat emosi bergejolak maka logika tidak bisa bekerja dengan baik. Semakin intens emosi seseorang, apapun emosinya, maka semakin tumpul logikanya.

Saat posisi sudah untung umumnya trader tidak segera memutuskan untuk keluar dan memetik untungnya. Mereka masih terus menunggu… dan menunggu… dan berharap bisa untung semakin besar. Biasanya di titik inilah pasar berbalik arah. Saat keuntungan mulai berkurang… semakin menurun… biasanya mereka akan masih positive thinking dan berharap kondisi ini akan berbalik lagi. Dan akhirnya… mereka rugi. Positive thinking dalam dunia trading, apa lagi yang berlebih, adalah hal yang sangat negatif dan perlu dihindari.

Untuk itu trader perlu menentukan cukupnya berapa. Jadi, bila posisi sudah menguntungkan bisa langsung keluar dan mendapat untung. Setelah itu tidak perlu lagi memikirkan apakah kondisi pasar terus membaik, meningkat, atau menurun. Yang penting sudah dapat untung. 

Ada beberapa alasan mengapa trader takut rugi:

- ia tidak siap secara mental

- uang yang dipakai main adalah uang pinjaman, uang orangtua, uang kredit, uang hasil menggadaikan sesuatu, uang tabungan, uang untuk keperluan tertentu. Intinya bukan uang menganggur.

- ia memilih trading sebagai jalan pintas untuk menghasilkan uang yang akan digunakan untuk membayar utang atau kewajiban lainnya. 

Mengapa Virtual Trading Untung, Kalau Main Beneran Rugi?

Ini juga yang sangat sering dialami trader. Saat melakukan virtual trading biasanya mereka bisa untung (banyak). Setelah merasa yakin dan mampu, karena sering untung di virtual trading, mereka masuk ke pasar dan bermain dengan uang sungguhan. Apa yang terjadi? Ternyata mereka mengalami kerugian.

Lha, kok bisa? Iya, karena saat virtual trading pikiran dan perasaan mereka tenang. Mereka tahu bahwa kalaupun rugi maka ini hanya simulasi belaka, bukan kondisi riil. Namun saat mereka melakukan trading yang sesungguhnya, dan mempertaruhkan uang sungguhan, perasaan mereka akan selalu dipenuhi perasaan takut rugi.

Sesuai dengan hukum pikiran, semakin seseorang fokus pada satu hal, baik itu positf maupun negatif, maka ia akan mendapatkan apa yang menjadi fokusnya. Semakin ia takut rugi maka ia akan semakin rugi. Seperti ada tertulis, “Apa yang kutakutkan, itu yang  menimpa diriku.”

Kondisi Mental Tidak Kondusif

Kondisi mental yang tidak kondusif saat masuk ke pasar atau menetapkan posisi akan berpengaruh negatif terhadap hasil yang dicapai. Misal, lagi ada masalah atau kurang sehat. Sebaiknya saat masuk ke pasar atau melakukan analisis, pikiran dan perasaan benar-benar tenang dan tidak terganggu. Tidak boleh ada telpon, kunci pintu kamar. Saat melakukan analisa kondisi pasar dan memutuskan kapan masuk semuanya harus dilakukan dengan pikiran yang benar-benar tenang. Akan sangat baik bila steril dari emosi apapun.

Mindset Ingin Selalu Untung

Ini mindset yang salah. Banyak trader, atau yang lebih tepatnya adalah gambler, yang hanya mau untung dan tidak siap rugi. Mentalitas seperti ini adalah penghambat utama dalam sukses trading. Mindset yang benar adalah dalam melakukan trading bisa untung dan rugi. Ini adalah hal yang biasa. Yang penting adalah lebih sering profit daripada loss.

Mental Block

Saya pernah membantu seorang trader yang telah berhasil profit US$ 10.000. Namun setelahnya ia rugi terus. Setiap kali mau masuk ke pasar ia selalu merasa sangat tidak nyaman. Dan bila ia paksakan main, hasilnya selalu rugi.

Setelah saya bantu cari apa masalahnya ternyata ada Bagian Diri yang tidak setuju atau mengijinkan ia untung besar. Bagian Diri ini hanya mengijinkan ia punya penghasilan Rp. 5 juta sebulan. Setelah Bagian Diri ini diproses barulah ia bisa trading dengan perasaan nyaman dan untung.

Tidak Memberi Reward Diri Sendiri

Ini juga pernah terjadi pada seorang klien saya. Ia sangat lihay trading. Sering untung besar. Namun akhirnya ia mengalami hambatan yang tidak bisa ia jelaskan. Ia sering salah dalam kalkulasi dan membuat keputusan.

Singkat cerita, saat saya bantu dan proses di pikiran bawah sadarnya barulah terungkap bahwa ada Bagian Diri yang marah karena klien ini tidak pernah memberi hadiah untuk dirinya sendiri. Bagian Diri yang marah ini rupanya punya pengaruh yang cukup besar dalam dirinya sehingga memblok Bagian yang biasanya melakukan trading. Dengan kata lain klien mengalami sabotase diri.

Tidak Transfer ke Rekening di Indonesia

Umumnya para trader membuka account di luar negeri. Mereka melakukan trading dan bila untung keuntungannya langsung dikreditkan ke rekening mereka di luar negeri. Satu hal yang sering tidak disadari atau diketahui orang yaitu saat uang ini masih di rekening luar negeri maka pikiran bawah sadar menganggap ini bukan miliknya. Uang ini akan terus digunakan untuk trading, bisa bertambah bila untung dan bisa berkurang bila rugi. Dengan demikian pikiran bawah sadar tidak merasa memiliki uang ini. Cepat atau lambat ia bisa marah dan melakukan sabotase.

Yang perlu dilakukan adalah bila profit, sebagian keuntungan perlu ditarik balik ke Indonesia. Selama masih di rekening di luar negeri , secara psikologis, ini belum uang milik sendiri. Uang ini baru akan dirasakan menjadi “milik sendiri” bila sudah masuk rekening di Indonesia.

Tidak Punya Tujuan yang Jelas

Dalam melakukan satu kegiatan atau tindakan kita perlu memiliki tujuan yang jelas dan spesifik. Trading adalah salah satu cara untuk menghasilkan uang. Dan yang lebih penting sebenarnya bukan sekedar menghasilkan profit namun apa yang akan dilakukan dengan profit ini. Pikiran bawah sadar akan bekerja keras membantu seseorang mencapai goal yang personal dan bermakna.

 

Baca Selengkapnya

Mengapa Perlu Kondisi Hipnosis yang Dalam?

18 Juni 2014

Tujuan utama dari hipnoterapi klinis adalah untuk membantu klien mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi dan perilaku. Keberhasilan dan keefektifan terapi ditentukan oleh banyak faktor antara lain kepercayaan klien terhadap terapis, keterbukaan, kesiapan, dan kesediaan klien bekerjasama dengan terapis, dan kecakapan terapis.

Keefektifan hipnoterapi klinis sebagai salah satu modalitas terapi yang sangat efektif ditentukan oleh beberapa hal. Selain ragam teknik intervensi yang digunakan, kepercayaan diri dan pengalaman terapis, juga sangat dipengaruhi oleh kedalaman hipnosis yang dicapai klien saat terapi dilakukan. 

Terdapat perbedaan signifikan dalam capaian terapi yang dilakukan di kondisi hipnosis dangkal (light trance) dan hipnosis dalam (deep trance). 

Menurut Dave Elman, salah satu tokoh hipnosis/hipnoterapi mashyur, ada lima kategori kedalaman hipnosis: light/superficial, medium, somnambulistic, Esdaile state, dan hypnosleep. Elman mengatakan bahwa untuk dapat melakukan hipnoterapi yang efektif membutuhkan kedalaman somnambulisme. Kedalaman light/superficial dan medium trance tidak bermanfaat. Berbeda dengan yang diketahui awam, Milton Erickson juga menekankan pentingnya deep trance. Bahkan dalam beberapa kasus Erickson secara khusus melatih kliennya untuk bisa masuk deep trance, selama beberapa sesi, baru kemudian melakukan terapi.

Secara teknis, ada beberapa alasan penting yang mendasari mengapa terapi sebaiknya dilakukan dalam kondisi hipnosis yang dalam.

Pertama, dalam kondisi sadar normal akses ke pikiran bawah sadar tidak bisa dilakukan dengan leluasa. Setiap data yang akan masuk ke pikiran bawah sadar pasti melewati faktor kritis (critical factor). Faktor kritis adalah filter mental di pikiran sadar yang fungsinya menjaga dan melindungi setiap data yang ada di pikiran bawah sadar sehingga tidak mudah untuk diubah atau diganti. Dalam kondisi light trance, faktor kritis masih sangat kuat bekerja. Dengan demikian segala upaya yang dilakukan baik oleh klien maupun terapis, untuk mengakses pikiran bawah sadar dan melakukan modifikasi atau restrukturisasi data akan mengalami hambatan dan resistensi yang kuat. Dalam kondisi medium trance faktor kritis sudah tidak sekuat dalam kondisi sadar normal atau light trance namun masih bisa menghambat proses terapi.

Kondisi trance tidak statis namun fluktuatif dan dinamis. Klien sewaktu-waktu, dan tanpa terapis ketahui, bisa naik dari kondisi medium ke light trance. Bila naik ke light trance faktor kritis kembali menguat.  

Kedua, kondisi deep trance memungkinkan terapis memberdayakan pikiran bawah sadar klien menggunakan berbagai teknik terapi yang difasilitasi oleh trance logic. Cara kerja, fungsi, karakteristik, dan manfaat trance logic berbeda dengan conscious logic yang merupakan wilayah pikiran sadar.

Ketiga, dari sisi perbandingan jumlah konten pikiran bawah sadar yang bisa naik ke permukaan. Semakin dangkal kondisi hipnosis, semakin sedikit konten pikiran bawah sadar yang bisa leluasa naik ke permukaan. Sebaliknya, semakin dalam kondisi hipnosis semakin banyak dan mudah konten pikiran bawah sadar naik ke permukaan sehingga bisa diketahui dan diproses sesuai tujuan terapi. Hipnoanalisis hanya efektif bila banyak konten pikiran bawah sadar yang dapat diakses.

Keempat, ada banyak teknik terapi yang hanya bisa bekerja dengan efektif dan memberi hasil optimal bila dilakukan dalam kondisi deep trance. Teknik-teknik ini antara lain regresi dengan affect bridge, teknik abreaksi, revivifikasi, anestesi mental, progresi, restrukturisasi konten pikiran bawah sadar, positive reimprinting, gestalt, imajinasi, sugesti, rescripting, dan berbagai teknik lainnya.

Revivifikasi hanya bisa terjadi di kondisi hipnosis yang dalam, tidak bisa di kondisi light atau medium trance. Light atau medium trance hanya bisa menghasilkan hipermnesia yang tdak dapat digunakan untuk mengakses emosi yang akan diproses. Demikian pula dengan abreaksi dan manajemen abreaksi hanya bisa efektif dalam kondisi deep trance.

Proses abreaksi hanya akan maksimal bila klien mengalami revivifikasi, bukan hipermnesia. Saat revivifikasi klien mengalami kembali pengalaman yang menjadi akar masalah lengkap dengan emosi yang dulu ia rasakan. Emosi ini yang diproses tuntas dengan teknik abreaksi dan dilanjutkan dengan restrukturisasi pengalaman sehingga terjadi resolusi trauma dan klien mendapat pemahaman baru. Syarat untuk revivifikasi adalah deep trance, tidak bisa medium trance.      

Kelima, akses Ego Personality (EP) atau Bagian Diri yang berada atau bersembunyi di kedalaman lapisan pikiran. Banyak hipnoterapis mempraktikkan teknik Gestalt dalam kondisi light trance dan berhasil membantu klien mengatasi masalah dengan baik. Teknik yang sama tidak efektif digunakan bila Ego Personality yang membuat masalah “tinggal” atau “sembunyi” di kedalaman. Untuk itu terapis perlu membawa klien turun hingga deep trance agar dapat mengakses EP yang membuat masalah. Kondisi light trance hanya memungkinkan terapis atau klien mengakses EP yang berada di permukaan atau surface EP.

Keenam, dalam kondisi sadar normal unit-unit daya pikiran tersebar atau tercerai-berai. Namun saat dalam kondisi deep trance unit-unit ini menyatu sehingga sugesti atau terapi yang dilakukan mampu memberi dampak lebih maksimal dibanding dengan kondisi biasa.

Ketujuh, bila ditilik dari perspektif teori belajar, kondisi hipnosis sesungguhnya adalah kondisi pikiran yang sangat kondusif untuk belajar. Deep trance adalah kondisi pikiran yang sangat rileks di mana pikiran sadar (sangat) fokus pada materi yang dipelajari. Fokus inilah yang memegang peran penting dalam proses belajar. Kesulitan belajar umumnya terjadi karena pikiran sadar sering tidak fokus, memikirkan hal-hal lain, sehingga mengganggu proses belajar. Pentingnya kondisi deep trance untuk optimalisasi proses dan hasil belajar dan juga terapi dengan sangat gamblang dijelaskan dan ditekankan oleh Bandler dalam bukunya “Richard Bandler's Guide to Trance-formation: How to Harness the Power of Hypnosis to Ignite Effortless and Lasting Change”. Bandler mengatakan bahwa hipnosis adalah satu alat yang bermanfaat untuk menginstal strategi tertentu di pikiran bawah sadar.

Bila memang kondisi deep trance begitu penting untuk melakukan hipnoterapi yang efektif, lalu bagaimana cara untuk mencapainya?

Ada banyak teknik induksi yang bisa digunakan untuk membawa klien masuk ke kondisi deep trance. Apapun teknik induksi yang digunakan haruslah dilengkapi dengan uji kedalaman yang presisi untuk memastikan kedalaman yang dicapai klien. Ada uji kedalaman untuk mengetahui kondisi light, medium, dan deep trance.

Uji kedalaman yang baik adalah yang menyatu dan menjadi bagian dari induksi yang dilakukan terapis saat membimbing klien masuk kondisi hipnosis dan tidak diketahui oleh klien. 

Baca Selengkapnya

Pendulum dalam Hipnoterapi

11 Juni 2014

Pendulum adalah salah satu alat bantu dalam melakukan proses penggalian data pikiran bawah sadar. Pendulum, atau lebih mudah dipahami dengan istilah “bandul”, terbuat dari sebuah beban yang diikat dengan seutas benang. Beban ini bisa berupa cincin, pendan, baut kecil, batu, atau apa saja. Yang penting ukurannya kecil dan agak berat. Pendulum bekerja dengan dengan prinsip ideomotor respon yang langsung digerakkan pikiran bawah sadar.

Penggunaan pendulum untuk menggali data atau informasi dari pikiran bawah sadar hanya bisa dilakukan dengan menggunakan pertanyaan yang jawabannya “Ya”, “Tidak”, “Tidak tahu”, atau “Tidak bersedia menjawab”. Dengan demikian terapis harus benar-benar cakap dalam menyusun pertanyaan, bukan pernyataan. Pendulum tidak bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan yang sifatnya terbuka, misalnya, “Apa yang membuat klien sedih?”, karena pertanyaan ini membutuhkan jawaban panjang.

Cara menggunakan pendulum dalam penggalian data dari pikiran bawah sadar adalah sebagai berikut. Pertama, tentu terapis perlu menyiapkan atau membuat sebuah pendulum. Selanjutnya terapis meminta klien memegang, dengan ibu jari dan telunjuk, ujung benang yang digunakan untuk mengikat beban yang dijadikan bandul. Klien diminta duduk santai, meletakkan sikunya di meja sambil memegang ujung benang dan beban menggantung bebas sedikit di atas permukaan meja. Setelah posisinya nyaman dan tenang, minta klien untuk menatap atau fokus pada pendulum.

Terapis selanjutnya meminta klien berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar klien dan menunjukkan gerakan pendulum yang mewakili jawaban “Tidak”, “Ya”, “Tidak tahu” atau “Tidak bersedia menjawab”. Biasanya terapis akan memberi sugesti, dan klien mengulangi dalam hati, “Tunjukkan pada saya gerakkan yang mewakili jawaban ya.”

Sambil klien fokus menatap pendulum dan terus mengulangi kalimat sugesti, perlahan namun pasti pendulum akan bergerak ke arah tertentu yang mewakili jawaban “Ya”. Demikian pula untuk jawaban lainnya, seperti “Tidak” atau “Tidak tahu”.

Pedulum biasanya hanya bisa bergerak empat arah. Pertama, ke atas dan ke bawah. Kedua, ke kiri dan ke kanan. Ketiga, berputar searah jarum jam. Keempat, berputar berlawanan dengan arah jarum jam.

Misal untuk jawaban “Tidak” pendulum bergerak ke kiri dan ke kanan. Untuk jawaban “Ya”, pendulum bergerak ke atas dan ke bawah. Jawaban “Tidak tahu”, berputar searah jarum jam. Dan “Tidak bersedia menjawab”, berputar berlawanan dengan arah jarum jam. Pilihan gerakan ini sepenuhnya ditentukan oleh pikiran bawah sadar klien.

Sebelum melakukan penggalian informasi atau melakukan eksplorasi, terapis perlu menguji kebenaran jawaban pendulum. Biasanya terapis mengajukan pertanyaan yang klien tahu jawabannya pasti “Ya”, “Tidak”, atau “Tidak tahu”. Bila jawabannya benar, sesuai dengan arah gerakan yang telah ditentukan sebelumnya, barulah terapis boleh mengajukan pertanyaan lanjutan. Selama proses tanya jawab klien, bukan terapis, yang memegang pendulum dan fokus menatap pendulumnya. Terapis bertanya dan pikiran bawah sadar klien menjawab melalui gerakan pendulum.

Bagi orang awam yang tidak tahu cara kerja pikiran bawah sadar atau ideomotor respon, pendulum yang bisa bergerak “sendiri” terkesan mistis atau ajaib. Sebenarnya yang menggerakan pendulum adalah tangan klien sendiri. Pikiran bawah sadar akan menggerakkan tangan yang memegang pendulum, dengan gerakan yang sangat halus, samar, dan biasanya tidak terlihat mata. Jadi, pendulum bukan digerakkan oleh kekuatan tertentu di luar diri klien. Bila pendulum yang sama tidak dipegang namun digantung atau diikatkan pada satu benda tertentu maka pendulum tidak akan pernah bisa bergerak sendiri.

Ada beberapa pemahaman yang kurang tepat mengenai fungsi pendulum khususnya dalam konteks hipnoterapi dan ini perlu diluruskan. Ada terapis menggunakan pendulum untuk membaca atau mendeteksi akar masalah klien. Uniknya, yang memegang pendulum adalah terapis, bukan klien.

Gerakan pendulum dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar orang yang memegangnya. Jadi, bila terapis ingin tahu jawaban dari pikiran bawah sadar klien maka klien yang harus memegang pendulum, bukan terapis. Bila pendulum dipegang oleh terapis maka jawabannya tidak valid karena berdasar data yang ada di pikiran bawah sadar terapis, bukan klien.

Walau pendulum cukup efektif untuk eksplorasi bawah sadar saya tidak pernah menggunakannya dalam praktik hipnoterapi. Alasan utama adalah tidak praktis. Pendulum hanya bisa memberi jawaban “Ya”, “Tidak”, atau “Tidak tahu”. Ini tentu akan cukup merepotkan bila ada banyak informasi yang perlu digali.

Alasan lain, bila sudah tahu apa penyebab masalah klien, lalu apa yang akan dilakukan? Masalah tidak bisa diselesaikan dengan pendulum, harus menggunakan teknik lain.

Ada teknik ideomotor respon lain yang jauh lebih praktis dengan tingkat akurasi jawaban yang jauh lebih tinggi dibanding pendulum. Teknik ini yang saya sering gunakan dan juga ajarkan di kelas SECH.

Kendala lain dalam menggunakan pendulum atau teknik ideomotor respon yaitu jawaban yang diberikan akan salah bila yang menggerakkan pendulum adalah Ego Personality yang tidak kompeten. Ada perbedaan mendasar saat kita mengakses pikiran bawah sadar klien sebagai satu unit atau kesatuan dan per satu Bagian Diri.

Misal terapis menggunakan pendulum untuk membantu klien mencari benda yang hilang. Bila ternyata EP klien yang aktif saat itu adalah EP yang memang tidak tahu mengenai keberadaan benda ini maka apapun yang ditanyakan oleh terapis jawabanya pasti akan selalu “Tidak tahu”.

Contoh lain adalah misal terapis bertanya pada klien, yang sedang memegang pendulum, “Apakah sebaiknya klien bercerai dengan pasangannya?”, maka jawabannya bisa, “Ya”, bila EP yang aktif saat itu adalah EP yang marah pada pasangan. Lain halnya bila EP yang aktif adalah EP bijaksana yang mampu menimbang risiko dan untung rugi bila bercerai.

Dengan demikian, jawaban yang “benar” belum tentu benar karena bergantung EP mana yang sedang aktif pada saat itu dan yang mengendalikan pendulum. Terapis perlu jeli mengamati hal ini.  

Penggunaan pendulum tidak disarankan untuk meramal masa depan. Misal untuk meramal kondisi ekonomi atau politik, meramal pergerakan saham atau nilai tukar mata uang di masa depan.

Saya pernah mendapat pertanyaan dari seorang sahabat mengenai aplikasi pendulum untuk tahu pergerakan saham di masa depan. Sahabat ini dalam kondisi galau karena saham yang ia beli ternyata sedang turun. Ia ingin tahu apakah nanti sahamnya bisa naik atau terus turun. Bila terus turun maka ia akan segera melepas sahamnya.

Saya sampaikan padanya agar jangan pernah menggunakan pendulum untuk tujuan ini. Sahabat ini tahu cara menggunakan pendulum. Ia juga tahu cara menyusun pertanyaan yang benar. Namun yang tidak ia ketahui yaitu pendulum digerakkan oleh pikiran bawah sadar berdasar data yang ada di pikiran bawah sadar. Bukan dengan menarik data dari masa depan. Apalagi saat itu pikirannya lagi galau. Sudah tentu jawaban pendulumnya pasti tidak valid.

Ada yang mengatakan pendulum bisa digunakan untuk mencari tahu apakah pasangan seseorang selingkuh atau tidak. Apakah benar bisa seperti ini?

Menurut hemat saya tidak bisa. Justru ini sangat riskan. Bila misalnya jawaban, yang tidak valid, ini menyatakan bahwa pasangannya selingkuh maka ini bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga atau bahkan perceraian.

Bagaimana bila pendulum digunakan untuk mendapat jawaban apakah seseorang bisa sembuh atau tidak dari sakitnya?

 

Ini juga cukup riskan. Bila misalnya jawabannya bisa sembuh, ini tentu sangat baik. Bagaimana bila sebaliknya, pendulum menjawab tidak bisa sembuh? Jawaban ini akan menjadi sugesti diri dan akan terwujud dalam hidup klien. 

Baca Selengkapnya

Kesalahan Kecil yang Besar dalam Melakukan Regresi

1 Juni 2014

Regresi (hypnotic age regression) adalah proses membawa klien mundur ke satu masa atau kejadian di masa lalu dengan bantuan kondisi hipnosis. Ada regresi yang sifatnya diarahkan dan ada juga yang terjadi secara spontan.

Yang dimaksud dengan regresi spontan adalah klien mundur ke satu masa atau kejadian di masa lalu tanpa terapis secara sengaja membimbingnya mundur. Secara teknis dikenal dua jenis regresi spontan. Ada regresi spontan yang benar-benar spontan, tanpa diarahkan baik sengaja atau tidak oleh terapis. Regresi ini terjadi karena pikiran bawah sadar memandang penting untuk mengungkap informasi tertentu pada terapis. Ada juga regresi spontan yang terjadi karena terapis secara tidak sengaja atau lebih tepatnya kurang cermat dalam memilih semantik yang tepat saat terapi. Pikiran bawah sadar secara literal mengikuti semantik yang digunakan terapis dan membawa klien mundur ke kejadian atau pengalaman tertentu di masa lalu. Dari sisi eksplorasi dalam regresi dikenal dua jenis eksplorasi: vertikal dan horizontal.

Dalam artikel ini saya akan berbagi informasi penting mengenai sifat, proses, dan dinamika yang terjadi di pikiran bila terapi dilakukan dalam kondisi hipnosis yang dalam (deep trance) berdasar temuan penelitian kami.

Salah satu yang sangat perlu diperhatikan dan dicermati adalah pilihan semantik saat mengarahkan pikiran bawah sadar klien saat proses terapi. Semantik yang bila disampaikan pada klien saat ia dalam kondisi sadar normal, light trance, atau medium trance tidak berpengaruh ternyata sangat beda efeknya dalam kondisi deep trance.

Dari sisi cara kerja otak dapat dijelaskan sebagai berikut. Otak kanan bekerja dengan gambar, global, metafora, dan trance logic. Sedangkan otak kiri fungsinya menangani aspek bahasa, detil, berurutan, dan conscious logic.

Otak kanan membayangkan informasi yang masuk dan otak kiri memberi deskripsi verbal. Saat dalam kondisi hipnosis, apalagi hipnosis yang dalam (deep trance), di mana mata klien tertutup sehingga stimuli visual yang masuk ke dalam otak melalui kedua bola mata menjadi sangat minim, aktivitas dan fungsi otak kiri berkurang (sangat) drastis. Dengan demikian suara, lebih tepatnya semantik yang digunakan oleh terapis, berperan sebagai pengganti input verbal bagi otak kiri. Saat mendapat input verbal ini, otak kanan langsung membuat gambaran mental yang sesuai atau sejalan dengan intepretasi klien terhadap semantik yang digunakan terapis.

Satu kejadian menarik terjadi saat di kelas SECH saat para peserta berlatih mempraktikkan teknik regresi (hypnotic age regression). Setelah mendapat penjelasan detil cara melakukan regresi dan dilengkapi dengan skrip para peserta melakukan latihan praktik dengan rekannya.

Sebelum latihan, peserta A bertanya pada peserta B ingin diregresi ke pengalaman menyenangkan yang mana. B minta diregresi saat ia dan keluarga berlibur ke Alaska bulan September. Peserta A selanjutnya menginduksi B, dan berhasil mencapai kedalaman minimal profound somnambulism.

Selanjutnya A dengan menggunakan skrip yang telah diberikan meregresi B ke saat liburan di Alaska. Di sini A melakukan eksplorasi horizontal dan melakukan penggalian data pengalaman B. Kurang lebihnya seperti ini:

A: Anda sekarang di mana?

B: Lagi liburan sama keluarga.

A: Liburan di mana?

B: Di Alaska.

A: Senang ya liburan sama keluarga di Alaska?

B: Ya.. senang.

A: Apa yang membuat Anda memutuskan liburan ke Alaska?

(Pertanyaan ini benar tapi salah. Benar karena ini adalah kalimat tanya yang secara tata bahasa benar. Salah karena digunakan dalam konteks klinis di mana klien berada dalam kondisi deep trance dan sedang mengalami revivifikasi bukan hipermnesia dan mengakibakan hal yang tak terduga. Pertanyaan ini tanpa disadari telah membuat B teregresi spontan ke bulan Januari saat B dan keluarga sedang berunding ingin liburan ke mana. Di Januari inilah B dan keluarganya memutuskan akan liburan ke Alaska di bulan September. A tidak tahu atau tidak menyadari B telah mundur dari posisinya sedang liburan di Alaska, bulan September, ke Januari. A masih berpikir bahwa B sedang di Alaska.)

B:  Ya ini kami lagi rundingan satu keluarga. Ada beberapa pilihan mau liburan ke mana. Tapi setelah dirunding kami putuskan liburan ke Alaska.

(Di sini A masih tidak sadar atau tahu bahwa B telah mundur ke bulan Januari. A tidak tahu bila keputusan untuk liburan ke Alaska adalah keputusan bersama, bukan diputuskan oleh klien sendiri. Bila terapis tidak tahu maka hal ini bisa dimaklumi. Namun bila terapis berasumsi, ini tidak dibenarkan.)

A: Di Alaska dingin ya?

(Tanpa disengaja di sini A melakukan dua kesalahan. Ingat, dalam kondisi deep trance B mengalami revivifikasi bukan hipermnesia. Pertama, secara tidak sengaja A telah membawa B maju dari Januari, saat sedang berunding mau liburan ke mana, ke September saat sedang liburan di Alaska. Kedua, pertanyaan ini sifatnya leading yang yang tanpa disadari membuat B tiba-tiba merasa kedinginan. Padahal sebelumnya B tidak merasa dingin. Pertanyaan yang benar adalah, “Bisa ceritakan apa yang Anda rasakan saat di Alaska sekarang ini? Dan untuk membawa B maju ke bulan September, A perlu menyiapkan pikiran B lebih dulu, tidak langsung diminta maju.)

B: Ya… dingin.

(B merasa kedinginan dan agak menggigil. Pikiran bawah sadar B secara literal mengartikan dan melaksanakan kalimat sugesti yang terkandung di dalam pertanyaan yang diajukan A.)

Ada beberapa pertanyaan lagi yang secara tidak sengaja membuat B mundur ke masa sebelum liburan ke Alaska dan secara tiba-tiba mengalami progresi ke saat liburan di Alaska. B beberapa kali mundur dari September ke Januari dan maju dari Januari ke September. Ini semua terjadi tanpa disadari oleh A. Dan A tidak menyiapkan pikiran B untuk proses maju atau mundur ini. Sesuai protokol yang diajarkan di kelas SECH, untuk regresi dan progresi yang benar, pikiran klien perlu disiapkan dan dituntun. Dalam contoh di atas B mengalami maju mundur secara spontan, tanpa persiapan atau lebih tepatnya tidak disiapkan atau dituntun oleh A. Dan akibatnya B menjadi pusing.

Semantik yang sama tentu akan berbeda efeknya bila klien dalam kondisi light trance atau medium trance. Perbedaan mendasar adalah dalam kondisi deep trance pikiran yang aktif dan dominan adalah pikiran bawah sadar dan sangat literal. Klien mengalami revivifikasi, bukan sekedar hipermnesia. Efeknya tentu akan beda bila klien hanya hipermnesia. Saat mengalami hipermnesia klien hanya mengingat. Dengan demikian tidak akan jadi masalah bila klien ingatan klien lompat dari satu masa ke masa lain. Prosesnya sangat berbeda dengan revivifikasi.

Usai latihan kami membahas apa yang terjadi dalam pikiran B saat diregresi oleh A dan memberi saran, arahan, dan masukan kepada semua peserta apa yang perlu diperhatikan dan dicermati, terutama pilihan semantik, saat melakukan terapi atau regresi. Salah sedikit saja dalam hal semantik akan berakibat sangat serius bagi klien.

Hal yang tampak sangat sepele seperti yang diceritakan di atas ternyata berpengaruh sangat signifikan terhadap pikiran klien dan sangat memengaruhi proses dan hasil terapi.

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis klinis saya juga pernah mengalami kondisi di mana saya telah berhasil meregresi klien ke satu kejadian spesifik di masa lalunya, bisa ISE atau SSE, sempat saya lakukan eksplorasi horizontal, namun tiba-tiba klien diam, tidak bisa menjawab pertanyaan saya, dan emosi yang tadinya ia rasakan intens tiba-tiba hilang tak berbekas.

Semula saya berpikir ada penolakan dari pikiran bawah sadar klien sehingga enggan mengungkap apa yang terjadi. Kembali saya meregresi klien, hasilnya sama. Saya ulangi lagi... hasilnya tetap sama. Emosi yang semula intens tiba-tiba hilang dan klien diam tidak bisa menjawab.

Ternyata saat itu secara tidak sengaja saya menggunakan semantik yang salah sehingga klien yang sudah berada di ISE atau SSE, tiba-tiba mengalami progresi kembali ke masa sekarang saat diterapi. Kesalahan kecil ini, yang efeknya sangat besar, terjadi akibat saya tidak cermat menggunakan satu atau dua kata saja. Benar.. hanya salah menggunakan satu atau dua kata, bukan satu kalimat.

Berikut ini adalah penjelasan apa yang terjadi. Setelah klien, sebut saja sebagai Ibu Susan, 45 tahun, diregresi ke kejadian paling awal yang menjadi penyebab munculnya masalah (ISE), terjadi dialog berikut:

Terapis: Ceritakan apa yang terjadi?

Klien : (sambil menangis) Aku takut…. Papa ribut sama mama….teriak-teriak…

Terapis : Siapa yang teriak-teriak?

Klien : Papa….

Terapis : Terus….

Klien   : Mama nangis….

Terapis :  Bu Susan sedang di mana waktu papa ribut sama mama? Di kamar atau ada di ruangan papa dan mama berada?

Klien   : ………….(diam, tidak bereaksi. Wajahnya yang tadinya tegang dan takut tiba-  tiba menjadi datar. Tidak lagi tampak ada emosi.)

Terapis : Bu Susan, ceritakan apa yang terjadi kemudian?

Klien   : ………… (tetap diam dan tidak bereaksi)

Terapis : Bu Susan, ceritakan apa yang terjadi kemudian?

Klien  : Tidak ada apa-apa Pak.

(Di sini terapis melakukan kesalahan kecil yang besar walau tidak disengaja. Kesalahannya ada pada penggunaan panggilan “Bu Susan”. Saat teregresi ke masa kecil maka klien adalah anak kecil. Saat dipanggil sebagai “Bu Susan” maka secara otomatis klien mengalami progresi atau maju dari kejadian saat kedua orangtuanya bertengkar ke masa sekarang, sebagai wanita dewasa. Kata “Bu” Susan ini secara tidak sengaja mengakibatkan terjadinya progresi spontan. Dan ini tidak disadari oleh terapis. Itu sebabnya klien yang tadinya sedang mengalami emosi intens tiba-tiba tidak lagi merasakan emosinya. Ia telah menjadi Ibu Susan yang dewasa, keluar dari kondisi revivifikasi, dan hanya mengalami hipermnesia.)

Kalimat tanya “Di kamar atau ada di ruangan papa dan mama berada?” ini juga salah karena sifatnya leading bukan guiding. Dalam hal ini terapis telah berasumsi. Dan secara teknis hal ini tidak dibenarkan.

Terapis yang bingung dengan kondisi klien yang tiba-tiba tidak bisa lagi menceritakan apa yang terjadi dan tidak merasakan emosi apapun kembali melakukan regresi dan klien mundur ke kejadian yang sama.)

Terapis: Ceritakan apa yang terjadi?

Klien : (klien menangis lagi) Aku takut…. Papa sama mama ribut….

Terapis : Terus….

Klien    : Mama nangis….

Terapis : Waktu itu Bu Susan sedang di mana saat papa ribut sama mama?

Klien   : ………….(diam, tidak bereaksi. Wajahnya yang tadinya tegang dan takut tiba-  tiba menjadi datar. Tidak lagi tampak ada emosi.)

(Terapis melakukan dua kesalahan yang berakibat klien mengalami progresi dan keluar dari kejadian (revivifikasi). Kata “waktu itu” secara semantik memaksa pikiran klien untuk melepas revivifikasi dan berpindah ke kondisi hipermnesia. Kata “waktu itu” juga membuat klien mengalami progresi dari kejadian di masa kecil yang sedang ia alami kembali ke masa sekarang saat ia sedang diterapi. Kesalahan kedua, penggunaan kata “Bu Susan”. Penjelasannya sama seperti yang di atas.)

Pengalaman berharga ini baik yang saya dan para alumni AWGI alami saat melakukan terapi kami kumpulkan, teliti, telaah, pelajari, perbaiki, kembangkan, sempurnakan, dan diajarkan di kelas SECH saat ini. Itu sebabnya di setiap angkatan SECH selalu ada update dan penyempurnaan teknik atau semantik. Dengan demikian semakin hari pengetahuan yang didapat oleh para peserta SECH selalu semakin berkembang dan adalah berdasar hasil riset terkini.

Inilah beberapa contoh kesalahan kecil tapi besar yang pernah saya lakukan di awal karir saya sebagai hipnoterapis. Dan ini juga yang menjadi alasan mengapa Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology mensyaratkan pelatihan SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy) 100 jam tatap muka di kelas untuk menjadi hipnoterapis profesional. Ada begitu banyak hal yang harus diketahui, dipahami, dan dikuasai oleh hipnoterapis agar benar-benar cakap dan mampu melakukan hipnoterapi yang benar, efektif, dan efisien sesuai dengan standar lembaga AWGI.

Contoh di atas hanya membahas sebagian kecil dari teknik regresi. Ada begitu banyak hal yang perlu diketahui oleh hipnoterapis bila ia benar-benar ingin menguasai teknik regresi dan mampu mempraktikkannya dengan fasih, efektif, dan efisien. 

Materi yang juga dibahas secara mendalam dalam konteks regresi adalah semantik yang digunakan klien saat menceritakan pengalamannya. Dari analisis semantik klien, terapis dapat mengetahui dengan presisi di mana klien berada pada suatu saat. Apakah klien sudah mengalami regresi atau belum, apakah ia mengalami hipermnesia tipe 1 atau 2, atau revivifikasi tipe 1 atau 2? Apakah revivifikasi tipe 1 yang klien alami sifatnya complete atau partialDan dengan menggunakan semantik ini terapis dengan mudah menggeser kondisi kesadaran klien sehingga bisa berpindah dari hipermnesia ke revivifikasi dan sebaliknya, sesuai dengan kebutuhan terapi dan teknik yang digunakan. 

Saya butuh minimal setengah hari untuk mengajar teknik regresi secara lengkap dan mendalam. Ini belum termasuk waktu yang dibutuhkan untuk melakukan praktik di kelas dengan supervisi yang ketat oleh para asisten.

Baca Selengkapnya

Sehat atau Sakit oleh Pikiran Sendiri

22 Mei 2014

Saya sering menangani klien yang mengeluh sakit fisik namun telah dilakukan pemeriksaan medis menyeluruh ternyata tidak ditemukan masalah pada fisiknya. Beberapa waktu lalu ada klien yang mengeluh sulit tidur, sering mengalami panick attack, maag bermasalah, sering lemas, dan telah berobat ke luar negeri namun tetap tidak bisa sembuh. Dokter memberinya beberapa macam obat dan rutin diminum. Hasilnya, ia tetap  sakit.

Ada banyak klien saya yang secara teknis sehat namun menderita konsekuensi fisiologis akibat respon stres berulang yang secara perlahan namun pasti merusak tubuhnya. Ini disebut sakit psikosomatis dan saya menjelaskannya detil di buku The Miracle of MindBody Medicine.

Sebelum melakukan hipnoterapi untuk mengatasi perasaan cemas dalam diri klien saya pasti memberikan edukasi yang cukup lengkap dan menyeluruh bagaimana pikiran, lebih tepatnya emosi bisa sampai mengakibatkan tubuh sakit. Dan bagaimana membalik proses ini sehingga tubuh bisa kembali sehat. Berikut ini adalah ringkasan dari buku yang saya tulis dan uraian yang saya sampaikan pada kien di ruang terapi.  

Jadi, bagaimana tepatnya satu bentuk pikiran atau perasaan/emosi negatif mewujud dalam bentuk gangguan fisik yang kita sebut dengan penyakit psikosomatis?

Setiap bentuk pikiran dan emosi pasti berpengaruh pada tubuh. Pengaruh ini ada yang bisa langsung dirasakan dan ada juga yang butuh waktu tertentu, melalui proses akumulasi, baru terasa.

Saat seseorang merasakan atau mengalami emosi negatif seperti takut, cemas, khawatir, marah, benci, frustrasi, atau emosi negatif lainnya secara otomatis emosi ini memicu poros HPA (hipotalamus, pituitari, adrenal) dan otak mengartikannya sebagai situasi genting yang harus segera diatasi dengan mekanisme tertentu.

Emosi negatif mengaktifkan hipotalamus sehingga melepas corticotrophin-releasing factor (CRF) ke dalam sistem saraf. CRF menstimulasi kelenjar pituitari memproduksi prolactin dan hormon adrenocorticotropic (ACTH) yang menstimulasi kelenjar adrenal menghasilkan cortisol, yang selanjutnya bertanggung jawab membantu tubuh menjaga homeostasis saat otak mendapat sinyal ancaman atau bahaya, baik yang nyata atau hanya dalam imajinasi.

Saat hipotalamus aktif, ia juga mengaktifkan sistem saraf simpatik (respon lawan atau lari / fight or flight), menyebabkan kelenjar adrenal melepas epinephrine dan norepinephrine, yang mengakibatkan detak jantung dan tekanan darah meningkat dan memengaruhi respon fisiologis lainnya. Sekresi hormon-hormon ini mengakibatkan beragam perubahan metablisme di seluruh tubuh.

Pembuluh darah yang mengarah ke kedua lengan, kaki, dan gastrointestinal (saluran pencernaan yang panjangnya sekitar sembilan meter mulai dari mulut sampai anus, meliputi oropharing, esophagus, lambung, usus halus dan usus besar) menyempit atau mengalami konstriksi, sedangkan pembuluh darah menuju ke jantung, kelompok otot-otot besar, dan otak melebar, dengan tujuan utama mengalirkan lebih banyak darah ke organ yang akan membantu kita untuk melawan atau melarikan diri dari ancaman atau keluar dari situasi genting.

Dalam situasi genting seperti ini pupil mata melebar sehingga lebih banyak cahaya bisa masuk, pandangan menjadi lebih tajam dan terang. Metabolisme tubuh meningkat pesat dengan tujuan memberikan kita energi yang besar dengan memanfaatkan cadangan lemak tubuh dan melepas gula ke dalam aliran darah. Napas menjadi lebih cepat dan bronkus melebar, memungkinkan lebih banyak oksigen masuk, otot-otot tubuh menegang dan siap untuk lari dari ancaman atau bahaya.

Selanjutnya asam lambung meningkat sedangkan enzim pencernaan berkurang, dan sering mengakibatkan terjadi kontraksi esophagus (tabung berotot yang mengangkut makanan dari mulut ke lambung), diare, atau konstipasi.

Cortisol yang dihasilkan kelenjar adrenal menekan kerja sistem kekebalan tubuh untuk mengurangi radang pada luka yang mungkin terjadi akibat serangan musuh atau perkelahian. Seks berhenti total. Dalam kondisi genting atau bahaya seks adalah sesuatu yang tidak penting dan harus dihindari karena yang lebih penting adalah menyelamatkan diri.

Dalam situasi genting tubuh mengabaikan tidur, mencerna makanan, dan reproduksi, dan secara khusus hanya fokus pada upaya lari dari bahaya, bernapas, berpikir, menghantar oksigen, dan menghasilkan cukup energi agar kita bisa selamat. Fungsi pemeliharaan dan perbaikan tubuh berhenti.

Saat kita menghadapi ancaman atau bahaya yang nyata, semua perubahan tubuh yang dijelaskan di atas membantu kita untuk bisa segera melawan atau lari dari bahaya. Tetapi saat ancaman ini hanya ada dalam pikiran maka tubuh tidak bisa membedakannya dengan ancaman nyata, dan tetap menghasilkan respon yang sama.

Apapun yang kita rasakan, secara emosi, pasti juga kita rasakan di tubuh. Konsekuensi dari terlalu banyak stres atau emosi negatif yang tidak ditangani dengan baik, terlepas apapun penyebabnya, mengakibatkan beban dan tekanan yang semakin lama semakin membesar, mendesak, dan mengganggu keseimbangan sistem tubuh dan psikis dan berakibat buruk bagi kesehatan. Tubuh tidak tahu atau tidak peduli apa yang menyebabkan munculnya emosi negatif. Yang tubuh tahu yaitu ia mengalami stres.

Dan seiring waktu berjalan, saat respon stres ini terpicu berulang kali, respon alamiah yang sebenarnya sangat baik untuk keselamatan hidup akan berakibat sangat buruk bagi kesehatan kita.

Akibatnya, tubuh tidak bisa rileks dan akhirnya mulai “rusak” karena sistem kekebalan tubuh dan mekanisme perbaikan dan pemeliharaan tubuh tidak dapat bekerja dengan baik. Organ-organ menjadi rusak. Sel kanker yang secara alamiah ada di dalam tubuh dan selama ini tidak bisa berkembang karena dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh kini bisa berkembang bebas dan tumbuh menjadi tumor. Efek berkelanjutan dari kelelahan dan kerusakan kronis pada tubuh akhirnya membuat kita jatuh sakit.

Setelah klien tahu bagaimana pikiran dan emosi negatif yang ia rasakan memengaruhi kesehatannya, apa langkah selanjutnya?

Saya akan membantu klien mengatasi perasaan yang mengganggu hidupnya, yang membuat poros HPA klien aktif dan membuatnya sakit. Energi emosi yang terperangkap di dalam sistem diri, yang mendesak keseimbangan sistem sehingga keluar dari homeostasis, harus disalurkan keluar hingga benar-benar habis. Sistem saraf hanya tahu bahwa bahaya, baik nyata atau dalam pikiran, telah berlalu saat energi emosi ini telah habis.

Setelah berhasil mengatasi hal ini, tentunya dengan hipnoterapi klinis, saya mengajarkan klien melakukan relaksasi pikiran dan tubuh yang (sangat) dalam.

Mengapa relaksasi pikiran dan fisik?

Tujuannya untuk membalik proses yang telah klien alami sebelumnya. Klien sakit karena tubuhnya malfungsi akibat sistem saraf simpatiknya terlalu sering aktif. Untuk itu, saya mengajari klien mengaktifkan sistem saraf parasimpatiknya dengan teknik relaksasi. Kedua sistem saraf ini, simpatik dan parasimpatik, tidak bisa aktif bersamaan pada satu saat. Bila sistem saraf parasimpatik aktif maka sistem saraf simpatik nonaktif. Demikian sebaliknya.

Dengan melakukan relaksasi secara rutin, saat sistem saraf parasimpatik aktif, saat klien mengalami perasaan tenang, damai, bahagia, cinta, pengharapan, atau emosi positif lainnya, maka hipotalamus berhenti memicu respon stres, sistem saraf simpatik nonaktif, kadar adrenalin dan cortisol turun ke level normal, sistem kekebalan tubuh kembali aktif dan bekerja optimal. Tubuh kembali beroperasi normal, menjaga dan memperbaiki dirinya, melindungi dari sakit atau penyakit, dan mengatasi sakit yang sedang kita alami. Orang yang sehat dapat menjaga kesehatannya dan orang yang sakit bisa sembuh.

Uraian di atas dengan gamblang menjelaskan bagaimana pikiran dan emosi bisa membuat tubuh sakit dan juga bisa menyembuhkan.

Manfaat rileksasi pikiran dan tubuh telah diteliti secara mendalam oleh Herbert Benson dari Harvard Medical School. Benson memberinya nama respon relaksasi. Selama bertahun-tahun Benson meneliti ribuan pasiennya dan telah menerbitkan banyak hasil penelitiannya di jurnal medis.

Respon relaksasi diyakini sangat banyak manfaatnya untuk kesehatan. Hasil riset Benson secara tegas menyatakan bahwa respon relaksasi sangat baik dan efektif untuk mengatasi angina pectoris, aritmia, reaksi alergi pada kulit, kecemasan, depresi ringan hingga moderat, asma, herpes, batuk, konstipasi, diabetes melitus, sakit maag, pusing, kelelahan, hipertensi, infertilitas, insomnia, mual dan muntah saat hamil, tegang, bengkak pascaoperasi, PMS, radang sendi atau artritis reumatoid, efek samping dari sakit kanker, efek samping dari AIDS, dan semua bentuk sakit seperti sakit punggung, sakit kepala, sakit perut, sakit otot, sakit persendian, sakit pascaoperasi, sakit di leher, lengan/tangan, dan kaki.  

Ada banyak cara untuk melatih dan mengalami respon relaksasi. Anda bisa mendengar CD relaksasi, melukis, berkebun, menikmati musik, pijat, spa, atau apa saja yang membuat pikiran dan tubuh Anda rileks dan nyaman.

Dalam sesi terapi saya membimbing klien masuk ke kondisi rileksasi tubuh dan pikiran yang sangat dalam dan nyaman. Selanjutnya saya memasang anchor yang bisa digunakan klien untuk kembali ke kondisi ini dengan cepat dan mudah. Dengan demikian, setiap kali klien ingin masuk ke kondisi rileks yang perlu ia lakukan hanya mengaktifkan kembali anchor yang telah dipasang sebelumnya. Ini adalah salah satu cara yang paling mudah dan praktis untuk bisa mengalami respon relaksasi. 

Baca Selengkapnya

Hypno-Selling: Perlukah?

16 Mei 2014

Beberapa kali saya diminta perusahaan besar untuk memberi pelatihan hypno-selling pada para tenaga marketing dan sales mereka.

Saat saya tanya apa yang ingin dicapai dengan pelatihan hypnoselling, perusahaan menjawab, "Supaya penjualan meningkat.... supaya kalau sales kami menawari produk ke konsumen, si konsumen bisa terhipnosis dan pasti beli."

Walau perusahaan bersedia membayar fee yang tinggi untuk pelatihan ini, saya menolak dengan beberapa alasan penting dan mendasar. Pertama, hypnoselling bekerja tidak seperti yang dibayangkan orang. Umumnya orang berpikir yang namanya hypnoselling itu seperti yang di televisi. Subjek dihipnosis dan setelah itu apa saja yang disampaikan oleh hipnotis pasti akan dituruti dan dilakukan oleh subjek. Dalam hal ini, konsumen pasti membeli apapun produk yang ditawarkan. Pandangan ini juga mungkin terbentuk oleh informasi salah yang ditulis di satu buku dengan topik hypnoselling yang ada di pasaran.

Kedua, kalaupun bisa dilakukan seperti yang saya jelaskan di atas, ini namanya manipulasi. Saya tidak setuju dengan hal ini. Pengetahuan mengenai cara kerja pikiran mestinya digunakan untuk membantu sesama berkembang menjadi pribadi yang lebih baik, bukan untuk manipulasi dan keuntungan sepihak. Mengapa kita harus membuat seseorang membeli produk atau jasa yang sebenarnya tidak ia inginkan atau butuhkan? Bagaimana kalau posisinya dibalik, kita yang dibuat seperti itu. Bagaimana perasaan kita?

Ketiga, untuk menguasai teknik hipnosis dengan mata terbuka (waking hypnosis) butuh pengetahuan mendalam dan waktu yang tidak sedikit. Tidak mungkin hanya dalam pelatihan dua atau tiga jam, atau sehari, peserta sudah langsung menguasai dan mampu mempraktikkannya dengan cakap. Bahkan hipnoterapis yang cakap melakukan terapi belum tentu cakap melakukan hypnoselling.

Keempat, hypnoselling terdiri atas dua kata, hypnosis dan selling. Ini adalah dua hal yang berbeda. Untuk menguasai hypnoselling seseorang harus menguasai hipnosis dengan baik dan benar, hipnosis dengan mata terbuka, dan selling.

Selling atau penjualan meliputi banyak hal, antara lain, product knowledge, kemampuan presentasi atau menjelaskan produk atau jasa, kemampuan membangun rapport, menjalin komunikasi, sikap, rasa percaya diri, keyakinan, kemampuan mengatasi penolakan (handling objection), integritas, karakter, dan masih banyak hal penting lain.    

Kelima, sebagai trainer saya perlu jujur dan tahu diri. Saya memang sangat menguasai teknologi pikiran, khususnya hipnosis dan hipnoterapi. Saya juga suka dengan bidang pemasaran dan penjualan (marketing dan sales). Namun, saya belum punya rekam jejak (track record) aplikasi hipnosis dalam penjualan yang bisa menjadi dasar mengajar materi hypno-selling. Trainer yang baik, menurut hemat saya, adalah trainer yang walk the talk, not just talk the talk. Ini menyangkut integritas.

Demikian pula cara berpikir yang perlu dimiliki lembaga atau perusahaan yang ingin mengundang seorang trainer mengajar hypnoselling. Perusahaan perlu memeriksa rekam jejak si trainer apakah benar ia adalah seorang penjual dengan prestasi gemilang.

Hypnoselling Menurut Saya

Saya membagi penjualan menjadi dua bagian. Pertama, ini yang biasanya paling sulit dilakukan, menjual kepada diri sendiri. Kedua, menjual kepada orang lain.

Kesulitan terbesar dalam menjual adalah si penjual tidak bisa menjual produk atau layanannya kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain ia tidak sepenuhnya yakin, bangga, suka, senang, antusias dengan produk atau jasa yang ia jual. Bila ini terjadi maka apapun yang dilakukan untuk meningkatkan penjualan hasilnya tidak akan pernah bisa maksimal. Inilah yang saya sebut dengan mental block.

Mental block yang menghambat biasanya adalah kepercayaan (belief) yang tidak kondusif dan tidak mendukung keberhasilan penjualan seperti:

- Saya kan sarjana, masa jualan… malu-maluin aja.

- Tidak baik mengambil untung dari orang lain.

- Saya tidak punya bakat dalam menjual.

- Pasar sudah jenuh… saat ini susah kalau mau jualan…

- Terlalu banyak saingan.

- Target terlalu berat.

- Jualan adalah kerjanya orang kelas bawah.

- Saya takut ditolak.

- dll……

Untuk bisa meningkatkan penjualan maka mental block ini harus diatasi. Ini baru satu bentuk hambatan. Hambatan lain, yang sering tidak disadari adalah emotional block. Ini jauh lebih sulit untuk diatasi karena biasanya mengandung muatan emosi yang (sangat) intens. Aspek hambatan mental ini yang biasanya tidak atau kurang mendapat perhatian.

Setelah membereskan mental dan emotional block barulah kita belajar cara efektif menjual kepada orang lain. Perusahaan biasanya sangat banyak menghabiskan dana untuk melakukan pelatihan di aspek ini, mulai dari product knowldege, membangun rapport, komunikasi, mengatasi keberatan atau penolakan konsumen, teknik closing, dan masih banyak hal lain yang biasa diajarkan di pelatihan penjualan.

Untuk meningkatkan penjualan saya lebih menyarankan para penjual untuk menjual kepada diri sendiri dan selanjutnya menggunakan LOA untuk bertemu dengan konsumen yang memang butuh produk atau jasa yang mereka tawarkan. Bila ini terjadi maka tidak perlu susah payah untuk meyakinkan konsumen untuk membeli. Konsumen pasti akan membeli karena mereka membutuhkan produk atau jasa yang ditawarkan. Dengan demikian tidak terjadi manipulasi, tidak perlu harus menggunakan cara atau teknik komunikasi tertentu untuk membuat, lebih tepatnya memengaruhi dan “memaksa”, konsumen untuk membeli.

Dan inilah yang selama ini terjadi pada peserta Quantum Life Transformation (QLT). Saya tidak pernah mengajarkan teknik hypnoselling di QLT. Namun, usai pelatihan, ada begitu banyak alumni yang mengalami perubahan diri luar biasa. Selanjutnya karir atau bisnis mereka juga berkembang sangat pesat dengan begitu mudahnya.

Ada pengusaha di Jakarta yang omzet usahanya per bulan sekitar Rp. 60 juta. Setelah berhasil mengatasi mental block yang selama ini menghambat dirinya, ia berhasil menang tender sebesar Rp. 43 Miliar. Prestasi ini Beliau ceritakan kepada kami saat reseat QLT. Ada lagi agen properti yang dalam waktu 4 (empat) hari berhasil melakukan penjualan properti sebesar Rp. 28 Miliar. Baru-baru ini saya mendapat laporan dari salah satu alumnus QLT yang mengatakan ia dihubungi oleh calon klien dan terjadi deal bisnis yang cukup besar. Calon klien ini sudah ia “kejar” selama beberapa bulan. Namun agak sulit untuk “tembus”. Dan tanpa diminta atau disangka calon klien ini yang balik mengejar pengusaha ini.

Masih ada begitu banyak kisah lain yang semuanya menguatkan keyakinan saya bahwa kunci untuk sukses di penjualan adalah menjual kepada diri sendiri dan mengaktifkan LOA untuk jumpa klien atau konsumen yang butuh produk yang kita tawarkan. Jadi, apakah perlu belajar hypnoselling? Jawabannya saya kembalikan kepada anda.

Baca Selengkapnya

Memori Sifatnya Rekonstruktif, Bukan Reproduktif

6 Mei 2014

Ada klien yang bertanya, usai terapi, “Pak Adi, saya bingung. Saya sama sekali tidak menyangka kalau akar masalah saya adalah kejadian ini. Padahal saya tidak ingat ini pernah terjadi. Ini penjelasannya bagaimana ya Pak? Apa memori tadi itu benar atau hanya imajinasi saya saja?

Ada dua kemungkinan klien tidak ingat kejadian yang menjadi akar masalah. Pertama, kejadian traumatik, dengan muatan emosi intens, telah direpresi dan tersembunyi di kedalaman pikiran bawah sadar dengan tujuan agar klien tidak dapat mengingatnya. Dengan demikian kejadian itu seolah-olah tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi dan klien tidak punya “masalah”. Memori yang direpresi ini dapat muncul atau tergali kembali saat dilakukan hipnoanalisis dalam kondisi hipnosis yang dalam (deep trance).

Kedua, memori yang muncul tidak persis sama seperti kejadian yang sesungguhnya. Dalam konteks ini telah terjadi distorsi memori. Cara kerja memori tidak seperti yang selama ini orang awam bayangkan atau ketahui. Pendapat awam mengatakan bahwa memori, lebih tepatnya pikiran bawah sadar, merekam kejadian apa adanya seperti kamera (video recorder). Dan saat diputar ulang yang muncul adalah film persis sama dengan kejadiannya. Ini adalah pandangan yang salah.

Memori dapat dengan mudah mengalami distorsi. Informasi pascakejadian seperti fakta, ide, pandangan/opini, simpulan dapat masuk, menyatu, dan mengubah memori, mengakibatkan kontaminasi, penambahan, pengurangan, atau mendistorsi memori asli.

Memori palsu (false memory) atau yang juga dikenal dengan pseudomemori juga bisa tercipta karena pengharapan atau sugesti.

Terapis yang tidak terlatih atau terapis yang beroperasi berdasar sistem kepercayaan tertentu, misalnya, “Semua klien DID adalah korban pelecehan seksual”, “Memori bekerja seperti video recorder internal”, “Kesembuhan hanya dapat terjadi bila klien berhasil mengakses memori yang terpendam, menyelesaikan, dan mengintegrasikan pengalaman traumatik” adalah mereka yang paling mungkin mengacaukan antara fakta dan fiksi.

Melalui tekanan suara, kalimat tanya yang digunakan, dan pernyataan rasa percaya atau tidak percaya atas apa yang disampaikan klien, seorang terapis dapat secara tidak sengaja mendorong atau membuat klien menerima memori yang “muncul” sebagai hal yang nyata atau benar, dengan demikian memperkuat delusi klien atau bahkan menanamkan memori palsu ke pikiran bawah sadar klien.

Ada dua sumber informasi utama yang dapat mengakibatkan terciptanya pseudomemori. Pertama, kita semua sangat mudah terpengaruh oleh informasi yang diperoleh melalui buku, artikel di koran dan majalah, acara keagamaan (khotbah), kuliah, seminar, film, dan televisi.

Sumber kedua yang sangat kuat memengaruhi dan mengontaminasi memori dapat dijumpai dalam sugesti atau pengharapan dari figur otoritas yang dengannya klien ingin membangun relasi khusus, dengan kata lain, seorang terapis.

Bila terapis sangat antusias mengajukan berbagai pertanyaan yang sifatnya spesifik dan sugestif, mengungkap perasaan kaget, tidak nyaman atau tidak suka, rasa percaya atau tidak percaya, menyatakan pendapat, atau menjadi senang atau marah, maka klien akan merasa ada tekanan untuk membuktikan memorinya. Dengan kata lain, reaksi terapis dapat berfungsi sebagai katalis yang membentuk materi imajinatif menjadi sebuah memori konkrit.

Pembentukan pseudomemori semakin mudah terjadi bila klien dalam kondisi mental yang labil atau sangat sugestif. Salah satu kondisi yang membuat klien menjadi sangat sugestif adalah kondisi hipnosis yang (sangat) dalam.

Saat klien dalam kondisi hipnosis yang (sangat) dalam terapis sangat hati-hati dan cermat dalam memilih semantik yang tepat saat melakukan terapi agar tidak terjadi pseudomemori.

Dalam konteks klinis, hipnoanalisis bertujuan untuk mencari dan menemukan akar masalah bukan untuk mencari kebenaran atau akurasi suatu data. Apapun yang diungkapkan oleh pikiran bawah sadar adalah benar menurut pikiran bawah sadar klien dan terapis menerimanya juga sebagai satu kebenaran yang sifatnya terapeutik. 

Baca Selengkapnya

Hipnosis yang Tidak Disengaja Dan Refleks

29 April 2014

Kondisi hipnosis adalah kondisi alamiah yang pasti dialami setiap individu, baik disadari atau tidak. Sebenarnya tidak ada yang istimewa atau luar biasa yang dilakukan oleh hipnoterapis saat ia menghipnosis kliennya. Hipnoterapis yang paham benar cara kerja dan sifat pikiran memanfaatkan kemampuan alamiah klien masuk kondisi hipnosis dengan memberikan sedikit bimbingan atau arahan.

Salah satu faktor yang membuat seseorang masuk ke kondisi hipnosis dengan sendirinya adalah emosi. Saat seseorang sedang mengalami emosi yang intens maka pada saat itu pikiran bawah sadar mengambil alih kendali diri. Sama seperti dalam kondisi hipnosis, saat mengalami emosi yang intens, kita tetap sadar sepenuhnya, namun tanpa disadari kita masuk ke kondisi trance dan menjadi sangat sugestif. Dalam kondisi ini mungkin saja kita mengucapkan atau berpikir tentang sesuatu dan ucapan atau pikiran ini diterima pikiran bawah sadar dan dilaksanakan oleh pikiran sadar sebagai sugesti pascahipnosis. Di bawah pengaruh emosi yang intens, pikiran bawah sadar secara otomatis akan merekam setiap ucapan atau pikiran. Dengan penguatan yang berkelanjutan, melalui asosiasi (sama seperti sugesti pascahiposis) maka ide ini akan dilaksanakan dan menjadi realita kita.

Saat emosi intens maka aktivitas berpikir level tinggi, yang dilakukan oleh prefrontal cortex, menjadi sangat berkurang.

Kondisi mental yang dihasilkan oleh emosi sama dengan kondisi yang terjadi akibat induksi hipnosis, maka kondisi mental ini disebut dengan autohipnosis yang tidak disengaja (accidental autohypnosis)

Manusia terlahir dengan refleks tertentu dan ada juga refleks yang didapat melalui repetisi. Adalah memungkinkan untuk mendapatkan refleks tanpa repetisi atau pengondisian. Hal ini dapat terjadi bila ada emosi yang intens atau dalam kondisi hipnosis. Hipnosis dan kondisi emosi yang intens keduanya adalah kondisi mental di mana kata-kata dapat bertindak sebagai sinyal dan menghasilkan refleks baru tanpa membutuhkan repetisi.

Sugesti pascahipnosis sifatnya sama dengan suatu refleks yang dihasilkan dari proses pengkondisian (conditioned reflex) namun sinyal aktivasinya diberikan di masa depan. Misalnya, “Saat anda duduk mengerjakan soal ujian, anda akan merasa rileks, tenang, dan nyaman.”

Saat ada emosi maka tidak dibutuhkan repetisi untuk mengembangkan refleks. Semakin kuat suatu emosi maka semakin mudah refleks dihasilkan dan semakin permanen sifatnya.

 

 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List