The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Dua Jenis Eksplorasi Pikiran dalam Hipnoanalisis

29 Agustus 2016

Terdapat dua pendekatan dalam hipnoterapi: berbasis sugesti (suggestive hypnotherapy) dan berbasis penelusuran serta pengungkapan kejadian paling awal yang menjadi akar masalah (hypnoanalysis). Hipnoterapi berbasis sugesti melakukan perubahan pada diri individu dengan memasukkan informasi (sugesti) ke pikiran bawah sadar, sementara hipnoanalisis menarik keluar informasi dari pikiran bawah sadar untuk menyelesaikan masalah. Hipnoterapi berbasis sugesti efektif untuk kasus-kasus ringan. Sementara untuk kasus yang lebih serius, hipnoanalisis jauh lebih efektif dan efisien dalam mengungkap akar masalah dan psikodimamika pikiran bawah sadar, dan memberi efek terapeutik yang lebih kuat dan stabil.

Hipnoanalisis memiliki dua aspek eksplorasi, vertikal dan eksplorasi. Untuk memahaminya, terlebih dahulu akan dijelaskan satu analogi. Bayangkan sebutir bibit tanaman yang dimasukkan ke dalam tanah. Selanjutnya, seiring waktu berjalan, bibit ini mulai tumbuh dan berkembang. Saat bibit di dalam tanah, ini adalah masa dalam kandungan. Dan saat batangnya bertumbuh ke atas, seiring bertambahnya usia, ini adalah pertumbuhan vertikal. Untuk setiap tahap pertumbuhan, tanaman ini mengalami pengalaman yang berbeda.

Eksplorasi vertikal  adalah proses membawa individu mundur menyusuri garis waktu dalam pikirannya, berawal dari masa kini dan mundur hingga ke masa dalam kandungan. Dalam beberapa kasus, klien bisa mundur ke “kehidupan lampau”. Menggunakan analogi di atas, ekplorasi vertikal adalah kita bergerak dari pucuk pohon, yaitu masa sekarang, turun menuju akar, masa lampau. Sementara eksplorasi horizontal adalah proses pengungkapan informasi pada momen spesifik, hasil regresi, dalam kehidupan invididu.

Agar mampu mengungkap data atau informasi yang terlupakan, tidak lagi bisa diingat oleh pikiran sadar, secara sadar atau sengaja, dibutuhkan hipermnesia dan revivifikasi. Baik hipermnesia dan terutama revivifikasi hanya bisa terjadi bila individu minimal dalam kondisi hipnosis medium (medium hypnosis) dan terutama hipnosis dalam (deep hypnosis).

Hipermnesia hanya mengungkap data tanpa melibatkan emosi karena individu hanya mengingat. Sementara dalam revivifikasi individu mengalami kembali pengalaman di masa lalu. Proses ini mencakup baik aspek kognisi, afeksi, dan juga persepsi individu atas pengalamannya.

Walau hipermnesia dan revivifikasi terjadi dalam kondisi hipnosis, namun hipnosis per se tidak dapat meningkatkan daya ingat. Untuk bisa meningkatkan daya ingat secara luar biasa, individu perlu mendapat sugesti yang tepat dalam kondisi hipnosis yang sesuai.

Pentingnya eksplorasi vertikal atau regresi berhubungan dengan proses pembentukan memori yang sangat dipengaruhi persepsi dan pengalaman hidup. Teori lama menyatakan bahwa memori bekerja seperti alat rekam video yang merekam kejadian apa adanya. Dan saat mengingat kembali pengalaman tertentu, memori yang dimaksud akan keluar dengan sendirinya dengan muatan informasi yang sama persis dengan saat ia direkam oleh pikiran bawah sadar.

Teori ini salah dan tidak lagi berlaku. Yang berlaku saat ini, berdasar penelitian para pakar seperti As (1962), Barber (1965), Cooper dan London (1973), Dhanens dan Lundy (1975), Orner (1951, 1979), Udolf (1983), dan Nash dkk (1985), memori tidak bersifat reproduktif, apa yang direkam itulah yang ditampilkan, namun rekonstruktif, rekaman awal bisa terdistorsi baik terkurangi, berubah, tertambahkan akibat pengalaman hidup pascakejadian. Pengalaman hidup yang dimaksud adalah stimuli baik yang berasal dari luar maupun dalam diri individu.

Pentingnya eksplorasi vertikal dan horizontal, dalam konteks hipnoanalisis, disebabkan memori terorganisir dalam “lapisan” yang semakin lama semakin tebal dalam pola-pola atau Gestalt. Saat individu mengalami satu pengalaman di usia, katakanlah, lima tahun, kejadian dan semua pengalaman ini tersimpan pada “lapisan” usia lima tahun, di dalam pikiran bawah sadarnya. Saat usia bertambah, misal individu kini berusia sepuluh tahun, “lapisan” memori baru, yang ia dapatkan selama rentang usia lima hingga sepuluh tahun, membentuk “lapisan” baru dan menutupi “lapisan” sebelumnya. Dengan demikian, bila memori usia lima tahun diakses saat individu berusia sepuluh tahun pasti telah banyak mengalami distorsi sehingga tidak lagi akurat. 

Untuk lebih meningkatkan akurasi pengungkapan data yang berasal dari memori usia lima tahun, individu perlu diregresi ke usia yang sesuai (eksplorasi vertikal) dan dilanjut dengan eksplorasi horizontal. Dengan demikian data yang terungkap berasal dari “lapisan” memori lima tahun, bukan berasal dari “tumpukan” memori lima tahun plus memori setelahnya.

Hipnoanalisis tidak terlalu mementingkan akurasi data dalam pengertian benar apa adanya, sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya. Hipnoanalisis lebih berkepentingan untuk mengungkap data yang “akurat” sejalan dengan masalah atau konflik yang dialami individu dengan tujuan menemukan resolusi atas masalah. Prinsip kerja hipnoanalisis serupa dengan hipnosis forensik namun berbeda dalam tujuan.

Pentingnya kedalaman hipnosis dalam proses mengungkap data pikiran bawah sadar berhubungan dengan aktivasi dan partisipasi ego. Dalam kondisi sadar normal, partisipasi ego masih (sangat) tinggi. Dengan kata lain, pikiran sadar masih sangat aktif. Semakin dalam kondisi hipnosis yang dialami individu semakin berkurang partisipasi ego dan semakin rendah resistensi. Di sinilah letak perbedaan antara psikoanalisis dan hipnoanalisis. Psikoanalisis menggali data di kondisi sadar normal atau maksimal di kedalaman hipnosis dangkal sementara hipnoanalisis melakukannya di kedalaman medium hingga (sangat) dalam. Dengan kata lain, perbedaan mendasar antara psikoanalisis dan hipnoanalisis ada pada derajat partisipasi ego dalam proses penelurusan dan pengungkapan informasi nirsadar dan kualitas serta kuantitas informasi yang terungkap.

Baca Selengkapnya

Tentang "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology"

18 Agustus 2016

Ada Sahabat yang bertanya pada saya, "Pak Adi, saya lihat di banner pelatihan murid Bapak, di situ ada tertulis "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology. Ini maksudnya apa ya?"

Lembaga AWGI memiliki standar tinggi dan kendali mutu yang ketat atas materi pelatihan yang dibawakan oleh para trainer yang berafiliasi ke AWGI. Ada alumnus, yang dimaksud alumnus di sini adalah hipnoterapis lulusan AWGI dan bukan peserta QLT, yang mengembangkan materi pelatihannya sendiri dan ada yang sejak awal minta bimbingan, arahan, supervisi, masukan, dan saran lembaga AWGI dalam mengembangkan materi pelatihan mereka.

Bagi para alumni yang sejak awal minta dibimbing untuk pengembangan materi pelatihan mereka, saya turut aktif memberi pandangan, pemikiran, saran, masukan dengan tujuan agar materi pelatihan mereka mengikuti dan sejalan dengan standar AWGI sehingga bisa mendapat penilaian atau akreditasi "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology"

Adapun syarat untuk bisa mendapat akreditasi "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology", selain mendapat bimbingan dan supervisi dari lembaga AWGI, antara lain:

1. trainernya adalah hipnoterapis aktif dan berpengalaman menangani beragam kasus klinis (terutama untuk materi yang mengajarkan teknik-teknik terapi).
2. teknik atau teknik-teknik yang diajarkan dikembangkan dengan landasan teoretik yang kuat dan sahih. Saya melakukan pengujian baik secara langsung atau tidak langsung, melalui diskusi, untuk mengetahui tingkat pemahaman teori calon trainer. Bila dirasa masih kurang, saya akan sarankan mereka membaca buku teks dan jurnal tertentu membahas topik yang sedang mereka kembangkan.
3. teknik-teknik ini telah diujicobakan kepada banyak subjek, minimal 30 orang, dengan hasil positif dan konsisten minimal 85%. Untuk memvalidasi hasil terapi, perlu dilakukan wawancara pascaterapi untuk mengetahui tingkat kestabilan hasil terapi.
4. teknik-teknik ini sederhana, mudah dipelajari, dan mudah dipraktikkan. 
5. teknik ini tidak atau bukan meniru atau mengkopi karya orang lain.

Masih ada beberapa syarat lain terkait integritas keilmuan yang juga menjadi bahan penting penilaian.

Saat materi pelatihan mendapat "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology" maka lembaga AWGI memberi jaminan bahwa materi yang diajarkan di pelatihan ini telah memenuhi standar mutu AWGI. Ini tentu hal yang sangat serius karena menyangkut kredibilitas lembaga AWGI.

Berikut ini adalah nama pelatihan oleh alumnus AWGI yang telah mendapat akreditasi "Approved by Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology":

1. The Conny Method (Conny Widya Hermina dan Agus Wirajaya)
2. Quantum Slimming (Kristin Liu)
3. Mindset Revolution for Teens (Sugiharta, Driartanti, Catur Santosa)
4. ERASE (Adi Susanto dan Anthony Steven Hambali)
5. Scientific Self-Hypnosis for Change (Agus Wirajaya)
6. Hypnosis in Dentistry (Mia Gracia)

Baca Selengkapnya

Hipnoterapis: Amatir dan Profesional

1 Agustus 2016

Hingga saat ini pembahasan tentang hipnosis/hipnoterapi selalu menarik untuk disimak, khususnya bagi peminat, pemerhati, penggiat, dan praktisi hipnosis/hipnoterapi. Walau telah banyak pemikiran dan informasi tentang hipnosis dan hipnoterapi modern ditulis, dan telah didiseminasi melalui buku, artikel di media massa, dan terutama media sosial, hingga saat ini masih terdapat mispersepsi.

Artikel ini secara khusus mengulas pemahaman akan kondisi hipnosis yang umum diadopsi hipnoterapis pemula dan yang akhirnya dipahami secara benar serta menjadi landasan praktik oleh hipnoterapis profesional.

Ditinjau dari perspektif ini, hipnoterapis sejatinya terbagi ke dalam dua kelompok: amatir dan profesional. Hipnoterapis amatir berpegang pada pemahaman bahwa klien masuk kondisi trance akibat pengaruh atau hasil kerja hipnoterapis. Para amatir ini suka berburu atau menghapal teknik induksi. Dalam benak mereka, klien berada di bawah kendali atau pengaruh hipnoterapis. Untuk bisa menghipnosis klien, hipnoterapis perlu punya kekuatan atau energi yang lebih kuat daripada klien sehingga klien bisa ditundukkan. Mereka mengabaikan atau menyangkal bahwa makna interaksi interpersonal adalah jauh lebih penting dan berpengaruh dan menentukan jenis serta tingkat respon hipnotik klien (Watkins, 1992).

Hipnoterapis amatir juga sangat terpaku pada tipe dan uji sugestibilitas. Dalam dunia hipnoterapi dikenal klien dengan sugestibilitas tinggi dan rendah. Juga terdapat pengelompokkan sugestibilitas fisik dan emosi (Kappas, 1999). Yang dimaksud dengan sugestibilitas fisik adalah perilaku bercirikan respon derajat tinggi terhadap sugesti literal (langsung) yang memengaruhi tubuh dan respon emosi. Sementara sugestibilitas emosi bercirikan respon derajat tinggi terhadap sugesti tak langsung yang memengaruhi emosi dan respon tubuh.

Dari penelitian ditemukan bahwa 60% populasi bersifat sugestibilitas emosi dan 40% sugestibilitas fisik. Dan terdapat satu subkelompok dari sugestibilitas emosi yaitu sugestibilitas intelektual dengan jumlah 5% (Kappas, 1999, 2001). Subkelompok ini adalah tipe analitikal, kritis, suka menganalisis apapun yang dikatakan hipnoterapis, sulit melepas kendali atas diri dan pikirannya sendiri, pikiran mereka sangat aktif (Gunawan, 2012). Tipe ini paling dihindari oleh kebanyakan hipnoterapis amatir karena, menurut mereka, (sangat) sulit dihipnosis. Hipnoterapi amatir, saat tidak mampu menghipnosis klien, biasanya beralasan klien klien masuk kategori tidak bisa dihipnosis.

Hipnoterapis amatir juga berpikir bahwa hipnosis per se adalah terapi atau bersifat terapeutik. Pada kenyataannya, hipnosis adalah kondisi kesadaran spesifik dan bila berdiri sendiri bersifat nonterapeutik. Hipnosis menjadi terapeutik bila ia digabungkan dengan modalitas terapi lain. Dengan demikian, hipnosis bersifat fasilitatif, mampu meningkatkan keefektifan dan keberhasilan terapi, namun pada dirinya sendiri hipnosis tidak bersifat rekonstruktif dan rehabilitatif.

Dua meta-analisa menunjukkan bahwa penggunaan hipnosis, dalam konteks ini hipnosis sebagai kondisi kesadaran spesifik, bukan teknik, secara substansial meningkatkan hasil pengobatan. Rata-rata klien yang menerima terapi kognitif-perilaku dengan hipnosis menunjukkan peningkatan positif kondisi minimal 70% lebih tinggi dibanding klien penerima pengobatan yang sama tanpa hipnosis (Kirsch, Montgomery, dan Sapirstein, 1995; Kirsch, 1996).

Pemahaman hipnoterapis profesional tentang hipnosis tentu berbeda dengan hipnoterapis amatir. Hipnoterapis profesional tidak bekerja dengan pendekatan “kebetulan” atau sepenuhnya pasrah pada keadaan. Ia melakukan segala sesuatunya secara sadar, sistematis, dengan pengetahuan mendalam tentang apa dan mengapa ia melakukan yang ia lakukan, dan target terapeutik yang jelas.

Hipnoterapis profesional memahami hipnosis sebagai kondisi kesadaran khusus (altered state of consciousness), di mana kemampuan normal tertentu dalam diri individu meningkat dan yang lain memudar ke latar belakang. Lebih dari 90% populasi berkemampuan masuk ke kondisi hipnosis dengan bimbingan yang tepat. Hipnosis adalah kondisi alamiah yang sering klien masuki, tanpa disadari, dalam keseharian.

Hipnosis bukan kondisi yang muncul karena terapis melakukan sesuatu pada klien. Terapis hanya berperan sebagai penuntun, penunjuk jalan klien masuk ke kondisi hipnosis dengan memberdayakan kemampuan yang telah ada dalam diri setiap kliennya. Terapis memandang klien sebagai rekan kerja, bukan pasien atau individu yang sakit dan bermasalah. Dan yang juga sangat penting, hipnoterapis profesional sadar sepenuhnya bahwa yang menyembuhkan klien bukan terapis namun klien sendiri. Terapis hanya sebagai fasilitator.  

Hipnoterapis profesional paham akan sugestibilitas namun tidak merasa uji sugestibilitas adalah keharusan. Ia juga tahu, dari pengalaman klinisnya, bahwa klien dengan sugestibilitas emosi dan intelektual justru sangat mudah dibimbing masuk ke kondisi hipnosis yang dalam. Dan ia juga menyadari sejatinya semua klien bisa masuk kondisi hipnosis dengan tuntunan yang tepat.

Walau tidak melakukan uji sugestibilitas, hipnoterapis profesional menyadari adalah sangat penting memastikan klien berhasil dibimbing masuk ke kedalaman spesifik yang sesuai dengan teknik yang akan digunakan, dan secara terstruktur sistematis mengupayakan klien tetap berada di kedalaman ini hingga proses terapi tuntas dilakukan.

Istilah altered state of consciousness pertama kali dikemukakan oleh Ludwig (1966) saat ia menulis artikel dengan judul yang sama dan dipublikasi di jurnal Archives of General Psychiatry. Ludwig mendefinisikan ASC sebagai:

… any mental state(s), induced by various physiological, psychological, or pharmacological maneuvers or agents, which can be recognized subjectively by the individual himself (or by an objective observer of the individual) as representing sufficient deviation in subjective experience of psychological functioning from certain general norms for that individual during alert, waking consciousness (p. 225).

Meminjam definisi Ludwig (1966) di atas dan melakukan elaborasi lanjutan, Tart (1972) mendefinisikan altered state of consciousness sebagai suatu konfigurasi subsistem dari struktur psikologis dengan pola unik, dinamis,  dan aktif. Struktur psikologis merujuk pada organisasi komponen bagian yang relatif stabil yang menjalankan satu atau lebih fungsi psikologis. 

Hipnosis adalah kondisi kesadaran spesifik yang sangat dipengaruhi faktor relasional. Interdependen keadaan hipnosis pada kualitas dan intensitas relasi interpersonal antara terapis dan klien pertama kali dikenali dan dinyatakan oleh M.V. Kline dalam bukunya Freud and Hypnosis (1958). Ia menyimpulkan bahwa relasi hipnotik tidak bersifat konstan, namun terdapat keajegan kondisi trance. Kondisi trance dipandang sebagai reorientasi bersifat sangat mendasar dan fundamental dalam relasi perseptual dan objek.

Hipnosis ada secara kuantitatif pada ragam derajat dan perbedaan kedalaman tertentu, dan secara kualitatif dalam bentuk berbeda bergantung keunikan relasi antara dua pihak, terapis dan klien, baik sebelum induksi, saat induksi, dan saat interaksi terapaeutik nonhipnotik.

Dengan demikian, kualitas kondisi hipnosis, meliputi baik aspek kuantitatif maupun kualitatif. Kondisi hipnosis yang dialami klien A, hasil induksi terapis B, tidak sama bila induksi dilakukan oleh terapis C. Demikian pula kondisi hipnosis pada klien A dan D hasil induksi terapis C berbeda bila dilakukan oleh terapis B pada satu waktu atau waktu berbeda (Barabasz & Waktins, 2005).

Hipnosis tidak dapat dianggap sebagai kondisi tunggal tanpa mempertimbangkan relasi saat ia terjadi. Dengan demikian hipnosis adalah kondisi dan juga relasi. Sebagai kondisi, hipnosis bercirikan berkurangnya kekritisan, pelepasan kendali, keterbukaan akses pada konten emosi, regresi perilaku menyerupai pola anak kecil, dan aktifnya proses berpikir primer. 

Dalam konteks teknik terapi yang dikuasai hipnoterapis, untuk bisa membedakan hipnoterapis amatir dan profesional, tidak sekadar ditentukan oleh jumlah dan ragam teknik yang dimiliki namun lebih pada kompetensi terapeutik yang berhasil dicapai terapis.

Baca Selengkapnya

Client-Centered Therapy Rogers dan Client-Centered Hypnotherapy AWGI

10 Juli 2016

Client-centered therapy, terapi bicara non-direktif, “lahir” tanggal 11 Desember 1940 saat psikolog humanis Carl Ransom Rogers, dalam pertemuan kelompok Psi Chi di Universitas Minnesota, menyampaikan pemikirannya tentang psikoterapi. Selanjutnya, dalam kurun waktu 1940an hingga 1950an Rogers mengembangkan pendekatan terapi yang kini lebih dikenal sebagai person-centered therapy (PCT) atau psikoterapi Rogerian (Wedding dan Corsini, 2013).

Jenis terapi ini berbeda dengan model terapi tradisional. Pada terapi tradisional, terapis berlaku sebagai pihak yang sepenuhnya mengendalikan dan mengarahkan proses terapi. Sementara dalam PCT, proses terapi bersifat nondirektif dengan pendekatan empati dan bertujuan memberdayakan dan memotivasi klien dalam proses terapi.

Hal penting dalam PCT, klien tidak dipandang sebagai individu cacat atau sakit, dengan perilaku dan pikiran bermasalah butuh penanganan. PCT menerima setiap individu sebagai pribadi dengan kapasitas dan keinginan untuk bertumbuh dan berubah. Rogers menamakan dorongan alamiah ini sebagai aktualisasi diri (Rogers, 1951). Menurut Rogers, setiap individu memiliki, dalam dirinya, sumberdaya luar biasa untuk memahami diri dan untuk meningkatkan konsep diri, sikap dasar, dan perilaku. Semua sumberdaya ini dapat diakses dan dimanfaatkan bila tersedia kondisi psikologis yang mendukung.

Terapis PCT mengenali dan memercayai potensi manusia, memberi klien empati dan penerimaan, kasih tanpa syarat untuk membantu memfasilitasi perubahan. Terapis sebisa mungkin menghindar dari mengarahkan jalannya terapi, dan lebih memilih mengikuti arah yang dipilih klien. Terapis menawarkan dukungan, bimbingan, dan struktur sehingga klien dapat menemukan solusi permasalahannya dari dalam dirinya sendiri.

Guna menstimulasi pertumbuhan individu, menurut Rogers, dibutuhkan enam faktor kunci. Menurutnya, saat enam kondisi ini terpenuhi, individu tergerak mencapai pemenuhan potensi diri secara konstruktif.

Enam faktor kunci sebagai syarat pertumbuhan, menurut teori Rogerian, adalah:

1. Kotak psikologis terapis dan klien: syarat pertama ini menyatakan harus ada relasi antara terapis dan klien agar klien dapat mencapai perubahan personal positif. Lima faktor berikut ini adalah karakteristik relasi terapis dan klien, dan sifatnya variatif.

2. Inkongruensi atau kerentanan klien: ketidaksesuaian antara citra diri klien dan pengalaman aktualnya mengakibatkan klien rentan mengalami perasaan takut dan cemas. Klien seringkali tidak menyadari inkongruensi ini.

3. Kongruensi dan ketulusan terapis: terapis bersikap sadar, tulus, dan kongruen. Hal ini tidak berarti terapis perlu menjadi orang sempurna, tetapi ia bersikap jujur dalam konteks relasi terapeutik.

4. Penerimaan positif tanpa syarat oleh terapis: pengalaman-pengalaman klien, positif atau negatif, diterima oleh terapis tanpa syarat atau penghakiman. Dengannya, klien dapat berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi.

5. Empati terapis: terapis menunjukkan empati dalam memahami pengalaman klien dan mengenali pengalaman emosional tanpa turut larut kedalamnya.

6. Persepsi klien: sampai derajat tertentu, klien memaknai penerimaan positif tanpa syarat dan pemahaman empatik terapis. Hal ini dikomunikasikan melalui kata-kata dan perilaku terapis.

Prinsip client-centered juga berlaku dalam hipnoterapi. Client-centered hypnotherapy sejatinya bermakna berpusat pada klien, dalam pengertian terapis melakukan terapi sesuai dengan kebutuhan atau permintaan klien.

Terdapat kesamaan antara pendekatan PCT Rogerian dan client-centered hypnotherapy AWGI (Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology). Keduanya adalah terapi bicara (verbal therapy) berdasar keyakinan bahwa setiap individu ingin menjalani hidup yang lebih baik, lebih bermakna, dan memiliki kapasitas/sumberdaya untuk mewujudkan potensi ini, berpusat pada klien, menggunakan pendekatan empati, welas asih tanpa kelekatan (detached compassion), tidak memandang klien sebagai individu sakit, dan bertujuan memberdayakan klien melalui proses terapi.

Perbedaan mendasar di antara keduanya, PCT Rogerian bermain di pikiran sadar, bersifat nondirektif, dan lebih berserah pada dan mengikuti “tuntunan” klien. Sementara client-centered hypnotherapy AWGI awalnya nondirektif, saat pikiran bawah sadar menuntun terapis menemukan akar masalah. Selanjutnya, setelah berhasil memukan akar masalah, proses terapi berubah menjadi direktif. Terapis mengarahkan proses terapi, mengikuti dinamika dan tuntunan pikiran bawah sadar klien, dengan memanfaatkan segenap sumberdaya klien, khususnya yang ada di pikiran bawah sadarnya.

Walau bersifat direktif, proses terapi sepenuhnya dijalankan atas ijin dan kerjasama penuh dari klien. Dengan demikian, pendekatan client-centered hypnotherapy AWGI menempatkan klien dalam posisi sejajar dengan terapis, sebagai co-therapist yang juga bertanggung penuh atas proses dan hasil terapi.

Dalam konteks hipnoterapi, hipnoterapis AWGI bekerja dengan dasar prinsip dan keyakinan berikut:

  • setiap individu berhak untuk hidup bahagia, dan melalui upaya sadar maupun tidak sadar berusaha mencapai kondisi bahagia ini.
  • semua hipnosis adalah self-hypnosis.  
  • terapi adalah kontrak upaya, bukan kontrak hasil.
  • setiap individu memiliki sumberdaya untuk mencapai tujuan ini.
  • semua sumberdaya untuk perubahan ada dalam diri klien, di pikiran sadar dan terutama di pikiran bawah sadar.
  • tidak ada klien yang sakit. Klien adalah individu normal yang “bermasalah” karena tidak mengerti cara kerja pikiran, tidak mampu menggunakan pikiran dengan benar dan konstruktif.
  • yang menyembuhkan klien adalah dirinya sendiri dengan bantuan terapis.
  • simtom, yang umumnya disebut sebagai masalah, adalah komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar dengan pesan spesifik. Tugas klien, dengan bantuan terapis, menemukan makna pesan ini melalui proses terapi.
  • pikiran bawah sadar sangat menyadari pentingnya resolusi trauma namun ia tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Untuk itu pikiran bawah sadar akan terus memunculkan simtom atau menempatkan individu dalam situasi tertentu hingga resolusi trauma berhasil tuntas dilakukan.

 

Untuk mencapai hasil terapi optimal, seperti yang telah dijelaskan di atas, posisi terapis dan klien adalah sejajar. Untuk itu baik hipnoterapis dan klien, perlu memenuhi syarat tertentu. Syarat hipnoterapis antara lain:

  • melakukan terapi dengan dasar welas asih dan empati tanpa kelekatan.
  • memberi klien rasa aman, tidak menghakimi.
  • memiliki kemampuan dan kecakapan yang dibutuhkan untuk membantu klien. Ini berkaitan dengan standar mutu pendidikan yang dijalani hipnoterapis.
  • melakukan upaya maksimal dalam membantu klien.
  • memahami simtom adalah kunci penyelesaian masalah.
  • melakukan terapi dengan memroses akar masalah (causal therapy), bukan hanya menghilangkan simtom (symptomatic therapy).

 

Sementara syarat klien antara lain:

  • menyadari, mengakui, dan menerima (keberadaan) masalahnya.
  • memiliki motivasi tinggi untuk mengatasi masalah.
  • minta bantuan terapis atas kesadarannya sendiri.
  • percaya sepenuhnya pada terapis.
  • melakukan upaya maksimal.

 

Dari uraian pemahaman client-centered hypnotherapy di atas, dalam praktiknya, muncul beberapa pertanyaan mendasar yang sangat perlu dijawab, antara lain:

  • Bagaimana bila permintaan klien, dari sudut pandang terapis, tidak baik untuk perkembangan dan pertumbuhan klien di masa depan?
  • Bagaimana bila permintaan klien melanggar nilai-nilai spiritual/agama, dan norma yang berlaku di masyarakat?
  • Bagaimana bila permintaan klien tidak sejalan dengan nilai-nilai hidup terapis?
  • Bagaimana bila klien menjalani terapi atas permintaan orangtua, pasangan, atau keluarganya dan ini bukan atas kemauan klien?

 

Apa yang akan dilakukan terapis bila menemui kondisi seperti di atas? Apakah terapis memutuskan untuk tetap melakukan terapi atau tidak?

Client-centered hypnotherapy benar berpusat pada kepentingan klien namun harus dilandasi akal sehat, tidak melanggar nilai-nilai spiritual, moral, dan agama. Terapis dalam melakukan terapi tentu tidak bebas dari pengaruh nilai-nilai hidupnya. Dengan demikian, untuk menjadi hipnoterapis yang cakap dalam arti sesungguhnya membutuhkan kematangan berpikir, kedewasaan, serta kearifan.

Hipnoterapi dipelajari sebagai cabang ilmu psikologi dan dipraktikkan sebagai seni yang membutuhkan kesadaran, integritas, kejujuran, rasa welas asih, tanggung jawab, kedewasaan sikap, kearifan, dan kreatifitas yang tinggi.

Baca Selengkapnya

Mengatasi Masalah dengan Menghapus Memori, Mungkinkah?

30 Juni 2016

Artikel ini terinspirasi dari diskusi dengan salah satu Sahabat FB tentang proses terapi yang ia jalani dalam upaya mengatasi masalah cemas dan takut.  Sahabat ini telah menjalani tiga sesi terapi dengan dua terapis berbeda.

Menurut Sahabat ini, teknik terapi yang digunakan terapis adalah "menghapus" memori  kejadian yang membuat ia tidak nyaman atau mengalami emosi negatif, dalam hal ini perasaan cemas dan takut.

Teknik yang digunakan kurang lebihnya seperti ini. Sahabat ini diminta fokus  menatap bola lampu yang menyala, untuk beberapa saat, lalu memejamkan mata. Saat  mata terpejam, muncul bayangan cahaya di pikiran. Bersamaan dengan munculnya bayangan cahaya ini, ia diminta mengingat kejadian yang membuat ia merasa tidak  nyaman, dan menghubungkan kejadian ini dengan bayangan cahaya lampu di pikirannya.  Selanjutnya, memori kejadian ini disugestikan untuk ikut pudar dan akhirnya hilang dari pikirannya, sama seperti bayangan cahaya lampu yang juga hilang dari  pikirannya. Proses ini dilakukan beberapa kali. Usai terapi, menurut Sahabat ini, memorinya tidak hilang, tetap ada, dan ia tetap merasa cemas dan takut.

Logika di balik teknik terapi ini benar yaitu bila memori kejadian yang menimbulkan masalah dalam diri klien berhasil dihapus atau dihilangkan maka klien sembuh. Saat memori tidak ada berarti klien tidak pernah mengalami pengalaman traumatik. Dengan demikian tidak akan ada simtom. Logikanya sederhana, namun untuk menghapus memori bukan pekerjaan mudah. Dalam kondisi normal, memori tidak mungkin bisa dihapus atau dihilangkan. Memori akan hilang bila terjadi kerusakan pada wilayah otak tertentu.

Teknik hipnosis dengan fokus memandang objek bercahaya atau terang, disebuteye fixation (fiksasi mata), dan berasal dari riset James Braid. Dulu Braid meminta subjeknya fokus memandang cahaya lilin atau cermin kecil yang diletakkan dengan jarak tertentu dari wajah subjek. Saat subjek terus fokus memandang satu objek tertentu, apalagi yang terang dan bercahaya, mata subjek pasti menjadi sangat lelah dan akhirnya menutup dengan sendirinya. Saat mata tertutup, subjek masuk dalam kondisi hipnosis/trance. 

Di era hipnosis modern, guna menghindari kerepotan harus menyiapkan bola lampu atau objek bercahaya, eye fixation dilakukan dengan meminta klien fokus memandang ujung jari kelingking terapis yang diletakkan di sudut kiri atau kanan atas mata klien. Posisi ini mengakibatkan otot-otot mata menjadi lelah dengan sangat cepat dan akhirnya menutup dengan sendirinya. Saat menutup mata biasanya diikuti dengan mata berkedip cepat atau REM (rapid eyes movement) dan terapis memberi sugesti agar klien menjadi semakin rileks.

Berapa kedalaman hipnosis yang mampu dicapai klien dengan teknik induksi eye fixation?

Terapis tentu berharap klien mencapai kondisi hipnosis yang dalam. Namun seberapa dalam pastinya, tidak akan pernah diketahui tanpa dilakukan uji kedalaman. Selain itu, keberhasilan induksi bergantung pada TEAM yaitu trust, rasa percaya klien pada terapis, expectation, pengharapan klien pada proses yang ia jalani,attitude, sikap klien, dan motivation, motivasi yang mendasari klien jumpa terapis. Hanya mengandalkan teknik saja tidak menjamin klien bisa masuk kondisi hipnosis dalam.

Dari paparan yang disampaikan pada saya, saya simpulkan teknik “menghapus” memori dengan memandang bola lampu menyala hanyalah satu varian teknik amnesia. Teknik amnesia hanya bisa bekerja dengan syarat, tidak ada penolakan dari diri klien, klien dalam kondisi hipnosis dalam (deep trance), kliensangat sugestif, dan terapis memberikan sugesti dengan cara dan semantik yang tepat. Amnesia bukanlah hal yang mudah, bisa dibilang mustahil dilakukan, terutama pada klien tipe (sangat) analitikal.

Katakanlah memori traumatik klien berhasil “dihapus” apakah klien pasti sembuh? Belum tentu. Perlu dipahami bahwa simtom muncul biasanya bukan dari kejadian tunggal tapi dari rangkaian kejadian, dimulai dari kejadian paling awal, diperkuat oleh satu atau beberapa kejadian lanjutan. Saat terapis hendak “menghapus” memori kejadian, perlu dipertanyakan telah dilakukan hipnoanalisis untuk mencari kejadian paling awal atau hanya berdasar uraian klien.

Misal klien takut dan cemas bicara di depan umum. Bila terapis hanya “menghapus” memori klien bicara di depan umum, saat ia telah dewasa, sedangkan kejadian paling awal terjadi saat klien berusia lima tahun, maka upaya ini tidak akan mampu menghilangkan simtom.

Amnesia sejatinya tidak menghapus memori, hanya menyembunyikan memori dari akses pikiran sadar. Memori tetap ada di pikiran bawah sadar. Dengan “hilangnya” memori akibat amnesia, klien seolah tidak pernah mengalami kejadian traumatik, dan “sembuh”. “Kesembuhan” ini bersifat sementara karena amnesia sama sekali tidak menetralisir emosi yang lekat pada memori traumatik. Lambat laun, pikiran bawah sadar pasti akan kembali memunculkan simtom yang sama. Dalam beberapa kasus, bisa lebih parah dari sebelumnya.

Mari kita berandai-andai. Misalnya, memori benar bisa dihapus, apa akibatnya bagi klien? Apakah sudah ditimbang akibat negatif dari penghapusan memori?

Misal ada klien wanita, baru putus cinta, datang ke terapis dan minta tolong untuk dihilangkan perasaan sedih, galau, terluka, sakit hati, agar biasa move-on. Memori mana yang akan dihilangkan? Apakah memori saat mereka putus ataukah semua rangkain memori mulai klien berkenalan dengan mantan pacarnya sampai saat mereka putus?

Bila memori yang dihilangkan adalah saat mereka putus, dan, sekali lagi misalnya, memori ini benar-benar bisa dihapus, klien akan mengalami masalah baru. Di pikirannya, ia belum putus. Lalu, bagaimana hidupnya akibat penghapusan memori ini?

Bagaimana bila klien, trauma karena pernah digigit ular berbisa, dan dengan pertolongan terapis trauma ini dihilangkan dengan cara menghapus memori tentang kejadian ini? Usai terapi, trauma klien hilang dan klien sama sekali “tidak pernah” digigit ular. Saat ia, misalnya jumpa ular berbisa lagi, ia tentu tidak punya data bahwa ular ini berbahaya, tidak hati-hati, dan bisa digigit lagi. Akibatnya bisa fatal.

Terdapat dua mazhab dalam aliran hipnoterapi. Pertama, hipnoterapi berbasis sugesti untuk menghilangkan atau modifikasi simtom. Teknik yang digunakan sama sekali tidak memroses akar masalah atau bebas konten. Kedua, hipnoterapi yang secara khusus memroses akar masalah dan terutama menetralisir emosi yang lekat pada memori traumatik.

Salah satu buku klasik menjelaskan pentingya memroses emosi, untuk mencapai kesembuhan, adalah Studies on Histeria karya Josef Bruer dan Sigmund Freud, terbit tahun 1895.

Pakar hipnoterapi modern seperti John G. Watkins, Helen H. Watkins,  Arreed Barabasz, Gil Boyne, Randal Churchill, Erika Fromm, Gerald Kein, dan banyak lagi juga menekankan pentingnya menetralisir emosi pada memori traumatik.

Saat memori traumatik berhasil “dibekukan”, memori ini dapat secara permanen dimodifikasi (Loftus, 1979). Bila memori traumatik awal menyebabkan simtom dan perilaku maladaptif, maka sudah jelas akan sangat baik bila memori traumatik ini diganti dengan memori yang lebih baik atau positif (Watkins dan Barabasz , 2007).

Kata “ganti” pada pernyataan di atas tidak berarti penghapusan memori. Yang terjadi adalah memori awal diproses tuntas hingga emosinya menjadi netral, ia tetap ada namun dorman atau tidak lagi berpengaruh, dan selanjutnya ditumpuki memori baru yang lebih positif dan baik.  

Berdasar pengalaman klinis dan empiris kami menemukan syarat utama untuk dapat mengubah memori adalah dengan menghilangkan atau menetralisir emosi yang lekat pada memori ini. Memori akan sangat kaku dan sulit dimodifikasi selama masih ada emosi. Kelenturan memori berbanding lurus dengan intensitas emosi yang lekat padanya.

Beberapa teknik yang pernah kami coba, dalam rangka modifikasi memori antara lain swish patternfast phobia cure, mengubah submodalitas, desensitisasi melalui projeksi objek, dan sugesti. Dari temuan kami, teknik-teknik ini tidak efektif bila masih ada emosi intens yang lekat pada memori.

Proses hipnoterapi sejatinya bertujuan untuk menetralisir emosi yang lekat pada memori traumatik. Saat emosi berhasil dinetralisir tidak berarti memori hilang. Memori tetap ada, telah dimodifikasi, klien tetap bisa mengingat kejadiannya namun tidak lagi terpengaruh. Memori ini penting karena adalah bagian dari proses belajar dan bertumbuh klien.

Simpulannya, untuk mengatasi suatu masalah adalah tidak mungkin dengan menghapus memori karena sejatinya memori tidak bisa dihapus atau dihilangkan kecuali bila individu mengalami kerusakan atau penurunan kinerja otak. 

Bagi para sahabat, praktisi, dan pemerhati hipnosis dan hipnoterapi, berikut ini adalah beberapa buku bagus mengulas memori: Hypnosis & Memory (M. Pettinati (Editor)), Hypnosis, Will, & Memory: A Psycho-Legal History (Jean-Roch Laurence & Campbell Perry), In Search Of Memory : The Emergene Of A New Science Of Mind (Eric R. Kandel), Memory and Hypnotic Age Regression (Robert Reiff and Martin Scheerer), Functional Disorders Of Memory (John F. Kihlstrom & Frederick J. Evans (Editor)), Memory, Trauma, Treatment, & The Law (Daniel Brown, Alan W. Scheflin, & D. Corydon Hammond), Human Memory : The Processing of Information (Geoffrey R. Loftus and Elizabeth F. Loftus), The Myth of Repressed Memory (Elizabeth Loftus and Katherine Ketcham), Memory (Elizabeth Loftus), Clinical Hypnosis & Memory: Guidelines for Clinicians & for Forensic Hypnosis (Corydon Hammond, et al.), dan Memory Quest: Trauma & The Search for Personal History (Elizabeth A. Waites) 

Baca Selengkapnya

Antara OPINI dan FAKTA

25 Juni 2016

Saya sering dapat pertanyaan baik dari para pembaca buku, Sahabat FB, calon klien, maupun sesama praktisi hipnoterapi tentang teknik terapi tertentu yang diklaim mampu sangat cepat menyembuhkan beragam masalah hanya dalam hitungan detik atau menit.

Pertanyaan rekan-rekan ini adalah, "Apakah benar teknik ini begitu efektif?" 

Untuk bisa menjawab pertanyaan ini tentu dibutuhkan pemahaman akan kerja teknik tersebut, dasar teorinya, dan hasil penelitian aplikasinya. 

Saya, dari pengalaman klinis, meragukan atau skeptis bila mendengar ada teknik yang mampu sembuhkan masalah hanya dalam bilangan detik atau satu dua menit. Yang sering terjadi adalah teknik ini hanya menghilangkan simtom, bukan menyembuhkan masalah klien. Walau skeptis, saya tetap terbuka dan justru ingin tahu lebih lanjut. Dan bila ternyata teknik ini benar-benar efektif, seperti yang diklaim, saya pasti akan memelajarinya karena saya ingin membantu klien mencapai kesembuhan dengan lebih cepat, aman, dan nyaman.

Berhubung saya tidak mendalami atau memelajari teknik yang dimaksud maka saya beri saran atau cara untuk memvalidasi klaim keefektifan suatu teknik. Tentu saja cara ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Bagaimana caranya?

Biasanya yang orang lakukan adalah bertanya pada mesin pencari Google. Mereka mengetik www.Google.com lalu menuliskan kata kunci, yaitu nama teknik dimaksud, lalu tekan "Enter".

Google dengan cepat menampilkan tautan yang berisi informasi dengan kata kunci yang dimaksud. Pencarian cara ini biasanya akan menampilkan banyak tautan ke blog, situs pribadi, situs lembaga atau organisasi tertentu baik di dalam maupun luar negeri, dll. Informasi ini masih perlu divalidasi lebih lanjut karena sering lebih banyak berisi opini, bukan fakta yang divalidasi riset mendalam.

Dan sahabat, tahukah Anda bahwa ada satu fasilitas pencarian dari Google yang jauh lebih akurat dalam konteks informasi riset, buku teks, jurnal, atau hal-hal yang bersifat ilmiah?

Anda bisa mengetik Scholar.Google.Com (tanpa "www"). Nanti akan muncul Google Scholar dan Anda bisa mengetik kata kunci di jendela yang tersedia.

Misal, Anda ingin tahu apakah hipnoterapi bisa digunakan untuk menyembuhkan fibromialgia. Setelah masuk ke Scholar.Goggle.Com, Anda ketik kata kunci, tentu semuanya dalam bahasa Inggris: hypnosis and fibromyalgia, atau hypnotherapy and fibromyalgia. Nanti akan muncul sangat banyak tautan yang bila diklik akan membawa Anda ke beragam informasi penting terkait topik ini.

Atau bila Anda ingin tahu tentang, misalnya teknik "ABC" yang diklaim dapat sembuhkan beragam masalah emosi hanya dalam waktu satu menit, maka masukkan kata kunci "ABC" dan lihat apa yang muncul di layar.

Dengan demikian kita bisa menepis keraguan dan bisa membedakan antara opini dan fakta.

Silakan mencoba.....

 

Baca Selengkapnya

Hipnoterapi Klinis, Solusi Alternatif Menangani Perilaku Predator Seksual

19 Juni 2016

Setelah marak kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak, dalam rangka memberi perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat, pemerintah bertindak cepat dan sigap memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perppu ini mengatur hukuman bagi predator seksual/pedofil berupa kebiri kimiawi, paling lama dua tahun, dan pemasangan alat deteksi elektronik yang ditanamkan ke tubuh pelaku setelah keluar dari penjara, guna mendeteksi pergerakannya di masyarakat.

Terdapat dua jenis kebiri atau kastrasi, fisik dan kimiawi. Kebiri fisik dilakukan dengan pembedahan/mengamputasi testis pelaku pedofilia dengan tujuan membuat pelaku kejahatan ini mengalami kekurangan hormon testoteron yang memengaruhi dorongan seksualnya. Negara yang menerapkan kebiri fisik adalah republik Ceko dan Jerman.

Berbeda dengan kebiri fisik, kebiri kimiawi dilakukan dengan cara memasukkan zat kimiawi antitestoteron ke dalam tubuh pelaku, baik melalui pil atau suntikan dengan tujuan memengaruhi produksi hormon testoteron sehingga menghilangkan dorongan atau hasrat seksual dan kemampuan ereksi.

Walau efek kebiri kimiawi sama dengan kebiri fisik namun sifatnya temporer dan hanya efektif selama pelaku tetap diberi antitestoteron secara rutin. Bila pemberian antitestoteron dihentikan, hasrat dan kemampuan seksualnya pulih kembali.

Terlepas dari pro dan kontra pemberlakukan hukuman kebiri kimiawi, terdapat dua pertanyaan penting untuk dijawab, pertama, apakah ini efektif untuk mengatasi perilaku predator seksual, mengingat setelah masa dua tahun hukuman mereka tidak lagi mendapat suntikan antitestoteron dan kemampuan seksual mereka pulih kembali, kedua, apakah bentuk hukuman ini mampu membuat jera para predator seksual?

IDI (Ikatan Dokter Indonesia) telah mengeluarkan pernyataan resmi menolak menjadi pelaksana kebiri kimiawi karena tidak sesuai dengan kode etik kedokteran.

Pedofil

The American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V) mendefinisikan pedofil sebagai individu yang selama lebih dari periode enam bulan mengalami fantasi seksual, dorongan seksual intens, atau perilaku yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak atau anak-anak prapuber (umumnya berusia 13 tahun atau lebih muda), individu berusia minimal 16 tahun dan setidaknya 5 tahun lebih tua dari anak atau anak-anak yang menjadi korbannya.

Terdapat dua jenis pedofil yaitu eksklusif dan noneksklusif. Pedofil eksklusif hanya tertarik pada anak-anak. Sementara pedofil noneksklusif tertarik baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Sebagian besar pedofil pria adalah homoseks atau biseks, yang tertarik baik pada anak laki dan perempuan (Schiffer, 2008). Umumnya masyarakat berasumsi bahwa pedofil selalu pria. Namun dari hasil studi juga ditemukan wanita pedofil (Chow, 2002)

Pedofilia bisa disebabkan baik oleh faktor biologis maupun psikologis, sebagai dampak lingkungan dan proses tumbuh kembang. Studi kasus mengindikasikan disfungsi otak dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam membentuk pedofil, termasuk dalam hal ini masalah kendali diri, dorongan-dorongan ekstrim, dan distorsi kognisi (Scott, 1984).

Terdapat bukti kuat yang mengindikasikan abnormalitas pada struktur otak pedofil. Abnormalitas ini terjadi karena pada saat masa perkembangan otak di usia muda, anak mengalami pengalaman traumatik tertentu seperti pelecehan seksual. Abnormalitas pada otak pedofil ini mengakibatkan ia tidak mampu menilai dengan baik dan benar, kompulsif, dan pikiran repetitif (Schiffer, 2008).

Hasil pemindaian menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) dan positron emission tomography scans (PET) mengungkap abnormalitas di wilayah otak bagian depan dan tengah.

Banyak pakar meyakini bahwa pedofil terbentuk akibat pengalaman traumatik di masa kecil, khususnya pelecehan seksual (DiChristina, 2009). Pedofil yang dulunya saat sebagai anak kecil mengalami pelecehan seksual tidak dapat mengendalikan situasi yang ia alami. Saat dewasa mereka secara seksual menganiaya anak-anak kecil dengan tujuan mengalami kembali pengalaman traumatik ini dan belajar untuk mengendalikannya. Namun kali ini situasinya berbeda. Dulu saat sebagai korban mereka dalam posisi tidak berdaya. Sekarang mereka yang memegang kendali.

Kebanyakan pedofil merasa malu dan bersalah setelah melakukan tindakan tak bermoral ini karena disfungsi neurologis membuat mereka hanya menuruti dorongan biologis dan bukan emosi (Schiffer dkk., 2007).

Apakah Pedofil Dapat Disembuhkan?

Pedofilia bersifat multikausal, mulai dari disfungsi otak, pengkondisian oleh lingkungan, anak terpapar materi pornografi sejak kecil, hingga akibat pengalaman traumatik saat kecil seperti pelecehan seksual atau pemerkosaan.

Menurut Yuli Grebchenko, MD, yang intensif meriset pedofilia, pedofilia butuh penanganan seumur hidup (Lamberg, 2005). Studi lain menunjukkan bahwa kombinasi antara psikoterapi dan farmakoterapi dapat memberi hasil paling efektif dalam menangani penderita pedofilia (Kersebaum, 2007).

Pendekatan terapi yang digunakan adalah terapi kognitif, meliputi mendiskusikan pengalaman traumatik, khususnya dari sisi masa kecil pelaku. Terapis juga membantu klien mengenali situasi yang mungkin memunculkan dorongan melakukan tindakan kasar dan merugikan anak-anak. Dalam proses terapi, terapis juga membantu meluruskan pemahaman yang salah dalam diri pelaku, misal anak menikmati saat mereka dilecehkan. 

Dari sisi farmakoterapi, penanganan pedofilia menggunakan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH), and leuprolide acetate (LA) (Briken, 2003). Tujuannya adalah menarget hormon dan senyawa kimiawi tertentu di dalam tubuh, namun memiliki efek samping. SSRI efektif untuk kasus yang tidak terlalu berat dan individu sering hanya mengalami efek samping seksual (Kraus, 2007). Untuk kasus yang lebih berat, LA dapat sangat mengurangi testoteron dan dorongan seksual pedofil. Walau sangat efektif, LA memiliki efek samping yang cukup berbahaya (Schober, 2005). LHRH mengurangi respon neural pada stimuli seksual visual dan memiliki efek samping minim (Briken, 2003).

Hipnoterapi Klinis dan Pedofilia

Pedofilia, seperti yang telah diuraikan di atas, dapat disebabkan baik oleh faktor biologis, abnormalitas otak, dan psikologis, pengalaman traumatik masa kecil akibat pelecehan seksual.

Hipnoterapi klinis, dalam hal ini, hanya bisa digunakan untuk membantu menangani dorongan seksual tidak wajar, dalam diri pedofil, akibat pengalaman traumatik, dan tidak efektif bila ini murni akibat faktor biologis.

Berdasar penelusuran yang dilakukan penulis, aplikasi hipnoterapi untuk mengurangi dorongan seksual tak wajar dalam diri pedofil pria pernah dilakukan menggunakan teknik pengungkapan hipnotik melalui induksi mimpi (Sacerdote, 1967) dan affect bridge (Watkins, 1971). Proses hipnoterapi dilakukan sebanyak 25 sesi dalam kurun waktu sekitar sembilan bulan. Di akhir terapi, pengukuran psikofisiologis menunjukkan penurunan pasti dan signifikan rangsangan seksual dalam diri subjek saat ditunjukkan gambar anak-anak prapuber. Pengujian psikologis mengindikasikan berkurangnya sifat defensif dan juga kecemasan seksual terhadap wanita dewasa.

Dari perspektif hipnoterapi klinis modern, pengalaman traumatik yang dialami anak saat masih kecil, khususnya dalam bentuk pelecehan seksual, meninggalkan “luka” dalam bentuk memori yang dilekati emosi sangat intens dan tersimpan di pikiran bawah sadar mereka. Dari pengalaman traumatik ini dapat tercipta ego personality (EP) atau Bagian Diri yang selanjutnya dapat mendominasi hidup individu.

Terdapat tiga kemungkinan jenis EP yang tercipta. Pertama, “Part” yaitu EP dengan fungsi menyimpan semua jejak pengalaman ini dan melindungi individu dari kemungkinan mengalami kejadian yang sama atau segala sesuatu yang berhubungan dengan seks, di masa depan. Kedua, EP yang disebut “Alter” yang bersifat sangat ganas, di luar kendali individu, dapat melukai atau bahkan membunuh individu, Bagian Diri lain di dalam individu, atau orang di sekitarnya. Ketiga, Introject, yaitu EP yang adalah manifestasi dari pelaku tindak kejahatan atau kekerasan seksual pada anak, berdasar pengalaman dan persepsi saat anak mengalami pengalaman itu, dan Introject ini “hidup” di dalam pikiran bawah sadar anak.

Bisa jadi, perilaku seksual tidak wajar yang dilakukan oleh pedofil, yang dulunya adalah korban kekerasan seksual, sebenarnya dilakukan bukan oleh si individu namun oleh Introject yang ada dalam dirinya.

Penulis pernah menangani klien, pria muda berusia 23 tahun, yang bila marah, selalu melakukan tindakan dengan eskalasi mulai dari teriak-teriak, membanting atau merusak barang di sekitarnya, dilanjutkan dengan memukul kepalanya sendiri, hingga akhirnya, pada puncak kemarahannya, membentur-benturkan kepalanya dengan keras ke tembok. Klien sama sekali tidak tahu apa yang membuatnya berperilaku seperti ini dan mengatakan bahwa ia tidak sadar saat membenturkan kepalanya ke tembok.

Kondisi ini dapat dipahami dengan mengacu pada sifat dan fungsi pikiran bawah sadar.  Pikiran bawah sadar sangat menyadari pentingnya resolusi trauma, namun ia bukan problem solver. Untuk itu, ia akan mengirim pesan ke pikiran sadar dengan terus memunculkan memori traumatik agar individu segera mencari solusi. Namun sayangnya, pesan ini sering tidak dipahami. Dengan demikian, memori traumatik repetitif ini justru mengakibatkan individu mengalami trauma ulang dan menempatkan individu di situasi yang sama atau serupa dengan yang dulu ia alami (Gunawan, 2012).

Dari proses hipnoanalisis mendalam terungkap bahwa klien pertama kali mengalami kepalanya dibenturkan ke pintu saat berusia enam tahun. Dan yang melakukannya adalah ibu klien. Pengalaman ini tidak hanya sekali, namun beberapa kali.

Dari pengalaman traumatik ini, dalam diri klien tercipta Introject ibunya yang aktif setiap kali klien mengalami emosi marah. Introject, dalam kondisi normal bersifat dorman, tidak aktif, sampai ada pemicu spesifik yang mengaktifkannya. Saat Introject ini aktif, klien sepenuhnya dikendalikan oleh Introject. Dan yang memukul kepala dan membentur kepala klien ke tembok bukanlah klien tapi Introject ibunya.

Proses terapi yang dilakukan meliputi menemukan kejadian paling awal, resolusi trauma pada kejadian ini, memaafkan, edukasi ulang pikiran bawah sadar, restrukturisasi memori, dan yang juga sangat penting adalah menetralisir Introject ini.

Alhasil, setelah semua proses ini berhasil dilakukan dengan baik, dari hasil wawancara pascaterapi seminggu kemudian, klien melaporkan bila marah ia tidak lagi pernah membanting atau merusak barang, dan membenturkan kepalanya ke tembok.

Hipnoterapi klinis adalah bagian dari psikoterapi dapat digunakan untuk menangani perilaku pedofil atau predator seksual, secara lebih manusiawi, karena mampu melakukan resolusi trauma dengan cepat, efisien, dan efektif langsung di pikiran bawah sadar.

Baca Selengkapnya

Clinical Hypnosis & Scientific Research: 100 Psychotherapeutic Applications

19 Juni 2016

“Hypnosis is not a type of therapy, like psychoanalysis or behavior therapy. Instead, it is a procedure that can be used to facilitate therapy. It is the opinion of the authors of this statement that because it is not a treatment in and of itself, training in hypnosis is not sufficient for the conduct of therapy; rather, clinical hypnosis should be used only by properly trained and credentialed health care professionals (e.g. licensed clinical psychologists), who have also been trained in the clinical use of hypnosis and are working within the areas of their professional expertise.

Hypnosis has been used in the treatment of pain, depression, anxiety, stress, habit disorders, and many other psychological and medical problems. However, it may not be useful for all psychological problems or for all patients or clients. Again, it is the opinion of the authors of this statement that the decision to use hypnosis as an adjunct to treatment can only be made in consultation with a qualified health care provider who has been trained in the use and limitations of clinical hypnosis.”

I. INTRODUCTION

Hypnosis is one of the oldest methods of treating diseases and dates back to ancient Egypt. Under numerous labels, Hypnosis has been practiced in different cultures since time immemorial. For example, the Ebers Papers, one of the oldest human writings known, dated 300 BC, describes the therapeutic use of Hypnosis in the effective treatment of several illnesses. For over 200 years, since the recognized beginnings of Clinical Hypnosis in the work of Anton Mesmer, under the name of ‘Animal Magnetism’, there has been a continuing ‘controversy’ about its scientific basis and applications in medicine or psychotherapy. Hypnotherapy has probably been praised and decried more than any other medical or therapeutic treatment. When average people and many mental health professionals think about Hypnosis a lot of misconceptions, myths, commonplaces, false ideas and tales cross their minds. There are many prejudices about Hypnosis that have been impressed on scientific community by books, movies and television shows. Hypnosis, therefore, has been associated in the minds of many people with control and the super natural. Few therapeutic procedures are less understood and more plagued by misconceptions and misunderstandings than Hypnotherapy. To quote Dave Elman, “People have invested Hypnosis with a lot of false ideas. It is perhaps one of the most beautiful states that God has made possible to mankind and this beautiful state contains nature’s own anesthesia which God makes available to everyone of us. When you’re taught to look at hypnosis properly, you see it as a very beautiful and wonderful thing.”  Although Clinical Hypnosis is not a ‘panacea’, it has helped thousands of people in many areas of their lives. Unfortunately, because of fears and misconceptions, many people and mental health professionals are ‘reluctant’ to contemplate Hypnotherapy as an effective therapeutic tool in mental health care.

The essence of the psychotherapeutic process is personal growth and transformation. As a science and an art dedicated to eliminate mental disorders and devoted to personal change and development, contemporary psychotherapy brings together the findings and resources of many disciplines, approaches, and theoric models. Today, there is a strong tendency to integrate different therapeutic modalities, strategies and clinical tools in the promise of achieving more dramatic psychotherapeutic changes. Comprehensive or global approaches are likely to be considered, based on the premise that one therapeutic tool need not displace another. It is not uncommon, for example, to see a client engaged in Cognitive-Behavioral psychotherapy also be concomitantly treated by hypnotic strategies or even psychiatric medications.

Although Hypnotherapy is not a treatment per se, but the framework in which treatment can more effectively be carried out. Probably, the ‘future’ of Clinical Hypnosis will likely witness studies of its usefulness as an extraordinary ‘facilitator’ to other psychotherapeutic models, especially the cognitive-behavioral model. As an adjunct to psychotherapy, Hypnosis can help clients enter a trance state in order to achieve more easily numerous psychotherapeutic outcomes and stimulate personal growth.

Hypnotherapy is the art and science of using specific communication patterns (verbal and non-verbal) to assist another person in entering an altered state of consciousness in order to facilitate or promote a personal change. The practice of Hypnotherapy has no rigid formula. Hypnosis, as an effective psychotherapeutic tool, may be used in the early (investigative-diagnostic), middle (working through), or final (transition-termination) stages of the psychotherapeutic process. The results and potential value of Clinical Hypnosis is the consequence of the combination of the following key factors:

1) The client’s personality and character (beliefs, thinking styles, values...)

2) The hypnotist’s skills / experience with Clinical Hypnosis and psychotherapy.

3) The type of relationship (rapport) between the client and the professional.

4) The type of induction procedures and suggestions that are used with the client.

5) The context where the ‘hypnotic interaction’ is occurring.

While techniques, strategies and procedures for inducing trance states and forming specific suggestions can be easily learned, other key skills and knowledge are necessary in order to use Clinical Hypnosis as a safe and effective therapeutic tool. According to the Society for Clinical and Experimental Hypnosis, Clinical Hypnosis cannot, and should not, stand alone as the unique psychological intervention for any disorder. Anyone who can read an Hypnotic script with some degree of expression can learn how to ‘hypnotize’ someone. However, a client with a mental disorder should consult a qualified mental health professional for an accurate diagnosis and effective treatment planning. Only a mental health professional is in the best position to decide with the patient whether Hypnosis is indicated and, if it is, how it might be incorporated into the psychotherapeutic process.

The following is a basic selection of 100 psychotherapeutic applications of Clinical Hypnosis based on recent scientific research and selected bibliography...

 

II.-HYPNOSIS FOR ANXIETY DISORDERS: CLINICAL APPLICATIONS

001.-Free from Fears: Hypnotherapeutic Strategies (Seagrave & Covington, 1987).

002.-Brief Therapy Approaches to Treating Anxiety (Yapko, 1989).

003.-The Treatment of Obsessive-Compulsive Disorder (Moore & Burrows, 1991).

004.-Hypnosis with Anxiety Disorders (Hart, 1992).

005.-Relaxation and Hypnosis in Reducing Anxiety and Stress (Sapp, 1992).

006.-Phobias and Intense Fears: Hypnotic Strategies (Crawford & Barabasz, 1993).

007.-Acute Stress Disorder and Dissociation (Spiegel, 1994).

008.-Hypnosis and CBT for Public Speaking Anxiety (Schoenberger et al., 1997).

009.-Hypnosis for Posttraumatic Conditions (Cardena et al., 2002).

010.-Hypnosis in the Management of Stress Reactions (Gravitz & Page, 2002).

 

III.-HYPNOSIS FOR MOOD DISORDERS: CLINICAL APPLICATIONS

011.-Affective Disorders and Clinical Hypnosis (Burrows, 1980).

012.-Hypnosis in the Treatment of Depression (Detito & Baer, 1986).

013.-Hypnotherapy and Depression as a Dissociative State (Alladin, 1992).

014.-Clinical Hypnosis and the Treatment of Depression (Yapko, 1992).

015.-Treatment of Depression with Medical Hypnoanalysis (Mow, 1994).

016.-Hypnosis for Overcoming Depression (Hadley, 1997).

017.-Treating Symptoms and Risk Factors of Major Depression (Yapko, 2001)

018.-Using Hypnosis to Treat Depression (Hensel et al., 2001).

019.-Percepual Reconstruction in the Treatment of Inordinate Grief (Gravitz, 2001).

020.-Treating Depression with Hypnosis (Yapko, 2001).

 

IV.-HYPNOSIS FOR MIND/BODY HEALING: CLINICAL APPLICATIONS

021.-Healing in Hypnosis: The Ericksonian Approach (Erickson, 1983).

022.-Mind-Body Communication in Hypnosis (Erickson, 1986).

023.-Hypnosis and Behavioral Medicine (Brown & Fromm, 1987).

024.-Mind-Body Therapy (Rossi & Cheek, 1988).

025.-The Complete Mind/Body Guide (Chopra, 1991).

026.-The Healing Journey (Simonton et al., 1992).

027.-The Psychobiology of Mind-Body Healing (Rossi, 1993).

028.-A Psychosomatic Medicine Research Clinic (Heap et al., 1994).

029.-Physically Focused Hypnotherapy: A Guide to Medical Hypnosis (Breuer, 2000).

030.-A Review of the Impact of Hypnosis on Aspects of Health (Gruzelier, 2002).

 

V.-HYPNOSIS FOR PAIN MANAGEMENT: CLINICAL APPLICATIONS

031.-Hypnosis for Spinal Injuries Pain Relief (Alden, 1993).

032.-Hypnosis for Chronic Pain: A Critical Review (Large, 1994).

033.-Hypnotic Analgesia (Spanos et al., 1994).

034.-Hypnotic Pain Control: Theoretical and Practical Issues (Alden & Heap, 1998).

035.-Pain Management Psychotherapy: A Practical Guide (Eimer & Freeman, 1998).

036.-Management of Cancer, Surgical Disease and Chronic Pain (Lynch, 1999)

037.-Hypnosedation: A Valuable Alternative (Faymonville et al., 1999).

038.-Applications of Hypnosis for Brief and Efficient Pain Management (Eimer, 2000).

039.-Hypnosis in the Conquest of Pain (Gravitz, 2002).

040.-Psychogenic Pain (Whalley & Oakley, 2003).

 

VI.-HYPNOSIS FOR CANCER PATIENTS: CLINICAL APPLICATIONS

041.-Hypnosis and the Immune System: Implications for Cancer (Hall, 1983).

042.-Hypnotic Treatment of Adverse Reactions (Feldman & Salzberg, 1990).

043.-Psychoneuroimmunology, the Mind, Counseling and Cancer (Simonton, 1992).

044.-Effects of Psychological Treatment on Cancer Patients (Trijsburg et al, 1992)

045.-Hypnotherapeutic Treatment of a Cancer Patient (Lenk, 1992).046.-Using Hypnosis With Cancer Patients: Six Case Studies (Kraft, 1993).

047.-Ericksonian Hypnotherapy for Cancer Pain Control (Weiss, 1993).

048.-The Use of Hypnosis in Helping Patients Control Symptoms (Genius, 1995).

049.-Cancer and Self-Hypnosis (Kelly & Kelly, 1995).

050.-Hypnosis in the Treatment of Cancer Pain (Peter, 1997).

 

VII.-HEALTH & ILLNESS: CLINICAL APPLICATIONS OF HYPNOSIS

051.-Hypnosis in the Treatment of Obesity (Levitt, 1992)

052.-Pain and Neuromuscular Rehabilitation with Multiple Sclerosis (Dane, 1996).

053.-Hypnosis in Dentistry (Eli & Kleinhauz, 1997).

054.-Hypnotherapy for Irritable Bowel Syndrome (Vidakovic-Vukic, 1999).

055.-Hypnotherapy for Crohn's Disease (Abela, 2000).

056.-Hypnotic Suggestion with Asthma (Wagaman, 2001).

057.-Treatment of Chronic Fatigue with Self-Hypnosis (Hammond, 2002).

058.-The Effectiveness of Hypnosis with Surgical Patients (Montgomery et al., 2002).

059.-Complementary Psychotherapy In Dermatology: Hypnosis (Shenefelt, 2002).

060.-A Model of Hypnotic Intervention for Palliative Care (Marcus et al., 2003).

 

VIII.- HYPNOSIS FOR SLEEP DISORDERS: CLINICAL APPLICATIONS

061.-An Hypnotic Technique for Treating Insomnia (Bauer & McCanne, 1980).

062.-Hypnotic Relaxation and Insomnia (Stanton, 1989).

063.-The Use of Indirect Hypnotic Suggestions for Insomnia (Cochrane, 1989).

064.-Suggestions with Sleep Disturbance (Garver, 1990).

065.-Sleep-Terror Disorder in Children: The Role of Self-Hypnosis (Kohen et al., 1991)

066.-The Healing Power of Dreams (Mathieson, 1991).

067.-Treatment of Adults with Sleep Walking and Sleep Terror (Hurwitz et al., 1991).

068.-Chronic Insomnia: Outcome of Hypnotherapeutic Intervention (Becker, 1993).

069.-Brief Hypnotic Treatment of Repetitive Nightmares (Kingsbury, 1993).

070.-Insomnia and Hypnotic Ability (Perlstrom, 1998).

 

IX.-HYPNOSIS FOR SUBSTANCE ADDICTION: CLINICAL APPLICATIONS

071.-Hypnosis Treatment for Smoking: An Evaluative Review (Holroyd, 1980).

072.-The Treatment of Alcohol and Drugs Addiction: An Overview (Waxman, 1985).

073.-Hypnotic Techniques in Drug Addiction Treatment (Collot, 1988).

074.-Use of Single Session Hypnosis for Smoking Cessation (Williams & Hall, 1988).

075.-Hypnosis and Alcoholism (Collot & Saina, 1992).

076.-The Use of Hypnosis in Cocaine Addiction (Page & Handley, 1993).

077.-Hypnotherapy for Substance Abuse (Beiglboeck & Feselmayer, 1994).

078.-Emotional Self-Regulation Therapy for Smoking Cessation (Bayot et al., 1997).

079.-Hypnotic Approaches to Smoking Cessation (Green & Lynn, 2000).

080.-Freedom From Smoking: Integrating Hypnotic Methods (Barber, 2001).


X.-HYPNOSIS & MENTAL HEALTH: MISCELLANEOUS

081.-The Use of Hypnotic Techniques with Psychotic Patients (Baker, 1978).

082.-Clinical Hypnosis and Sex Therapy (Araoz, 1982).

083.-Multiple Personality, Allied Disorders and Hypnosis (Bliss, 1986).

084.-The New Hypnosis in Family Therapy (Araoz & Negley-Parker, 1988).

085.-Hypnotic Strategies in Strategic Marital Therapy (Protinsky, 1988).

086.-Therapy of Vaginismus by Hypnotic Desensitization (Fuchs & Peretz, 1990)

087.-The Hypnotherapy of Irresistible Impulse Disorder (Schafer, 1991).

088.-Hypnotherapy with Severely Disturbed Patients (Murray-Jobsis, 1992).

089.-Psychotherapy of Schizophrenic and Borderline Patients (Zindel, 1992).

090.-Treatment Techniques of Multiple Personality Disorder Patients (Fraser, 1993).

091.-The Hypnotherapeutic Treatment of Anorexia Nervosa (Lynn et al., 1993).

092.-Hypnotherapy in the Treatment of Psychogenic Impotency (Crasilneck, 1993).

093.-Hypnotizability, Dissociation and Bulimia Nervosa (Covino et al., 1994).

094.-Ericksonian Approach to Male Impotence (Fuchs et al., 1995).

095.-Hypnosis in the Treatment of Sexual Trauma (Smith, 1995).

096.-Dissociative Identity Disorder: Perspectives and Controversies (Kluft, 1996).

097.-Hypnotherapeutic Management of Trichotillomania (Kohen, 1996).

098.-Hypnotic Strategies for Somatoform Disorders (Chaves, 1996).

099.-Hypnotherapy for AD/HD: Preliminary Evidence (Bartolo-Abela & Benton, 2002).

100.-Eating Disorders: The Role of Hypnosis (Mantle, 2003).

 

XI.-CONCLUSION

According to a study published in the 1996 issue of the American Journal of Clinical Hypnosis, 79% of the interviewed physicians and 67% of residents had no prior training in Hypnotherapy and even fewer experienced Clinical Hypnosis. However, the ‘good news’ is that 85% of these professionals expressed an ‘interest’ in Clinical Hypnosis education.

We are seeing a shift in health care from a total dependence on the classical or medical model, to a more holistic approach that embraces many alternative forms and strategies of healing, including Clinical Hypnosis and its potential applications in psychotherapy. This ‘shift’ is coming both from within the scientific community, and from the average people, with recent studies showing that as many as 40% to 50 % of individuals have tried alternative or complementary procedures and strategies of treatment.

At the same time, and this is seen in the increasing volume of scientific reports dealing with Clinical Hypnosis and its applications in Mental Health, there is widening scientific acceptance of its therapeutic potential in many mental disorders. The American Medical Association (AMA), The American Psychiatric Association (APA), and the British Medical Association (BMA) have all recognized Clinical Hypnosis as a viable therapeutic tool.

Since its formal birth as a ‘science’, Hypnosis has shown a cyclical evolution with fluctuating levels of interest (and respect) from the scientific community. Hypnotherapy has evolved through a series of research, trial and error, and the application of numerous theories and practices that brought about conclusions.

Today, there are many ‘unresolved’ issues, enigmas and questions concerning the real nature of the Hypnotic phenomena. The continuos and endless search for a unified theory framework has been controversial. Even with the impressive advances in the understanding of psychological and physiological mechanisms involved during hypnotic interaction, theories and models of hypnosis are remarkably numerous, divergent, and contradictories.

Hypnosis knowledge is still evolving and growing as scientists learn and investigate the brain mechanisms more in-depth. It is obvious that we have not realized the full capacity of the human mind and its functioning. Although the manifestations and capabilities of Hypnosis have received increasing acknowledgment, the essence of its key mechanisms remains difficult to discover and define. Today, however,

Hypnotherapy appears to be firmly implanted as a therapeutic tool, and its future is likely to witness its progressive maturation in its varied applications to the wide spectrum of psychotherapeutic practice.

While hypnotherapy is not a cure-all for all psychological and non-psychological disorders its therapeutic use has shown dramatic and significant results. More and more mental health professionals now ‘embrace’ hypnosis, as an effective clinical tool, for a wide variety of mental health problems. Clinical hypnosis offers practitioners the ability to effect change for the better in some of their most difficult and defiant clients.

Hypnosis is a therapeutic approach that is often underutilized, to the disadvantage of both clients and mental health professionals. In view of these considerations, it’s more than evident that hypnosis presents fascinating opportunities for medical and psychotherapeutic research. Today we see applications of clinical hypnosis in virtually every health care field. It is being taught at an ever-growing number of universities and postgraduate training centers.

Hypnosis and its uses in the practice of psychotherapy is rapidly growing and emerging as a highly effective therapeutic approach in solving the health problems of many individuals. Aside from these very tangible promises, the psychological and physiological mechanisms responsible for the vast array of hypnotic phenomena, once fully understood, can open key insights, new opportunities and future psychotherapeutic applications, not only into the most intimate connections of mind-body healing, but into the real nature of consciousness itself.


XII.-REFERENCES

Abela, M.(2000).Hypnotherapy for crohn's disease. Integrative Medic., 2 (2), 127-131.

Alden, P.(1993). The use of hypnosis in the management of pain on a spinal injuries unit. Hypnos,  20 (2), 106-116.

Alden, P. & Heap, M. (1998). Hypnotic pain control: Some theoretical and practical issues. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 46 (1), 62-76.

Alladin, A. (1992). Depression as a dissociative state. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 19 (4), 243-253.

Araoz, D.(1982) Hypnosis and Sex Therapy. New York: Brunner-Mazel.

Araoz, D. & Negley-Parker, E. (1988).The new hypnosis in family therapy. New York: Brunner-Mazel.

Baker, E. (1978). The use of hypnotic techniques with psychotic patients. Asheville: Annual Meeting of the Society for Clinical & Experimental Hypnosis.

Barber, T. (1984). Changing unchangeable bodily processes by hypnotic suggestions: A new look at hypnosis, cognitions, imagining and the mind-body problem. Adv, 1-2, 76-88.

Barber, J. (2001). Freedom from smoking: Integrating hypnotic methods and rapid smoking to facilitate smoking cessation. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 49 (3), 257-266.

Bartolo-Abela, M. & Benton, T. (2002). Hypnotherapy for AD/HD: Preliminary evidence for its effectiveness. Chicago: 110th Annual Convention of the American Psychological Association.

Bauer, K. & McCanne, T. (1980). An hypnotic technique for treating insomnia. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 28 (1), 1-5.

Bayot, A.;Capafons, A. & Cardeqa, E. (1997). Emotional self-regulation therapy: A new and efficacious treatment for smoking. American Journal of Clinical Hypnosis, 40 (2), 146-156.

Becker, P. (1993). Chronic insomnia: Outcome of hypnotherapeutic intervention in six cases. American Journal of Clinical Hypnosis, 36, 98-105.

Beiglboeck, W. & Feselmayer, S. (1994). Systemic and hypnotherapeutic aspects of the psychotherapeutic treatment of substance addiction. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 21 (4), 108-113.

Bindler, P. (1992). Hypnosis and Psychotherapy: The clinical utility of altered states of consciousness. Arlington: Annual Meeting of the Society for Clinical and Experimental Hypnosis.

Bliss, E. (1986). Multiple Personality, Allied Disorders and Hypnosis. Nueva York:Oxford University Press.

Breuer, W. (2000). Physically focused hypnotherapy: A practical guide to medical hypnosis in everyday practice. Louisville.

Brown, D. & Fromm, E. (1986). Hypnotherapy and hypnoanalysis. Hillsdale: Erlbaum.

Brown, D. & Fromm, E. (1987). Hypnosis and behavioral medicine. Hillsdale: Erlbaum.

Brown, D. (1992). Clinical research hypnosis since 1986. In E. Fromm & M. Nash: Contemporany Hypnosis Research (pp.427-458). New York: Guilford Press.

Burrows, G. (1980). Affective disorders and hypnosis. In Burrows, G. & Dennerstein, L., Handbook of hypnosis and psychosomatic medicine (pp 149-170). Amsterdam: Elsevier/North-Holland Biomedical Press.

Cardena, E.; Maldonado, J.; Van der Hart, O. & Spiegel, D. (2002). Hypnosis for posttraumatic conditions. Chicago: Annual Meeting of the American Psychological Association.

Cochrane, G. (1989). The use of indirect hypnotic suggestions for insomnia arising from generalized anxiety: A case report. American Journal of Clinical Hypnosis, 31, 199-203.

Cohen, S. & Williamson, G. (1991). Stress and infectious disease in humans. Psychological Bulletin, 108, 5-24.

Collot, G. (1988). Hypnotic techniques in drug addiction treatment. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 15 (2), 81-86.

Collot, G. & Saina, M. (1992). Hypnosis and alcoholism. In W. Bongartz: Hypnosis: 175 years after Mesmer - Recent developments in theory and application (pp 279-284). Konstanz: Universitaetsverlag.

Covino, N.; Jimerson, D.; Wolf, B.; Franko, D. & Frankel, F. (1994). Hypnotizability, dissociation and bulimia nervosa. Journal of Abnormal Psychology, 103 (3), 455-459.

Crasilneck, H. (1993). The use of hypnotherapy in the treatment of psychogenic impotency: A long term study. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 20 (1), 21-30.

Crawford, H. & Barabasz, A. (1993). Phobias and intense fears:Facilitating their treatment with hypnosis. Washington: American Psychological Association

Chaves, J. (1996). Hypnotic strategies for somatoform disorders. In S. Lynn & I. Kirsch: Casebook of clinical hypnosis (pp 131-151). Washington: American Psychological Association.

Chopra, D. (1991). Perfect Health: The Complete Mind/Body Guide. New York: Random House.

Dane, J. (1996). Hypnosis for pain and neuromuscular rehabilitation with multiple sclerosis: Case summary, literature review, and analysis of outcomes. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 44 (3), 208-231.

Detito, J. & Baer, L. (1986). Hypnosis in the treatment of depression. Psychological Reports, 58 (3), 923-929.

Edgette, H. & Edgette, J. (1995). Handbook of Hypnotic Phenomena in Psychotherapy. New York: Brunner/Mazel.

Eimer, B. & Freeman, A. (1998). Pain management psychotherapy: A practical guide. New York: John Wiley & Sons.

Eimer, B. (2000). Clinical applications of hypnosis for brief and efficient pain management psychotherapy. American Journal of Clinical Hypnosis, 43 (1), 17-40.

Eli, I. & Kleinhauz, M. (1997). Hypnosis and dentistry. In M. Mehrstedt & P. Wikstroem: Hypnosis in Dentistry (pp. 59-70). Muenchen: M. E. G.-Stiftung.

Erickson, M. (1980). The collected papers of Milton H. Erickson on hypnosis, Volumes I-IV. New York: Irvington.

Erickson, M. (1983) Healing in hypnosis: The seminars, workshops & lectures of Milton H. Erickson. New York: Irvington.

Erickson, M. (1986) Mind-body Communication in Hypnosis: The seminars, workshops, & lectures of Milton Erickson. New York: Irvington.

Faymonville, M.;Meurisse, M. & Fissette, J. (1999). Hypnosedation: A valuable alternative to traditional anaesthetic techniques. Acta Chirurgica Belgica, 99 (4), 141-146.

Feldman, C. & Salzberg, H. (1990). The role of imagery in the hypnotic treatment of adverse reactions to cancer therapy. Journal of the South Carolina Medical Association, 86, 303-306.

Fraser, G. (1993). Special treatment techniques to access the inner personality system of multiple personality disorder patients. Dissociation Progress in the Dissociative Disorders, 6 (2-3), 193-198.

Fredericks, L. (2001). The use of hypnosis in surgery and anesthesiology. Springfield: Charles C Thomas.

French, N. (1984). Successful Hypnotherapy. Wellingborough: Thorsons Publishers Ltd.

Fuchs, K. & Peretz, B. (1990). Therapy of Vaginismus by Hypnotic Desensitization. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 17 (4), 190-198.

Fuchs, K.;Zaidise, I. & Peretz, B. (1995). Ericksonian approach to male impotence. In M. Kleinhauz.; B. Peter,; S. Livnay; V. Delano; A. Iost-Peter: Jerusalem lectures on hypnosis and hypnotherapy (pags. 135-144). Muenchen: M. E. G. - Stiftung.

Garver, R. (1990). Suggestions with sleep disturbance. En C. Hammond: Handbook of Hypnotic Suggestions and Metaphors. New York: American Society of Clinical Hypnosis.

Genius, M. (1995). The use of hypnosis in helping cancer patients control anxiety, pain, and emesis: A review of recent empirical studies. American Journal of Clinical Hypnosis, 37 (4), 316-325.

Gilligan, S. (1982). Ericksonian Approaches to Clinical Hypnosis. In J. Zweig: Ericksonian Approaches to Hypnosis and Psythotherapy. New York: Brunner/Mazel.

Graham, K. (1991). Hypnosis: A case study in science. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 17, 78-84.

Gravitz,M(2001). Percepual reconstruction in the treatment of inordinate grief. American Journal of Clinical Hypnosis, 44 (1), 51-55.

Gravitz, M. (2002). Hypnosis in the conquest of pain. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 29, 19-28.

Gravitz, M. & Page, R. (2002). Hypnosis in the management of stress reactions. In G. Everly y J. Lating: A clinical guide to the treatment of the human stress response. (pp. 241-252). New York: Kluwer/Plenum.

Green, J. & Lynn, S. (2000). Hypnosis and suggestion-based approaches to smoking cessation: An examination of the evidence. Washington: Annual Meeting of the American Psychological Association.

Gruzelier, J. (2002). A review of the impact of hypnosis, relaxation, guided imagery and individual differences on aspects of immunity and health. Stress, 5, 147-163.

Hadley, J. (1997). Hypnosis for Overcoming Depression. Audio Prod.

Hall, H. (1983). Hypnosis and the immune system: A review with implications for cancer and the psychology of healing. American Journal of Clinical Hypnosis, 25 (2-3), 92-103.

Hammond, D. (2002). Treatment of chronic fatigue with neurofeedback and self-hypnosis NeuroRehabilitation, 16, 1-6.

Hart, B. (1992). Hypnosis with anxiety disorders. American Journal of Preventive Psychiatry & Neurology, 3, 8-12.

Heap, M.; Aravind, K. & Power-Smith, P. (1994). A psychosomatic medicine research clinic. Hypnos, 21 (4), 171-175.

Hensel, C.; Sapp, M.; Farrell,W. & Hitchcock, K. (2001). A Survey of members of ASCH, SCEH, and Division 30, and if they reported using hypnosis to treat depression. Sleep & Hypnosis, 3 (4), 152-166.

Holroyd, J. (1980). Hypnosis treatment for smoking: An evaluative review. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 28 (4), 341-357.

Hurwitz,T.; Mahowald, M.; Schenck, C.;Schluter, J. & Bundlie, S. (1991). A retrospective outcome study and review of hypnosis as treatment of adults with sleep walking and sleep terror. Journal of Nervous & Mental Disease, 179, 228-233.

Kelly, S. & Kelly, R. (1995). Cancer. In S. Kelly: Imagine yourself well: Better health through self-hypnosis (pp 261-268). New York: Plenum Press.

Kingsbury, S. (1993). Brief hypnotic treatment of repetitive nightmares. American Journal of Clinical Hypnosis, 35 (3), 161-169.

Kirsch, I.;Montgomery, G. & Sapirstein, G. (1995). Hypnosis as an adjunct to cognitive behavioral psychotherapy: A meta-analysis. Journal of Consulting & Clinical Psychology, 63 (2), 214-220.

Kluft, R. (1996). Dissociative Identity Disorder: Perspectives on recent findings and current controversies. In B. Peter; B. Trenkle; F. Kinzel; C. Duffner & A. Iost-Peter: Munich lectures on hypnosis and psychotherapy (pp.45-67).Muenchen: M. E. G.- Stiftung.

Kohen, D.; Mahowald, M. & Rosen, Gerald M. (1991). Sleep-Terror Disorder in Children: The Role of Self-Hypnosis in Management. American Journal of Clinical Hypnosis, 34 (4), 233-244.

Kohen, D. (1996). Hypnotherapeutic management of pediatric and adolescent trichotillomania. Developmental & Behavioral Pediatrics, 17 (5).

Kraft, T. (1993). Using hypnosis with cancer patients: Six case studies. Contemporary Hypnosis, 10, 43-48.

Large, R. (1994). Hypnosis for chronic pain: A critical review. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 21 (4), 234-237.

Lenk, W. (1992). Hypnotherapeutic treatment of a cancer patient. In W. Bongartz: Hypnosis: 175 years after Mesmer - Recent developments in theory and application (pp. 367-374). Konstanz: Universitaetsverlag.

Levenson, J. & Bemis, C (1991). The role of psychological factors in cancer onset and progression. Psychosomatics, 32, 124-132.

Levitt, E. (1992). Hypnosis in the treatment of obesity. Washington: Annual meeting of the American Psychological Association.

Lynch, D. (1999). Empowering the patient: Hypnosis in the management of cancer, surgical disease and chronic pain. American Journal of Clinical Hypnosis, 42 (2), 122-130.

Lynn, J.;Rhue, J.; Kvaal, S. & Mare, C. (1993). The treatment of anorexia nervosa: A hypnosuggestive framework. Contemporary Hypnosis, 10 (2), 73-80.

Lynn, S.; Kirsch, I. & Rhue, J. (1996). Casebook of Clinical Hypnosis. Washington: American Psychological Association.

Mantle, F. (2003). Eating disorders: the role of hypnosis. Paediatr Nrs., 15 (7), 42-45.

Marcus, J.; Elkins, G. & Mott, F. (2003). A model of hypnotic intervention for palliative care. Adv Mind Body Med., 19 (2), 24-27.

Mathieson, A. (1991). The healing power of dreams. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 18 (2), 85-89.

Montgomery, G.; David, D.; Winkel, G.; Silverstein, J. & Bovbjerg, D. (2002). The effectiveness of adjunctive hypnosis with surgical patients: A meta-analysis. Anesthesia and Analgesia, 94, 1639-1645.

Moore, K. & Burrows, G. (1991). Hypnosis in the treatment of obsessive-compulsive disorder. Australian Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 19 (2), 63-75.

Morgan, J.; Darby, B. y Heath, B. (1992). The future of hypnosis through the remainder of the decade: A Delphipoll. American Journal of Clinical Hypnosis, 34 (3), 149-157.

Mow, K. (1994). Treatment of psychoneurosis and depression with medical hypnoanalysis. Med Hypnoanalysis J., 9, 167-176.

Murray-Jobsis, J. (1992). Hypnotherapy with severely disturbed patients: Presentation of case studies. In W. Bongartz: Hypnosis: 175 years after Mesmer - Recent developments in theory and application (pp. 301-308). Germany: Universitaetsverlag.

Nadon, R. (1995). Scientific hypnosis is clinical hypnosis. San Antonio: Annual meeting of the Society for Clinical and Experimental Hypnosis.

Page, R. & Handley, G. (1993). The use of hypnosis in cocaine addiction. American Journal of Clinical Hypnosis, 36, 120-123.

Perlstrom, J. (1998). Insomnia, hypnotic ability, negative affectivity, and the high risk model of threat perception. San Francisco: Annual Meeting of the American Psychological Association.

Peter, B. (1997). Hypnosis in the treatment of cancer pain. Australian Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 25 (1), 40-52.

Protinsky, H. (1988). Hypnotic strategies in strategic marital therapy. Journal of Strategic and Systemic Therapy, 7, 29-34.

Rossi, E. & Cheek, D. (1988). Mind-body Therapy. New York: Norton.

Rossi, E. (1993). The psychobiology of mind-body healing. New York: Norton.

Sapp, M. (1992). Relaxation and hypnosis in reducing anxiety and stress. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 13 (2), 39-55.

Schafer, D. (1991). The hypnotherapy of irresistible impulse disorder - a case of pedophilia. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy and Psychosomatic Medicine, 18 (1), 4-7.

Schoenberger, N.; Kirsch, I.; Gearan, P.; Montgomery, G. & Pastyrnak, S. (1997. Hypnotic enhancement of a cognitive behavioral treatment for public speaking anxiety. Behavior Therapy, 28, 127-140.

Seagrave, A. & Covington, F. (1987). Free from fears. New York: Simon & Schuster.

Shenefelt, P. (2002). Complementary psychotherapy in dermatology: Hypnosis and biofeedback. Clinics in Dermatology, 20 (5), 595-601.

Simonton, O.;Henson, R. & Hampton, F. (1992). The healing journey. New York: Bantam.

Simonton,C. (1992). Psychoneuroimmunology, the mind, counseling and cancer. In W. Bongartz: Hypnosis: 175 years after Mesmer - Recent developments in theory and application (pp. 363-366). Konstanz: Universitaetsverlag

Smith, W. (1995). Hypnosis in the treatment of sexual trauma: A master class commentary. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 43 (4), 366-368.

Spanos, N. (1989). Experimental research on hypnotic analgesia. In N. Sapnos & J. Chaves: Hypnosis: The Cognitive-Behavioral Perspective (pp. 206-240). Buffalo: Prometheus.

Spanos, N.; Carmanico, S. & Ellis, J. (1994). Hypnotic analgesia. In P. Wall & R. Melzack: Textbook of pain (pp. 1349-1366). Edinburgh: Churchill Livingstone.

Spiegel, H. & Spiegel, D. (1987). Trance and treatment: Clinical uses of hypnosis. Washington: American Psychiatric press.

Spiegel, D. (1993). Hypnosis in the treatment of Post-traumatic stress disorder. In J. Rhue; S. Lynn & I. Kirsch: Handbook of Clinical Hypnosis (pp. 493-508). Washington: American Psychological Association.

Spiegel, D. (1994). Acute stress disorder and dissociation in DSM-IV. San Francisco: Annual Meeting of the Society for Clinical and Experimental Hypnosis.

Stanton, H. (1985). Permissive vs authoritarian approaches in clinical and experimental settings. In J. Zeig: Ericksonian Psychotherapy. Volume I (pp. 293-304) New York: Brunner/Mazel.

Stanton, H. (1989). Hypnotic relaxation and insomnia: A simple solution? Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy & Psychosomatic Medicine, 16, 98-103.

Tart, C. (1969). Altered states of consciousness: A book of readings. New York: Wiley & Sons.

Temes, R. (1999). Medical hypnosis: An introduction and clinical guide. New York: W. B. Saunders.

Trijsburg, R.;Van Knippenberg, F. & Rijpma, S. (1992). Effects of psychological treatment on cancer patients: A critical review. Psychosomatic Medicine, 54, 489-517.

Vidakovic-Vukic, M. (1999). Hypnotherapy in the treatment of irritable bowel syndrome: methods and results in Amsterdam. Scand J Gastroenterol, 230, 49-51.

Wagaman, M. (2001). Hypnotic suggestion with asthma. San Francisco: Annual Meeting of the American Psychological Association.

Waxman, D. (1985). The treatment of alcohol and drugs addiction: An overview. In D. Waxman; P. Misra; M. Gibson & M. Basker: Modern trends in hypnosis (pp 277-287). New York: Plenum Press.

Weiss, M. (1993). Ericksonian hypnotherapy for pain control during and following cancer surgery. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 14 (2), 53-74.

Weitzenhoffer, A. (1989). The practice of hypnotism, vols. I-II. New York: Wiley & Sons.

Whalley, M. & Oakley, D. (2003). Psychogenic pain: A study using multidimensional scaling. Contemporary Hypnosis, 20, 16-24.

Williams, J. & Hall, D. (1988). Use of single session hypnosis for smoking cessation. Addictive Behaviors, 13, 205-208.

Yapko, M. (1989). Brief Therapy Approaches to Treating Anxiety and Depression. New York: Brunner/Mazel.

Yapko, M. (1992). Hypnosis and the treatment of depression. New York: Brunner/Mazel.

Yapko, M. (2001). Hypnosis in treating symptoms and risk factors of major depression. American Journal of Clinical Hypnosis, 44 (2), 97-108.

Yapko, M. (2001). Treating depression with hypnosis: Integrating cognitive-behavioral and strategic approaches. New York: Brunner-Routledge.

Zindel, J. (1992). Hypnosis in the psychotherapy of schizophrenic and borderline patients. In W. Bongartz: Hypnosis: 175 years after Mesmer - Recent developments in theory and application (pp. 309-314). Germany: Universitaetsverlag.

(source: http://www.hypnosisonline.com/papers/80.htm) 

Baca Selengkapnya

Benarkah Regresi Tidak Perlu dan Berbahaya?

10 Juni 2016

Artikel ini adalah jawaban dari pertanyaan seorang Sahabat, kebetulan juga seorang hipnoterapis, setelah ia membaca satu tulisan bahwa regresi dapat mengungkap kejadian traumatik yang justru akan sangat merugikan dan bisa membahayakan diri klien. 

Benarkah demikian?

Jawabannya, "Ya dan tidak, bergantung pada kecakapan hipnoterapis yang melakukan terapi dan teknik yang ia kuasai."

Regresi adalah proses menuntun klien mundur menyusuri garis waktu di dalam pikirannya dengan tujuan menemukan kejadian atau peristiwa yang menjadi akar dari masalah klien di saat ini. 

Ada banyak teknik regresi. Salah satu teknik paling cepat dan akurat untuk menemukan akar masalah, dari pengalaman klinis kami, adalah jembatan afek (affect bridge). 

Untuk bisa mencapai akar masalah, yang secara teknis disebut initial sensitizing event (ISE), biasanya akan melewati satu atau beberapa kejadian lanjutan setelah ISE yang dinamakan subsequent sensitizing event (SSE). 

Perjalanan dari masa sekarang menuju ke ISE adalah perjalanan penuh dinamika dan butuh keterampilan serta rasa percaya diri tinggi untuk menavigasi pikiran klien dengan benar dan tepat sasaran.

Bila regresi dilakukan dengan benar, saat klien sampai di satu kejadian spesifik, ia mengalami kembali kejadian yang telah terjadi di masa lampau namun ia mengalaminya sekarang lengkap dengan emosi yang intens. Kondisi ini disebut revivifikasi. 

Bila proses regresi hanya sebatas menemukan atau mengungkap satu kejadian sehingga klien mengalami revivifikasi dan terapis tidak memroses kejadiannya atau mungkin tidak mampu, maka regresi seperti ini tentu sangat berbahaya dan merugikan klien. 

Kondisi ini sama seperti dokter melakukan bedah untuk menemukan tumor dan setelah menemukannya, lebih tepatnya setelah tahu lokasi, bentuk, dan ukuran tumor, tidak dilakukan tindakan apapun. Yang penting sudah berhasil ditemukan dan diketahui. 

Apakah prosedur ini akan menyembuhkan pasien? Tentu tidak. Bila hanya sekedar ingin tahu dan tidak dilakukan tindakan apapun, lalu buat apa merepotkan diri dan membahayakan hidup pasien dengan melakukan pembedahan?

Sama dengan regresi. Saat ISE berhasil ditemukan dan kejadiannya tidak diproses, ini tidak terapeutik tapi justru traumatik. Dengan kata lain klien mengalami trauma ulang dan ini adalah satu bentuk malapraktik berat. 

Regresi bersifat terapeutik bila setelah akar masalah berhasil ditemukan, dilanjutkan dengan resolusi trauma menggunakan teknik yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan klien. Secara ringkas, kejadian traumatik ini diproses hingga tuntas sehingga setelahnya menjadi netral dan tidak lagi memengaruhi klien. Dalam bahasa sehari-hari, ini yang disebut dengan sembuh. 

Jadi, apakah regresi tidak perlu atau berbahaya?

Jawabannya, "May...may be yes...may be no." Semua bergantung pada kecakapan hipnoterapis. 

Dari diskusi dengan banyak sejawat hipnoterapis, baik saat jumpa langsung atau melalui email, saya bisa memahami kendala yang mereka alami saat melakukan regresi, khususnya regresi dengan jembatan afek. Kendalanya bukan mereka tidak mampu melakukan regresi namun lebih pada apa yang akan dilakukan setelah regresi berhasil mengungkap akar masalah. 

Di sinilah poin sangat penting yang sayangnya tidak mampu mereka lakukan dengan baik dan benar. Menemukan akar masalah adalah satu hal. Memroses akar masalah adalah hal lain. 

Untuk mampu melakukan regresi dan memroses akar masalah dengan benar dan efektif, semasa pendidikan, calon hipnoterapis perlu mendapat uraian teoritik detil dan mendalam dan juga perlu melihat langsung sesi terapi yang dilakukan trainer kepada klien sungguhan, bukan sekedar latihan, di depan kelas. Di sinilah duplikasi sesungguhnya mulai diajarkan. Bila peserta hanya membaca workbook tanpa melihat langsung proses terapi, pemahaman, khususnya tentang regresi, menjadi dangkal dan tidak aplikatif. 

Hipnoterapi per se pada prinsipnya netral, hanyalah salah satu modalitas terapi, dan tidak berbahaya. Hipnoterapi menjadi berbahaya bila dipraktikkan oleh individu yang tidak cakap atau dipraktikkan dengan sangat terampil untuk tujuan yang tidak baik. 

Demikianlah kenyataannya......

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List