The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Hipnoterapi terdiri atas dua kata, hipnosis dan terapi. Hipnosis, secara sederhana, didefiniskan sebagai kondisi kesadaran khusus yang umumnya dijabarkan menjadi tiga kedalaman, dangkal, menengah, dan dalam. Untuk dapat berpindah dari kondisi sadar normal ke kondisi hipnosis dibutuhkan cara atau upaya yang disebut induksi.
Secara prinsip, terdapat sepuluh teknik dasar induksi. Dari sepuluh teknik ini selanjutnya dikembangkan beragam teknik induksi sesuai preferensi dan kreativitas terapis dan juga bergantung pada kebutuhan, situasi, dan kondisi klien.
Terdapat perbedaan di antara para hipnoterapis dalam menyikapi durasi induksi ideal yang digunakan di ruang praktik. Induksi bisa berlangsung hanya dalam beberapa detik, beberapa menit, hingga puluhan menit, satu jam, dan bahkan ada yang lebih lama lagi. Semua bergantung teknik induksi yang digunakan.
Berapa lama idealnya satu induksi dilakukan? Pertanyaan yang lebih tepat adalah berapa kedalaman trance yang perlu dicapai klien sebagai syarat terapi dapat dilakukan dengan efektif. Lama induksi sifatnya relatif dan sepenuhnya bergantung dinamika di ruang praktik.
Kedalaman (trance) yang dimaksud bukan seberapa dalam subjek “turun” namun lebih berhubungan dengan derajat keterlepasan dari lingkungan luar diri, perhatian yang sempit dan fokus, dan meningkatnya respon terhadap sugesti atau bimbingan operator.
Trance memiliki dua komponen penting yaitu kedalaman dan kestabilan. Kedalaman trance diukur menggunakan kriteria fisik dan mental. Indikasi trance secara fisik antara lain mata menatap jauh, pandangan terkunci pada satu objek, pupil mata melebar, terdapat jeda dalam merespon, napas melambat dan ritmik, wajah datar, respon menjawab lambat. Sementara indikasi trance secara mental antara lain amnesia, halusinasi (visual, auditori, kinestetik), dan terjadi distorsi waktu. Dari pengalaman klinis, indikasi yang lebih akurat dalam mengetahui kondisi dan kedalaman trance adalah indikasi mental, bukan fisik.
Kestabilan trance merujuk pada konsistensi kedalaman yang dialami individu dalam rentang dan waktu tertentu. Kestabilan ini sangat penting karena kedalaman trance tidak bersifat linier atau statis namun fluktuatif dalam kurun waktu tertentu. Subjek hipnotik yang sangat terlatih sekalipun tetap mengalami fluktuasi ini. Dengan demikian sangat penting, dalam konteks terapi, klien berada di kedalaman yang sesuai dengan teknik yang digunakan oleh terapis dan berada di kedalaman ini dalam kurun waktu sesuai kebutuhan dan durasi terapi.
Individu juga bervariasi dalam kapasitas mereka mengalami fenomena trance tertentu. Seseorang bisa mudah mengalami amnesia bisa jadi sulit atau tidak bisa halusinasi, sementara yang lain justru sebaliknya.
Adalah satu kekeliruan serius bila terapis berasumsi bahwa kemampuan untuk masuk trance yang dalam dan objektif terapeutik adalah sama. Hipnoterapis pemula biasanya akan takjub dengan berbagai fenomena hipnotik yang muncul dalam kondisi trance dalam. Seiring waktu berjalan, dengan semakin banyak praktik, hipnoterapis berpengalaman menyadari bahwa capaian terapeutik tidak bergantung pada dan tidak ditentukan oleh kapasitas memunculkan fenomena hipnotik.
Dari temuan klinis, somnambulis, individu yang dapat masuk ke kondisi trance dalam dengan cepat dan mudah, bisa gagal atau sulit mencapai hasil terapi yang diinginkan dibanding dengan klien yang sulit trance.
Wilson dan Barber (1983:377) menyatakan, “Whether an individual is an excellent hypnotic subject in that he or she responds profoundly to classical hypnotic suggestion is not correlated with his or her responsiveness to therapeutic suggestions to lose weight, stop smoking, become relieved of back pain, and other aliments.”
Inti pernyataan Wilson dan Barber di atas adalah klien yang responsif pada sugesti hipnotik klasik, memunculkan berbagai fenomena hipnotik, tidak serta merta responsif pada sugesti terapeutik.
Hipnoterapis perlu fokus pada goal terapeutik dan tidak terpaku atau terpesona hanya pada fenomena hipnotik yang dapat dimunculkan pada diri klien. Kondisi hipnosis sendiri tidak terapeutik namun adalah media yang membantu pencapaian goal terapeutik.
Teknik hipnoterapi secara garis besar terbagi dua yaitu berbasis sugesti dan hipnoanalisis. Untuk teknik berbasis sugesti, secara umum, semakin dalam semakin baik. Namun yang perlu dipastikan, klien masih tetap dalam kondisi sadar walau telah berada dalam kondisi trance yang (sangat) dalam. Bila klien tertidur, sugesti tidak bisa didengar dan dengan demikian tidak akan efektif. Agar sugesti bisa bekerja maksimal dan efektif membantu perubahan diri klien, terapis perlu memahami cara menyusun sugesti mengikuti kriteria tertentu yang sejalan dengan hukum dan sifat pikiran bawah sadar.
Untuk melakukan teknik hipnoanalisis, jembatan afek, regresi, revivifikasi, dan aktivasi trancelogic secara efektif membutuhkan kedalaman trance yang presisi, fluktuatif di antara rentang threshold somnambulism hingga profound somnambulism.
Keberhasilan terapi, selain bergantung pada pendekatan dan teknik yang digunakan oleh terapis, juga bergantung pada faktor TEAM atau trust, expectation, attitude, dan motivation klien.
Trust adalah rasa percaya klien terhadap terapis. Ini adalah hal sangat mendasar yang menjadi penentu proses dan hasil terapi. Expectation adalah pengharapan realistis klien untuk sembuh. Sementara attitude adalah sikap kooperatif klien saat menjalani proses terapi mulai awal hingga akhir. Motivation atau motivasi adalah dorongan nyata dan personal yang berasal dari dalam diri klien dan ditentukan oleh apakah klien datang ke terapis atas kemauan atau kesadarannya sendiri untuk sembuh atau karena desakan, rayuan, atau paksaan pihak lain.
Amnesia adalah kondisi hilangnya memori, biasanya akibat kerusakan otak akibat benturan atau kecelakaan, kondisi terguncang, kelelahan, represi, atau sakit. Amnesia hipnotik adalah lupa atau “kehilangan memori” yang berhubungan dengan atau disebabkan oleh pengalaman hipnotik dan bukan karena faktor di atas.
Dalam amnesia hipnotik, materi yang “hilang” dapat dimunculkan atau diingat kembali dengan menggunakan sugesti. Prosesnya adalah dengan membalik kondisi lupa menjadi ingat.
Terdapat beragam bentuk atau jenis amnesia hipnotik yang dapat dikenali atau dibedakan berdasar tugas yang diberikan pada subjek, ketiadaan atau penggunaan sugesti spesifik dan waktu pengujian amnesia dilakukan. Beberapa peneliti dan penulis seperti Thorn (1960), Evans (1965b), dan Hilgard (1965a, 1965b, 1966) mendiskusikan hal ini dalam tulisan mereka.
Di tahun 1995, Hilgard (1965b) menulis tentang ragam amnesia hipnotik berikut:
- Amnesia (mengingat) pascahipnosis : amnesia terhadap kejadian atau peristiwa yang dialami subjek saat dalam kondisi hipnosis. Amnesia ini biasanya bersifat spontan dan adalah salah satu karakteristik kondisi hipnosis yang (sangat) dalam.
- Amnesia sumber pascahipnosis: subjek memelajari sesuatu dalam kondisi hipnosis, hasil belajar dapat diingat saat subjek telah kembali ke kondisi sadar normal, namun ia tidak ingat proses belajarnya dan juga tidak ingat bahwa ini dipelajari dalam kondisi hipnosis.
- Amnesia pascahipnosis untuk materi yang dipelajari dalam kondisi hipnosis: saat telah kembali ke kondisi sadar normal subjek tidak bisa mengingat materi yang ia pelajari.
- Amnesia parsial pascahipnosis: amnesia yang berlaku hanya pada sebagian materi atau informasi yang dipelajari dalam kondisi hipnosis.
- Amnesia dalam kondisi trance untuk kejadian atau pengalaman dalam trance yang dialami sebelumnya, saat klien dalam kondisi hipnosis.
Amnesia lain, selain yang telah disebutkan di atas, adalah amnesia simbolik (Strickler, 1929), amnesia sensori dan amnesia integrasi (Wright, 1966). Namun tidak banyak informasi atau penelitian lanjut tentang amnesia ini.
Amnesia spontan sering, dipikir, terjadi tanpa kehadiran sugesti. Amnesia yang disugestikan kepada subjek terjadi mengikuti sugesti spesifik yang diberikan oleh operator. Dalam praktiknya, amnesia spontan, atau yang dianggap spontan, bisa saja terjadi akibat sugesti tidak langsung atau karena faktor pengharapan baik oleh subjek dan atau operator.
Dalam konteks klinis, kerap terjadi klien, usai terapi, tidak bisa mengingat sebagian atau bahkan keseluruhan proses terapi yang ia alami. Amnesia spontan ini, cepat atau lambat, akan memudar dan klien bisa mengingat kembali sebagian atau keseluruhan pengalaman terapinya. Bila klien tetap mengalami kesulitan mengingat pengalaman terapinya, terapis bisa membantu memulihkan ingatannya dengan memberi sugesti.
Amnesia atau lupa akibat sakit, kelelahan, atau represi, secara teknis dapat dipulihkan karena amnesia jenis ini bukan disebabkan oleh kerusakan otak.
Satu kondisi khusus yang bisa terjadi, saya belum pernah membaca literatur mengulas tentang hal ini namun bisa mengajukan hipotesa berdasar teori dan pengalaman klinis, amnesia hipnotik dapat dibuat “permanen” dengan memberi segel hipnotik ke pikiran bawah sadar klien.
Diskusi tentang hipnosis dan produksi efek sugesti minimal membahas tiga hal terpisah maupun bersama: respon individu terhadap sugesti dalam kondisi hipnosis, “kedalaman” atau “derajad” hipnosis, dan kapasitas hipnosis.
Semakin dalam subjek masuk ke kondisi hipnosis diyakini semakin baik efek sugesti yang dihasilkan karena ia menjadi semakin sugestif. Saat hipnotis/hipnoterapis melakukan induksi, membimbing subjek masuk ke kondisi hipnosis, sering terdengar kalimat, “……masuk lebih dalam… lebih rileks… semakin dalam…”
Penggunaan kata “lebih dalam” sebenarnya kurang tepat. Subjek tidak masuk lebih dalam. Yang terjadi adalah subjek menjadi semakin responsif terhadap sugesti yang disampaikan oleh hipnotis/hipnoterapis. Dan ini tentu berhubungan dengan kesediaan dan partisipasi subjek dalam proses yang ia jalani. Subjek dikatakan tidak sugestif sejatinya adalah subjek yang belum terlatih untuk (lebih) responsif. Kemampuan respon dapat dilatih dan dikembangkan.
Dalam dunia hipnosis dikenal “suggestibility", "susceptibility", dan "hypnotizability". Ketiganya menjelaskan hal yang sama yaitu kemampuan individu mengalami kondisi hipnosis atau hypnotic trance, biasanya dengan cara self-hypnosis atau dengan bantuan orang lain sebagai operator.
Untuk mengukur tingkat kemudahan individu mengalami kondisi hipnosis para pakar telah mengembangkan banyak skala.
Liébeault (1866, 1889) mungkin adalah yang pertama mengemukakan tentang skala hipnosis, yang kala itu disebut dengan “magnetic scale”. Selanjutnya Bernheim (1884) juga mempublikasi skala hipnosis yang adalah modifikasi dari skala Liébeault. Skala Bernheim terdiri atas sembilan kelompok fenomena yang bisa timbul dalam diri subjek akibat sugesti verbal dan nonverbal.
White (1930) mengembangkan skala yang dikenal dengan White Scale menggunakan skor kuantitatif dari sugesti spesifik yang disusun mulai dari sugesti yang sifatnya mudah hingga yang sulit.
Davis dan Husband (1931) mengembangkan skala yang terdiri atas lima kategori dengan total tiga puluh poin/angka, mulai satu sampai tiga puluh.Masing-masing angka mewakili uji dan respon sugesti spesifik.
Friedlander dan Sarbin (1938) menulis tentang “kedalaman hipnosis” yang secara konteks sama dengan yang dikemukakan oleh Davis dan Husband (1931).
LeCron dan Bordeaux (1947) menyusun skala hipnosis yang terdiri atas tujuh kategori dengan total lima puluh poin.
Weitzenhoffer dan Hilgard (1959, 1962, 1963, 1967) memodifikasi skala Firedlander dan Sarbin (1938) dan mencipta tiga skala baru yang dikenal dengan Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A and B, Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Form C, dan Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility. Masing-masing skala lebih sering disebut sebagai SSHA:A,B, SSHS:C, dan SPSHS:I,II.
Standford Scales dan skala turunannya juga dapat diberlakukan pada banyak individu (kelompok) secara bersamaan. Skala yang paling terkenal untuk ini adalah Harvard Group Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A dan B (Shor dan Orne, 1962), dan lebih dikenal dengan HGSHS:A,B. Masih ada skala lain, untuk kelompok, namun jarang dikenal yaitu Waterloo-Stanford Group C (WSGC) Scale of Hypnotic Susceptibility (Bowers, 1993/1998).
Beberapa skala yang memodel atau turunan dari Standford Scales antara lain London’s Childre’s Hypnotic Susceptibility Scale, CHSS (London, 1963; Cooper dan London, 1978,1979).
Menjawab penolakan para klinisi untuk menggunakan Stanford Scales karena butuh waktu lama untuk aplikasi pada klien, Universitas Stanford kemudian mengembangkan tiga skala lagi yaitu the Stanford Clinical Scale for Adults (Morgan dan Hilgard, 1978,1979), the Stanford Clinical Scale for Children (Morgan dan Hilgard, 1978,1979), dan the Stanford Hypnotic Arm Levitation Induction and Test (SHALT) (Hilgard, Crawford, dan Wert, 1979).
Harry Aron (1969) mengembangkan skala yang terdiri atas enam kategori kedalaman dan dikenal dengan Aron’s Depth Scale.
Selain skala di atas juga terdapat skala yaitu Barber Suggestibility Scale, BSS, (Barber dan Glass, 1962), dan Barber Creative Imagination Scale, CIS, (Barber dan Wilson, 1978, 1979).
Skala yang bertujuan mengukur pengalaman subjektif hipnotik pertama kali dikemukakan oleh LeCron (1953) dan sering disebut sebagai LeCron Scales atau LeCron Subjective Depth Estimation Scale (LSDES).
Terdapat turunan dari skala LeCron, salah satunya dikembangkan oleh Tart (1972, 1978/1979) dan dikenal dengan Tart Scales.
Skala yang berdasar pada pengalaman klien yang dihipnosis, pertama kali dikembangkan oleh Field (Field, 1965; Field dan Palmer, 1969) dan dikenal dengan Field Inventory yang terdiri atas tiga puluh pertanyaan yang merujuk pada pengalaman subjektif subjek saat dihipnosis. Skala serupa yang lebih baru adalah Pekala’s Phenomonology of Consciousness Inventory, CPI, (Pekala dan Kumar, 1984, 1987; Pekala 1991). Kedua skala ini bertujuan mengukur hal-hal yang diukur oleh Skala Stanford namun dengan cara yang berbeda dan atau lebih baik.
Teknik berbeda dalam pengukuran suseptibilitas subjek diajukan oleh Spiegel (Spiegel 1972; Spiegel dan Spiegel, 1978), dikenal sebagai Hypnotic Induction Profile atau HIP.
Satu hal menarik yang saya peroleh melalui riset literatur yaitu Ernest Rossi (1986), salah satu murid Milton Erickson, juga telah mencoba mengembangkan skala, Indirect Trance Assessment Scale (ITAS), untuk secara tidak langsung menilai kehadiran “trance” hipnotik yang dihasilkan melalui induksi informal. ITAS memberi skor namun tidak jelas skor ini merujuk pada aspek trance yang mana.
Skala-skala lain yang perlu disebutkan untuk melengkapi berbagai skala yang telah disampaikan di atas antara lain Arizona Motor Scale of Hypnotizability (AMSH) (1994), pertama kali dikembangkan di Universitas Arizona untuk meneliti perbedaan antara sugesti “langsung” dan “tantangan” dalam faktor struktur hipnosis. Skala ini diberi nama demikian karena fokus pada sugesti ideomotor dalam domain hipnosis (Hilgard, 1965; Kihsltrom, 2008).
Eysenck dan Furneaux (1945) mengembangkan Eysenck & Furneaux Scale guna meneliti sugestibilitas primer dan sekunder. Yang termasuk di dalamnya antara lain menutup mata, relaksasi, katalepsi, halusinasi, dan amnesia, dan hanya digunakan untuk penelitian penulisnya sendiri.
Gudjonsson (1984) mengembangkan Gudjonsson Suggestibility Scale (GSS) mengukur sugestibilitas interogatif. Ini berbeda dengan sugestibilitas hipnotik/imajinatif. Sugesbilitas interogatif cenderung tidak berkorelasi dengan sugestibilitas hipnotik.
Satu bentuk tes lain yang unik yang mengukur sugestibilitas sensori dikembangkan oleh Gheorghiou, Polczyk, dan Kappeller (2003) dikenal dengan Warmth Suggestibility Scale (WSS).
Di tahun 2010, setelah memelajari banyak skala yang telah disebutkan di atas, dilengkapi dan diperkaya dengan berbagai data empiris hasil penelitian yang kami lakukan, saya menyusun skala kedalaman hipnosis terdiri atas empat puluh poin lengkap dengan berbagai fenomena hipnotik yang dapat dimunculkan pada setiap kedalaman. Saya menamakan skala ini Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale dan menjadi acuan para hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology dalam menjalankan praktik hipnoterapi klinis.
Pikiran negatif yang tidak diinginkan adalah komponen inti dari masalah seperti adiksi dan gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD).
Penderita PTSD sering mengalami gangguan berupa munculnya memori dari pengalaman traumatik tertentu, misalnya kecelakaan atau kejadian yang mengandung unsur kekerasan, di mana memori ini muncul dengan sendirinya, sewaktu-waktu, dan sangat mengganggu.
Pada penderita adiksi, perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh memori saat mereka melakukan atau mengkonsumsi zat adiktif dan ini terus mendorong mereka mengulangi tindakan yang sama di masa depan. Ini tentu berbeda dengan, dan jauh lebih ekstrim, dari munculnya memori mengenai pengalaman yang memalukan atau pengalaman menyakitkan yang pernah dialami seseorang.
Namun, apa jadinya bila ternyata kita mampu mengubah memori trauma atau penggunaan obat terlarang?
Menurut kajian baru yang dipublikasi di jurnal Biological Psychiatry adalah mungkin untuk secara lebih efektif menarget satu bagian dari proses pembelajaran yaitu rekonsolidasi (Schwabe dkk., 2014).
Proses belajar meliputi beberapa tahap. Dimulai dari pembentukan memori awal (aktif), kosolidasi, memori tersimpan (inaktif), pengambilan, memori tersimpan (aktif), dan rekonsolidasi.
Rekonsolidasi adalah titik di mana memori tersimpan dipangil dan, menurut riset terkini, pada titik inilah memori dapat diubah.
(Komentar AWG: Hmm… ini sama dengan teknik RH yang kami lakukan selama ini. Namun untuk melakukan modifikasi memori secara efektif dibutuhkan trance yang dalam sehingga pikiran sadar tidak melakukan analisis dan menolak perubahan ini.)
Selama tahap rekonsolidasi memori menjadi tidak stabil dan lebih mudah diubah. Memori dapat dimodifikasi bahkan bertahun-tahun setelah ia terbentuk. Inilah hal efektif yang dilakukan banyak terapis saat mereka berusaha menangani klien yang mengalami pikiran yang mengganggu.
Klien didorong untuk mengingat memori tertentu kemudian terapis mencoba menyesuaikan respon klien terhadap memori itu. Sayangnya, seringkali memori asli sangat kuat sehingga sulit bagi terapis membantu klien menyesuaikan respon.
(Komentar AWG: Memori asli sangat kuat dan dari pengalaman klinis kami selama ini disebabkan oleh kuatnya emosi yang melekat pada memori ini. Ada sembilan komponen memori dan yang membuat masalah adalah emosi. Bila emosi berhasil dipisahkan dari memori maka memori ini tidak lagi ada efek. Klien bisa tetap mengingat kejadiannya tapi sudah tidak lagi terpengaruh.)
Namun dengan pemahaman baru peran rekonsolidasi adalah mungkin untuk membuat proses ini menjadi lebih efektif. Ini membutuhkan penghubungan antara pemahaman rekonsolidasi secara neurobiologis dengan praktik klinis.
Riset terhadap penderita PTSD telah mulai menunjukkan bahwa penggunaan obat tertentu selama tahap rekonsolidasi dapat memadamkan pikiran-pikiran traumatik.
(Komentar AWG: Ini pendekatan yang umum dilakukan oleh rekan dokter atau psikiater. Penggunaan obat adalah salah satu cara. Dalam hipnoterapi klinis, pikiran-pikiran traumatik dapat dimodifikasi menggunakan teknik yang sesuai, tanpa obat, dan selama ini hasilnya sangat efektif.)
Dr. Lars Schwabe, kepala tim riset mengatakan, “Rekonsolidasi memori mungkin adalah fenomena paling menarik dalam neurosains kognitif saat ini.”
Asumsinya, begitu satu memori berhasil dipanggil maka ia dapat dimodifikasi dan ini memberikan kita kesempatan besar untuk mengubah memori tidak diinginkan yang sifatnya kuat dan menganggu.
(Komentar AWG: Memang sangat menarik dan kita telah melakukannya sejak 2005.)
(sumber: Psyblog)
Artikel ini terinspirasi dan sekaligus adalah jawaban untuk pertanyaan yang diajukan oleh seorang rekan hipnoterapis. Pertanyaannya singkat namun butuh pemikiran mendalam sebelum dijawab. “Pak Adi, saya sudah belajar hipnotis dan juga hipnoterapi dengan ikut pelatihan. Tapi kenapa ya sampai sekarang saya tidak bisa menghinotis pasien?” demikian tanyanya.
Sebelum menjawab, ada beberapa hal yang perlu saya luruskan. Seringkali terjadi kekurangtepatan penggunakan kata “hipnosis” dan “hipnotis”. Hipnosis adalah ilmunya dan hipnotis adalah orang yang mempraktikkan hipnosis. Dengan demikian kalimat yang benar adalah “saya menghipnosis…..”, bukan “saya menghipnotis…..”.
Kedua, penggunaan kata “pasien” sebagai kata ganti individu yang menjalani hipnoterapi hanya boleh digunakan oleh dokter. Hipnoterapis yang bukan dokter tidak boleh menggunakan kata ini. Yang tepat adalah klien.
Untuk mendapat gambaran lebih jelas tentang situasi rekan ini, saya mengajukan pertanyaan, “Apa kendala yang Anda alami? Bagaimana cara Anda menghipnosis klien?”
“Saya menggunakan skrip hipnosis yang saya dapatkan di pelatihan. Tapi entah mengapa sulit sekali menghipnosis klien,” jawabnya.
“Apa yang Anda lakukan sebelum menghipnosis klien?” tanya saya lagi.
“Saat jumpa klien, saya langsung minta klien duduk. Lalu saya gunakan skrip atau teknik untuk menghipnosis klien,” jawabnya.
Dari jawaban ini saya dapat gambaran yang lebih utuh bagaimana rekan ini melakukan praktik hipnosisnya. Penjelasan berikut ini adalah jawaban atas pertanyaannya. Dan yang dimaksud dengan hipnosis adalah proses membimbing klien beralih dari kondisi sadar normal ke kondisi pikiran yang rileks namun fokus.
Banyak rekan yang mengalami kendala, belum bisa, atau bahkan sering gagal saat melakukan hipnosis. Ada yang belajar cara menghipnosis lewat buku, situs di internet, Google, Youtube, belajar dari teman, dan ikut pelatihan.
Apa ada yang salah dengan teknik hipnosis yang mereka pelajari dan praktikkan? Apakah skrip yang mereka gunakan tidak efektif untuk klien tertentu? Atau mereka sedang sial jumpa klien yang tidak bisa dihipnosis?
Hal yang perlu diketahui, setiap insan pada dasarnya pasti dapat masuk kondisi hipnosis dengan mudah. Kondisi hipnosis adalah kondisi alamiah yang sering kita masuki atau alami. Dalam sehari, minimal dua kali kita mengalami kondisi hipnosis. Pertama, saat akan tidur. Untuk masuk kondisi tidur, kita akan melewati kondisi hipnosis yang disebut hypnagogic. Sedangkan saat bangun, untuk “naik” ke kesadaran normal, kita pasti melewati kondisi hypnopompic.
Kondisi hipnosis alamiah yang sering kita alami, walau kita tidak sadar bahwa ini adalah kondisi hipnosis, yaitu saat pikiran sadar kita menerawang, saat mengendarai mobil, saat pikiran fokus dan tercerap dalam aktivitas yang dilakukan, misal nonton tv, baca buku, atau berolahraga.
Kondisi hipnosis yang cukup dalam, yang terjadi secara alamiah, juga terjadi saat kita tidak bisa menemukan atau melihat benda, misal kunci, pen, atau kacamata, padahal benda ini ada di depan kita. Kondisi hipnosis yang lebih dalam lagi, yang juga terjadi secara alamiah adalah saat kita mengalami luka tertentu namun kita tidak merasakan atau menyadarinya. Baru pada saat mandi, luka ini terasa perih.
Kondisi hipnosis yang dijelaskan di atas terjadi secara alamiah tanpa perlu induksi formal. Dengan demikian, ini mementahkan pendapat atau asumsi bahwa ada individu yang sulit atau tidak bisa dihipnosis. Intinya, semua orang pasti bisa masuk kondisi hipnosis.
Dalam dunia hipnosis dikenal sepuluh teknik dasar induksi. Dari sepuluh teknik dasar ini lahir beragam varian teknik hipnosis, termasuk sangat banyak skrip hipnosis.
Bila kita cermati, seringkali teknik atau skrip yang sama, saat dipraktikkan atau digunakan oleh operator yang berbeda, hasilnya tidak sama. Ada yang dapat dengan mudah membimbing klien masuk kondisi hipnosis yang dalam. Ada juga yang telah berusaha berulangkali menggunakan skrip atau teknik yang sama namun gagal total.
Lalu, apa yang sebenarnya faktor penentu keberhasilan melakukan hipnosis?
Hipnosis, lebih tepatnya, proses hipnosis bukan sekedar teknik atau skrip. Inilah kesalahan paling mendasar yang sering dialami oleh kebanyakan hipnoterapis. Mereka berpikir bila sudah belajar teknik atau punya skrip yang “ampuh” maka mereka bisa menghipnosis siapa saja. Kenyataannya tidak demikian. Bahkan teknik induksi kejut (shock induction) yang dianggap paling ampuh untuk menghipnosis klien seringkali gagal.
Ada hal penting dan mendasar yang menjadi kunci keberhasilan hipnosis yang sering diabaikan. Dan ini berlaku universal, dengan siapa, kapan, dan di mana saja.
Berbicara tentang hipnosis sejatinya membahas interaksi dua atau lebih individu dalam upaya mencapai tujuan yang sama. Hipnoterapis membimbing klien masuk kondisi hipnosis dan klien bersedia dan berharap masuk kondisi hipnosis.
Untuk bisa melakukan induksi atau hipnosis dengan efektif membutuhkan prakondisi berupa pemahaman akan proses yang dijalani, saling pengertian antara operator dan klien, kepercayaan klien pada operator dan sebaliknya, perasaan mampu baik pada diri operator maupun klien, pengharapan (yang tinggi) untuk masuk ke kondisi hipnosis, motivasi, otoritas, relasi, dan ketiadaan rasa takut.
Bila syarat di atas telah terpenuhi, teknik apapun, dapat dengan mudah dan pasti membawa klien masuk kondisi hipnosis yang dalam. Bahkan, bila motivasi klien untuk masuk kondisi hipnosis cukup tinggi, operator hanya perlu meminta klien menutup mata dan meniatkan masuk, klien pasti masuk dengan sendirinya ke kondisi hipnosis, tanpa operator melakukan apapun.
Proses belajar atau pelatihan hipnosis yang semata-mata hanya menekankan teknik atau skrip tanpa memerhatikan prakondisi yang dijelaskan di atas niscaya tidak akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Seorang Sahabat minta saran saya agar ia bisa langsing tanpa perlu jalani sesi hipnoterapi, ikut training, diet atau mengubah kebiasaan makan, minum obat pelangsing, olahraga dll.
Hmm... apa bisa ya? Intinya Sahabat ini tidak mau repot. Ia mau cara instan untuk turunkan berat badan.
Semula saya hendak sarankan ia menghubungi rekan sejawat saya, Ibu Kristin Liu, penulis buku Quantum Slimming. Namun karena sejak awal ia sudah menyatakan tidak mau hipnoterapi atau training, saya perlu beri saran lain.
Setelah berpikir sejenak saya jawab, "Perubahan butuh upaya sadar. Untuk menjadi langsing tentu Anda perlu melakukan perubahan. Sesedikit apapun, harus ada perubahan. Kondisi Anda saat ini adalah hasil dari kebiasaan lama. Untuk menjadi langsing, Anda butuh kebiasaan baru."
"Ya, tapi saya tidak mau cara yang sulit. Kalau ada cara mudah, mengapa harus bersusah payah," ia gigih dengan keinginannya.
Setelah berpikir sedikit lebih lama akhirnya saya berkata,"Saya akan beritahu satu cara mudah untuk langsing. Tapi saya minta Anda berjanji untuk melakukannya sepenuh hati, tanpa ditawar. Anda bersedia?"
"Ya, sangat bersedia. Asalkan tidak diet, tidak olahraga, tidak perlu terapi, atau minum obat," jawabnya mantap sambil senyum dan mata berbinar seperti anak kecil dapat mainan baru.
"Saran saya sangat mudah. Ini yang perlu Anda lakukan. Mulai sekarang dan seterusnya setiap kali Anda makan atau minum, apapun itu, Anda melakukannya dengan penuh kesadaran. Anda menyadari apa yang Anda makan atau minum. Saat makan, Anda hanya makan. Anda tidak boleh melakukan kegiatan lain seperti main HP atau gawai lainnya, baca berita di media sosial, baca koran atau majalah, berbincang dengan teman, nonton televisi, atau apapun. Intinya, saat makan, Anda memberi 100% perhatiannya pada kegiatan makan, Anda menyadari, merasakan, dan menikmati sepenuhnya rasa dan aroma makanan atau minuman Anda. Anda sadari, bila ada rasa manis, seberapa manis. Bila ada rasa pedas, seberapa pedas. Bila ada rasa asin, seberapa asin. Demikian pula rasa-rasa lainnya, termasuk teksturnya. Dan saya minta Anda rasakan perut Anda terisi perlahan-lahan. Saat perut terisi dan Anda merasa kenyang, Anda harus berhenti makan. Tidak boleh lanjut," demikian saran saya padanya.
"Hanya ini saja? Menyadari saat saya makan. Tidak ada yang lain," tanyanya penasaran dan sambil senyum sumringah. Saya tahu apa yang akan ia alami beberapa hari ke depan. Saran yang tampak sederhana atau mudah ini, hmm... nanti bila dipraktikkan akan terasa sekali butuh keseriusan dan juga kegigihan.
"Ya, hanya ini saja. Mudah, kan?" saya balik bertanya sambil tersenyum. Benar, dua hari kemudian Sahabat ini menghubungi saya dan mengeluh bahwa saran saya cukup sulit untuk dilakukan. Ia minta saran lain.
Saya tahu benar bahwa ia pasti mengalami kesulitan, di awal proses ini. Mengapa? Yang saya minta ia lakukan sebenarnya mengubah kebiasaan. Selama ini ia makan tanpa menyadari apa yang ia makan. Ia, sama seperti orang pada umumnya, tidak sadar kapan lambung sudah terisi penuh dengan makanan.
Tujuan saya meminta ia makan dengan penuh kesadaran adalah untuk melatih dirinya mengendalikan diri. Saya tahu, dari pengamatan dan pengalaman para klien, saat ini orang cenderung sibuk main HP atau gawai, sibuk WA, dll, saat makan. Tidak terkecuali Sahabat saya ini.
Tentu ini berat baginya. Bayangkan, kebiasaan yang telah ia lakukan sekian lama tiba-tiba berhenti atau dengan sengaja dihentikan.
Alasan lain, yang sebenarnya adalah alasan utama saya minta ia melakukan proses makan dengan penuh kesadaran, adalah untuk melatih dirinya tahu kapan ia merasa kenyang. Salah satu sebab berat badan naik adalah kita makan dengan cepat, tidak sadar atau tahu bila sudah kenyang, dan kita terus makan hingga kekenyangan. Akibatnya, tanpa disadari kita sering makan berlebih.
Lambung kita dapat menampung hingga empat liter atau sekitar tujuh belas gelas air. Namun, perasaan kenyang bukan disebabkan oleh perut terisi penuh. Perasaan kenyang adalah hasil dari reaksi otak terhadap berbagai senyawa kimiawi yang dilepas saat lambung terisi makanan atau minuman.
Otak butuh waktu sekitar 20 menit untuk mengenali kehadiran beragam senyawa kimiawi ini. Usai makan, perasaan kenyang terus naik dalam waktu antara 10 hingga 30 menit. Perasaan ini terus kita rasakan sampai sekitar tiga hingga lima jam kemudian.
Saat senyawa-senyawa kimiawi di lambung berangsur berkurang, kita mulai merasa lapar. Saat kita tidak atau belum merasa kenyang usai makan, sadari hal ini, dan berhentilah makan. Tunggu sejenak. Perasaan kenyang ini akan mulai meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah senyawa kimiawi di lambung.
"Terus lakukan saran saya. Ini sangat mudah. Anda pasti bisa melakukannya. Ingat, ini saran paling mudah untuk langsing lho. Daripada Anda olahraga, diet, minum obat, dll. Bila Anda tetap mengalami kesulitan, sebaiknya Anda minta bantuan profesional," demikian pesan saya untuknya.
Sekitar tiga minggu kemudian Sahabat ini menghubungi saya lagi. Ia beri kabar bahwa setelah menjalani saran saya, walau dengan agak memaksa diri, dalam kurun waktu dua minggu ini berat badannya turun tiga kilogram. Namun setelahnya naik lagi.
Saya tanya apa yang terjadi? Ternyata ia kembali ke pola lama. Sambil makan ia sibuk main HP dan baca berita di media sosial. Umumnya, mereka yang menjalankan saran saya di atas dengan sungguh-sungguh pasti berat badannya turun. Dan tentu, saat mereka kembali ke pola lama, otomatis berat badannya pasti naik kembali.
Berhubung Sahabat ini mengalami kesulitan, saya sarankan ia segera minta bantuan profesional, khususnya hipnoterapis klinis.
Demikianlah kenyataannya.....
Istilah kontrak hipnosis saat ini cukup sering digunakan dalam dunia hipnoterapi. Namun apa sih sebenarnya kontrak hipnosis ini? Siapa yang menciptakan istilah ini dan apa maksudnya?
Istilah kontrak hipnosis pertama kali disebut oleh Ernest Hilgard dalam bukunya yang berjudul Divided Consciousness: Multiple Controls in Human Thought and Actions (1977). Hilgard, melalui penelitiannya, hidden-observer experiment, menemukan bahwa pada pikiran manusia terdapat dua fungsi yang ia sebut dengan fungsi eksekutif (executive) dan pengawasan (monitoring). Kedua fungsi ini berhubungan dengan konsep pusat kendali (central control) yang dibentuk oleh dua subsistem.
Pada manusia normal, kedua subsistem ini diasumsikan berada di bawah suatu pusat kendali. Namun bila teraktivasi maka masing-masing subsistem bisa bekerja secara independen.
Fungsi eksekutif meliputi perencanaan tujuan, memulai tindakan untuk mencapai tujuan, dan mempertahankan tindakan untuk mengatasi berbagai hambatan. Fungsi pengawasan adalah berupa umpan balik yang selalu mengamati dan mengawasi apa yang sedang terjadi.
Pengawas, atau bagian dari pikiran yang melakukan fungsi pengawasan, mengamati secara selektif, memilih hanya mengamati hal tertentu saja dan mengabaikan hal lain. Fungsi pengawasan juga bersifat kritis (critical) dan memberi penilaian (judgement).
Kedua fungsi ini tidak dapat dipisahkan secara tegas karena tindakan atau upaya untuk memisahkan fungsi ini akan langsung mendapat pengawasan, dengan catatan, si individu berfungsi normal dan harmonis.
Namun, dalam waktu dan kondisi tertentu kedua fungsi ini bisa bekerja tidak seimbang, fungsi pengawasan konflik dengan fungsi eksekutif, mengakibatkan disonansi kognitif dan disosiasi, fungsi yang satu tidak tahu apa yang sedang terjadi dan dilakukan oleh fungsi yang lain.
Saat seseorang mengalami kondisi hipnosis terjadi disosiasi yang memungkinkan proses kognisi berjalan simultan pada beberapa level dan dalam arah yang berbeda. Dalam kondisi ini terjadi pemisahan yang tegas dan jelas antara fungsi eksekutif dan fungsi pengawasan.
Pengalaman ini terjadi dalam hubungan interpersonal antara terapis dan klien dan disebut sebagai kontrak hipnosis.
Apa yang sebenarnya terjadi saat terapis dan klien sepakat menjalin kontrak hipnosis?
Saat kontrak hipnosis disetujui para pihak, terapis dan klien, maka klien “setuju” untuk sementara waktu “menghentikan” fungsi pengawasan terhadap berbagai perilaku yang diciptakan atau dihasilkan oleh fungsi eksekutif. Dengan demikian fungsi pengawasan ini tidak akan mempertanyakan, menganalisis, atau memprotes hal-hal yang terjadi atau muncul selama proses hipnosis dan terapi berlangsung, yang tidak sejalan dengan logika umum.
Hipnotis modern memandang kontrak hipnosis sebagai pembagian fungsi eksekutif tanggung jawab bersama, antara terapis dan klien. Hal ini berbeda dengan pandangan sebelumnya yang menyatakan bahwa hipnosis adalah penguasaan pikiran klien / subjek oleh hipnotis.
Saat klien telah setuju “menandatangani” kontrak hipnosis maka ia setuju untuk melepas sebagai kendali, mengurangi fungsi pengawasan, sehingga memungkinkan terjadinya pemrosesan data yang terpisah dan berlangsung pararel, yang secara kognitif inkonsisten satu dengan yang lain bila pemrosesan ini dilakukan dalam kondisi normal.
Kondisi inilah yang oleh Orne (1959,1979) disebut dengan trance logic, yaitu kemampuan klien, dalam kondisi hipnosis, untuk secara bebas mencampur /menggabungkan, dan memanipulasi persepsi yang berasal dari kondisi riil dan persepsi yang berasal dari imajinasinya.
Contoh konkritnya begini. Saat seseorang dalam kondisi hipnosis maka pada level kedalaman tertentu ia bisa mengalami kondisi positive visual hallucination. Hipnotis bisa memberikan sugesti yang bila dijalankan oleh pikiran klien, akan bisa membuat klien melihat ada dua hipnotis yang duduk di depannya. Hipnotis yang satu adalah yang riil dan yang satunya lagi adalah hasil imajinasi (halusinasi) klien. Dan klien menerima hal ini sebagai hal yang wajar dan benar karena pikirannya mengijinkan hal ini terjadi.
Saat ini marak diberitakan tentang LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Ramai yang angkat bicara, mulai dari pemuka agama, psikolog, psikiater, dokter, artis, politikus, menteri, akademisi, sampai masyarakat awam. Ada yang pro, kontra, dan netral, dengan segala alasan dan argumentasinya.
Artikel ini ditulis tidak dengan tujuan lebih meramaikan pembahasan LGBT yang sudah cukup marak. Artikel ini bertujuan untuk berbagi kisah dan pengalaman terapi yang kami, hipnoterapis AWGI, lakukan pada klien LGBT, sehingga masyarakat dapat memahami LGBT dari perspektif lain.
Ada yang mengatakan bahwa LGBT disebabkan oleh masalah pada fisik otak dan tidak bisa disembuhkan. Ada juga yang menyatakan bahwa ini disebabkan faktor genetik atau turunan. Beberapa pihak berpendapat bahwa ini adalah kutukan. Terdapat beragam pendapat tentang penyebab LGBT. Mana yang benar?
Bahasan artikel ini semata-mata bersandar pada teori pikiran bawah sadar, aplikasi hipnoterapi klinis dalam membantu klien LGBT, dan temuan hal-hal yang menjadi penyebab atau memicu perilaku LGBT. Untuk menulis artikel ini saya menggunakan data klien yang pernah saya tangani dan juga data dari rekan sejawat hipnoterapis AWGI yang pernah menangani klien LGBT dalam kurun waktu mulai tahun 2008 sampai 2015.
Walau saya mendapat data dari para hipnoterapis AWGI, tidak berarti kami berbagi informasi tentang klien. Kerahasiaan klien sepenuhnya terjaga. Informasi yang saya terima hanya berupa usia, masalah, dan apa faktor penyebab perilaku LGBT.
Kami memahami LGBT sebagai satu bentuk perilaku yang dikendalikan pikiran bawah sadar (PBS). PBS memunculkan perilaku spesifik karena memiliki tujuan yang ingin ia capai. Tujuan ini sepenuhnya ditentukan oleh PBS dan belum tentu sejalan dengan atau seperti yang diinginkan oleh pikiran sadar (PS).
Salah satu fungsi utama PBS adalah melindungi individu, dari hal-hal yang ia (PBS) pandang, rasa, yakini, dan percaya merugikan dan atau membahayakan keselamatan hidup dan atau kesejahteraan fisik, mental, dan emosi individu, menurut cara yang PBS pandang paling baik untuk individu.
Dan fungsi utama ini sejalan dengan salah satu hukum kerja PBS yang menyatakan bahwa PBS bergerak menuju rasa senang (pleasure) dan menghindari rasa sakit (pain). Satu hal yang perlu diperjelas di sini yaitu cara PBS memaknai rasa senang dan rasa sakit berbeda dengan cara yang digunakan PS.
Hal-hal yang membuat seseorang merasa senang, nyaman, enak, bahagia baik di level fisik, mental, dan atau emosi oleh PS dimaknai sebagai rasa senang (pleasure). Sebaliknya, hal-hal yang mengakibatkan rasa tidak enak, menyakitkan, oleh PS dimaknai sebagai rasa sakit (pain). Pemaknaan inilah yang kita kenal dan pahami sebagai rasa sakit dan rasa senang.
Namun, ini berbeda di level PBS. Bagi PBS, yang dimaksud dengan rasa senang (pleasure) adalah segala hal yang ia kenal (known), dan rasa sakit (pain) adalah segala hal yang tidak ia kenal (unknown). Hal yang oleh PS dimaknai menyakitkan, namun bila dikenal oleh PBS maka PBS memaknainya sebagai rasa senang. Sebaliknya, hal yang oleh PS dimaknai menyenangkan, bila ini tidak dikenal oleh PBS, maka PBS memaknainya sebagai menyakitkan.
Hal yang membuat ini semua menjadi semakin menarik yaitu kekuatan PBS dalam memengaruhi dan mengendalikan individu bila dibandingkan dengan PS adalah sembilan puluh sembilan kali berbanding satu. Dengan demikian individu, tanpa intervensi secara sadar, sepenuhnya didikte oleh PBS.
Hipnoterapis AWGI telah banyak menangani klien LGBT. Ada yang jumpa terapis karena desakan orangtua atau keluarga. Ada juga yang datang atas kesadarannya sendiri karena merasa tidak nyaman dengan kondisinya.
Satu hal yang pasti, kami tidak memandang LGBT sebagai satu bentuk penyakit atau gangguan kejiwaan. Selaku hipnoterapis kami tidak boleh melakukan diagnosa karena memang tidak dilatih atau tersertifikasi untuk tujuan ini. Kami memandang LGBT sebagai satu bentuk perilaku. Bila Anda teliti membaca tulisan ini, sejak dari awal saya tidak pernah menggunakan istilah “penderita LGBT”. Saya menggunakan istilah “klien LGBT”. Berdasar paradigma ini kami dapat membantu klien LGBT seperti yang mereka harapkan, tanpa melakukan penghakiman, namun dengan dasar welas asih dalam upaya membantu sesama.
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang telah kami tangani dan berhasil dibantu untuk kembali normal seperti yang klien harapkan. Akar masalah kami temukan di PBS klien menggunakan teknik hipnoanalisis dalam kondisi hipnosis dalam (profound somnambulism), bukan melalui sesi wawancara dalam kondisi sadar normal. Dalam artikel ini saya sengaja tidak membahas caranya karena akan sangat teknis.
Seringkali apa yang diperkirakan menjadi akar masalah atau pemicu perilaku LGBT, menurut klien atau keluarga, ternyata sama sekali berbeda dengan yang ditemukan di PBS klien. Umumnya klien sama sekali tidak tahu apa yang menjadi penyebab atau pendorong perilaku LGBT.
|
No |
Masalah Klien |
Akar Masalah |
|
1 |
Pria, 27 tahun, ingin operasi kelamin menjadi wanita. |
Tidak mendapat perhatian dari kedua orangtua, terutama ibu. Saat SD dan SMP sering diolok sebagai banci. Saat klien berpura-pura berperan sebagai wanita, ia mendapat perhatian dari lingkungan. Hasil terapi, klien memutuskan tidak jadi operasi kelamin. |
|
2 |
Wanita 31 tahun, menikah punya dua anak, ingin jadi pria. |
Ayah klien menolaknya saat ia lahir sebagai anak perempuan. Ayah berharap dapat anak laki. Sejak kecil klien diperlakukan seperti anak laki. Klien kurang mendapat kasih sayang dari ayah. |
|
3 |
Pria, 19 tahun, gay. |
Saat kecil kurang kasih sayang, terutama dari ayah. Pernah dipukul dan disiksa ibunya sehingga menyimpulkan semua wanita jahat. Saat dewasa sempat pacaran dengan wanita beberapa kali tapi putus semua. Akhirnya memutuskan pacaran dengan pria. Hasil terapi, klien kembali menjadi heteroseks. |
|
4 |
Pria, usia 47 tahun, menikah, punya empat anak, kecenderungan biseksual. |
Hubungan buruk dengan ayah di masa kecil hingga dewasa. Hasil terapi baik. |
|
5 |
Wanita, usia 23 tahun, bujangan, biseksual |
Memiliki kemarahan sangat kuat terhadap ayah kandung sejak balita. Sebagai anak tunggal sangat dimanja, cenderung kabur dari masalah. Ketika pacar laki-laki menyebalkan lalu putus, klien berganti pacar perempuan.Begitu pula sebaliknya.Hasil terapi baik, menjadi heteroseks, dan baru saja menikah. |
|
6 |
Pria, usia 41 tahun, menikah dan punya satu anak, biseksual. |
Saat SD mengalami pelecehan seksual oleh pembantu rumah tangga laki-laki maupun perempuan.Hasil terapi baik, menjadi lebih macho dalam sikap dan perilaku. |
|
7 |
Pria usia 28 tahun, gay, masih bujangan. |
Menjadi gay gara-gara dalam perjalanan naik travel ia digerayangi kemaluannya oleh pria homo tanpa berani menolak karena tidak ingin membuat malu dan bikin keributan. Hasil terapi baik, kembali menjadi heteroseks. |
|
8 |
Pria 43 tahun, menikah, punya 2 anak, biseksual. |
Sejak kecil dibilang banci oleh keluarga dan orang kampung. Pengalaman seksual pertama saat usia 25 tahun dengan pria, teman kerja. Hasil terapi baik, cara jalan, suara dan bahasa tubuh berubah signifikan. |
|
9 |
Pria, usia 35 tahun, gay. |
Saat remaja mengalami pelecehan seksual oleh figur otoritas pria. Hasil terapi baik. |
|
10 |
Wanita 26 tahun, lesbi. |
Penolakan sejak dalam kandungan oleh ayahnya, penolakan saat klien berusia satu hari oleh ayahnya, saat kecil tidak boleh main boneka tapi diberi mainan gundu dan bola sepak, dipanggil dengan nama laki oleh guru dan teman-temannya. Hasil terapi, klien putus dengan pacar wanita dan menjalin relasi dengan pria. |
|
11 |
Pria, usia 27 tahun, bujangan, gay. |
Mengalami pelecehan seksual oleh sopirnya saat masih TK. |
|
12 |
Pria, usia 34 tahun, gay. |
Waktu SD diejek dan dibilang banci atau seperti perempuan. Hasil terapi, klien kembali normal sebagai pria. |
|
13 |
Wanita, 24 tahun, lesbian. |
Ditolak oleh ayah dan nenek sejak dalam kandungan karena yang diinginkan adalah anak laki. Hasil terapi, klien pacaran dengan pria dan tidak lagi terangsang saat melihat wanita. |
|
14 |
Pria, 29 tahun, gay.
|
Saat SD trauma melihat pertengkaran orangtua yang intens dan terus menerus. Saat SMP teman-teman mengolok ia seperti perempuan. Ia juga tidak mendapat kasih sayang terutama dari ayah. Hasil terapi, klien menjalin relasi dengan wanita. |
|
15 |
Wanita, 34 tahun, lesbi.
|
Saat balita dipangku tantenya dan dia menggosokan alat kelamin ke paha tante, muncul rasa nikmat. Hasil terapi, klien memutuskan hubungan dengan wanita dan sekarang pacaran dengan pria. |
|
16 |
Pria, 20 tahun, gay
|
Saat kecil sering disebut bencong, di sekolah sering di-bully, kurang kasih sayang ayah sehingga sangat nyaman bila dekat laki-laki. Hasil terapi, klien mulai menyukai wanita. |
|
17 |
Wanita, 29 tahun, lesbian |
Klien pernah mengalami pelecehan seksual berat oleh pacar pertamanya. Walau merasa marah dan terluka, secara fisik klien merasakan nikmat. Klien ingin mengulangi perasaan nikmat namun takut hamil. Untuk itu klien pacaran dengan wanita. Hasil terapi, klien putus dengan pacar wanita dan menjalin relasi dengan pria. |
Dari contoh kasus yang dipaparkan di atas tampak jelas bahwa perilaku LGBT adalah akibat dari satu atau beberapa sebab spesifik yang klien alami saat sejak dalam kandungan dan atau di masa kecil, biasanya sampai usia sekitar 12 tahun.
Kejadian ini membekas di PBS klien karena mengandung emosi intens. Saat klien berulangkali mengalami kejadian yang sama atau mirip, misal penolakan oleh orangtua, diolok banci, anak laki tapi diperlakukan sebagai perempuan, atau anak perempuan diperlakukan sebagai laki, pengalaman ini mengakibatkan munculnya dorongan dari PBS yang memengaruhi perilakunya.
Bila seorang anak laki mengalami kekerasan baik fisik, verbal, maupun emosi oleh ayahnya, maka ia pasti bertumbuh menjadi individu yang haus kasih sayang pria dewasa.
Sesuai dengan sifat dan fungsi PBS yang bertujuan memberikan yang terbaik untuk individu, menurut pemikiran dan persepsi PBS, maka PBS akan mendorong individu untuk mendapatkan kasih sayang dari pria lain, sebagai pengganti sosok ayah. Dorongan ini, karena berasal dari PBS, tidak disadari individu. Perilaku inilah yang disebut gay.
Sama dengan halnya, pada contoh di atas, wanita yang sudah berkeluarga, punya anak, namun masih ingin menjadi pria. Dorongan untuk menjadi pria cukup kuat dalam dirinya sehingga sangat mengganggu hidupnya.
Saat saya mengatakan bahwa secara fisik ia normal, buktinya bisa punya anak, mampu menikmati hubungan seks dengan baik, klien tetap bersikeras bahwa ia tetap ingin menjadi pria.
Barulah setelah dilakukan penelusuran di PBS klien, akhirnya diketahui bahwa tujuan ia ingin menjadi pria adalah demi mendapat pengakuan dan kasih sayang dari ayahnya, yang tidak ia dapatkan sejak kecil.
Saat pengalaman ini berhasil diproses, secara otomatis dorongan untuk menjadi pria juga sirna. Masih segar dalam ingatan saya, walau terapi ini dilakukan hampir 10 tahun lalu, usai terapi klien ini berkata, “Terima kasih ya Tuhan. Menjadi wanita adalah anugerah terbesar dalam hidup saya. Saya bahagia dan bangga menjadi wanita.”
Ada satu syarat penting yang harus dipenuhi saat membantu klien LGBT, sama seperti dalam penanganan kasus lainnya. Terapis harus mampu membimbing klien untuk menemukan peristiwa atau kejadian paling awal yang menjadi pemicu perilaku LGBT. Dan hampir di semua kasus, kejadian paling awal ini tidak dapat diingat oleh klien secara sadar. Bila kejadian paling awal ini tidak berhasil ditemukan, sebaik apapun proses terapi dilakukan, klien pasti akan kembali menjadi LGBT.
Dari pengalaman klinis membantu klien LGBT, berdasar data yang didapat saat wawancara dan juga dari proses terapi, perilaku LGBT tidak bisa atau sangat sulit disembuhkan hanya dengan terapi berbasis sugesti. Untuk membantu klien LGBT kembali normal dibutuhkan kerja yang lebih intensif, eksplorasi, reedukasi PBS, rekonstruksi memori, resolusi trauma, menghilangkan emosi negatif, dan banyak hal lain lagi.
Besar harapan saya, setelah membaca artikel ini, Anda kini punya pemahaman tentang LGBT dari perspektif yang berbeda, bahwa LGBT bukanlah aib, penyakit, atau sesuatu yang begitu buruk sehingga perlu dijauhi atau dikucilkan. Asalkan bukan karena faktor hormonal atau faktor fisik, LGBT bisa dibantu kembali normal dengan pendekatan terapi yang tepat.
Artikel ini bertujuan mengulas, dari sisi cara kerja pikiran, mengapa pengakuan pelaku tindak kejahatan tertentu, seperti yang sering dipublikasi media massa, sering berubah-ubah, tidak konsisten, sehingga disimpulkan pelaku tidak kooperatif dan berbohong.
Apakah benar pelaku berbohong?
Ada dua kemungkinan. Pertama, pelaku memang sengaja berbohong agar dianggap tidak bersalah guna membebaskan diri dari tuntutan hukum.
Kemungkinan lain, dan ini yang sangat bisa terjadi, pelaku berkata jujur tapi bohong atau bohong tapi jujur. Ini semua terkait erat dengan kondisi psikologis pelaku pada saat menjalani pemeriksaan oleh pihak berwajib. Secara spesifik saya akan mengulas dari sisi pikiran.
Hipnosis adalah kondisi kesadaran spesifik yang bisa terjadi dan dialami oleh individu secara alamiah atau secara sengaja. Bila secara sengaja, individu perlu dibantu masuk kondisi hipnosis melalui bimbingan. Secara formal ini disebut induksi.
Secara alamiah individu masuk kondisi hipnosis, seringkali tanpa ia sadari, karena beberapa sebab berikut:
- mengalami emosi intens, baik emosi positi atau negatif.
- mengalami tekanan baik secara fisik dan terutama mental dan emosi.
- berhadapan dengan sosok yang dipandang punya otoritas tinggi.
- tubuh lelah, bisa karena kurang tidur atau kurang istirahat.
- lapar.
- dalam kondisi genting.
- pendarahan.
- dll.
Berbeda dengan pemahaman awam, parameter penentu kondisi hipnosis sama sekali tidak mengacu pada kondisi fisik namun mental. Fisik bisa saja terlihat tegang atau tidak rileks namun individu sebenarnya berada dalam kondisi hipnosis yang (sangat) dalam.
Dalam keadaan stres atau tertekan, seseorang, yang dicurigai sebagai pelaku tindakan kejahatan tertentu, menjalani pemeriksaan secara marathon, dari pagi sampai sore atau bahkan malam hari, sebenarnya telah berada dalam kondisi hipnosis yang dalam.
Dalam kondisi hipnosis yang dalam seperti ini, pertanyaan yang diajukan haruslah dirancang dengan sangat hati-hati dan cermat karena akan sangat memengaruhi memori.
Mengapa? Karena dalam kondisi hipnosis dalam, semantik yang digunakan dalam pertanyaan, pengharapan si penanya, tekanan suara atau penekanan pada hal-hal tertentu saat bertanya akan direspon oleh pikiran bawah sadar orang yang diinterogasi dan menjadi memori palsu (false memory). Untuk jelasnya, saya berikan satu contoh yang terjadi di ruang praktik.
Seorang klien, sebut saja sebagai Ani, usia 35 tahun, merasa tidak nyaman bila berdekatan dengan pria. Ani tidak tahu mengapa ia merasa seperti ini. Saat ditanya oleh terapis apakah ia pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan dengan pria, saat masih kecil, Ani samar-samar mengingat kejadian saat ia masih di usia lima tahun. Saat itu ia berada di ruang keluarga bersama Om Budi. Apa yang terjadi, ia tidak tahu. Namun setiap kali muncul perasaan tidak nyaman bila berdekatan dengan pria, memori ini yang keluar.
Berbekal informasi ini, hipnoterapis yang tidak berpengalaman langsung melakukan regresi, membawa Ani mundur ke usia lima tahun dan berada di ruang keluarga. Berikut ini dialog antara terapis dan Ani saat terapi berlangsung dalam kondisi hipnosis dalam.
Terapis : Anda berada di ruang keluarga ya?
Ani : Ya.
Terapis : Ani sekarang usia lima tahun?
Ani : Ya.
Terapis : Ada Om Budi ya?
Ani : Ya.
Terapis : Apa yang Om Budi lakukan pada Ani?
Ani : Om Budi pegang tangan saya.
(Catatan: Ini pertanyaan yang bersifat mengarahkan (leading). Om Budi belum tentu melakukan sesuatu pada Ani. Namun karena terapis mengajukan pertanyaan ini, saat Ani dalam kondisi hipnosis dalam, apalagi dengan tekanan suara dan pengharapan bahwa memang benar Om Budi ini telah melakukan sesuatu pada Ani, maka pikiran bawah sadar Ani merespon dengan memunculkan kejadian di mana Om Budi benar sedang melakukan sesuatu pada Ani.)
Terapis : Om Budi ada pegang badan Ani?
Ani : Ya….
Terapis : Apa Om Budi pegang dan raba-raba paha Ani?
Ani : Ya….
(Catatan: Dengan cara bertanya seperti ini, yang sebenarnya terjadi, terapis menggunakan imajinasinya untuk mencipta memori palsu di dalam pikiran bawah sadar klien. Ini sangat berbahaya dan merugikan klien. Terapis bisa mencipta peristiwa pelecehan seksual yang sebenarnya tidak pernah terjadi menjadi benar-benar terjadi. Dan ini semua akhirnya terintegrasi ke dalam memori Ani.)
Bagaimana cara bertanya yang benar?
Kuncinya satu, terapis hanya boleh membimbing (guiding) tidak boleh mengarahkan (leading). Ini tentu butuh pengalaman dan penguasaan teknik regresi yang benar, keterampilan memilih semantik, tetap netral, dan tetap sadar apa saja yang ditanyakan pada klien.
Berikut ini adalah contoh proses yang benar saat mencari akar masalah. Setelah Ani dibimbing masuk kondisi hipnosis dalam, dengan teknik tertentu terapis menuntun pikiran bawah sadar Ani untuk mencari dan menemukan kejadian paling awal yang menjadi sumber masalah Ani.
Misalkan pikiran bawah sadar Ani menuntun Ani kembali ke kejadian di ruang keluarga, dan ini setelah dicek adalah benar kejadian paling awal, maka dialog antara terapis dan Ani seharusnya seperti berikut:
Terapis : Anda berada di mana?
Ani : Di ruang keluarga?
Terapis : Anda sendirian atau ada orang lain?
Ani : Ada Om Budi.
Terapis : Ceritakan apa yang terjadi?
Ani : Aku sama Om Budi sedang nonton tv. Di tv ada perempuan dikejar-kejar sama orang laki. Aku takut sekali.
Terapis : Terus…..?
Ani : Aku minta Om Budi matikan tv. Terus Om Budi matikan tv-nya.
Terapis : Terus….?
Ani : Terus aku ke kamar, tidur.
Pada skenario kedua, Om Budi sama sekali tidak melakukan apapun pada Ani. Ini sangat beda dengan skenario pertama.
Bila yang terjadi pada Ani adalah skenario pertama maka setelah terapi ia pasti “tahu” bahwa dulu ia pernah dilecehkan secara seksual oleh Om Budi. Ani tentu sangat yakin karena ini muncul dari pikiran bawah sadarnya. Yang ia tidak tahu atau sadari, memori ini muncul karena hasil rekayasa terapis yang tidak cakap, dan kejadian ini sebenarnya tidak pernah ada. Setelah terapi, muncul masalah baru. Ani marah dan benci pada Om Budi karena telah melecehkannya dulu.
Hal yang sama terjadi pada proses interogasi pelaku tindak kejahatan. Bedanya, pelaku ini masuk kondisi hipnosis dalam tanpa induksi formal. Dan interogator bisa secara tidak sengaja mencipta memori palsu di pikiran bawah sadar si pelaku yang menjalani interogasi.
Kondisi pikiran dan tubuh yang lelah, dan secara mental emosi labil, dapat mengakibatkan muncul pikiran tertentu, saat pelaku berusaha mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi sebelumnya. Pada saat ini bisa terjadi salah ingat. Dan sesuai sifat pikiran, apapun yang muncul, apalagi saat dalam kondisi hipnosis dalam, pasti terekam dengan sangat kuat di memori pikiran bawah sadar dan diterima sebagai relita.
Dan pada saat seseorang yang telah mengalami distorsi memori seperti ini bercerita atau diminta menceritakan kronologis kejadian, ia bisa bercerita jujur tapi bohong karena kejadian sesungguhnya tidak seperti itu atau ia bohong tapi jujur karena memang demikianlah data yang ada di memori pikiran bawah sadarnya.
Selain kondisi hipnosis dalam, ada proses lain yang bisa mengakibatkan distorsi memori yaitu sering diwawancara baik oleh televisi, radio, atau wartawan cetak. Pertanyaan yang diajukan umumnya sama. Dan bila ditanya berulangkali, dijawab dengan jawaban yang sama, data ini mengalami penguatan (reinforcement) sehingga semakin kuat. Bila data awal, yang sebenarnya salah, mengalami penguatan berulangkali akhirnya menjadi kebenaran di pikiran bawah sadar.
Apa solusinya?
Dengan teknik forensik hipnosis dapat dilakukan penggalian data orisinal sebelum terjadi distorsi atau memori palsu. Tentu akan sangat teknis untuk dijelaskan di sini. Namun intinya, memori seseorang dapat dikembalikan ke kondisi awal sehingga di dapat data yang asli. Ini tentu butuh kecakapan khusus dan tidak bisa dilakukan sembarangan.
Dengan teknik spesifik juga dapat dilakukan audit pada proses interogasi yang dialami seseorang. Tentu ini dilakukan di level pikiran bawah sadar. Bahkan audit juga dapat dilakukan pada proses forensik hipnosis.