The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Hipnosis forensik adalah salah satu cabang ilmu hipnosis yang fokus pada penggalian data/memori (memory retrieval) di pikiran bawah sadar subjek. Hipnosis forensik digunakan dalam penyidikan untuk membantu saksi mengingat kembali kejadian dan memberikan gambaran mengenai pelaku atau orang yang dicurigai sebagai pelaku.
Tidak semua upaya mengingat kembali suatu kejadian membutuhkan bantuan hipnosis forensik. Hipnosis forensik digunakan apabila semua upaya standar telah dilakukan dan saksi (korban) tetap tidak mampu mengingat kejadian, karena terjadi blocking yang mengakibatkan (selective) amnesia.
Satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh hipnoterapis, yang melakukan hipnosis forensik, yaitu ia tidak bisa membuat atau memaksa seorang tersangka untuk mengaku sebagai pelaku kejahatan karena hal ini tidak mungkin bisa dilakukan. Kasus persidangan pertama yang melibatkan hipnosis forensik adalah kasus Cornell vs Superior Court of San Diego di tahun 1959.
Proses melakukan hipnosis forensik mirip, namun berbeda, dengan proses mencari akar masalah dalam hipnoterapi. Dalam hipnoterapi, hipnoterapis membantu klien menemukan akar masalah yang mengakibatkan munculnya simtom umumnya dengan menggunakan teknik affect bridge yang dilanjutkan dengan age regression.
Dalam hipnosis forensik hipnoterapis tidak mencari akar masalah namun berusaha menggali data yang ada di pikiran bawah sadar subjek dengan menggunakan age regression ke spesific event, dalam hal ini ke segmen memori yang menyimpan data kejadian.
Dalam hipnoterapi data apa pun yang muncul, tergali, atau dimunculkan oleh pikiran bawah sadar, yang berhubungan dengan simtom, adalah “benar” karena berdasarkan realita subjektif klien, dan materi ini mempunyai validitas terapeutik. Hipnoterapis, dalam hal ini, tidak berkepentingan untuk menyelidiki validitas atau keabsahan data objektif. Hipnoterapis menggunakan data apapun yang diperoleh untuk melakukan restrukturisasi afektif dan kognitif demi kesembuhan klien.
Namun hal ini sangat berbeda dalam konteks hipnosis forensik. Penggalian data yang dilakukan dalam sesi hipnosis forensik tidak bertujuan untuk mencari akar masalah namun untuk mendapatkan penjelasan naratif dan deskriptif mengenai kejadian tertentu yang berhubungan dengan penyelidikan.
Walaupun mengggunakan hipnosis forensik tidak berarti dan juga tidak menjamin bahwa data yang berhasil digali adalah pasti data yang akurat dan benar. Berbagai riset yang dilakukan terhadap memori saksi mata dan kondisi hipermnesia menunjukkan bahwa memori bersifat rekonstruktif, yaitu tidak seperti video yang merekam kejadian apa adanya dan selanjutnya akan menampilkan hasil rekaman itu juga apa adanya (Bowers & Hilgard, 1988). Sebuah “memori” bisa sebagian berisi informasi apa adanya, bisa sebagiannya fantasi, atau bisa juga terkontaminasi oleh memori lainnya.
Ketidakuratan memori yang tergali atau diingat dipengaruhi oleh proses masuknya informasi ke memori (fase recording), fase penyimpanan data di memori (fase retention), dan saat penggalian data (fase retrieval).
Setiap fase ini rawan distorsi. Fase recording ini dipengaruhi banyak hal, antara lain kondisi mental dan emosi subjek saat mengalami kejadian dan juga dipengaruhi situasi dan kondisi lingkungan tempat terjadinya kejadian.
Fase retention adalah fase tersimpannya data di memori (pikiran bawah sadar). Dalam fase ini data tidak statis karena bisa mengalami distorsi, berkurang atau bertambah, karena mendapat pengaruh dari faktor eksternal, dan lebih sering karena faktor internal, yaitu data awal tercampur dengan data sebelumnya atau sesudahnya.
Fase penggalian data (retrieval) juga sangat berpengaruh pada data apa yang muncul dan seberapa besar distorsi yang terjadi. Di fase inilah hipnosis forensik dilakukan. Susunan kalimat, pilihan kata, tekanan dan intonasi suara, ekspektasi, dan bahasa tubuh hipnoterapis saat mengajukan pertanyaan kepada subjek sangat menentukan data apa yang akan keluar dari memori.
Amnesia adalah kondisi lupa sebagian atau menyeluruh terhadap suatu kejadian yang diakibatkan oleh shock, gangguan psikologis, kerusakan pada otak, atau sakit. Dalam konteks hipnoterapi amnesia terjadi karena faktor psikologis yaitu karena seseorang mengalami pengalaman traumatik yang bermuatan emosi negatif intens sehingga pikiran bawah sadar melakukan fungsi defense mechanism dengan menekan informasi ini ke bawah sadar agar tidak dapat diakses oleh pikiran sadar.
Saat hipnosis forensik dilakukan subjek akan mengalami hipermnesia yaitu meningkatnya daya ingat secara luar biasa sehingga bisa mengingat dengan detil kejadian atau pengalaman di masa lalu. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat hipnosis forensik tidak hanya berhenti di level hipermnesia namun harus bisa membawa subjek masuk ke kondisi revivifikasi atau mengalami kembali pengalaman atau kejadian sebelumnya, bukan sekedar mengingat.
Satu kondisi yang juga perlu diwaspadai dalam melakukan hipnosis forensik adalah kriptomnesia, yaitu suatu memori yang sudah terlupakan dan tiba-tiba muncul kembali tapi tidak dikenal sebagai sesuatu yang telah terjadi atau pernah dialami oleh klien. Umumnya memori ini muncul kembali dalam bentuk ide “orisinal” atau intuisi.
Hasil riset (Sheehan, 1988) menyatakan bahwa rasa percaya diri subjek dalam mempertahankan kebenaran informasi yang didapatkan melalui sesi hipnosis sama sekali tidak ada hubungannya dengan akurasi informasi itu.
Hipnosis sendiri tidak mendistorsi memori namun karena sifat subjek yang (sangat) sugestif, saat berada dalam kondisi deep hypnosis, membuatnya rentan terhadap sugesti dan bias yang diterimanya selama atau bahkan setelah proses hipnosis selesai. Distorsi memori dapat terjadi di luar atau di dalam kondisi hipnosis, seperti yang dinyatakan oleh Bowers dan Hilgard (1988), “considerable care is needed to avoid attributing to hypnosis problems that really belong to domain of memory per se”.
Subjek yang dihipnosis menceritakan memori mereka dengan penuh percaya diri. Hal ini mungkin diakibatkan oleh pikiran yang fokus, sebagai karakteristik hipnosis. Seringkali walaupun memori saksi mata ternyata telah terkontaminasi dan keliru mereka tetap menyampaikan hal yang mereka ingat dengan sangat percaya diri.
Konsensus mengenai hipnosis dan memori hingga saat ini adalah sebagai berikut:
1.Sugesti yang diberikan dalam kondisi hipnosis mampu meningkatkan daya ingat secara signifikan. Hipnosis, bila berdiri sendiri, tidak dapat mengakibatkan atau menghasilkan pengaruh apapun, bila tidak disertai pemberian sugesti yang sesuai.
2.Jumlah dan akurasi memori yang di-recall bergantung pada jenis materi yang diingat. Materi yang bermakna, mempunyai muatan emosi yang tinggi, seperti laporan mengenai seluruh kejadian dan seluruh kalimat, lebih mudah diingat daripada kata-kata atau angka-angka yang berdiri sendiri. Tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa hypermnesia efektif untuk me-retrieve/menggali keluar suku kata yang tidak bermakna.
3.Hipnosis mampu memfasilitasi mengingat materi yang mengakibatkan kecemasan.
4.Revivifikasi (mengalami kembali suatu kejadian) yang dilakukan melalui age regression umumnya jauh lebih efektif dan signifikan daripada teknik menceritakan kejadian yang dilakukan dalam kondisi hipermnesia.
5.Age regression tidak murni bersifat apa adanya. Materi yang didapat melalui regresi hingga usia delapan tahun bisa berisi informasi yang berasal dari masa sebelum dan sesudah usia ini dan bisa mewakili pandangan subjek yang dewasa atas apa yang disukainya saat ia berusia delapan tahun.
6.Baik hipermnesia dan age regression rentan terhadap ketidakuratan dan false memory.
Untuk melakukan hipnosis forensik tentunya ada persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan itu antara lain:
Siapa Yang Boleh Melakukan Hipnosis Forensik?
Idealnya hipnosis forensik dilakukan oleh dua pihak yang bekerja sama yaitu hipnoterapis dan penyidik. Hipnoterapis TIDAK BOLEH mengambil peran sebagai penyidik, demikian juga penyidik TIDAK BOLEH berperan sebagai hipnoterapis. Jika kedua peran ini dilakukan hanya oleh satu orang maka tekanan untuk memecahkan kasus yang sedang disidik akan menjadi masalah serius yang mengganggu jalan dan netralitas hipnosis forensik.
Penyidik yang melakuan investigasi sebaiknya juga memahami hipnosis dan hipnoterapi agar dapat mengajukan pertanyaan dengan pilihan kata, tekanan suara, tempo, dan intensitas emosi yang stabil.
Dalam sinergi antara hipnoterapis dan penyidik maka tugas utama hipnoterapis adalah membawa subjek masuk ke kondisi hipnosis yang dibutuhkan untuk hipnosis forensik dan selanjutnya penyidik yang melakukan investigasi.
Hipnoterapis yang melakukan hipnosis harus seorang praktisi yang benar-benar diakui kepakarannya, status yang jelas, mempunyai reputasi yang sangat baik dengan kredibilitas dan integritas yang tinggi, independen, dan sama sekali tidak ada hubungan baik personal maupun profesional dengan penyidik, penuntut, korban, atau pelaku kejahatan.
Untuk memastikan kualifikasi dan kecakapan hipnoterapis maka perlu diselidiki dari mana ia mendapatkan sertifikasi sebagai hipnoterapis, apa nama lembaga tempat ia belajar, sudah berapa lama ia praktik sebagai hipnoterapis, apakah ia hipnoterapis aktif, kasus apa saja yang telah ia tangani, teknik terapi apa yang biasa ia gunakan, dan apakah ia memiliki sertifikasi untuk melakukan hipnosis forensik?
Idealnya penyidik yang melakukan investigasi hanya tahu sedikit atau sama sekali tidak tahu mengenai kasus yang sedang dalam penyidikan. Hal ini bertujuan agar netralitas investigasi tetap terjaga dengan baik dan penyidik tidak mengajukan pertanyaan yang bersifat leading.
Siapa yang Menentukan Apakah Subjek Sudah Masuk Kondisi Hipnosis?
Yang berhak menentukan adalah hipnoterapis yang melakukan induksi. Hipnoterapis, berdasar pengalamannya, akan tahu apakah subjek sudah masuk ke kondisi hipnosis dalam atau belum, dengan menggunakan indikator baik berupa perubahan fisik maupun pada aspek mental subjek.
Hipnoterapis berpengalaman mampu membaca indikator kondisi hipnosis baik yang dialami oleh subjek yang mempunyai sugestibilitas fisik (physical suggestibility) maupun yang sugestibilitas emosi (emotional suggestibility).
Hipnoterapis yang tidak mengenal atau mengerti mengenai tipe sugestibilitas, karena tidak pernah mendapat pelatihan mengenai hal ini, pasti akan salah dalam mengindikasi kondisi kedalaman hipnosis subjek, dan ini akan sangat berpengaruh pada jalannya proses hipnosis forensik.
Salah satu cara yang paling efektif dan mudah untuk memonitor kedalaman relaksasi fisik dan pikiran, yang menunjukkan kedalaman hipnosis, adalah dengan menggunakan piranti canggih seperti GSR Meter dan EEG yang didesain khusus untuk tujuan ini. Kedua piranti ini dipasangkan pada tubuh subjek.
Rekaman Video Lengkap
Semua kontak atau komunikasi antara hipnoterapis, penyidik, dan subjek yang menjalani hipnosis forensik harus direkam mulai sejak mereka pertama kali bertemu hingga hipnosis forensik selesai dilakukan. Hal ini meliputi wawancara prahipnosis, wawancara/investigasi dalam kondisi hipnosis, dan diskusi pascahipnosis. Obrolan ringan sebelum atau sesudah hipnosis dapat menjadi sugesti prahipnosis (prehypnotic suggestions) dan sugesti pascahipnosis (posthypnotic suggestions) sehingga juga harus direkam.
Kamera video, dengan kualitas audio yang baik, yang digunakan untuk merekam harus bisa menunjukkan baik hipnoterapis, penyidik, maupun subjek yang dihipnosis secara bersamaan. Sebaiknya digunakan tiga buah kamera video. Kamera pertama digunakan untuk merekam baik hipnoterapis, penyidik, maupun subjek secara bersamaan. Kamera kedua hanya merekam hipnoterapis dan penyidik. Dan kamera ketiga hanya merekam subjek. Dengan demikian akan tampak jelas semua gerak-gerik, bahasa tubuh, dan gerakan wajah baik hipnoterapis, penyidik, maupun subjek.
Rekaman video harus menunjukkan waktu rekam berkelanjutan untuk memastikan jalannya sesi hipnosis forensik secara utuh. Apabila sesi hipnosis forensik menggunakan piranti seperti GSR Meter dan EEG maka rekaman video harus menampilkan pengukuran kedua alat ini dan pada saat bersamaan juga menampilkan subjek, sehingga apa yang terjadi atau dialami subjek bisa terlihat jelas pada pembacaan kedua alat ini secara real time.
Batasan Personel yang Boleh Hadir Selama Wawancara Dilakukan
Selama proses hipnosis forensik yang boleh ada di dalam ruang hanyalah hipnoterapis, penyidik, dan subjek, baik pada fase preinduksi, hipnosis, atau sesi pascahipnosis. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena kehadiran orang lain akan mempengaruhi jalannya hipnosis forensik.
Hipnoterapis yang hadir sebaiknya minimal 2 (dua) orang, jika memungkinkan tiga. Hipnoterapis ketiga, bersama pihak lain yang berkepentingan bisa menyaksikan jalannya wawancara melalui ruang observasi yang dibatasi dengan kaca satu arah atau melalui kamera CCTV yang dipasang tersembunyi agar wawancara bisa berlangsung alamiah apa adanya.
Tujuan dihadirkan dua hipnoterapis di dalam ruang wawancara adalah agar bisa saling membantu dan mencegah terjadinya proses yang tidak netral.
Jika misalnya ada masalah dengan kamera video atau dibutuhkan seorang teknisi untuk menjalankan kamera video yang digunakan untuk merekam jalannya wawancara maka teknisi ini haruslah orang yang sama sekali tidak tahu mengenai kasus yang sedang diselediki. Teknisi harus menyatakan hal ini secara tertulis.
Untuk kasus di mana subjeknya adalah anak kecil yang membutuhkan kehadiran orangtuanya, atau atas saran dokter atau psikolog, maka permintaan ini perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.
Kesehatan Fisik dan Mental Sebelum dan Sesudah Wawancara
Sebelum melakukan hipnosis forensik harus dilakukan pemeriksaan terhadap kondisi kesehatan subjek baik pada aspek fisik, mental, dan emosi untuk memastikan subjek berada dalam kondisi yang sehat untuk mengerti dan menjalani sesi wawancara sepenuhnya.
Tidak semua subjek bisa dengan mudah dibawa masuk ke kondisi deep hypnosis yang menjadi syarat untuk melakukan hipnosis forensik. Ada subjek yang membutuhkan hanya satu atau dua kali induksi dan bisa langsung masuk dengan cepat dan dalam, ada yang membutuhkan berkali-kali untuk mencapai kedalaman yang sesuai, bahkan ada yang sama sekali sulit masuk kondisi hipnosis dalam.
Subjek yang minum minuman alkohol, atau obat penenang, atau narkoba, atau kurang tidur malam sebelumnya, atau kurang sehat tidak bisa menjalani proses hipnosis forensik.
Pemeriksaan setelah wawancara juga perlu dilakukan jika ada indikasi korban atau saksi, yang menjadi subjek, membutuhkannya atau jika subjek meminta untuk dilakukan. Tindak lanjut ini bisa dilakukan oleh hipnoterapis, psikiater atau psikolog yang selama ini membantu atau menangani subjek, atau oleh seorang ahli lain yang praktik di kota tempat subjek tinggal. Hal ini penting dilakukan terutama bila saat proses hipnosis forensik muncul memori traumatik (repressed memory) yang tidak diingat sebelumnya.
Sebelum induksi hipnosis dilakukan, hipnoterapis dan atau penyidik harus mengumpulkan, dari korban atau saksi, penjelasan yang detil mengenai kejadian, berdasarkan ingatan mereka, dan dengan sangat hati-hati memastikan untuk tidak menambahkan data atau fakta baru baik melalui sugesti langsung atau tidak langsung.
Prosedur awal ini penting karena berguna sebagai baseline untuk landasan mengevaluasi memori subjek terhadap peristiwa itu sebelum dilakukan hipnosis yang mungkin akan mempengaruhi memori subjek.
Baik sebelum atau saat dalam kondisi hipnosis, subjek tidak boleh diberi sugesti yang menyatakan bahwa semua memori terekam secara sempurna dan akurat di otak, dan teknik tertentu dapat digunakan untuk mengakses dan mengeluarkan data yang tersimpan di memori sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya.
Bila sampai terjadi hal ini, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, maka sugesti yang masuk ke pikiran subjek membuat hampir semua subjek akan “mengingat” , dalam kondisi hipnosis, informasi yang kurang akurat, atau yakin bahwa apa yang ia ingat adalah hal yang benar.
Teknik Induksi Hipnosis dan Teknik Retrieval Memori Yang Tepat
Induksi hipnosis bisa dilakukan dengan menggunakan teknik standar, dengan memperhatikan tingkat dan jenis sugestibilitas subjek, yang dilanjutkan dengan uji kedalaman level hipnosis yang cukup untuk memastikan bahwa subjek benar-benar telah berada dalam kedalaman yang dibutuhkan untuk melakukan hipnosis forensik. Kedalaman hipnosis yang cukup sangat penting agar subjek bisa mengakses memori yang ada di pikiran bawah dengan mudah dan tanpa mengalami gangguan dari pikiran sadar.
Penggalian data dilakukan dengan meminta subjek menceritakan apa yang dialami. Pada tahap awal hipnoterapis/penyidik memulai wawancara dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat netral dan mengakses rangkaian memori menuju ke kejadian yang diselidiki. Hipnoterapis/penyidik hanya diperkenankan mengajukan pertanyaan yang bersifat guiding, tidak boleh yang bersifat leadingkarena akan mengakibatkan terjadinya false memory.
Saat subjek mulai bercerita maka tugas hipnoterapis/penyidik selanjutnya adalah mendengar dan mengajukan sesedikit mungkin pertanyaan. Bila subjek berhenti maka Hipnoterapis/penyidik bisa mengajukan komentar seperti, “Terus…..”, “Selanjutnya…..?”, “Hmm….”, yang menunjukkan bahwa Hipnoterapis/penyidik tertarik dengan apa yang diceritakan subjek. Dengan tidak banyak atau sering memberikan komentar yang tidak perlu maka Hipnoterapis/penyidik bisa mencegah terjadinya pengaruh langsung maupun tidak langsung melalui pilihan kata yang ada di dalam pertanyaan, komentar, atau melalui tekanan suaranya saat bertanya.
Hipnoterapis/penyidik tidak diperkenankan menunjukkan baik secara langsung maupun tidak langsung minatnya pada hal-hal tertentu yang disampaikan oleh subjek, dan atau melakukan tekanan agar subjek menceritakan sesuatu hal. Ketidakhati-hatian dalam memilih kata, tekanan suara, atau pertanyaan akan mengakibatkan bias pada data yang tergali keluar.
Komunikasi Dengan Hipnoterapis/Penyidik
Jika pengamat yang menyaksikan jalannya wawancara melalui kaca satu arah ingin berkomunikasi atau menyampaikan sesuatu pada hipnoterapis/penyidik maka hipnoterapis/penyidik bisa menghentikan wawancara namun hanya untuk waktu yang singkat, dengan tetap menyalakan semua kamera yang merekam jalannya wawancara. Komunikasi antara pengamat dan hipnoterapis/penyidik hanya boleh disampaikan secara tertulis.
Diskusi Pascahipnosis
Saat terminasi hipnosis atau segera setelahnya, saat subjek masih berada dalam kondisi hypersuggestible, hipnoterapis/penyidik perlu berhati-hati agar tidak memberikan sugesti pascahipnosis baik yang implisit maupun eksplisit yang berhubungan dengan memori subjek, saat tidak dalam kondisi hipnosis, mengenai peristiwa itu (misal: “Sekarang anda akan lebih mudah mengingat hal-hal yang tsebelumnya sulit atau tidak bisa anda ingat”).
Setelah subjek keluar dari kondisi hipnosis penting bagi hipnoterapis untuk melakukan eksplorasi terhadap pengalaman subjek selama sesi hipnosis. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai respon hipnosis subjek dan untuk mengetahui apakah subjek merasa hipnosis mempengaruhi memorinya.
Sebelum mengakhiri pertemuan hipnoterapis mengundang subjek untuk melakukan refleksi atas apa yang subjek yakini telah terjadi selama sesi hipnosis forensik, mengapa ia berpikir seperti itu, dan implikasinya.
Rekaman video baru boleh dihentikan bila hipnoterapis, penyidik, dan subjek telah berpisah dan semua wawancara pascahipnosis yang dilakukan kepada subjek telah disimpulkan.
Menghipnosis Tersangka
Subjek yang sebelumnya telah dihiposis sebagai saksi di kemudian hari bisa menjadi seseorang tersangka. Bila ini terjadi maka interogasi yang dilakukan pada subjek ini, dalam kondisi sadar setelah ia menjalani hipnosis forensik sebagai saksi, harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena memori saksi/tersangka bisa jadi telah mengalami perubahan saat sesi hipnosis sebelumnya. Selama sesi interogasi pihak berwenang mungkin secara sengaja atau tidak sengaja menggunakan informasi yang didapat di sesi hipnosis, khususnya informasi yang mengenai keberadaan subjek di lokasi kejadian, untuk mendapat pengakuannya.
Karena informasi yang didapat melalui sesi hipnosis mungkin telah mengalami penambahan, bukan informasi yang sebenarnya, maka saksi yang telah mengalami prosedur hipnosis akan lebih rawan terhadap interogasi yang dilakukan setelah sesi itu.
Untuk itu interogasi yang dilakukan, dalam kondisi sadar normal, terhadap saksi yang sebelumnya telah dihiposis harus direkam minimal rekaman audio dan lebih baik lagi dengan video. Rekaman ini penting untuk mengetahui apakah pengakuan yang disampaikan oleh tersangka didapat secara sukarela ataukah interogator menekankan pada pseudomemori yang tercipta saat sesi hipnosis untuk meyakinkan tersangka bahwa ia benar-benar berada di lokasi kejadia karena bila tidak ia tidak mungkin bisa menceritakan kejadian itu dengan detil.
Hipnoterapi saat ini telah berkembang pesat di tanah air. Banyak yang telah terbantu dengan hipnoterapi mengatasi beragam masalah yang berhubungan dengan emosi dan perilaku. Namun, masih ada juga yang sangat alergi atau sebisa mungkin menghindari hipnoterapi karena pemahaman yang kurang tepat. Salah satunya, hipnoterapi melanggar kehendak bebas.
Ada calon klien, pria usia 28 tahun, yang mengalami gangguan emosi berat sejak 10 tahun lalu akibat patah hati. Selama sepuluh tahun orangtuanya mencoba berbagai cara untuk bisa membantu anaknya mengatasi masalah ini. Namun hasilnya belum seperti diharapkan.
Salah satu anggota keluarga, yang kebetulan mengerti hipnoterapi, menyarankan agar anak ini dibawa ke hipnoterapis. Namun orangtuanya menolak. Beberapa kali disarankan ke hipnoterapis, orangtuanya bergeming. Saat ditanya mengapa ia tetap tidak mengijinkan anaknya dibantu dengan hipnoterapi, ia beragumentasi bahwa hipnoterapi melanggar kehendak bebas individu. Oleh sebab itu, hipnoterapi tidak baik dan harus dihindari.
Benarkah demikian? Benarkah hipnoterapi melanggar kehendak bebas seseorang? Apakah benar dalam proses terapi, klien dalam “penguasaan” dan “kendali” hipnoterapis sehingga tidak bisa berbuat apa-apa?
Untuk bisa memahami artikel ini dengan baik, perlu diperjelas terlebih dahulu makna kehendak bebas dan hipnoterapi.
Kehendak bebas adalah kemampuan untuk membuat keputusan dalam memilih bagaimana seseorang bertindak, bebas dalam menentukan perilaku, bebas dalam menentukan apa yang terbaik dari berbagai opsi yang ada, dalam kondisi sadar dan sepenuhnya bebas dari tekanan saat membuat keputusan.
Sedangkan hipnoterapi terdiri atas dua kata, hipnosis dan terapi. Hipnosis adalah kondisi kesadaran spesifik. Dengan demikian, hipnoterapi, menurut definisi Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, adalah terapi, bisa menggunakan teknik apa saja, yang dilakukan dalam kondisi kesadaran spesifik, terutama di kedalaman profound somnambulism.
Pemahaman yang kurang tepat tentang proses hipnoterapi mungkin didapat dari tayangan televisi dan juga berbagai publikasi media massa yang menggambarkan kondisi subjek yang lemah, tidak berdaya, seolah-olah di bawah kendali atau penguasaan operator.
Namun yang terjadi sebenarnya tidak seperti ini. Pengalaman klinis saya membantu klien sejak tahun 2005 dan juga berdasar pengalaman praktik para hipnoterapis AWGI yang, secara kolektif, telah menerapi lebih dari 100.000 klien, membuktikan bahwa dalam proses terapi klien sadar sepenuhnya, memegang kendali penuh atas apapun yang ia jawab atau pikir, dan dapat menghentikan terapi kapanpun ia kehendaki. Terapis tidak bisa memaksakan proses terapi tanpa persetujuan klien.
Berikut ini saya beri contoh konkrit dari pengalaman pribadi saya membantu klien. Seorang anak muda usia 20 tahun, sebut saja, Anto, datang ke saya dan minta diterapi agar bisa berhenti merokok. Sehari Anto menghabiskan tiga pak rokok.
Pertanyaan saya, “Apakah keputusan Anto untuk berhenti merokok adalah satu bentuk kehendak bebas?”
Jawabannya, "Ya, ini bentuk kehendak bebas Anto karena ia datang ke terapis atas inisiatifnya sendiri, bukan terapis yang minta Anto datang untuk diterapi."
Lalu, bagaimana proses terapi berjalan?
Berdasar informasi yang Anto tulis di Intake Form, saya mewawancarai Anto secara mendalam, dalam kondisi sadar normal. Yang saya tanyakan antara lain sudah berapa lama ia merokok, mengapa ia dulu merokok, mengapa saat ini ia memutuskan berhenti merokok, apakah ini keputusan yang ia buat sendiri secara sadar atau atas permintaan, desakan, rayuan, bujukan, paksaan atau tekanan orang lain.
Dari hasil wawancara saya dapatkan informasi bahwa keputusan berhenti merokok dibuat atas kesadaran Anto sendiri, tanpa pengaruh, paksaan, atau tekanan dari siapapun. Dengan demikian, sesuai definisi di atas, berhenti merokok adalah kehendak bebas Anto.
Setelah dirasa cukup mendapat data atau informasi yang dibutuhkan barulah saya mulai melakukan terapi. Tentu untuk melakukan terapi, sesuai protokol yang saya gunakan, Quantum Hypnotherapeutic Protocol (QHP), saya membimbing klien masuk ke kondisi profound somnambulism terlebih dahulu. Ini adalah syarat yang harus dipenuhi agar proses terapi berdasar QHP dapat berjalan lancar dan membuahkan hasil maksimal dan stabil untuk jangka panjang.
Setelah klien berada di kedalaman profound somnambulism, sebelum saya melakukan terapi, saya permisi dan mohon ijin kepada pikiran bawah sadar (PBS) klien apakah diperkenankan membantu klien. Untuk memastikan bahwa PBS klien setuju, saya mengulangi pertanyaan sampai tiga kali. Bila PBS klien tidak setuju atau tidak mengijinkan, apapun alasannya, terapi tidak boleh diteruskan.
Setelah mendapat ijin, saya berkomunikasi dengan PBS perihal keinginan Anto berhenti merokok. Dan saya sungguh kaget saat PBS menyatakan tidak setuju bila Anto berhenti total merokok. PBS hanya mengijinkan dikurangi menjadi satu pak per hari.
Ini tentu tidak sejalan dengan keinginan Anto. Anto datang minta dibantu untuk berhenti total. Sedangkan PBS hanya setuju bila dikurangi dari tiga menjadi satu pak per hari.
Saya tentu tidak bisa dan tidak boleh membuat keputusan untuk Anto. Jadi, saya bertanya dan mengkomunikasikan keinginan PBS kepada Anto. Selanjutnya Anto memutuskan dan setuju untuk tetap merokok, mengikuti permintaan PBS, tapi maksimal sehari hanya enam batang.
Setelah mendapat keputusan dari Anto, saya melakukan negosiasi dan reedukasi PBS. Akhirnya PBS setuju dengan keinginan Anto.
Dari cerita di atas, ada tiga pertanyaan penting untuk dijawab. Pertama, apakah proses terapi di atas menghormati atau melanggar kehendak bebas Anto? Kedua, sebenarnya kehendak bebas ini adalah ranah pikiran sadar atau bawah sadar? Ketiga, bila keinginan pikiran sadar dan bawah sadar berbeda, mana yang terapis ikuti?
Klien, dengan kehendak bebas datang ke terapis dan menyatakan mau berhenti merokok. Ternyata, PBS klien juga punya kehendak bebas yang berbeda. Lalu, yang mana sebenarnya kehendak bebas yang benar-benar kehendak bebas?
Saya pernah diminta menerapi anak muda, juga untuk berhenti merokok. Yang minta anak ini diterapi adalah mamanya. Sedangkan si anak sendiri belum mau berhenti merokok.
Apa yang saya lakukan? Apakah saya menerima order dari si Ibu?
Walau yang membayar biaya terapi adalah ibunya, saya tegas menolak permintaan ini. Bila saya menerima permintaan ini, inilah yang disebut dengan pelanggaran kehendak bebas.
Ada lagi kasus di mana pria muda, usia sekitar 30 tahun, datang ke saya karena diminta oleh tantenya, yang kebetulan kenal saya. Masalahnya, anak muda ini gay.
Saat jumpa saya, pertanyaan yang saya ajukan padanya, “Apakah Anda mau berubah dari gay dan menjadi pria seperti yang diharapkan keluarga Anda? Apakah Anda merasa nyaman dan bahagia dengan kondisi Anda?”
Saya mendapat jawaban tegas darinya, “Saya merasa sangat nyaman dengan diri saya dan belum berpikir untuk berubah.”
Saya katakan padanya bahwa saya menghargai keputusannya dan tidak perlu melakukan apapun. Kami hanya diskusi selama hampir dua jam.
Masih ada banyak contoh kasus berbeda namun pendekatan yang kami gunakan sama. Intinya, protokol QHP yang saya gunakan dan juga digunakan hipnoterapis AWGI sangat menghormati kehendak bebas setiap klien.
Dari uraian di atas sangat jelas bahwa hipnoterapi yang kami praktikkan sangat menjunjung tinggi dan menghormati kehendak bebas klien.
Menjadi penyembuh adalah profesi mulia. Untuk mampu menjadi penyembuh profesional, cakap, andal, dan efektif dalam membantu sesama mengatasi masalah dibutuhkan persyaratan teknis dan nonteknis.
Salah satu persyaratan nonteknis yang sangat penting namun orang sering abai, mungkin karena tidak disadari atau diketahui, adalah kondisi pikiran, suasana hati, dan emosi saat membantu klien atau pasien. Penguasaan teknik atau modalitas terapi sebaik apapun, bila dipraktikkan tidak dalam kondisi pikiran tenang, damai, bahagia, dan terutama dilandasi perasaan welas asih terhadap sesama yang sedang butuh bantuan niscaya sulit membuahkan hasil optimal.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jeanne Actherberg di North Hawaii Community Hospital di Waimea, Hawaii, menunjukkan pengaruh luar biasa perasaan welas asih terhadap subjek penelitian.
Dalam penelitian ini Actherberg dan koleganya merekrut sebelas penyembuh tradisional (indigenous healer) dan meminta mereka masing-masing memilih salah satu dari pasien mereka, yang mereka merasakan simpati dan rasa welas asih yang kuat, merasa terhubung, dan meniatkan mantan pasien ini sebagai penerima niat penyembuhan (Actherberg dkk., 2005).
Para peneliti menamakan niat penyembuhan dari jarak jauh sebagai distant intentionality (DI). Sementara para penyembuh sendiri menyebutnya dengan beragam istilah, antara lain doa, mengirim energi, niat baik, atau mengharapkan yang terbaik.
Proses penelitian dilakukan dengan cara mengisolasi setiap subjek, yang akan menerima kiriman niat penyembuhan jarak jauh, dari segala bentuk kontak sensori atau komunikasi dengan para penyembuh, dan menempatkan penerima ini di alat pemindai fMRI (functional magnetic resonance imaging). Para penyembuh selanjutnya mengirim beragam DI mereka ke masing-masing subjek dalam interval dua menit acak dan tidak mungkin dapat diantisipasi oleh para subjek penelitian.
Saat hasil pemindaian fMRI para subek dianalisis, ditemukan perbedaan signifikan pada fungsi otak antara saat kondisi penyembuh mengirim DI dan tidak mengirim DI. Kemungkinan hal ini bisa terjadi, dalam situasi normal, adalah satu berbanding sepuluh ribu. Wilayah otak subjek yang menjadi aktif saat penyembuh mengirim DI adalah anterior dan middle cingulate, precuneus, dan wilayah korteks frontal.
Saat penelitian diulang dengan subjek yang para penyembuh tidak merasa ada hubungan atau kedekatan emosi, tidak merasa simpati, tidak terdapat perubahan pada hasil pemindaian fMRI baik saat penyembuh mengirim DI maupun saat tidak mengirim DI.
Penelitian ini sangat penting karena secara jelas menunjukkan bahwa perasaan welas asih, niat penyembuhan yang dilandasi kasih, dapat memberi pengaruh nyata pada fisik penerima niat penyembuhan, walau si penerima ini tidak menyadari akan hal ini.
Studi mengenai pengaruh hubungan fungsi otak antara individu yang memiliki hubungan emosi kuat (simpati) yang terpisah oleh jarak jauh dan sama sekali tidak terhubung melalui kontak sensori dengan yang lain, juga telah dilakukan peneliti sebelumnya seperti Duane dan Behrendt (1965), Wadkerman dkk (2003), Radin (2004), dan Standish dkk (2004).
Proses penyembuhan terjadi bukan hanya di ruang praktik saat penyembuh bertemu dengan klien. Penyembuhan sebenarnya diawali di pikiran dan niat penyembuh dan juga klien, bahkan sebelum mereka bertemu. Penyembuh efektif memahami benar pentingnya perasaan kasih mendalam terhadap klien yang sedang butuh bantuannya. Kedalaman dan ketulusan kasih inilah yang membedakan para penyembuh hebat dan penyembuh biasa yang hanya mempraktikkan teknik penyembuhan yang ia pelajari.
Hal ini jugalah yang berulangkali disampaikan dan ditekankan oleh guru saya, Anna Wise, saat saya belajar Mind Mirror di Berkeley tahun 2009. Beliau berkata, "Tidak penting teknik apa yang Anda gunakan dalam membantu klien. Tidak penting bagaimana caranya. Yang paling penting dari semuanya dan sekaligus menjadi kunci penyembuhan adalah kasihmu pada orang yang datang meminta bantuanmu."
Sepanjang tahun 2015 saya mendapat banyak email dari klien saya dan juga klien-klien hipnoterapis AWGI yang menyatakan terima kasih karena hidup mereka berubah secara sangat luar biasa berkat hipnoterapi. Untuk itu saya menyampaikan terima kasih yang sebesarnya atas semua kepercayaan yang diberikan kepada saya dan para rekan sejawat saya, para hipnoterapis AWGI.
Di samping banyak email berisi ucapan terima kasih, saya juga mendapat tujuh email berisi pertanyaan, keluhan, dan laporan mengenai proses dan hasil terapi yang dirasa kurang maksimal dan memuaskan. Untuk ini saya juga menyampaikan terima kasih yang sebesarnya. Tentu tak ada gading yang tak retak. Setiap informasi ini adalah kesempatan bagi kami untuk lakukan evaluasi diri dan terus melakukan peningkatan kemampuan dan layanan.
Saya membaca dengan cermat setiap email yang berisi pertanyaan, keluhan, dan laporan. Untuk email berisi pertanyaan, saya jawab sesuai pertanyaannya dengan jawaban yang relevan. Sedangkan untuk email berisi keluhan atau laporan, saya pelajari dan catat hal-hal penting yang disampaikan untuk saya telusuri dan selidiki lebih jauh.
Setiap laporan yang masuk ke AWGI terkait layanan dan proses hipnoterapi yang dilakukan alumninya, bisa baik atau kurang baik, adalah hal penting dan mendapat perhatian sangat serius.
Setelah melakukan investigasi mendalam, dengan bertanya lebih lanjut kepada para klien ini saya mendapatkan hal-hal menarik yang penting untuk saya sampaikan terkait keluhan layanan hipnoterapis AWGI.
Setiap peserta pelatihan SECH yang belajar di AWGI, setelah selesai pendidikan, mereka praktik secara mandiri. Untuk itu, apapun yang mereka lakukan sepenuhnya adalah tanggung jawab pribadi. Sama seperti dokter yang usai pendidikan di fakultas kedokteran selanjutnya menjalankan praktik mandiri.
Namun, AWGI sebagai salah satu lembaga yang memelopori pengembangan hipnoterapi klinis yang ilmiah di Indonesia tentu ingin memberikan yang terbaik kepada masyarakat Indonesia.
Selain menetapkan standar pelatihan yang tinggi, seratus jam tatap muka di kelas, AWGI juga menetapkan standar mutu layanan praktik hipnoterapi yang dijadikan acuan oleh para alumninya. AWGI memberikan konsultasi dan mentoring berkelanjutan bagi para hipnoterapis yang ingin terus berkembang. Layanan ini sifatnya tidak berbayar dan semata-mata untuk bisa terus meningkatkan pemahaman dan kemampuan terapi para alumninya sehingga mampu memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Jadi, apa yang menyebabkan proses dan hasil terapi yang dilakukan hipnoterapis kurang atau tidak efektif?
Masalah Klien di Luar Kemampuan Terapis untuk Membantu
Hipnoterapi benar adalah salah satu modalitas terapi yang sangat efektif. Namun, sama seperti modalitas terapi lainnya, hipnoterapi juga punya keterbatasan. Tidak semua kasus bisa ditangani atau diselesaikan dengan hipnoterapi. Kasus-kasus yang memang di luar kapasitas hipnoterapi untuk menyembuhkan, terapis yang bijak akan merekomendasi klien ke penyembuh profesional lain seperti dokter, psikiater, psikolog, atau lainnya, agar bisa mendapat penanganan yang tepat demi kebaikan klien.
Mengaku Lulusan AWGI
Ini yang paling sering terjadi. Ada hipnoterapis yang mengaku lulusan AWGI dan lakukan terapi pada klien. Setelah kami selidiki, nama yang bersangkutan tidak ada dalam daftar alumni kami. Ternyata terapis ini hanya membaca buku yang saya tulis, khususnya Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring dan mengikuti berbagai artikel saya di situs AdiWGunawan.com dan FB Adi W Gunawan. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti pelatihan hipnoterapi di lembaga manapun.
Lulusan QLT Mengaku Hipnoterapis AWGI
Ini juga sering terjadi. Ada beberapa peserta pelatihan QLT (Quantum Life Transformation) yang setelah selesai pelatihan buka praktik hipnoterapi dan mengaku sebagai alumnus AWGI. Dan yang luar biasa, mereka hanya bermodalkan induksi, sugesti, dan teknik Hypno-EFT.
Ada juga hipnoterapis lulusan lembaga lain yang mengikuti pelatihan QLT kemudian mengaku juga sebagai hipnoterapis dari AWGI. Meskipun telah mengikuti pelatihan hipnoterapi di lembaga lain dan dengan mengikuti pelatihan QLT mereka merasa telah mendapatkan pengetahuan dan skill dari saya namun ini tidak bisa diakui sebagai hipnoterapis AWGI. Hipnoterapis AWGI adalah mereka yang telah menyelesaikan pelatihan SECH selama 100 jam.
Pelatihan QLT tentu berbeda dengan SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy). QLT berlangsung tiga malam empat hari dan bertujuan untuk mengajarkan teknik-teknik terapi diri sendiri (self-therapy) dan tidak untuk menerapi orang lain. Sedangkan SECH berlangsung selama sembilan hari dan ditujukan untuk mencetak hipnoterapis klinis yang cakap dan andal dalam membantu klien mengatasi masalah. Alumni SECH inilah yang mendapat gelar certified hypnotherapist atau CHT.
Hipnoterapis lulusan AWGI yang Jarang Praktik atau Tidak Update Ilmu
Ini juga beberapa kali saya jumpai. Klien terapi ke salah satu hipnoterapis lulusan AWGI. Ternyata hasil terapinya tidak seperti yang diharapkan. Klien mengaku kecewa karena punya harapan besar masalahnya bisa diatasi dengan bantuan hipnoterapis lulusan AWGI. Selain itu, klien juga sering membaca kisah sukses hipnoterapi yang saya muat di linimasa FB saya.
Setelah saya selidiki, ternyata hipnoterapis yang menangani klien ini adalah alumnus yang sejak selesai mengikuti pendidikan dan sertifikasi jarang praktik atau tidak pernah update.
Hipnoterapi adalah ilmu dan juga seni. Dalam proses sertifikasi, setiap peserta diwajibkan untuk praktik kepada minimal lima klien. Usai pelatihan, setiap alumnus sangat dianjurkan untuk langsung praktik mandiri dan profesional. Semakin banyak dan sering praktik, semakin berkembang kemampuan dan pengalamannya. Dan tentu ia menjadi semakin cakap dan andal. Demikian pula bila ia sering update. Sebaliknya, semakin jarang ia praktik, semakin lupa ia pada ilmu hipnoterapi yang ia pelajari. Saya melakukan mentoring pada setiap alumnus yang bertanya.
Untuk bisa melakukan hipnoterapi dengan efektif tentu dibutuhkan “ketajaman”. Ibarat pisau yang hanya bisa menjadi tajam bisa terus menerus diasah, “ketajaman” dalam praktik hipnoterapi hanya bisa didapat melalui praktik berkelanjutan, memelajari kembali materi pelatihan khususnya dasar teori, melakukan kaji ulang (review) atas terapi yang telah dilakukan, berdiskusi dengan para rekan sejawat yang aktif melakukan terapi, dan sering update mengikuti berbagai perkembangan ilmu hipnoterapi yang diajarkan di AWGI.
Solusi untuk situasi, saya merujuk klien ke hipnoterapis AWGI yang aktif dan berpengalaman yang dekat dengan tempat tinggalnya. Dan setelah menjalani terapi dengan terapis yang kami rekomendasi, hasilnya sangat memuaskan.
Tambahan informasi, beberapa tahun lalu ada alumnus yang sangat cakap melakukan terapi. Namun karena satu dan lain hal, terutama karena kesibukannya yang cukup tinggi, alumnus ini akhirnya tidak lagi sempat lakukan terapi. Ini berlanjut hingga setahun lebih.
Saat ia memutuskan untuk melakukan terapi lagi, ternyata kemampuan terapinya sangat menurun, bila tidak ingin dikatakan sudah hilang. Untuk kasus yang mudah seperti fobia tikus, ia tidak mampu menuntaskan bahkan sampai tiga sesi terapi. Padahal dulu, untuk menuntaskan kasus ini, ia hanya butuh waktu sekitar enam menit saja.
Hipnoterapis AWGI yang Praktik Tidak Sesuai Protokol QHP
Setiap peserta yang belajar hipnoterapi di AWGI dilengkapi dengan Quantum Hypnotherapeutic Protocol (QHP). QHP adalah protokol terapi yang telah teruji secara klinis efektif dan telah dipraktikkan kepada lebih dari 100.000 (seratus ribu) klien dengan beragam masalah sejak tahun 2005 hingga sekarang.
Setiap peserta tentu punya agenda masing-masing. Ada yang belajar dan selanjutnya sepenuhnya menggunakan QHP. Dan ada juga yang setelah belajar, memutuskan untuk menggunakan protokolnya sendiri, bukan QHP. Ada juga yang mencampuradukkan sebagian protokol QHP dengan protokol lain.
Dengan kata lain, walau mereka adalah lulusan AWGI, protokol yang mereka gunakan tidak murni QHP. AWGI tentu tidak bisa mencegah alumni yang tidak menggunakan QHP. Ini sepenuhnya adalah hak masing-masing alumnus. Saya menghargai keputusan ini. Namun, klien yang datang ke hipnoterapis lulusan AWGI, biasanya setelah melakukan pencarian di internet, tentu berharap mendapatkan layanan dan hasil terapi sesuai dengan standar AWGI.
Bila ada lulusan AWGI yang tidak menjalankan protokol QHP secara utuh, saya tidak bisa menjamin proses dan hasil terapinya. Selain itu, saya juga tidak bisa menelusuri di bagian mana atau apa yang menyebabkan terapi yang ia lakukan tidak efektif.
Setiap kali hipnoterapis AWGI konsultasi dengan saya membahas kasus terapi yang mereka lakukan, bila misalnya hasilnya belum maksimal seperti yang diharapkan, saya dapat melakukan audit proses terapi dengan menelusuri setiap tahapan QHP. Berdasar temuan audit, saya bisa beri saran, masukan, atau koreksi untuk sesi berikutnya.
Bagaimana Anda bisa tahu pasti hipnoterapis lulusan AWGI yang praktik sesuai standar dan protokol AWGI?
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan (calon) klien bila diterapi oleh hipnoterapis lulusan AWGI:
- Setiap klien pasti diminta mengisi Intake Form. Informasi yang ditulis di Intake Form akan digunakan sebagai bahan awal untuk melakukan wawancara mendalam di ruang praktik.
- Hipnoterapis AWGI melakukan terapi di ruang praktik. Kami tidak pernah melakukan terapi di mal, di tempat ramai, atau di kamar hotel. Terapi sifatnya sangat personal dan butuh tempat yang tenang.
- Cara paling mudah untuk memastikan terapis Anda benar adalah lulusan AWGI adalah dengan bertanya langsung ke AWGI melalui telpon di (031) 5470437, 5461827, atau 5323945.
- Bila Anda tidak sempat bertanya ke AWGI, dan Anda ingin memastikan terapis Anda benar adalah lulusan AWGI, maka saat Anda sudah berada di dalam ruang praktik, Anda bisa melihat apakah di dinding ruangan terpasang sertifikat yang dikeluarkan AWGI. Selain sertifikat, setiap alumnus pasti ada foto saat menerima sertifikat CHt.
Untuk beberapa terapis yang praktik di lebih dari satu kota, biasanya di ruang praktiknya belum pasti ada sertifikat dan foto. Ini terjadi karena setiap alumnus hanya mendapat satu sertifikat dan satu foto.
- Hipnoterapis AWGI pasti melakukan wawancara mendalam untuk mengetahui latar belakang masalah klien. Bergantung kebutuhan, wawancara bisa berlangsung hingga satu jam.
- Setiap hipnoterapis lulusan AWGI, sebelum melakukan terapi, pasti akan menjelaskan hal-hal penting yang perlu diketahui klien. Penjelasannya menggunakan Qualifying Protocol Guide (QPG). QPG yang digunakan sekarang adalah versi 2.0.
- Terapis AWGI yang praktik hipnoterapi tanpa menggunakan QPG sudah pasti menjalankan terapi tidak sesuai protokol terapi (QHP) yang menjadi acuan dan standar AWGI.
- Untuk membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis, kami menggunakan teknik induksi EAI. Kami sama sekali tidak menggunakan induksi berbasis energi seperti mesmerism, atau menggunakan alat bantu, seperti musik, peralatan elektronik yang menghasilkan vibrasi dengan frekuensi tertentu, untuk membawa klien masuk kondisi deep trance.
Induksi yang digunakan hipnoterapis AWGI adalah induksi verbal atau dengan ucapan yang telah disusun dengan cermat, teliti, hati-hati, mengikuti sifat dan cara kerja pikiran sadar dan bawah sadar. Dengan EAI kami dapat membimbing klien dengan sistematis, terstruktur, turun ke kedalaman relaksasi pikiran (trance) yang sangat presisi, profound somnambulism, untuk melakukan hipnoterapi. Kedalaman ini mutlak untuk dicapai oleh klien agar bisa berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar, menggali dan menemukan akar masalah klien, melakukan teknik hipnoanalisis di kedalaman, mengakses Ego Personality yang membuat masalah, dan berbagai kebutuhan terapeutik lain sesuai tujuan terapi.
Sedalam apapun klien masuk kondisi hipnosis, mengikuti induksi EAI, klien tetap sadar. Tidak pernah sekalipun dalam praktik kami, menerapi lebih dari 100.000 klien, setelah diinduksi klien mengalami hilang kesadaran.
Sedalam apapun kondisi relaksasi pikiran (trance) yang dicapai klien, klien tetap dapat berkomunikasi dengan terapis, sadar sepenuhnya apa yang terjadi di sekelilingnya.
- Teknik terapi yang kami gunakan sangat variatif bergantung kasus, situasi, dan kondisi klien. Sugesti bukanlah teknik utama kami. Kami hanya gunakan teknik sugesti dalam kasus khusus, misal saat menangani anak kecil atau klien lanjut usia yang secara fisik tidak mampu menjalani proses terapi yang lama atau abreaktif.
- Proses terapi biasa berlangsung antara satu sampai dua jam. Kadang bisa lebih bergantung kompleksitas kasus klien. Terapi, sesuai protokol QHP, tidak mungkin dilakukan hanya dalam waktu sepuluh atau lime belas menit.
- Umumnya terapis AWGI sehari menerima satu hingga dua klien, maksimal tiga klien. Dengan demikian bila ada hipnoterapis AWGI yang mengaku mampu menerapi sampai sepuluh klien atau bahkan lebih banyak lagi dalam sehari, sudah pasti ia praktik tidak mengikuti protokol QHP.
- Hipnoterapis lulusan AWGI tidak pernah menjanjikan kesembuhan. Kami melakukan upaya maksimal berdasar pengetahuan yang didapat melalui pelatihan, pengalaman menangani klien-klien sebelumnya, dan dari berbagai kesempatan belajar dan diskusi dengan rekan sejawat.
- Hipnoterapis AWGI tidak menggunakan sistem paket atau borongan dalam menerapi klien. Klien diterapi sesuai kebutuhan dan perkembangan klien. Kami meminta komitmen terapi hingga empat sesi. Dan bila dalam satu atau dua sesi terapi masalah klien sudah berhasil diatasi maka terapi tidak perlu dilanjutkan.
Perasaan syukur adalah ciri universal insan mulia. Kehadirannya dirasakan dan diungkap dengan beragam cara oleh semua suku bangsa, semua budaya, di seluruh dunia. Dalam setiap ajaran agama dan tradisi spiritual, perasaan syukur sangat ditekankan dan dipentingkan untuk bisa dipraktikkan secara tulus dan penuh kesadaran. Perasaan syukur memiliki dua makna: makna duniawi dan spiritual.
Dalam konteks duniawi, perasaan syukur adalah ungkapan terima kasih yang terjadi akibat dari pertukaran interpersonal, saat seseorang mengakui telah menerima suatu manfaat, baik berupa barang, bantuan, tindakan, saran, pemikiran, atau apapun itu, dari orang lain.
Sedangkan dalam konteks spiritual, perasaan syukur adalah ungkapan terima kasih kepada otoritas tertinggi menurut iman seseorang atas semua hal yang ia terima, khususnya hadiah kehidupan. Perasaan syukur menjadikan dan memampukan individu rendah hati, kagum, terberkati karena ia memiliki peluang belajar, bertumbuh, berkembang, mencintai, berbagi, memberi kontribusi positif tidak hanya pada diri sendiri namun juga pada orang di sekitarnya, dan semua ini adalah bentuk ungkapan terima kasih dan cara mengisi serta menjalani hidup optimal.
Untuk meraih sukses, komponen syukur sangatlah penting. Salah satu dari lima komponen BE dalam meraih sukses adalah perasaan syukur (Gunawan, 2009). Apapun yang kita cari atau ingin capai – ketenangan pikiran, kemakmuran, cinta, kesehatan, kedamaian, kebahagiaan – semuanya telah tersedia atau disediakan untuk kita. Namun syarat untuk bisa menerimanya adalah dengan hati terbuka dan penuh rasa syukur (Breatnach, 1996). Hal senada diungkap oleh Richelieu (1996) yang menyatakan bahwa perasaan syukur adalah salah satu instrumen paling memberdayakan, menyembuhkan, dan dinamis dari kesadaran dan sangat penting dalam menunjukkan pengalaman hidup yang diinginkan seseorang.
Bila diibaratkan kunci, perasaan syukur adalah kunci master yang mampu membuka semua pintu, membuka semua kesempurnaan hidup, kunci kemakmuran, keberlimpahan, dan keterpenuhan (Emmons dan Hill, 2001; Hay, 1996).
Perasaan syukur menghubungkan individu dengan individu lain, merasakan kesatuan, bahwa mereka adalah satu karena berasal sumber yang sama, Sang Maha Pencipta. Dan manifestasi perasaan syukur adalah cinta tulus tanpa syarat yang tumbuh subur di dalam diri yang akhirnya meluap keluar dalam bentuk pemikiran, ucapan, dan tindakan nyata.
Bukti Manfaat Perasaan Syukur
Kita tahu bahwa perasaan syukur adalah hal yang sangat baik. Namun, adakah bukti ilmiah tentang hal ini?
Penelitian yang dilakukan oleh Emmons dan McCullogh (2003) tentang perasaan syukur, khususnya dengan meminta para subjek penelitian menuliskan hal-hal yang mereka syukuri selama seminggu, menunjukkan bahwa perasaan syukur berpengaruh positif pada suasana hati dan kondisi kesehatan. Para peserta ini lebih rajin berolahraga, mengalami penurunan gangguan fisik, merasa lebih positif terhadap hidup mereka secara keseluruhan, dan lebih optimis menyongsong minggu berikutnya dibandingkan dengan mereka yang mencatat pertengkaran, perbedaan pendapat, atau peristiwa hidup netral.
Para remaja, dalam penelitian serupa, setiap hari diminta mencatat kejadian yang mereka syukuri. Dan hasil dari kegiatan ini adalah mereka merasa lebih positif dalam kewaspadaan, antusiasme, kebutalan tekad, perhatian, dan lebih berenergi dibanding remaja lain pada umumnya.
Saat orang merasa syukur, terima kasih, dan menghargai, mereka juga merasa lebih penuh kasih, mengampuni, sukacita, dan antusias. Manfaat perasaan syukur tidak hanya pada diri sendiri namun juga dirasakan dan dialami oleh keluarga, teman, rekan kerja dan orang di sekitar. Orang yang penuh perasaan syukur tampak lebih gembira, bahagia, dan lebih menyenangkan untuk didekati dan berada di sekitarnya. Orang lain menilai mereka yang penuh rasa syukur lebih membantu, lebih ramah, lebih optimis, dan lebih bisa dipercaya (McCullough dkk., 2002).
Manfaat perasaan syukur mendapat penguatan oleh penelitian lain yang meminta subjek penelitian menulis surat ungkapan terima kasih kepada seseorang yang telah membantu mereka namun belum sempat atau tidak pernah disampaikan ucapan terima kasih. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan perasaan bahagia dan turunnya depresi pada para subjek penelitian (Seligman dkk., 2005).
Beberapa manfaat lain perasaan syukur: memaksimalkan rasa senang, memperkuat relasi, melindungi diri dari emosi dan pikiran negatif, menghindarkan diri dari stres, menyehatkan jantung, perasaan diri lebih berharga, lebih positif menjalani hidup, lebih baik dalam pengendalian diri.
Tentu terdapat perbedaan antara menumbuhkan perasaan syukur dalam jangka pendek dibandingkan dengan mampu mengalami perasaan syukur secara konsisten. Perasaan syukur bukan sekedar emosi sesaat, namun ia juga adalah kebajikan. Dibutuhkan upaya sadar untuk bisa menumbuhkembangkan perasaan syukur menjadi satu bentuk kebajikan yang lekat pada dan menjadi bagian diri.
Saya sering mendapat pertanyaan, “Apakah mungkin hipnoterapis menemukan akar masalah (ISE/ initial sensitizing event) hanya melalui sesi wawancara dalam kondisi sadar normal?” Pertanyaan di atas sengaja saya tulis lengkap dengan penekanan pada kondisi pikiran sadar normal saat wawancara dilakukan oleh terapis terhadap klien
Sebelum saya menjawab, perlu dijelaskan terlebih dahulu apa itu akar masalah atau ISE. Akar masalah adalah kejadian atau peristiwa paling awal yang dialami individu yang menjadi cikal bakal masalah yang muncul, bisa langsung persis setelah kejadian awal ini, atau di kemudian hari.
ISE tidak selalu dan tidak harus berupa kejadian traumatik dengan muatan emosi intens. ISE sering hanya berupa kejadian biasa namun mengandung potensi menjadi tunas masalah yang dapat tumbuh besar karena mendapat pupuk penguatan seiring waktu berjalan.
Bila masalah langsung muncul setelah individu mengalami ISE maka ISE ini juga sebagai SPE (symptom producing event) atau kejadian yang menghasilkan simtom masalah. Yang lebih sering terjadi, masalah berawal dari ISE, bisa berupa kejadian biasa atau bermuatan emosi negatif intens, yang diperkuat dengan kejadian mirip atau serupa dengan ISE dan dengan emosi yang juga mirip atau serupa. Kejadian lanjutan ini disebut dengan SSE (subsequent sensitizing event).
ISE yang berlanjut dengan SSE, bisa hanya satu atau beberapa SSE, akhirnya memunculkan simtom masalah (SPE). Setelah muncul simtom, simtom ini dapat menjadi semakin kuat karena kejadian lanjutan yang disebut SIE (symptom intensifying event).
Walau jarang terjadi, dalam beberapa kasus kami pernah menemukan satu masalah punya lebih dari satu ISE. Ada yang dengan dua ISE, bahkan ada yang tiga ISE. Ini disebut simtom dengan multi-ISE.
Untuk menemukan ISE, dalam hipnoanalisis, biasa digunakan teknik regresi. Regresi yang dimaksud di sini adalah regresi yang dalam kondisi hipnosis dalam atau profound somnambulism di mana klien mengalami revivifikasi, bukan hipermnesia.
Ada banyak teknik regresi, masing-masing dengan kelebihan dan keterbatasannya. Dari sekian banyak teknik regresi, salah satu yang paling efektif untuk menemukan ISE adalah teknik regresi dengan jembatan perasaan, bisa affect bridge (AB) atau somatic bridge (SB).
Regresi dengan jembatan perasaan menuntun pikiran klien mundur menyusuri “garis waktu” untuk menuju ISE. Bisa terjadi, klien saat diregresi langsung mencapai ISE. Namun, ini sangat jarang. Yang lebih sering terjadi, klien tidak langsung mencapai ISE. Biasanya klien akan “mampir” ke beberapa SSE sebelum akhirnya mencapai ISE. Dan bila sudah “mencapai” ISE, terapis masih perlu melakukan validasi untuk pastikan ISE ini adalah benar-benar kejadian paling awal. Seringkali, pikiran bawah sadar klien menginformasikan kejadian ini sebagai ISE namun setelah dilakukan pengecekan, bukan.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa mencari ISE butuh upaya sungguh-sungguh, dengan teknik yang tepat, dan perlu dilakukan dengan cermat. Namun, dapatkan ISE ditemukan hanya pada saat sesi wawancara, dalam kondisi sadar normal? Tanpa regresi? Jawabannya, “May… may be yes.. may be no.”
ISE bisa ditemukan saat wawancara, tanpa klien perlu dibimbing masuk kondisi profound somnambulism dan dilanjutkan dengan regresi AB, bila klien tahu dengan pasti kejadian paling awal (ISE) yang menjadi akar masalahnya. Dalam hal ini, ISE adalah SPE.
Misal, klien fobia naik sepeda motor. Saat wawancara diketahui bahwa perasaan takut naik sepeda motor baru muncul tahun lalu saat klien mengalami kecelakaan. Sebelumnya klien tidak pernah merasa takut bila naik sepeda motor. Dalam contoh kasus ini, kecelakaan adalah ISE yang sekaligus SPE.
Saya sering jumpa klien, saat sesi wawancara, yang sangat yakin bila akar masalah yang ia alami bersumber pada satu kejadian spesifik di masa lalunya. Klien ini bahkan meminta saya untuk langsung meregresi dirinya ke kejadian itu. Tentu saya tidak bisa mengindahkan permintaan ini karena bukan demikian protokol terapi yang saya gunakan.
Singkat cerita, dengan teknik regresi, akhirnya ditemukan ISE yang sama sekali tidak klien sangka atau klien sudah lupa pernah terjadi. Dari sini tampak jelas bahwa apa yang dipikir klien sebagai ISE, dalam kondisi sadar normal, tseringkali bukan ISE seperti yang diungkap oleh pikiran bawah sadarnya.
Berdasar pengalaman praktik sebagai hipnoterapis klinis sejak tahun 2005, saya sampai pada satu simpulan yaitu sangatlah sulit untuk bisa menemukan akar masalah (ISE) hanya melalui wawancara dalam kondisi sadar normal.
Saat sesi wawancara ini, terapis berusaha menggali berbagai informasi dengan mengajukan pertanyaan pada klien. Proses berpikir yang mengarah pada “akar masalah” menggunakan jembatan kognitif (cognitive bridge / CB), bukan jembatan perasaan (AB).
Perbedaan mendasar antara CB dan AB ada pada kondisi kesadaran. CB bekerja dalam kondisi sadar normal dan yang menjawab pertanyaan adalah pikiran sadar. Sedangkan AB hanya bisa dilakukan dalam kondisi hipnosis dalam yang merupakan ranah pikiran bawah sadar.
Saya beberapa kali menangani klien yang telah diterapi rekan hipnoterapis lain, yang merasa masalahnya belum benar-benar tuntas walau terapis menyatakan telah memroses ISE klien.
Pada salah satu kasus diketahui bahwa yang diproses oleh terapis sebelumnya bukan ISE tapi SSE. Dan inipun hanya satu dari empat SSE yang terjadi setelah ISE. Dengan kata lain, masalah klien bersumber pada satu ISE, empat SSE, baru setelahnya muncul simtom. Total ada lima peristiwa yang menjadi faktor penyebab timbulnya masalah. Untuk bisa benar-benar tuntas, kelima kejadian ini perlu diproses.
Dari diskusi dengan beberapa rekan hipnoterapis, teknik yang digunakan untuk menemukan akar masalah cukup beragam. Ada terapis yang menentukan ISE dari hasil wawancara. Ada yang mendapat informasi tentang ISE dari klien atau orangtua klien dan terapis menggunakan informasi ini sebagai dasar untuk lakukan terapi, bisa dengan sugesti atau regresi. Ada terapis yang hanya mensugesti pikiran bawah sadar klien untuk memunculkan akar masalah. Ada terapis yang menentukan ISE berdasar analisis tulisan tangan. Dan ada pula terapis yang menggunakan pendulum, di mana pendulumnya bukannya dipegang oleh klien tapi justru oleh si terapis.
Terapis boleh mengklaim atau merasa yakin telah berhasil menemukan dan memroses tuntas akar masalah klien. Namun satu-satunya cara untuk memastikan hal ini adalah dengan melihat hasil akhir terapi. Bila klien, usai terapi, merasa benar-benar nyaman, lega, maka bisa dipastikan kejadian yang diproses oleh terapis benar adalah ISE, terlepas dari cara menemukannya. Namun, bila klien masih merasa kurang nyaman, belum benar-benar tuntas, maka besar kemungkinan terapis belum berhasil menemukan ISE atau masih ada ISE lain.
Dalam praktik hipnoterapi, salah satu teknik yang kerap digunakan dalam mencari dan menemukan akar masalah adalah regresi. Regresi, untuk mudahnya, adalah proses klien mundur ke masa lalu, di dalam pikirannya. Berdasar prosesnya, terdapat dua jenis regresi.
Pertama, hipermnesia, yaitu klien mengingat kembali kejadian di masa lalu. Dari sisi waktu, klien tetap berada di masa sekarang, dan hanya mengingat kejadian masa lalu. Kondisi ini tampak saat seseorang ditanya, “Hari ini, minggu lalu, jam 08.00 pagi Anda di mana dan sarapan apa?” Mendapat pertanyaan seperti ini, pikiran akan langsung mengakses data di memori untuk mengingat. Dan jawaban yang diberikan misalnya, seperti berikut ini, “Hari Senin minggu lalu, jam 08.00 pagi saya di pesawat menuju Jakarta dan sarapannya roti.”
Kedua, revivifikasi, yaitu secara pikiran, klien benar-benar mundur ke masa lalu dan mengalami kembali kejadian di masa lalu itu, dengan semua inderanya, dan juga merasakan kembali perasaan yang sama seperti dulu ia rasakan, namun klien mengalaminya sekarang. Menjawab pertanyaan di atas, klien akan berkata, “Saya sekarang di pesawat mau ke Jakarta. Ini lagi makan roti.”
Bisa Anda lihat beda antara jawaban pertama dan kedua? Jawaban pertama adalah hipermnesia dan yang kedua adalah revivifikasi. Hipermnesia sifatnya disosiatif, sedangkan revivifikasi, asosiatif.
Ragam Teknik Regresi
Ada banyak cara melakukan regresi. Mulai dari regresi sederhana, regresi kalender, regresi dengan menghitung mundur, regresi dengan sugesti langsung, regresi dengan metafora seperti naik perahu menuju hulu sungai kehidupan, naik karpet terbang menuju ke masa lalu, regresi dengan buku kehidupan, lorong waktu, dan masih banyak cara lain.
Salah satu teknik regresi yang, dari pengalaman klinis kami, sangat efektif untuk menemukan akar masalah adalah teknik regresi dengan jembatan perasaan atau affect bridge (AB). Teknik lain adalah regresi EP untuk menemukan saat pertama kali EP muncul atau tercipta dalam hidup klien. Regresi dengan AB akan menemukan ISE (initial sensitizing event), dan regresi EP menemukan EPCE. Ini dua proses berbeda namun dengan tujuan sama yaitu menemukan awal masalah klien.
Siapa yang Sesungguhnya Diregresi dalam Regresi AB?
Ini pertanyaan penting yang perlu dijawab. Uraian berikut ini berdasar perspektif teori Ego Personality (EP) yang kami praktikkan dalam membantu klien.
Saat terjadi hipermnesia, saat klien mengingat kejadian atau informasi tertentu, EP yang ditanya dan yang menjawab, biasanya, adalah EP yang sama. Walau, pada kenyataannya, EP yang ditanya, bila ia tidak memegang data yang dibutuhkan untuk menjawab, akan “masuk” dan dengan cepat bertanya pada EP Memori. Dalam beberapa kejadian, bisa terjadi EP yang ditanya, misalnya EP A, dan yang menjawab adalah EP Memori.
Dalam artikel ini saya hanya mengulas dua teknik regresi yang kami gunakan di ruang praktik: regresi dengan affect bridge dan regresi EP. Dengan demikian data yang berhasil kami himpun cukup banyak untuk bisa dijadikan dasar penulisan artikel ini.
Dalam regresi dengan AB, untuk bisa menuntun klien mundur menyusuri garis waktu, menunju ke awal mula kejadian, terapis menggunakan perasaan sebagai jembatan. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, perasaan yang digunakan sebagai jembatan adalah perasaan tunggal, misal marah. Kedua, perasaan yang dialami klien lebih dari satu, misal marah, benci, sakit hati, kecewa, dan sedih.
Regresi dengan AB, saat terapis menuntun klien mundur ke masa lalu, umumnya tidak akan langsung mencapai ISE. Yang sering terjadi, klien mundur dan “mendarat” di beberapa SSE (subsequent sensitizing event) sebelum mencapai ISE.
ISE biasanya terjadi di masa kecil. Dengan demikian, saat terapis berdialog dengan klien, di ISE, yang menjawab pertanyaan terapis bukanlah klien (EP) dewasa namun klien kecil atau inner child. Lalu, siapakah sejatinya inner child ini? Dari perspektif EP, inner child adalah EP berusia muda atau kecil.
Pertanyaan penting yang sangat perlu dijawab “Saat regresi dilakukan, siapakah yang diregresi? Bila yang diregresi adalah EP Dewasa, dan saat di SSE yang dijumpai adalah EP Remaja, dan akhirnya saat berhasil mencapai ISE, yang dijumpai adalah EP anak kecil, lalu apa hubungan antara EP Dewasa, EP Remaja, dan EP Anak? Apakah mereka adalah entitas yang sama atau beda? Bila sama, bagaimana mungkin ada satu entitas namun bisa muncul dalam tiga EP berbeda? Dalam proses terapi, EP Dewasa bisa bicara dengan EP Remaja atau EP Anak.
Berdasar data yang berhasil kami himpun, simpulan sementara adalah EP Dewasa, EP Remaja, dan EP Anak dalam regresi dengan AB adalah EP yang berbeda. EP Remaja adalah EP Anak yang bertumbuh, namun tidak sama dengan EP Dewasa yang berbicara dengan terapis.
Merujuk pada sifat EP, EP yang normal, normal dalam pengertian tidak mengalami trauma, akan bertumbuh seiring usia kronologis individu. Saat EP mencapai usia tertentu, maka EP sebelumnya, yang lebih muda, otomatis sudah tidak lagi ada karena telah bertumbuh dan berubah menjadi EP yang lebih dewasa.
Bila EP mengalami atau tercipta karena pengalaman traumatik maka EP ini akan mengalami salah satu dari dua kemungkinan berikut. Pertama, EP tercipta dan langsung mengalami fiksasi, tidak bertumbuh. Kedua, EP tercipta namun belum mengalami fiksasi. EP ini masih dapat bertumbuh dan mengalami lagi satu atau beberapa kejadian traumatik serupa hingga akhirnya pada kejadian akhir muncul simtom (SPE / symptom producing event) dan setelahnya terjadi fiksasi. Bila fiksasi terjadi di ISE maka ISE sekaligus adalah SPE.
Fiksasi, dalam analisis kami, terjadi karena stres atau energi negatif yang dialami EP telah melewati ambang batas kemampuan EP mengatasi stres. Fiksasi ini adalah bentuk pertahanan diri EP.
Usia EP mengikuti usia kronologis individu. Bila trauma terjadi di usia lima tahun maka saat EP muncul, ia langsung berusia lima tahun.
Bagaimana dengan regresi AB di mana klien merasakan lebih dari satu emosi?
Berdasar temuan kami, satu EP hanya memegang satu, maksimal dua emosi. Kami belum pernah bertemu dengan EP yang memegang banyak emosi sekaligus. Dan berdasarkan fakta ini, bila saat klien akan dituntun mundur ke masa lalu menggunakan jalur perasaan (affect bridge) dan klien merasakan beberapa emosi sekaligus, misal marah, benci, kecewa, dendam, sakit hati, maka sebenarnya pada saat ini aktif beberapa EP secara simultan. Untuk ini terapis akan menggunakan emosi paling dominan yang klien rasakan sebagai jembatan ke masa lalu. Bila terapis tidak fokus hanya pada satu perasaan, hasil regresi tidak presisi membawa klien ke ISE.
Saat akan diregresi, setelah provokasi emosi, sebenarnya telah terjadi pergeseran EP, dari EP Dewasa (klien) ke EP yang mengalami masalah. Saat diregresi, ada dua kemungkinan. Pertama, klien mundur ke beberapa SSE hingga akhirnya mencapai ISE. Saat regresi pertama dilakukan, saat dari posisi awal ke SSE, misal dari usia 40 tahun ke usia 16 tahun, sebenarnya yang diregresi adalah EP bermasalah berusia 16 tahun. Baru selanjutnya EP ini mundur, dengan jembatan perasaan, menuju ke satu atau beberapa kejadian lebih awal hingga akhirnya mencapai ISE. Pada contoh proses di atas, EP mengalami fiksasi di usia 16 tahun, terjadi di SPE.
Kemungkinan lain, saat provokasi emosi, EP yang aktif adalah EP yang muncul saat kejadian pertama. Dengan demikian, saat dilakukan regresi, klien langsung mundur dan mencapai ISE, tanpa melewati satu atau beberapa SSE.
Perbedaan antara dua skenario di atas adalah bila regresi secara langsung berhasil membawa klien mencapai ISE berarti EP yang aktif adalah EP yang muncul di kejadian paling awal (ISE) dan ISE ini sekaligus adalah SPE. Bila regresi membawa klien mundur ke satu atau beberapa SSE baru akhirnya mencapai ISE berarti regresi pertama membawa klien mundur ke SSE yang juga adalah SPE. Baru selanjutnya mundur ke SSE lebih awal dan akhirnya mencapai ISE.
Regresi EP
Regresi EP berbeda dengan regresi AB. Regresi EP tidak menggunakan jembatan perasaan namun menggunakan jalur memori yang menghubungkan EP saat ini dengan saat pertama kali EP muncul atau tercipta dalam hidup klien. EP yang diproses oleh terapis, di masa sekarang, sama dengan EP yang muncul pertama kali.
Untuk bisa melakukan regresi EP maka terapis perlu benar-benar memastikan bahwa EP yang sedang aktif (executive) adalah EP yang menjadi target terapi untuk perubahan klien. Bila terapis tidak cermat, dan yang aktif adalah EP yang lain, niscaya terapi tidak bisa efektif.
Walau namanya adalah regresi EP namun dalam teknik ini yang diregresi bukan EP bermasalah melainkan klien dewasa yang diregresi ke masa terciptanya EP bermasalah ini.
Saat regresi mencapai EPCE bisa terjadi EP masih belum ada, baru tercipta, masih kecil, atau sudah besar. Yang dimaksud dengan besar dalam konteks ini adalah ia telah “sempurna” dan bisa beroperasi penuh sebagai EP. Saat EP muncul atau tercipta, usianya mengikuti usia dan kemampuan berpikir seusia klien di EPCE.
Saya akhiri artikel ini dengan satu pengakuan jujur. Walau artikel ini telah selesai saya tulis namun masih belum final. Masih banyak informasi perihal EP dan hubungannya dengan regresi yang perlu digali lebih lanjut. Tulisan ini adalah berdasar temuan saat kami melakukan praktik, dan bukan secara khusus mencari data melalui eksplorasi pikiran bawah sadar atau eksperimen. Tulisan ini masih sangat terbuka untuk berubah sesuai dengan temuan kami berikutnya.
Ada yang tanya ke saya, "Di buku dan beberapa artikel yang Pak Adi tulis dikatakan bahwa salah satu penyebab masalah mental, perilaku, atau sakit fisik adalah emosi negatif. Bila emosi negatif berhasil dinetralisir maka masalah otomatis hilang. Di Youtube ada video yang mengajarkan menghilangkan emosi negatif lewat abreaksi, dengan menyalurkan emosi ke tangan dan mengeluarkannya dengan menggerakkan kedua tangan. Dan bisa juga ditambah dengan menggerakkan kaki. Saat mempraktikkan cara ini, benar, emosi saya hilang, dan masalah saya selesai. Tapi beberapa hari kemudian, emosinya muncul lagi dan demikian pula masalah saya. Apa yang salah ya?"
Pengalaman praktik membantu klien sejak tahun 2005 hingga sekarang memberi saya satu pemahaman sangat penting yang mendasari semua proses terapi yang saya lakukan dan ajarkan di kelas SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy). Benar, hampir semua masalah, baik itu perilaku, mental, atau psikosomatis, disebabkan oleh emosi negatif yang tersimpan atau mengendap di pikiran bawah sadar. Bila emosi negatif berhasil dinetralisir atau dihilangkan, dilanjutkan dengan restrukturisasi pikiran bawah sadar, masalah pasti bisa diatasi.
Untuk menghilangkan emosi negatif ada sangat banyak cara. Berikut saya jelaskan dulu cara yang umumnya digunakan untuk menetralisir emosi:
1. Memberi makna baru pada kejadian yang dulunya menimbulkan emosi negatif sehingga dengan makna baru yang konstruktif, emosi dari masa lalu padam dengan sendirinya.
2. Menekan atau menghambat emosi negatif agar tidak muncul dengan cara memberi sugesti.
3. Menghambat emosi negatif agar tidak muncul dengan melakukan teknik pengalihan. Memori yang menjadi pemicu munculnya emosi direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak bisa muncul atau sulit diingat.
4. Menekan munculnya emosi negatif dengan mengalihkan fokus perhatian pada objek tertentu.
5. Menetralisir emosi negatif melalui jalur meridian tubuh.
6. Menghilangkan emosi negatif dengan teknik metafora.
7. Mengeluarkan emosi negatif melalui tulisan tangan.
8. Mencabut emosi negatif langsung dari pikiran bawah sadar.
9. Dengan doa, berpasrah diri sepenuhnya kepada figur otoritas tertinggi sesuai iman.
10. Abreaksi melalui fisik.
Salah satu teknik yang mampu dengan sangat cepat untuk mengeluarkan emosi negatif dari diri klien adalah abreaksi melalui fisik. Abreaksi melalui fisik adalah luapan emosi yang keluar dari diri klien melalui banyak cara, seperti: menangis, teriak, memukul, menjerit, menendang, mencengkeram, meremas, mengibaskan tangan dan atau kaki, dan lain-lain. Intinya emosi dikeluarkan lewat (gerakan) tubuh yang dilakukan berulang hingga akhirnya terkuras habis.
Ini yang sering kita lakukan dan setelahnya biasanya kita akan merasa lega. Namun, kelegaan ini hanya sesaat. Selang beberapa hari kemudian emosi yang sama kembali muncul dan mengganggu hidup kita.
Mengapa emosi yang tadi sudah "dihabiskan" melalui cara yang telah dijelaskan di atas, bisa kembali lagi?
Jawabannya sangat sederhana. Untuk mencapai hasil terapi positif dan stabil, saya menghindari kata “permanen”, emosi yang dinetralisir atau dikeluarkan dari sistem diri, boleh menggunakan teknik apapun, haruslah emosi yang berasal dari kejadian paling awal atau ISE (initial sensitizing event). Untuk bisa menemukan ISE butuh kemampuan dan keterampilan melakukan regresi, menuntun klien mundur ke masa lalu, dan menemukan akar masalah yang sebenarnya.
Untuk memahami cara mengeluarkan emosi dari dalam diri, saya menggunakan analogi panci presto. Emosi adalah api yang membakar panci presto berisi air. Panci presto ini tertutup rapat sehingga uap tidak bisa keluar dan semakin lama tekanannya semakin meningkat, menekan dinding dalam panci.
Abreaksi, yang umumnya terjadi, misal dilakukan dengan cara menangis, berteriak, memukul, membanting benda, menggerakkan/mengibaskan tangan atau kaki, atau melalui gerakan tubuh lainnya, ibarat mengeluarkan uap dari panci presto melalui katup di atas tutup panci. Saat uap (tekanan emosi) keluar, kita akan merasa lega. Namun, karena api di bawah panci belum padam, cepat atau lambat tekanan di dalam panci akan bertambah lagi. Dan proses ini akan terus berulang. Tekanan uap hanya akan benar-benar habis, dan tidak bisa muncul lagi, bila api di bawah panci telah padam.
Ini menjelaskan mengapa ada banyak orang yang setelah ikut retreat, merasakan kelegaan luar biasa selama satu atau dua minggu, kemudian perasaan tidak nyaman muncul lagi mengganggu. Ini semua karena api emosi belum padam.
Mengapa abreaksi perlu dilakukan pada kejadian paling awal?
Pengalaman klinis dan temuan di ruang praktik kami menyatakan bahwa seringkali emosi ini berlapis-lapis. Melalui teknik regresi yang kami gunakan dan kembangkan dalam membantu klien mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi, kami temukan hal sangat menarik.
Emosi awal yang diproses, misal marah, ternyata saat dicari akar masalahnya, bisa berawal dari beberapa kejadian dengan emosi yang berbeda. Bisa terjadi, marah yang dirasakan klien adalah emosi “permukaan”. Di lapisan bawah ada emosi kecewa, di bawahnya lagi, emosi sedih, dan terakhir, di kejadian paling awal, ternyata emosinya adalah kesepian.
Abreaksi yang hanya menetralisir emosi “permukaan”, pada contoh di atas adalah emosi marah, tidak sepenuhnya bisa mengatasi masalah klien. Masalah baru benar-benar teratasi saat api emosi berhasil tuntas dipadamkan.
Saat seseorang sedang abreaksi biasanya akan muncul memori kejadian yang berhubungan dengan emosi yang sedang meluap. Ini adalah pemberitahuan dari pikiran bawah sadar agar kita memroses kejadian ini. Umumnya, karena kita tidak punya keterampilan untuk melakukannya, memori ini tidak dapat diproses.
Dari pengalaman dan temuan kami, abreaksi melalui fisik kadang, secara kebetulan, dapat memadamkan api emosi pada kejadian paling awal. Namun, bila hanya abreaksi saja, efeknya tidak maksimal.
Saat emosi padam, saat itu masalah selesai. Namun, klien tidak belajar atau mendapat pembelajaran, pemahaman, kesadaran, dan kebijaksanaannya tidak meningkat. Akibatnya, bila suatu saat nanti klien mengalami kejadian yang mirip atau sama dengan kejadian sebelumnya, masalah yang sama pasti berulang.
Abreaksi Dalam Pelatihan
Abreaksi bukanlah hal sederhana atau mudah, melainkan proses yang rumit. Terapis harus mampu memfasilitasi dan mengarahkan klien yang abreaksi agar bisa berjalan aman dan nyaman. Abreaksi yang tidak dilakukan dengan persiapan matang dapat berakibat buruk, bahkan fatal terhadap klien.
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan saat melakukan abreaksi, antara lain kesiapan fisik dan mental klien dan terapis, kedalaman kondisi relaksasi fisik dan mental, level energi klien dan terapis, dan tentunya teknik yang sesuai.
Abreaksi, bila dilakukan di ruang terapi, lebih mudah diarahkan atau dikendalikan karena terapis hanya berhadapan dengan satu klien. Kondisi ini sangat berbeda bila abreaksi digunakan sebagai teknik pelepasan emosi di pelatihan yang dihadiri puluhan atau ratusan peserta. Proses abreaksi di pelatihan, bila tidak difasilitasi dengan baik dan benar bisa berakibat negatif pada diri peserta.
Apa saja akibat fatal yang bisa terjadi pada peserta pelatihan yang mengalami abreaksi tanpa diarahkan dengan benar?
Pertama, peserta pelatihan bisa mengalami sesak napas. Saat abreaksi, napas kita cenderung pendek. Bila posisi duduk salah, bisa terjadi kram pada otot perut yang mengakibatkan sesak napas dan bisa berujung pingsan. Sesak napas juga bisa muncul pada pengidap asma yang mengalami abreaksi.
Kedua, ini bisa terjadi pada klien atau peserta pelatihan yang mengidap tekanan darah tinggi, sakit jantung, penderita stroke yang belum lama pulih, atau penderita epilepsi, emosi yang dikeluarkan melalui aktivitas fisik berlebih, saat abreaksi, karena tidak dikendalikan atau diarahkan dengan benar, bisa mengakibatkan kelelahan eksktrim dan justru mengganggu kesehatan fisik. Jadi, bukannya sembuh, malah tambah sakit.
Ketiga, abreaksi tidak boleh dilakukan pada peserta yang sedang hamil karena ini pasti memengaruhi janin dalam kandungan. Saat wanita hamil mengalami abreaksi, hormon stres dalam darahnya meningkat drastis. Hormon stres ini juga mengalir ke dalam diri janin dan memberi efek negatif.
Abreaksi adalah salah satu teknik pelepasan emosi yang sangat efektif namun tetap punya keterbatasan. Abreaksi, bila berdiri sendiri, tanpa diikuti dengan restrukturisasi pikiran bawah sadar, terapi memaafkan, peningkatan kesadaran dan kebijaksanaan, tidak bersifat terapeutik. Tidak semua orang bisa atau perlu melakukan teknik abreaksi melalui fisik untuk melepas emosi. Ada syarat dan ketentuan yang perlu diperhatikan agar abreaksi dapat berjalan dengan aman, nyaman, dan memberi efek terapeutik seperti yang diinginkan.
Dalam mengejar goal atau target seringkali kita terjebak dalam persepsi sempit dan keyakinan semu karena merasa "yakin" dan "pasti" mampu mencapainya.
Bila diri berani jujur dan terbuka menelisik alasan yang mendasari rasa yakin semu ini maka seringkali ditemukan hal yang sangat berbeda.
Seringkali seseorang hanya terpaku pada hasil yang indah, bagus, gemilang, cemerlang, tanpa memikirkan risiko yang mungkin terjadi.
Saat pikiran dan perasaan positif hanya terpaku pada hasil akhir, yang tentu sangat didamba, namun lupa berpikir kristis dan logis menimbang berbagai risiko terburuk, biasanya hasilnya tidak baik.
Ini yang banyak terjadi pada orang yang saya jumpai dalam perjalan hidup. Umumnya mereka berkata, "Kalau dulu saya tahu jadinya seperti ini, saya pasti tidak akan melakukan kerja atau usaha ini."
Semangat untuk sukses tentu sangat bagus. Dan akan sangat bagus lagi bila semangat ini dilandasi pemikiran rasional yang bertanggung jawab, tidak asal semangat.
Beberapa tahun lalu ada seorang sahabat yang dengan sangat yakin menjalankan sebuah bisnis jaringan dan membuat kartu nama berisi fotonya dan tulisan "Manusia Dua Miliar Rupiah". Ia dengan sangat yakin dan percaya diri mengatakan bahwa dalam waktu dua tahun ia pasti mampu mencapai target ini.
Saya tentu sangat mendukung upayanya. Dan saat saya tanya bagaimana strateginya untuk mencapai target ini, ia tidak bisa memberikan jawaban detil. Ia hanya berkata, "Pokoknya saya yakin sekali bisa mencapai goal saya ini."
Ini sudah hampir lebih dari sepuluh tahun namun ia tidak mencapai apapun dan malah sudah lama berhenti dari bisnis jaringan ini.
Untuk memulai satu kegiatan atau usaha atau bisnis sebaiknya tidak hanya mengandalkan berpikir positif. Yang lebih penting adalah perasaan positif. Pikiran dan perasaan positif ini perlu didukung oleh data yang akurat sehinga benar-benar valid.
Selain berpikir positif kita juga perlu berpikir (sangat) negatif namun yang terkendali. Ini penting agar terjadi keseimbangan konstruktif dan produktif. Kita perlu memikirkan kondisi terburuk yang mungkin terjadi. Bila yang terburuk dapat kita atasi maka untuk mencapai yang positif tentu sangat melegakan.
Ada lagi seorang sahabat yang ingin bukan resto. Selama ini ia memang dikenal sangat pintar memasak. Saat bertanya pada saya, saya memberi pendapat bahwa membuka resto tidak sesederhana yang dibayangkan. Benar, ia pintar masak. Namun, untuk menjalankan usaha resto membutuhkan pengetahuan dan kecakapan lain. Ia perlu memahami manajemen, mengatur arus kas, karyawan, perijinan, promosi, pajak, kendali mutu, sewa tempat, dll... dll. Memasak hanya satu aspek dari bisnis yang akan ia jalankan.
Saya sarankan ia untuk buka depot dulu. Nanti dari sini, kalau ternyata hasilnya bagus dan ia sudah punya pengalaman yang memadai, dan terutama ia suka dan menikmati kerjanya, barulah buka resto yang lebih besar. Sebaiknya semua dilakukan tahap demi tahap. Mulai dari yang kecil namun targetnya sesuatu yang besar.
Sahabat ini kecewa dan marah dengan saran saya. Ia merasa saya tidak mendukung niat baiknya. Saya bisa memahami kekecewaannya. Tapi inilah saran terbaik yang bisa saya berikan padanya, demi kebaikannya.
Manusia seringkali tidak siap atau tidak bersedia mendengar saran atau pendapat yang tidak sejalan dengan pengharapannya. Memang demikianlah kerja persepsi yang mengunci kita pada satu pemikiran tertentu. Dibutuhkan kejujuran dan keberanian diri untuk membuka diri dan menerima saran atau masukan yang belum tentu sejalan dengan pengharapan kita.