The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Alasan Saya Menolak Terapi di Luar Kota

4 Maret 2014

Saya sering mendapat email atau inbox dari rekan-rekan saat tahu saya akan ke satu kota tertentu untuk seminar. Rekan ini minta waktu bertemu untuk terapi. Ada yang mau menerapikan diri sendiri, ada yang untuk keluarga, dan ada juga yang untuk rekannya.

Beberapa waktu lalu saat ke Jakarta untuk memberi seminar saya mendapat telpon dari seorang kawan lama. Kawan ini menceritakan kondisi istrinya dan minta waktu bertemu di malam hari agar istrinya dapat diterapi. 

Dengan berat hati saya selalu menolak permintaan rekan-rekan ini. Saya sebenarnya sangat ingin bisa membantu. Dan di sisi lain saya perlu selalu bekerja profesional dengan memegang teguh Kode Etik Hipnoterapis Klinis yang menjadi acuan kami di Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI). 

Salah satu kode etik ini menyatakan bahwa terapis dan klien harus komit untuk melakukan, bila dibutuhkan, sampai empat sesi terapi. Ini adalah komitmen minimal karena dalam kasus tertentu bisa terjadi dibutuhkan lebih dari empat sesi terapi untuk menuntaskan masalah klien. Bila klien dan terapis tidak bisa memberikan komitmen ini, apapun alasannya, maka terapi tidak boleh dilakukan.

Mengapa tidak boleh?

Ketentuan komitmen empat sesi ditetapkan dengan pertimbangan bahwa ada banyak hal yang bisa terjadi dalam sesi terapi. Bisa saja hal yang tampak sederhana, di permukaan, ternyata setelah masuk ke pikiran bawah sadar, ditemukan akar masalah yang kompleks yang tidak bisa diselesaikan hanya dalam satu sesi terapi. Contohnya, pernah ada kasus wanita fobia ulat bulu setelah digali akar masalahnya ternyata ia dulu pernah mengalami pelecehan seksual. Siapa yang menyangka kalau ternyata fobia ulat bulu adalah simtom dari satu pengalaman yang sangat traumatik.

Bila terapis atau klien, karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan sesi selanjutnya maka proses yang belum selesai ini akan sangat tidak baik bagi kondisi klien. Sering terjadi emosi klien menjadi labil dan mengakibatkan kondisinya menjadi bertambah parah. Ini ibaratnya kita melakukan operasi, membuka perut pasien, dan tidak menutup kembali dengan rapat. Dan saat terjadi infeksi, karena jahitannya bermasalah, pasien ini tidak ditangani lebih lanjut. Sudah tentu ini akan sangat merugikan pasien.

Saya juga sempat mendapat tawaran dari seseorang yang ingin mengundang saya ke kotanya untuk melakukan hipnoterapi. Ia berencana “memasarkan” pelayanan hipnoterapi saya di kotanya dengan memasang iklan dan woro-woro di media setempat menawarkan hipnoterapi klinis. Saya diminta datang dan dijadwalkan selama seminggu penuh menangani klien. Rencananya terapi akan dilakukan di kamar hotel mewah yang mereka sewa untuk keperluan ini.

Sudah tentu keinginan ini saya tolak dengan beberapa pertimbangan. Pertama, kalau tawarannya saya terima maka fokus saya bergeser, bukan untuk membantu sesama namun sudah lebih mengarah pada bisnis atau keuntungan finansial semata. Kedua, ini sudah tentu melanggar kode etik. Saya tidak bersedia melakukan terapi di kamar hotel karena selain suasananya tidak kondusif juga untuk menghindari persepsi yang tidak baik apalagi bila kliennya wanita. Satu-satunya tempat dan posisi yang paling nyaman untuk klien, bila diterapi di kamar hotel, bukan duduk di kursi hotel tapi berbaring di ranjang. Ini tentu sangat tidak baik untuk proses terapi.

Walau banyak yang kecewa karena saya tidak bersedia melakukan hipnoterapi saat keluar kota namun saya bergeming dengan prinsip dan keputusan ini. Saya memahami sepenuhnya harapan rekan-rekan ini. Dan solusi yang selalu saya tawarkan adalah menjalani hipnoterapi dengan hipnoterapis lulusan AWG Institute di kota tempat tinggal mereka atau di kota terdekat, atau ke klinik saya di Surabaya.

Prinsip saya adalah bila melakukan sesuatu saya harus melakukannya benar sejak dari awal. Do it right from the beginning.

Baca Selengkapnya

Mengapa Anak Mengalami Kesulitan Belajar?

1 Maret 2014

Ada satu asumsi yang salah mengenai proses belajar. Pada umumnya kita berasumsi bahwa bila guru mengajar maka murid pasti belajar. Benarkah demikian? Tentu saja tidak. Mengajar merupakan satu proses. Belajar juga satu proses tersendiri. Di antara mengajar dan belajar terdapat jurang pemisah yang cukup lebar. Tugas kita sebagai orangtua dan pendidik adalah menyediakan jembatan penghubung sehingga terjadi koneksi antara mengajar dan belajar. 

Asumsi adalah menerima sesuatu sebagai hal benar tanpa memeriksa atau memastikan kebenarannya. Jadi, kalau kita berpikir dan bertindak hanya berdasar asumsi maka jadinya ya seperti sekarang ini. Guru dan orangtua frustrasi karena telah mengajar dengan sungguh-sungguh sedangkan murid atau anak tidak mengerti dan belum bisa menyerap apa yang diajarkan. Guru dan orangtua frustrasi, murid atau anak depresi.

Jurang pemisah ini terutama karena guru/orangtua tidak mengerti gaya belajar. Gaya belajar adalah cara yang dirasa paling menyenangkan dan mudah dalam menyerap suatu informasi. Sebenarnya ada lima cara untuk belajar yaitu belajar berdasar indera penglihatan (visual), indera pendengaran (auditori), gerakan/perabaan (kinetetik), indera penciuman (olfaktori), dan indera rasa (gustatori). Lima jalur masuk informasi ini adalah kelima indera kita. Sebenarnya ada satu lagi yaitu melalui pikiran kita. 

Setiap jalur punya karakteristik sendiri. Pada umumnya yang paling sering digunakan hanya tiga jalur yaitu visual, auditori, dan kinestetik. 

Anak yang visual belajar melalui penglihatan. Anak yang auditori senang belajar dengan membaca sambil mengeluarkan suara atau malah tidak boleh ada suara sama sekali. Sedangkan anak kinestetik senang belajar sambil bergerak. Kombinasi yang umum terjadi adalah visual-auditori, visual-kinestetik, dan auditori-kinestetik.

Anda pasti pernah menemukan anak yang tidak bisa duduk diam saat belajar. Tipe ini adalah tipe kinestetik. Atau mungkin anak anda suka sekali belajar bila anda membacakan materinya. Tipe ini adalah tipe auditori. Dan ada juga yang bisa duduk dan belajar dengan tenang. Yang ini tipe visual. 

Untuk lebih jelas mengenai gaya belajar dan aplikasinya dalam proses pembelajaran saya menyarankan anda membaca buku saya Born to be a Genius dan Genius Learning Strategy. 

Singkat kata belajar menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dan merupakan proses yang cukup menyakitkan bagi kebanyakan anak karena tiga hal berikut:
1. Karena kita tidak tahu proses belajar yang benar
2. Karena kita tidak pernah belajar, diajar, atau mengajarkan cara belajar yang benar
3. Karena gaya mengajar tidak sejalan dengan gaya belajar

Tiga Level Sistem Belajar

Proses belajar yang kita lakukan sebenarnya terdiri dari tiga level:

1. Sistem Diri (Self System), meliputi aspek relevansi, kemampuan, dan emosi.

2. Sistem Metakognisi (Metacognitive System), meliputi aspek penetapan goal pribadi,           keputusan untuk terus maju, dan bekerja dengan penuh semangat.

3. Sistem Kognisi (Cognitive System), meliputi aspek memproses informasi untuk menyelesaikan tugas.

Setiap proses belajar selalu terjadi dengan urutan seperti di atas, dimulai dengan Sistem Diri, kemudian ke Sistem Metakognisi, dan baru akhirnya ke Sistem Kognisi.

Sebelum saya teruskan saya ingin mengajukan satu pertanyaan untuk anda, ”Pernahkah anda bertemu dengan anak, atau mungkin anak anda sendiri, yang sulit menghafal suatu materi pelajaran, misalnya IPS atau kosakata bahasa Inggris, namun anak yang sama mampu menghafal nama semua pemain sepak bola, plus nomor punggung, dari tim sepak bola kesayangannya?” 

Atau anda mungkin pernah bertemu dengan anak yang mengalami kesulitan menghafal materi pelajaran tertentu namun ia mampu menghafal materi pelajaran lain dengan mudah dan cepat? 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal otak yang digunakan, untuk menghafal materi pelajaran dan nama pemain sepak bola, adalah sama. Logikanya, kalau otaknya sama maka seharusnya anak bisa menghafal semua materi pelajaran, kan?

Masalah muncul karena dalam proses belajar aspek paling penting yaitu Sistem Diri (Self System) seringkali terabaikan. Mungkin anda, guru atau orangtua, justru baru tahu mengenai hal ini sekarang. 

 

SISTEM DIRI (Self System)

Semua proses belajar dimulai di Sistem Diri. Sistem ini meliputi tiga aspek yaitu relevansi, kemampuan, dan emosi. Apa hubungannya dengan proses belajar? Oh, sangat erat. 

Mari kita lihat relevansi. Mengapa anak sulit belajar? Karena anak merasa bahwa apa yang ia pelajari tidak ada gunanya bagi hidupnya. Dengan kata lain anak tidak melihat relevansi bahan ajar dengan hidupnya. Contohnya? Misalnya anak diminta menghafal nama menteri kabinet. Otak anak akan sangat sulit menyerap informasi ini karena anak berpikir, ”Untuk apa sih saya harus menghafal nama-nama orang yang saya nggak kenal. Trus... kalau sudah bisa dihafal apa gunanya untuk saya?”

Kasusnya akan berbeda bila ia menghafal nama pemain sepak bola atau nama bintang sinetron. Mengapa bisa berbeda? Karena teman-temannya juga punya hobi sama. Nonton sepak bola atau sinetron. Jadi, kalau pas diskusi mengenai ”pelajaran” sepak bola atau ”pelajaran” sinetron si anak bisa terlibat aktif dan memiliki pengetahuan di ”pelajaran” ini. Menghafal nama pemain sepak bola atau artis sinetron sangat relevan bagi hidupnya. Anda jelas sekarang?

Aspek kedua adalah kemampuan. Saat anak merasa tugas yang diberikan terlalu berat, atau anak merasa tidak mampu karena tidak tahu caranya, atau anak merasa waktu yang tersedia untuk mengerjakan tugas itu tidak cukup, atau apapun alasannya sehingga membuat anak merasa tidak mampu atau tidak berdaya, akan mengakibatkan turunnya motivasi dan anak tidak akan mau belajar. Lha, buat apa belajar kalau materinya ”sulit” untuk dikuasai atau dikerjakan? Saya menulis kata sulit dalam tanda kutip karena bisa jadi memang materi pelajarannya benar-benar sulit atau sulit itu hanya dalam persepsi si anak saja. Kalau perasaan tidak mampu ini terus dialami anak maka akan terjadi yang disebut dengan ”learned helplessness” atau ”ketidakberdayaan yang dipelajari”.

Aspek ketiga yaitu emosi. Proses belajar haruslah menjadi perjalanan yang menyenangkan bagi anak. Namun yang terjadi saat ini adalah lebih banyak anak yang stress, merasa takut, atau mengalami trauma akibat proses belajar yang tidak berpihak pada anak. Anak sering mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan. Anak sering mengalami emosi negatif. Akibatnya, belajar menjadi kegiatan yang dihindari, kalau tidak boleh dikatakan dibenci, oleh anak. 

Apabila anak mengalami pengalaman menyenangkan, mengalami kegembiraan, tantangan positif, mendapat pujian, dan rasa ingin tahu yang tinggi saat belajar maka secara otomatis anak ingin mengulangi lagi pengalaman positif ini. Inilah sumber motivasi belajar intrinsik. Kepuasan belajar, perasaan diri mampu, bisa, puas karena dapat menguasai bahan ajar adalah reward paling berharga untuk hasil kerja keras anak. Dengan demikian anak tidak perlu dimotivasi dengan sogokan atau reward yang tidak perlu. 

Hal yang sama berlaku untuk kita, orang dewasa. Tidak ada satupun orang yang ingin mengalami kembali kejadian atau pengalaman yang menyakitkan. Kita semua selalu ingin merasa senang dan bahagia. Ini adalah motivasi hidup yang paling mendasar.

Intinya, bila anak merasa materi yang akan dipelajari tidak relevan atau berguna untuk hidupnya, anak merasa sulit atau tidak mampu, dan ada muatan emosi negatif pada pengalaman belajar, maka pikiran anak, lebih tepatnya pintu gerbang pikiran bawah sadar, akan langsung menutup. Akibatnya, belajar bisa dilakukan namun informasi tidak bisa masuk ke memori dan tidak terjadi internalisasi. 

Sistem Metakognisi (Metacognitive System)

Setelah Sistem Diri berjalan dengan baik maka secara otomatis Sistem Metakognisi juga akan baik. Sistem Metakognisi meliputi aspek penetapan goal pribadi, keputusan untuk terus maju, dan bekerja dengan penuh semangat. 

Anak yang telah timbul semangat belajarnya karena merasa materi yang dipelajari relavan, ia merasa mampu, dan menyukai bahan ajar dengan sendirinya akan belajar dengan semangat yang tinggi. 

Dengan bekal semangat yang tinggi anak akan bekerja keras, dengan hati riang gembira, dan belajar untuk mencapai target pembelajaran yang telah ditetapkan. Walaupun mengalami hambatan si anak akan maju terus. 

Sistem Kognisi (Cognitive System)

Sistem Kognisi, yang meliputi aspek memroses informasi untuk menyelesaikan tugas, adalah hal yang dilakukan anak saat belajar. Aktifitas ini yang selama ini dikenal dengan ”belajar”. 

Inilah sistem yang terlihat dari luar. Anak duduk belajar atau membaca materi pelajaran. Namun, dari penjelasan sebelumnya, sistem ini hanyalah lanjutan dari dan dipengaruhi oleh dua sistem sebelumnya yaitu Sistem Diri dan Sistem Metakognisi. 

Dari penjelasan di atas tampak bahwa apabila kedua sistem terdahulu, Sistem Diri dan Sistem Metakognisi, tidak berjalan dengan baik maka secara otomatis Sistem Kognisi akan terpengaruh. Dengan kata lain akan mengalami kesulitan belajar. 

Contoh kesulitan belajar yang umumnya dialami anak adalah rasa bosan, stress, mengantuk, tidak fokus, sulit konsentrasi, sulit menyerap informasi, mudah lupa, dan masih banyak keluhan lain.

Pada tahap inilah, saat anak belajar, barulah kita bisa mengajarkan teknik-teknik belajar seperti teknik menghitung cepat, teknik mencatat dengan mind mapping, teknik menghapal (dengan segala variannya), teknik membaca cepat, atau teknik-teknik lainnya. Semua teknik ini tidak akan bisa memberikan hasil maksimal bila kedua sistem yang mendasari kerja sistem kognisi tidak berjalan baik. 

Ini juga menjawab pertanyaan dan kebingungan banyak orangtua mengapa anaknya sudah dileskan di berbagai kursus atau bahkan dileskan pada guru sekolahnya sendiri tapi prestasi akademiknya tetap tidak bisa meningkat signifikan. 

Bahkan pernah ada satu kasus di mana anak mendapat bocoran soal, soal ujiannya persis sama dengan soal bocoran ini, tapi hasil ujian anak tidak bisa lebih dari 70. Lho, kok bisa begini? Ini karena adanya mental block besar dalam diri anak. 

 

 

Mental Block

Apa sih mental block itu? Mental block adalah kepercayaan yang bersifat menghambat kita dalam menggunakan potensi diri secara optimal. Untuk mudahnya begini. Pernahkah anda mendengar anak berkata ”Belajar itu sulit dan membosankan”, ”Saya nggak bisa bahasa Inggris”, ”Saya bodoh matematika”, ”Matematika hanya untuk anak yang otaknya encer”, ”Nilai IPS saya selalu jelek”, dan masih banyak ungkapan negatif lainnya? 

Setiap pernyataan di atas mencerminkan kepercayaan (belief) anak terhadap dirinya sendiri dan kemampuannya di bidang tertentu. Pada saat anak menerima hal ini sebagai suatu kebenaran maka pada saat itu pula telah tercipta mental block dalam diri anak. 

Lalu, apa pengaruh mental block terhadap prestasi anak? Sungguh dahsyat pengaruhnya. Anak dengan mental block seperti ini digaransi akan mengalami kesulitan belajar. 

Dari pengalaman saya membantu dan menangani anak ”bermasalah” saya sampai pada satu simpulan penting. Tidak ada seorangpun yang bodoh. Yang ada adalah anak yang ”diprogram” menjadi anak yang bodoh. Kalau saya boleh lebih keras berbicara tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang ”dipaksa” menjadi bodoh. 

Anda mungkin bingung dan bertanya, ”Apa maksudnya anak ”diprogram” atau ”dipaksa” menjadi bodoh?”. 

Penjelasan singkatnya seperti ini. Misalnya, anak diajar matematika dan anak tidak mengerti. Ada banyak faktor yang membuat anak tidak mengerti. Misalnya karena gaya mengajar guru tidak sama dengan gaya belajar anak. Sebab lain, karena proses belajar dasar-dasar matematika yang salah. Anak tidak diajar secara konkrit, tapi langsung dihajar (bukan diajar, lho) dengan pendekatan yang bersifat abstrak. 

Penjelasan lebih detil sebagai berikut. Jean Piaget, filsuf dan psikolog perkembangan dari Swiss, membagi perkembangan kognisi menjadi beberapa tahap berdasarkan usia:

0 – 2 thn tahap Sesori Motor
2 – 7 thn tahap Pra Operasi
7 – 12 thn tahap Operasi Konkrit
12 – 15 thn tahap Operasi Formal

Apa jadinya bila materi pelajaran diberikan kepada anak kita ternyata tidak sesuai dengan usia dan perkembangan kognisinya? Ya sudah tentu akan berakibat negatif. 

Saat anak masih di sekolah dasar, usia 7 – 12 tahun, materi pelajaran seharusnya lebih bersifat konkrit, bukan abstrak. Nah, khusus di bidang matematika, anak biasanya mengalami kesulitan karena materi pelajaran diajarkan tanpa mengindahkan kebutuhan anak belajar secara konkrit. 

Apa maksudnya? Coba kita lihat bagaimana anak kita belajar konsep angka dan jumlah. Cara yang benar adalah anak dikenalkan dengan benda konkrit yang ia kenal. Misalnya kelereng, sendok, bola, permen, sedotan minuman, pensil, atau kerikil. Nah, saat mengajar angka 1, 2, 3, dan seterusnya, harusnya ada benda yang bisa anak pegang dan manipulasi. Dengan demikian proses belajarnya benar yaitu konkrit. Angka, yang abstrak, masuk ke pikiran anak melalui benda konkrit. 

Bila menggunakan benda konkrit maka anak bisa belajar menggunakan tiga gaya belajar sekaligus, visual, ia melihat bendanya, auditori, ia mendapat penjelasan dari gurunya, dan kinestetik, ia bisa memegang bendanya. Bila ini yang terjadi dijamin anak pasti fokus belajarnya.

Dari konkrit, setelah konsepnya dimengerti, barulah kita bergeser ke semi abstrak. Yang dimaksud dengan semi abkstrak adalah kita mengajar anak dengan menggunakan gambar, misalnya dengan kartu. Di kartu, selain ada angka juga ada gambar. 

Setelah itu barulah kita bergeser ke abstrak yaitu hanya menggunakan angka saja. Jadi proses belajar yang benar adalah dari konkrit, semi abstrak, ke abstrak. 

Salah satu kesulitan terbesar anak dalam belajar matematika adalah saat mereka harus mengerjakan soal cerita. Wah... ini sungguh menjadi momok bagi anak. 

Sebagai sesama orangtua dan pendidik saya bisa memahami kesulitan anak. Mengapa anak mengalami kesulitan? Lha, bagaimana bisa mengerjakan soal cerita kalau dasar matematikanya saja belum kuat dan kemampuan linguistik anak masih kurang. Celakanya lagi banyak guru, yang karena hanya mengikuti buku paket, memberikan soal cerita pada anak SD kelas 2. Anak kita tidak bisa mengerjakan soal bukan karena bodoh namun secara perkembangan kognisi, kemampuan logika berpikir, dan kemampuan bahasa memang belum bisa. Biar dipaksa dengan memberikan les atau pelajaran tambahan anak tetap akan mengalami kesulitan. 

Apa akibatnya bila anak langsung belajar dengan pendekatan abstrak? Anak pasti bingung dan tidak mengerti. 

Selanjutnya anak yang tidak mengerti, tidak menguasai dasar matematika, tidak menguasai konsep dengan benar, diberi ujian. Hasilnya? Ya sudah tentu nilainya jelek. Nilai yang jelek ini kalau terjadi berkali-kali, ditambah lagi dengan ”pujian” yang didapat anak dari guru dan orangtua yang hanya mementingkan nilai tapi tidak mementingkan proses, akhirnya mengkristal menjadi kepercayaan yang menyatakan ”Saya tidak bisa matematika. Saya memang bodoh matematika”. 

Begitu kepercayaan ini terbentuk dan diterima pikiran bawah sadar anak maka ia akan mengarahkan anak untuk mewujudkanya menjadi suatu realita. Hasilnya? Anak benar-benar menjadi bodoh matematika. Nah inilah yang dinamakan mental block.

Ini contoh matematika. Bagaimana dengan pelajaran lain? Sama saja. Ada anak yang trauma dengan pelajaran yang mengutamakan hapalan. Anak tidak bisa menghapal karena tidak diajarkan strategi menghapal yang benar. 

Dan yang lebih menyedihkan lagi, seringkali guru meminta jawaban yang persis sama dengan catatan atau yang ada di buku. Saya beberapa kali menangani anak yang frustrasi karena tidak bisa menjawab persis seperti yang diminta gurunya. Anak ini sampai remedi 5X tetap tidak bisa. 

Adalah lebih penting untuk mengajar anak mengerti daripada sekedar tahu dengan cara menghapal. Saat ini hanya dengan melakukan Googling anak bisa dapat informasi sangat banyak. Yang penting anak merasa senang belajar. Bila ia merasa senang maka dorongan untuk mengulangi pengalaman menyenangkan, ini yang disebut motivasi, akan membuat anak menguasai materi dengan bbaik

Anak adalah ANUGERAH dari Tuhan yang dipercayakan kepada kita, orangtua dan pendidik. Dan tugas utama kita, selaku orangtua dan pendidik, adalah memberikan kasih sayang, pendidikan, dukungan, bimbingan, rasa aman, sehingga anak tumbuh dengan budi PEKERTI yang baik dan benar sebagai bekal kehidupannya kelak, sehingga mampu menjalani hidup penuh makna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, dan bagi masyarakat. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bertaqwa dan bermanfaat bagi orang lain. 

Membaca penjelasan saya sejauh ini, apa simpulan Anda? Anak kita memang bodoh ataukah mereka dipaksa atau dibuat bodoh? 

Baca Selengkapnya

Menyiapkan Sukses Anak dengan Vaksin Stres

1 Maret 2014

Setiap orangtua pasti paham benar pentingnya vaksin untuk kesehatan anak. Sejak lahir hingga usia tertentu bayi/anak rutin diberi vaksin. Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu.

Vaksin biasanya adalah berupa bibit penyakit yang telah dilemahkan atau dimatikan dan dimasukkan ke dalam tubuh dengan tujuan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi spesifik. Pemberian vaksin tidak akan mengakibatkan tubuh menjadi sakit namun justru menguatkan. Dengan demikian di kemudian hari bila anak terpapar virus atau bakteri tertentu, yang mana ia telah atau pernah diberi vaksinnya, anak akan tetap sehat karena sistem kekebalan tubuhnya bisa mengatasi virus atau bakteri ini.

Manusia terdiri atas tubuh dan pikiran. Selama ini orangtua pasti ingat untuk memberi vaksin untuk kesehatan tubuh fisik. Lalu, bagaimana dengan vaksin pikiran? Apakah ada vaksin pikiran? Bila ada, bagaimana bentuknya, siapa yang memproduksi vaksin ini, berapa dosis aman yang bisa diberikan pada anak?

Memahami Stres

Berbeda dengan yang dipahami kebanyakan orang, tidak semua stres berakibat buruk. Secara teknis kita mengenal empat jenis stres yaitu eustres, distres, hiperstres, dan hipostres.

Faktor yang menyebabkan stres disebut stresor. Stresor dapat berupa faktor internal atau eksternal atau stimuli yang mengakibatkan stres, seperti faktor fisik, biologis, lingkungan, situasi, kejadian, peristiwa, dan spiritual.

Eustres adalah stres jangka pendek yang memberikan kekuatan. Eustres adalah jenis stres yang bersifat menantang namun masih dapat dikendalikan. Eustres justru meningkatkan antusiasme, kreativitas, motivasi, dan aktivitas fisik. Eustres adalah stres positif yang terjadi saat kita membutuhkan motivasi dan insprasi.

Saat mengalami eustres kita memandang atau merasa suatu kejadian atau situasi sebagai peluang, dan ada pengharapan positif, menantang namun menyenangkan. Dengan demikian kita punya pilihan.

Distres adalah stres yang dipandang atau dirasa terlalu berat dan sulit untuk diatasi. Kita merasa situasi atau kejadian yang dialami sebagai sesuatu yang membingungkan dan tidak ada harapan untuk mengatasi atau mengubahnya. Individu yang mengalami stres ini merasa atau percaya dirinya terperangkap dan tidak bisa meninggalkan atau keluar dari situasi ini, merasa tidak berdaya dan frustrasi.

Ada dua tipe distres yaitu stres akut dan kronis. Stres akut adalah stres yang intens yang muncul dan hilang dengan cepat. Stres kronis adalah stres yang berlangsung dalam waktu yang lama, bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Dan ini adalah jenis stres yang paling destruktif.

Hiperstres terjadi bila seseorang didorong melampaui kemampuannya untuk bertahan dan mengatasi tekanan. Hiperstres muncul sebagai akibat dari kondisi beban berlebih (overload) atau bekerja terlalu keras. Saat seseorang mengalami hiperstres, bahkan hal kecil saja dapat memicu respon emosi yang sangat kuat. Hal yang tampak sepele dapat membuat seseorang yang mengalami hiperstres "meledak", marah besar, atau menangis hebat. 

Hipostres adalah kebalikan dari hiperstres. Hipostres terjadi saat seseorang merasa hidupnya monoton, tidak ada tantangan dan membosankan. Orang yang mengalami hipostres sering gelisah dan tidak bersemangat, apatis.

Informasi detil pengaruh stres terhadap kesehatan dapat Anda baca di buku saya The Miracle of MindBody Medicine terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Stres, Otak, dan Pembelajaran

Dari uraian singkat di atas mengenai stres tampak bahwa manusia membutuhkan stres, dalam batas dan kadar tertentu, untuk bisa berkembang. Dan memang demikianlah kita dirancang. Penelitian di bidang neurosains memvalidasi hal ini.

Otak bersifat plastis, senantiasa berubah mencerminkan lingkungan tempat individu berada. Dengan kata lain, arsitektur otak menjelaskan dan adalah refleksi dari lingkungan yang membentuknya. Lingkungan ideal untuk perkembangan otak adalah lingkungan yang kaya stimulasi, penuh tantangan terkendali, dan kompleks yang meningkatkan pembelajaran dan pertumbuhan otak. Sebaliknya lingkungan yang buruk adalah lingkungan miskin stimulasi dan tanpa tantangan.

Lingkungan awal tempat anak hidup dan kualitas relasi interpersonal dengan pengasuh utamanya terekam dengan sangat kuat di otak anak melalui proses pembentukan jaringan neuron yang selanjutnya memengaruhi otak dalam memroses memori, emosi, dan ikatan emosi anak dengan orang lain.

Hasil penelitian pada otak hewan yang dibesarkan dalam lingkungan kaya stimulasi menunjukkan perbedaan signifikan, lebih banyak neuron, lebih banyak koneksi antarneuron, lebih banyak pembuluh darah kapiler, dan lebih banyak aktivitas mitokondria, dibandingkan hewan di lingkungan miskin stimulasi. Lingkungan kaya stimulasi ini memberikan stres positif, eustres, yang memicu pertumbuhan neuron dan jaringan neuron di otak.

Stres ektrim atau berlebih menghambat proses belajar dan pertumbuhan otak. Stres yang ringan hingga moderat sangat baik menstimulasi hormon pertumbuhan neuron dan mengakibatkan meningkatnya produksi sel otak di wilayah yang terlibat dalam proses belajar.

Otak yang sehat dan bekerja optimal adalah otak yang terus bertumbuh dan wilayah otak yang mengatur/mengendalikan fungsi emosi, kognisi, sensasi, serta perilaku semakin terintegrasi.

Dalam proses tumbuh kembang, anak perlu dipapar pada stres yang berulang, terukur, aman, dalam konteks interpersonal yang mendukung. Dengan demikian semakin lama tingkat toleransi stres anak menjadi semakin meningkat. Regulasi emosi yang fleksibel dan seimbang semakin mendorong keberlanjutan kemampuan otak untuk mengatasi situasi atau kejadian yang membangkitkan emosi yang intens, dan memungkinkan terjadinya pembelajaran berkelanjutan dan integrasi berbagai wilayah dan fungsi otak. 

Keberhasilan mengatasi tantangan (baca: stres) yang dialami dalam hidup akan membuat individu semakin mampu menghadapi dan mengatasi tantangan atau stres lanjutan yang semakin berat dan kompleks. Ini semua memacu pertumbuhan dan integrasi jaringan neuron.

Faktor genetik walau berpengaruh namun tidak terlalu besar dalam pertumbuhan dan perkembangan jaringan neuron. Masih dari data riset, diketahui bahwa 70% dari stuktur genetik individu "ditambahkan" setelah kelahiran.

Kondisi Anak 

Anak-anak saat ini sangat sering mengalami stres berlebih. Stres pertama akibat perlakuan orangtua yang seringkali, karena tidak mengerti proses tumbuh kembang yang benar, menggunakan parameter yang salah untuk mengukur perkembangan anak. Ada orangtua yang menuntut anak untuk disiplin, mandiri, bersikap baik dan manis, tidak boleh rewel, padahal anak masih sangat kecil. Intinya, orangtua menuntut anak untuk sudah bisa atau mampu mencapai kondisi sikap, mental, atau emosi di atas usia anak.

Salah satu penyebab stres berlebih pada anak, dari temuan dan pengalaman klinis kami, adalah orangtua tidak memberikan perhatian dan kasih sayang yang seharusnya anak terima. Ada suami dan istri yang hanya siap menjadi papa dan mama namun tidak siap menjadi orangtua. Orangtua tipe ini, disadari atau tidak, melakukan pemiskinan emosi anak. Mereka sibuk bekerja, sibuk sendiri, tidak mengisi tangki cinta anak secara berkala. Semua ini mengakibatkan stres pada anak yang tampak dalam simtom perilaku anak.

Sumber stres lainnya adalah sekolah. Beban akademik yang cukup tinggi, kurangnya waktu bermain, tekanan dari sekolah dan orangtua pada anak agar mencapai prestasi yang baik semuanya akan memengaruhi anak dan dapat berakibat sangat buruk.

Belum lagi orangtua yang suka membandingkan anak dengan anak temannya. Biasanya bila dilakukan pembandingan maka yang dibandingkan selalu kelemahan atau kekurangan anak dengan kelebihan anak lain. Orangtua lalu “memotivasi”, lebih tepatnya menuntut, anak untuk bisa semakin meningkatkan prestasi dengan belajar lebih keras, ikut les macam-macam. Orangtua tipe ini akan sangat bangga bila anaknya bisa meraih prestasi gemilang walaupun anak belum tentu senang dengan capaian ini.

Mencermati hal ini, apa hal terbaik yang bisa kita, selaku orangtua, lakukan untuk anak-anak kita?

Saat anak mengalami kendala atau masalah, baik itu di rumah atau di sekolah, ini adalah stres. Stres ini bisa eustres atau distres. Stres ringan yang sebenarnya baik untuk anak, eustres, bisa dengan cepat berubah menjadi distres bila anak merasa tidak mampu, tidak berdaya, atau tidak bisa mengatasinya. Sebaliknya, distres dapat berubah menjadi eustres bila anak mendapat dukungan dari kedua orangtuanya.

Mengapa distres bisa berubah menjadi distres? Ingat, distres adalah stres yang dialami individu di mana ia merasa atau percaya dirinya terperangkap dan tidak bisa meninggalkan atau keluar dari situasi ini, merasa tidak berdaya dan frustrasi. Saat orangtua turut campur, memberi dukungan, membantu mengarahkan solusi maka perasaan tidak berdaya ini berganti dengan harapan pasti. Distres berubah menjadi eustres. Di sinilah dibutuhkan pendampingan berkelanjutan dari orangtua sampai anak benar-benar kuat.

Ada banyak kasus yang pernah saya tangani, klien anak atau remaja yang mengalami perasaan tertekan, frustrasi, insomnia, mimpi buruk tiap malam, tidak semangat hidup, mogok sekolah, ternyata mereka dulunya sekolah di luar negeri saat usia masih sangat muda. Ada yang masih usia enam tahun sudah di sekolahkan di Singapore. Ada yang SMP sudah dikirim ke luar negeri.

Anak-anak ini ternyata mengalami hambatan, tekanan, atau masalah yang sebenarnya normal, biasa-biasa saja, namun karena tidak ada tempat curhat, tidak ada yang mendengar, tidak ada yang bisa memberi dukungan, saran, bimbingan, atau solusi, akibatnya mereka masuk ke tahap learned helplessness.

Satu kondisi yang juga sangat tidak baik bagi anak adalah hipostres. Di sini anak benar-benar dilindungi oleh orangtua. Anak tidak boleh stres sama sekali. Semua masalah mereka ditangani oleh orangtua.

Ada anak yang ribut dengan temannya di sekolah, saat pulang cerita ke ibunya, yang marah dan tidak terima justru ibunya. Padalah si anak sudah baikan dengan temannya. Besoknya, si ibu mencari teman anaknya dan melabrak teman ini di sekolah. Ada lagi anak yang PR-nya banyak tapi orangtua yang sibuk membantu mengerjakannnya. Ini tentu sangat tidak mendidik.

Saya ingat dulu salah satu putri kami pulang sekolah dengan kondisi lututnya terluka. Saat ditanya apa yang terjadi putri kami menjelaskan bahwa ia didorong oleh salah satu temannya.

Saya sarankan agar ia lebih hati-hati kalau jumpa teman ini dan bila mau didorong lagi saya sarankan putri kami untuk bersikap tegas dan melawan, jangan hanya diam. Kalau perlu laporkan temannya ke wali kelas atau kepala sekolah. Urusan anak biarlah anak yang selesaikan. Orangtua tidak perlu ikut-ikut.

Anak perlu diberi atau diijinkan mengalami stres yang terkontrol. Orangtua perlu mendampingi anak saat ia mengalami atau menjalani “pelatihan” stres ini. Bila anak mampu mengatasi stresnya maka ini akan sangat baik. Ia tahu ia bisa, mampu, cakap, dan kompeten. Berikutnya bila mengalami stres dengan kadar yang sama maka ia pasti bisa mengatasinya sendiri.

Vaksin stres perlu diberikan pada anak secara bertahap. Sama seperti berlatih beban. Saat masih baru berlatih, kita menggunakan beban yang ringan. Semakin lama otot kita menjadi semakin kuat dan terlatih dan beban bisa semakin ditingkatkan.

Demikian pula vaksin stres. Bila diberikan pada waktu dan dosis yang sesuai akan melatih otot mental anak sehingga semakin lama semakin kuat. Otot mental ini akan sangat besar manfaatnya bagi anak saat ia dewasa kelak, saat menghadapi berbagai masalah yang mungkin terjadi dalam hidupnya, saat mengatasi tekanan pekerjaan, saat melakukan goal setting dan bekerja keras mewujudkan impian-impiannya.

Salah satu contoh vaksin stres adalah dengan mengijinkan anak merasa kecewa karena permintaannya tidak dikabulkan. Tidak semua permintaan anak harus atau perlu dikabulkan. Biasanya, orangtua yang permisif, atau yang merasa bersalah karena tidak bisa memberi waktu pada anaknya, berusaha menebus rasa bersalahnya dengan memberikan anak apapun yang anak inginkan. Berbagai kemudahan ini justru membuat anak rentan terhadap stres di kemudian hari.

Baca Selengkapnya

Mengapa Umumnya Hipnoterapis Tidak Melakukan Regresi?

22 Februari 2014

Beberapa waktu lalu saya menangani klien yang datang dari luar kota. Klien ini, sebut saja Pak Budi, mengalami kecemasan tinggi yang berakibat pada meningkatnya produksi asam lambung dan sering mimpi buruk.

Saat wawancara, sesuai prosedur standar yang diterapkan di lembaga AWG Institute, saya bertanya antara lain seputar riwayat masalah yang Pak Budi alami: kapan ia mulai mengalami cemas berlebih, apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya, bagaimana kondisinya hingga saat ini, dan apa saja yang telah ia lakukan untuk mengatasi masalahnya.

Pak Budi menjelaskan bahwa ia telah “berobat” ke empat hipnoterapis di dalam negeri dan Singapore. Ia menjelaskan bahwa para hipnoterapis ini menerapi dirinya hanya membutuhkan waktu rata-rata sekitar satu jam dan semuanya hanya menggunakan sugesti.

Pak Budi kebetulan banyak membaca dan cukup memahami proses dan teknik hipnoterapi. Ia bertanya, “Pak Adi, apa memang teknik terapi itu hanya dengan sugesti? Saya baca di beberapa buku dan situs internet ada teknik regresi. Selama saya menjalani hipnoterapi belum pernah saya diregresi. Apakah teknik regresi memang jarang dipraktikan dalam hipnoterapi?”

Saya jelaskan pada Pak Budi bahwa sebenarnya teknik yang digunakan tentu perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi klien, tidak harus dengan regresi. Terapi tidak harus menggunakan regresi. Ada banyak teknik lain yang juga sangat efektif. Dan setahu saya ada banyak hipnoterapis di Indonesia atau di luar negeri yang cakap melakukan regresi. Mungkin saja ia belum sempat bertemu hipnoterapis ini.

Kembali Pak Budi bertanya, “Tapi mengapa dari empat hipnoterapis ini tidak ada satupun yang menggunakan regresi? Apakah teknik regresi tidak efektif, sulit dipelajari, atau memang jarang diajarkan sehingga jarang ada yang menggunakannya?”

Saya berusaha mendapatkan informasi lebih mendalam dan bertanya, “Pak Budi, berapa sesi terapi yang Bapak jalani dengan masing-masing hipnoterapis?”

“Saya hanya menjalani masing-masing hanya sekali saja. Dengan dua hipnoterapis saya hanya diajak bicara. Dengan yang lainnya saya diminta rileks dan diberi sugesti,” jawabnya.

Nah, di sinilah saya mendapat titik terang. Setiap terapis tentu punya strategi terapi yang akan ia gunakan untuk membantu klien. Dan tentu strategi ini tidak perlu dijelaskan pada klien. Teknik terapi adalah sesuatu yang dipelajari, dipahami, dan dipraktikkan oleh terapis dan dialami oleh klien. Ada terapis yang baru akan menggunakan regresi di sesi kedua atau ketiga, bergantung kesiapan, kebutuhan, situasi, dan kondisi klien. Jadi, tidak serta merta langsung menggunakan teknik regresi di sesi pertama. Dan belum tentu hipnoterapis sebelumnya tidak menguasai teknik regresi.

Setelah selesai menerapi Pak Budi saya duduk termenung di ruang kerja saya. Pertanyaannya kembali mengiang di telinga saya, “Apakah teknik regresi tidak efektif, sulit dipelajari, atau memang jarang diajarkan sehingga jarang ada yang menggunakannya?” Semakin lama pertanyaan ini membuat saya semakin pemasaran dan mendorong saya untuk menemukan jawabannya.

Ingatan saya bergerak mundur ke masa awal saya belajar hipnosis dan hipnoterapi di tahun 2004/2005. Selanjutnya, menyusuri garis waktu, muncul memori saat saya menghabiskan begitu banyak waktu dan tenaga membaca berbagai buku yang saya beli dari Amazon.com dan berbagai toko buku bekas di Amerika, dan juga membaca sangat banyak informasi di situs para praktisi dan pakar hipnoterapi di luar negeri. Saya juga ingat waktu dulu saya dengan antusias, sehari sampai enam jam, memelajari berbagai teknik terapi, termasuk regresi, dengan menonton dan memelajari ratusan DVD yang saya beli dari luar negeri.

Singkat cerita, setelah sungguh-sunguh mencermati, saya akhirnya sampai pada satu simpulan menarik. Ternyata memang tidak banyak trainer hipnoterapi di luar negeri yang benar-benar mendalami teknik regresi secara sangat mendalam. Demikian juga dengan buku. Ada banyak buku bagus membahas topik hipnosis dan hipnoterapi. Namun hanya sedikit yang khusus membahas regresi. Kalaupun ada, pembahasannya hanya pada tataran teori atau konsep, sangat jarang ada yang membahas hal yang sifatnya praktis. Apalagi sampai menjelaskan langkah demi langkah cara melakukan regresi dengan contoh kasus riil. Sejauh ini, buku yang menjelaskan dengan detil teknik dan proses regresi yang dilanjutkan dengan penanganan abreaksi sangat sedikit.

Regresi, selain sangat efektif untuk mencari dan menemukan akar masalah juga dapat digunakan untuk mengakses memori positif dari kejadian tertentu di masa lalu. Regresi jenis ini bertujuan untuk mengalami kembali pengalaman positif, sikap dan pola pikir positif yang mungkin selama ini dorman atau tidak aktif, emosi-emosi positif yang telah "pudar" seiring waktu berjalan. Ini sangat baik untuk membangkitkan kembali berbagai kondisi mental dan emosi yang konstruktif dan bermanfaat bagi kemajuan hidup klien. 

Beberapa kendala yang biasanya dialami hipnoterapis pemula dalam melakukan regresi, seperti yang dulu saya alami saat baru belajar dan mempraktikkan hipnoterapi, antara lain:

1. terapis merasa tidak mampu atau tidak siap karena ego strength yang kurang kuat.

2. klien tidak siap, bisa tidak siap mengingat kembali pengalaman traumatik atau cemas dengan kemungkinan emosi yang muncul.

3. ketidakmampuan membawa klien masuk ke kedalaman hipnosis yang sesuai untuk teknik regresi. Agar teknik regresi yang dilanjutkan dengan revivifikasi, bukan sekedar hipermnesia, bisa bekerja dengan baik dan optimal dibutuhkan kedalaman profound somnambulism. Tanpa kedalaman ini regresi yang berlanjut dengan revivifikasi mustahil bisa dilakukan.

4. terapis tidak siap dan merasa tidak mampu menangani abreaksi atau luapan emosi yang terjadi saat klien mengalami revivifikasi pengalaman traumatik berisi muatan emosi yang intens. Umumnya, bila terjadi abreaksi, apalagi sampai abreaksi hebat, terapis akan panik atau takut saat melihat klien “mengamuk” atau marah, berteriak, memukul, menangis, dll. Belum lagi kalau klien sampai sesak napas, kram di daerah perut, lengan, atau kaki.

5. terapis tidak paham teknik regresi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan klien serta tidak menggunakan semantik yang sesuai saat memulai regresi dan mempertahankan klien dalam kondisi teregresi.

6. terapis tidak menguasai teknik resolusi trauma. Abreaksi adalah satu hal dan tidak bersifat terapeutik. Abreaksi perlu dilanjutkan dengan resolusi trauma sehingga masalah klien benar-benar tuntas ditangani.

7. terapis telah mencoba teknik regresi namun tidak berhasil menemukan akar masalah sehingga beranggapan teknik ini tidak efektif. Memang ada banyak teknik regresi. Dan dari sekian banyak teknik, dari pengalaman klinis kami, hanya ada satu atau dua teknik yang benar-benar sangat efektif untuk menemukan akar masalah.

Baca Selengkapnya

Memahami Fenomena Hipnotik : Disosiasi

15 Februari 2014

Disosiasi, yang secara harafiah artinya terpisah, adalah fenomena hipnotik di mana satu bagian dari aspek fisik atau mental seseorang mengalami kejadian atau beroperasi independen dan terpisah dari bagian lainnya. Biasanya pikiran seseorang terbagi menjadi beberapa proses yang berbeda dan berdiri sendiri, misal gambar mental yang terpisah dari emosinya, atau, dalam kondisi ekstrim, bisa terjadi dua atau lebih Bagian Diri (Ego Personality) yang aktif dalam satu pikiran yang sama.

O’Hanlon (1987) menggambarkan disosiasi sebagai pemisahan kondisi sadar dan nirsadar atau sebagai pemisahan emosi dari pikiran, perilaku, dan perasaan. Hilgard (1977) mendefinisikan disosiasi sebagai proses mental di mana sistem ide terpisah dari kepribadian normal dan beroperasi secara independen. Hilgard (1997) memandang disosiasi sebagai fenomena penting yang menjadi dasar pengalaman hipnotik yang dialami seseorang. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bartis dan Zamansky (1986).

Salah satu contoh fenomena hipnotik yang didasari disosiasi adalah amnesia. Amnesia adalah satu kondisi di mana informasi tidak dapat diingat karena dipegang atau disimpan oleh satu Bagian Diri yang terdisosiasi sehingga tidak bisa diakses oleh Bagian Diri yang lain. Demikian pula fenomena lainnya seperti halusinasi.

Disosiasi yang terjadi pada tubuh adalah satu cara penting untuk mengendalikan rasa sakit dan merupakan dasar untuk menghasilkan anestesi mental (Kroger, 1963).

Satu aspek penting disosiasi yaitu bagian-bagian yang terdisosiasi sifatnya otonom atau semiotonom di mana mereka berfungsi secara mandiri, dalam derajat tertentu, terhadap bagian lainnya.

Disosiasi terjadi secara alamiah baik dengan atau tanpa kondisi hipnosis/trance. Penting untuk disadari bahwa disosiasi adalah mekanisme mental yang dapat digunakan baik untuk hal yang produktif maupun kontraproduktif.

Umumnya disosiasi dihubungkan dengan gangguan mental seperti kepribadian yang terpecah / DID (dissociative identitiy disorder), disosiasi afek (tidak ada perasaan yang terhubung dengan sebuah memori atau kejadian), fugue disosiatif, amnesia dan represi yang diperkuat disosiasi yang menghambat seseorang untuk mengingat masa lalu.

Disosiasi sebenarnya sangat bermanfaat. Setiap orang pasti mengalami disosiasi secara normal dan sehat sebagai bagian penting dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Sebagai contoh, saat sedang fokus mengerjakan hal penting, kita secara normal dan alamiah melakukan dan mengalami disosiasi sehingga tidak mengingat atau lupa akan hal-hal yang membuat diri kita cemas atau khawatir. Saat sedang asyik nonton film kita tidak mendengar suara telpon yang berdering agar dapat benar-benar fokus dan menikmati filmnya.

Saat jalan dan melangkahkan kaki, kita juga mengalami disosiasi. Kita tidak perlu secara sadar dan sengaja (asosiasi) mengendalikan langkah kaki agar dapat berjalan. Justru berjalan akan menjadi sulit saat kita secara sengaja mengatur langkah kaki dan gerakan tubuh.

Saat sistem pilot otomatis kita aktif, kita menggunakan disosiasi secara adaptif untuk menjalani hidup. Dalam studi literatur yang ia lakukan, Uneståhl (1988) melaporkan bahwa riset berulang kali menemukan bahwa 90% hingga 95% hidup kita dijalankan secara otomatis.

 

 

Baca Selengkapnya

The Conny Method: Melahirkan Nyaman, Mudah, dan Menyenangkan

13 Februari 2014

(Berikut ini adalah proses persalinan anak kedua dari sahabat saya, Conny Widya, istri dari Agus Wirajaya. Mereka berdua adalah hipnoterapis alumni AWG Institute, tinggal di Denpasar, dan secara khusus mengembangkan teknik hypnobirthing The Conny Method  yang sangat luar biasa. Teknik ini telah diajarkan kepada banyak ibu hamil dan para ibu ini telah melahirkan dengan perasaan sangat nyaman, mudah, lancar, sama sekali tidak ada rasa sakit, dan bahkan ada yang mengalami orgasme saat melahirkan, seperti yang dialami oleh salah satu klien mereka tgl 24 Januari 2014 lalu. Berikut sekilas proses persalinan Conny yang terjadi di rumahnya. )

Dear Pak Adi, 

Semoga email ini menjumpai Pak Adi dalam keadaan sehat dan sejahtera. Saya ingin menyampaikan proses kelahiran Mallika, putri kedua kami, berat 3,2 kg dan panjang 51 cm, berdasarkan apa yang disampaikan oleh Conny, mengingat selama proses persalinan Conny tetap pegang BB sehingga bisa lihat jam. Conny masih bbm dengan Intan, adiknya, saat sudah pecah ketuban. Jadi saya rasa cerita Conny lebih akurat daripada cerita saya kemarin. 

Adapun waktu itu tanggal 10 Feb sekitar jam 2 pagi Conny mulai merasakan kontraksi berkala. Kemudian dihitung sendiri oleh Conny jeda antar kontraksi sekitar 8 menit sekali. Sambil menunggu kemajuan kontraksi kami bercerita dan bercanda ringan sembari saya melakukan sentuhan ringan di pinggang dan pinggul Conny. Sampai akhirnya saya beberapa kali tertidur karena saking nyamannya. Sekitar jam 5  jeda kontraksi sekitar 5 menit. 

Setelah itu Conny mengabari bidan yang akan bertugas membantu persalinan perihal kontraksinya. Bidan ini ingin segera datang tapi Conny menyarankan pagi saja setelah sarapan karena masih terlalu pagi. Lagi pula Conny menikmati dengan sadar proses yang terjadi dalam perutnya. Bahkan dia bisa merasakan bagaimana kepala bayi mulai terdorong ke bawah secara perlahan sehingga tulang pinggulnya seperti tertarik melebar. Ini semua dialami dengan tenang, nyaman, dan santai. 

Jam 09.00 bidan yang bertugas datang, menyiapkan peralatan dan keperluan persalinan, dan dengan santai sambil ngobrol-ngobrol sampai jam 10 lebih kemudian diperiksa dalam oleh bidan dan ini baru terjadi bukaan 1 longgar. Tensi Conny cukup tinggi 140/90 di mana tensi ideal adalah 120/80, sehingga harus diobservasi lagi. Bila tensi tidak turun, maka conny harus cek urine ke lab, menghindari resiko eklampsia (naiknya tekanan darah tiba-tiba pada ibu hamil). Ada beberapa kasus yang pernah saya baca saat akan melahirkan tiba-tiba tekanan darah tinggi, sehingga ada kemungkinan terjadi pecah pembuluh darah dan pendarahan hebat, dan menghadapi resiko kematian ibu. 

Selesai periksa dalam, Conny mengajak bidan jalan-jalan melihat ruang terapi kami, ruang PAUD, dan mencarikan bacaan untuk bidan agar tidak bosan menunggu, lalu kami masuk ruang terapi. Saya membimbing Conny relaksasi dengan dengan teknik indusi EAI, lalu saya lakukan ERT untuk menetralisir berbagai emosi yang mungkin Conny rasakan.

Selanjutnya masuk peristiwa bahagia, compounding, lalu teknik visualisasi mawar merekah, dilanjutkan dengan sugesti setiap kontraksi yang terjadi terasa nyaman , menyenangkan, dan teras begitu cepat, sehingga berapa lama pun waktu yang dibutuhkan untuk kontraksi Conny seperti merasakan itu terjadi hanya dalam beberapa menit. Saat dalam kesadaran penuh maka mawar merekah ini tetap terjadi pada jalur lahir yang akan dilalui bayi kami. Kemudian saya minta Conny memvisualisasikan proses bersalinnya begitu nyaman, bahkan orgasme (ini gagal terjadi pada Conny karena saking cepatnya antara crowning dan bayi keluar). Sugesti pengunci. Emerging. 

Setelah itu kami makan siang, waktu itu sudah jam 13.00 siang. Selesai makan dan ngobrol, Conny jalan-jalan di kamar, jam 13.40 tiba-tiba pecah ketuban, setelah sebuah kontraksi yang cukup panjang dan kuat. Conny tahu dan sangat sadar bagaimana gerakan perutnya, bagaimana bayi semakin terdorong turun bagian atas jalan lahir seperti terdorong ke atas. Tapi Conny sangat menikmati proses ini. Conny naik ke tempat tidur, saya ngepel lantai dulu, mengisi kolam plastik dengan air panas, bidan meriksa kembali kelengkapan peralatannya lalu melakukan pemeriksaan dalam dan bidan mengatakan bukaan 4 lingga (hampir 5). Conny diperiksa tensi sudah menjadi 120/90. Saya bilang sama bidannya sebentar lagi mudah-mudahan normal. 

Saya bertanya pada bidan berapa lama biasanya bukaan lengkap, menurut bidan untuk kehamilan anak kedua dan seterusnya biasanya bukaan 4 ke bukaan berikutnya, setiap bukaan biasanya kurang lebih sekitar 30 menit. Jadi bidan memperkirakan bayi kami lahir sekitar jam 4 sampai jam 5. Kemudian bidan keluar kamar, dan bilang akan periksa 30 menit lagi sehingga, kalau bukaan 8 baru menghubungi dokter. Dengan demikian dokter bisa tiba saat bukaan lengkap. Asumsi bidan bukaan 8 ke 10 sekitar 1 jam sehingga cukup waktu dokter sampai ke rumah kami. Jam 11.00 dokter sedang menangani SC di salah satu rumah sakit. 

Saya menyalakan musik, lalu kami berdua ngobrol ditempat tidur, sambil bercanda dan ketawa-ketawa. Saya mengelus-elus bagian pinggang dan pinggul Conny dengan perasaan sayang, sesekali turun memeriksa air, membersihkan sisa air ketuban yang masih tercecer, menyiapkan keset di sekeliling kolam, minta tolong mama memakaikan Visakha, putri pertama kami, baju renang. 

Jam 14.00 iseng saya ingin lihat "isi" di balik selimut Conny, ternyata lendir penyumbat sudah sangat banyak di underpad (alas tidur semacam perlak agar cairan tidak jatuh ke kasur). Saya bilang sama Conny ini bisa jadi sudah mau lahir, atau paling tidak sudah bukaan 7 atau 8.  Conny bilang nggak mungkin sudah lengkap, kan baru sebentar, paling maju 1 atau 2 bukaan. 

Tepat selesai Conny bicara, Bidan mengetuk pintu minta masuk untuk memeriksa lagi karena telah 30 menit. Setelah diperiksa, ternyata bukaannya sudah 9 longgar (menuju 10). Periksa tensi 120/80 sehingga tidak perlu lagi cek urine di lab. Conny diijinkan masuk ke kolam. 

Saat masuk, Conny bilang airnya kurang hangat. Suhu yang dibutuhkan 37 derajat. Namun saat diukur, 35 derajat, sehingga harus ditambahkan air panas. Jadi saya keluar memanaskan air bersama mama lalu membawa Visakha masuk ke kolam ikut berenang sama mamanya. Air di water heater tidak mau panas seperti sebelumnya mungkin karena masih dalam proses pemanasan di tangkinya. 

Setelah itu saat saya mau ambil air panas di dapur, Bidan bilang sudah crowning (bukaan lengkap dan kepala bayi sudah tampak tapi belum keluar dari jalan lahir). Pengalaman sebelumnya saat Visakha lahir, waktu crowning dan kepala bayi keluar cukup lama. Sehingga saya pikir cukup waktu bawa air panas dari dapur ke kamar yang hanya berjarak 10 meter. Ternyata saat tiba di kamar Conny sudah memeluk si baby. Bidan bilang keluarnya perlahan namun pasti gerakannya konstan maju (kepala bayi tidak keluar masuk keluar masuk). Bayi keluar sepenuhnya dan berada di air pukul 14.44 wita dan Conny sama sekali tidak mengejan. 

Visakha ikut elus-elus kepala adiknya saat baru nongol dari jalan lahir. Kemudian Conny naik ke tempat tidur. Lima menit kemudian waktu keluarnya plasenta, Conny juga lakukan dengan mudah sambil tetap mendekap Mallika. Tak lama kemudian dokter datang (baru selesai operasi pukul 14.00). Setelah diperiksa ternyata sama sekali tidak ada robekan jalan lahir, hanya ada lecet akibat gesekan yang memang tidak bisa dihindari, akibat gesekan dengan rambut dan kepala bayi. Jadi dokter bilang tidak perlu minum antibiotik, minum penahan nyeri bila diperlukan (ternyata sampai saat ini tidak diperlukan), minum multi vitamin dan penambah darah agar cepat menggantikan darah yang keluar saat bersalin.

Yang luar biasa, tensinya Conny diturunkan dengan hipnosis. Bidan mengirim sms berkala kepada dokter yang diterima oleh asisten operasinya yang kemudian disampaikan kepada pak dokter. Saya perkirakan cukup waktu sampai sini setelah operasi, ternyata maju bukaannya cepat sekali. Terakhir dokter bilang, “Ibu Conny sudah boleh kok pakai celana jeans kalau mau. Pak Agus nanti saya akan referensikan pasien-pasien saya ke bapak, termasuk yang infertil karena faktor psikologis.” 

Yang saya jadikan catatan, Conny sangat sadar pada proses pergerakan perut, dan pergerakan bayi di dalam, tapi tetap merasa nyaman. Dia tahu kontraksi bahkan tetap santai. Yang lainnya, Conny bisa menahan untuk tidak mengikuti dorongan mengejan (saat Visakha dulu Conny sempat jadi bete karena dorongan ingin buang air ini tidak bisa dia atasi dan saya juga tidak menyangka ada kondisi seperti ini), sehingga akhirnya saat crowning Visakha, ada kontraksi untuk mendorong bayi, Conny mengejan keras melampiaskan keinginannya mengejan, dan akhirnya diperlukan beberapa jahitan untuk merapatkan robekan. Tapi saat sudah di ranjang untuk mengeluarkan plasenta Conny sudah tidak paksa mengejan lagi. Saat hendak dijahit sudah bisa bercanda sama dokternya. Dia bilang agak dirapetin ya dok jahitnya. 

Menurut saya, protokol hypnobirthing The Conny Method yang kami kembangkan telah mengalami kemajuan yang luar biasa karena telah diajarkan dan dipraktikkan kepada klien-klien kami selama 2,5 tahun dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi, dan terus kami sempurnakan berdasar masukan dan pengalaman para klien kami. Dan Conny yang lebih banyak mengajar The Conny Method kepada para klien kami. Dengan demikian secara tidak langsung dia juga tetap ikut latihan, sehingga perbaikan-perbaikan teknik lebih mudah kami lakukan, ketimbang saya sendiri karena tidak mengalami langsung proses hamil dan bersalin. 

Demikian Pak kejadiannya kemarin. Yang saya sayangkan cuma tiga hal, Pak. Pertama Conny gagal orgasme karena bayi keluarnya cepat. Kedua, saking cepatnya saya jadi tak sempat melihat prosesnya. Dan ketiga, tidak ada yang sempat merekam, bahkan bidan yang saya titipi kamera untuk merekam tidak keburu mengambil kameranya yang sudah saya siapkan dekat kasur karena proses persalinan yang sangat cepat. 

Sekali lagi terima kasih atas support dan terutama saran bapak tentang distorsi waktu yang dimasukkan ke protokol The Conny Method. Saya tidak menyangka hasilnya akan seperti ini. Jujur saya kira distorsi waktu ini hanya membuat kliennya merasakan proses yang lama jadi terasa semua begitu cepat, sehingga tidak terjadi lagi kejadian keluar spontan dari kondisi hipnosis  seperti pada klien sebelumnya, walaupun setelah itu klien masuk kembali ke kondisi hipnosis dan mengalami orgasme setelah itu.

Salam hormat dari kami sekeluarga, 

Agus, Conny, Visakha, dan Mallika.

Salam hangat,

Agus Wirajaya, SE, SAg, CCH.

Certified Clinical Hypnotherapist of Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology

HP: 08123814803   Pin BB: 25DF6F23

Baca Selengkapnya

Peran Ibu Dan Gangguan Emosi Pada Anak

28 Januari 2014

Ibu menempati posisi yang teramat penting dalam membesarkan dan mendidik anak. Proses pendidikan, khususnya di aspek emosi, telah mulai dilakukan oleh ibu, baik secara sadar atau tidak, sejak bayi dalam kandungan hingga lahir dan terutama selama enam tahun pertama kehidupan anak.

Sejak lahir bayi telah dibekali kemampuan atau kepekaan untuk merasakan ketidaknyamanan/rasa sakit yang ia ungkapkan dengan tangisan. Respon ini sifatnya protektif, penting bagi keselamatan hidup bayi, karena dengan cara ini ia memberitahu orang lain di sekitarnya mengenai perasaan tidak nyaman/sakit yang ia rasakan atau alami dan berharap orang di sekitarnya akan segera datang membantu dan menghilangkan perasaan yang mengganggu ini.

Tangis bayi biasanya akan segera mendapat perhatian dari ibunya. Saat ibu mampu memenuhi kebutuhannya, menghilangkan perasaan tidak nyaman atau menghilangkan rasa sakit, tangis bayi reda dan ia akan kembali tenang.

Tangis ini adalah komunikasi utama yang bayi gunakan dalam menyampaikan pesan tertentu mengenai apa yang ia butuhkan. Misalnya, bila ia merasa dingin, ibunya akan menyelimutinya. Bila ia buang air maka ibunya akan membersihkan dan mengganti popoknya. Bila ia lapar atau haus maka ibu akan memberi asi atau makan.

Setiap kali bayi merasa tidak nyaman atau sakit maka tangisnya sudah lebih dari cukup untuk bisa membuat ia mendapat apa yang dibutuhkan untuk kesejahteraan dan terutama keselamatan hidupnya. Ibu yang memberi atau memenuhi kebutuhan bayi, dalam hal ini, mewakili rasa aman, rasa nyaman, dan kedamaian. Bayi yang tak berdaya ini hanya bisa mengandalkan dan sepenuhnya bergantung kepada figur ibu untuk mengenali dan sekaligus menyelesaikan setiap masalah yang membuatnya tidak nyaman/sakit.

Setiap individu di sekitar bayi yang dapat segera memberi respon terhadap tangis bayi dan memberi bantuan yang dibutuhkan bayi berperan sebagai “ibu”.

Kadang, dalam situasi tertentu, bayi bisa menangis dalam waktu yang cukup lama sebelum mendapat perhatian atau bantuan dari ibunya. Dalam kondisi ini, untuk bisa mendapat perhatian ibunya maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan bayi adalah menangis semakin keras. Gerakan tangan, kaki, dan wajahnya menjadi semakin hebat, dan menunjukkan ia mengalami sesuatu yang lebih dari sekedar perasaan tidak nyaman atau sakit, yaitu perasaan takut.

Takut adalah perasaan yang menggantikan perasaan tidak nyaman atau sakit bila sumber perasaan tidak nyaman ini dirasa mengancam keselamatan hidup. Selama ia tidak mendapat perhatian atau respon yang dibutuhkan maka bayi akan terus menerus menangis. Tangisnya baru berhenti saat ibunya atau siapa saja yang ada di sekitarnya datang memberi perhatian dan memenuhi kebutuhannya.

Untuk anak yang lebih besar, saat ia merasa takut, maka ia bisa melakukan tindakan yang lebih positif yaitu berupaya menghindari atau menjauhi sumber perasaan tidak nyaman atau sakit. Ia akan merangkak atau lari menjauh ke tempat yang ia rasa aman. Anak cenderung akan bergerak mendekati ibunya (atau figur ibu) untuk mendapat rasa aman, bila ia tahu bisa mendapatkannya dari sosok ini. Perasaan takut ini akan terus ia alami dan rasakan sampai ia benar-benar merasa aman.

Lebih lanjut, setelah lebih besar, anak bisa merasakan emosi marah. Saat merasa takut anak akan menghindar. Namun responnya berbeda saat ia marah. Emosi marah mendorong anak untuk mengusir, menolak, atau bahkan menghancurkan sumber masalahnya dengan menggunakan sumber daya yang ia miliki atau yang ada dalam jangkauannya. Anak bisa berteriak, memukul dengan tangan, atau memukul menggunakan benda tertentu dengan satu tujuan yaitu segera menghilangkan penyebab rasa tidak nyaman atau sakit yang ia alami. Saat bahaya sudah lewat anak kembali menjadi tenang dan merasa nyaman. Ia belajar menggunakan emosi marah untuk tujuan pertahanan diri.

Jadi, dalam diri setiap insan ada tiga emosi utama yaitu perasaan tidak nyaman, takut, dan marah, dengan peran dan fungsi yang spesifik untuk menjaga kelangsungan hidup.

Rasa tidak nyaman sering muncul dalam bentuk perasaan ditolak, kesepian, dan terasing. Rasa takut berasal dari memori rasa tidak nyaman/sakit membuat seseorang berusaha menghindari atau menjauhi sesuatu yang dirasa atau dipersepsi sebagai bahaya. Takut dapat menyamar sebagai emosi cemas, ngeri, atau panik. Ketiga emosi ini sebenarnya sama, yaitu takut, namun dengan intensitas yang berbeda.

Emosi marah, melindungi individu baik dengan menakuti-nakuti sumber masalah agar menjauh atau pergi, atau menghilangkan secara pemanen, yang tampak dalam tindakan agresif, sikap bermusuhan dan kebencian.

Dengan demikian setiap emosi bermanfaat untuk memberdayakan individu dalam mengatasi bahaya, baik yang nyata atau hanya persepsi, agar selamat.

Saat emosi-emosi ini berhasil memenuhi peran dan fungsinya, tidak akan muncul masalah. Saat anak merasa tidak nyaman atau sakit, ia menangis dan mendapat perhatian dan bantuan. Saat merasa takut, ia lari menjauh atau menghindari bahaya ke tempat aman. Jika dua kondisi ini tidak mungkin, ia dapat menggunakan cara ketiga, marah, dan menghilangkan sumber bahaya sehingga bisa kembali merasa aman dan nyaman.

Namun, bila karena suatu hal emosi-emosi ini tidak dapat diungkap seperti yang seharusnya maka akan timbul masalah. Setiap emosi selalu disertai perubahan fisiologis yang spesifik untuk menjalankan fungsi emosi ini. Dengan demikian setiap emosi yang tidak dapat diungkap, tidak mendapat saluran keluar yang semestinya, mengakibatkan gangguan baik secara mental maupun fisik.

Dalam kondisi normal, jika tidak berhasil mendapatkan bantuan, saat ia merasa tidak nyaman atau sakit, anak akan menggunakan rasa takut untuk menghindar atau dapat menjadi marah dan mengusir atau menghilangkan sumber masalah.

Pertanyaan penting dan menarik untuk dikaji bersama yaitu apa yang akan terjadi bila ternyata sumber rasa tidak nyaman/sakit atau bahaya adalah ibunya sendiri. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan ibu adalah siapa saja yang punya hubungan dengan anak dan menjalankan fungsi/peran ibu yaitu menjaga dan mengasuh anak (misal: ayah, kakek, nenek, paman, tante, kakak, pembantu, atau baby sitter).

Bila yang menjadi sumber masalah adalah ibu, atau orang yang berperan sebagai ibu, maka anak akan bingung untuk memberi respon emosi yang tepat. Emosi yang seharusnya berguna untuk melidungi anak, kini tidak lagi dapat menjalankan fungsinya. Tangisan hanya akan membuat anak lebih menderita, sehingga rasa tidak nyaman ini tidak dapat ia ungkap.

Anak tidak dapat menggunakan emosi takut untuk lari atau menghindar karena ibu yang seharusnya memberi rasa aman kini justru menjadi sumber masalah. Tidak ada lagi tempat yang aman untuk berlindung atau mendapat perlindungan.

Demikian pula dengan emosi marah. Anak tidak dapat menggunakan emosi ini untuk menghilangkan sumber masalahnya karena, walau misalnya bisa ia lakukan, dengan melakukan hal ini pada saat bersamaan ia menghilangkan sumber rasa amannya. Satu-satunya jalan keluar bagi anak dalam situasi dan kondisi ini adalah memblok, menekan emosi yang ia rasakan atau alami.

Emosi, walau telah berhasil ditekan dan seolah telah hilang, ibarat api dalam sekam. Api emosi ini tetap menyala walau tidak disadari dan mengakibatkan berbagai masalah baik di aspek fisik dan atau mental/emosi.

Frederick “Fritz” Perls, bapak Gestalt, pernah mengatakan bahwa emosi memiliki rentang hidup yang meliputi satu kelahiran dan satu kematian, satu awal dan satu akhir. Perls juga menambahkan bahwa hanya ada dua cara untuk mengungkap emosi. Pertama, ke arah luar, dalam bentuk ekspresi verbal atau tindakan. Kedua, bila emosi ditekan sedemikian rupa sehingga tidak bisa diungkap, ia akan masuk ke dalam dan terekspresi melalui respon fisik (psikosomatis) dan atau gangguan mental/emosi. Emosi yang tidak berhasil diproses tuntas akan terus tinggal di dalam diri kita, menimbulkan masalah, sampai mereka berhasil diproses tuntas.

Dari riset di bidang neurosains di ketahui bahwa wilayah orbito-frontal, yang terletak di bawah lobus pre-frontal memainkan peran penting dalam kedali emosi. Schore (2001a) menamakan wilayah otak ini sebagai “senior executive” dari interaksi sosial, berperan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan emosi.

Schore (2000) juga menyatakan bahwa kedekatan hubungan anak dan ibu secara emosi memengaruhi pembentukan mekanisme mengatasi stres di otak kanan anak. Hal ini tampak pada wilayah orbito frontal atau “senior executive” yang sangat berkembang di wilayah otak sebelah kanan, dan sangat terlibat dalam pengolahan emosi. Jika wilayah ini tidak berkembang optimal atau mengalami gangguan perkembangan di tahun-tahun awal kehidupan akan sangat memengaruhi perilaku sosial dan moral di kemudian hari.

Otak sebelah kanan berperan aktif saat kita berusaha memahami emosi atau perasaan orang lain, saat berkomunikasi, melalui kontak mata, pemaknaan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan pergeseran halus kondisi pikiran dan perasaan yang terjadi atau dialami orang lain.

Ibu membantu perkembangan dan pertumbuhan bayi yang masih kecil melalui peran yang oleh Stern (1985) disebut dengan “self regulating other”. Dalam hal ini ibu berperan dan bertindak sebagai pihak yang memerhatikan, menyediakan, dan memenuhi kebutuhan anak, sejalan dengan ekspresi afeksi anak. 

Peran ini terjadi melalui interaksi antara ibu dan bayi. Saat bayi menangis, karena merasa tidak nyaman atau sakit, dan ibunya memberi perhatian dan respon dalam bentuk menggendong, memeluk, serta menenangkannya, baik secara fisik dan emosi, dan juga memberi stimulasi. 

Saya teringat salah satu topik bahasan yang saya dapatkan saat mengikuti pelatihan dan sertifikasi neurofeedback di Los Angeles beberapa bulan lalu. Sejalan dengan uraian Schore dan Stern, dalam upaya membantu klien, baik anak atau dewasa, lebih mampu meregulasi emosi mereka maka yang dilatih dengan neurofeedback adalah wilayah otak kanan terlebih dahulu baru setelah itu wilayah otak lainnya.  

Baca Selengkapnya

Memahami Fenomena Hipnotik

26 Januari 2014

Pemahaman awam mengenai aplikasi hipnosis untuk terapi selama ini lebih pada relaksasi yang dilanjutkan dengan pemberian sugesti. Banyak yang belum mengerti atau tidak tahu bahwa dalam kondisi hipnosis terdapat fenomena-fenomena hipnotik yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses perubahan yang bersifat terapeutik.

Langkah awal untuk mampu menerapkan pengetahuan dan pemahaman akan berbagai fenomena hipnotik dalam konteks klinis diawali dengan mengenal dan mengerti fenomena itu sendiri. Artikel ini bertujuan menjelaskan fenomena hipnotik yang dapat muncul dalam kondisi trance, baik secara spontan atau melalui proses yang difasilitasi oleh terapis, dan tidak untuk menjelaskan aplikasi setiap fenomena dalam konteks terapi. Penjelasan detil dan teknik utilisasi fenomena hipnotik untuk tujuan terapi hanya dapat dilakukan melalui pelatihan intens mengingat kompleksitas teoritis dan membutuhkan penjelasan mendalam dan untuk menghindari kontraindikasi.

Dalam kondisi hipnosis subjek dapat menghapus, memodifikasi, dan mencipta pengalaman yang tidak mungkin terjadi atau dialami dalam kondisi kesadaran normal. Subjek menjadi lentur dalam kemampuan persepsi waktu subjektif; waktu hipnotik dapat dipersepsikan (sangat) lama atau (sangat) singkat. Subjek dapat mengubah citra tubuhnya, memengaruhi aliran darah, mengurangi rasa sakit, secara disosiasi melihat diri mereka berada dalam realita lain, secara meyakinkan mundur ke masa kecil, merespon sugesti dengan sangat akurat, dan berkomunikasi secara simbolik melalui menggambar secara otomatis sambil tetap lancar berbicara dengan orang lain. Singkat kata, melalui hipnosis, subjek dapat mengubah relasi dan persepsi mereka terhadap waktu, mengubah pengalaman sensori, merespon secara otomatis, dan memodifikasi memori.

Fenomena hipnotik dapat digambarkan sebagai manifestasi alamiah perilaku dan pengalaman kondisi trance. Fenomena ini meliputi baik kejadian psikologis yang dialami secara subjektif, seperti mengingat, melupakan, distorsi waktu, dan perubahan persepsi, dan juga kejadian yang teramati, seperti lengan yang terangkat (arm levitation) atau menulis otomatis (automatic writing).

Fenomena hipnotik terjadi dan ada di semua kebudayaan di seluruh dunia dan di semua periode sejarah (Wickramasekera,1988). Fenomena ini kerap muncul dalam konteks keagamaan atau penyembuhan/medis.

Menurut Erickson (1980) terdapat beberapa karakteristik mental dan fisik yang ada pada semua kondisi hipnosis yaitu sugestibilitas, literal, katalepsi, amnesia, perubahan sensori, dan sugestibilitas pascahipnosis. Pada aspek fisik, karakteristik yang umum dijumpai yaitu napas dan denyut nadi melambat, perubahan yang berhubungan dengan mata, dan berkurangnya gerakan tubuh (Zeigh, 1984).

Fenomena hipnotik yang muncul dalam kondisi trance berbeda antara satu subjek dengan lainnya, bergantung pada tipe kepribadian, kedalaman tranceyang dicapai subjek, pengharapan, niat, sugesti yang diberikan, kondisi mental dan emosi pada satu saat, dan kebutuhan. Bahkan individu yang sama, di hari yang berbeda, dapat mengalami fenomena hipnotik yang berbeda pula.

Ada banyak skala kedalaman trance yang disusun oleh praktisi hipnoterapi yang menjelaskan hubungan antara kedalaman trance dan fenomena hipnotik, antara lain Stanford Hypnotic Susceptibility Scales, Harry Arons Hypnotic Depth Scale, Davis-Husband Scale, Lecron-Bordeaux Scale, Heron Depth Scale, Hartman Depth Scale. Namun sangat disayangkan tidak satupun skala ini menjelaskan secara eksplisit bagaimana memanfaatkan fenomena hipnotik untuk tujuan terapuetik.

Ragam Fenomena Hipnotik

Berikut ini adalah fenomena hipnotik beserta penjelasan singkat untuk masing-masing fenomena sesuai kategori.

Fungsi Memori

Amnesia adalah hilangnya kemampuan untuk mengingat atau mengenali pengalaman masa lalu. Amnesia dapat dimunculkan dalam kondisi hipnosis baik untuk menyembunyikan/menghambat akses memori (dari pengalaman, perasaan, atau bentuk pikiran) yang terjadi sebelum atau selama trance

Hipermnesia adalah meningkatkan kemampuan mengingat secara luar biasa. Fenomena hipnotik ini memungkinkan subjek mengingat dengan sangat nyata memori kejadian masa lalu lengkap dengan semua detil sensori. 

Sugesti pascahipnosis merujuk pada pelaksanaan atau eksekusi dari suatu sugesti yang diberikan saat subjek dalam kondisi hipnosis dan sugesti ini dilaksanakan setelah subjek keluar dari kondisi hipnosis. 

Bermain dengan Waktu

Perubahan persepsi terhadap waktu adalah salah satu fenomena trance yang umum dialami subjek dalam kondisi hipnosis, bahkan pada kondisi hipnosis dangkal (Erickson, 1980). Subjek dalam trance selama 60 menit dan merasa hanya 10 menit disebut mengalami kontraksi waktu (time contraction). Sedangkan subjek yang berada dalam kondisi trance 10 menit namun merasa 60 menit disebut mengalami ekspansi waktu (time expansion). Umumnya, semakin dalam kondisi trance, semakin intens kontraksi waktu yang dialami subjek. 

Fenomena ekspansi waktu pertama kali ditemukan oleh Cooper (1948) melalui eksperimen di mana subjek penelitian merasakan waktu subjektif selama 10 menit padahal waktu sebenarnya hanya 3 detik.

Regresi (age regression) adalah fenomena hipnotik yang sebagain berdasar pada mekanisme amnesia dan hipermnesia. Regresi artinya subjek mundur ke masa lalu. Dalam konteks hipnoterapi klinis, dikenal dua jenis regresi yaitu regresi terdisosiasi (hipermnesia) dan regresi terasosiasi (revivifikasi). Revivifikasi berbeda dengan hipermnesia. Hipermnesia adalah meningkatnya kemampuan mengingat, sedangkan revivifikasi memungkinkan subjek mengalami kembali memori dari kejadian masa lalu sama seperti dulu ia mengalaminya.

Selanjutnya, hipermnesia dan revivifikasi masing-masing terbagi menjadi dua tipe yaitu hipermnesia tipe 1 dan 2, dan revivifikasi tipe 1 dan 2, masing-masing dengan karakteristik mental dan kegunaan yang berbeda secara klinis. Revivifikasi tipe 1 ada dua tipe yaitu yang sifatnya complete dan partial (Gunawan, 2011). Revivifikasi tipe 2 juga disebut sebagai pseudo age regression (Weitzenhoffer, 1989b).

Progresi adalah fenomena hipnotik di mana subjek dibawa maju ke masa depan. Pengalaman di masa depan bisa berupa mengalami sukses seperti yang diinginkan, berbicara pada diri di masa depan, atau menjadi diri di masa depan, dengan tetap mampu mengakses pikiran dan perasaan diri dari masa sebelumnya. Beberapa istilah yang digunakan untuk progresi yaitu age progressionfuture orientation, dan psedu-orientation in time.

Dualitas Realita

Disosiasi adalah salah satu fenomena hipnotik yang cukup dikenal dan sering dialami. O’Hanlon (1987) menggambarkan disosiasi sebagai pemisahan kondisi sadar dan nirsadar atau sebagai pemisahan emosi dari pikiran, perilaku, dan perasaan. Hilgard (1977) mendefinisikan disosiasi sebagai proses mental di mana sistem ide terpisah dari kepribadian normal dan beroperasi secara independen.

Mimpi hipnotik meliputi kapasitas subjek untuk mengalami, baik saat di sesi terapi atau saat tidur di rumah, mimpi terapeutik yang dimunculkan dengan sugesti.

Gerakan Terdisosiasi

Katalepsi adalah kondisi istimewa di mana tonus dan keseimbangan otot memungkinkan subjek mempertahankan postur dan posisi tubuh untuk waktu yang lama tanpa merasa lelah. Katalepsi diikuti dengan melambatnya semua aktivitas psikomotor dan merupakan dasar dari fenomena lain seperti lengan terangkat (arm levitation).

Menulis otomatis (automatic writing) adalah fenomena hipnotik yang merupakan hasil dari disosiasi antara fungsi mental sadar dan nirsadar. Subjek diberi sugesti langsung atau tidak langsung dan merespon dalam bentuk menulis di luar kendali pikiran sadar. Melukis atau menggambar otomatis adalah seni yang berhubungan dengan menulis otomatis.

Modifikasi Persepsi

Analgesia adalah pudarnya kesadaran seseorang terhadap rasa sakit. Dalam hal ini rasa sakit semakin berkurang atau hanya tersisa sedikit tapi tetap bisa dirasakan. Sedangkan anestesi adalah hilangnya secara total rasa sakit. Subjek tidak merasakan apapun.

Hiperestesia adalah meningkatnya kepekaan indrawi terhadap berbagai stimuli sensori dan sensasi fisik seperti sentuhan, rasa hangat, atau dingin.

Respon ideomotor adalah gerakan anggota tubuh yang disebabkan oleh kendali pikiran bawah sadar sehingga tampak terjadi secara otomatis. Contoh respon ideomotor adalah gerakan kepala, gerakan jari, gerakan pendulum, atau lengan terangkat.

Halusinasi positif dan negatif merujuk pada perubahan pengalaman subjek terhadap stimuli sensori. Halusinasi dapat melibatkan indera apa saja: penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, dan sentuhan. Halusinasi positif artinya subjek mengalami sesuatu yang sebenarnya tidak ada menjadi ada. Bila yang terjadi adalah halusinasi visual positif maka subjek melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada menjadi ada. Halusinasi negatif artinya subjek mengalami sesuatu yang sebenarnya ada menjadi tidak ada. Contoh halusinasi visual negatif adalah saat subjek mencari kunci, kunci yang ada di depan mata ternyata tidak terlihat.  

Pada level ekstrim, halusinasi negatif dapat terjadi dalam bentuk kebutaan, buta warna, dan tuli. Kemampuan tubuh mengabaikan persepsi dari stimuli sensori spesifik adalah salah satu dasar dari pemanfaatan anestesi dan analgesia untuk kendali rasa sakit.

 

Simtom dan Fenomena Hipnotik

Contoh menarik yang menunjukkan kemiripan simtom dan fenomena hipnotik adalah distorsi waktu yang terjadi pada klien yang punya kebiasaan cuci tangan berulang atau mandi dalam waktu lama. Dalam beberapa kasus ada klien cuci tangan hingga setengah jam dan mandi hingga tiga jam. Saat ditanya mengapa ia cuci tangan atau mandi demikian lama, klien umumnya mengatakan bahwa ia tidak menyadari waktu berlalu begitu cepat. Ia merasa baru sebentar. Dalam hal ini klien mengalami distorsi waktu yang disebut kontraksi waktu.

Dalam konteks relasi, fenomena hipnotik sering terjadi dan dialami oleh salah satu pasangan atau keduanya tanpa disadari. Seringkali seseorang “melihat” atau “mendengar”  pasangannya bersikap dengan cara tertentu yang sebenarnya tidak akurat (halusinasi positif), atau justru tidak melihat perilaku yang sebenarnya tampak jelas di depan mata (halusinasi negatif), misalnya perubahan sikap atau kebiasaan pasangan yang mengindikasikan terjadi sesuatu yang di luar kewajaran.   

Contoh lain adalah saat pasangan bertengkar. Yang satu mampu mengingat dengan sangat detil berbagai kejadian di masa lalu (hipermnesia) sedangkan satunya sama sekali tidak ingat kejadiannya (amnesia).

Empat Prinsip Pemanfaatan Fenomena Hipnotik

Pemanfaatan fenomena hipnotik dalam konteks klinis mengikuti empat prinsip berikut. Pertama, terapis hanya menggunakan fenomena hipnotik yang paling mudah muncul, dimunculkan, atau dialami oleh klien. Prinsip ini mengacu pada kecenderungan setiap klien untuk mengalami atau dengan mudah memunculkan fenomena tertentu baik saat dalam kondisi trance atau di luar trance.

Kedua, terapis memanfaatkan fenomena yang menjadi bagian dari masalah klien untuk tujuan terapeutik (Erickson, 1965; Giligan, 1987). Dengan kata lain, bila terdapat fenomena hipnotik dalam manifestasi simtom, apapun fenomena ini, dapat diberdayakan sebagai bagian dari strategi penanganan dan resolusi masalah.

Ketiga, utilisasi fenomena hipnotik yang sifatnya berkebalikan dengan fenomena yang menjadi penyebab masalah. Fenomena hipnotik biasanya memiliki pasangan yang sifatnya berkebalikan, contohnya: amnesia – hipermnesia, kontraksi waktu – ekspansi waktu, regresi – progresi, anestesi – hiperestesia, halusinasi negatif – halusinasi positif.

Keempat, memilih fenomena yang dapat digunakan sebagai simbol terapi. Misalnya tangan terangkat (arm levitation) yang diletakkan di depan tubuh klien menjadi simbol resistensi yang memisahkan klien dan terapis. 

Baca Selengkapnya

Perilaku Manusia Ada Polanya

21 Januari 2014

Segala sesuatu di semesta alam ini selalu bekerja berdasarkan pola yang ajeg. Demikian pula dengan manusia. Dulu sewaktu memulai karir saya sebagai hipnoterapis klinis jujur saya sering bingung dan mengalami kesulitan saat menangani masalah klien yang tidak umum.

Ternyata masalah yang tidak umum ini menjadi tidak umum karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman saya akan cara kerja pikiran dan dinamika mental-emosi manusia. 

Sekarang, seiring waktu berjalan, dengan semakin banyak melakukan praktik dan riset plus membaca berbagai buku dan jurnal hipnoterapi sesuatu yang sebelumnya tampak membingungkan kini menjadi jelas dan gamblang. 

Semuanya menjadi semakin jelas dengan semakin banyaknya hipnoterapis profesional alumni pelatihan SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy) yang melakukan praktik.

Kami berbagi studi kasus dan pengalaman praktik di milis, tentu dengan tetap menjaga kerahasiaan klien sesuai kode etik profesi, sebagai cara efektif untuk saling belajar dan membelajarkan. 

Hingga saat ini sudah ada puluhan ribu kasus yang telah kami tangani. Misalnya, alumni SECH yang rutin praktik hanya 50 orang, ini perkiraan minimal, dengan rata-rata hanya menangani 1 (satu) klien per hari. Ada juga yang sampai 2 atau 3 klien per hari. 

Misalnya dalam satu minggu mereka praktik lima hari, mulai Senin sampai Jumat. Berarti dalam seminggu ada 50 (terapis) x 5 (hari kerja) x 1 (kasus per hari) = 250 kasus. Dalam satu bulan: 4 (minggu) x 250 = 1.000 kasus. Setahun 12 bulan x 1.000 = 12.000 kasus. 

Misalnya dihitung para alumni ini praktik mulai tahun 2008 hingga akhir tahun 2013, berarti 6 tahun. Maka total ada 6 x 12.000 kasus = 72.000 kasus. 

Dengan demikian teori pikiran bawah sadar yang kami kembangkan bersama di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, berbagai teknik intervensi klinis, dan QHP (Quantum Hypnotherapeutic Protocol) yang digunakan oleh para hipnoterapis ini telah dipraktikkan ke puluhan ribu klien. 

Dari pengalaman di ruang praktik kami menemukan bahwa apapun masalah klien, gangguan yang berhubungan emosi dan perilaku, selalu konsisten mengikuti pola tertentu. Ini temuan yang sangat berharga dan penting. Dengan memahami pola pembentukan simtom atau masalah maka kami mampu melakukan "cracking" pola ini dan melakukan restrukturisasi dengan benar sehingga mampu membantu klien mengatasi masalahnya dengan cepat, mudah, menyenangkan, dan permanen. 

Sejak tahun 2008 hingga sekarang kami masih terus melakukan fine-tuning berbagai teknik terapi yang kami gunakan. Ini semua berkat masukan dari para alumni yang praktik dan menemukan hal-hal baru di ruang terapi. Dengan demikian semakin lama teknik-teknik ini menjadi semakin lebih efektif dan efisien. 

Ada banyak teknik baru yang ditemukan atau diciptakan, baik secara sengaja atau tidak sengaja, oleh para alumni. Teknik-teknik ini selanjutnya kami analisis secara mendalam, dari perspektif teoritis, dan dipraktikkan ke klien. Setelah terbukti memberikan hasil terapeutik positif dan permanen barulah teknik ini kami beri nama, agar tidak bingung karena ada begitu banyak teknik, dan selanjutnya diajarkan kepada para peserta pelatihan SECH dan alumni. 

Jujur, saat ini untuk waktu yang 9 (sembilan) hari atau 100 jam sudah tidak lagi cukup untuk mengajarkan semua materi yang telah begitu berkembang. 

Satu impian besar kami di AWGI yaitu Indonesia di masa mendatang menjadi kiblat hipnoterapis klinis dunia. Saya bermimpi suatu saat nanti orang luar negeri, termasuk dari Amerika, belajar ke kita, anak bangsa Indonesia. Dan nanti di sertifikat kita beri lambang burung Garuda yang diembos dengan tinta warna emas dan bendera merah putih. 

Doakan ya... semoga cita-cita ini bisa segera terwujud. 

Demikianlah kenyataannya......

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List