The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Bagi praktisi hipnosis dan hipnoterapi, judul di atas tentu sangat absurd, tidak masuk akal. Bila Anda berpikir seperti ini, maka tujuan saya menarik perhatian Anda, tercapai. Saya sepenuhnya mengerti judul artikel ini sangat provokatif, bertentangan dengan teori pikiran yang selama ini digunakan dalam konteks hipnosis dan hipnoterapi.
Artikel ini merupakan kristalisasi pemikiran yang berasal dari berbagai literatur, temuan empiris di ruang praktik, dan hasil diskusi intensif dengan rekan sejawat hipnoterapis klinis AWGI, ditulis dengan tujuan merangsang dan mendorong daya nalar, membuka dan memperluas cakrawala pikir, dan memperkaya wawasan khususnya di bidang hipnoterapi klinis.
Walau artikel ini telah selesai ditulis namun tidak bersifat final karena ia ditulis berdasar temuan dan pemahaman kami saat ini. Tentu masih sangat terbuka lebar peluang menambah atau mengubah beberapa bagian tulisan ini bila di kemudian hari ada temuan-temuan baru.
Teori pikiran, yang diacu dalam memelajari dan mempraktikkan hipnosis/hipnoterapi menyatakan bahwa pikiran manusia terdiri atas tiga bagian: pikiran sadar (PS), pikiran bawah sadar (PBS), dan pikiran nirsadar (PNS). Masing-masing dengan fungsi, peran, sifat, dinamika kerja yang unik. Beberapa literatur memasukkan PNS sebagai bagian dari pikiran PBS. Dengan demikian, umumnya praktisi hipnosis/hipnoterapi kenal dua pikiran, PS dan PBS.
PS mempunyai empat fungsi spesifik yaitu mengidentifikasi informasi yang masuk melalui melalui panca indera - penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, sentuhan atau perasaan, membandingkan informasi yang masuk dengan basis data (referensi, pengalaman dan segala informasi ) yang berada di pikiran bawah sadar, melakukan analisis, dan akhirnya membuat keputusan.
Pikiran PBS mempunyai fungsi / menyimpan hal-hal berikut: kebiasaan (baik, buruk, dan reflek), emosi, memori jangka panjang, kepribadian, intuisi, kreativitas, persepsi, kepercayaan (belief) dan nilai hidup (value).
PS dan PBS, dalam kondisi sadar normal, keduanya aktif dan saling memengaruhi. Dalam hipnosis/hipnoterapi, untuk menjangkau PBS, terapis perlu lakukan induksi, baik formal atau tidak, untuk bisa menembus faktor kritis (critical factor) PS. Dalam kondisi tidur, PS tidak bekerja. PBS selalu aktif dalam segala situasi dan kondisi.
Menurut teori lama, perbandingan kekuatan pengaruh PS dan PBS terhadap individu adalah satu berbanding sembilan. Namun temuan terkini sangatlah berbeda.
Szegedy-Mazhak, dalam artikel “Mysteries of the Mind: Your Unconscious is Making Your Everyday Decisions” menyatakan bahwa cognitive neuroscientist menemukan PBS bertanggung jawab, mempengaruhi, dan menentukan proses dan hasil dari 95% hingga 99% aktivitas berpikir, dan dengan demikian menentukan hampir semua keputusan, tindakan, emosi, dan perilaku individu.
Dari pernyataan di atas tampak bahwa perbandingan kekuatan PS dan PBS bukan lagi satu banding sembilan namun bisa mencapai satu banding sembilan puluh sembilan. Sedangkan menurut Tor Norrentranders PBS seribu kali lebih kuat daripada PS. Dari penjelasan di atas tampak bahwa PBS sangat kuat memengaruhi dan kendalikan hidup individu.
Pikiran dan Kesadaran
Sebelum membahas tentang PS dan PBS saya akan jelaskan lebih dulu mengenai kesadaran atau consciousness. Kesadaran bukanlah kondisi absolut, tunggal. Terdapat banyak lapis kesadaran, mulai dari kondisi sadar normal hingga kondisi tidur. Pada setiap lapis kesadaran terdapat EP yang berbeda.
Kondisi dan kemampuan pikir individu yang sadar normal tentu beda dengan yang “ngelamun”, sedang “high” karena obat-obatan, stres, panik, takut, sedih, gembira, atau mengantuk. Semua ini, disadari atau tidak, terkait dengan aktivasi EP. Kondisi kesadaran spesifik, bila tidak dilakukan intervensi, akan aktifkan EP spesifik.
Ada lima komponen kesadaran (consciousness): kondisi kesadaran (state of consciousness), konten kesadaran (content of consciousness), keadaan mengetahui / sadar (awareness), energi, dan struktur.
Kondisi hipnosis adalah salah satu dari kondisi kesadaran yang berlapis-lapis. Itu sebabnya ada beragam kedalaman hipnosis dengan fenomenanya masing-masing. Sedangkan data yang disampaikan oleh EP ini disebut dengan muatan kesadaran.
Pikiran Sadar Menurut Perspektif Teori Ego Personality
Teori pikiran (sadar / bawah sadar) yang dijadikan referensi hipnotis/hipnoterapis seluruh dunia berkembang sejak awal era hipnosis moderen. Tentu teori ini tidak mencakup pemahaman ego state yang baru berkembang di sekitar tahun 1970an awal.
Konsep segmentasi kepribadian telah lama disebut dalam berbagai literatur (Assagioli, 1972; Beahrs, 1982; Freud, 1923; Janet, 1907; Jung, 1969; Kernberg, 1976; Kohut, 1977). Namun teori spesifik membahas ego state dikenalkan John G. Watkins dan istrinya Helen H. Watkins, di awal tahun 1970an dan ditulis dalam buku Ego States: Theory and Therapy. John Watkins belajar konsep ego state dari Federn (1952), dan Weiss (1960). Demikian pula Eric Berne (1961) dalam merumuskan Transactional Analysis.
Istilah Ego Personality (EP) digunakan sebagai payung besar untuk menaungi Bagian Diri yang ada di dalam diri individu. Saya memutuskan menggunakan istilah Ego Personality setelah membaca dan mendapat tambahan informasi berharga tentang segmentasi kepribadian di beberapa literatur seperti karya Beahrs (1982), Kohut (1977), Putnam (1989).
Menurut teori ego state, yang dikembangkan Watkins dan Watkins (1976), dalam diri manusia ada tiga bagian diri yaitu ego state, part, dan introject. Sedangkan dalam payung Ego Personality semula terdapat lima bagian diri yaitu ego state, part, introject, identofact,dan alter.
Berdasar temuan di ruang praktik kami, kami menemukan jenis-jenis bagian diri yang belum pernah dinyatakan dalam berbagai literatur, yaitu Mission, Imprint, Iatron, Phantom, Outer, Entity, Retro, Follower, Transfer, Duplicate, Copaste, dan Carryover.
Mengamati EP paling mudah adalah saat baru bangun tidur. Saat ini biasanya ada dua EP konflik, dan satu EP pengamat. Satu EP ingin individu segera bangkit dari tempat tidur. EP lainnya masih ingin bermalas-malasan di ranjang. Kedua EP ini lakukan dialog, tarik ulur, dan semua ini diamati oleh satu EP lagi. Dengan demikian, dalam situasi ini ada tiga EP aktif simultan.
Dari uraian di atas muncul pertanyaan penting, “Yang manakah yang dimaksud dengan individu? Apakah EP yang ingin segera bangun dari tempat tidur, EP yang masih ingin bermalas-malasan, ataukah EP pengamat?”
Pertanyaan berikutnya, “Bila individu akhirnya buat keputusan bangun dari tempat tidur, EP manakah yang buat keputusan ini? Apakah salah satu dari tiga EP tersebut? Atau EP yang lain lagi?"
Terlepas dari EP manapun yang membuat keputusan, apakah EP yang memutuskan ini adalah PS atau PBS?
Menurut teori EP yang kami kembangkan, yang dimaksud dengan individu adalah EP atau Bagian Diri yang aktif, pada satu saat atau kondisi kesadaran tertentu, dan sepenuhnya mengendalikan diri individu.
Hal ini tentu mengakibatkan implikasi signifikan dan sangat serius dalam memahami kerja PS dan PBS. Dalam teori lama, yang tetap sahih hingga saat ini, PS dan PBS seolah-olah adalah dua sistem terpisah. Untuk menjangkau PBS, PS perlu dibuat nonaktif dengan teknik induksi yang mampu menembus faktor kritis.
Dari perspektif teori EP, dalam kondisi sadar, yang dimaksud individu adalah EP spesifik yang aktif saat itu, yang menjalankan dan mengendalikan diri individu. Dengan demikian, saat terapis berkomunikasi dengan klien, yang sesungguhnya terjadi, terapis sedang berkomunikasi atau mengakses EP eksekutif yang berperan sebagai pikiran sadar individu.
Di dalam diri klien tentu ada banyak EP lain. Namun, EP-EP lain ini tidak aktif, di permukaan, saat itu, sehingga tidak bisa diakses. Kondisi ini disebut underlying. Dengan gunakan teknik tertentu terapis dapat dengan mudah mengakses dan aktifkan EP underlying, naik ke “permukaan” kesadaran dan bisa diajak komunikasi.
Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa salah satu fungsi PS adalah berpikir logis dan rasional. Dari pengalaman klinis dan temuan di lapangan, disimpulkan bahwa individu tidak mungkin bisa sepenuhnya berpikir logis dan rasional. Berpikir logis dan rasional sifatnya situasional dan kontekstual. Dalam perspektif EP, logis dan rasional sepenuhnya ditentukan kondisi kesadaran dan EP mana yang sedang aktif pada saat itu.
Masing-masing EP berlaku sebagai entitas di dalam diri seseorang, lengkap dengan preferensi, pengalaman, memori, sifat, karakter, kebiasaan, emosi, pola pikir, logika, rasionalitas, pengetahuan, dengan usia dan bentuk tertentu. Logika dan rasionalitas individu sepenuhnya ditentukan oleh fungsi dan kemampuan nalar EP yang aktif pada saat itu.
Namun, pada umumnya dan dalam kondisi normal, ada satu EP dominan yang aktif kendalikan individu. EP inilah yang disebut sebagai PS.
Trance Menurut Perspektif EP
Saat terapis jumpa dan bicara dengan klien, tentu terjadi komunikasi antara PS terapis dan PS klien. Saat terapis membimbing klien masuk kondisi hipnosis, dengan teknik induksi, apa yang sebenarnya terjadi?
Dari perspektif EP, yang terjadi EP eksekutif atau PS klien mengikuti bimbingan induksi dan melepas kendalinya atas diri klien, mundur ke “latar belakang” untuk sementara waktu, dan mengizinkan terapis berkomunikasi langsung dengan PBS yang sebenarnya adalah EP-EP lain yang sebelumnya bersifat underlying.
Hipnosis hanya bisa terjadi bila terjadi penembusan faktor kritis PS. Lalu, di mana faktor kritis PS, dalam konteks induksi?
Yang disebut faktor kritis sebenarnya adalah kemampuan analisis atau komparasi data dari luar, dengan data yang telah ada di PBS (memori). Saat EP eksekutif “mundur” sudah tentu kemampuan analisisnya juga berhenti bekerja.
EP eksekutif atau PS ini adalah EP yang, biasanya dan normalnya, tumbuh dan berkembang sejalan dengan usia kronologis dan terutama pengalaman hidup dan kebijaksanaan individu. Namun bisa juga terjadi EP eksekutif adalah EP yang mengalami fiksasi, “stuck” atau “tersangkut” di masa lalu, tidak bertumbuh, akibat pengalaman traumatik yang tidak terselesaikan.
Satu hal penting, yang masih butuh penelitian lanjutan, yaitu berapa tepatnya kedalaman hipnosis yang dicapai klien saat ia mengalami trance, berdasar perspektif teori EP, bila mengacu pada skala kedalaman yang digunakan untuk mengukur kedalaman trance pada klien yang diinduksi formal menggunakan teknik tertentu.
Akurasi kedalaman trance yang dicapai klien, melalui uji kedalaman, sangat penting diketahui terapis. Hal ini untuk memastikan klien benar telah berada di kedalaman tertentu untuk dapat jalani proses hipnoterapi secara efektif dan optimal.
Di AWGI kami menggunakan Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, skala kedalaman trance dengan rentang mulai 0, sadar penuh, hingga 40, kondisi tidur lelap. Dan untuk bisa melakukan hipnoterapi secara efektif, menurut standar AWGI, kedalaman trance yang perlu dicapai klien minimal full somnambulism (kedalaman 24 – 27), dan akan sangat baik profound somnambulism (kedalaman 28 – 30).
EP tinggal di lapis kedalaman tertentu. Dan untuk menjangkau EP ini klien perlu mencapai kedalaman trance yang sesuai. Demi efisiensi waktu dan keefektifan terapi, kami selalu lakukan terapi hanya di kedalaman antara 24 – 30.
Dari pengalaman klinis, saat EP eksekutif telah nonaktif, misal bergeser ke “belakang”, dan klien dapat mengalami amnesia, yang merupakan salah satu paramater kedalaman profound somnambulism, klien kurang bisa mempertahankan kestabilan kedalaman somnambulisme ini karena tubuh fisik tidak terlatih (melalui proses) bimbingan induksi yang terstruktur dan sistematis.
Setiap terapi adalah hal yang sangat serius karena menyangkut pikiran dan hidup klien. Terapi, apalagi yang langsung memroses PBS, adalah pekerjaan besar. Di sinilah titik utama transformasi berlangsung dan terjadi. Ada dua syarat utama yang harus dicapai klien untuk bisa menjalani restrukturisasi pikiran dengan efektif. Pertama, kedalaman yang sesuai. Kedua, kestabilan kondisi kesadaran (state of consciousness) selama proses terapi dilakukan.
Dua Perspektif Pikiran Bawah Sadar
PBS dapat dipahami melalui dua perspektif. Pertama, PBS berlaku sebagai satu unit koheren. Pendekatan ini yang digunakan oleh para hipnoterapis yang mempraktikkan hipnoterapi berbasis sugesti (suggestive hypnotherapy). Saat klien sudah dalam kondisi hipnosis dalam, terapis berikan sugesti pada PBS. Target sugesti ini adalah PBS sebagai satu unit atau kesatuan.
Pendekatan kedua, ini yang digunakan oleh hipnoterapis AWGI, dan sebagai basis kerja Quantum Hypnotherapeutic Protocol (QHP), PBS adalah agregat dari EP yang ada di dalamnya, dengan fungsi dan perannya masing-masing. Dengan pendekatan ini, setiap proses terapi yang dilakukan, haruslah mampu menarget dan memroses dengan tepat EP yang bermasalah atau yang alami pengalaman traumatik.
Dalam penelitian tentang kondisi disosiasi, yang dilakukan Hilgard, subjek dihipnosis hingga capai kondisi hipnosis dalam (deep trance) dan alami anestesi. Tangan subjek dimasukkan ke dalam air es yang sangat dingin dan subjek sama sekali tidak merasa apapun.
Namun saat ditanya apakah ada EP yang tahu, mencatat, atau merasakan sakit akibat tangan dicelupkan ke dalam air es, ternyata ada. EP ini dapat diajak komunikasi dan ia jelaskan apa yang ia rasakan. Hilgard menamakan EP ini hidden observer atau pengamat tersembunyi.
Trance Selektif
Berbeda dengan pemahaman awam, kondisi hiposis atau trance tidak serta merta meliputi atau dialami oleh keseluruhan diri klien. Bisa terjadi, walau jarang, klien yang telah berhasil diinduksi dan masuk kondisi hipnosis dalam, ini divalidasi dengan uji kedalamantrance, dapat tiba-tiba buka mata dan kembali ke kondisi sadar normal.
Terapis pemula atau minim pengalaman biasanya akan kaget dan mengira ia gagal lakukan induksi. Bisa juga terapis merasa bingung karena sebelumnya semua indikator, baik fisik maupun mental, menunjukkan klien sudah dalam kondisi hipnosis dalam (profound somnambulism), namun tiba-tiba klien kembali ke kondisi sadar normal.
Bila terapis cukup jeli, ia pasti bisa membaca situasi ini sebagai pergeseran EP. EP yang diinduksi berbeda dengan EP yang tiba-tiba buka mata klien. Di sini terjadi trance selektif. Untuk itu terapis perlu mengakses kembali EP yang menjadi target terapi.
Simpulan
Dari perspektif teori EP, PS dan PBS tidak dapat dianggap hanya sebagai dua sistem utuh yang berdiri sendiri. Individu juga tidak lagi dapat dipandang hanya sebagai satu entitas yang memiliki dua jenis pikiran, PS dan PBS.
PS individu sebenarnya adalah EP eksekutif yang saat itu dominan menjalankan dan mengendalikan diri individu sehari-hari. Sedangkan faktor kritis (critical factor) adalah kemampuan EP eksekutif melakukan analisis dan komparasi data. Kemampuan ini sepenuhnya bergantung pada perkembangan, kebijaksanaan, kemampuan berpikir, data pada EP eksekutif, dan kemampuan akses data ke memori kolektif yang ada di PBS.
Trance menurut perspektif teori EP terjadi bila salah satu dari dua kondisi berikut terpenuhi. Pertama, EP eksekutif menjadi nonaktif. Kedua, terapis mampu mengakses dan mengaktifkan EP underlying “naik” ke permukaan dan menjadi eksekutif.
Terdapat banyak EP di PBS, dengan peran dan fungsinya masing-masing. Proses terapi akan sangat efektif bila berhasil mengaktifkan dan memroses langsung EP yang bermasalah atau yang membuat masalah dalam hidup klien.
Seorang guru spiritual, Ajahn Chah, suatu saat pernah mendapat pertanyaan, "Guru, di manakah tempat tinggal anda?". "Saya tidak tinggal di mana pun," jawab Ajahn Chah.
"Bukankah Guru tinggal di sana?" tanya seorang umat dengan penasaran sambil menunjuk sebuah bangunan sederhana tempat tinggal Sang Guru.
"Saya tidak tinggal di manapun. Karena sebenarnya tidak ada Ajahn Chah. Karena Ajahn Chah tidak ada maka tidak ada yang tinggal di suatu tempat," jawab Sang Guru.
Dalam kesempatan lain Ajahn Chah mendapat pertanyaan, "Siapakah Ajahn Chah?", dari dua orang yang berbeda. Jawaban Ajahn Chah juga berbeda.
Untuk penanya pertama ia menjawab, "Ini, inilah Ajahn Chah." Sedangkan untuk penanya kedua ia menjawab, "Ajahn Chah? Tidak ada Ajahn Chah."
Jawaban ini tentu terkesan plin-plan. Satu pertanyaan yang persis sama namun dengan dua jawaban yang sangat bertolak belakang. Bila dibaca sekilas, Ajahn Chah seolah menyangkal keberadaan dirinya. Bila benar Ajahn Chah tidak ada lalu siapakah yang bernama Ajahn Chah? Atau siapakah yang sedang berbicara?
Jawaban yang singkat namun sangat dalam dari seorang Guru sekaliber Ajahn Chah tentu tidak sembarangan. Jawaban ini hanya bisa dipahami dengan keterbukaan pikiran dan hati serta perenungan mendalam untuk dapatkan esensinya.
Sebagai seorang yang terbiasa berpikir logis saya butuh informasi pendukung mengapa Ajahn Chah berkata, "Tidak ada Ajahn Chah?" Apa maksud Beliau dan apa hubungannya dengan proses berpikir dan "aku"? Jika tidak ada Ajahn Chah lalu siapakah orang yang mengeluarkan pernyataan?
Pembaca, setelah berpikir dan berpikir....eureka...akhirnya saya mengerti. Ajahn Chah benar. Yang Beliau maksudkan dengan "Tidak ada Ajahn Chah" adalah padamnya ego yang selama ini menguasai diri kita.
"Aku", "Saya", "Punyaku", "Milikku" semua adalah permainan ego. Ego bekerja dan mempertahankan diri, memperkuat pengaruh, semakin memperbesar dirinya, dan semakin kuat mencengkeram kita dengan menggunakan dua strategi yaitu identifikasi dan separasi. Identifikasi berasal dari akar kata idem, yang berarti sama, dan facere yang berarti membuat. Jadi identifikasi berarti membuat menjadi sama.
Kita, manusia, senantiasa mengidentifikasi diri kita dengan sesuatu. Hal ini tampak dalam pernyataan "Saya marah", Ini ideku", "Ini rumahku", "Tubuhku gemuk", "Mobilku rusak", dan masih banyak lagi pernyataan yang serupa.
Saat kita berkata "Saya marah" maka kita mengidentifikasikan "saya" dengan "marah". Berarti "saya" sama dengan "marah". Saat kita berkata "Ini ideku" maka kita menyamakan diri kita dengan ide kita. Itulah sebabnya bila ada orang yang mengkritik ide kita maka kita bisa marah besar.
Mengapa?
Karena kita menganggap orang itu mengkritik diri kita. Nah, ini kan bentuk identifikasi.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita ini sama dengan emosi kita? Apakah kita ini sama dengan ide kita? Tentu tidak.
Marah adalah suatu bentuk emosi. Dan kita tidak sama atau bukan emosi kita. Demikian juga dengan ide. Ide adalah buah pikir (thought) yang dihasilkan oleh pikiran (mind) melalui proses berpikir (think). Pikiran (mind) diarahkan oleh kesadaran (awareness).
Kita merasa bahwa kita sama dengan emosi atau ide kita karena ego yang membuatnya seperti itu. Apakah kita sama dengan pikiran kita? Tentu tidak.
Manusia terdiri atas dua bagian yaitu tubuh fisik/badan dan batin. Batin manusia terdiri atas empat komponen yaitu pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran. Dan kita bukanlah batin maupun fisik kita.
Identifikasi ini tampak jelas saat seorang anak menangis sedih karena mainannya rusak. Anak ini sedih bukan karena sayang dengan mainan yang harganya mahal.
Anak ini sedih karena identifikasi dalam bentuk "Mainanku rusak" membuat "mainan" masuk ke dalam struktur "aku". Dengan kata lain, anak merasa yang rusak bukan hanya mainannya namun juga "dirinya".
Identifikasi seperti ini juga tampak dalam diri pejabat yang alami post power syndrome, pengusaha yang dulu jaya tapi sekarang bangkrut, wanita yang dulunya langsing dan seksi namun sekarang gemuk, dan masih banyak contoh lain. Singkat kata, identifikasi membuat seseorang melekat pada sesuatu.
Strategi kedua yang digunakan ego adalah separasi. Separasi maksudnya "aku" adalah entitas yang berbeda dengan "orang" atau "aku" yang lain. Aku tidak bisa ada tanpa adanya "yang lain", kamu, dia, mereka.
Untuk mempertegas separasi ini ego biasanya menggunakan emosi negatif yang dimunculkan dengan menggunakan strategi "mengeluh/menyalahkan" dan "membenci" orang lain.
Semakin kita sering mengeluh atau menyalahkan orang lain maka semakin jelas separasi di antara kita dan mereka. Mengeluh dan menyalahkan diperkuat oleh emosi benci.
Untuk lebih mengerti kerja ego, lakukan eksperimen kecil ini. Misalnya ada orang berkata, "Hei, manusia kurang ajar. Matamu ditaruh di mana kok sampe nginjak kaki saya?", bagaimana reaksi anda? Apakah anda akan diam, tersenyum, atau marah? Bisa jadi anda, yang merasa tidak bersalah, akan marah besar.
Nah, sekarang skenarionya diubah. Misalnya saat anda sedang tidur lelap dan orang ini mengucapkan hal yang sama pada diri anda. Apa yang akan anda lakukan? Bagaimana reaksi anda?
Saya yakin anda tidak akan bereaksi sama sekali. Saat tidur, ego "padam" untuk sementara waktu. Ego beroperasi saat kita dalam kondisi sadar. Saat kita "tidak sadar" (baca: tidur) maka ego juga berhenti bekerja.
Saat sedang merenungkan pernyataan Ajahn Chah tiba-tiba saya teringat satu pernyataan yang sangat terkenal dari Rene Descartes, filsuf besar abad ketujuh belas yang dianggap sebagai bapak filosofi moderen, "Cogito Ergo Sum", yang kalau dalam bahasa Inggris, "I think, therefore I am", dan kalau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi, "Saya berpikir maka saya ada".
Lama saya merenungkan pernyataan ini. Mana yang lebih dulu ada. Saya berpikir maka saya ada ataukah saya ada baru saya bisa berpikir? Pemikiran ini akhirnya membawa saya pada satu kesimpulan bahwa sebenarnya ada lebih dari satu "aku". "Aku" yang berpikir dan "aku" yang berkata "Saya ada".
Semuanya menjadi semakin jelas saat saya membaca literatur yang berjudul "Unity and Multiplicity: Multilevel Consciousness of Self in Hypnosis, Psychiatric Disorder and Mental Health" yang ditulis oleh John O. Beahrs.
Ternyata kesadaran atau consciousness itu bertingkat-tingkat (multilevel). Kesadaran atau consciousness yang aktif dalam suatu saat bisa berbeda bergantung situasi dan kondisi. Demikian juga ego. Ego bekerja dalam berbagai tingkatan. Semakin halus kerjanya, semakin sulit terdeteksi, dan justru ini yang paling kuat dan berbahaya.
Kesimpulan ini semakin diperjelas lagi saat saya membaca pernyataan Jean Paul Sartre yang juga mengatakan, "Kesadaran yang mengatakan "I am" bukanlah kesadaran yang berpikir (I think)".
Apa maksudnya?
Saat kita sadar mengenai proses berpikir kita, atau dengan kata lain kita menganalisis atau menggunakan pikiran untuk berpikir mengenai apa yang kita pikirkan atau proses berpikir kita maka kesadaran yang melakukan analisis berbeda dengan kesadaran yang melakukan proses berpikir. Secara teknis kemampuan berpikir mengenai berpikir disebut dengan metakognisi.
Saat kita sedang mengalami gejolak emosi maka hati-hati lah karena saat itu ego sedang bermain. Kita sering mendengar pernyataan, "Saya merasa tersinggung dengan ucapannya", atau "Ini milikku. Jangan coba-coba sentuh".
Cara untuk mengatasi cengkeraman ego adalah dengan mengajukan pertanyaan, "Ok, kalau saya tersinggung, maka sebenarnya bagian mana dari diri saya yang tersinggung?". Apakah rambut saya, telinga saya, mata saya, atau kaki saya?
Sama seperti mobil. Jika ada kawan yang berkata, "Saya habis nyerempet pembatas jalan. Mobil saya penyok." Tentu kita tidak akan serta merta menerima pernyataan ini. Kita pasti akan bertanya, "Bagian mana yang penyok? Bemper depan, kiri, kanan, atau kena di bodi mobil?"
Nah demikian juga dengan manusia. Jika kita tersinggung maka pasti ada bagian yang mengalami perasaan tersinggung. Benar, nggak? Nah, kita harus mencari bagian ini. Sebab, jika kita menerima pernyataan "Saya merasa tersinggung" secara utuh maka yang terkena dampaknya adalah diri kita secara keseluruhan.
Padahal bila kita teliti maka yang terkena dampak dari perasaan tersinggung sebenarnya hanyalah perasaan kita. Benar, hanya perasaan. Perasaan, yang merupakan salah satu dari empat komponen batin manusia, yang akan selalu mengalami berbagai emosi yang dialami seseorang. Baik itu emosi positif maupun yang negatif. Cara ini bertujuan untuk bisa melepaskan diri dari cengkeraman identifikasi yang dilakukan ego.
Singkat kata, saat kita merasakan sesuatu maka yang merasakan itu adalah "perasaan", bukan "kita" atau "aku".
Demikian juga dengan pernyataan, "Ini milikku’. Bisa kita tanyakan, "Bagian mana dari diri saya yang memiliki benda ini?" Bagaimana dengan orang yang mengalami amnesia atau lupa ingatan? Apakah orang ini masih bisa mengingat benda yang dulunya menjadi miliknya? Trus... kalau sudah lupa maka konsep "milik-ku" runtuh dengan sendirinya.
Nah, pembaca, membaca sejauh ini apakah anda bisa menarik kesimpulan untuk menjawab pertanyaan yang saya tulis sebagai judul artikel ini, "Siapakah Aku?".
Saya ingin mengakhiri artikel ini dengan kalimat yang pernah saya baca di satu buku bertahun lalu:
Saat aku mati, tubuhku akan dikubur dan kembali ke tanah
Jiwaku menunggu penghakiman di akhir jaman
Dan rohku akan kembali kepada Sang Khalik
Pertanyaan saya pada anda, "Siapa atau apakah "aku" pada kalimat di atas?"
Artikel ini saya tulis berdasar pengalaman membantu pasangan suami istri, sebut saja Budi dan Ani, atasi prahara dalam rumah tangga mereka. Klien datang ke saya atas rekomendasi keluarga mereka, yang kebetulan adalah klien saya beberapa tahun lalu.
Budi dan Ani telah menikah dua puluh tahun dan selama ini hidup bahagia. Sesekali terjadi perbedaan pendapat dan pertengkaran ringan di antara mereka. Namun masih dalam batas wajar dan aman.
Masalah muncul saat Ani secara tidak sengaja menemukan, di HP dan juga di komputer Budi, foto-foto mantan pacar suaminya dulu di masa kuliah. Rupanya api cemburu Ani tersulut dan berkobar hebat membakar nalar dan hatinya. Ani marah besar dan menuduh suaminya telah bertindak tidak setia, melanggar janji pernikahan, dan berpikir negatif tentang suaminya, bahkan menuduh jangan-jangan Budi sudah selingkuh dengan si mantan.
Budi sudah jelaskan bahwa ia sama sekali tidak ada maksud apapun dengan menyimpan foto-foto mantan pacarnya. Selain foto si mantan juga ada foto rekan-rekan lain semasa SMA dan kuliah dulu.
Namun Ani tidak bisa terima. Intinya, ia merasa dikhianati, kecewa, marah, sakit hati, terluka, merasa dibohongi, sedih, benci, dan dendam. Budi sudah minta maaf pada Ani, menghapus semua foto mantannya dan juga foto-foto rekannya yang lain baik di HP maupun di komputer dan berjanji tidak akan mengulangi lagi kekhilafan ini.
Apakah Ani bisa terima? Tetap tidak. Ani marah-marah terus. Sesekali Ani bisa tenang dan sadar bahwa sebenarnya hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Namun yang lebih sering terjadi ia dikuasai kemarahan yang semakin hari semakin berkobar.
Kondisi ini berlangsung hampir setahun. Ani tahu bahwa ini perlu segera diselesaikan. Ani merasa dalam dirinya ada dua tarikan antara yang sadar bahwa sebenarnya hal ini tidak perlu dipemasalahkan lagi dan yang terus marah.
Untuk selesaikan masalahnya, Budi dan Ani telah lakukan konseling ke pendeta, ikut retreat, ke psikiater, dan juga psikolog. Ini dilakukan dalam kurun waktu setahun dan tidak buahkan hasil seperti yang diharapkan yaitu Ani bisa lepaskan semua emosi negatif akibat peristiwa itu dan memaafkan suaminya dengan tulus dan kembali pulih seperti sebelum kejadian itu.
Saat jumpa saya, seperti biasa, saya minta Budi dan Ani jelaskan situasi dan kondisi yang mereka alami dari perspektif masing-masing. Saya berlaku sebagai penengah, netral, yang perlu mendengar dari kedua pihak.
Menurut saya, sebagai terapis, masalah ini sederhana. Budi secara tidak sengaja telah lakukan kekhilafan, minta maaf, dan berjanji tidak mengulangi. Seharusnya masalah ini selesai. Yang Budi simpan hanya foto dan tidak ada bukti sama sekali bila Budi lakukan hal yang lebih dari itu dengan mantannya.
Yakin bahwa masalah ini sederhana, saya putuskan untuk lakukan konseling pada Budi dan Ani. Saya lebih banyak mendengar keluhan, uneg-uneg, pemikiran, perasaan, dan harapan Ani. Budi lebih banyak diam.
Selama sekitar dua jam saya berusaha bantu Ani untuk melihat kondisinya dari perspektif berbeda. Saya jelaskan, berusaha yakinkan, lakukan edukasi dengan pendekatan psikologi, agama, kutip ayat-ayat kitab suci, gunakan sugesti langsung, sugesti tidak langsung, metafora, gunakan otoritas saya yang di mata mereka sangat tinggi, berkat edifikasi dari keluarga mereka yang telah saya bantu atasi masalahnya, dan berbagai teknik terapi lainnya yang dilakukan dalam kondisi sadar normal atau light trance. Hasilnya? Sama sekali tidak ada hasil.
Secara logika semua yang saya lakukan selama dua jam pasti berhasil menembus faktor kritis pikiran sadar Ani, dan masuk ke pikiran bawah sadarnya. Namun, Ani bergeming dari posisi pemikiran bahwa suaminya selingkuh dan terus membantah apapun yang saya katakan atau sampaikan.
Sadar bahwa konseling tidak bisa diteruskan, karena sudah berlangsung sekitar dua jam tanpa hasil, saya putuskan untuk akhiri dan beri Ani tugas yang perlu dilakukan di rumah. Saya buat jadwal untuk jumpa Ani saja di minggu depan.
Di pertemuan kedua, saya mencoba lagi lakukan konseling dan edukasi pada Ani. Saya pikir, dengan Budi tidak ada di dalam ruangan, Ani akan lebih leluasa bicara, lebih terbuka dan bisa menerima saran, masukan, dan pemahaman yang saya tawarkan. Konseling berlangsung selama satu jam. Hasilnya? Sama seperti pertemuan pertama, sama sekali tidak ada hasil.
Sebenarnya saya tahu apa yang akan terjadi. Kesulitan dalam sesi konseling ini juga telah saya prediksi. Saya tahu mengapa selama tiga jam konseling sama sekali tidak ada hasil. Saya putuskan untuk menerapi Ani. Setelah satu jam, Ani merasa lega sekali. Dan saat saya minta ingat-ingat kembali Budi simpan foto mantannya, Ani hanya tersenyum.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa konseling selama tiga jam tidak ada hasil, terapi sejam masalah langsung selesai?
Semua kembali pada intensitas emosi yang dirasakan seseorang. Emosi adalah energi. Semakin intens emosi berarti semakin besar energi. Pada kasus Ani, intensitas emosinya sangat tinggi yaitu 10 (skala 1 ke 10). Tingginya intensitas emosi membuat pikiran sadar Ani menjadi kaku mempertahankan perspektifnya, yang sebenarnya dikendalikan oleh pikiran bawah sadarnya. Walau saya berhasil menembus faktor kritis pikiran sadarnya, memasukkan sugesti baik yang bersifat langsung atau tidak langsung, gunakan metafora, sampai ayat kitab suci, semua informasi ini mendapat penolakan hebat dari Ego Personality dalam diri Ani yang merasa terluka dan memegang emosi intens akibat perbuatan Budi yang ia anggap salah. Semua yang saya sampaikan sama sekali tidak bisa memengaruhi Ani, sampai emosi ini berhasil dinetralisir melalui terapi.
Sebenarnya, semua informasi yang saya sampaikan di sesi konseling selama tiga jam sudah masuk ke pikiran bawah sadar Ani. Informasi ini belum bisa efektif bekerja dan memengaruhi Ani karena dikalahkan oleh emosi intens yang telah mengganggu hidupnya selama hampir setahun. Saat emosi ini berhasil dinetralisir maka semua informasi ini bisa bekerja.
Dalam konteks hipnoterapi klinis, salah satu resistensi utama pikiran bawah sadar terhadap proses perubahan (baca: terapi) adalah keberadaan emosi intens yang dipegang oleh Ego Personality tertentu.
Di kelas SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy) diajarkan sangat banyak teknik untuk mengeluarkan dan menetralisir emosi di pikiran bawah sadar dengan cara sistematis, terstruktur, aman, dan efektif sesuai dengan karakter klien.
Saya sering gunakan analogi selang pemadam kebakaran. Saat air disemburkan melalui selang, dengan tekanan yang sangat tinggi, selang menjadi kaku dan harus dipegang erat oleh beberapa orang. Namun saat air sudah habis, selang kempis dan menjadi lunak sehingga dapat dengan sangat mudah digulung. Demikian pula halnya pikiran bawah sadar. Saat emosi sudah tidak ada, terapis dapat dengan mudah lakukan resolusi trauma dengan mudah dan aman pada memori spesifik.
Hypnotic age regression, untuk mudahnya dalam artikel ini disebut sebagai regresi, adalah salah satu teknik yang kerap digunakan dalam hipnoterapi. Secara sederhana, regresi berarti mundur. Dalam konteks hipnoterapi, regresi adalah proses membimbing klien mundur ke masa lalu, menyusuri garis waktu dalam pikirannya, ke satu masa atau memori tertentu.
Fenomena regresi, menurut Orne dan Hammer (1974), dapat dipandang sebagai bentuk distorsi memori karena klien mundur ke masa lalu ikuti bimbingan terapis. Sementara LeCron (1948) menyatakan dalam regresi bisa terjadi amnesia temporer untuk peristiwa masa sekarang, hipermnesia untuk peristiwa masa lalu, dan juga perubahan fisiologis.
Ada banyak pendapat berbeda yang diajukan dalam upaya jelaskan proses dan fenomena regresi. Reiff dan Scheerer (1959) menyatakan regresi sebagai prosedur untuk mengembalikan lagi mode berpikir dan fungsi kognisi pada tahap awal tumbuhkembang individu. Sementara Nash, Johnson, dan Tipton (1979) menyatakan regresi sebagai proses yang hasilkan revivifikasi parsial dari pengalaman masa lalu. Menurut Barber, dkk (1974), regresi adalah bentuk keterlibatan imajinasi yang rumit. Hal berbeda disampaikan oleh Orne (1974) yang menyatakan regresi sebagai contoh kondisi delusi di mana subjek menjadi percaya pada kebenaran yang disampaikan oleh terapis.
Terlepas dari berbagai pendapat yang diterima dan dipercaya seseorang untuk jelaskan dan pahami regresi, satu hal yang pasti regresi melibatkan banyak perubahan persepsi terhadap realita dan memudahkan klien terlibat secara subjektif dan sangat mendalam dalam prosesnya.
Satu pertanyaan penting yang sering diajukan, dalam konteks regresi, “Apakah klien benar-benar teregresi ke usia tertentu?”
Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab karena dalam beberapa kejadian saat diregresi, misal ke usia 5 tahun, klien menunjukkan kemampuan jauh melampaui usia fisik dan mental anak usia 5 tahun. Misalnya, saat diregresi ke usia 5 tahun, ia mampu mengerjakan soal matematika untuk anak usia 10 tahun dengan lancar dan benar.
Di sisi lain, ada banyak temuan saat diregresi ke usia 5 tahun, klien benar-benar menunjukkan sikap, perilaku, kemampuan kognisi dan bahasa seperti anak usia 5 tahun. Ada juga bukti saat klien diregresi ke berbagai usia berbeda, tulisan tangannya juga turut berubah mengikuti perkembangan yang dulu ia lalui.
Salah satu temuan menarik, yang buktikan bahwa regresi adalah fenomena riil, bukan sekedar klien berpura-pura, adalah munculnya refleks Babinski yang terjadi pada klien dewasa yang diregresi ke usia bayi.
Refleks Babinski adalah salah satu refleks normal pada bayi. Refleks ini muncul saat telapak kaki bayi diberi stimulus gesekan yang mengakibatkan ibu jari bergerak ke atas dan jari-jari lainnya membuka. Refleks ini normal pada anak hingga usia dua tahun namun tidak normal bila terjadi pada anak berusia di atas dua tahun atau pada orang dewasa, karena seringkali merupakan indikasi masalah pada sistem saraf.
Refleks Babinski yang terjadi pada klien dewasa yang diregresi ke usia satu tahun tentu tidak bisa dipalsu. Dengan demikian, hal ini tunjukkan klien benar-benar alami regresi ke usia satu tahun karena secara fisiologis ia tunjukkan refleks bayi.
Namun mengapa terjadi perbedaan temuan saat dilakukan regresi?
Secara umum regresi terbagi menjadi dua, hipermnesia dan revivifikasi. Klien alami hipermnesia bila ia mengingat dengan detil peristiwa masa lalu. Sedangkan revivifikasi adalah klien mundur dan alami kembali peristiwa masa lalu, sama seperti dulu ia alami, tapi kali ini ia mengalaminya di masa sekarang. Perbedaan mendasar pada dua jenis regresi ini ada pada kata “mengingat” dan “mengalami kembali”.
Pemahaman akan perbedaan ini sangat penting dalam mengetahui atau menjelaskan regresi yang dialami klien. Bila seseorang mengingat atau mengenang satu kejadian atau peristiwa maka ia alami hipermnesia. Secara pikiran, ia tidak mundur ke masa lalu. Ia tetap tinggal di masa sekarang namun di pikirannya muncul memori masa lalu.
Ini sangat berbeda dengan revivifikasi. Revivifikasi bukan sekedar mengingat namun mengalami kembali. Ini mirip dengan saat kita tidur dan bermimpi. Saat bermimpi, kita benar-benar mengalami “kejadian” dalam mimpi. Bila kita bermimpi dikejar harimau, maka kita pun akan lari secepatnya dalam upaya selamatkan diri dan tentu diliputi perasaan takut. Saat terbangun, napas kita memburu, terengah-engah, berkeringat, karena kita memang “benar-benar” dikejar harimau. Saat mengingat kembali peristiwa dikejar harimau, inilah yang disebut hipermnesia.
Klien dewasa yang diregresi, mundur ke usia bayi, dan bisa memunculkan refleks Babinski masuk dalam kategori revivifikasi. Fenomena ini tidak bisa terjadi bila ia hanya alami hipermnesia.
Faktor apa saja yang memengaruhi dan menentukan klien alami hipermnesia atau revivifikasi?
Ada dua faktor penting. Pertama adalah kedalaman kondisi hipnosis yang dicapai klien. Untuk alami hipermnesia, klien hanya butuh kondisi hipnosis dangkal (light trance) atau menengah (medium trance). Sedangkan untuk revififikasi butuhkan kondisi hipnosis (sangat) dalam (deep trance). Kedua, bergantung pada kecakapan terapis dalam menuntun pikiran klien, dan terutama semantik yang digunakan. Semantik yang salah dapat akibatkan klien yang sudah alami revivifikasi bergeser menjadi hipermnesia. Sebaliknya, bila klien sudah berada di kondisi hipnosis dalam dan masih alami hipermnesia, dengan gunakan semantik yang tepat terapis dapat menuntun klien bergeser ke revivifikasi.
Jenis Regresi
Umumnya, dalam hipnoterapi klinis, dikenal enam jenis regresi. Ada banyak teknik atau cara yang digunakan untuk lakukan regresi. Namun, apapun tekniknya, selalu masuk ke salah satu dari kategori berikut:
- recreational regression : regresi dilakukan dengan tujuan bersenang-senang. Klien dibimbing mundur ke masa lalu dan alami kembali kejadian atau peritiwa menyenangkan dalam hidupnya.
- directive regression : regresi terjadi karena klien secara sengaja diarahkan, oleh terapis, untuk mundur ke satu masa atau kejadian spesifik.
- nondirective regression: regresi terjadi pada klien namun terapis tidak mengarahkan atau menentukan klien mundur ke mana.
- spontaneous regression: regresi terjadi spontan, tanpa direncanakan baik oleh klien maupun terapis.
- emotionally induced regression: regresi yang terjadi karena dorongan emosi tertentu.
- past life regression: regresi ke kehidupan sebelum kehidupan saat ini.
Regresi untuk Terapi
Manfaat utama regresi, dalam konteks klinis, adalah untuk mencari dan temukan akar masalah yang dialami klien. Ada banyak cara untuk lakukan regresi, antara lain regresi kalender, regresi dengan menghitung mundur, regresi dengan sugesti langsung, regresi dengan buku kehidupan, regresi menyusuri sungai kehidupan, melihat ke bola kristal, magic carpet, dan masih banyak teknik lain.
Dalam konteks klinis, teknik regresi hanya efektif bila mampu menuntun klien mundur ke masa pertama kali masalah muncul. Jadi, tidak asal lakukan regresi.
Berikut ini kisah terapi yang dialami seorang klien. Seorang klien, alami emosi yang sangat mengganggu, sudah bertahun-tahun, datangi hipnoterapis dan minta tolong.
Terapis gunakan teknik regresi, tepatnya regresi kalender. Setelah klien dibimbing masuk kondisi hipnosis, terapis minta klien mundur ke masa kuliah dan memeriksa apakah ada kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan atau traumatik atau yang berisi muatan emosi negatif intens. Selanjutnya mundur ke masa SMA, SMP, SD, dan masa kecil.
Setelah tiga jam terapi, bagaimana hasilnya? Klien tidak sembuh. Akhirnya klien minta tolong terapis lain yang lebih cakap dan berpengalaman. Setelah dibantu oleh terapis kedua, juga gunakan teknik regresi, barulah klien merasa lega dan alami perubahan signifikan.
Apa kesamaan dan perbedaan teknik yang digunakan terapis pertama dan kedua?
Kedua terapis gunakan regresi. Perbedaannya terletak pada bagaimana teknik regresi yang sesuai digunakan untuk menyusuri garis waktu, mundur ke masa lalu, menelisik pikiran bawah sadar dan temukan akar masalah pada kejadian spesifik.
Teknik regresi yang digunakan terapis pertama tidak mampu menelisik dan temukan akar masalah. Sedangkan teknik yang digunakan terapis kedua, dengan sangat cepat, efektif, dan akurat berhasil temukan rangkaian kejadian yang menjadi akar masalah klien.
Menemukan akar masalah adalah satu hal. Hal lain adalah adalah apa yang perlu dilakukan pada kejadian yang menjadi akar masalah?
Terapis pertama tidak lakukan resolusi trauma dengan benar sehingga emosi yang telah muncul tidak berhasil dinetralisir. Hal ini tampak dalam pernyataan klien yang meminta terapis kedua untuk tidak meregresi ia ke peristiwa di masa lalu, yang sebelumnya ditemukan melalui terapi pertama, karena ia masih merasa tidak nyaman. Terapis kedua, setelah berhasil temukan akar masalah, mampu dengan efektif lakukan resolusi trauma dan menetralisir emosi.
Teknik regresi yang digunakan terapis kedua adalah affect bridge. Teknik ini menggunakan perasaan yang dialami klien, di masa sekarang, sebagai penuntun regresi ke kejadian atau peristiwa yang menjadi akar masalah.
Dari satu penelitian menarik, mengenai hubungan antara memori traumatik dan kondisi mental atau emosi, ditemukan bahwa untuk bisa mengakses kembali memori ini butuh kondisi mental yang sama seperti saat kejadian. Penelitian ini dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Jovasevic (2015) dan dipublikasi di jurnal Nature Neuroscience.
Jovasevic dan kawan-kawan melakukan ujicoba pada tikus. Mereka menempatkan tikus di sebuah kotak. Selanjutnya tikus diberi obat yang memengaruhi neurotransmiter di otak tikus. Perubahan neurotransmiter ini mengakibatkan perubahan kondisi "mental" dan pada saat inilah tikus diberi kejutan listrik. Tikus ini tentu merasa sakit dan takut. Memori traumatik ini terekam dan kondisi "mental" khusus karena pengaruh obat.
Saat pengaruh obat reda, neuotransmiter kembali ke kondisi normal, tikus ini sama sekali tidak merasa takut. Namun saat peneliti kembali memberi obat yang menempatkan tikus pada kondisi mental yang sama seperti sebelumnya, saat diberi kejutan listri, tiba-tiba tikus menjadi ketakutan.
Selaku hipnoterapis klinis, saya simpulkan, penelitian ini secara tidak langsung membenarkan keefektifan dan prosedur regresi dengan affect bridge untuk temukan kejadian atau akar masalah karena dalam affect bridge terapis gunakan kondisi mental spesifik, yang ditimbulkan emosi tertentu, sebagai sarana untuk temukan kejadian atau peristiwa traumatik masa lalu.
"Tujuan tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai kebahagiaan.Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari perangkap kebencian dan kebahagiaan.”
~Y.M. Sri Pannavaro
Seorang klien yang mengaku depresi datang ke saya dan minta bantuan. Klien ini, sebut saja sebagai Pak Budi, dulunya tinggal di Jakarta, bekerja di sebuah perusahaan besar, dan hidupnya saat itu sudah mapan. Ia sangat bahagia dan menikmati hidup. Namun satu kejadian mengubah arah hidupnya. Ia dipindah ke kota Surabaya. Selang beberapa saat kemudian ia mengalami PHK.
Saat saya tanyakan mengapa dan bagaimana sampai bisa depresi ia menjawab, ”Setelah di-PHK saya merasa bingung. Nggak tahu mau kerja apa. Saya down dan malu. Saya malu dengan diri saya sendiri. Saya malu dengan keluarga saya. Saya malu dengan anak dan istri saya. Saya lalu mencoba berwirawasta. Hasilnya malah tambah terpuruk. Sudah dua tahun ini toko saya sepi. Saya susah tidur karena pikiran saya selalu memikirkan hal-hal negatif.”
Apa yang terjadi pada diri Pak Budi sebenarnya sederhana. Pak Budi tidak bisa menerima (baca: membenci) keadaannya saat ini. Yang ia inginkan adalah masa-masa bahagia seperti waktu ia masih bekerja di Jakarta.
Saat membantu Pak Budi mengatasi masalahnya saya langsung teringat ucapan bijak yang dikatakan oleh Y.M. Pannavaro di atas: “Tujuan tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai kebahagiaan.Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari perangkap kebencian dan kebahagiaan.”
”Pak, tahukah Bapak kalau kemarahan dan kebencian itu sangat berbahaya?” tanya saya.
”Oh, sudah tentu Pak” jawab Pak Budi mantap.
”Nah, tahukah Bapak bahwa kebahagiaan juga berbahaya bagi diri kita?” kejar saya lagi.
”Maksud Pak Adi? Bukankah yang dicari semua orang adalah kebahagian? Saya tidak mengerti bagaimana kebahagiaan bisa berbahaya bagi hidup kita?” jawab Pak Budi bingung.
”Apa yang Bapak rasakan sekarang, depresi, adalah akibat dari kebahagiaan yang Bapak inginkan. Pikiran Bapak tidak bisa menerima saat kebahagiaan itu tidak lagi Bapak alami atau rasakan atau miliki saat ini. Pikiran Bapak menolak menerima kenyataan bahwa kebahagiaan itu telah berlalu. Padahal ini hanya bersifat sementara,” jawab saya.
Saat kita bertemu dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan yang kita inginkan maka kita biasanya akan merasa tidak senang. Perasan tidak senang selanjutnya berkembang menjadi jengkel. Jengkel lalu berkembang menjadi marah dan akhirnya mengkristal menjadi kebencian. Saat pikiran dipenuhi dengan kebencian maka pikiran akan sangat ”kreatif” untuk mengarahkan persepsi, ucapan, dan perbuatan atau tindakan untuk bisa memuaskan kebencian. Hasilnya? Sungguh sangat destruktif.
Hal yang sama juga berlaku saat kita bertemu dengan hal yang kita inginkan. Saat itu kita merasa senang atau bahagia. Kalau bisa perasaan senang atau bahagia ini jangan sampai berlalu. Kalau bisa kita senang atau bahagia terus. Jika kesenangan atau kebahagiaan ini sampai lepas atau hilang atau tidak lagi kita rasakan maka muncul perasaan tidak senang. Perasan tidak senang selanjutnya akan berubah menjadi jengkel, marah, dan akhirnya menjadi kebencian.
Bila ditelaah secara lebih mendalam maka sumber depresi Pak Budi adalah keinginan untuk bisa terus bahagia. Pak Budi tidak bisa menerima kalau ia di-PHK dan akhirnya harus menjalani hidup yang berbeda dengan yang ia jalani sebelumnya.
Lalu apa solusinya? Di luar prosedur terapeutik yang saya lakukan saya berusaha membantu Pak Budi untuk bisa melihat proses perjalanan hidupnya dengan perspektif yang berbeda.
Segala sesuatu di dunia ini tidak abadi. Yang abadi hanya satu yaitu ketidakabadian itu sendiri. Ini adalah hukum alam yang tidak bisa ditolak atau dilawan dengan kekuatan apa pun. Pemahaman ini sangat penting agar kita dapat melihat dan menjalani hidup dengan benar dan tidak melekat baik pada kebencian maupun kebahagiaan.
Saya lalu menjelaskan pada Pak Budi prinsip kerja pikiran, ”Pikiran hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Jika Bapak sedih atau depresi maka yang terjadi adalah pikiran Anda hanya dan terus mainkan film sedih. Anda tidak memberi kesempatan pada diri Anda sendiri untuk bisa merasa bahagia.”
“Lha, bagaimana mau senang Pak. Kondisi saya saat ini begini parah. Dalam waktu beberapa bulan lagi saya harus pindah kontrakan. Istri saya akan melahirkan anak kedua. Saya benar-benar stress,” keluh Pak Budi.
”Ya itu tadi Pak. Bapak tidak mengijinkan pikiran Bapak untuk memainkan film yang bisa membuat Bapak senang dan bahagia,” jawab saya.
Saya lalu mengajarkan teknik pemusatan perhatian dan visualisasi untuk bisa membantu Pak Budi mengarahkan pikirannya.
Hal lain yang saya sarankan untuk Pak Budi lakukan adalah agar ia menyadari dan menghitung berkah dalam hidupnya saat ini. Saya sarankan Pak Budi mensyukuri apa yang ia miliki saat ini. Tujuannya adalah untuk bisa menyibukkan pikirannya dengan hal-hal positif. Selain itu untuk bisa membuatnya ”feel good”.
Saat diminta untuk menghitung berkah dalam hidupnya saya melihat perubahan yang cukup signifikan pada raut wajah dan postur tubuh Pak Budi. Saya kemudian meminta ia mengutarakan hal-hal yang patut ia syukuri dalam hidupnya.
”Saya bersyukur punya istri yang baik, yang selalu mendukung saya dalam kondisi apa pun. Istri saya tidak pernah mengeluh mengenai keadaan saya. Istri saya menerima saya apa adanya. Demikian juga dengan anak saya. Anak saya begitu mencintai saya. Saya punya keluarga yang sangat mencintai saya,” jawabnya dengan haru.
”Bapak tadi datang naik apa?” tanya saya
”Naik mobil, Pak,” jawab Pak Budi.
”Bukan naik angkutan umum atau sepeda motor?” kejar saya.
”Bukan, Pak. Saya naik mobil,” jawab Pak Budi.
”Pak, Anda sungguh beruntung lho. Ada sangat banyak orang yang tidak mampu beli mobil. Ada banyak orang yang kena PHK kemudian keluarganya berantakan. Ada banyak orang yang tidak punya rumah tinggal. Ada banyak orang yang satu hari belum tentu bisa makan tiga kali. Bapak sungguh beruntung dengan kondisi Bapak saat ini,” jelas saya.
”Ya Pak. Saya mengerti apa yang Pak Adi katakan. Yang sulit adalah mengendalikan pikiran saya Pak. Sulit untuk bisa positif. Saya selalu berpikir negatif,” keluh Pak Budi lagi.
”Oh, untuk itu gampang. Nanti saya ajarkan satu teknik terapi yang Bapak bisa lakukan sendiri di rumah. Bapak sulit berpikir positif karena selama dua tahun telah terbiasa ”melatih” pikiran, lebih tepatnya membiarkan pikiran menjadi terbiasa, memikirkan hanya hal-hal yang negatif. Pikiran Bapak sudah punya kebiasaan memikirkan yang negatif. Nanti kita latih ulang agar kembali biasa memikirkan yang positif,” ujar saya membesarkan hati Pak Budi.
Seringkali kita benci atau bahagia dengan menggunakan tolok ukur yang kurang tepat. Kita benci dengan keadaan kita karena kita membandingkan diri kita dengan orang di atas kita. Kita ingin bisa seperti orang lain yang hidupnya lebih baik dari kita. Seringkali kita lupa untuk membandingkan diri kita dengan orang lain yang kondisinya di bawah kita.
Dua minggu setelah pertemuan dengan Pak Budi saya mendapat telpon. Pak Budi melaporkan bahwa sekarang ia sudah jauh lebih baik kondisinya. Sudah lebih tenang dan sudah bisa tidur. Pikirannya sudah positif. Pak Budi berkata, ”Terima kasih Pak Adi atas waktu dan bantuan yang telah diberikan kepada saya.”
”Pak, bukan saya yang membantu atau menyembuhkan Bapak. Saya hanya bertindak sebagai penunjuk jalan. Bapak yang menyembuhkan diri Bapak sendiri. Bapak tidak sakit kok. Bapak hanya salah belajar. Pikiran Bapak kurang tepat dalam memaknai kejadian atau pengalaman hidup. Terima kasih juga karena Bapak telah memberikan saya kesempatan berharga untuk belajar,” jawab saya mengakhiri pembicaraan.
Perubahan yang terjadi pada diri Pak Budi semuanya berhubungan dengan energi pikiran. Ya, benar, pikiran punya energi. Saat kita memikirkan sesuatu maka kita memberikan energi pada ”buah pikir” ini. Saat Pak Budi saya minta untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, saat saya meminta ia mengamati mengapa ia sedih atau depresi maka saat itu ”buah pikir sedih/depresi” mulai kehilangan kekuatan. Energi yang tadinya digunakan untuk menghasilkan kesedihan kini dialihkan pada kegiatan mengamati, mengetahui, dan mengerti mengenai kesedihan. Dengan demikian cengkeraman kesedihan menjadi longgar dan Pak Budi bisa mengambil napas dan menghimpun kekuatan baru untuk melakukan hal lain yang lebih konstruktif.
Dan saat ia menghitung berkat dalam hidupnya, energi pikiran yang sama digunakan secara konstruktif dan efektif untuk kebaikan dirinya. Semakin sering ia amati sisi positif dalam hidupnya, semakin banyak energi tercurahkan ke bentuk pikiran positif ini dan semakin kuatlah ia.
Beberapa klien, saat konsultasi, bertanya, “Pak Adi, apakah sulit bila saya mau berubah?” Klien lain ajukan pertanyaan yang cukup menggelitik rasa ingin tahu, “Mengapa begitu sulit berubah?”
Dua pertanyaan di atas kerap saya jumpai dan memang butuh penjelasan dan penjabaran lebih detil agar dapat dimengerti. Uraian berikut ini adalah intisari dari penjelasan yang biasa saya sampaikan pada para klien.
Dalam menjelaskan proses perubahan, saya sering mengutip pernyataan Jung yang menyatakan, “Until you make the unconscious conscious, it will direct your life and you will call it fate.” Dalam bahasa Indonesia artinya, “Sampai anda membuat yang tidak sadar menjadi sadar, ia akan mengendalikan hidup anda dan anda akan menyebutnya sebagai nasib.”
Orang sulit berubah karena mereka umumnya melakukan upaya perubahan pada tataran yang tidak tepat. Mereka berusaha berubah menggunakan kekuatan kehendak, tanpa tahu atau mengerti apa sesungguhnya yang mendorong perilaku tertentu.
Perilaku adalah apa yang tampak di “permukaan”. Untuk perubahan yang cepat dan permanen kita perlu masuk lebih dalam dan menemukan apa yang mendorong seseorang melakukan perilaku tertentu.
Perilaku sebenarnya adalah bentuk ekspresi energi psikis. Kita melepas energi ini dengan cara yang spesifik, pada situasi tertentu, seringkali berdasar rangsangan atau pengaruh yang kita terima dari lingkungan.
Kekuatan perilaku dipengaruhi atau ditentukan oleh jumlah energi yang mendorong perilaku. Besarnya energi ini dipengaruhi program pikiran. Kekuatan program pikiran ditentukan oleh intensitas emosi yang melekat padanya. Dengan kata lain, semakin intens emosi yang menyertai suatu program pikiran maka semakin kuatlah program ini, dan semakin besar energi psikis yang program pikiran ini gunakan untuk mendorong perilaku tertentu.
Ada dua hasil penelitian menarik yang perlu diperhatikan mengenai program pikiran. Pertama, 77% dari program pikiran kita salah, kontraporduktif, dan bekerja melawan diri kita. Bahkan ada orang yang memiliki tingkat kesalahan program sampai 90% - 95%. Kedua, 95% dari siapa diri kita saat usia 35 tahun adalah hasil pengkondisian (program) masa lalu.
Perubahan sulit terjadi karena umumnya kita tidak tahu bahwa ternyata ada program pikiran yang mendorong perilaku tertentu. Hal inilah yang dimaksud oleh G.I. Gurdjieff saat ia menyatakan, “Man is asleep”, atau manusia pada dasarnya dalam kondisi tidur/tidak sadar. Ketidaksadaran ini tidak disadari sehingga perubahan menjadi mustahil.
Bila dianalogikan dengan komputer, program adalah berbagai bentuk kepercayaan (belief) yang selama ini menjalankan komputer mental (pikiran) kita. Sedangkan perilaku adalah apa yang tampil di layar, yang bisa dilihat. Program tidak bisa dilihat kecuali bila secara sengaja, dan tahu caranya, kita “masuk” ke dalam komputer.
Program ini masuk atau dimasukkan ke dalam pikiran kita, saat kita masih kecil, melalui pengkondisian dan interaksi dengan orangtua, pengasuh utama, dan lingkungan. Saat program ini sudah masuk selanjutnya ia berjalan secara otomatis dan menjadi semakin kuat melalui berbagai pengalaman hidup yang kita alami atau jalani. Semakin tidak sadar kita akan keberadaan program ini, semakin kuat ia mengarahkan, mengendalikan, dan mencengkeram diri kita.
Kepercayaan menentukan realita seseorang, apa yang ia yakini sebagai hal yang benar atau diterima sebagai kebenaran. Untuk bisa menjalani realita ini kita menggunakan lingkungan. Dengan demikian, selama lingkungan kita tetap sama, tidak berubah, realita diri akan terus diperkuat. Saat kita keluar dari lingkungan ini akan muncul perasaan tidak nyaman karena lingkungan baru tidak lagi memberi efek penguatan realita diri.
Orang sering tidak sadar punya kepercayaan tentang hal tertentu sampai kepercayaan ini mengalami tantangan. Misal seseorang percaya bahwa dunia bentuknya datar. Saat ada berkata bahwa dunia bentuknya bulat maka mereka yang memegang kepercayaan bahwa dunia adalah rata akan mulai merasa tidak nyaman. Di momen inilah, bila kita dapat menyadarinya, kita bisa tahu bahwa ada kepercayaan yang sedang bekerja.
Apa implikasi dari program yang bekerja pada tataran nirsadar dan memengaruhi perilaku individu?
Di sinilah pernyataan Jung menjadi sangat relevan. Saat kepercayaan tidak disadari keberadaan atau pengaruhnya maka ia tidak dapat dipertanyakan, diuji. Kita tentu tidak bisa mengubah sesuatu yang tidak kita ketahui keberadaannya.
Cara mudah untuk tahu keberadaan program pikiran ini adalah dengan belajar menjadi sadar, menjadi pengamat atas diri sendiri, atas apa yang kita pikirkan, ucapkan, lakukan, dan rasakan.
Saat kita mampu melakukan hal ini, kita menjadi tahu, sadar akan keberadaan kepercayaan, mengamati bagaimana kepercayaan ini beroperasi, menjalankan diri kita, mengujinya, dan mulai merasakan akibat yang mereka timbulkan dalam hidup kita.
Dengan kata lain, kita yang sebelumnya beroperasi dalam mode sadar tapi tidak sadar, kita sadar telah melakukan perilaku tertentu tapi tidak sadar apa yang mendorong perilaku ini, berubah menjadi mode sadar sepenuhnya, sadar apa yang telah dilakukan dan apa yang mendorong perilaku ini.
Apakah mudah melakukan ini? Jawabannya, “Bergantung.” Ada yang mampu melakukan ini dengan cepat. Ada yang butuh sedikit waktu berlatih. Singkat kata, kita perlu melatih diri untuk menjadi sadar karena 95-99% pikiran kita berjalan secara otomatis.
Sayangnya banyak orang walau sudah berhasil menyadari dan tahu kepercayaan yang mengendalikan diri mereka, tidak berani melangkah lebih lanjut yaitu mempertanyakan atau menguji kebenaran kepercayaan ini. Umumnya mereka merasa kepercayaan mereka inilah diri mereka. Padahal yang benar, kepercayaan tidak lebih dari sebuah konsep atau ide yang bisa diganti dengan konsep atau ide lain yang lebih konstruktif dan bermanfaat bagi hidupnya.
Banyak yang rela hidup susah dan menderita demi mempertahankan kepercayaan yang sudah jelas dan pasti sangat merugikan dirinya. Mereka yang telah sadar, berani mempertanyakan, meneliti, dan menguji kepercayaan serta menggantinya dengan yang lebih konstruktif akan alami kebebasan dan kebahagiaan.
Beranikah Anda menguji kepercayaan Anda yang selama ini diyakini sebagai hal yang benar? Bila Anda telah menguji kepercayaan ini dan mendapati bahwa kepercayaan ini merugikan diri Anda, tidak mendukung keberhasilan Anda, beranikah Anda menggantinya?
Ada dua cara jalani hidup. Pertama, hidup di bawah kendali kesadaran. Dan kedua, hidup di bawah kendali emosi. Bila diminta memilih, secara sadar, tentu kita semua ingin jalani hidup dengan penuh kesadaran. Namun, pilihan pertama tidak mudah. Dibutuhkan upaya dan kesungguhan niat untuk melatih diri mampu sadar dalam berpikir, berucap, dan bertindak.
Mayoritas orang, tanpa disadari, jalani hidup di bawah kendali emosi, terutama emosi-emosi seperti marah, benci, dendam, kecewa, terluka, sakit hati, frustasi, malu, tidak berharga, dan berbagai emosi negatif lainnya.
Dari mana asal emosi negatif ini?
Pengalaman hidup dan makna yang dilekatkan padanya menentukan emosi yang muncul. Setiap orang berbeda dalam memberi makna. Satu kejadian bisa bermakna negatif, bagi satu orang, namun bisa bermakna positif bagi yang lain.
Pemaknaan dilakukan berdasar kepercayaan yang dipegang individu. Dan mengikuti gerak pikiran yang sangat cepat, pemaknaan terjadi dalam sekejap, di level pikiran bawah sadar (PBS), di luar kendali diri (pikiran sadar) dan individu hanya rasakan produk akhir pemaknaan yaitu emosi.
Saat emosi muncul, bergantung pada intensitasnya, ia segera menguasai diri individu. Semakin intens emosi ini, semakin kuat daya kendali dan cengkeramannya atas pikiran sadar individu. Akibatnya, individu sulit berpikir logis, sulit gunakan nalar sehat saat diri dalam kendali emosi.
Emosi yang melekat pada memori kejadian pertama selanjutnya bisa mendapat penguatan saat individu alami kejadian yang sama atau serupa dengan kejadian sebelumnya, memberi makna yang sama, dan muncul emosi yang sama. Rangkaian kejadian bermuatan emosi yang sama ini terangkai dalam jalinan memori dengan intensitas emosi yang semakin lama semakin kuat. Sama halnya bola salju yang menggelinding dan membangun momentum.
Sesuai judul artikel ini, saya akan bahas adiksi emosi ditinjau dari dua perspektif: sifat pikiran bawah sadar (PBS) dan tubuh. Ada satu fungsi PBS yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami yaitu PBS sangat menyadari pentingnya resolusi trauma namun ia tidak punya kemampuan untuk melakukan resolusi ini.
Cara PBS membantu individu untuk selesaikan trauma (emosi negatif) adalah dengan menempatkan individu pada situasi atau kejadian yang sama atau mirip dengan kejadian sebelumnya, belajar dari kejadian ini dan atasi emosinya. Namun, yang selama ini terjadi, saat individu alami kembali kejadian yang sama atau mirip dengan kejadian sebelumnya, bukannya ia belajar atau bertumbuh, emosinya menjadi semakin intens. PBS akan terus lakukan hal ini sampai individu sadar pesan yang ia sampaikan dan selesaikan trauma ini.
Biasanya ada dua situasi di mana individu akhirnya sadar bahwa ia perlu atasi emosinya. Pertama, ia sadar bila dibiarkan emosi ini akan berakibat buruk bagi hidupnya. Dan untuk itu ia putuskan segera atasi emosi ini dengan berbagai cara. Kedua, ia dalam kondisi yang sedemikian buruk, akibat emosi negatif dalam dirinya, sehingga tidak ada cara lain untuk atasi masalah ini kecuali dengan berubah.
Hal menarik saat kita alami emosi, otak akan hasilkan senyawa kimiawi (neuropeptida) yang selanjutnya dikirim ke sel-sel tubuh. Senyawa kimiawi ini akan memengaruhi sel dan memodifikasi reseptor sel. Semakin sering seseorang alami emosi yang sama, karena PBS menempatkan ia dalam situasi yang sama atau mirip dengan sebelumnya, dan menimbulkan emosi yang sama, maka semakin banyak modifikasi terjadi pada reseptor sel hingga pada satu saat sel alami "desensitisasi" terhadap senyawa kimiawi ini. Satu-satunya cara untuk bisa menstimulasi sel-sel tubuhnya adalah dengan "memberi" senyawa kimiawi dengan "intensitas" yang lebih tinggi karena baseline-nya telah berubah.
Orang yang sering alami emosi negatif tertentu, misalnya marah, sering tidak sadar bahwa marah telah menjadi kondisi alamiahnya. Dan ini terekam di sel-sel tubuhnya. Saat tidak marah, ia merasa tidak nyaman, karena ia di luar zona nyamannya. Sel-sel tubuhnya butuh senyawa kimiawi "marah' untuk bisa merasa nyaman. Dan disadari atau tidak, ia akan alami situasi, kejadian, peristiwa, atau apapun yang munculkan perasaan marah. Dan siklus ini terus berlanjut.
Akan menjadi lebih buruk lagi bila individu mengidentifikasi dirinya dengan emosinya. Sebelumnya ia berkata, "Saya sedang marah." Lambat laut, bila ia sering marah, akhirnya ia berkata, "Saya pemarah", dan sejak saat ini marah identik dengan dirinya, menjadi identitasnya, yang akan terus ia perkuat.
Ini yang terjadi di dalam pikiran dan tubuh. Yang tampak di luar sangatlah berbeda. Disadari atau tidak, individu yang alami adiksi emosi akan gunakan situasi, lingkungan, peristiwa, atau apa saja untuk perkuat emosinya. PBS menempatkan ia pada situasi itu, tubuhnya butuh senyawa kimiawi emosi tertentu, dan ia lakukan hal yang seharusnya dihindari yaitu memperkuat emosinya.
Misalnya dalam diri seseorang ada emosi marah yang intens. Ia, tanpa disadari, akan memperkuat emosi marah ini dengan menggunakan lingkungannya. Misalnya, ia cerita pada temannya mengapa ia marah. Saat ia ceritakan apa yang dulu terjadi, yang membuat ia marah, di dalam pikirannya, lebih tepat pikiran bawah sadarnya, ia alami kembali kejadian ini. Dan senyawa kimiawi "marah" membanjiri tubuhnya dan membuat tubuhnya "nyaman" dan menjadi semakin mudah marah.
Semakin lama, ia menjadi semakin mudah marah. Ia bisa marah pada hujan, rekan kerja, pasangan, jalan yang macet, sahabat yang tidak sependapat dengannya, marah karena harga bahan bakar naik, marah karena tarif listrik naik, dan marah pada hal yang seharusnya tidak perlu membuatnya marah. Intinya, ia selalu dapat temukan alasan atau pembenaran untuk marah pada apa saja. Dan hebatnya, ia merasa benar, dan punya alasan logis, masuk akal untuk marah.
Memang demikianlah cara kerja pikiran. PBS memunculkan emosi tertentu dan pikiran sadar berusaha temukan pembenaran atas apa yang dilakukan.
Inilah yang disebut adiksi emosi. Saat saya jelaskan hal ini pada klien, di ruang terapi, klien menolak bila ia dikatakan alami adiksi emosi. Ia merasa wajar saja bila ia marah atau alami emosi negatif tertentu.
Saya jelakan bahwa segala sesuatu yang tidak dapat atau sangat sulit dihentikan masuk dalam kategori adiksi. Bila ia sulit untuk "tidak marah" atau sulit berhenti menjadi marah karena situasi tertentu maka ia alami adiksi emosi. Sama seperti halnya anak yang sulit berhenti main game, orang dewasa yang sulit berhenti main gawai, orang yang sulit kendalikan nafsu makan.
Apa solusi terbaik untuk atasi adiksi emosi?
Saat pikiran dan hati tenang, suasana nyaman, saat tidak sedang alami emosi negatif tertentu, di saat inilah kita dapat berpikir (lebih) jernih. Dan putusan untuk berubah dapat dilakukan di momen ini.
Saya sering dapat pertanyaan dari calon klien apakah hipnoterapi bisa sembuhkan pikun atau lupa? Biasanya, sebelum beri jawaban saya akan bertanya lebih detil apa yang ia maksud dengan pikun atau lupa, siapa yang mengalami kondisi ini, berapa usianya, dan sudah berapa lama ini dialami.
Apakah hipnoterapi bisa sembuhkan pikun atau lupa?
Jawabannya bergantung faktor penyebab seseorang lupa atau lemah daya ingatnya. Bila penyebabnya ada pada fisik otak, misalnya sudah tua dan alami kemunduran fungsi otak, atau karena stroke atau cedera, maka hipnoterapi tidak bisa membantu. Namun bila otak dalam kondisi baik dan orang sering mengalami lupa, tentu hipnoterapi bisa sangat membantu.
Artikel ini secara khusus hanya mengulas aplikasi hipnoterapi dalam membantu atasi kebiasaan lupa yang disebabkan faktor psikis.
Beberapa tahun lalu saya pernah tangani klien, sebut saja sebagai Fina, yang sangat pelupa. Fina sering ganti HP karena HP-nya hilang. Lebih tepatnya ia lupa di mana meletakkan HP-nya. Fina juga sering lupa di mana menyimpan slip gaji. Pernah di satu kesempatan Fina pergi ke mal bawa mobil dan pulang naik taksi. Setelah tiba di rumah ia bingung dan kaget karena mobilnya “hilang”. Baru setelah diberitahu pembantunya ia ingat mobilnya masih di mal. Melalui sesi hipnoterapi saya berhasil bantu Fina temukan penyebab kebiasaan lupa yang ia alami.
Pada contoh di atas, lupa bukan disebabkan oleh gangguan atau masalah pada otak namun karena aspek psikis. Fina masih muda, sekitar 40 tahun, dan bekerja sebagai trainer di sebuah bank besar. Yang menarik, walau Fina lupa di mana menyimpan HP, slip gaji, dll, namun ia ingat dengan sangat baik materi pelatihan yang biasa ia bawakan. Dengan kata lain Fina alami selective amnesia.
Mengapa orang sering lupa? Ini satu pertanyaan menarik yang memiliki banyak jawaban.
Orang sering lupa, terutama karena tidak fokus saat melakukan sesuatu. Biasanya saat sedang mengerjakan sesuatu, pikiran sibuk memikirkan hal lain atau tidak mindful namun mind-full. Akibatnya, kegiatan ini tidak teregister dengan baik di memori pikiran bawah sadar sehingga sulit dipanggil atau diingat kembali. Ini sama seperti saat kita hendak menyimpan hasil kerja di sebuah folder di komputer dan kita tidak sadar atau melihat di folder mana file disimpan. Akibatnya saat membutuhkan file ini kita kerepotan harus mencarinya.
Kemungkinan lain orang menjadi mudah lupa adalah karena kurang tidur. Kurang tidur, apalagi dalam waktu yang lama, sangat memengaruhi kemampuan kognisi, salah satunya adalah fungsi memori. Stres kronis juga dapat mengakibatkan orang mudah lupa.
Lupa bisa juga disebabkan karena perasaan takut atau tegang. Ini biasanya terjadi pada siswa/mahasiswa yang akan ujian. Saat perasaan takut, tegang, atau cemas muncul, apapun alasannya atau penyebabnya, otak seolah-olah berhenti bekerja. Informasi yang biasanya mudah diingat tiba-tiba hilang dan tidak dapat diingat. Dan semakin seseorang berusaha mengingat, semakin tidak bisa.
Seseorang juga bisa (mudah) lupa karena mendapat imprint atau sugesti dari figur otoritas. Misalnya, anak saat masih kecil pernah lupa mengerjakan tugas. Figur otoritas, orangtua atau guru, menegur anak sambil mengucapkan kalimat “Kamu memang pelupa” atau “Heran ya.. kamu seringkali lupa”, atau “Kamu selalu lupa kerjakan tugas” atau kalimat sejenis.
Tanpa disadari kalimat-kalimat ini menjadi sugesti ampuh yang masuk ke pikiran bawah sadar anak dan selanjutnya membuat anak sering lupa. Kondisi ini menjadi semakin parah bila anak, tanpa disadari, memperkuat sugesti ini pada diri sendiri, saat ia lupa melakukan sesuatu, dengan kalimat, “Memang saya ini pelupa. Benar kata mama/guru saya memang pelupa.” Dan kebiasaan mensugesti diri sendiri berlanjut hingga dewasa.
Lupa juga bisa disebabkan oleh kepercayaan atau belief. Saya sering jumpa klien, biasanya berusia di atas 50an, yang mudah lupa karena percaya bahwa semakin bertambah usia semakin mudah mereka lupa. Menurut mereka, semakin bertambah usia, sama seperti kondisi tubuh, otak menjadi semakin lemah. Ini adalah kepercayaan yang salah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lemah atau tidaknya otak tidak bergantung pada usia namun lebih ditentukan oleh seberapa sering otak dilatih atau digunakan untuk berpikir dan memelajari hal-hal baru.
Dalam buku The Seven Sins of Memory, Daniel L. Schacter menyatakan ada tujuh jenis kegagalan fungsi memori: transience, absent-mindedness, blocking, misattribution, suggestibility, bias, dan persistence.
Transience adalah melemahnya ingatan akan hal-hal tertentu seiring berjalannya waktu. Kita biasanya lebih mudah mengingat hal atau kejadian baru daripada kejadian yang telah lama terjadi.
Absent-mindedness adalah kegagalan fungsi memori yang biasa kita alami karena pikiran sibuk memikirkan hal-hal lain saat melakukan sesuatu dan tidak fokus pada yang dilakukan. Ini mengakibatkan suatu informasi tidak teregister dengan baik di memori. Contohnya adalah lupa meletakkan kunci atau kaca mata, atau lupa dengan janji pertemuan.
Blocking adalah kondisi di mana saat otak berusaha mengingat sesuatu namun mengalami kendala. Contohnya adalah saat jumpa kawan lama dan berusaha mengingat-ingat namanya namun tidak bisa.
Misattribution terjadi saat seseorang mampu mengingat informasi dengan benar namun salah dalam mengingat sumber informasinya.
Suggestibility adalah terpengaruhnya memori seseorang karena sugesti dari pihak atau sumber di luar dirinya. Memori asli terpengaruh oleh informasi baru yang berasal dari orang lain atau sesuatu yang ia dengar atau baca sehingga menjadi tidak akurat.
Bias mirip dengan suggestibility dan disebabkan oleh terdistrosinya memori oleh perasaan atau persepsi seseorang sehingga memori tidak akurat.
Dan persistence adalah kondisi di mana seseorang terus teringat kejadian-kejadian tertentu. Ini yang dialami oleh penderita OCD.
Kembali pada Fina yang saya ceritakan di atas. Apa yang terjadi pada Fina sehingga jadi pelupa? Apa yang Fina alami sangat beda dengan yang dijelaskan oleh Schacter. Fina menjadi pelupa karena ulah pikiran bawah sadarnya.
Dengan teknik Ego Personality Therapy (EPT) saya temukan Ego Personality (EP) dalam diri Fina yang sengaja membuat Fina lupa. Tujuan EP ini agar Fina punya daya ingat kuat. Sebagai terapis saya tentu penasaran mendengar hal ini. Bagaimana mungkin Fina bisa menjadi kuat daya ingatnya bila sering dibuat lupa oleh EP ini?
Melalui wawancara mendalam dengan EP akhirnya diketahui bahwa di masa kecilnya Fina beberapa kali menghilangkan anting-anting emas pemberian ibunya. Di kejadian pertama, ibunya hanya menegur dan menasihati agar Fina lebih hati-hati saat memakai anting emas. Di kejadian selanjutnya ibunya marah besar karena Fina kembali menghilangkan antingnya.
Di salah satu momen inilah muncul EP yang ingin melindungi Fina agar tidak dimarahi ibunya. Agar tidak dimarahi Fina tidak boleh sampai hilangkan lagi anting emas pemberian ibunya. Agar tidak hilang Fina perlu punya daya ingat yang kuat. Dan agar punya daya ingat kuat, Fina sengaja dibuat lupa oleh EP. EP beralasan bila Fina lupa meletakkan atau menyimpan sesuatu maka ia pasti akan berusaha menemukannya. Dalam upaya menemukan kembali benda ini, menurut pemikiran EP, daya ingat Fina akan terasah dan menjadi kuat.
Namun yang terjadi adalah semakin lama Fina menjadi semakin pelupa. Dan EP menjadi semakin sering “melatih” Fina, terus berusaha menguatkan daya ingat Fina dengan membuatnya semakin sering lupa. Demikianlah seterusnya yang terjadi. Dan ini sangat memengaruhi hidup Fina.
Dalam proses terapi saya lakukan edukasi pada EP bahwa yang ia lakukan tidak tepat. Tujuan EP sangat baik untuk Fina namun cara yang ia gunakan justru menyusahkan Fina.
Saat mendengar penjelasan saya, EP baru sadar bahwa yang ia lakukan ternyata salah. Namun EP tidak tahu cara yang tepat untuk kuatkan daya ingat Fina. Di sini saya lakukan edukasi dan beri saran pada EP. Setelah EP menerima saran dan masukan ini, kemampuan mengingat Fina langsung pulih kembali dan ia bisa mengingat di mana meletakkan HP dan slip gajinya.
Ada banyak cara untuk tingkatkan daya ingat. Pertama, fokus atau sadar saat melakukan sesuatu. Kedua, memberi sugesti pada diri sendiri dengan kalimat "Semakin hari daya ingat saya semakin kuat". Ketiga, bila penyebab lupa adalah kurang tidur maka Anda perlu cukup tidur. Keempat, bila lupa disebabkan oleh stres berkepanjangan maka yang perlu dilakukan adalah segera atasi stres ini. Kelima, bila ada kepercayaan yang kurang tepat mengenai otak dan fungsi memori, misal Anda percaya semakin bertambah usia maka semakin mudah lupa atau pikun, maka cara paling efektif untuk atasi hal ini adalah dengan mengganti kepercayaan ini dengan kepercayaan yang lebih mendukung diri Anda. Terakhir, bila semua cara sudah dicoba dan Anda tetap sering lupa, padahal otak Anda tidak ada masalah, ada baiknya Anda minta bantuan terapis untuk mencari tahu apakah ada sabotase dari pikiran bawah sadar.
Menyaksikan berita kekerasan di sosial media dapat mengakibatkan gejala yang mirip dengan post-traumatic stress disorder (PTSD). Sebuah studi telah menemukan bahwa 25% dari individu alami gejala mirip PTSD karena ikuti berita tentang kejadian 9/11 dan bom bunuh diri di sosial media.
Semakin sering orang mengikuti berita-berita yang mengandung unsur kekerasan, seperti yang ditemukan oleh para peneliti, semakin besar trauma yang mereka alami.
Simpulan ini dicapai melalui studi terhadap 189 orang dan dipresentasikan di konferensi tahunan British Psychology Society yang diselenggarakan di Liverpool.
Dr Pam Ramsden, yang mempresentasikan penelitian ini, berkata:
“Efek negatif yang ditimbulkan dari mendengar, melihat, atau mengikuti cerita atau kisah penderitaan orang lain telah lama dikenal. Berbagai studi telah mendokumentasikan reaksi psikologis negatif yang timbul setelah seseorang secara tidak langsung terpapar dengan orang yang mengalami trauma. Kondisi ini dinamakan vicarious traumatisation atau trauma yang seolah-olah dialami sendiri.
Media sosial telah memungkinkan kisah kekerasan dan gambar-gambar kekerasan disaksikan oleh publik apa adanya, tanpa diedit. Dengan menyaksikan kejadian-kejadian ini dan turut merasakan penderitaan mereka yang mengalaminya akan sangat memengaruhi kualitas hidup anda.
Dalam studi ini, kita ingin tahu apakah orang akan mengalami pengaruh yang berlangsung lebih lama seperti stres dan kecemasan, dan dalam beberapa kasus terjadi PTSD dari menyaksikan gambar-gambar ini.”
Orang-orang ini alami gejala PTSD walau mereka tidak mengalami trauma dalam kehidupannya.
Dr Ramsden melanjutkan:
“Ini cukup mengkhawatirkan karena hampir 25% dari mereka yang menyaksikan gambar-gambar itu menunjukkan hasil yang tinggi pada pengukuran PTSD. Juga terdapat peningkatan risiko bagi mereka dengan kepribadian ramah dan ekstrovert. Dengan meningkatnya akses ke sosial media dan internet melalui tablet dan smartphone, kita perlu pastikan bahwa orang sadar akan risiko melihat gambar-gambar ini dan tahu bahwa ada bantuan bagi mereka yang membutuhkannya.”
(Sumber: psyblog. Penejemah: AWG)