The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Di berbagai buku yang pernah saya baca dan seminar yang pernah saya ikuti selalu ada pernyataan bahwa secara psikologis manusia bergerak menjauhi pain (rasa sakit) dan mendekati pleasure (rasa senang). Pain dan pleasure adalah dua pengendali utama dalam hidup manusia.
Dari hasil pembelajaran saya lebih lanjut, khususnya dalam konteks tekonologi pikiran, ternyata pemahaman ini ada pada dua tataran, pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Dua pikiran ini memaknai pain dan pleasure secara sangat berbeda.
Pikiran sadar memaknai pain sebagai segala sesuatu yang menimbulkan rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun di hati (emosi). Misalnya, saat udara sedang panas, perut sedang lapar, tubuh lagi sakit, mengalami emosi-emosi negatif seperti marah, jengkel, terluka, benci, dll, maka ini semua dimaknai sebagai pain oleh pikiran sadar.
Sebaliknya, semua yang menimbulkan atau menyebabkan rasa nyaman, senang, enak, bahagia, baik di aspek fisik maupun hati, oleh pikiran sadar dimaknai sebagai pleasure.
Pemaknaan pain dan pleasure oleh pikiran bawah sadar sangat berbeda. Pain, menurut pikiran bawah sadar, adalah segala sesuatu yang ia tidak kenal. Sedangkan pleasure adalah segala sesuatu yang ia kenal. Pemaknaan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan rasa sakit atau senang secara fisik atau hati.
Segala sesuatu yang dikenal oleh pikiran bawah sadar, walau itu sebenarnya menyakitkan, menurut pikiran sadar, adalah pleasure atau rasa senang. Contohnya, ada seorang wanita yang telah menjalin relasi selama bertahun-tahun dengan seorang pria yang kasar dan sering melakukan kekerasan fisik, mental, dan verbal. Namun ia tidak berani memutuskan relasi ini. Secara sadar ia tahu bahwa pasangannya sering menyakiti dirinya. Namun mengapa ia tidak berani memutuskan untuk mengakhiri relasi ini?
Jawabannya sangat sederhana. Pikiran bawah sadarnya memaknai relasi ini sebagai pleasure karena ia (pikiran bawah sadar) kenal. Saat ditanya alasan mengapa ia tidak juga kunjung memutuskan hubungan yang oleh semua rekan atau keluarganya dinilai tidak baik dan merugikan dirinya, ia menjawab, “Ya kalau putus dengan yang ini saya bisa dapat pasangan yang lebih baik. Kalau dapat yang lebih buruk bagaimana?”
Dan sesuai dengan hukum pikiran, pikiran bawah sadar mengendalikan 90% diri manusia sedangkan pikiran sadar hanya 10%. Jadi, apapun yang dipilih oleh pikiran bawah sadar selalu menang dan menentukan setiap pikiran, ucapan, dan tindakan seseorang. Dan salah satu fungsi pikiran bawah sadar adalah melindungi individu dari segala hal yang ia, pikiran bawah sadar, pikir, rasa persepsikan, bayangkan, atau yakin merugikan individu.
Sekarang, kembali pada judul artikel ini. Pemahaman yang kurang tepat tentang pain dan pleasure ini ternyata telah menyusahkan banyak orang. Salah satunya klien yang dengan menggunakan pemahamannya yang salah, tentang pain dan pleasure, berusaha melakukan perubahan diri.
Klien ini ingin mengubah kepercayaan (belief) yang menghambat kemajuan dirinya, khususnya di aspek finansial. Beberapa kepercayaan menghambat yang ingin ia ganti antara lain cari uang itu susah, uang adalah sumber masalah, uang adalah akar kejahatan, orang kaya itu jahat, uang bisa merusak moral seseorang.
Saya menghargai keinginannya untuk berubah. Saya sangat menghargai upaya sungguh-sungguh yang ia lakukan untuk berubah. Dan yang membuat saya agak kaget sampai geleng-geleng kepala adalah teknik yang ia gunakan ternyata, secara teknis, salah. Itu sebabnya ia tetap tidak bisa berubah dan akhirnya minta jumpa saya.
Apa yang ia lakukan? Ternyata ia menggunakan pemahaman pain dan pleasure di pikiran sadar untuk berubah. Ia menuliskan kepercayaan yang ingin ia ubah dan kepercayaan penggantinya. Misal, kepercayaan “uang adalah sumber masalah” diganti dengan “uang bisa membantu saya mencapai yang saya inginkan”.
Klien ini juga melakukan pengecekan ke dalam dirinya untuk mengetahui seberapa yakin ia akan kebenaran kepercayaan menghambat ingin ia ganti. Ia menggunakan skala 1 sampai 10. Semakin tinggi angkanya berarti ia semakin yakin. Kepercayaan “uang adalah sumber masalah” mendapat angka sembilan.
Selanjutnya, untuk mengubah kepercayaan ini, ia membaca dengan keras kalimat “uang adalah sumber masalah” dan diikuti dengan ia mencubit keras paha kanan sebelah dalam. Setelah itu ia mengelus paha kanan yang sakit ini dan mengucapkan “uang bisa membantu saya mencapai yang saya inginkan”. Ini ia lakukan sampai lima kali untuk setiap kepercayaan. Semakin tinggi angka pada setiap kepercayaan maka semakin keras ia melakukan cubitan.
Saat saya tanya apa logika di balik tindakannya ini, ia menjawab bahwa manusia menghindari pain. Saat ia membaca kalimat kepercayaan negatif dan langsung mencubit keras pahanya maka pikiran akan melakukan asosiasi antara kepercayaan ini dengan pain/rasa sakit. Dan selanjutnya saat ia mengelus pahanya dan membacakan kepercayaan positif, pikiran juga akan melakukan asosiasi antara kepercayaan positif dengan pleasure/rasa senang.
“Apakah Anda yakin teorinya sudah benar?” tanya saya.
“Saya yakin benar Pak. Ini yang saya pelajari di berbagai buku dan pelatihan yang pernah saya ikuti,” jawabnya polos.
“Lalu, bagaimana hasilnya?” tanya saya lagi.
“Hasilnya tidak ada. Saya bingung apa ya yang salah?” jawabnya.
“Apa yang Anda lakukan pasti ada hasilnya,” komentar saya dengan sangat yakin.
“Tidak ada Pak. Buktinya saya tetap tidak berubah,” jawabnya.
“Ada. Saya yakin tempat cubitan di paha Anda pasti jadi biru,” jawab saya sambil tertawa lepas.
Demikianlah yang dialami klien ini. Ia tetap tidak berubah dan pahanya jadi biru akibat cubitan. Yang terjadi, pikiran bawah sadarnya justru membuat asosiasi antara rasa sakit fisik dengan upaya perubahan yang ia lakukan. Selanjutnya setiap kali ia berpikir untuk melakukan perubahan, langsung timbul perasaan tidak nyaman di hatinya.
Yang klien ini tidak tahu, kepercayaan tersimpan di pikiran bawah sadar, bukan di pikiran sadar. Untuk itu ia perlu tahu sifat, cara kerja, dan hukum yang berlaku di pikiran sadar. Saya menjelaskan panjang lebar apa saja yang perlu ia ketahui agar bisa berubah dengan cepat dan mudah, tanpa harus menyakiti dirinya sendiri.
Saya ingat beberapa tahu lalu seorang sahabat saya mencoba menyembuhkan anaknya yang berusia 6 tahun dari kebiasaan mengompol (enuresis). Yang ia lakukan adalah saat di pagi hari ia mendapati anaknya mengompol, ranjangnya basah, maka ia langsung menyirami si anak dengan air.
Logika berpikir yang ia gunakan sama dengan klien di atas. Hasilnya? Anaknya tidak sembuh dari kebiasaan mengompol dan menjadi trauma dengan air.
Satu lagi, untuk melakukan perubahan, semakin besar upaya pikiran sadar maka semakin kecil respon pikiran bawah sadar. Artinya, perubahan yang dipaksakan dengan menggunakan cara atau teknik yang tidak sejalan dengan sifat dan cara kerja pikiran bawah sadar niscaya akan sia-sia dan justru bisa menimbulkan masalah baru.
Bila kesadaran digambarkan sebagai satu garis kontinum maka mindfulnessdan trance berada di masing-masing ujung ekstrim. Mindfulness dan tranceadalah dua kondisi kesadaran yang berbeda dan selama ini tidak bisa disandingkan.
Istilah mindfulness, dalam bahasa Inggris, berasal dari kata Pali, sati, yang artinya kesadaran, perhatian, ingatan, pengenalan, kejernihan pikiran. Sedangkan trance, atau lengkapnya hypnotic trance, adalah kondisi kesadaran yang berbeda dengan kondisi sadar normal (altered state) yang dialami oleh seseorang melalui bimbingan terapis. Hypnotic trance sendiri terdiri atas banyak lapis kesadaran.
Perbedaan mendasar antara kondisi mindful dan trance terletak pada kesadaran yang aktif pada satu saat. Individu yang mindful sadar akan apa yang ia alami, rasakan, pikirkan, dan apa yang terjadi di sekelilingnya. Pikirannya benar-benar sadar. Sebaliknya kondisi tidak mindful seperti pikiran melayang ke masa lalu atau masa depan, mengunci pintu namun tidak ingat telah melakukannya, tidak ingat apakah sudah mematikan lampu atau belum, diajak bicara seseorang kemudian anda lupa apa yang baru dibicarakan, atau mengendarai mobil atau sepeda motor dan tanpa disadari telah tiba di tujuan, mencari kunci dan tidak menemukannya padahal kunci ada di depan mata, semua ini masuk dalam kategori trance.
Kondisi trance memang sangat berbeda dengan kondisi mindful. Mindfulness merujuk pada perhatian yang netral terhadap pengalaman yang dialami oleh individu dari waktu ke waktu (Kabat-Zinn, 1990/2005). Sedangkan Brown dan Ryan (2003) mendefiniskan mindfulness sebagai kondisi kesadaran penuh perhatian pada apa yang sedang terjadi di saat sekarang.
Dalam kondisi trance, individu melepas kendali atas fungsi kritis pikirannya, lepas dari fungsi pengawasan kekinian pengalaman, dan teregresi ke proses berpikir primer di mana terdapat kebebasan dan keleluasaan pikiran dalam memunculkan berbagai bentuk gambaran mental, daya khayal, menerima segala sesuatu yang sebelumnya tidak rasional menjadi rasional, dan individu mengalami fenomena trance logic (Orne, 1959).
Para praktisi mindfulness sangat menghindari kondisi tidak mindful yang dijelaskan di atas. Kondisi tidak mindful sangat tidak baik dan bisa merugikan.
Ditinjau dari perspektif terapi, baik mindfulness dan trance masing-masing memiliki manfaat terapeutik. Keduanya dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kebaikan individu tentunya dengan mengikuti prinsip yang berlaku untuk kedua kondisi kesadaran ini.
Dalam terapi berbasis mindfulness klien dilatih untuk hanya melakukan pengamatan, menyadari, mengetahui, dan menerima aliran pengalaman dari waktu ke waktu, membiarkan pengalaman itu bergulir apa adanya, tidak masuk dan terlibat di dalam pengalaman itu, tidak melakukan pembatasan pada bentuk pikiran, perasaan, dan perilaku tertentu. Klien tidak dibimbing oleh terapis, klien tidak menerima sugesti tertentu, klien tidak masuk ke dalam kejadian atau pengalaman dan memrosesnya. Intinya, klien menerima apapun yang ia rasakan atau alami dengan hanya menyadari pengalamannya.
Dengan demikian mindfulness mendorong pergeseran perhatian secara global, menggantikan perhatian yang sebelumnya melekat erat pada pengalaman, perasaan, bentuk pikiran tertentu.
Mindfulness, menurut Sri Paññavaro Mahathera, dapat dilatih melalui metode meditasi. Salah satunya dengan memerhatikan napas, atau dengan mengamati pengalaman dan bagaimana pengalaman itu berlangsung tanpa memberikan pemaknaan, menghakimi, menilai, memberi nama atau label, melibatkan emosi, atau berusaha dengan sesuatu cara mengubah pengalaman itu. Mindfulness juga dapat dipraktikkan dan dilatih secara informal dalam keseharian dengan mengembangkan kesadaran menerima pengalaman internal maupun eksternal. Dalam berlatih meditasi, para meditator berlatih untuk selalu sadar, menyadari apapun yang ia rasakan, alami, pikirkan, atau yang terjadi di sekitar.
Keefektifan dan manfaat mindfulness dalam konteks klinis terletak pada kemampuan kesadaran memutus response set yang mengendalikan diri individu. Response set adalah pola asosiasi terkondisi yang memfasilitasi pola perilaku, pola pikir, dan respon individu terhadap stimulus atau situasi tertentu. Response set dapat diaktifkan baik oleh stimuli internal maupun eksternal, seperti sugesti dan beragam sinyal yang berasal dari lingkungan.
Mindfulness dapat memutus respon perilaku otomatis yang selama ini menguasai diri seseorang, baik disadari atau tidak, dan membuat individu menjadi sadar akan pola perilaku maladaptif yang ia alami atau lakukan.
Pelatihan mindfulness pada klien akan memampukan klien menyadari dan menangkap pola perilaku yang relatif otomatis dan reaktif menjadi respon yang lebih terkendali (Teasdale, Segal, dan Williams, 2003).
Dengan lebih menggiatkan kesadaran tanpa kondisi, tidak menghakimi, mindfulness mengaktifkan proses perhatian pengawasan diri dan memberdayakan klien dalam membuat pilihan dan keputusan akan respon yang lebih adaptif dan konstruktif menggantikan respon maladaptif yang selama ini ia alami.
Kesadaran yang menjadi landasan mindfulness terhadap pengamatan pasang surut pengalaman mencipta fondasi terapi dalam mengatasi pengaruh pikiran yang sifatnya mengganggu, bias kognitif, dan berbagai pengkondisian yang terjadi di masa sebelumnya yang menjadi penyebab masalah emosi dan perilaku maladaptif.
Contohnya, individu yang sebelumnya akan marah besar saat mendapat kritik, dengan melatih mindfulness, ia dapat menyadari munculnya kemarahan, dapat mengamati kemarahan ini tanpa turut larut di dalamnya, dan selanjutnya mampu memilih opsi respon yang lebih konstruktif menggantikan respon marah (maladaptif).
Melatih mindfulness tentu butuh upaya serius dan berkelanjutan. Kita jarang bisa dalam kondisi mindful. Pikiran kita biasanya dipenuhi berbagai bentuk pikiran yang mengganggu atau sibuk memberi pendapat atas apa yang sedang terjadi pada satu saat.
Kendala yang sering dialami praktisi mindfulness dalam melatih diri adalah pengaruh emosi intens, yang tersimpan di pikiran bawah sadar, yang dengan sangat cepat menguasai diri individu sehingga yang terjadi bukannya mindfulness tapi mind-full-ness di mana pikiran (mind) dipenuhi berbagai bentuk pikiran (thought) yang sangat mengganggu karena adanya emosi intens yang menyertai bentuk-bentuk pikiran ini.
Untuk bisa masuk kondisi trance maka seseorang justru tidak boleh dalam kondisi mindful atau awas dan waspada. Mindful adalah ranah kerja dan aktivitas pikiran sadar dan trance adalah ranah pikiran bawah sadar. Ini adalah dua pikiran yang sangat berbeda fungsi dan cara kerjanya.
Praktisi mindfulness yang ingin masuk trance perlu melepas, untuk sementara waktu, kondisi pikiran yang mindful dan mengikuti bimbingan terapis.
Saat mindful kendali pikiran atas fungsi kritis menjadi sangat kuat. Terapis sangat sulit atau tidak bisa membimbing klien menembus faktor kritis pikiran sadarnya yang menjadi syarat mutlak untuk masuk kondisi trance.
Itu sebabnya para meditator biasanya mengalami kesulitan untuk masuk kondisi trance dengan bimbingan terapis. Sebenarnya, saat mereka melakukan meditasi dan benar-benar fokus pada objek meditasi maka mereka juga masuk kondisitrance. Bedanya, saat mereka dibimbing oleh terapis, pikiran sadar mereka akan terus mengamati atau menyadari apapun yang diucapkan oleh terapis. Ini yang membuat mereka sulit masuk kondisi trance.
Trance adalah kondisi di mana fungsi kritis pikiran sadar berhasil ditembus dan individu masuk ke pikiran bawah sadar untuk menemukan kejadian, peristiwa, pengalaman traumatik, atau berbagai program pikiran (imprint) yang menjadi akar masalah gangguan perilaku. Selanjutnya, bisa dengan bantuan terapis atau melakukannya sendiri, dengan teknik yang sesuai, akar masalah ini diproses hingga terjadi resolusi trauma menyeluruh dan tuntas. Masalah dikatakan telah selesai diproses saat emosi yang sebelumnya melekat pada pengalaman itu berhasil dinetralisir dan terjadi pemaknaan baru.
Dari uraian di atas tampak dua perbedaan mendasar aplikasi mindfulness dan trance dalam mengatasi masalah. Dalam terapi berbasis mindfulness yang dikembangkan adalah kesadaran mengamati, menerima, tidak masuk ke dalam pengalaman, terjadi pemisahan tegas antara diri pengamat dan pengalaman (disosiasi). Dan untuk bisa melakukan disosasi dengan baik dibutuhkan tidak hanya kekuatan kehendak, kekuatan konsentrasi, namun juga energi psikis yang besar untuk terus mempertahankan kondisi disosiasi.
Apabila individu tidak kuat dalam mempertahankan kondisi disosiasi ini dan masuk atau tertarik masuk ke dalam pengalaman yang sedang diamati maka ia dapat mengalami trauma ulang dan ini akan semakin memperburuk kondisinya.
Saat individu dapat melakukan pengamatan, hanya mengamati saja, terhadap kejadian atau pengalaman maka kekuatan cengkeraman dan pengaruh kejadian itu pada diri individu menjadi sirna. Emosi yang tadinya sangat intens melekat pada pengalaman semakin lama menjadi semakin lemah hingga akhirnya runtuh dan pengalaman itu hanya menjadi satu bentuk memori yang netral.
Hal yang berbeda terjadi dalam pemanfaatan trance untuk (hipno)terapi. Saat seseorang dalam kondisi trance, saat fungsi kritis pikiran sadar untuk sementara waktu tidak bekerja, ia dapat leluasa masuk ke pikiran bawah sadar, mengakses dan mengalami kembali (asosiasi) berbagai pengalaman yang mengganggu hidupnya (revivifikasi) dan memroses pengalaman ini hingga tuntas. Namun, dari pengalaman klinis, sebaiknya untuk memroses kejadian dengan muatan emosi yang intens hanya dilakukan dengan bantuan terapis, jangan dilakukan sendiri karena seringkali saat emosi muncul dan sepenuhnya dirasakan oleh individu kendali atas proses yang sedang ia alami menjadi lemah dan dapat berpengaruh buruk pada dirinya.
Mindfulness dan trance dapat digunakan, secara gabungan, untuk mengatasi respon maladaptif dan membangun respon adaptif yang baru. Kedua kondisi kesadaran ini berbeda namun memiliki kesamaan, dalam konteks terapi, yaitu keduanya dapat mengubah perhatian atau persepsi untuk mencapai goal terapeutik.
Terapi alternatif komplementer sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan adalah pengobatan nonkonvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik tapi belum diterima dalam kedokteran konvensional.
Adapun dasar hukum pelayanan pengobatan komplementer-alternatif adalah sebagai berikut:
· UU no. 36 tahun 2009 pasal 59 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional
Pasal 1 butir 16 Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Pasal 48 Pelayanan kesehatan tradisional.
Bab III Pasal 59 s/d 61 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisonal.
· Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. : 1076/Menkes/SK/2003 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional
· Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. : 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan.
· Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, No. HK.03.05/I/199/2010 tentang pedoman kriteria penetepan metode pengobatan komplementer – alternatif yang dapat diintegrasikan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Jenis pelayanan pengobatan komplementer – alternatif berdasarkan Permenkes RI, Nomor : 1109/Menkes/Per/2007 adalah :
· Intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions) : hipnoterapi, mediasi, penyembuhan spiritual, doa dan yoga.
· Sistem pelayanan pengobatan alternatif : akupuntur, akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda.
· Cara penyembuhan manual : chiropractice, healing touch, tuina, shiatsu, osteopati, pijat urut.
· Pengobatan farmakologi dan biologi: jamu, herbal, gurah.
· Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan : diet makro nutrient, mikro nutrient.
· Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan : terapi ozon, hiperbarik, EECP.
Setiap klien yang masuk kondisi hipnosis, sedalam apapun, tetap sadar sepenuhnya. Sadar dalam hal ini merujuk pada fungsi ego yang berbeda, yang tetap aktif pada satu saat. Hilgard (1977), Fromm dan Shor (1979) dan beberapa pakar lain menemukan keberadaan dua fungsi ego yang umum terjadi dalam hipnosis atau yang dialami oleh klien: (a) ego partisipan, yaitu yang melepas kendali atas fungsi kritis dan menyerahkannya pada terapis yang ia percaya atau kepada ego yang mengendalikan proses hipnosis yang dilakukan sendiri (self hypnosis), dan (b) ego pengamat, yang tetap mempertahankan fungsi kritis dan mengawasi/mengamati derajat keterlibatan ego partisipan. Nash (1991) merujuk fenomena ini sebagai pengalaman pemisahan (experienced separation) antara niat untuk tunduk dan kesadaran akan niat itu.
Klien dalam kondisi hipnosis tetap dalam kondisi sadar penuh dan tidak di bawah kendali terapis. Klien, karena tetap dalam keadaan sadar penuh, dapat menolak, melawan, atau mengabaikan sugesti yang merugikan diri mereka atau yang tidak sejalan dengan nilai-nilai hidup klien (Lynn, Rhue, dan Weekes, 1990).
Pengalaman hipnosis menjadi pengalaman yang aman dan membuat ego partisipan teregresi ke situasi yang jauh lebih awal karena keberadaan ego pengamat yang tetap memegang kendali penuh diri klien. Ego pengamat ini jugalah yang mampu menerjemahkan representasi simbolik dari gambar mental dan mimpi karena ia mampu mengakses informasi yang terpisah (split off) dari pengalaman sadar (Hilgard, 1973, 1974).
Dalam riset mereka terhadap mimpi hipnotik, dengan atau tanpa mengaktifkan ego pengamat sebagai penerjemah, Pinnel, Lynn, dan Pinnel (1998) menemukan bahwa pengaruh sugesti yang meminta keterlibatan ego pengamat menghasilkan materi yang berasal dari proses primer. Tanpa sugesti, ego pengamat masih berfungsi, namun ego partisipan lebih memiliki kebebasan untuk turut serta dalam kegiatan proses primer.
Ego pengamat, saat dipanggil untuk tampil dan aktif, berdiri di antara jembatan yang menghubungkan antara si pemimpi dan pemikir, antara fungsi ego-reseptif dan ego-aktif. Peneliti juga menemukan bahwa mimpi yang dilaporkan oleh subjek yang dihipnosis mengandung lebih banyak proses primer daripada mimpi yang yang dilaporkan oleh subjek yang tidak dihipnosis.
Freud (1900/1953a) mengidentifikasi dua mode fungsi mental yaitu fungsi proses primer, tipikal proses berpikir di masa kecil (anak-anak) dan yang kedua, fungsi proses sekunder, yang lebih matang, lebih dewasa.
Format utama proses berpikir primer adalah preverbal - gambaran mental yang sangat aktif, cair, dan tampak mirip. Dalam mode ini, segala sesuatu bisa terjadi, bahkan yang tidak masuk akal sekalipun. Kemampuan berpikir kritis, logis, dan analitis menurun drastis saat seseorang dalam mode berpikir primer. Sebaliknya, proses berpikir sekunder sifatnya logis dan berurutan. Ia berfungsi lebih berdasar bahasa daripada gambar, dan berorientasi realita, diarahkan oleh fungsi kritis dan analitis dari ego.
Walau proses berpikir primer mendahului yang sekunder, dalam urutan perkembangan kognisi, proses ini tidak hilang dengan bertambahnya usia dan terus bertahan hingga usia dewasa (Brown dan Fromm, 1986) dan mengambil bentuk lain seperti kemampuan imajinasi dan karakteristik tidak logis seperti dalam aktivitas bermain, canda gurau, dan mimpi.
Terdapat berbagai kondisi kesadaran pada garis kontinum yang menghubungkan proses berpikir primer dan sekunder. Hal ini tampak saat kondisi kesadaran invididu bergeser dari fantasi ke realita, dari mimpi saat tidur ke kondisi sadar normal, dan dari kondisi tidak fokus, melamun, ke kondisi fokus penuh.
Bahkan di masa dewasa, kesukaan bermain dan kreativitas menggunakan regresi sebagai layanan ego, yang mana merupakan aspek yang diakses oleh hipnosis dalam proses penyembuhan. Kondisi ini disebut dengan regresi adaptif (Hartmann, 1936/1948). Kris (1934/1952) menggunakan istilah regresi sebagai layanan ego dan menjelaskan bagaimana para artis yang kreatif kembali ke mode berpikir primer yang dipenuhi dengan imajinasi dan daya khayal saat menghasilkan karya-karya mereka.
Dalam kondisi hipnosis ego melepas kendali atas fungsi kritis dan kembali ke proses berpikir primer, maka individu dapat membayangkan dan mengkonkritkan sesuatu yang abstrak seperti emosi yang sedang ia rasakan atau alami. Dalam mode berpikir primer inilah individu mampu mengalami fenomena yang oleh Orne (1959) disebut dengan trance logic.
Pendahuluan
Akhir-akhir ini hipnoterapi mulai tumbuh subur di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Namun demikian pemahaman masyarakat mengenai hipnoterapi nampaknya masih salah kaprah. Salah satu contoh, sebagian masyarakat belum sepenuhnya menyadari bahwa hipnoterapi sangat berbeda dengan hipnosis panggung (stage hypnosis) yang biasa disaksikan dalam acara hiburan di TV. Sebagian masyarakat juga tidak tahu perbedaan arti dari hipnosis, hipnotis, hipnoterapi, dan hipnoterapis.
Hipnosis adalah ilmu psikoneurofisiologis yang secara saintifik mendasarkan pada perubahan frekuensi dan amplitude gelombang otak dari kondisi beta ke kondisi delta yang mengakibatkan meningkatnya fokus, konsentrasi, dan penerimaan terhadap pesan-pesan mental yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2012).
- Hipnotis adalah orang yang melakukan hipnosis.
- Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis.
- Hipnoterapis adalah orang yang melaksanakan hipnoterapi.
Praktik hipnoterapi dan program pendidikan praktisi hipnoterapi mulai banyak berkembang di Indonesia. Namun, sebagai bidang baru dalam ranah kesehatan, sejauh ini belum terdapat kesepakatan mengenai standar praktik maupun pendidikannya di Indonesia. Bagaimanapun juga, manfaat hipnoterapi sangat tergantung dari luas dan mendalamnya penguasaan seseorang mengenai teknik-teknik hipnoterapi yang efektif dan efisien yang didasari oleh riset-riset ilmiah.
Hipnoterapi sangat bermanfaat bagi klien bila dilakukan dengan teknik yang benar sesuai dengan prinsip kerja pikiran sadar dan bawah sadar, dan sebaliknya dapat membahayakan klien bila dilakukan tanpa penguasaan mendalam mengenai prinsip kerja pikiran sadar dan bawah sadar. Itulah sebabnya, profesi hipnoterapis perlu dikembangkan melalui standar pendidikan yang bukan hanya memelajari pengetahuan dan teknik hipnoterapi, melainkan sekaligus membentuk rasa tanggung jawab dan integritas peserta dalam melaksanakan fungsinya sebagai hipnoterapis.
Bukti Ilmiah Manfaat Hipnoterapi
Hipnoterapi klinis adalah modalitas terapi yang telah diterima dan mendapat pengakuan dari American Psychological Association (APA) sebagai cabang ilmu psikologi di tahun 1960 dan merupakan divisi ke tiga puluh (Society of Psychological Hypnosis) dari lima puluh enam divisi dalam APA.
Di tahun 1955 British Medical Association menerbitkan laporan yang menyatakan bahwa hipnosis adalah alat bantu medis yang berharga. American Medical Association di tahun 1958 juga mengeluarkan pernyataan resmi bahwa hipnosis adalah modalitas terapi yang layak dan ilmiah. Sedangkan di tahun 1962 American Psychiatric Association juga mengakui hipnosis sebagai modalitas terapi yang layak untuk menangani beberapa masalah psikologis (Nash dan Barnier, 2008).
Barios (1970) telah melakukan survei berbagai literatur ilmiah dan membandingkan tingkat kesembuhan yang berhasil dicapai dengan modalitas terapi berbeda, dengan temuan sebagai berikut:
- Psikoanalisa: 38% kesembuhan setelah dilakukan 600 sesi terapi.
- Terapi perilaku (behavior therapy): 72% kesembuhan setelah dilakukan 22 sesi terapi.
- Hipnoterapi: 93% kesembuhan setelah 6 sesi terapi.
Hipnoterapi klinis sesuai dengan pernyataan Barios (1970) lebih unggul dibandingkan psikonalisa dan terapi perilaku karena dapat langsung menembus faktor kritis pikiran sadar dan menjangkau pikiran bawah sadar di mana tersimpan berbagai program pikiran maupun emosi yang menjadi akar masalah yang berhubungan dengan atau yang menjadi penyebab berbagai gangguan emosi, perilaku, dan penyakit psikosomatis.
Pentingnya terapi dilakukan di pikiran bawah sadar karena pengaruh pikiran bawah sadar yang sangat besar terhadap hidup manusia. Hal ini sejalan denganhasil riset Azegedy-Maszak (2005) yang menyatakan bahwa pikiran bawah sadar bertanggungjawab, mempengaruhi, dan menentukan 95% hingga 99%proses aktivitas berpikir, sehingga pikiran bawah sadar menentukan hampir semua keputusan, tindakan, emosi, dan perilaku kita.
Hipnoterapi, menurut Tebbetts (1985), bekerja berdasar dua prinsip penting berikut. Pertama, sebagian besar perilaku maladaptif adalah hasil dari respon penyesuaian yang tidak tepat, yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan masa kecil, yang tidak sesuai dengan situasi atau kondisi saat dewasa. Kedua, sebagian besar penyakit bersifat psikosomatis dan dipilih secara tidak sadar, sebagai upaya untuk lari dari situasi yang dianggap sebagai situasi dengan tekanan mental yang berlebih, yang disebabkan oleh emosi destruktif seperti kemarahan, kebencian, dendam, perasaan bersalah, dan takut.
Berdasarkan berbagai literatur dan pengalaman praktik selama hampir sepuluh tahun, penulis menyimpulkan bahwa hubungan antara satu atau beberapa kejadian dengan muatan emosi intens dan simtom yang muncul dalam diri klien, adalah sebagai berikut (Gunawan, 2012):
- Simtom/masalah adalah bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar dengan muatan pesan yang spesifik.
- Simtom muncul atau tercipta melalui rangkaian proses yang selalu diawali dengan kejadian paling awal yang dinamakan akar masalah (ISE/initial sensitizing event) dan bisa diperkuat oleh beberapa kejadian lanjutan (SSE/subsequent sensitizing event).
- Simtom bertujuan melindungi individu dari hal-hal yang oleh pikiran bawah sadar dipersepsi merugikan atau membahayakan individu.
- Kekuatan dan intensitas simtom berbanding lurus dengan intensitas emosi yang mendasari munculnya simtom.
-Penyelesaian masalah efektif terjadi saat terjadi ketuntasan resolusi pada akar masalah.
-Pilihan simtom sepenuhnya bergantung pada dinamika pikiran bawah sadar individu.
Aplikasi hipnoterapi klinis oleh praktisi yang terlatih dan cakap mampu membantu klien mengatasi beragam masalah, antara lain meliputi aspek kesehatan, pekerjaan, karier, keuangan, rumah-tangga, relasional, sosial, spiritual, pengembangan diri dan lain-lain. Berikut ini adalah beberapa contoh aplikasi dan manfaat hipnoterapi klinis:
Tabel 1. Manfaat hipnoterapi untuk berbagai simtom
|
Masalah/Simtom |
Manfaat |
Rujukan |
|
Amnesia psikogenik |
Mengungkap memori yang terepresi akibat pengalaman traumatik |
Crasilneck and Hall, 1975 |
|
Asma |
Membantu meringankan simtom asma |
Hackman, Stern, & Gershwin, 2000; Kohen, 1996; Ferreiro, 1993 |
|
Bayi sungsang |
Membalik posisi bayi sungsang dalam kandungan |
Mehl, 1994 |
|
Cemas |
Mengurangi cemas |
Barlow, 1996 |
|
Depresi |
Membantu mengatasi depresi |
Lynn, Kirsch, Barabasz, Cardena & Patterson, 2000 |
|
Dermatologi |
Hipnosis membantu mengurangi/ menyembuhkan beragam masalah kulit. |
Shenefelt, 2000; Ewin & Eimer, 2006; Goldstein, 2005 |
|
Enuresis |
Mengurangi frekuensi dan menyembuhkan enuresis |
Banerjee, Srivastav, & Palan, 1993; Gottsegen, 2003 |
|
|
Menyembuhkan fobia naik pesawat terbang |
Kroger & Fezler, 1976 |
|
Fobia |
Menyembuhkan fobia binatang seperti ular, anjing, tikus, dll |
Lang et al., 1965; Daniels, 1976; Spiegel & Spiegel 1978; O’Brien, Cooley, Ciotti, & Henninger, 1981 |
|
|
Menyembuhkan fobia jarum suntik |
Daniels, 1976 |
|
|
Menyembuhkan fobia tes atau ujian |
Spies, 1979 |
|
Gangguan stres pascatrauma (PTSD) |
Membantu mengatasi pengalaman disosiatif saat dan pascatrauma |
Butler, Duran, Jasiukaitis, Koopman, & Spiegel, 1996; Christianson & Loftus, 1987 |
|
Imun Sistem |
Meningkatkan jumlah sel T dan B |
Ruyylasmith, et al., 1995 |
|
Irritable Bowel Syndrome |
Mengurangi gangguan IBS |
Gonsalkorale, Houghton, & Whorwell, 2000; Palsson, 2006; Palsson, Turner, Johnson, Burnett, & Whitehead, 2006; Whitehead 2006 |
|
Kelumpuhan histerikal |
Menyembuhkan kelumpuhan histerikal |
Bryan, 1961; Moskowitz,1964 |
|
Masalah Pencernaan |
Memperbaiki kondisi/mengurangi sakit karena dispepsia fungsional |
Calvert, Houghton, Cooper, Morris, & Whorwell, 2002 |
|
Merokok |
Menghentikan kebiasaan merokok |
Neufeld & Lynn, 1988 |
|
Migrain |
Menyembuhkan migrain |
Kukuruzovic, 2004 |
|
Perilaku obsesif kompulsif |
Menghentikan dan menyembuhkan perilaku obsesif kompulsif |
Watkins, 1971 |
|
|
Mengurangi kebutuhan obat penenang |
Lang, Joyce, & Spiegal, 1996 |
|
Prosedur medis |
Mengurangi/menghilangkan mual akibat kemoterapi |
Meyers & Mark, 1995 |
|
|
Mengurangi kebutuhan obat analgesik dan lama masa inap di rumah sakit pascaoperasi. |
Lang, Berotsh, & Fick, 2000 |
|
|
Mengurangi rasa sakit secara umum |
Liossi & Hatura, 2003; Raz, 2005 |
|
Rasa sakit |
Mengurangi rasa sakit temporomandibular disorder (TMD) |
NIH/OAM, 1998 |
|
|
Mengurangi rasa sakit akibat luka bakar serius |
Patterson, Adcock, & Bombardier, 1997; Ewin, 1986a, 1986b; Gilboa, Borensteim, Seidman, & Tsur, 1990 |
|
Serangan panik |
Sama efektifnya seperti penggunaan obat untuk mengatasi serangan panik dan agorafobia |
Gallo, 1999 |
|
|
Dalam jangka panjang lebih efektif daripada penggunaan obat-obatan |
Barlow, 2000 |
|
Tics |
Menyembuhkan tics |
Dillenburger & Keenan, 2003 |
|
Trichotillomania (TTM) |
Menyembuhkan TTM |
Cohen, Barzilai, & Lahat, 1999; Rowen, 1981; Zalsman, Hermesh, & Sever, 2001 |
Pendidikan dan Kualifikasi Praktisi Hipnoterapi
Untuk dapat mempraktikkan hipnoterapi klinis secara benar, efektif, efisien, dan berdasar kaidah ilmiah, setiap calon hipnoterapis harus menjalani pendidikan dan sertifikasi dengan standar tertentu.
Dua lembaga terkemuka yang menjadi acuan standar pelatihan dan sertifikasi hipnoterapi klinis dunia adalah American Council of Hypnotist Examiners (ACHE) dan American Society of Clinical Hypnosis (ASCH). Keanggotaan ACHE sifatnya terbuka dan bisa diikuti siapa saja yang telah mengikuti pendidikan dan tersertifikasi menurut standar ACHE. Sedangkan ASCH bersifat tertutup dan hanya bisa diikuti oleh dokter, psikiater, psikolog, konselor, atau perawat.
Untuk bisa mendapat sertifikasi hipnoterapi klinis menurut standar ASCH peserta harus menyandang gelar magister dalam disiplin ilmu yang berhubungan dengan kesehatan, memiliki ijin praktik resmi, mengikuti pelatihan yang diakreditasi oleh ASCH minimal 40 (empat puluh jam), mengikuti pelatihan/konsultasi individual selama minimal 20 jam dengan konsultan yang diakui oleh ASCH, dan menjalani praktik mandiri menggunakan hipnosis klinis selama dua tahun (Hammond, 1988).
ACHE menetapkan dua jenjang pendidikan dan sertifikasi dengan persyaratan berikut:
a. Certified Hypnotherapist (C.Ht)
Peserta mengikuti pelatihan di lembaga pelatihan hipnoterapi yang terakreditasi oleh ACHE minimal selama 200 (dua ratus) jam tatap muka di kelas. Hipnoterapis juga harus lulus ujian tulis dan praktik sesuai standar ACHE.
b. Certified Clinical Hypnotherapist (CCH)
Peserta telah menyelesaikan pendidikan dan sertifikasi hipnoterapis dengan lama masa studi 300 (tiga ratus) jam tatap muka di kelas di lembaga hipnoterapi yang terakreditasi oleh ACHE.
Standar pendidikan dan sertifikasi yang ditetapkan dua lembaga terkemuka di atas, ACHE dan ASCH, tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia, terutama syarat minimal pendidikan S2 dan lama masa pendidikan selama 200 hingga 300 jam.
Idealnya, syarat memelajari hipnoterapi klinis adalah minimal sarjana strata satu dengan lama masa pendidikan 100 (seratus) jam untuk sertifikasi hipnoterapis (C.Ht) dan 200 (dua ratus) jam untuk hipnoterapis klinis (CCH). Setiap jenjang dilaksanakan selama sembilan hari yang terbagi menjadi tiga kali pertemuan masing-masing selama tiga hari penuh.
Penutup
Uraian di atas telah menjelaskan secara singkat pengertian dari hipnoterapi, bukti ilmiah manfaat hipnoterapi, pendidikan serta kualifikasi praktisi hipnoterapi. Khususnya mengenai pendidikan, selain menyajikan materi sesuai dengan kurikulum, untuk mengembangkan tanggung jawab dan integritas para peserta, penulis sebagai pelaksana pendidikan profesi hipnoterapis telah menegakkan standar praktik hipnoterapi. Peserta yang telah lulus dalam pendidikan mendapatkan sertifikat praktik yang berlaku selama satu tahun, sepanjang alumni yang bersangkutan melaksanakan praktik terapi sesuai protokol yang telah ditetapkan. Perpanjangan sertifikat praktik dilakukan tiap tahun dengan persyaratan tertentu untuk menjaga kesinambungan mutu layanan. Mutu layanan juga dirawat melalui ruang konsultasi yang disediakan melalui milis.
Harapan penulis, semoga penegakan standar yang tinggi seperti ini juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan praktisi hipnoterapi. Dengan standar yang memadai tentu saja hipnoterapi layak untuk diakui secara formal oleh pemerintah (melalui Depkes) dan diberikan tempat yang terhormat, sejajar dengan profesi kesehatan lainnya.
Catatan:
Saat presentasi di Jakarta beberapa waktu lalu, saya menjelaskan detil kurikulum pendidikan dan sertifikasi CHt (certified hypnotherapist) dan CCH (certified clinical hypnotherapist). Dalam artikel di atas sengaja tidak saya cantumkan karena akan sangat panjang uraiannya. Demikian juga daftar rujukan saya sertakan lengkap dalam artikel yang dibagikan saat presentasi namun tidak dalam artikel ini karena cukup banyak.
Setiap bahasan tentang hipnosis dan hipnoterapi pasti juga membahas faktor kritis (critical factor). Faktor kritis adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan hipnosis. Hal ini sangat jelas tampak dalam definisi hipnosis menurut U.S. Dept. of Education, Human Services Division yang menyatakan bahwa hypnosis is the by-pass of the critical factor of the conscious mind followed by the establishment of acceptable selective thinking atau hipnosis adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar diikuti dengan diterimanya suatu pemikiran selektif (sugesti).
Berdasar definisi di atas tampak bahwa kondisi hipnosis hanya bisa terjadi bila memenuhi dua syarat. Pertama, terjadi penembusan faktor kritis dari pikiran sadar dan kedua, diterimanya suatu pemikiran selektif atau sugesti.
Apa sebenarnya faktor kritis yang dimaksud dalam definisi di atas?
Faktor kritis adalah filter mental terletak di antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar, menyimpan sistem kepercayaan atau segala hal yang kita pikir, tahu, yakin, atau rasa sebagai hal yang benar menurut kita.
Walau terletak di antara pikiran sadar dan bawah sadar, filter ini bekerja semata demi kebaikan dan keuntungan pikiran bawah sadar. Filter ini menjaga dan melindungi setiap data yang dianggap, diyakini, dipikirkan, dipersepsikan, diasumsikan, atau dirasa benar, yang telah tersimpan di pikiran bawah sadar, agar tidak mudah berubah atau diubah karena masuknya informasi baru yang berbeda dengan data sebelumnya.
Faktor kritis mulai terbentuk saat anak berusia tiga tahun karena pada usia inilah pikiran sadar baru mulai aktif. Seiring dengan pertumbuhannya, pikiran anak menyerap sangat banyak informasi dan digunakan sebagai acuan untuk berpikir atau bertindak.
Sayangnya, saat masih kecil, anak belum mampu berpikir kritis, belum memiliki data yang memadai sebagai pembanding, faktor kritis belum terbentuk, sehingga informasi apapun yang ia terima dari lingkungan terutama dari figur otoritas seperti orangtua dan guru diterima sebagai kebenaran.
Kekuatan faktor kritis dalam melakukan penyaringan informasi yang diijinkan masuk ke pikiran bawah sadar ditentukan oleh jumlah data yang sudah ada dan seberapa yakin dan percaya seseorang akan kebenaran data ini. Semakin banyak data, semakin yakin dan percaya, semakin kuat faktor kritis bekerja melakukan penyaringan informasi.
Saat satu bentuk pikiran atau data diterima atau dianggap benar menurut kita, karena sejalan dengan data yang telah ada di pikiran bawah sadar, atau sejalan dengan sistem kepercayaan kita, maka ia akan diijinkan melewati faktor kritis dan masuk ke pikiran bawah sadar. Di pikiran bawah sadar bentuk pikiran atau data ini mulai menstimulasi fungsi-fungsi pikiran bawah sadar yaitu imajinasi, memori, dan emosi.
Bila bentuk pikiran atau data yang akan masuk ternyata tidak sejalan atau bertentangan dengan data yang telah lebih dulu ada dan diterima sebagai kebenaran maka data ini akan ditolak sehingga tidak bisa melewati atau menembus faktor kritis.
Mengacu pada banyak kasus klinis yang telah ditangani, kami sampai pada satu simpulan penting mengenai fungsi faktor kritis. Data yang ditolak oleh faktor kritis tidak berarti serta merta hilang tak berbekas. Data ini tetap dapat masuk ke pikiran bawah sadar dan disimpan di segmen memori khusus untuk menyimpan berbagai data yang tidak digunakan.
Sedangkan bila data berhasil melewati faktor kritis maka ia akan disimpan di segmen memori yang khusus digunakan sebagai bagian dari sistem kepercayaan yang memengaruhi dan menentukan cara berpikir, sikap, perilaku, kebiasaan, dan hidup kita secara keseluruhan. Data baru ini akan semakin menguatkan kebenaran data lama.
Data yang tadinya dianggap salah, dan tidak berhasil melewati faktor kritis, suatu saat dapat berpindah ke memori tempat menyimpan data yang dianggap benar bila terjadi perubahan pada (sistem) kepercayaan yang menjadi dasar kerja faktor kritis. Perubahan ini bisa terjadi karena upaya yang dilakukan oleh klien sendiri atau dengan bantuan terapis.
Contoh konkritnya seperti ini. Ada banyak orang yang tidak suka atau merasa tidak nyaman dengan hipnosis atau hipnoterapi. Data lama di pikiran bawah sadar mereka mengatakan bahwa hipnosis adalah praktik supranatural, menggunakan jin atau makhluk halus, tidak ilmiah, dan menggunakan kuasa gelap. Dari mana mereka mendapat data ini? Dari informasi yang salah, pemberitaan di media massa, dan figur otoritas tertentu.
Apapun yang dilakukan untuk meyakinkan orang ini, dengan kata lain memberi sugesti atau data untuk menembus faktor kritisnya, tidak bisa. Data ini ditolak dengan sangat kuat oleh faktor kritis.
Namun, saat ia mulai membaca publikasi ilmiah tentang hipnosis dan hipnoterapi dan manfaatnya untuk peningkatan kualitas hidup manusia, dan mungkin juga ada figur otoritas lain yang memberi informasi bahwa hipnosis dan hipnoterapi sangat ilmiah dan bermanfaat, maka informasi ini mulai berhasil menembus faktor kritisnya. Hingga satu saat ia mendapat pemahaman yang benar.
Saat ia mendapat pemahaman yang benar, terjadi perubahan pada data di pikiran bawah sadarnya, apa yang ia tahu, rasa, dan yakini benar tentang hipnosis dan hipnoterapi juga berubah. Dan semua informasi yang tadinya tersimpan di segmen memori untuk data yang tidak digunakan kini berpindah ke segmen memori untuk data yang digunakan.
Kini, bila ada orang yang mengatakan bahwa hipnosis dan hipnoterapi adalah kuasa gelap, klenik, tidak ilmiah, dan sebagainya, data-data ini justru ditolak oleh faktor kritisnya. Ia akan bersikeras mengatakan hipnosis dan hipnoterapi sangatlah ilmiah, baik, bermanfaat, dan adalah salah satu cabang ilmu psikologi. Apalagi bila ia telah mengikuti pelatihan hipnosis dan hipnoterapi, berpraktik sebagai hipnoterapis klinis yang telah membantu banyak kliennya berubah, berhasil mengatasi masalah, dan menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sukses, damai, dan bahagia. Dalam kondisi ini tidak ada siapapun yang bisa mengubah keyakinannya mengenai manfaat hipnosis dan hipnoterapi.
Inilah proses yang terjadi pada diri seorang yang membenci atau skeptis akan sesuatu dan akhirnya menjadi fanatik.
Dalam konteks hipnoterapi klinis, masalah yang berhubungan dengan emosi dan atau perilaku selalu disebabkan adanya satu atau beberapa pikiran dominan yang memengaruhi dan mengendalikan diri klien. Pikiran dominan ini masuk atau dimasukkan ke pikiran bawah sadar umumnya dalam rentang usia antara sejak lahir hingga sekitar tiga belas tahun.
Saat klien jumpa terapis, umumnya sudah berusia jauh di atas tiga belas tahun, data yang terekam di pikiran bawah sadar dan mengendalikan diri klien sulit diubah atau diganti karena dilindungi oleh faktor kritis.
Untuk dapat menembus faktor kritis dengan leluasa dan melakukan modifikasi data dibutuhkan kondisi hipnosis atau trance. Semakin dalam kondisi hipnosis yang berhasil dicapai klien, semakin lemah kekuatan faktor kritis. Dalam kondisi hipnosis yang (sangat) dalam, faktor kritis tidak bekerja sehingga terapis leluasa membantu klien melakukan restrukturisasi data di pikiran bawah sadar sesuai tujuan terapi.
Dengan membaca uraian di atas kini jelas bahwa perubahan sulit dilakukan karena, salah satunya adalah, kerja faktor kritis yang bertujuan melindungi konten pikiran bawah sadar. Mekanisme proteksi ini demi kebaikan individu. Kebaikan ini justru menjadi sumber masalah saat individu ingin berubah namun mengalami kendala juga oleh karena kerja faktor kritis.
“Saya tidak bisa dihipnosis” demikian komentar seorang klien saat pertama kali jumpa saya. “Saya sudah menjalani hipnoterapi tapi terapisnya tidak berhasil menghipnosis saya. Kata terapisnya saya adalah tipe klien yang tidak bisa dihipnosis” begitu komentar klien lainnya.
Banyak orang yang masih salah mengerti mengenai kondisi trance atau hipnosis. Menurut mereka trance adalah suatu kondisi yang diciptakan oleh terapis. Yang benar, klien mengikuti dan merespon sesuai dengan bimbingan terapis sehingga mereka mengalami kembali kondisi kesadaran alamiah yang disebut dengan trance.
Trance atau kondisi hipnosis adalah kondisi pikiran yang secara alamiah dialami setiap individu. Dalam menjalankan aktivitas sehari-hari setiap individu pasti secara alamiah dan berkelanjutan masuk dan keluar kondisi trance. Kedalaman trance yang mereka masuki berbeda antara satu individu dengan yang lain dan juga berbeda dari waktu ke waktu. Semuanya terjadi secara alamiah dan mudah.
Berhubung trance adalah sesuatu yang alamiah dan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup maka seringkali orang tidak menyadarinya. Akibatnya, mereka sulit mengendalikan kapan mau masuk dan keluar dari trance. Dan yang lebih sulit lagi mereka tidak bisa secara sadar atau sengaja masuk ke kedalaman trance tertentu.
Berikut ini adalah beberapa contoh fenomena trance alamiah yang sering kita alami:
|
Peristiwa |
Penjelasan |
Kedalaman |
|
Anda sedang mengendarai sepeda motor atau mobil. Pikiran sadar Anda sibuk memikirkan hal lain dan tanpa disadari Anda telah tiba di tujuan.
|
Hipnosis jalan raya atau hi-way hypnosis. |
Light trance |
|
Anda berusaha mengingat kembali informasi yang pernah Anda dengar, lihat, atau baca.
|
Pencarian ke dalam diri, mengakses memori. |
Light trance |
|
Melamun, pikiran melayang atau membayangkan sesuatu.
|
Aktivitas pikiran sadar berkurang. |
Light trance |
|
Saat sedang asyik melakukan sesuatu, pikiran dan perhatian kita tercerap pada kegiatan itu dan tanpa disadari waktu berlalu begitu cepat.
|
Distorsi waktu yang disebut dengan kontraksi waktu.
|
Medium to deep trance |
|
Anda pulang kerja dan duduk di depan tv. Lima menit kemudian Anda menjadi agak mengantuk sambil terus menyaksikan acara televisi.
|
Pikiran sadar Anda tidak lagi aktif saat menyaksikan tv. |
Medium trance |
|
Waktu masih kecil, kepala atau lutut Anda terantuk dan cukup sakit. Anda menangi. Ibu datang mengusap-usap bagian yang sakit sambil berkata, “Nah… sekarang sudah tidak sakit. Sakitnya sudah Ibu ambil. Sudah nyaman kan…”, dan tiba-tiba sakitnya hilang.
|
Anestesi dengan sugesti oleh figur otoritas. |
Medium trance |
|
Saat sedang fokus membaca buku atau bekerja di depan komputer Anda tidak mendengar suara orang memanggil Anda.
|
Halusinasi negatif auditori. |
Deep trance |
|
Anda mencari kunci dan tidak berhasil menemukannya. Padahal kuncinya ada di depan Anda tapi Anda tidak bisa melihatnya.
|
Halusinasi negatif visual. |
Deep trance |
|
Waktu pacaran, waktu berlalu begitu cepat. Sehari terasa seperti satu jam.
|
Distorsi waktu yang disebut dengan kontraksi waktu.
|
Deep trance |
|
Anda mengalami luka namun tidak merasakannya. Beberapa saat kemudian Anda baru menyadarinya.
|
Anestesi spontan |
Deep trance |
|
Anda berbaring di ranjang dan ingin tidur. Tiba-tiba merasa tubuh Anda menjadi kaku dan tidak bisa digerakkan. Orang menyebut kondisi ini dengan istilah “ketindihan”.
|
Katatonia |
Very deep trance |
Lalu, apa hubungan uraian di atas dengan hipnoterapi?
Hipnoterapi adalah proses yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur dengan tujuan menimbulkan trance atau kondisi hipnosis alamiah dalam diri klien dan menggunakannya untuk tujuan perubahan dan modifikasi perilaku yang bersifat terapeutik.
Dalam membantu klien, sebelum melakukan terapi, terapis secara sengaja, terstruktur, dan sistematis membimbing klien, dengan teknik tertentu, untuk mengakses dan memunculkan trance yang biasa klien alami. Berbeda dengan trance yang secara alamiah klien alami, yang sangat sulit atau tidak bisa mereka kendalikan secara sadar, terapis, dalam proses membantu klien, bisa membimbing klien masuk ke kedalaman trance tertentu, memperdalam trance, atau justru mengurangi kedalaman trance yang dialami klien sesuai dengan tujuan dan teknik terapi yang digunakan. Terapis dapat mempertahankan klien di kedalaman trance tertentu, melakukan terapi, dan setelahnya membimbing klien keluar dari trance.
Dengan pemahaman ini, saat klien mengatakan bahwa ia tidak bisa dihipnosis atau tidak bisa masuk kondisi hipnosis saat dibimbing oleh terapis maka yang terjadi sesungguhnya adalah klien, karena sesuatu hal, biasanya karena adanya perasaan takut, tidak merespon bimbingan terapis sehingga tidak bisa mengakses kondisi trance alamiah yang biasa ia alami.
Kemungkinan lain klien tidak bisa dibimbing masuk kondisi hipnosis atau trance adalah karena memang terapisnya tidak cakap. Bisa juga terjadi klien sebenarnya sudah trance namun ia merasa tidak atau belum masuk kondisi hipnosis karena pemahaman yang kurang tepat atau salah tentang trance.
Beberapa pemahaman yang salah ini antara lain saat dalam kondisi hipnosis seseorang akan kehilangan kesadaran, atau pikirannya berhenti total, atau tubuhnya menjadi sangat rileks sehingga sulit/tidak bisa digerakkan, atau tidak bisa memikirkan hal lain, atau tidak bisa mendengar suara lain selain suara terapis, atau ia akan menjadi seperti robot yang melakukan apapun yang diminta oleh terapis.
Dengan memahami kedalaman trance dan fenomena mental dan fisik pada setiap kedalaman trance, terapis dalam membimbing klien ke kedalaman tertentu demi kebaikan klien.
Misalnya untuk melakukan regresi, terapis akan membimbing klien ke deep trance. Untuk anestesi dengan sugesti, terapis hanya perlu membimbing klien ke medium trance. Bila anestesi ini untuk operasi besar atau membantu wanita melahirkan dengan nyaman maka kedalaman yang dibutuhkan adalah deep trance.
Saya sengaja tidak menggunakan kalimat “penyimpangan seksual” karena menghindari kesan menghakimi. Perilaku seksual, dalam hemat saya, adalah tanggung jawab dan pilihan tiap individu. Dan apapun yang menjadi keputusan dan pilihan sepenuhnya adalah hak masing-masing dan perlu dihargai. Sebagai terapis, saya tidak dalam posisi membenarkan atau menyalahkan. Posisi saya netral dan hanya bertugas membantu klien mengatasi masalah mereka.
Dalam artikel ini yang dimaksud dengan perilaku seksual yang tidak biasa adalah homoseksual dan lesbian. Homoseksual, dalam pemahaman umum, adalah pria yang suka/cinta atau melakukan hubungan seks dengan sesama pria. Menurut KBBI, homoseks adalah hubungan seks dengan pasangan sejenis, bisa pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Sedangkan lesbian adalah wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya atau wanita homoseks. Untuk kondisi di mana hubungan yang melibatkan dua insan dengan jenis kelamin berbeda disebut dengan heteroseksual.
Saya teringat beberapa waktu lalu seorang klien pria, usia sekitar, 30 tahun, datang ke saya minta diterapi. Klien ini mengaku homoseks dan ia datang atas permintaan tantenya agar saya “betulkan” dan kembali menjadi pria “normal”.
Saya tentu tidak serta merta melakukan terapi. Melalui wawancara mendalam saya akhirnya tahu bahwa ia memutuskan menjadi homoseks karena alasan tertentu. Ia juga nyaman menjalani hidup sebagai homoseks.
Usai mendengar ceritanya saya bertanya, “Apa yang ingin saya bantu?”
“Apakah saya perlu berubah menjadi laki-laki normal yang suka dengan perempuan, bukannya menyukai sesama pria seperti yang sekarang saya jalani?” ia balik bertanya.
“Apakah Anda ingin menjadi pria normal seperti yang Anda sebutkan tadi?” tanya saya.
“Tidak. Saya nyaman dengan hidup seperti ini, sebagai homo” jawabnya tegas.
“Bila Anda sudah nyaman dan merasa tidak perlu berubah maka saya tidak perlu melakukan apapun” jawab saya.
Saya beberapa kali menangani kasus homoseks. Sedangkan untuk kasus lesbian jarang. Mungkin karena saya terapis pria sehingga wanita agak kurang nyaman bila mendiskusikan kondisi mereka dengan saya.
Ada asumsi yang salah di masyarakat yang menyatakan bahwa homoseks atau lesbian ini adalah karena faktor bawaan sejak lahir. Benar, bisa saja seseorang menjadi homoseks atau lesbian karena faktor genetik namun seringkali, dari pengalaman klinis kami, lebih disebabkan oleh pengaruh proses tumbuh kembang dan pengalaman traumatik seperti pelecehan seksual waktu kecil.
Dalam beberapa kasus homoseksual yang pernah saya tangani, setiap kali sebelum melakukan terapi saya selalu minta klien untuk konsultasi ke dokter terlebih dahulu. Biasanya dokter akan melakukan serangkaian tes untuk memastikan bahwa secara fisik ia benar-benar pria. Bila secara fisik ia adalah pria maka saya dapat membantu dengan hipnoterapi klinis.
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang pernah kami tangani. Saya tidak menjelaskan teknik yang digunakan untuk membantu klien-klien ini karena akan sangat teknis. Demi menjaga kerahasiaan dan privasi saya mengganti nama klien yang diceritakan di artikel ini.
Semua Wanita Jahat
Budi, mahasiswa berusia 20 tahun, datang ke saya karena ingin menjadi kembali normal. Menurutnya, kondisinya tidak normal karena ia adalah homoseks. Sebelum memutuskan menjalin relasi dengan beberapa pria, Budi pernah mencoba menjalin relasi dengan wanita namun gagal. Masa pacarannya, dengan beberapa wanita itu, hanya sekitar satu hingga tiga bulan. Walau ia sangat suka dengan pacarnya, demikian pula sebaliknya, namun tanpa alasan yang jelas hubungan mereka putus di tengah jalan. Ini terjadi beberapa kali.
Masih dari hasil wawancara diketahui bahwa saat menjalin relasi dengan sesama pria, dan terutama saat berhubungan seks Budi berperan sebagai wanita. Temuan ini sangat penting karena menunjukkan ia sebagai penerima bukan pemberi. Dan ia sebenarnya tidak menikmati hubungan seks yang dilakukan dengan pasangan prianya. Yang ia butuhkan adalah perhatian dan kasih sayang.
Melalui hipnoanalisis mendalam didapatkan temuan menarik. Saat masih kecil, sekitar usia lima tahun, Budi sempat mendapat perlakukan cukup kasar dari Ibunya. Saat Budi melakukan kesalahan yang sebenarnya sepele, si Ibu marah besar, memukul, dan mencakar wajah Budi.
Dalam kondisi yang takut sekali saat itu Budi berkata, “Memang perempuan itu jahat.” Kalimat ini tampak biasa saja, namun implikasinya sangatlah luar biasa. Apalagi bila diucapkan saat dalam kondisi emosi yang intens.
Kalimat “Memang perempuan itu jahat” adalah satu bentuk generalisasi dan menjadi program pikiran atau kepercayaan yang mengarahkan hidup Budi. Program ini yang membuat Budi tidak bisa menjalin relasi dengan wanita hingga akhirnya ia memutuskan menjalin relasi dengan pria.
Saat pengalaman traumatik ini berhasil diselesaikan di pikiran bawah sadarnya, dorongan untuk berhubungan dengan pria langsung berhenti.
Saya Malu Menjadi Wanita
Seorang klien wanita usia 35 tahun, sebut saja sebagai Ani, tertarik pada sesama wanita karena ia merasa lebih nyaman menjadi seorang pria. Ia benci menjadi seorang wanita, padahal secara fisik ia wanita tulen, bisa hamil, dan sudah punya anak.
Melalui proses pencarian di pikiran bawah sadarnya ditemukan bahwa ia mengalami penolakan oleh ayahnya sejak dalam kandungan. Saat itu ayahnya berkata pada ibunya, “Saya mau anak kita berikut ini laki. Saya tidak mau kalau ini perempuan.”
Saat Ani lahir, dan ternyata adalah perempuan, ayahnya menolak untuk melihatnya. Ayahnya juga tidak mau menimangnya. Demikianlah penolakan ini berlanjut hingga ke masa remajanya. Ayahnya berulang kali menyampaikan pada Ani bahwa sebenarnya ia berharap Ani adalah anak laki, bukan perempuan.
Sikap dan perilaku ayahnya juga mendorong Ani untuk tumbuh besar menjadi “laki-laki”. Ayahnya sama sekali tidak memberi penghargaan bila Ani berhasil mencapai prestasi tertentu di bidang yang biasa dilakukan anak perempuan, misalnya menari, menyanyi, melukis. Namun, saat Ani berhasil juara di bidang yang biasa dilakukan anak laki, misalnya lomba tarik tambang, karate, panjat dinding, maka ayahnya memberi penghargaan secara luar biasa.
Ternyata dorongan Ani untuk suka pada sesama wanita didorong oleh satu Bagian Diri yang ingin menonjol dan menjadi pria agar mendapat penghargaan, pengakuan, dan penerimaan dari ayahnya. Kerinduan inilah yang selama ini mendorong ia untuk terus berusaha menjadi pria dengan segala karakternya.
Saat pengalaman traumatik yang berasal dari penolakan si ayah berhasil diatasi, Ani akhirnya bisa menerima dirinya seutuhnya dan justru merasa sangat bersyukur dan bahagia menjadi seorang wanita. Ia juga bisa memahami dan memaafkan ayahnya dengan tulus dan ikhlas.
Saya Mau dengan Pria tapi Takut
Satu klien lagi, Rita, 27 tahun, mengaku sulit bila menjalin relasi dengan pria. Ada perasaan takut yang tidak jelas asalnya setiap kali ia menjalin relasi dengan pria. Ia lebih nyaman bila berhubungan dengan wanita, termasuk dalam hal seks. Dari hasil wawancara diketahui bahwa tidak ada pengalaman traumatik yang membuat Rita sulit menjalin relasi dengan pria dan lebih nyaman dengan wanita. Rita pertama kali berhubungan seks dengan sesama wanita, teman kosnya, saat ia masih SMA.
Namun, dari hasil penggalian di pikiran bawah sadarnya ditemukan hal menarik. Rita, saat masih kecil, usia sekitar 6 tahun, beberapa kali mengalami pelecehan seksual oleh pembantu pria yang bekerja di rumahnya. Secara sadar, setelah dewasa, Rita tidak lagi ingat kejadian ini. Rupanya, pikiran bawah sadar Rita secara sengaja menyembunyikan pengalaman traumatik ini sehingga Rita mengalami amnesia.
Perasaan takut pada pria karena pernah mengalami pelecehan seksual waktu kecil dan juga kenikmatan yang ia dapat saat berhubungan dengan teman satu kosnya telah mendorong Rita untuk menjadi seorang lesbian.
Saat emosi pada dua pengalaman ini berhasil diselesaikan maka Rita tidak lagi takut dengan pria dan tidak lagi tertarik pada wanita. Ia kini merasa nyaman dan aman menjalin relasi dengan pria.
Pada beberapa kasus lain, ada klien pria atau wanita yang melakukan seks bebas, umumnya dengan pria atau wanita yang lebih tua, demi mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari seseorang yang dipandang bisa mengganti ayah atau ibunya. Klien ini pada masa kecilnya sering diabaikan atau tidak mendapat kasih sayang yang cukup.
Kesimpulannya, bila homoseks dan lesbian bukan disebabkan oleh faktor fisik maka dapat dibantu dengan hipnoterapi klinis, dengan catatan klien bersedia menjalani sesi konseling dan atau terapi atas kesadarannya sendiri. Bila klien datang karena permintaan orang lain, misalnya keluarga, maka hasilnya tidak akan pernah bisa maksimal.
Baru-baru ini saya menyaksikan video pelatihan berbasis terapi yang saya beli di luar negeri dan menemukan beberapa hal menarik dan penting untuk dibahas dari sudut ilmu pikiran. Pelatihan ini diselenggarakan di Amerika oleh salah satu trainer terkenal yang diundang sebuah lembaga keuangan terkemuka dengan tujuan meningkatkan penjualan.
Salah satu komponen penting dalam upaya meraih sukses, selain perencanaan atau strategi yang matang dan terukur, adalah tindakan. Perencanaan sebaik apapun tidak akan bisa membuahkan hasil bila tidak diwujudkan dalam upaya tindakan konsisten.
Masalahnya, perencanaan seringkali hanya tinggal perencanaan. Perencanaan dibuat dengan sangat cermat hanya untuk tidak dilaksanakan karena berbagai alasan. Yang paling sering adalah penundaan tindakan berkelanjutan.
Dalam konteks penjualan, penundaan atau ketiadaan tindakan tentu sangat merugikan. Target yang telah ditetapkan tidak tercapai dan motivasi menurun drastis seiring waktu berjalan.
Menyikapi hal ini perusahaan atau lembaga tentu tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan untuk membangkitkan semangat para karyawan atau tenaga penjual untuk melakukan tidakan sistematis, terstruktur, dan masif untuk bisa segera meningkatkan kinerja dan omzet penjualan.
Salah satu cara untuk membangkitkan semangat atau motivasi adalah dengan mengundang trainer dan menyelenggarakan pelatihan transformasi diri yang berlangsung selama beberapa hari. Saat ini pelatihan pengembangan diri, khususnya untuk peningkatan penjualan, sudah tidak lagi sekedar bermain di ranah motivasi pikiran sadar, tapi sudah masuk ke pelatihan berbasis terapi yang menitikberatkan otak-atik pikiran bawah sadar dengan berbagai cara atau teknik. Hal yang sama juga saya dengar dari seorang country manager di Jakarta yang berkantor pusat di Swedia.
Perkembangan positif ini tentu sangat menggembirakan. Pelatihan yang semata bermain di ranah motivasi berbasis pikiran sadar atau kekuatan kehendak (will power), seperti yang selama ini diketahui, bisa memotivasi peserta pelatihan namun hanya untuk waktu singkat. Setelahnya, peserta kembali lagi ke pola lama. Ini tentu akan sangat melelahkan dan membutuhkan biaya yang besar karena pelatihannya perlu sering diulang.
Sebaliknya, pelatihan berbasis terapi, bila dilakukan dengan metodologi yang benar dapat memberikan hasil yang sangat maksimal dalam waktu pelatihan hanya beberapa hari.
Berikut ini dijelaskan beberapa hal yang pasti dilakukan oleh setiap trainer yang menyelenggarakan pelatihan transformasi diri berbasis terapi, termasuk yang dilakukan trainer dalam video yang saya tonton. Informasi ini disampaikan kepada para pembaca sebagai pengetahuan yang semoga bermanfaat bila mengikuti pelatihan berbasis terapi.
Untuk bisa melakukan otak-atik pikiran bawah sadar, ada yang menyebutnya pemrograman ulang, atau mengatasi mental block, perlu ditetapkan terlebih dahulu apa yang akan diubah. Ini adalah target perubahan yang akan dilakukan. Misalnya, perasaan tidak percaya diri, takut penolakan, suka menunda, akan diubah menjadi percaya diri, berani, giat dan semangat bekerja.
Langkah selanjutnya adalah masuk ke pikiran bawah sadar. Untuk ini trainer perlu mampu membimbing para peserta menembus faktor kritis (critical factor) pikiran sadar mereka. Faktor kritis berfungsi sebagai filter mental yang akan menyaring informasi atau data yang akan masuk ke pikiran bawah sadar. Penyaringan dilakukan dengan membandingkan data yang akan masuk dengan data yang telah ada di pikiran bawah sadar. Bila data tidak sesuai, sama, atau sejalan pasti ditolak. Bila faktor kritis berhasil ditembus maka tidak ada lagi filter yang menyaring data dan dengan demikian data akan dengan mudah dimasukkan ke pikiran bawah sadar.
Sebenarnya, walau faktor kritis pikiran sadar sudah berhasil ditembus, data yang masuk masih harus melewati empat filter pikiran bawah sadar. Filter ini adalah filter keselamatan hidup, filter moral/agama, filter benar/salah, dan filter masuk akal atau tidak. Bila berhasil melewati lima filter ini, satu filter di pikiran sadar dan empat di pikiran bawah sadar barulah data diterima oleh pikiran bawah sadar.
Dalam konteks pelatihan, ada banyak teknik yang bisa digunakan untuk menembus faktor kritis yaitu relaksasi mental, melelahkan fisik dan mental, dan menggunakan emosi.
Relaksasi mental dilakukan dengan serangkaian induksi verbal dengan tujuan membimbing peserta pelatihan menjadi rileks secara mental dan gelombang otak mereka turun dari yang dominan beta menjadi dominan alfa dan theta. Untuk melakukan ini trainer harus sangat fasih dan cakap melakukan induksi, pendalaman kondisi rileksasi mental dengan teknik yang sesuai, dan cermat karena induksi dilakukan secara massal, bukan perseorangan. Teknik ini bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan.
Walau tujuannya sama namun teknik melelahkan fisik dan mental sangat berbeda dengan teknik rileksasi mental. Teknik melelahkan fisik dan mental dicapai dengan trainer secara sengaja melakukan pelatihan dalam waktu yang sangat panjang. Biasanya mulai pagi jam 08.00 sampai subuh jam 02.00 dan bahkan ada yang sampai jam 04.00. Selanjutnya peserta hanya diberi waktu istirahat yang sangat sedikit dan diminta berkumpul kembali di ruang pelatihan jam 08.00.
Kelelahan fisik yang dialami akibat kurang istirahat (tidur) selama beberapa hari, karena harus mengikuti pelatihan mulai pagi hingga subuh, juga mengakibatkan kelelahan mental. Setelah beberapa hari kurang tidur maka resistensi peserta terhadap sugesti yang diberikan trainer menjadi lemah dan sugesti dapat dengan mudah masuk ke pikiran bawah sadar.
Kondisi turunnya resistensi akibat kelelahan fisik dan mental ini tentu ada sisi positif dan negatif. Positifnya adalah para peserta secara konsisten berada dalam kondisi trance selama mengikuti pelatihan. Dengan demikian sugesti yang diberikan akan sangat mudah masuk ke pikiran bawah sadar mereka. Negatifnya, ucapan, pikiran, bacaan, apa yang didengar atau ditonton, sadar atau tidak bersifat dan berlaku sebagai sugesti yang juga langsung masuk ke pikiran bawah sadar. Dalam hal ini pikiran bawah sadar sangat terbuka dan rentan terhadap berbagai data yang berasal dari lingkungan. Bila data yang masuk sifatnya positif dan menguntungkan maka efeknya juga positif. Namun bila data yang masuk sifatnya kontraproduktif maka itulah yang akan dialami oleh peserta.
Teknik ketiga adalah menggunakan emosi. Dalam hal ini trainer secara sengaja membangkitkan emosi peserta pelatihan. Saat emosi muncul dan dirasakan, pada saat itulah faktor kritis berhasil ditembus dengan mudah. Yang perlu dicermati adalah emosi apa yang dimunculkan atau digunakan sebagai kunci membuka faktor kritis. Ada pelatihan yang berfokus pada emosi negatif seperti perasaan takut, cemas, khawatir, benci, dendam, perasaan malu, dan perasaan bersalah, dan ada juga yang fokus pada perasaan positif seperti cinta kasih, senang, damai, bahagia, perasaan diri layak dan berharga, semangat untuk berbagi dengan sesama, dan berbagai perasaan positif lainnya.
Kembali pada judul artikel ini, sekarang saya secara khusus akan membahas mengenai penguatan negatif. Penguatan negatif adalah satu bentuk pemrograman pikiran bawah sadar menggunakan visualisasi yang dipadu dengan sugesti verbal, dan emosi negatif yang intens.
Cara melakukannya adalah sebagai berikut. Trainer akan membimbing peserta menyusuri garis waktu (time line) menuju ke masa depan, misal beberapa bulan, setahun, dua tahun, lima tahun, hingga sepuluh tahun. Istilah teknisnya future pacing.
Untuk setiap batas waktu ini trainer membimbing peserta membayangkan hal negatif yang akan terjadi bila mereka tidak berhasil mencapai target atau goal yang telah ditetapkan. Di sinilah pemrograman berbasis emosi negatif dilakukan. Peserta diminta membayangkan dan merasakan betapa, akibat mereka tidak sungguh bekerja dan gagal mencapai goal, menderitanya orang-orang yang mereka kasihi seperti pasangan, anak, dan orangtua karena kegagalan mereka.
Skenario yang digunakan berbeda pada setiap batas waktu. Biasanya di awal, misal di batas waktu setahun ke depan, skenarionya belum terlalu parah atau negatif. Semakin lama semakin negatif dan intensitas emosi negatif yang digunakan juga semakin tinggi.
Yang lebih luar biasa lagi, dalam pelatihan ini trainer meminta peserta membayangan bagaimana kedua orangtuanya sakit, tidak bisa mendapat perawatan dokter yang seharusnya, hingga sangat menderita dan meninggal akibat ia tidak melakukan kerja atau usaha yang seharusnya dilakukan dalam mengejar target atau goal yang telah ditetapkan. Akibatnya peserta merasa sangat bersalah, menyesal, sedih, dan juga marah pada dirinya sendiri karena merekalah yang menyebabkan semua ini terjadi.
Setelah peserta merasakan berbagai emosi negatif yang berasal dari “masa depan” karena mereka tidak berhasil mencapai goal, peserta dibawa kembali ke masa sekarang dan diberi sugesti, “Ini semua belum terjadi. Anda bisa mengubah situasi ini.”
Dari sudut ilmu pikiran, pelatihan seperti ini sangat berisiko. Walau telah diberi sugesti “Ini semua belum terjadi”, di pikiran bawah sadar peserta semuanya telah terjadi. Emosi yang dirasakan, walau seolah-olah berasal dari masa depan, sebenarnya dirasakan di masa sekarang karena pikiran hanya mengenal satu waktu, sekarang.
Di sesi lainnya, seperti yang saya saksikan di video itu, para peserta diminta untuk menuliskan target atau impiannya di atas foto orang yang sangat mereka kasihi. Kemudian mereka diminta untuk berjanji pada orang ini bahwa mereka akan melakukan apapun untuk bisa mencapai goal ini. Trainer meminta peserta mengucapkan janji ini berkali-kali, bahkan sambil berteriak.
Setiap kali peserta berteriak, emosi yang terlibat juga semakin intens dan ini secara otomatis menempatkan peserta dalam kondisi trance yang dalam. Apalagi dengan diprovakasi bahwa mereka tidak serius dengan janji mereka. Provokasi ini terus dilakukan hingga sampai satu titik di mana peserta tampak histeris.
Salah satu peserta bahkan berteriak histeris, sambil menangis dan memeluk foto anaknya, berkata, “Papa pasti berikan apapun yang kamu minta.” Sekilas sugesti diri ini tampak sangat bagus. Namun, dalam jangka panjang akan tidak baik bagi peserta ini. Akibat sugesti yang masuk ke pikiran bawah sadarnya dalam kondisi trance yang dalam, dengan emosi sangat intens, di masa depan ia tidak akan bisa atau sangat sulit menolak permintaan anaknya, walau sebenarnya ia tahu ini tidak baik atau tidak boleh.
Apakah penguatan negatif bisa meningkatkan penjualan? Tentu sangat bisa. Pelatihan ini tentu sangat mendorong peserta untuk bersungguh-sungguh melakukan kerja atau upaya untuk mencapai goal. Yang perlu diperhatikan dan disayangkan adalah dorongan atau motivasi untuk berhasil dilandasi dengan emosi negatif seperti takut, khawatir, malu, dan terutama perasaan bersalah. Ini bukanlah cara bijak untuk menimbulkan motivasi internal.
Bila ternyata goal berhasil dicapai maka program yang telah ditanamkan di pikiran bawah sadar peserta pelatihan dengan penguatan negatif, yaitu keluarganya akan menderita bila ia tidak mencapai goalnya, dan berbagai emosi yang menyertai visualisasi ini bila ia gagal, seperti perasaan takut, cemas, sedih, menyesal, dan bersalah, tidak akan ia alami.
Apakah mungkin peserta tidak berhasil mencapai goalnya walau telah dibantu dengan pemberian sugesti atau pemrograman pikiran bawah sadar? Jawabannya, “Sangat mungkin.”
Data atau program yang telah berhasil masuk atau dimasukkan ke pikiran bawah sadar tidak berarti pasti bekerja seperti yang diharapkan. Program ini akan bersaing dengan program lain yang telah lebih dulu ada di pikiran bawah sadar. Kekuatan masing-masing program ini akan menentukan perilaku atau tindakan seseorang. Bila program baru lebih kuat dari program lama maka peserta akan bertindak seperti yang mereka inginkan, sejalan dengan tujuan pelatihan. Bila program lama lebih kuat maka peserta tidak akan mengalami perubahan berarti.
Apa yang akan terjadi bila ternyata mereka tidak berhasil mencapai goal itu? Yang terjadi adalah bisa saja keluarganya tidak menderita seperti yang dibayangkan. Keluarganya baik-baik saja. Namun…. skenario yang pernah ditanamkan di pikiran bawah sadarnya tetap akan berjalan. Walau dalam kondisi riil keluarganya baik-baik saja namun di pikiran bawah sadar semuanya bisa terjadi persis seperti yang telah diprogramkan karena ia gagal mencapai target. Ini tentu akan sangat tidak baik dan merugikan hidup peserta pelatihan ini.
Saya bisa memahami alur pikir trainer ini yang mendasari pelatihannya pada pemikiran bahwa motivasi dan perilaku manusia didorong oleh dua kebutuhan dasar yaitu menghindari rasa sakit (pain) dan mengejar rasa senang (pleasure). Ini adalah pandangan behavioristik yang belum tentu cocok diterapkan pada setiap orang dan dalam setiap situasi.
Manusia adalah makhluk berakal budi. Ada cara lain yang lebih bijak, menurut hemat saya, untuk memotivasi seseorang untuk bertindak dan maju. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kesadaran diri, kebermaknaan hidup, dan menemukan hasrat (passion) dan tujuan hidup yang sesungguhnya.