The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Ibu menempati posisi yang teramat penting dalam membesarkan dan mendidik anak. Proses pendidikan, khususnya di aspek emosi, telah mulai dilakukan oleh ibu, baik secara sadar atau tidak, sejak bayi dalam kandungan hingga lahir dan terutama selama enam tahun pertama kehidupan anak.
Sejak lahir bayi telah dibekali kemampuan atau kepekaan untuk merasakan ketidaknyamanan/rasa sakit yang ia ungkapkan dengan tangisan. Respon ini sifatnya protektif, penting bagi keselamatan hidup bayi, karena dengan cara ini ia memberitahu orang lain di sekitarnya mengenai perasaan tidak nyaman/sakit yang ia rasakan atau alami dan berharap orang di sekitarnya akan segera datang membantu dan menghilangkan perasaan yang mengganggu ini.
Tangis bayi biasanya akan segera mendapat perhatian dari ibunya. Saat ibu mampu memenuhi kebutuhannya, menghilangkan perasaan tidak nyaman atau menghilangkan rasa sakit, tangis bayi reda dan ia akan kembali tenang.
Tangis ini adalah komunikasi utama yang bayi gunakan dalam menyampaikan pesan tertentu mengenai apa yang ia butuhkan. Misalnya, bila ia merasa dingin, ibunya akan menyelimutinya. Bila ia buang air maka ibunya akan membersihkan dan mengganti popoknya. Bila ia lapar atau haus maka ibu akan memberi asi atau makan.
Setiap kali bayi merasa tidak nyaman atau sakit maka tangisnya sudah lebih dari cukup untuk bisa membuat ia mendapat apa yang dibutuhkan untuk kesejahteraan dan terutama keselamatan hidupnya. Ibu yang memberi atau memenuhi kebutuhan bayi, dalam hal ini, mewakili rasa aman, rasa nyaman, dan kedamaian. Bayi yang tak berdaya ini hanya bisa mengandalkan dan sepenuhnya bergantung kepada figur ibu untuk mengenali dan sekaligus menyelesaikan setiap masalah yang membuatnya tidak nyaman/sakit.
Setiap individu di sekitar bayi yang dapat segera memberi respon terhadap tangis bayi dan memberi bantuan yang dibutuhkan bayi berperan sebagai “ibu”.
Kadang, dalam situasi tertentu, bayi bisa menangis dalam waktu yang cukup lama sebelum mendapat perhatian atau bantuan dari ibunya. Dalam kondisi ini, untuk bisa mendapat perhatian ibunya maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan bayi adalah menangis semakin keras. Gerakan tangan, kaki, dan wajahnya menjadi semakin hebat, dan menunjukkan ia mengalami sesuatu yang lebih dari sekedar perasaan tidak nyaman atau sakit, yaitu perasaan takut.
Takut adalah perasaan yang menggantikan perasaan tidak nyaman atau sakit bila sumber perasaan tidak nyaman ini dirasa mengancam keselamatan hidup. Selama ia tidak mendapat perhatian atau respon yang dibutuhkan maka bayi akan terus menerus menangis. Tangisnya baru berhenti saat ibunya atau siapa saja yang ada di sekitarnya datang memberi perhatian dan memenuhi kebutuhannya.
Untuk anak yang lebih besar, saat ia merasa takut, maka ia bisa melakukan tindakan yang lebih positif yaitu berupaya menghindari atau menjauhi sumber perasaan tidak nyaman atau sakit. Ia akan merangkak atau lari menjauh ke tempat yang ia rasa aman. Anak cenderung akan bergerak mendekati ibunya (atau figur ibu) untuk mendapat rasa aman, bila ia tahu bisa mendapatkannya dari sosok ini. Perasaan takut ini akan terus ia alami dan rasakan sampai ia benar-benar merasa aman.
Lebih lanjut, setelah lebih besar, anak bisa merasakan emosi marah. Saat merasa takut anak akan menghindar. Namun responnya berbeda saat ia marah. Emosi marah mendorong anak untuk mengusir, menolak, atau bahkan menghancurkan sumber masalahnya dengan menggunakan sumber daya yang ia miliki atau yang ada dalam jangkauannya. Anak bisa berteriak, memukul dengan tangan, atau memukul menggunakan benda tertentu dengan satu tujuan yaitu segera menghilangkan penyebab rasa tidak nyaman atau sakit yang ia alami. Saat bahaya sudah lewat anak kembali menjadi tenang dan merasa nyaman. Ia belajar menggunakan emosi marah untuk tujuan pertahanan diri.
Jadi, dalam diri setiap insan ada tiga emosi utama yaitu perasaan tidak nyaman, takut, dan marah, dengan peran dan fungsi yang spesifik untuk menjaga kelangsungan hidup.
Rasa tidak nyaman sering muncul dalam bentuk perasaan ditolak, kesepian, dan terasing. Rasa takut berasal dari memori rasa tidak nyaman/sakit membuat seseorang berusaha menghindari atau menjauhi sesuatu yang dirasa atau dipersepsi sebagai bahaya. Takut dapat menyamar sebagai emosi cemas, ngeri, atau panik. Ketiga emosi sebenarnya sama, yaitu takut, namun dengan intensitas yang berbeda.
Emosi marah, melindungi individu baik dengan menakuti-nakuti sumber masalah agar menjauh atau pergi, atau menghilangkan secara pemanen, yang tampak dalam tindakan agresif, sikap bermusuhan dan kebencian.
Dengan demikian setiap emosi bermanfaat untuk memberdayakan individu dalam mengatasi bahaya, baik yang nyata atau hanya persepsi, agar selamat.
Saat emosi-emosi ini berhasil memenuhi peran dan fungsinya, tidak akan muncul masalah. Saat anak merasa tidak nyaman atau sakit, ia menangis dan mendapat perhatian dan bantuan. Saat merasa takut, ia lari menjauh atau menghindari bahaya ke tempat aman. Jika dua kondisi ini tidak mungkin, ia dapat menggunakan cara ketiga, marah, dan menghilangkan sumber bahaya sehingga bisa kembali merasa aman dan nyaman.
Namun, bila karena suatu hal emosi-emosi ini tidak dapat diungkap seperti yang seharusnya akan timbul masalah. Setiap emosi selalu disertai perubahan fisiologis yang spesifik untuk menjalankan fungsi emosi ini. Dengan demikian setiap emosi yang tidak dapat diungkap, tidak mendapat saluran keluar yang semestinya, mengakibatkan gangguan baik secara mental maupun fisik.
Peran Ibu Dan Gangguan Emosi
Dalam kondisi normal, jika tidak berhasil mendapatkan bantuan, saat ia merasa tidak nyaman atau sakit, anak akan menggunakan rasa takut untuk menghindar atau dapat menjadi marah dan mengusir atau menghilangkan sumber masalah.
Pertanyaan penting dan menarik untuk dikaji bersama yaitu apa yang akan terjadi bila ternyata sumber rasa tidak nyaman/sakit atau bahaya adalah ibunya sendiri. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan ibu adalah siapa saja yang punya hubungan dengan anak dan menjalankan fungsi/peran ibu yaitu menjaga dan mengasuh anak (misal: ayah, kakek, nenek, paman, tante, kakak, pembantu, atau baby sitter).
Bila yang menjadi sumber masalah adalah ibu, atau orang yang berperan sebagai ibu, maka anak akan bingung untuk memberi respon emosi yang tepat. Emosi yang seharusnya berguna untuk melidungi anak, kini tidak lagi dapat menjalankan fungsinya. Tangisan hanya akan membuat anak lebih menderita, sehingga rasa tidak nyaman ini tidak dapat ia ungkap.
Anak tidak dapat menggunakan emosi takut untuk lari atau menghindar karena ibu yang seharusnya memberi rasa aman kini justru menjadi sumber masalah. Tidak ada lagi tempat yang aman untuk berlindung atau mendapat perlindungan.
Demikian pula dengan emosi marah. Anak tidak dapat menggunakan emosi ini untuk menghilangkan sumber masalahnya karena, walau misalnya bisa ia lakukan, dengan melakukan hal ini pada saat bersamaan ia menghilangkan sumber rasa amannya. Satu-satunya jalan keluar bagi anak dalam situasi dan kondisi ini adalah memblok, menekan emosi yang ia rasakan atau alami.
Emosi, walau telah berhasil ditekan dan seolah telah hilang, ibarat api dalam sekam. Api emosi ini tetap menyala walau tidak disadari dan mengakibatkan berbagai masalah baik di aspek fisik dan atau mental/emosi.
Frederick “Fritz” Perls, bapak Gestalt, pernah mengatakan bahwa emosi memiliki rentang hidup yang meliputi satu kelahiran dan satu kematian, satu awal dan satu akhir. Perls juga menambahkan bahwa hanya ada dua cara untuk mengungkap emosi. Pertama, ke arah luar, dalam bentuk ekspresi verbal atau tindakan. Kedua, bila emosi ditekan sedemikian rupa sehingga tidak bisa diungkap, ia akan masuk ke dalam dan terekspresi melalui respon fisik (psikosomatis) dan atau gangguan mental/emosi. Emosi yang tidak berhasil diproses tuntas akan terus tinggal di dalam diri kita, menimbulkan masalah, sampai mereka berhasil diproses tuntas.
Dari riset di bidang neurosains di ketahui bahwa wilayah orbito-frontal, yang terletak di bawah lobus pre-frontal memainkan peran penting dalam kedali emosi. Schore (2001a) menamakan wilayah otak ini sebagai “Senior Executive” dari interaksi sosial, berperan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan emosi.
Schore (2000) juga menyatakan bahwa kedekatan hubungan anak dan ibu secara emosi memengaruhi pembentukan mekanisme mengatasi stres di otak kanan anak. Hal ini tampak pada wilayah orbito frontal atau “Senior Executive” yang sangat berkembang di wilayah otak sebelah kanan, dan sangat terlibat dalam pengolahan emosi. Jika wilayah ini tidak berkembang optimal atau mengalami gangguan perkembangan di tahun-tahun awal kehidupan akan sangat memengaruhi perilaku sosial dan moral di kemudian hari.
Otak sebelah kanan berperan aktif saat kita berusaha memahami emosi atau perasaan orang lain, saat berkomunikasi, melalui kontak mata, pemaknaan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan pergeseran halus kondisi pikiran dan perasaan yang terjadi atau dialami orang lain.
Ibu membantu perkembangan dan pertumbuhan bayi yang masih kecil melalui peran yang oleh Stern (1985) disebut dengan “self regulating other”. Dalam hal ini ibu berperan dan bertindak sebagai pihak yang memperhatikan, menyediakan, dan memenuhi kebutuhan anak, sejalan dengan ekspresi afeksi anak.
Peran ini terjadi melalui interaksi antara ibu dan bayi. Saat bayi menangis, karena merasa tidak nyaman atau sakit, dan ibunya memberi perhatian dan respon dalam bentuk menggendong, memeluk, serta menenangkannya, baik secara fisik dan emosi, dan juga memberi stimulasi.
Saya teringat salah satu topik bahasan yang saya dapatkan saat mengikuti pelatihan dan sertifikasi neurofeedback di Los Angeles beberapa bulan lalu. Sejalan dengan uraian Schore dan Stern, dalam upaya membantu klien, baik anak atau dewasa, lebih mampu meregulasi emosi mereka maka yang dilatih dengan neurofeedback adalah wilayah otak kanan terlebih dahulu baru setelah itu wilayah otak lainnya.
Pengalaman klinis membantu klien mengatasi masalah mereka memberi pelajaran sangat berharga bagi diri saya. Setiap sesi terapi sifatnya unik, personal, dan mengandung pembelajaran penting baik untuk klien maupun saya sebagai terapis. Kami bertumbuh dan berkembang bersama melalui interaksi terapeutik yang terjalin selama proses terapi.
Klien-klien ini adalah pribadi unik dan berharga yang hidupnya menjadi tidak nyaman karena ada sesuatu yang mengganggu dan mengakibatkan munculnya masalah.
Ada sangat banyak masalah yang bisa kita alami. Untuk mudahnya, saya mendefinisikan masalah sebagai pola pikir, sikap, perilaku atau tindakan yang tidak sejalan dengan keinginan dan harapan sehingga menimbulkan gangguan atau ketidaknyamanan dalam menjalani hidup. Ada juga yang menggunakan istilah penyimpangan perilaku.
Apapun masalah klien, bila dicermati, selalu memiliki pola yang sama. Ada masalah yang diakibatkan murni oleh gangguan fisik, ada juga yang karena faktor psikis, dan ada juga yang gabungan keduanya.
Yang dimaksud pola yaitu dulunya mereka baik-baik saja dan karena sesuatu sebab, seringkali yang tidak mereka ketahui atau sadari, muncul masalah. Jadi, masalah yang dialami klien adalah akibat dari sebab spesifik yang terjadi di masa lalu klien.
Berikut saya beri contoh sederhana untuk lebih memperjelas paparan saya. Saya yakin Anda pasti mengenal, atau mungkin Anda sendiri, orang yang takut gelap atau ruang sempit tertutup (claustrophobia). Tahukah Anda, bahwa saat lahir, tidak ada satupun bayi takut gelap atau ruang sempit tertutup.
Saat dalam kandungan, bayi berada di tempat yang gelap dan sempit, di dalam kandungan ibu, dan merasa sangat nyaman. Setelah lahir, bayi membawa dua rasa takut yaitu takut pada suara keras dan takut jatuh (ketinggian). Takut-takut yang lain dipelajari dalam proses tumbuh kembang melalui interaksi dengan lingkungan.
Lalu, bagaimana orang dewasa bisa takut gelap atau ruang sempit tertutup?
Ada banyak kemungkinan yang bisa menjadi akar masalah. Dengan teknik regresi, terapis bisa mencari dan menemukan kapan pertama kali klien mulai merasa takut dan apa yang terjadi saat itu. Salah satu kemungkinan adalah saat kecil ia pernah dikunci atau terkunci di dalam lemari yang gelap dan sempit sehingga merasa sangat ketakutan. Kondisi ini akan semakin parah bila ia menangis untuk waktu yang lama tapi tidak dibukakan. Yang ia alami dan rasakan, selain takut, panik, tidak berdaya, juga ada perasaan ditinggalkan.
Setelah dewasa, saat berada di dalam ruang yang sempit ia akan merasa sangat tidak nyaman. Kondisi ini akan semakin parah bila tiba-tiba lampu mati sehingga ruangan menjadi gelap gulita. Dan saat itu ia pasti takut dan panik.
Klien hanya mengalami perasaan ini bila berada di tempat gelap atau ruang sempit tertutup. Bila di tempat terang, terbuka dan lapang, ia merasa nyaman dan sama sekali tidak ada masalah. Dengan kata lain, di dalam diri klien, ada semacam program pikiran yang dorman dan akan teraktivasi bila ada pemicu yang spesifik. Program pikiran yang membuat masalah dinamakan engram.
Definisi Engram
Istilah engram pertama kali digunakan oleh Richard Sermon, cendekiawan Jerman, tahun 1904. Sermon mendefinisikan engram sebagai impresi stimulus yang dapat diaktivasi ulang (reaktivasi) oleh pengulangan kondisi energetik yang mengendalikan penciptaannya.
Berdasar definisi Sermon, Hubbard, pencetus Dianetics dan Scientology, mendefinisi engram sebagai gambaran mental yang merupakan rekaman dari suatu pengalaman berisi rasa sakit, kondisi tidak sadar, atau ancaman terhadap keselamatan hidup, baik nyata atau hanya imajinasi.
Definisi lain menyatakan bahwa engram secara hipotetis adalah sarana penyimpanan jejak-jejak memori sejalan dengan perubahan biofisika atau biokimiawi di otak (dan jaringan otak lainnya) sebagai respon dari stimuli eksternal.
Saya mendefinisikan engram sebagai rekaman peristiwa yang dialami seseorang, baik berupa kejadian nyata, kejadian dalam imajinasi, atau mimpi, di mana informasi ini masuk ke pikiran bawah sadar saat faktor kritis tidak aktif karena pengaruh obat, emosi yang intens, shock, rasa sakit fisik yang intens, atau sebab-sebab lain, dapat langsung aktif dan seterusnya memengaruhi perilaku sejak engram tercipta, atau dorman hingga teraktivasi dikemudian hari melalui pemicu yang serupa atau sama dengan komponen penyusun engram.
Jenis Engram
Dari definisi yang saya paparkan di atas dan dari pengalaman klinis sejauh ini saya menyimpulkan ada dua jenis engram. Pertama, engram yang begitu tercipta langsung aktif dan seterusnya memengaruhi dan mengendalikan pikiran, ucapan, perasaan, tindakan, dan perilaku seseorang. Engram tipe ini beroperasi berdasar instruksi spesifik, terkandung dalam komponen verbal, yang berasal dari arti literal atau pemaknaan subjek terhadap semantik yang digunakan dalam komunikasi.
Jenis kedua adalah engram yang tidak langsung aktif setelah tercipta. Engram ini sifatnya dorman, diam di pikiran bawah sadar, menunggu pemicu yang tepat untuk mengaktifkannya. Setelah terpicu, engram ini aktif, memengaruhi dan mengendalikan pikiran, ucapan, perasaan, tindakan, dan perilaku seseorang untuk satu waktu tertentu dan setelah itu kembali dorman menunggu terpicu lagi.
Prenatal Engram
Prenatal engram adalah engram yang tercipta saat bayi dalam kandungan ibu. Engram jenis ini adalah yang paling destruktif dari semua jenis engram dan tercipta berdasar pengalaman hidup yang dialami ibu saat mengandung. Apa yang dilihat, diucap atau didengar, dan terutama dirasakan ibu hamil, saat faktor kritis lemah atau tidak aktif karena sebab tertentu, menjadi komponen pembentuk engram yang sangat kuat.
Reaksi negatif wanita saat mengetahui dirinya hamil atau reaksi negatif suaminya saat diberitahu tentang kehamilannya, termasuk pemikiran untuk melakukan aborsi atau telah melakukan upaya aborsi namun gagal, akan mencipta prenatal engram yang sangat kuat memengaruhi kehidupan si anak di kemudian hari.
Dalam konteks klinis, apabila terapis benar telah menemukan dan memroses tuntas kejadian awal yang menjadi akar masalah dan klien sembuh, namun beberapa saat kemudian tanpa alasan yang jelas kambuh, maka yang menjadi penyebab kambuh adalah prenatal engram.
Komponen Engram
Dari pengalaman klinis, saya menyimpulkan bahwa dalam setiap engram bisa terkandung hingga 12 (dua belas) komponen: penembusan faktor kritis (critical factor by-pass), waktu, tempat, visual (eksternal/lingkungan, internal/gambaran mental), auditori (eksternal/lingkungan, internal/self-talk), sensasi/respon fisik, bau (olfaktori), rasa (gustatori), individu yang terlibat (introject, identofact), perilaku, emosi, dan rasa sakit pada fisik.
Sifat Engram
Engram dapat secara permanen menyatu dengan dan memengaruhi sebagian atau semua sistem tubuh dan berlaku sebagai entitas yang memiliki memori, kemampuan berpikir, logika, sikap, kepribadian, karakter, kebiasaan, dan emosi mengikuti perkembangan usia kronologis dan mental subjek saat engram tercipta.
Engram adalah satu-satunya faktor penyebab penyakit psikosomatis. Ia menimbulkan penyakit psikosomatis, antara lain, berdasar instruksi yang ada dalam komponen verbal, atau mengekspresikan emosi yang dikandungnya melalui bagian tubuh yang paling lemah pada saat tertentu.
Engram, yang berlaku sebagai entitas, akan mempertahankan dirinya dari hal-hal yang ia persepsikan sebagai hal yang merugikan, mengancam, dan terutama membahayakan keberlangsungan hidupnya. Setiap upaya yang dilakukan terapis untuk menetralisir atau menghilangkan engram ini akan mendapat perlawanan gigih darinya.
Engram dapat aktif dan bekerja di latar belakang dan secara sangat halus memengaruhi pikiran sadar, tindakan, atau sistem tubuh subjek dengan menggunakan emosi.
Proses Reaktivasi Engram
Engram adalah program pikiran yang dorman dan baru akan teraktivasi bila ada pemicu spesifik yang sama atau mirip dengan salah satu atau beberapa komponen penyusun engram. Pemicu ini, disebut aktivator, bisa berasal dari dalam (bentuk pikiran tertentu) atau dari luar/lingkungan, adalah segala sesuatu yang mengingatkan subjek, baik pada level pikiran sadar atau biasanya di level pikiran bawah sadar, mengenai kejadian di masa lalu yang ia alami yang mengakibatkan terciptanya engram.
Aktivasi engram mengikuti logika yang menyatakan “semua sama dengan semua” atau “apa saja sama dengan apa saja” : A = B = C = D. Logika engram menyatakan bahwa apel = mobil = rumah = buku. Artinya, apapun yang menjadi komponen engram dapat menjadi aktivator karena dianggap sama.
Saat engram teraktivasi, ia membuat seseorang berkata, bertindak, dan atau melakukan hal yang sama, atau sejalan dengan instruksi yang terkandung di dalam engram atau membuat keputusan yang sama dengan yang dituntut oleh engram.
Engram dapat teraktivasi kembali secara parsial atau penuh. Kekuatan engram selain bergantung pada kekerapan ia teraktivasi kembali juga ditentukan oleh derajat aktivasinya, parsial atau penuh, dan terutama intensitas emosi yang terkandung di dalamnya. Intensitas emosi engram adalah akumulasi energi emosi dari kejadian awal, yang mengakibatkan terciptanya engram, ditambah dengan emosi dari berbagai kejadian lanjutan yang sama atau serupa dengan kejadian awal. Umumnya, di level pikiran sadar, subjek tidak (dapat) mengingat kejadian awal.
Contoh Engram tipe 1
Engram tipe ini tidak membutuhkan aktivator dan langsung aktif bekerja memengaruhi subjek sejak ia tercipta. Contohnya adalah berbagai kalimat negatif yang diucapkan oleh orangtua atau lingkungan kepada anak. Misalnya “kamu tidak bisa”, “kamu bodoh”, “kamu jelek”, “kamu pelupa”, dan berbagai kalimat negatif lainnya.
Begitu engram tercipta, ia langsung aktif menjalankan instruksi yang terkandung dalam komponen verbalnya. Melalui proses pengulangan, pada kejadian lanjutan, engram ini semakin lama menjadi semakin kuat dan merealisasikannya menjadi realita dalam diri anak. Ini yang kita kenal dengan “your wish is my command”.
Contoh lain adalah saat pasien menjalani operasi dan harus dibius total. Umumnya orang berpikir pasien dalam kondisi tidak sadar sehingga tidak bisa mendengar atau merasakan apa yang terjadi.
Dari hasil riset diketahui bahwa walau telah dibius total, pikiran bawah sadar pasien tetap sadar sepenuhnya, mampu mendengar dan mengetahui apa yang terjadi selama proses operasi.
Dengan demikian, apapun yang diucapkan oleh dokter bedah, dokter anestesi, perawat, atau siapa saja yang ada di dalam ruang operasi, khususnya kata-kata negatif atau kata yang dapat dimaknai sebagai negatif, akan mencipta engram.
Misalnya, saat melakukan operasi, tanpa sengaja dokter bedah berkata kepada koleganya, “Ini operasi paling sulit yang pernah saya lakukan sepanjang karir saya sebagai dokter bedah.”
Pernyataan ini dapat dimaknai oleh pikiran bawah sadar pasien bahwa kondisinya sangat parah sehinga ia sulit sembuh atau pulih sepenuhnya. Dan saat engram ini tercipta, demikianlah yang akan terjadi.
Bisa juga dokter bermaksud baik dengan berkata, “Selesai operasi, dia tidak akan pernah sama seperti dulu lagi.” Maksud dokter, si pasien akan berubah, sehat, dan pulih sepenuhnya dari sakit menahun yang telah dideritanya. Tapi pikiran bawah sadar pasien bisa mengartikan sebaliknya.
Kondisi yang sama juga dapat terjadi pada pasien koma. Tanpa disadari oleh orang disekitarnya, apapun yang mereka ucapkan tentang si pasien akan masuk ke pikiran bawah sadar si pasien dan mencipta engram.
Di buku The Miracle of MindBody Medicine saya menjelaskan penanganan kasus klien yang mengalami amnesia, berubah perilakunya, setelah mengalami koma selama sepuuh hari pascaoperasi.
Contoh Engram tipe 2
Di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH), pelatihan hipnoterapi 100 jam yang saya selenggarakan, di salah satu sesi live therapy, saya menerapi klien, sebut saja Budi, untuk masalah emosi yang mudah meledak dengan kecenderungan melakukan tindakan destruktif.
Budi mengatakan bahwa ia sangat mudah marah. Bahkan untuk hal-hal yang sepele ia bisa marah besar. Bila sudah marah, selain reaksi verbal, ia membanting barang-barang yang berada di dekatnya. Selanjutnya ia meninju kepalanya sendiri dengan keras. Bila masih belum puas, Budi membenturkan kepalanya ke tembok berulang kali sampai kemarahannya reda.
Saya melakukan regresi untuk mencari tahu apa yang terjadi di masa lalunya. Singkat cerita, dari hasil regresi diketahui bahwa semua ini bermula saat Budi berusia 6 tahun. Saat itu Budi bolos, tidak masuk sekolah. Mengetahui hal ini, ibu Budi marah besar. Selain mengamuk dan marah besar, ibunya juga memukul Budi. Masih merasa belum puas, si ibu membenturkan kepala Budi ke pintu berulang kali.
Mari kita telaah apa yang terjadi pada Budi menggunakan pemahaman kita mengenai engram:
Dari hasil regresi diketahui bahwa Budi sering dimarahi, dipukul, dan kepalanya dibenturkan ke pintu atau tembok oleh ibunya. Regresi tidak langsung mengungkap kejadian awal terciptanya engram. Setelah melalui beberapa kali regresi, melewati rangkaian beberapa kejadian, regresi akhirnya berhenti di usia enam tahun. Dan inilah awal mula terciptanya engram yang memengaruhi kondisi emosinya hingga ia berperilaku destruktif.
Kejadian-kejadian lanjutan yang sama atau serupa dengan kejadian awal, di mana kejadian lanjutan ini mengandung muatan emosi yang serupa dengan kejadian pertama, walau dengan intensitas yang berbeda, memberikan efek penguatan (compounding) pada engram. Semakin lama engram ini berisi emosi yang semakin intens dan membuatnya menjadi semakin kuat.
Engram tersimpan di pikiran bawah sadar Budi, sifatnya dorman, dan sewaktu-waktu dapat aktif kembali bila terpicu oleh aktivator yang sama atau serupa dengan komponen yang ada di dalam Engram.
Aktivator engram ini, misalnya, Budi melihat wajah wanita yang mirip dengan ibunya, atau ia melihat wajah ibunya saat ini dengan ekspresi yang mirip atau sama dengan dulu waktu memarahinya, atau mendengar suara dengan nada tertentu seperti dulu nada ibunya memarahinya, atau Budi mendengar lagu X, atau tubuh Budi gemetar (oleh sebab tertentu), atau saat Budi ditegur bosnya dan ia merasa tidak berdaya karena tidak bisa membela diri, atau saat kepala Budi sakit karena terbentur sesuatu.
Jadi, ada begitu banyak kemungkinan aktivator. Namun yang pasti, saat teraktivasi, engram secara otomatis membuat pikiran sadar dan faktor kritis melemah, bergantung derajat aktivasinya. Bila engram teraktivasi parsial maka pikiran sadar dan faktor kritis menjadi lemah namun masih aktif. Saat engram teraktivasi penuh, pikiran sadar dan faktor kritis benar-benar tidak bekerja, subjek mengalami regresi spontan kembali ke peristiwa traumatik yang dulu ia alami, mengalami semuanya sama seperti dulu terutama dalam respon perilaku dan emosi yang ia rasakan.
Dalam kasus Budi, saat engram teraktivasi, ada dua kemungkinan perilaku yang ditampilkan Budi (dewasa). Pertama, perilaku sebagai Budi kecil, usia 6 tahun, yang tidak berdaya, takut, dan respon fisik lainnya. Kedua, perilaku ibunya, yaitu berteriak, memukul, meninju, dan membenturkan kepala Budi ke tembok. Pada perilaku kedua, ibunya berperan sebagai identofact.
Jadi, sangat jelas, bahwa yang memukul, meninju, dan membenturkan kepala Budi ke tembok bukan Budi kecil tapi identofact ibunya. Yang terlihat dari luar adalah Budi (dewasa) marah, memukul dirinya sendiri, dan membenturkan kepalanya ke tembok.
Pilihan peran yang dimainkan oleh subjek, saat engram aktif, ditentukan oleh pikiran bawah sadar mengikuti mekanisme tertentu. Terapis dapat memodifikasi mekanisme ini sehingga pilihan pikiran bawah sadar, yang tadinya terjadi secara otomatis, dapat diarahkan untuk membuat pilihan yang menguntungkan klien.
Dengan regresi saya berhasil menemukan dan memastikan bahwa kejadian di usia enam tahun ini benar adalah akar masalah (ISE). Selanjutnya saya melakukan restrukturisasi engram. Penting bagi terapis untuk memastikan bahwa yang diproses adalah ISE. Bila bukan ISE hasil terapi biasanya tidak akan maksimal dan besar kemungkinan klien akan kambuh.
Pertama, saya memproses komponen emosi. Ini langkah yang sangat penting karena kekuatan engram ditentukan oleh intensitas emosi. Semakin intens emosi, semakin kuat engram, dan semakin sulit untuk dilakukan modifikasi atau restrukturisasi.
Pemrosesan emosi tentu menggunakan teknik yang sesuai dengan situasi dan kondisi klien. Dalam kasus Budi, saya menggunakan tiga teknik pemrosesan emosi, dari total sembilan belas teknik yang kami kembangkan di Adi W. Gunawan Institute, sesuai dengan situasi dan kondisi Budi saat terapi berlangsung.
Setelah emosi berhasil dinetralisir selanjutnya saya memproses komponen engram lainnya terutama komponen “ibu”. Baru setelah itu, komponen lainnya yang dirasa perlu dimodifikasi.
Terapi berlangsung selama hampir dua jam dan hasilnya sungguh menggembirakan. Usai terapi Budi berkata bahwa ia merasa sangat lega. Beberapa hari kemudian kami menghubungi Budi dan menanyakan perkembangannya. Ia menyampaikan bahwa setelah terapi ia sempat bertengkar dengan salah seorang rekan kerjanya. Kali ini reaksinya berbeda. Ia marah namun marahnya adalah marah yang wajar. Ia tidak lagi merusak barang di sekitarnya, memukul diri sendiri, atau membenturkan kepalanya ke tembok.
Teknik Modifikasi Lain
Dalam NLP dikenal beberapa teknik terapi seperti Swish Pattern, Submodality Change, Reverse Trigger, Fast Phobia Cure (FPC), dan Collapsing Anchor. Teknik-teknik ini bertujuan menghilangkan atau mengalihkan faktor pemicu engram. Penjelasan detil mengenai teknik ini bisa dibaca di buku saya The Secret of Mindset.
Swish Pattern menggunakan proses visual dan bisa juga auditori. Gambar atau suara yang semula memicu satu kondisi emosi tertentu, aktivator yang mengaktifkan engram, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga saat gambar atau suara ini muncul ia akan memicu gambar atau suara lain yang tidak ada hubungannya dengan engram. Dengan demikian engram tidak akan teraktivasi dan masalah selesai.
Demikian pula dengan Submodality Change. Teknik ini melakukan perubahan pada modalitas dengan tujuan membuat engram tidak dapat teraktivasi karena komponennya berubah. Aktivator yang tadinya dapat memicu engram menjadi aktif kini tidak lagi bisa bekerja karena komponen engram telah berubah, lebih tepatnya diubah.
Reverse Trigger bekerja dengan prinsip yang sama dengan Swish Pattern namun yang diproses bukan gambar melainkan emosi atau perasaan. Sedangkan FPC bertujuan “merusak” alur film kejadian sehingga tidak bisa lagi diakses dan engram tidak bisa teraktivasi. Terakhir, Collapsing Anchor, menetralisir emosi pada engram dengan membenturkannya dengan emosi positif yang jauh lebih kuat. Saat emosi dalam engram berhasil dinetralkan maka saat ia teraktivasi tidak akan mengakibatkan munculnya masalah.
Berdasar pengalaman klinis saya menggunakan teknik-teknik yang saya jelaskan di atas, ada satu temuan menarik. Bila intensitas emosi dalam engram sangat kuat maka umumnya teknik-teknik ini tidak bisa bekerja optimal seperti yang diharapkan. Bila ini terjadi, cara efektif untuk menetralisir engram ini adalah dengan melakukan regresi dan memroses engram di kejadian awal.
Engram Menular
Engram dapat menyebar, seperti virus, menulari orang lain. Pada kasus yang saya jelaskan di atas, engram dalam diri Budi, bila engramnya tidak dinonaktifkan melalui proses terapi, dapat menular ke anaknya. Misalnya, suatu saat Budi punya anak, Dani. Dani cukup aktif, nakal, suka membantah, sering tidak masuk sekolah, dan ini membuat Budi marah.
Perilaku Dani menjadi aktivator yang mengaktifkan engram dalam diri Budi. Saat engramnya aktif dan Budi memainkan peran sebagai ibunya, maka apa yang dulu ibunya lakukan padanya, saat ia berusia 6 tahun, akan ia lakukan pada anaknya, yaitu memarahi, memukul, dan membenturkan kepala si anak ke tembok.
Saat Dani mengalami hal ini, tercipta engram di dalam dirinya, yang sebenarnya adalah duplikasi dari engram yang ada di dalam diri Budi. Sampai suatu saat engram di dalam Dani teraktivasi dan membuat ia melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan papanya dulu, yaitu marah, membanting benda di sekitarnya, memukul diri sendiri, dan membenturkan kepalanya ke tembok. Demikianlah seterusnya.
Ini yang sering kita dengar dengan kalimat “Dia ini persis seperti bapaknya” atau “Dia ini persis seperti ibunya.”
Dengan dasar pemahaman ini sekarang Anda dapat mengerti apa yang sesungguhnya terjadi di lembaga pendidikan tertentu, yang beberapa kali ramai diberitakan, karena ada calon mahasiswanya meninggal akibat kekerasan fisik yang dilakukan senior kepada yunior saat menjalani masa orientasi.
Yang terjadi adalah engram, yang berisi program kekerasan, di dalam diri mahasiswa senior berasal dari seniornya lagi yang memperlakukan mereka dengan sangat keras atau kejam saat masa orientasi. Engram ini teraktivasi saat mereka menjadi panitia penyelenggara masa orientasi. Engram ini selanjutnya menular ke mahasiswa baru yang akan melakukan hal yang sama di tahun berikutnya kepada adik kelas mereka. Demikian seterusnya sampai dilakukan tindakan untuk memutus mata rantai penyebaran engram ini.
Beberapa waktu lalu saya telah menulis artikel berjudul “Hipnosis/Hipnoterapi Bisa Berakibat Fatal”. Dalam artikel ini saya menjelaskan 11 (sebelas) hal yang dapat membuat hipnosis/hipnoterapi berakibat fatal bagi klien.
Dalam kesempatan ini saya ingin menjelaskannya dengan mengutip pandangan pakar-pakar ternama di bidang hipnoterapi. Kata “hipnosis” dalam artikel ini selain menjelaskan satu kondisi kesadaran tertentu juga merujuk pada aplikasi klinis yang dikenal dengan hipnoterapi.
Apakah hipnosis berbahaya?
Spiegel dan Spiegel (1978) menyatakan bahwa tidak ada bukti fenomena hipnosis berbahaya. Dalam pengalaman mereka menggunakan hipnosis terhadap ribuan pasien, tidak pernah menemukan ada pasien yang menjadi psikotik akibat penggunaan hipnosis.
Sedangkan menurut Rosen dan Bertemeier (1961) ada beberapa akibat negatif dari hipnoterapi yang disebabkan oleh aplikasi hipnoterapi oleh terapis yang tidak berpengalaman atau orang awam yang tidak punya kualifikasi dan kecakapan menggunakan hipnosis.
Kroger (1977) menyatakan bahwa hipnosis adalah yang paling aman dari semua psikoterapi.
Kleinhauz dan Beran (1981) percaya bahwa ada dua area aplikasi hipnosis yang berisiko: 1) saat peneliti mengunakan hipnosis untuk mencapai tujuan penelitian dan bukan untuk tujuan terapeutik; dan 2) saat praktisi hipnosis tidak mengenali potensi bahaya dalam bentuk terapi tertentu. Hampir semua praktisi hipnosis telah menetapkan goal sesuai dengan lingkup kompetensi mereka, dengan demikian potensi bahaya yang tidak perlu dapat dihilangkan. Namun bila seorang praktisi tidak menjalani atau kurang dalam pelatihan profesional dapat mengakibatkan ia tidak mengenali atau salah dalam mengartikan komunikasi yang disampaikan oleh klien baik secara verbal maupun nonverbal. Dengan kata lain, orang yang tidak terlatih tidak akan dapat memberi respon yang tepat terhadap sinyal kegelisahan klien.
Kleinhauz dan Beran memberian contoh kasus yang pernah mereka tangani akibat penggunaan hipnosis oleh orang yang tidak punya pengetahuan dalam psikodinamika. Dalam salah satu pertujukan hipnosis seorang anak perempuan berusia belasan tahun turut ambil bagian dalam pertujukan ini. Setelah pertujukan ia tetap dalam keadaan linglung.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa hanya ada dua kontraindikasi penggunaan hipnosis. Pertama, penggunaan hipnosis oleh operator yang tidak terlatih dengan baik, dan kedua, penggunaan hipnosis untuk tujuan yang tidak baik.
Hipnosis adalah satu kondisi kesadaran yang dapat dicapai dengan mudah dan ada banyak cara untuk melakukannya. Salah satunya adalah dengan induksi. Induksi adalah proses membimbing subjek atau klien berpindah dari kondisi kesadaran normal ke kondisi hipnosis.
Akhir-akhir ini saya mendapat cukup banyak pertanyaan seputar NLP dan hipnosis melalui inbox FB. Intinya, para rekan ini ingin tahu pendapat saya mengenai keunggulan NLP dibandingkan hipnosis atau sebaliknya. Mereka juga minta saran sebaiknya belajar yang mana, NLP atau hipnosis?
Beberapa tahun silam saya juga mendapat pertanyaan yang sama. Dan saya yakin, di masa mendatang, pasti saya pasti akan ditanya lagi pertanyaan yang sama.
Jadi, mana yang lebih unggul? Hipnosis atau NLP?
Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan mengutip pernyataan Richard Bandler dalam bukunya yang berjudul Guide to TRANCE-formation: How to Harness The Power of Hypnosis to Ignite Effortless and Lasting Change.
Bandler mengatakan bahwa ia telah mempraktikkan hipnosis selama bertahun-tahun. Dalam bukunya ia dengan terbuka mengatakan bahwa hipnosis sangat penting dalam pengembangan NLP karena hipnosis memungkinkan kita untuk mengeksplorasi kondisi kesadaran khusus (altered state). Ia juga menyatakan bahwa NLP dapat dipandang sebagai "struktur" penting dari hipnosis.
NLP dikembangkan dengan memodel tiga pakar terkenal: Virginia Satir, Milton Erickson, dan Frederick Perls. Ketiga pakar ini sangat jago dalam hipnosis. Tidak ada yang meragukan Milton Erickson dalam hal hipnosis. Virginia Satir semula menolak mengakui bahwa apa yang ia lakukan sangat sarat dengan unsur hipnosis, walau akhirnya mengakuinya. Perls juga menggunakan hipnosis, khususnya halusinasi, saat ia meminta kliennya membayangkan melihat dan mendengar seseorang duduk di kursi di depannya.
Masih menurut Bandler hipnosis adalah satu kondisi kesadaran khusus yang sangat berguna untuk meng-instal berbagai strategi ke pikiran bawah sadar. Kondisi hipnosis sangat baik digunakan untuk belajar hal-hal baru.
Sebenarnya tidak tepat bila dikatakan Hipnosis vs NLP. Yang lebih tepat adalah Hipnosis + NLP atau NLP + Hipnosis. Apapun strategi atau teknik dalam NLP, dari pengalaman saya sejauh ini, bila dilakukan dalam kondisi hipnosis yang dalam, hasilnya sangat luar biasa.
Saya belajar NLP, khususnya teknik terapinya, telah mempraktikkan teknik-teknik ini, melakukan beberapa modifikasi teknik sesuai kebutuhan saya, dan telah berhasil mencapai hasil yang sangat luar biasa bagi klien-klien saya. Semua teknik ini dilakukan dalam kondisi hipnosis yang dalam dan ini sangat sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bandler. Anda bisa membaca tentang teknik-teknik NLP ini di buku The Secret of Mindset.
Sebagai terapis kita tidak perlu membanding-bandingkan hipnosis dan NLP. Yang paling penting bagi kita adalah teknik apapun yang digunakan pastikan bermanfaat bagi klien. Apakah mau menggunakan teknik hipnosis, NLP, XYZ, atau apapun itu, yang penting klien sembuh.
Yang penting adalah saat menggunakan hipnosis/hipnoterapi dan atau NLP kita benar-benar menguasai tekniknya sehingga dapat melakukannya dengan benar dan mencapai hasil maksimal. Yang disayangkan adalah bila seseorang belajar hipnosis/hipnoterapi dan atau NLP hanya setengah-setengah. Mau melakukan terapi dengan hipnosis/hipnoterapi tidak bisa. Dengan NLP juga tidak bisa. Kalaupun bisa, bisa dilakukan maksud saya, tapi hasilnya tidak efektif. Jadinya, serba salah. Dan yang kasihan adalah kliennya.
Saran saya, daripada berdebat mana yang lebih efektif, hipnosis atau NLP, lebih baik sebagai terapis kita bertanya pada diri sendiri dan dengan jujur menjawab pertanyaan, "Seberapa baik saya menguasai hipnosis atau NLP, seberapa cakap saya mampu mempraktikkan pengetahuan ini untuk membantu klien, dan seberapa efektif hasil terapi yang telah saya lakukan,selama ini, menggunakan teknik yang saya kuasai?"
Di tahun 2010 lalu saya sempat nonton Inception, film action thriller, karya sutradara terkenal Christopher Nolan. Ide penulisan dan alur film ini sungguh sangat cerdas dan brilian. Selain cukup membingungkan, film ini juga sangat menantang pemahaman penontonnya dan membuat penonton terpaku fokus mulai awal sampai akhir.
Inception adalah penanaman ide di pikiran bawah sadar seseorang menggunakan teknik dream within dream (mimpi dalam mimpi). Film ini mengisahkan Domn Cobb (Leonardo DiCaprio) yang mampu mencuri ide seseorang dengan cara masuk ke pikiran bawah sadar orang itu ketika sedang bermimpi, melalui mimpi yang dijalani bersama (shared dream).
Dikisahkan dalam film ini, Cobb mendapat tugas untuk menanam ide ke pikiran bawah sadar Robert Fischer, Jr (Cillian Murphy) untuk menutup perusahaan yang ia warisi dari ayahnya. Dan bila ini berhasil dilakukan, Fischer akan menutup perusahaan ayahnya seolah-olah itu adalah idenya sendiri, bukan dari orang lain.
Untuk menjalankan misi ini, Cobb dan timnya yang terdiri dari Arthur (Joseph Gordon-Levitt), Eames (Tom Hardy), Yusuf (Dileep Rao), Ariadne (Ellen Page) masuk ke dalam mimpi (level 1), selanjutnya masuk lagi ke dalam mimpi (level 2), dan masuk lagi ke dalam mimpi (level 3). Cobb, dalam upaya mencari dan menyelamatkan Saito, masuk ke limbo, dunia pikiran bawah sadar tak berbatas.
Sebagai orang yang menggeluti dunia pikiran, khususnya pikiran bawah sadar, saya tentu sangat antusias memelajari dan melihat kesamaan proses penanaman ide dalam Inception dengan yang terjadi dalam hipnoterapi. Saya akhirnya sampai pada satu simpulan bahwa yang dilakukan Cobb dalam film ini dapat dengan mudah dilakukan oleh hipnoterapis klinis berpengalaman menggunakan teknik khusus di kedalaman hipnosis yang spesifik, tanpa harus menggunakan mimpi dalam mimpi.
Salah satu bagian film ini yang sangat menarik perhatian saya adalah mengenai istri Cobb, Mal (Marion Cotillard). Cobb tahu mengenai teknik penanaman ide ke pikiran bawah sadar karena ia telah mencobakannya pada istrinya. Ia membawa Mal masuk ke dalam lapisan-lapisan pikiran bawah sadar melalui teknik mimpi dalam mimpi. Di kedalaman pikiran bawah sadar ini mereka membangun dunia mereka, dunia ideal yang mereka inginkan. Mal akhirnya begitu terobsesi dengan dunia imajiner ini sehingga sulit membedakannya dengan realita dan lebih suka hidup dalam dunia imajiner ini. Apapun yang dilakukan Cobb untuk menyadarkan Mal tidak berhasil hingga akhirnya ia menemukan cara, yang menurutnya, dapat menyelesaikan masalah Mal secara permanen.
Cobb membawa istrinya masuk ke dalam mimpi, ke dunia imajiner yang mereka ciptakan bersama, dan menanamkan ide bahwa mengakhiri hidupnya (Mal) adalah ide yang baik. Ia berpikir bila Mal yang ada di pikiran bawah sadar mati maka saat Mal yang sesungguhnya keluar dari mimpi semuanya akan kembali normal.
Dalam mimpi, Cobb membimbing Mal meletakkan kepalanya di rel kereta api sambil memberi sugesti bahwa kereta api ini akan membawa Mal ke satu tempat yang indah namun tidak diketahui di mana. Mal, yang di pikiran bawah sadar, akhirnya meninggal karena terlindas kereta api.
Setelah mereka keluar dari mimpi dan kembali ke kondisi sadar normal ternyata ide tentang kematian sebagai jalan keluar masalah mulai bertumbuh dan mulai menguat di pikiran Mal. Semakin lama semakin menguat hingga akhirnya Mal benar-benar melakukan tindakan bunuh diri dengan melompat dari gedung tinggi.
Mal dalam pikiran bawah sadar yang meninggal karena terlindas kereta api adalah Bagian Diri atau Ego Personality (EP) dari Mal, istrinya Cobb. Sedangkan Mal yang ada di dalam pikiran bawah sadar Cobb dinamakan introject.
Dalam konteks hipnoterapi, apa yang terjadi pada Mal juga dapat terjadi pada klien, bila terapis tidak hati-hati menggunaan teknik yang akan saya jelaskan berikut ini. Salah satu teknik yang biasanya digunakan terapis untuk membantu klien meningkatkan kesadarannya, mendorong klien untuk berubah, adalah dengan membawa klien ke masa akhir hidup klien.
Saat klien sudah berada di masa depan, di saat akhir hidupnya, terapis minta klien untuk mengkaji ulang, melihat kembali kehidupan yang telah klien jalani sampai saat sekarang, saat klien akan meninggal. Setelah klien dengan saksama mengkaji ulang, terapis akan bertanya apakah klien merasa puas dengan apa yang telah ia jalani selama hidupnya?
Ada dua kemungkinan jawaban klien. Pertama, klien merasa puas. Kedua, klien merasa tidak puas atau menyesal karena tidak menjalani hidup seperti yang ia inginkan atau harapkan, dan jawaban ini yang memang diharapkan dari klien sebagai dasar untuk berubah.
Untuk jawaban pertama, terapis akan bertanya lagi, misalnya bila klien bisa mengulangi hidupnya, apakah ada hal-hal tertentu yang akan ia lakukan secara berbeda untuk bisa membuat hidupnya itu menjadi lebih baik atau lebih bermakna.
Untuk jawaban kedua, terapis akan bertanya pada klien bila misalnya ia bisa mengulangi hidupnya apa saja hal berbeda yang akan ia lakukan agar bisa menjalani hidup seperti yang ia inginkan sehingga ia tidak akan menyesal seperti saat ini, di akhir hidupnya.
Apapun jawaban klien, terapis akan mencatat dan menggunakannya sebagai sugesti pascahipnosis yang ditanamkan ke pikiran bawah sadar klien untuk membantu klien berubah. Sugesti pascahipnosis adalah sugesti yang diberikan saat klien dalam kondisi hipnosis dan akan dijalankan setelah ia keluar dari kondisi hipnosis.
Mengapa hal ini, membawa klien ke masa depan, ke masa akhir hidupnya, bisa dilakukan, dan dapat bersifat terapeutik?
Ini bisa dilakukan karena hukum pikiran menyatakan bahwa pikiran tidak mengenal masa lalu dan masa depan, yang ada hanya masa sekarang. Jadi, saat klien dibimbing ke masa depan, sebenarnya ia tidak berada di masa depan. Pikirannya mengalami masa depan ini sebagai masa sekarang. Jadi, ia benar-benar sudah berada di masa depan, sekarang.
Dalam konteks hipnoterapi, tentu saja, ini semua bisa terjadi karena pikiran sadar klien sudah benar-benar rileks, tidak (mampu) melakukan analisa karena klien telah dibimbing masuk ke kedalaman hipnosis yang sangat dalam. Dari riset yang telah dilakukan di laboratorium mimpi, menggunakan mesin EEG, diketahui bahwa pola gelombang otak saat fase tidur non-REM, khususnya pada tahap tiga dan empat, serupa dengan pola gelombang otak saat seseorang dalam kondisi hipnosis yang dalam.
Namun teknik ini tidak semudah dan sesederhana yang saya jelaskan di atas. Berikut ini saya uraikan hal yang benar-benar harus dipahami dan diingat oleh terapis bila akan melakukan teknik ini agar tidak berakibat buruk pada klien.
Dalam membimbing klien ke masa depan, ke akhir hidupnya, terapis bisa menggunakan salah satu dari dua cara berikut. Pertama, meminta klien maju sendiri ke masa akhir hidupnya. Bila ini yang dilakukan maka klien akan maju ke usia sesuai dengan yang diarahkan pikiran bawah sadarnya. Kedua, terapis mengarahkan klien dengan melakukan hitungan, misalnya dari satu ke tiga, satu ke lima, atau satu ke sepuluh.
Kedua cara di atas sangat berbahaya karena alasan berikut. Bila klien maju sendiri, tidak dibimbing atau diarahkan terapis, maka ia bisa saja maju satu bulan, dua bulan, satu tahun, dua tahun, lima tahun, atau entah berapa tahun ke masa depan. Bila klien maju dengan bimbingan terapis menggunakan hitungan, misalnya satu ke lima, maka cara ini sama dengan yang pertama, pikiran bawah sadar klien akan maju ke satu masa berdasar pemaknaannya terhadap hitungan terapis. Bisa saja hitungan satu ke lima ini dimaknai sebagai lima hari, lima minggu, lima bulan, atau lima tahun.
Lalu, apa bahayanya? Dalam kondisi hipnosis yang dalam, pikiran sadar, lebih tepatnya critical factor tidak bekerja, sehingga tidak bisa melakukan analisa. Dengan demikian apapun yang klien alami, dengar, lihat, dan atau rasakan dalam kondisi ini berlaku sebagai sugesti paschipnosis.
Jadi, bila misalnya klien diterapi di tahun 2013 dan ia maju lima tahun, maka tahun 2008 adalah akhir hidupnya seperti yang ia bayangkan dan rasakan di pikiran bawah sadarnya. Dikhawatirkan pikiran bawah sadarnya akan benar-benar menciptakan situasi, peristiwa, kejadian, atau apapun yang dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. Prosesnya sama persis dengan yang terjadi pada Mal, istri Cobb dalam film Inception.
Lalu, bila tetap ingin menggunakan teknik ini, apa yang harus dilakukan?
Pertama, terapis perlu bertanya pada klien, bisa dalam kondisi sadar normal atau deep trance, “Bila Tuhan mengijinkan, Anda ingin hidup sehat lahir batin, tenang, damai, bahagia, sejahtera, makmur, sampai usia berapa?”
Pilihan kata dalam pertanyaan di atas penting karena pertama, mati dan hidup manusia Tuhan yang menentukan, bukan dirinya. Kedua, bila misalnya Tuhan mengijinkan tentu klien berharap bisa hidup sampai usia tua dan dalam kondisi fisik, mental,emosi, dan spiritual yang baik, tidak menderita dan sakit-sakitan.
Dari pengalaman saya menggunakan teknik ini, jawaban dari klien biasanya pasti usia lanjut, sekitar 80 tahun. Tidak pernah saya mendapat jawaban klien ingin hidup hanya beberapa tahun lagi.
Berdasar jawaban ini terapis membimbing klien ke masa depan, ke saat akhir hidupnya. Hal penting lain yang perlu disugestikan yaitu saat klien berada di akhir masa hidupnya ia dikelilingi dan ditemani oleh orang-orang yang ia cintai dan mencintai dirinya.
Bagaimana bila klien menjawab ia ingin segera mengakhiri hidupnya atau tidak mau hidup lebih lama? Jawaban ini mengindikasikan ada masalah sangat serius pada diri klien dan perlu mendapat prioritas penanganan segera.
Saya belum pernah, dan berharap tidak akan pernah, mendengar atau membaca mengenai klien yang meninggal akibat kesalahan proses terapi seperti yang telah dijelaskan di atas.
Namun, secara teori, ini bisa terjadi. Satu kasus yang cukup menghebohkan pernah terjadi di Inggris, tahun 1993. Saat itu, Sharon Tabarn, 24 tahun, ibu dari dua anak, meninggal setelah dihipnosis di sebuah acara hipnosis panggung (stage hypnosis) di Leyland, Lancashire. Dalam kondisi terhipnosis disugestikan bahwa ia akan merasakan listrik 10.000 volt yang dialirkan melalui kursinya. Yang tidak diketahui oleh hipnotisnya, Alex Smith, yaitu Sharon fobia terhadap listrik.
Sharon meninggal lima jam kemudian setelah mengeluh merasa pusing. Hasil penelitian forensik menyatakan Sharon mengalami kematian mendadak namun sulit untuk tidak menghubungkan antara kematiannya dengan apa yang ia alami sebelumnya, yaitu ia disugesti merasakan aliran listrik 10.000 volt.
Dalam laporan forensik itu juga disebutkan kasus lain yaitu lengan seorang pria lumpuh selama seminggu setelah sesi hipnosis. Pria lain mencoba bunuh diri dan satu subjek lainnya menjadi pemakan bawang impulsif setelah mendapat sugesti demikian.
Hasil penelitian selama lebih dari tiga puluh tahun dalam bidang neurofisiologi dan hipnosis yang dilakukan R. Jana, PhD., menemukan bahwa hampir semua aktivitas tubuh yang sifatnya otonom, termasuk juga fungsi endokrin, dapat dipengaruhi oleh kata-kata tertentu atau sugesti yang diberikan dalam kondisi hipnosis. Fungsi-fungsi ini antara lain meliputi pendarahan, imun sistem, detak jantung, tekanan darah, respon tubuh terhadap luka bakar, fungsi pernapasan, dan fungsi sistem saraf lainnya.
Dengan demikian sugesti yang masuk ke pikiran bawah sadar klien, positif atau negatif, disengaja atau tidak, pasti akan memengaruhi sistem dan kerja tubuh klien.
Hipnoterapi adalah satu alat bantu yang sangat luar biasa. Bila dipraktikkan dan digunakan dengan hati-hati, cermat, dan bijaksana, hipnoterapi dapat mengatasi sangat banyak masalah dengan cepat, efektif dan efisien, membawa kebaikan, kemajuan, dan perkembangan positif dalam hidup kita. Sebaliknya, hipnoterapis dapat berakibat sangat buruk bila digunakan tanpa sikap hati-hati, tidak cermat, dan tanpa landasan pemahaman yang benar.
Teknik yang saya jelaskan di atas selain banyak digunakan dalam konteks terapi, dalam setting one-on-one, juga banyak digunakan dalam pelatihan massal seperti retreat atau lokakarya tertentu. Tentu kita perlu cermat dan hati-hati saat menggunakannya agar bisa memberikan hasil terbaik bagi peserta pelatihan.
Akhir kata, hipnoterapi dipelajari sebagai cabang ilmu psikologi dan dipraktikkan sebagai seni yang membutuhkan kesadaran, integritas, kejujuran, rasa welas asih, tanggung jawab, dan kreatifitas yang tinggi.
Hipnoterapi dilakukan dengan membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis (trance), dengan kedalaman tertentu sesuai kebutuhan dan teknik yang digunakan, melakukan terapi di kedalaman ini, dan setelah itu membimbing klien keluar.
Ada banyak teknik untuk membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis. Terlepas dari teknik yang digunakan, saat masuk ke kondisi hipnosis, klien pasti mengalami relaksasi mental yang biasanya diikuti dengan relaksasi fisik. Yang menjadi indikator kondisi hipnosis adalah relaksasi mental, bukan fisik. Kecepatan relaksasi mental dan fisik idealnya berjalan beriringan. Namun dalam praktiknya bisa lebih cepat salah satunya.
Setelah selesai melakukan terapi, terapis membimbing klien keluar dari kondisi relaksasi dengan, biasanya, menghitung perlahan mulai dari satu naik ke sepuluh, atau bisa juga dari sepuluh turun ke satu. Intinya, dengan setiap hitungan klien disugestikan semakin keluar dari kondisi relaksasi dan saat hitungan terakhir klien sudah benar-benar keluar, sadar sepenuhnya, dan kembali ke kondisi sadar normal seperti sebelum relaksasi dilakukan.
Secara teori ini yang akan terjadi. Namun, proses kembali ke kondisi sadar normal, dari kondisi relaksasi mental atau fisik yang (sangat) dalam, tidak sesederhana yang dipikirkan.
Saat klien buka mata, mengikuti hitungan terapis, dan secara resmi terapi diakhiri, ini tidak berarti ia telah benar-benar keluar dari kondisi trance. Dan di sinilah terapis dan atau klien sering secara tidak sadar menganulir semua hasil terapi yang telah dicapai.
Saat klien buka mata sebenarnya ia belum sepenuhnya keluar dari kondisi trance. Semakin dalam klien masuk ke kondisi trance maka dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk membawanya keluar. Hanya dengan mengandalkan atau menggunakan sepuluh hitungan dan ditambah sugesti, seperti yang biasa dilakukan, tidak menjamin klien bisa sepenuhnya keluar dari trance.
Saat klien buka mata pertama kali hingga sekitar sembilan puluh detik kemudian sebenarnya ia masih dalam kondisi hypersuggestible, satu kondisi yang sangat sugestif. Dengan demikian apapun yang klien dengar, lihat, ucap, atau rasakan berlaku sebagai sugesti yang langsung masuk ke pikiran bawah sadarnya. Dan seringkali, karena ketidaktahuan terapis dan klien, mereka menganulir hasil terapi.
Salah satu hal yang paling sering menganulir hasil terapi yang secara tidak sadar dilakukan klien adalah mereka tidak yakin atau ragu telah berhasil dihipnosis atau masuk ke kondisi hipnosis. Biasanya saat buka mata klien ini akan berkata, “Lho, saya kok masih sadar ya? Berarti saya belum masuk kondisi hipnosis.”
Komentar lain yang biasa menandakan keraguan klien, “Saya ingat semua yang saya ucapkan. Tadi itu yang menjawab pikiran sadar saya ya? Soalnya saya masih sadar dan saya yang menjawab semua pertanyaan, bukan pikiran bawah sadar saya.”
Begitu klien mengatakan hal ini atau bahkan hanya mengucapkan di dalam hati keraguannya maka ia telah memberi sugesti kepada dirinya sendiri untuk menganulir semua hasil terapi yang telah dicapai.
Saya ingat di salah satu sesi live therapy yang saya lakukan di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH 100 jam). Usai live therapy saya biasanya berdiskusi dengan klien dan selalu memberi komentar positif karena bertujuan memberi tambahan sugesti. Saat itu ada beberapa peserta pelatihan yang berkomentar dan kesannya kurang mendukung, walau mereka sebenarnya tidak bermaksud demikian. Komentar mereka antara lain, “Anda tidak merasa pusing setelah menjalani sesi terapi ini?”, “Saya lihat wajah Anda agak pucat. Apakah Anda baik-baik saja?”, “Saya harap Anda benar-benar sembuh dan tidak kambuh lagi.”
Mendengar komentar ini, walau sebenarnya tujuannya baik, saya melarang mereka mengeluarkan komentar yang tidak mendukung. Beberapa saat kemudian, setelah memastikan dan yakin klien sudah sepenuhnya keluar dari kondisi trance, setelah klien meninggalkan ruang pelatihan, barulah saya menjelaskan mengapa saya melarang mereka berkomentar yaitu karena saat itu klien masih dalam kondisi hypersuggestible.
Sembilan puluh detik ini adalah waktu rata-rata. Dari pengalaman saya selama ini ada klien yang butuh waktu jauh lebih lama, bisa sampai sekitar tiga atau empat menit, untuk sepenuhnya keluar dari kondisi trance. Ada lagi yang pikirannya sudah kembali ke kesadaran normal namun tubuhnya masih tertinggal di bawah sana atau masih sangat rileks.
Terapis harus memastikan bahwa saat meninggalkan ruang terapi atau klinik klien telah kembali ke kondisi sadar normal, seperti sebelum ia menjalani sesi terapi. Akan sangat riskan bila klien pulang dan mengendarai sepeda motor atau mobil dalam kondisi yang masih agak trance.
Apakah ada cara agar klien bisa dengan cepat dan pasti keluar dari kondisi trance yang dalam?
Tentu ada. Teknik ini dinamakan instant emerging technique dan saya pelajari dari Tom Silver. Bila ada instant induction, yang bisa membawa klien masuk ke kondisi deep trance dengan sangat cepat, maka kebalikannya adalah instant emerging, yang mampu membawa klien keluar juga dengan sangat cepat. Biasanya hanya butuh waktu sekitar tiga atau empat detik saja.
Alasan saya mengajarkan teknik ini di kelas SECH adalah agar klien tidak bisa, baik secara sadar atau tidak sadar, menganulir hasil terapi karena dengan cepat melewati fase hypersuggestible dan kembali ke kesadaran normal. Ibarat mobil, kita, terapis berperan sebagai montir yang melakukan tune up atau overhaul mesin mobil. Setelah selesai ditangani tentu kita tidak ingin mesin diotak-atik oleh konsumen yang tidak mengerti mesin. Caranya adalah dengan menutup kap mesin dan menguncinya.
Teori yang berkembang mengenai sakit mental menyatakan bahwa sebagian besar sakit mental disebabkan oleh faktor genetik dan cacat biologis. Ada dua komponen utama yang menyebabkan seseorang bermasalah yaitu faktor biologis dan pengasuhan. Selama ini fokus lebih banyak diberikan untuk menemukan faktor biologis yang mengakibatkan sakit mental. Bremner (2002) menyatakan hal menarik yang sangat perlu disimak: Tiga puluh tahun sejak dimulainya revolusi biologis dalam psikiatri, sampai saat ini masih belum ditemukan gen skizofrenia atau mania.
Hasil penelitian mutakhir menunjukkan data dan temuan penting yang sangat perlu kita cermati dengan serius. Berbagai penelitian ini mengemukakan adanya keterhubungan yang erat dan signifikan antara trauma masa kecil, gangguan atau kerusakan pada wilayah otak tertentu, dan gangguan mental.
Di awal kehidupan otak manusia sangat sensitif dan mudah dipengaruhi oleh pengalaman baik yang positif (pengasuhan yang sehat) dan pengalaman negatif (kekerasan dan pengabaian). Trauma berulang pada anak berakibat sangat buruk terhadap kemampuan anak dalam berpikir, merasa, berelasi dan berfungsi baik di masa sekarang maupun di masa mendatang. Dari hasil penelitian diketahui bahwa semakin banyak trauma yang dialami anak semakin besar kemungkinan mereka mengalami sakit mental di kemudian hari.
Perkembangan dan pertumbuhan otak anak dipengaruhi oleh interaksi antara orangtua dan anak. Siegel (1999) mengatakan bahwa pikiran manusia berkembang melalui pola-pola dalam aliran energi dan informasi di dalam otak (anak) dan di antara otak (orangtua dan anak).
Schore (1994) menyatakan pentingnya relasi antara orangtua / pengasuh utama dan anak dalam konteks mengendalikan, menenangkan, dan memengaruhi secara positif kondisi emosi bayi/anak di masa kritis pertumbuhan mereka sampai saat anak mampu mengendalikan diri sendiri.
Masih menurut Schore bila relasi ini gagal, orangtua atau pengasuh tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, dalam konteks mendukung regulasi emosi anak, maka akan berakibat perkembangan otak dan psikis yang buruk dan menjadi sumber berbagai masalah gangguan mental di masa mendatang.
Sejak tahun 1980 hingga saat ini terdapat lebih dari tiga ratus studi klinis yang menunjukkan hubungan erat antara trauma masa kecil yang berulang dan penyakit mental yang muncul kemudian – seringkali puluhan tahun kemudian.
Berdasar hasil penelitian mendalam sejak tahun 1991 para peneliti telah menemukan hubungan antara trauma masa kecil dan kondisi otak abnormal. Trauma masa kecil menyebabkan kerusakan otak dan selanjutnya mengakibatkan sakit mental.
Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang sehat belajar menjadi tenang dan mencerap pola perilaku kondusif yang ditunjukkan oleh pengasuhnya. Situasi lingkungan yang mendukung ini sangat baik untuk perkembangan otak dan sistem saraf sehingga mampu mngatasi kondisi stres normal yang biasa dialami anak.
Saat anak bertemu dengan situasi yang menimbulkan stres, sistem saraf simpatiknya secara otomatis mengaktifkan respon lawan atau lari. Saat stres berhasil ditangani dengan baik, otak yang berkembang optimal akan mengembalikan anak ke kondisi tenang dan rileks.
Namun bila anak berulang kali mengalami kekerasan (abuse) baik secara fisik atau psikis, dan pengabaian (neglect), otak dan sistem sarafnya akan mengalami gangguan dan kerusakan hingga taraf tertentu. Akumulasi data dari penelitian terkini menunjukkan bahwa trauma berulang yang dialami bayi atau anak kecil mengakibatkan kerusakan pada pre-frontal cortex (bagian otak yang melakukan fungsi eksekutif seperti berpikir, fokus, menimbang, kendali perilaku dan menenangkan diri), corpus callosum (kumpulan serat penghubung kedua hemisfir otak), hippocampus (bagian otak yang menangani pembelajaran, memori, dan keseimbangan emosi), amygdala (bagianotak yang menangani pemrosesan dan keseimbangan emosi), cerebellar vermis (membantu menenangkan sistem limbik yang terlalu aktif), HPA axis (poros hypothalamus-pituitary-adrenal, yang merupakan sistem hormon utama tubuh), sistem serotonin/dopamine/GABA, dan sistem saraf simpatik.
Selain mengakibatkan gangguan dan kerusakan otak, trauma masa kecil yang berulang dapat mengganggu sistem hormon dan senyawa kimiawi otak (neurotransmitter). Hingga saat ini terdapat tujuh belas penelitian yang dilakukan pada lebih dari 1.375 anak yang menunjukkan kerusakan pada fungsi HPA axis mereka akibat trauma masa kecil.
Efek lain yang diakibatkan oleh trauma masa kecil adalah berkurangnya fungsi saraf bertahun kemudian, berkurangnya kecakapan verbal dan performa, dan juga IQ, berkurangnya perkembangan mental (personal, sosial, dan motor), EEG abnormal, kejang, depresi, dan penyalahgunaan zat (substance abuse).
Trauma yang biasa dialami anak di masa kecil dan berlanjut hingga masa remaja yang berakibat sangat buruk terhadap masa depannya, antara lain:
Saat anak mengalami trauma dan kondisi emosi negatif dan tidak ada orangtua atau pengasuh yang mendukung dan menenangkannya maka kondisi ini memengaruhi bagaimana jaringan di otaknya terbentuk.
Anak ADD/ADHD tidak memiliki kontrol diri yang baik karena wilayah otak sebelah kiri depan (prefrontal cortex), yang berfungsi sebagai "rem" dan pengendali tidak bekerja (optimal) karena trauma.
Depresi dan Atrofi Otak
Para peneliti telah menemukan ketidaknormalan pada struktur, senyawa kimiawi, dan fungsi otak para penderita beberapa jenis gangguan mental seperti depresi, adiksi alkohol, dan skizofrenia. Dengan menggunakan teknologi terkini seperti MRI (magnetic resonance imaging), PET (positron emission tomography), dan spectroscopy para peneliti independen mengamati beragam kelompok orang yang mengalami depresi dan menemukan atrofi signifikan pada wilayah otak tertentu.
Wilayah otak yang mengalami atrofi (berkurang dalam ukuran atau volume) meliputi: frontal lobes, orbital frontal lobes, subgenual frontal lobes, caudate nucleus, hippocampus, dan amygdala.
Wilayah-wilayah otak yang dijelaskan di atas semuanya saling terhubung dan terlibat dalam respon stres Stres kronis mengakibatkan level cortisol meningkat signifikan dan mengakibatkan kerusakan pada hippocampus, memori verbal, dan kemampuan berpikir.
Informasi dan temuan ini menunjukkan bahwa atrofi pada wilayah otak yang spesifik secara signifikan berhubungan dengan atau mungkin bahkan sebagai penyebab depresi.
Dalam beberapa penelitian secara khusus dilakukan penelusuran dengan meneliti riwayat hidup subjek penelitian dan ditemukan adanya hubungan yang kuat antara trauma masa kecil dan atrofi otak dan depresi.
Di salah satu kesempatan minggu lalu saya jumpa dengan sahabat lama yang adalah pakar di bidang properti yang kini juga mendalami dunia keuangan.
Sahabat ini sudah kenyang mengikuti berbagai pelatihan baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Setelah cerita banyak hal kami akhirnya diskusi tentang dunia pelatihan.
Diskusi ini berawal dari sahabat saya menjelaskan mengenai kondisi kehidupannya saat ini. Sekitar tujuh tahun lalu ia mengalami kejatuhan di bidang finansial yang sangat parah.
Saat itu posisi sahabat saya sudah sangat-sangat bagus. Ia dikenal sebagai agen properti yang sangat berhasil. Suatu hari, ia diajak kerjasama oleh beberapa rekannya untuk mendirikan perusahaan properti.
Tawaran kerjasama seperti ini sudah sangat sering ia dapatkan, mengingat nama besarnya di dunia properti, namun selalu ia tolak. Namun entah mengapa kali ini ia menerimanya. Dan dari sinilah semua bencana ini berawal.
Ternyata rekan-rekan kerjanya bukan orang properti dan tidak sepadan dengan pengetahuan dan kemampuannya. Singkat cerita, karena salah dalam kalkulasi bisnis akhirnya perusahaan ini bangkrut dan menyisakan utang miliaran rupiah.
Saat saya tanya apa yang menjadi alasan ia menerima tawaran kerjasama saat itu, dengan tersenyum bijak sahabat saya menjawab, "Saya sudah mengikuti sangat banyak pelatihan. Bisa dibilang semua pelatihan ini mengajarkan cara mengatasi rasa takut. Takut sukses, takut gagal, takut ditolak orang, takut tidak mampu, takut akan rasa takut, dan berbagai takut lainnya. Ada banyak cara yang digunakan untuk mengatasi rasa takut. Salah satunya adalah jalan di atas api. Ada lagi yang menggunakan jalan di atas pecahan kaca. Cara-cara ini memang cukup efektif. Namun satu hal yang belum pernah saya temui di berbagai pelatihan yang telah saya ikuti yaitu cara atau teknik mengatasi keserakahan."
"Lalu apa hubungan hal ini dengan Anda menerima tawaran kerjasama dulu," tanya saya.
"Saya memang telah berhasil mengatasi rasa takut. Namun saat itu saya belum belajar mengatasi keserakahan saya. Jujur saya akui bahwa saya menerima tawaran mereka karena saya serakah. Saya hanya melihat hitungan di atas kertas. Karena serakah saya menjadi mata gelap. Yang ada di pikiran saya hanya untung dan untung. Pak Adi perlu membuat pelatihan khusus untuk mengatasi keserakahan. Ini ada pasarnya lho. Saya bisa jadi marketingnya kalau mau," jawabnya sambil tertawa.
Sahabat saya saat ini sudah pulih kembali kondisi finansialnya. Ia memetik hikmah luar biasa dari pengalaman jatuh bangun yang ia alami.
Benar seperti yang ia katakan. Hampir semua pelatihan untuk meraih sukses menitikberatkan pada mengatasi rasa takut. Dari pengalaman saya selama ini mengatasi rasa takut saja belum lengkap. Kita perlu belajar mengatasi rasa serakah.
Mengapa perlu mengatasi keserakahan?
Keberanian yang tidak dilengkapi dengan kebijaksanaan dalam bentuk pengendalian diri tentu akan sangat berbahaya. Kita perlu bijak untuk bisa mengendalikan keserakahan yang merupakan salah satu emosi dasar manusia, selain marah dan takut.
Serakah artinya selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki, loba, tamak, rakus. Serakah mengandung makna seseorang tidak tahu, tidak mengerti, atau tidak menentukan kondisi atau syarat cukup. Saat pikiran dikuasai keserakahan maka logika berpikir, kewaspadaan, dan ketajaman analisis menjadi tumpul. Yang tampak di pikiran dan dirasakan di hati hanya untung, untung, dan untung. Tidak lagi ada kemungkinan rugi. Kondisi ini tentu sangat riskan.
Saya jelaskan kepadanya bahwa saya sangat menitikberatkan perasaan cukup dalam mengajar para peserta pelatihan QLT saat menentukan goal. Ini aspek sangat penting yang harus sungguh dimengerti oleh setiap peserta.
Saya sempat sekilas menjelaskan apa yang diajarkan di QLT dan bagaimana saya membimbing para peserta untuk bisa mengatasi keserakahan mereka. Tentu dibutuhkan pemahaman akan cara kerja pikiran, emosi, dan juga teknik yang tepat.
Sahabat saya ini setuju dengan semua paparan saya. Ia juga menceritakan bahwa dengan bekal hikmah dari pengalaman pahit sebelumnya saat ini ia sangat berhati-hati dalam menerima tawaran kerjasama dari siapapun. Ia sering mendapat tawaran kerjasama di bidang investasi emas, properti, batu bara, kayu gaharu, dan beragam tawaran lainnya. Kehati-hatian ini, karena ia sudah mampu mengatasi keserakahannya sudah sangat banyak menyelamatkan dirinya. Ia tidak lagi mudah dipengaruhi dengan iming-iming keuntungan menggiurkan.
“Logikanya sederhana. Bila bidang usaha atau apapun itu sungguh sangat menguntungkan, seperti yang diceritakan orang yang menawarkan kerja sama, maka ia tidak akan mencari saya. Kalau benar-benar menguntungkan pasti akan ia kerjakan sendiri. Adalah sifat manusia pada umumnya untuk tidak bersedia berbagi sesuatu yang sangat menguntungkan dirinya. Jadi, bila ada untung besar tapi bersedia dibagi dengan saya maka saya perlu ekstra hati-hati dan cermat dalan memelajari dan mencermati proposalnya,” jelas sahabat saya.
Sahabat saya juga mengatakan bahwa salah satu pelajaran paling mahal yang pernah ia "bayar" dalam hidupnya adalah pelajaran tentang keserakahan. Ia harus "membayar" miliaran rupiah untuk mengerti bahwa sangat penting mengendalikan diri dan menguasai keserakahan. Dan yang lebih disayangkan lagi, menurut sahabat ini, tidak ada orang yang mengajarinya mengenai hal ini. Ia harus belajar sendiri di Universitas Kehidupan dengan harga yang sangat mahal.
(Disklaimer: Informasi yang disampaikan di artikel ini hanya bersifat wacana dan tidak untuk dipraktikkan oleh individu yang tidak memiliki latar belakang pelatihan, pendidikan, dan sertifikasi yang memadai. Penulis tidak bertanggung-jawab atas akibat negatif apapun yang timbul dari penerapan teknik yang dijelaskan di artikel ini.)
Pengalaman klinis saya dalam membantu klien mengatasi berbagai masalah kehidupan mengantar saya pada satu kesimpulan berikut: Orang (dianggap) bermasalah bila perilaku, sikap, atau tindakannya dianggap, dirasa, dinilai, diyakini tidak sejalan dengan budaya, norma, nilai, kebiasaan, atau etika yang berlaku di lingkungan atau masyarakat (tertentu).
Dari sini dapat disimpulkan belum tentu klien bermasalah. Bisa terjadi justru yang bermasalah adalah lingkungannya. Jadi, sebagai terapis saya tidak serta merta menuruti keinginan klien, walau saya berpegang pada prinsip client-centered therapy.
Bagi mereka yang benar bermasalah maka biasanya masalah muncul karena:
Proses Terciptanya Simtom
Individu mengalami masalah dalam bentuk simtom yang ia alami atau rasakan secara mental, emosi, dan atau fisik. Simtom tidak muncul tiba-tiba. Ia muncul melalui serangkaian proses yang dimulai dari dari satu kejadian awal (ISE: initial sensitizing event) berisi muatan emosi dengan intensitas tertentu.
Selanjutnya, dalam perjalanan hidupnya, individu mengalami lagi satu atau beberapa kejadian atau pengalaman lanjutan (SSE: subsequent sensitizing event) dengan nuansa emosi yang sama atau mirip dengan telah ia alami sebelumnya. Emosi yang berasal dari satu atau beberapa kejadian ini memperkuat emosi dari kejadian awal dan membangun momentum yang semakin lama semakin kuat hingga akhirnya pada satu kejadian berikutnya (SPE: symptom producing event) momentum ini menghasilkan simtom. Simtom bisa menjadi semakin parah oleh satu atau beberapa kejadian lanjutan (SIE: symptom intensifying event).
Label Yang Merusak Diri
Misal klien mengalami kejadian awal di usia 6 tahun. Ia mengalami beberapa kejadian lanjutan dan pada usia tertentu muncul simtom, klien mengalami masalah.
Dengan kondisi ini klien, baik melalui upaya sendiri atau dibawa oleh orangtuanya, mencari bantuan untuk mengatasi masalahnya. Biasanya profesional yang dimintai bantuan akan melakukan wawancara mendalam, pengamatan, dan serangkaian tes untuk menentukan kondisi klien masuk dalam kategori gangguan tertentu (disorder). (Untuk lebih jelas bisa membaca buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association.)
Yang terjadi pada klien, dengan pemberian label tertentu, sebenarnya adalah potret atau gambar kondisinya saat tes dilakukan. Sayangnya label ini selanjutnya melekat kuat di pikiran bawah sadar klien dan menjadi satu program pikiran yang terus mengendalikan hidupnya.
Simtom muncul karena adanya trauma di masa lalu. Hasil pengamatan, wawancara, dan tes yang dilakukan sering tidak bisa mengungkap secara gamblang riwayat kejadian yang pernah dialami klien di masa lalu. Dengan demikian, proses penyembuhan menjadi lambat dan sulit.
Cara Mengatasi Masalah
Ada dua pendekatan yang bisa digunakan dalam mengatasi masalah. Pertama, tanpa perlu memroses kejadian awal (akar masalah). Kedua, dengan mencari dan menemukan akar masalahnya.
Ada banyak teknik yang bisa digunakan untuk mencari dan menemukan akar masalah. Beragam teknik ini bila dicermati masuk dalam salah satu dari tiga kategori berikut:
Masing-masing kelompok teknik di atas memiliki kelebihan dan keterbatasan. Terapis perlu cermat untuk mampu menentukan teknik yang sesuai situasi dan kondisi klien agar dicapai hasil dan efek terapeutik yang optimal.
Dalam proses terapi menggunakan teknik regresi kami menemukan hal menarik yang patut menjadi bahan pemikiran serius dalam upaya membantu klien mengatasi masalah, khususnya masalah yang kronis dan berat. Namun ini masih dalam tahap eksperimen klinis dan hasilnya belum bisa saya publikaskan kepada publik.
Teknik regresi, pada intinya, adalah membawa pikiran klien mundur, menyusuri memori masa lalu yang tersusun dalam garis waktu yang spesifik. Tentu ada syarat yang harus dipenuhi untuk bisa melakukan hal ini. Salah satunya adalah kedalaman relaksasi pikiran harus di kondisi profound somnambulism.
Saat diregresi klien bisa mengalami hipermnesia, mengingat kejadian masa lalu dengan sangat jelas dan detil, bahkan kejadian yang tidak bisa ia ingat dalam kondisi sadar normal, atau revivifikasi, mengalami kembali kejadian di masa lalu dengan semua indera dan dengan segala emosi yang muncul atau berhubungan dengan kejadian ini.
Hipermensia dan revivifikasi yang terjadi atau dialami klien dalam kondisi profound somnambulism memiliki kualitas sensori dan efek afeksi yang sangat berbeda dibandingkan dengan bila terjadi dalam kondisi light atau medium trance.
Secara teoritis dan telah divalidasi melalui serangkaian uji klinis diketahui bahwa bila seseorang diregresi ke usia kronologis tertentu maka ia akan berperilaku sama seperti ia saat itu. Misal klien berusia 45 tahun dan diregresi ke usia 6 tahun. Saat di usia 6 tahun klien akan berbicara, berpikir, dan berperilaku sama seperti saat ia berusia 6 tahun. Bahkan kosakata, bahasa tubuh, dan bentuk tulisan tangannya juga berubah menjadi seperti saat ia berusia 6 tahun. Bila klien diregresi ke usia 1 tahun maka ia akan menunjukkan refleks Babinski.
Pemahaman ini bila diaplikasikan ke konteks terapi tentu sangat menarik. Dari uraian di atas, proses terciptanya simtom, dimisalkan klien mengalami ISE di usia 6 tahun. Dalam perjalanan hidupnya ia mengalami beberapa SSE sampai di usia 23 tahun muncul masalah yang sangat mengganggu hidupnya, misalnya kebiasaan mengulang tindakan/perilaku tertentu (cuci tangan berulang kali), atau pikiran tertentu yang terus menerus muncul dan tidak bisa dihentikan.
Bila klien diregresi ke usia 22 tahun maka logikanya, bila klien mengalami revivifikasi penuh, ia saat ini belum “sakit” atau bermasalah. Dan bila klien diberi sugesti pascahipnosis untuk tetap berada di usia kronologis ini maka saat keluar dari trance ia sehat sepenuhnya. Klien tetap sehat karena ia baru berusia 22 tahun dan masalah baru muncul di tahun berikutnya, di usia 23 tahun.
Kendalanya adalah saat keluar dari trance klien berusia 22 tahun, bukan 45 tahun. Semua memori atau kejadian setelah usia 22 tahun (hari, bulan, dan tahun ia tergresi) sampai usia 45 tahun, saat ia duduk di kursi terapi, tidak ada karena belum terjadi.
Berikut adalah eksperimen yang dilakukan oleh John G. Watkins* kepada salah satu kliennya.
John berusia 30an dan seorang penderita paranoid skizofrenia. Ia pernah masuk rumah sakit selama delapan tahun karena psikosis kronis dan mengalami halusinasi mengenai adanya sekelompok Bagian Diri yang jahat dan terus menerus menghukum dirinya. Selama enam bulan John Watkins menangani dan menjalin relasi hipnotik dengan klien ini.
Setelah berhasil membangun relasi terapeutik yang baik Watkins akhirnya berhasil menghipnosis John ke kondisi hipnosis yang dalam, melalui proses induksi yang cukup sulit, dan meregresi kliennya mundur ke usia sembilan belas tahun, masa sebelum ia menjadi psikotik dan masuk rumah sakit, dan memberikan sugesti pascahipnosis. Setelah keluar dari kondisi hipnosis John sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda psikosis. Semua delusi dan halusinasi yang sebelumnya ia alami hilang tak berbekas. John tampak sepenuhnya normal.
Merasa penasaran dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat Watkins mengundang John untuk makan siang bersama seorang kolega Watkins. Kolega Watkins ini sama sekali tidak mengenal John. Selama masa makan siang, kolega Watkins, seorang psikolog yang sangat berpengalaman, dan John berdiskusi, bercerita mengenai masa kecil mereka, dan pandangan mereka mengenai komunitas tertentu. Psikolog ini sama sekali tidak curiga atau tahu bila sedang berbicara dengan seorang klien yang mengalami paranoid skizofrenia kronis.
Sore harinya Watkins kembali menghipnosis John dan menghapus sugesti pascahipnosis yang ditanamkan di pikiran bawah sadar John di sesi sebelumnya. John kembali ke kondisi sebelumnya yaitu paranoid skizofrenia.
Beberapa hari kemudian Watkins kembali mencoba menghipnosis John namun tidak berhasil karena ia menjadi sangat resisten dan tidak bisa atau bersedia masuk ke kondisi hipnosis. Tampaknya struktur paranoid dalam diri klien memiliki kehidupannya sendiri dan tidak bersedia atau berkenan bila dihilangkan secara permanen.
Menurut Bower (1961) penderita skizofrenia yang berhasil dihipnosis oleh terapis yang ia tidak percaya sepenuhnya akan sangat sulit dihipnosis oleh terapis yang sama untuk kali kedua. Mungkin, di level pikiran bawa sadar, John terlalu takut bila harus hidup dengan realitas sebelum ia “sakit”.
Sayangnya beberapa minggu kemudian Watkins dipindahtugaskan ke rumah sakit lain sehingga tidak lagi bisa bertemu Waktins sering bertanya apa yang akan terjadi bila ia tidak mencabut sugesti pascahipnosis yang diberikan kepada John. Berapa lama klien akan terus bertahan, setelah ia diregresi, di waktu spesifik itu? Berapa lama kondisi normal ini bisa bertahan tanpa adanya relasi hipnotik berkelanjutan dengan terapisnya?
Saat ini, kami di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, walau telah berhasil menerapkan pengetahuan mengenai time track dan memory dalam membantu klien dengan masalah yang cukup serius, kami belum berani mempublikasi protokol yang kami gunakan.
Bermain dengan time track dan memory adalah hal yang sangat riskan bila tidak dilakukan oleh terapis yang benar-benar cakap dan kompeten karena menyangkut pikiran dan hidup klien.
Hingga saat ini kami terus mengumpulkan informasi yang lebih lengkap dan akurat mengenai eksperimen yang pernah dilakukan dengan time track, terutama di berbagai jurnal hipnoterapi, untuk dapat membangun protokol terapi yang lebih efektif.
*John G. Watkins (1913-2012) adalah profesor psikologi, pakar hipnoterapi klinis, dan direktur dari Pelatihan Klinis di University of Montana dari tahun 1964 sampai 1984. Watkins menulis lebih dari 190 artikel akademik dan berbagai buku, di antaranya General Psychology (1960) dan Ego States: Theory and Therapy (1987)