The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Ada rekan yang bertanya pada saya, "Pak Adi, saya ada baca tulisan seseorang yang mengatakan bahwa hipnosis/hipnoterapi ini adalah semacam sulap tanpa trik alias bohong, bukan science tapi science fiction, dan banyak pernyataan lain yang menjelekkan hipnosis/hipnoterapi. Bagaimana tanggapan Bapak?"
"Ah.. biasa aja," jawab saya.
"Lho, bapak tidak marah atau tersinggung?" tanya rekan ini lagi.
"Nggak," jawab saya.
"Pernyataannya juga menyebut nama bapak dan beberapa nama trainer dan praktisi hipnosis/hipnoterapi di Indonesia. Kalau bapak tidak marah atau tersinggung, bisa jelaskan alasannya?" kejar rekan ini dengan penasaran.
Pemahaman masyarakat mengenai hipnosis/hipnoterapi tentunya sangat beragam bergantung dari data atau informasi yang ia miliki.
Sudah tentu kita perlu memaklumi bila ada orang yang bersikeras mengatakan hipnosis/hipnoterapi ini bohong, tidak benar, hanya tipuan belaka, tidak ilmiah, dsb. Semua ini menjelaskan pemahaman orang yang membuat pernyataan.
Saya ingat dulu waktu di awal karir saya sebagai hipnoterapis dan trainer, saya banyak mendapat pertanyaan, "Apa hipnosis/hipnoterapi menggunakan kuasa gelap atau magic?"
Saat ini sudah sangat jarang saya jumpai masyarakat yang mengajukan pertanyaan ini. Setiap hari saya menangani klien dengan beragam masalah. Dan klien-klien ini sudah punya pemahaman yang memadai mengenai hipnosis/hipnoterapi.
Ini semua berkat edukasi yang terus dilakukan oleh para trainer, praktisi, dan pemerhati hipnosis/hipnoterapi baik melalui pelatihan, artikel di blog/web, siaran radio atau televisi, buku, dll.
Memahami hipnosis/hipnoterapi secara benar tentu perlu waktu. Sumber informasi yang dijadikan acuan juga harus benar-benar valid. Banyak yang "tahu" hipnosis/hipnoterapi hanya melalui televisi yang menunjukkan stage hypnosis atau hipnosis untuk hiburan. Dari sini, orang yang salah belajar ini, melakukan generalisasi dan haqul yaqin itulah hipnosis/hipnoterapi.
Ada lagi yang "belajar" hanya dari membaca majalah atau koran, atau mendengar dari rekannya yang juga tidak mengerti hipnosis/hipnoterapi.
Ada lagi yang belajar dari buku-buku. Dan yang "keren" adalah yang belajar dari Google. Saking hebatnya "menguasai" hipnosis/hipnoterapi melalui Google, ia mendapat gelar khusus, yang membuat iri para trainer hipnoterapi top di Indonesia karena tidak punya gelar ini, yaitu G.CHt alias Google Certified Hypnotherapist... :)).
Sumber informasi paling akurat adalah jurnal yang berisi hasil riset di bidang hipnosis/hipnoterapi. Beberapa jurnal yang dijadikan acuan belajar antara lain:
Selain jurnal, kita juga bisa menggunakan text book terbitan universitas ternama sebagai acuan kita.
Hipnosis/hipnoterapi telah diterima dan diakui oleh British Medical Association thn 1955, American Medical Association thn 1958, dan oleh American Psychological Association (APA) di thn 1960. Hipnosis untuk aplikasi klinis adalah divisi ke 30, dari total 56 divisi yang ada di APA saat ini.
Jadi, daripada berdebat dengan orang yang belum mengerti, menghabiskan waktu dan energi, saya lebih memilih fokus menulis artikel, melakukan riset, dan membantu klien mengatasi masalah mereka.
Saya juga ingat beberapa tahun lalu seorang sahabat karib saya menelpon saya dan berkata, "Pak Adi, Anda jangan sembarangan mengajarkan ilmu sesat. Ini bertentangan dengan agama. Segeralah kembali ke jalan yang benar."
"Lho, saya ini sudah kembali ke jalan yang benar. Itu sebabnya saya menulis buku hipnosis, hipnoterapi, dan memberi pelatihan hipnoterapi. Dulu saya tersesat karena berpikir dan yakin hipnosis/hinoterapi adalah ilmu sesat," jawab saya.
Sahabat ini rupanya mendengar saya mempraktikkan hipnoterapi dan juga menulis buku. Jadi ia bermaksud baik ingin "menyelamatkan" saya agar bisa kembali ke jalan yang benar.
"Saya ini praktisi dan juga penulis buku. Tentu saya sangat menguasai materi ini. Bila ingin diskusi dengan saya mengenai topik hipnosis/hipnoterapi, minimal Anda punya pengetahuan yang cukup. Apakah Anda sudah baca buku saya?" tanya saya.
"Belum," jawab sahabat ini.
Saya katakan, "Ini saya beri 20 judul buku terbitan luar negeri dan juga jurnal hipnosis/hipnoterapi. Anda beli dan baca semuanya. Pahami dengan benar isinya, baru setelah itu kita jumpa untuk diskusi."
Sekarang sahabat ini berhasil saya sesatkan ke jalan yang benar. Ia kini adalah penggemar hipnosis/hipnoterapi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia pikiran.
Beberapa hari lalu, rekan sejawat saya Ibu Ratih Mestikawati CCH., mengunjungi AWG Institute. Beliau tinggal di Malang, kebetulan ada acara di Surabaya dan menyempatkan diri bertemu saya untuk mendiskusikan beberapa hal.
Salah satu topik yang disampaikan pada saya adalah mengenai pengalaman Beliau menangani beberapa kasus klien anak. Saya menyimak dengan penuh antusias penjelasan Ibu Ratih karena memang sangat menarik. Atas ijin Beliau saya meringkas diskusi kami dan menuliskannya menjadi artikel ini agar dapat menjadi pembelajaran bersama, khususnya para orangtua.
Kasus pertama adalah anak laki usia 4 tahun, sebut saja sebagai Didik, yang kalau makan sukanya mengemut makanan. Didik makannya lama sekali karena makanan tidak dikunyah tapi disimpan di dalam mulut untuk waktu yang lama. Bila ini berlangsung terus menerus pasti akan memengaruhi kesehatan giginya.
Semula kedua orangtua Didik ingin terapis langsung menerapi si anak. Permintaan ini tidak dikabulkan karena dari pengalaman selama ini masalah anak selalu bersumber pada orangtua atau pengasuh utama.
Kedua orangtua diminta hadir jumpa terapis untuk sesi wawancara dan konseling. Dalam sesi ini terapis menggali informasi mengenai pola asuh di rumah, siapa pengasuh utama si anak, interaksi anak dan orangtua, serta komunikasi. Dari sini akhirnya diketahui penyebab Didik suka mengemut makanan.
Si ayah kerja di luar kota dan sering menelpon ke rumah. Setiap kali menelpon ke rumah selalu mengajak bicara si anak. Ayah selalu berpesan kepada Didik, “Mas… kalau makan jangan diemut ya.” Pesan ini yang selalu disampaikan ayah kepada Didik.
Selain ayah, ibu setiap kali menyuap Didik selalu didahului dengan pesan, “Mas… kalau makan jangan diemut.” Ini juga terjadi berkali-kali.
Yang terjadi adalah Didik kalau makan sukanya diemut, lama sekali. Mengetahui hal ini terapis meminta kedua orangtua Didik mengubah semantik yang digunakan saat berkomunikasi dengan anaknya.
Kebiasaan mengemut makanan yang Didik lakukan terjadi karena dua hal. Pertama, kedua orangtuanya, sadar atau tidak, telah memberi sugesti kepada Didik untuk mengemut makanan.
Lha, kok bisa?
Anak usia 4 tahun dominan beroperasi di level pikiran bawah sadar. Dalam dunia hipnoterapi dikenal istilah pharsing yaitu kecenderungan pikiran bawah sadar untuk menolak kata yang bersifat negasi seperti “tidak” atau “jangan”. Jadi, saat Didik mendengar kata “jangan diemut” maka pikiran bawah sadarnya menegasi kata “jangan” sehingga yang diterima dan dijalankan hanyalah “diemut”. Dan memang inilah yang terjadi.
Kedua, Didik sama sekali tidak punya data bahwa kalau makan perlu dikunyah lalu ditelan. Terapis menyarankan ibu Didik mensugestikan, “Mas… kalau makan… setelah makanan masuk ke dalam mulut, makanannya dikunyah. Kalau sudah halus.. makanannya ditelan masuk ke dalam perut.”
Selang beberapa hari kemudian ibu Didik menghubungi terapis dan mengatakan bahwa Didik sudah berubah, kalau makan tidak ladi diemut, makanan langsung dikunyah dan ditelan seperti yang diinginkan orangtua.
Kasus kedua mengenai anak laki usia 3 tahun, Aan, yang pipis sembarangan. Saat ingin pipis, Aan langsung saja melakukannya tanpa peduli tempat. Aan bisa pipis di teras, di tembok, di tengah ruangan, atau di mana saja. Terapis bertanya pada ayah Aan, “Pak, kalau Aan kencing sembarangan, apa yang bapak katakan padanya?”
“Jangan pipis di situ,” jawab si ayah.
“Apakah Aan nurut sama perintah bapak?” kejar terapis.
“Ya, Aan nurut,” jawab si ayah lagi.
“Lain kali, kalau Aan pipis sembarangan lagi, apa yang bapak katakan?” tanya terapis.
“Jangan pipis di situ,” jawab si ayah.
Di sini tampak bahwa si ayah hanya bisa melarang tapi tidak pernah mengajari anaknya secara benar. Saat dijelaskan mengenai hal ini, si ayah berkata, “Lha, masa begini saja tidak tahu. Kalau pipis ya ke kamar kecil.”
Lho, ini anak kecil 3 tahun tentu tidak punya pengetahuan bahwa pipis tidak boleh sembarangan. Terapis menjelaskan mengenai pentingnya orangtua tidak hanya melarang tapi juga memberi solusi. Bila anak selalu dilarang pipis di teras maka ia akan pindah ke tempat lain, misalnya kamar. Kalau dilarang pipis di kamar, anak pindah ke pagar. Kalau dilarang pipis di pagar maka anak akan pindah ke tembok.
Yang benar adalah orangtua memberi arahan dan bimbingan, “Nak, jangan pipis sembarangan. Kalau pipis harus di dalam kamar kecil. Sini papa antar ya.”
Kasus ketiga mengenai seorang ibu yang mengeluh ketiga anaknya, SD kelas 6,4, dan 3, yang sering terlambat bangun (bangun siang), kamar berantakan tidak pernah dirapikan, buku sekolah sering ketinggalan, tidak belajar dan PR sering tidak dikerjakan.
Seperti biasa, untuk kasus anak, orangtua diminta datang jumpa terapis. Dari sesi wawancara diketahui bahwa di rumah tidak ada pembantu dan si ibu adalah pengasuh utama ketiga anaknya.
Kali ini terapis meminta si ibu pulang dan melakukan satu tugas khusus. Apa itu? Si ibu harus mencatat apa saja yang ia katakan pada anak-anaknya mulai pagi hari sampai malam saat menjelang tidur.
Beberapa hari kemudian si ibu datang lagi menghadap terapis dan menyerahkan tugasnya. Saat membaca apa yang ia tulis, terapis tersenyum lebar. Apa pasal?
Ternyata si ibu menulis “Kalian ini memang suka telatan”, “Bangun jangan siang-siang”, “Kamar kok selalu berantakan, “ Buku mesti ketinggalan”, “Mesti sukanya nonton tv”, “Tidak pernah belajar”, “PR tidak dibuat”.
Terapis mengajari si ibu untuk mengubah kata-kata yang digunakan dalam komunikasi dengan anak. Si ibu diminta mengubah semua kalimat negatif ini menjadi kalimat positif. Katakan apa yang Anda inginkan terjadi, bukan yang tidak anda inginkan.
Misalnya “Bangun jangan siang-siang” diganti dengan “Bangun pagi jam 06.00”. Kalimat “Kamar kok selalu berantakan” diganti menjadi “Rapikan kamar kalian”. “Buku mesti ketinggalan” menjadi “Ingat bawa buku”. “Tidak pernah belajar” diganti menjadi “Suka belajar”, “PR tidak dibuat” menjadi “Suka buat PR”.
Hanya dalam waktu empat hari si ibu menghubungi terapis dan mengabarkan bahwa anak-anaknya berubah total. Namun ia mengeluh bahwa sulit untuk bisa terus menggunakan kalimat positif. Ia ingin kembali ke kebiasaan lamanya.
Terapis mengatakan bahwa ini adalah pilihannya. Kalau kembali menggunakan kalimat negatif maka anak-anaknya akan kembali seperti dulu.
Kasus keempat mengenai seorang ibu yang mengeluh anaknya, Budi, tidak berani masuk sendiri ke dalam kelas. Anak ibu ini baru masuk TK. Setiap hari Budi minta diantar ibunya. Saat sudah di depan kelas Budi menarik-narik baju ibunya dan minta ditemani.
Terapis bertanya, “Kalau Budi menarik baju ibu dan minta ditemani di dalam kelas, apa yang ibu katakan?”
Saya bilang, “Aduh Bud… kamu kok penakut sih. Nempel terus sama mama kayak perangko.”
Sama seperti kasus anak pipis sembarangan di atas. Orangtua seringkali berpikir anak harusnya mengerti kalau masuk kelas ya masuk sendiri, tidak perlu ditemani.
Hanya dalam waktu tiga hari masalah Budi dengan mudah diselesaikan. Terapis meminta si ibu berhenti berkata “Aduh Bud… kamu kok penakut sih. Nempel terus sama mama kayak perangko” dan menggantikannya dengan “Budi anak pintar dan berani. Sana masuk ke dalam kelas sendirian dan duduk seperti teman-teman lainnya ya.”
Pembaca, contoh kasus di atas menunjukkan betapa pentingnya semantik yang digunakan orangtua dalam berkomunikasi dengan anak. Semantik yang kita gunakan berlaku sebagai sugesti bagi anak. Saat masih kecil faktor kritis pikiran sadar masih sangat lemah atau baru terbentuk. Dengan demikian, apapun yang kita katakan pada anak, tidak dapat disaring, dan pasti langsung masuk ke pikiran bawah sadarnya, serta dilaksanakan dengan patuh.
Jadi, cerdas dan bijaklah dalam memilih kata agar anak menuruti apa yang kita ingin ia turuti, bukan apa yang kita tidak ingin ia turuti.
Ada calon peserta kelas hipnoterapi (SECH) yang bertanya, "Pak Adi, saya lihat di materi pelatihan yang Bapak ajarkan di kelas SECH tidak ada materi Ericksonian Hypnosis. Ini memang tidak ada di kelas 100 jam ya? Kalau di kelas advanced apa diajarkan?"
"Saya tidak mengajarkan Ericksonian Hypnosis baik di kelas 100 jam dan di kelas SECH Advanced," jawab saya.
"Apakah Pak Adi menguasai Ericksonian Hypnosis?," tanyanya lagi.
Saya sudah beberapa kali mendapat pertanyaan ini. Secara formal, saya belum pernah belajar Ericksonian Hypnosis baik di Milton H. Erickson Foundation atau dengan salah satu muridnya seperti Stephen Gilligan, Ernest Rossi, Bill O'Hanlon, atau yang lain.
Walau demikian saya sangat tertarik memelajari dan mendalami teknik para pakar hipnoterapi, siapa saja, yang telah terbukti secara klinis dan empiris mampu membantu klien mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi dan perilaku. Saya tidak fanatik pada satu atau dua pakar dan membuka diri untuk belajar teknik siapa saja. Syaratnya hanya satu, teknik ini harus telah terbukti secara klinis efektif dan efisien.
Saya punya pemikiran dan strategi yang agak berbeda saat mendalami teknik Milton Erickson. Saya tidak bisa hanya sekedar belajar tekniknya. Sebagai orang yang sangat logis dan kritis saya perlu memahami secara mendalam dasar teori dan pemikiran di balik setiap teknik yang digunakan oleh Milton Erickson. Dan satu-satunya cara adalah dengan membaca sebanyak mungkin artikel atau buku yang Beliau tulis.
Saya membeli semua artikel/paper yang ditulis oleh Milton Erickson, yang bisa saya dapatkan, baik yang diterbitkan (published) dalam bentuk buku/jurnal maupun yang tidak diterbitkan (unpublished) dan juga beberapa videonya di Milton H. Erickson Foundation dan beberapa toko buku di Amerika. Saya dapatkan dalam dua format, buku dan digital. Total ada sekitar 6.000 halaman. Dari sini barulah saya bisa lebih memahami pemikiran Milton Erickson.
Format digital menyediakan fasilitas “search” sehingga hanya dengan mengetikkan satu kata atau kalimat maka program ini akan mencari di semua artikel yang ada yang mengandung kata yang saya ketik. Dengan demikian saya tidak perlu susah payah membaca semua artikel untuk menemukan hal yang ingin saya baca atau ketahui.
Saya juga membaca berbagai buku yang ditulis oleh para murid Erickson untuk bisa mendapat pemahaman lebih mendalam aplikasi dan varian teknik yang mereka gunakan di ruang terapi, yang berasal dari Erickson.
Pemahaman dan pengetahuan yang saya dapatkan dari berbagai sumber ini, mengenai pemikiran dan teknik Erickson, sangat memperkaya wawasan dan pengetahuan saya, dan saya integrasikan ke dalam teori dan protokol terapi yang saya kembangkan.
Satu contoh tentang induksi. Erickson sering menangani klien yang sulit, klien yang tidak bersedia dihipnosis, atau secara pikiran bawah sadar menunjukkan kesediaan untuk dihipnosis namun pikiran sadar menolak atau skeptis. Induksi yang Erickson gunakan memang sangat dahsyat. Lama waktu yang digunakan juga berbeda. Ada yang 40 menit, dan bahkan ada yang sampai 4 jam.
Di sisi lain, saat saya mendalami teknik induksi Erickson, saya mengalami kesulitan untuk bisa menghasilkan efek yang sama dengan yang Erickson capai. Erikson sangat lihay dan kreatif menggunakan berbagai cara sehingga dapat menembus faktor kritis pikiran sadar kliennya. Kesulitan saya, setelah saya renungkan, lebih disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pemahaman saya saat itu.
Dalam konteks klinis, saya menyimpulkan harusnya ada cara yang lebih mudah dan pasti untuk membimbing klien masuk ke kondisi trance yang (sangat) dalam. Dari sini saya mengembangkan teknik induksi khusus, EAI, menggabungkan pendekatan psiko-somatis dan somato-psikis. Dari hasil praktik hingga saat ini teknik induksi EAI terbukti secara klinis dan empiris sangat efektif dan efisien membawa subjek, tanpa memandang tipe sugestibilitas, masuk ke kondisi deep trance atau lebih dalam lagi dengan tingkat keberhasilan berkisar antara 97% - 99,5%. Dan satu hal lagi, teknik induksi EAI sangat mudah dipelajari dan diduplikasi tanpa harus bingung dengan semantik yang digunakan. Semua alumnus pelatihan SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy) hanya dengan membaca skrip saja dijamin pasti mampu membawa klien masuk deep trance.
Perjalanan karir sebagai hipnoterapis klinis, yang sempat jatuh bangun di tiga tahun pertama, memberikan saya pemahaman dan strategi untuk bisa membuat proses terapi menjadi lebih mudah dan menyenangkan, baik untuk klien maupun saya sebagai terapis, dengan mengembangkan protokol terapi yang saya beri nama Quantum Hypnotherapeutic Protocol (QHP). Berhubung saya tidak bisa menghipnosis orang yang tidak mau dihipnosis, seperti yang bisa dilakukan oleh Milton Erickson, maka saya membuat syarat dan kriteria klien yang bisa dan bersedia saya tangani.
Saya melakukan penyaringan melalui wawancara awal, biasanya melalui telpon, alasan klien minta diterapi, apakah atas keinginan sendiri ataukah atas permintaan, dorongan, rayuan, atau paksaan pihak lain. Saya hanya menerima klien yang datang atas kemauannya sendiri.
Selanjutnya klien perlu jelas mengenai masalah yang ia ingin dibantu untuk diselesaikan atau diatasi. Hal ini akan tampak saat wawancara pertama, melalui telpon, juga saat mengisi intake form dan wawancara di dalam ruang terapi. Bila klien tidak jelas tujuannya maka terapi tidak saya lakukan.
Bila klien berhasil melewati saringan awal ini maka sudah jelas ia ingin saya terapi untuk mengatasi masalahnya. Jadi, dalam hal ini, saya tidak akan pernah jumpa klien yang tidak bersedia dihipnosis. Mereka pasti bersedia dihipnosis karena ingin sembuh. Kalaupun mereka dengan sengaja tidak bersedia dihipnosis maka yang rugi adalah diri mereka sendiri. Mereka akan jumpa saya lagi di sesi berikutnya. Dan untuk setiap sesi mereka perlu membayar profesional fee saya. Ini tentu menjadi satu pertimbangan serius bagi klien yang mungkin hanya ingin coba-coba atau tidak serius.
Saat klien bersedia dihipnosis maka urusan selanjutnya menjadi sangat mudah. Saya tinggal menggunakan teknik induksi EAI yang saya kembangkan, dan dengan cepat, mudah, dan pasti klien masuk ke kondisi minimal profound somnambulism (deep trance).
Membawa klien masuk kondisi deep trance adalah satu hal. Apa yang dilakukan setelah ini adalah hal lain. Di sinilah saya menggunakan teknik intervensi klinis yang berbeda dengan Milton Erickson.
Pendekatan dan teknik terapi yang saya gunakan lebih banyak dipengaruhi oleh teknik yang saya pelajari dari Gil Boyne, Dave Elman, Charles Tebbetts, dan terakhir adalah Randal Churcill. Saya sangat nyaman, pas, dan mantap menggunakan pendekatan mereka sehingga tidak menggunakan cara Erickson dalam menangani klien. Hal ini tidak berarti pendekatan atau teknik pakar lainnya tidak efektif.
Selain itu, di berbagai literatur yang saya baca, Milton Erickson tidak membahas secara mendalam mengenai regresi, abreaksi, Ego Personality, dan beberapa teknik lain yang biasa saya gunakan, seperti yang dibahas oleh pakar lain yang saya sebutkan di atas.
Terlepas dari ini semua, saya sangat menikmati tulisan dan pemikiran Milton Erickson. Di salah satu kesempatan saya mendengar bahwa Milton Erickson pernah menangani pasangan suami istri, keduanya enuresis. Yang Erickson lakukan, saat pertama kali saya mendengar caranya, sungguh tidak masuk akal.
Apa yang ia lakukan? Ia meminta baik suami dan istri untuk selama dua minggu ke depan, setiap malam sebelum tidur, dengan sengaja dan bersama-sama, jongkok dan buang air kecil di atas ranjang mereka. Setelah itu mereka diharuskan tidur di atas matras yang basah. Bila sampai dua minggu mereka masih tetap belum sembuh maka proses terapi ini dilanjutkan ke fase berikutnya di mana mereka diharuskan melakukan hal yang sama selama tiga minggu berturut-turut. Ternyata menjelang dua minggu mereka tidak lagi enuresis. Mereka bangun pagi dengan ranjang yang kering. Mereka sembuh.
Saya tentunya sangat penasaran dengan hal ini. Ada tiga pertanyaan besar dalam pikiran saya. Pertama, apa alasannya sehingga Erickson memilih strategi ini? Kedua, bagaimana caranya sehingga ia bisa membuat kedua klien ini bersedia melakukan teknik yang sungguh tidak masuk akal ini? Ketiga, mengapa klien bisa sembuh?
Barulah setelah membaca uraiang lengkap mengenai proses terapi ini, seperti yang ditulis Erickson di bukunya dan juga di buku lain yang ditulis oleh muridnya, akhirnya saya memahami benar pemikiran Erickson, dan bagaimana ia bisa membuat kedua kliennya patuh dan bersedia menjalankan teknik yang ia ajarkan, dan sembuh. Hal ini sejalan dengan sifat dan hukum pikiran bawah sadar yang telah saya pelajari dari sumber lain. Pemahaman ini saya integrasikan ke dalam dasar teori yang saya gunakan untuk terapi.
Saya juga pernah menyaksikan video saat Erickon menghipnosis subjek dan membuat subjek ini mengalami katalepsi dan disosiasi.Erickson mengangkat lengan kanan subjek dan lengan ini berhenti, menggantung di udara, dan subjek sama sekali tidak bisa menggerakkan lengannya.
Di lain kesempatan Erickson membuat seorang subjek mengalami disosiasi sehingga sama sekali tidak bisa menggerakkan lengannya. Lengan subjek terpisah dari kontrol pikiran sadarnya dan “tertidur”.
Barulah setelah saya membaca penjelasan detil melalui sumber lain akhirnya saya mengerti apa yang terjadi. Dengan pemahaman ini, menggunakan semantik yang sedikit berbeda dengan yang Erickson gunakan, sekarang saya juga bisa melakukan hal yang sama. Cara ini saya ajarkan kepada murid saya dan mereka juga bisa melakukan hal yang sama. Ternyata sangat mudah.
Demikian pula mengenai amnesia, distorsi waktu, dan berbagai fenomena trance lainnya. Sempat ada yang bertanya pada saya, “Apakah terapis perlu membuat klien amnesia terhadap proses terapi yang dilakukan?”
Saya tidak pernah melakukan hal ini pada klien saya karena dalam protokol terapi yang saya kembangkan klien perlu tahu dan memetik pembelajaran /hikmah dari kejadian masa lalunya. Justru bila terapis melakukan amnesia, apa lagi ini sering ia lakukan, perlu ditanyakan tujuannya.
Namun pertanyaan ini sangat menggelitik rasa ingin tahu saya. Apakah boleh? Apa efeknya terhadap klien? Dalam situasi apa saja amnesia boleh dilakukan secara sengaja pada klien?
Saat membaca salah satu artikel yang menceritakan sesi tanya jawab antara Rossi dan Erickson mengenai amnesia, barulah saya mendapat jawaban yang gamblang. Ternyata Erickson tidak setuju dengan terapis melakukan amnesia pada klien. Amnesia hanya boleh dilakukan pada klien dengan kondisi khusus. Dan pemahaman ini saya jelaskan dan ajarkan kepada murid-murid saya.
Jadi, apakah saya menguasai dan mengajar Ericksonian Hypnosis? Jawaban saya, “Secara formal saya tidak pernah belajar apalagi mengajar Ericksonian Hypnosis. Secara informal, saya belajar secara mendalam pemikiran dan teknik Milton Erickson langsung dari berbagai artikel/paper dan buku yang Beliau tulis, video-video Erickson, dan juga yang ditulis oleh murid-muridnya.”
Abreaksi (abreaction) adalah kondisi di mana muatan emosi dari pikiran bawah sadar meluap atau meledak keluar dalam bentuk ucapan atau perilaku tertentu. Ada abreaksi yang sifatnya “keras” di mana luapan emosi ini keluar dengan begitu deras dan subjek menangis, berteriak, memukul, meninju, meremas, mengeram, mencakar, dan bahkan menendang. Ada juga abreaksi yang sifatnya “lunak” di mana klien hanya menangis perlahan. Walau perilaku abreaksi berbeda namun yang terjadi setelah abreaksi umumnya adalah subjek merasakan kelegaan atau plong. Ini yang disebut dengan katarsis.
“Penemuan” abreaksi sebagai teknik terapi secara tidak sengaja terjadi saat Jospeh Breuer (1842-1925), sejawat dan kolega Sigmund Freud, menangani pasien histerikal, Anna O., yang masalahnya berawal dari ketakutan hebat saat mengetahui ayahnya mengalami abses paru. Walau Breuer telah melakukan berbagai upaya dengan menggunakan hipnosis, kondisi Anna, semakin hari semakin memburuk. Ia menjadi semakin menderita akibat simtom fisik yang ia alami dan kondisi kesadaran kesadaran yang berubah-ubah.
Secara tidak sengaja, suatu hari, Breuer menginduksi Anna, dan ia dengan bebas bicara dan mengungkapkan emosi yang mengganggunya selama ini. Usai mengungkapkan emosinya Anna mengalami perasaan lega serta tidak lagi mengeluhkan kondisinya seperti sebelumnya.
Suatu sore, saat hawa sedang sangat panas, Anna merasa sangat haus, namun saat akan minum, ia tidak bisa menelan air yang sudah ada di dalam mulutnya. Selama enam minggu berikutnya ia mengatasi rasa hausnya hanya dengan makan buah, terutama melon.
Di salah satu sesi hipnosis, Anna, dengan penuh kemarahan bercerita bahwa ia melihat seorang pengasuh anak membiarkan seekor anjing minum dari gelas. Anna merasa jijik sekali. Saat itu Anna tidak protes atau menegur pengasuh ini. Usai mengeluarkan perasaannya tiba-tiba Anna minta minum dan langsung bisa minum dengan normal.
Melalui proses hipnosis yang cukup panjang akhirnya Anna berhasil mengungkap berbagai kejadian yang menjadi penyebab histeria yang ia alami dan akhirnya sembuh.
Hasil yang dicapai Breuer sangat penting dalam konteks hipnoterapi karena ia mengubah pendekatan terapi kala itu yang hanya berupaya menghilangkan simtom melalui sugesti menjadi mencari dan menemukan akar masalah.
Freud sangat terkesan dengan hasil terapi dan kerja Breuer hingga di tahun di 1895 mereka menerbitkan buku berjudul Studien über Hysterie. Dari buku inilah muncul teori yang menyatakan bahwa neurosis disebabkan oleh pengalaman traumatik (akar masalah) di masa lalu.
Mereka menyatakan, “We found at first to our greatest surprise, that the individual hysterical symptoms immediately disappeared without returning if we succeeded in thoroughly awakening the memories of the causal process with its accompanying affect, and if the patient circumstantially discussed the process in the most detailed manner and gave verbal expression to the affect.” (Kami semula sangat terkejut saat menemukan bahwa simtom histerikal yang dialami individu segera hilang, tidak kembali lagi, bila kami berhasil secara menyeluruh memunculkan kembali memori yang menjadi akar masalah beserta emosi yang menyertainya, dan bila pasien secara tidak langsung mendiskusikan kejadiannya dengan sangat detil dan mengungkap secara verbal emosi yang ia rasakan).
Namun sungguh disayangkan, Freud akhirnya meninggalkan hipnosis karena merasa bahwa kemajuan terapeutik yang berhasil dicapai melalui abreaksi sifatnya temporer. Dari berbagai literatur tidak ada satupun yang menyatakan bahwa Freud melakukan abreaksi berulang untuk menguji kesimpulannya. Jadi, yang Freud lakukan adalah abreaksi tunggal yang memang secara klinis kurang optimal dalam mengatasi masalah.
Seiring waktu berjalan hipnosis/hipnoterapi mengalami perkembangan sangat pesat. Ada banyak temuan riset yang dilakukan oleh para pakar dan praktisi seperti Pierre Janet (1907), Wilhelm Reich (1949), Lowen (1975), Rolf (1978), khususnya yang berkaitan dengan abreaksi dan teknik penanganan abreaksi,
Salah satu pengguna aktif terapi abreaksi hipnotik adalah William Brown (1920). Brown menerapi ribuan kasus neurosis akibat perang dan melakukan pencatatan detil terhadap setiap kliennya. Ia menyimpulkan bahwa lepasnya emosi yang selama ini tertekan atau terpendam di pikiran bawah sadar mengakibatkan segmen kepribadian yang tadinya mengalami disosiasi kini bisa kembali terintegrasi.
Menurut Brown penting untuk melakukan abreaksi secara intensif, berkelanjutan hingga benar-benar tuntas, dan mengulangi abreaksi beberapa kali. Ia juga menyatakan, usai pelepasan emosi, penting untuk memberi dukungan dan penguatan bagi klien, serta memberi makna pada kejadian agar hilangnya simtom sifatnya permanen.
Saat perang dunia kedua, John G. Watkins (1949) menyempurnakan dan menggunakan teknik abreaksi di U.S. Army’s Welch Convalescent Hospital di Daytona Beach, Florida, untuk membantu menyembuhkan tentara yang mengalami gangguan emosi akibat perang di Italia dan Perancis. Watkins menjelaskan tekniknya di buku Hypnotherapy of War Neuroses.
Alexander dan French (1946) menekankan pentingnya klien mengalami pengalaman emosional korektif (corrective emotional experience) dalam bentuk mengalami kembali peristiwa yang menjadi sumber masalah, melepas emosi pada peristiwa itu, dan pemahaman baru melalui pemaknaan, baik melalui analisis transferensi dan dalam kondisi hipnosis.
Tidak semua abreaksi, dari pengalaman klinis dan temuan kami, sifatnya terapeutik. Hal ini tampak dari berbagai kisah nyata saat seseorang mengalami abreaksi, baik yang hebat atau ringan, dan setelahnya untuk sementara waktu merasa lega. Namun beberapa saat kemudian kembali mengalami masalah yang sama.
Teknik penanganan abreaksi yang kami kembangkan di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology selain berdasar pada teori pikiran bawah sadar dan hasil riset kami juga terutama didasarkan pada pemikiran Helen H. Watkins dan disempurnakan dengan materi yang saya pelajari dari Randal Churchill.
Agar dapat menghasilkan efek terapeutik yang permanen maka beberapa syarat berikut perlu dipenuhi:
Dalam konteks memori, rekonstruksi yang dilakukan dapat mengakibatkan salah satu dari dua kemungkinan. Pertama, memori lama yang telah terhapus tidak lagi dapat diakses (Loftus, 1979). Ini dikenal dengan The Memory Alteration Hypothesis. Kedua, memori lama dan baru keduanya ada di pikiran bawah sadar dan keduanya dapat diakses (Bekerian dan Bowers, 1983; Christiaansen dan Ochalek, 1983). Ini dikenal dengan The Memory Coexistence Hypothesis.
Tidak jadi masalah apakah klien ingat memori awal atau versi yang telah dikoreksi, selama empat poin di atas telah dilakukan dengan baik dan benar, maka saat ia keluar dari kondisi hipnosis perubahan yang telah terjadi selama proses terapi tetap berlaku.
Rekonstruksi memori ini akan sangat efektif memengaruhi klien bila dilakukan dalam kondisi relaksasi pikiran yang (sangat) dalam (deep trance) karena di kedalaman inilah terapis dapat menggunakan trance logic pikiran klien secara optimal.
Sekitar tiga tahun lalu saya pernah mendapat cerita dari seorang rekan sejawat hipnoterapis yang kebetulan menghadiri seminar hipnosis di kotanya. Dengan serius rekan ini menyimak materi yang disajikan oleh trainer. Dan memang ada banyak hal menarik yang bisa dipelajari.
Namun, ada satu hal yang menjadi keprihatinan rekan ini, yang ia sampaikan pada saya. Saat masuk ke sesi demo hipnosis, trainer ini berkata, “Saya punya teknik induksi yang sangat efektif untuk membawa orang masuk deep trance. Saya tidak perlu menggunakan suara, tidak perlu bicara seperti yang selama ini diajarkan di berbagai pelatihan. Saya jamin bila Anda memelajari dan mempraktikkan teknik saya ini maka Anda pasti mampu membawa siapa saja masuk kondisi deep trance, walau ia menolak. Sekarang, siapa yang mau menjadi contoh di depan dan merasakan ampuhnya teknik induksi ini?”
Seorang peserta maju ke depan, naik ke panggung, kemudian duduk di kursi yang telah disediakan. Selanjutnya, si trainer melakukan induksinya pada peserta ini. Dan dalam waktu sekejap pandangan mata peserta ini menjadi nanar, mukanya pucat, dan lemas. Setelah itu, dengan yakin dan bangga si trainer berkata, “Anda lihat… mudah kan? Sekarang dia sudah masuk deep trance.”
Saat peserta ini dibangunkan dari kondisi “trance”, ia mengeluh kepalanya pusing dan keluar keringat dingin serta napasnya tersengal-sengal.
Kemarin, salah satu peserta pelatihan SECH, bercerita bahwa beberapa waktu lalu ia bertemu dengan seorang hipnoterapis. Hipnoterapis ini melakukan “induksi” padanya. Dan ia mengalami kondisi yang sama dengan subjek yang saya jelaskan di atas. Peserta SECH ini mengalami pandangan matanya tiba-tiba menjadi gelap seperti mau pingsan. Dan ia hampir tidak sadarkan diri. Saat ia dibangunkan, ia merasakan tubuhnya sangat tidak nyaman, agak gemetar.
Saya tidak mengenal trainer yang saya ceritakan di awal artikel ini. Demikian pula saya tidak mengenai siapa hipnoterapis yang “menginduksi” peserta SECH ini. Namun, dari penjelasan yang saya dapat, ternyata teknik “induksi” ini menggunakan cara yang sama. Dan ini yang ingin saya jelaskan di artikel ini.
Teknik “induksi” apa yang dilakukan oleh si trainer dan hipnoterapis sehingga sedemikian dahsyatnya memengaruhi subjeknya? Apakah benar subjek masuk kondisi deep trance?
Trainer dan hipnoterapis itu sebenarnya tidak melakukan induksi seperti yang dikenal dalam dunia hipnoterapi. Yang mereka sebut sebagai teknik “induksi” itu adalah satu tindakan yang sangat berbahaya. Mereka mengatakan melakukan induksi. Namun yang sebenarnya mereka lakukan adalah menekan arteri karotid, baik yang di leher sebelah kiri dan kanan. Arteri karotid adalah pembuluh darah utama yang memasok darah beroksigen ke kepala dan leher. Masing-masing memiliki dua cabang utama, arteri karotid eksternal dan internal. Arteri karotid ini dapat Anda rasakan dengan menyentuh lembut leher sebelah samping dan akan terasa adanya denyutan.
Tindakan ini sungguh sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan stroke iskemik, kerusakan otak, dan bahkan kematian. Subjek sebenarnya tidak masuk kondisi deep trance namun kehilangan kesadaran/pingsan akibat suplai darah ke otak terhambat. Bila tekanan di kedua arteri karotid ini dilakukan cukup kuat dan lama, subjek akan pingsan dan bahkan bisa meninggal.
Dari berbagai literatur yang pernah saya baca dan pelajari, khususnya yang membahas teknik induksi dalam hipnosis dan hipnoterapi, tidak pernah sekalipun saya menemukan teknik induksi dengan menekan arteri karotid kiri dan kanan. Jadi, ini bukan teknik induksi. Ini adalah teknik “induksi” yang tidak punya dasar ilmiah dan dipraktikkan oleh orang yang sama sekali tidak mengerti hipnosis atau hipnoterapi, dan tidak bertanggung jawab.
Bila suatu saat nanti Anda atau rekan Anda bertemu dengan orang yang mengaku sebagai hipnotis atau hipnoterapis yang berusaha menginduksi Anda dengan menekan leher sebelah kiri dan kanan maka jangan pernah ijinkan ia melakukannya. Anda bisa masuk “trance” dan tidak pernah lagi bisa keluar. Dengan bahasa yang lebih to the point, anda meninggal.
Dalam hipnoterapi ada banyak teknik yang digunakan untuk membawa klien mundur menyusuri garis waktu, di dalam pikirannya, untuk menemukan kejadian atau memori yang menjadi penyebab masalah. Secara teknis cara ini dikenal dengan nama regresi.
Regresi dapat dilakukan baik dengan kondisi hipnosis dangkal (light trance) atau hipnosis yang dalam (deep trance). Khusus untuk regresi yang dilakukan dengan kondisi hipnosis yang dalam disebut dengan hypnotic age regression. Ini untuk membedakannya dengan regresi yang dilakukan dengan kondisi hipnosis yang dangkal karena efek regresi dan memori yang berhasil diungkap juga berbeda.
Ada beragam cara melakukan regresi. Mulai dari yang sederhana sampai yang cukup rumit. Yang sederhana, misalnya, adalah regresi dengan menghitung mundur, regresi dengan kalender, regresi ke kejadian yang spesifik.
Teknik regresi yang lebih rumit adalah dengan menggunakan teknik visualisasi seperti teknik buku kehidupan, terbang mundur menyusuri garis waktu dengan naik karpet ajaib, naik kapal menuju ke hulu sungai kehidupan, teknik lorong waktu, menatap bola kristal, dan masih banyak teknik lainnya.
Dalam artikel ini secara khusus saya membahas satu teknik yang umumnya digunakan dalam banyak sesi konseling atau terapi nonhipnoterapi yaitu jembatan kognisi (cognitive bridge), dan dua teknik yang sangat sering digunakan dalam hipnoanalisa yaitu jembatan perasaan (affect bridge) dan jembatan tubuh (somatic bridge).
Dalam psikoanalisa dan teknik konseling yang sifatnya analitikal, aliran kesadaran bergerak dari masa sekarang menuju ke memori masa lalu melalui serangkaian ide-ide yang saling terhubung. Klien biasanya berkata, “…. oh… saya ingat dulu waktu saya umur 6 tahun… dan ini mengingatkan saya pada kejadian ….”
Contoh lain adalah saat saya bertanya pada klien, “Kalau saya bilang makanan, apa yang muncul di pikiran Anda?”
“Ayam goreng,” jawabnya.
“Kalau saya bilang ayam goreng, apa yang muncul di pikiran Anda?” kejar saya.
“Mama,” jawabnya.
“Kalau saya bilang mama, apa yang muncul di pikiran Anda?” tanya saya lagi.
“Teh hangat,” jawabnya.
“Makanan” mencapai “teh hangat” melalui jembatan “ayam goreng” dan “mama”.
Memori A mencapai memori C karena keduanya saling tumpang tindih di memori B. Memori B, dalam hal ini, berfungsi sebagai jembatan kognisi atau cognitive bridge.
Jembatan kognisi dari pengalaman kami selama ini tidak efektif untuk menemukan akar masalah karena bermain di wilayah pikiran sadar dan tidak melibatkan emosi.
Affect Bridge
Memori, selain saling terhubung dengan ide yang sama atau mirip, juga ditautkan oleh atau terhubung dengan perasaan atau emosi yang sama atau sejenis.
Affect Bridge (AB) adalah teknik yang diciptakan oleh John G. Watkins dan pertama kali dipublikasi dalam bahasa Spanyol di tahun 1961. Selanjutnya ditulis dalam bahasa Inggris dengan penjelasan yang lebih detil dan mendalam di tahun 1971.
AB sangat efektif mengatasi kendala yang sering dijumpai dalam terapi konvensional yang menggunakan pendekatan intelektual atau analitikal. Dengan AB, yang digunakan sebagai jembatan untuk menghubungkan masa sekarang dan masa lalu adalah emosi atau perasaan spesifik yang dirasakan klien saat ini, bukan menggunakan ide atau bentuk pikiran tertentu. AB membuat proses keterhubungan ini menjadi lebih cepat dan dengan hasil yang sangat akurat.
Saat telah mencapai memori spesifik di masa lalu klien biasanya secara otomatis mengalami revivifikasi atau mengalami kembali kejadian itu sama seperti ia mengalaminya dulu, namun ia alami sekarang. Revivifikasi ini bisanya diikuti dengan luapan emosi atau yang dikenal dengan abreaksi.
AB yang digagas Watkins berbeda dengan abreaksi hipnotik tradisional dalam cara bagaimana revivifikasi dimulai. AB memang mirip dengan teknik flooding (Wolpe & Lazarus, 1966), dan teknik terapi implosif (Stampfl & Levis, 1967) namun berbeda pada proses penanganan abreaksi dan teknik intervensi setelah abreaksi tuntas dilakukan.
Kunci penyelesaian masalah klien bukan pada abreaksi namun apa yang dilakukan pada abreaksi dan setelahnya. Abreaksi memungkinkan klien menembus hambatan intelektual, menjangkau perasaan, memungkinkan dan memampukan klien mengalami perubahan dan pertumbuhan emosi.
Cara melakukan AB adalah dengan meminta klien untuk merasakan emosi (apapun emosinya) yang berhubungan dengan masalahnya.
Setelah klien merasakan emosinya, terapis kemudian mensugesti agar intensitas emosi itu semakin meningkat. Berikut saya kutip sugesti untuk melakukan AB seperti yang ditulis di buku Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring:
Saya akan menghitung naik dari satu ke sepuluh. Setiap hitungan naik membuat intensitas emosi yang anda rasakan semakin kuat. Satu.... rasakan emosi anda. Dua.... rasakan emosi ini semakin kuat..... 3..... semakin kuat dan meningkat.... 4..... rasakan emosi itu semakin kuat seiring dengan hitungan naik yang anda dengar.......5, 6, 7, 8, 9, dan 10..... rasakan kuatnya emosi ini. Saya akan membimbing anda untuk mundur ke masa lampau anda saat emosi ini pertama kali muncul dan anda rasakan..... 10....... 9..... 8..... semakin mundur ke masa lampu.... 7....6....5.... terus mundur.... 4.....3...2..., kembali ke masa pertama kali emosi ini muncul....SATU!
Somatic Bridge
Somatic Bridge (SB) atau jembatan tubuh adalah modifikasi dari AB dan dikembangkan oleh Helen Watkins (1997). Bila dalam AB terapis meminta klien merasakan emosi atau perasaan tertentu dan kemudian meningkatkan intensitas emosi ini sebagai jembatan penghubung ke masa lalu maka dalam SB “perasaan” yang digunakan adalah sensasi yang dirasakan di tubuh fisik.
Dengan demikian secara prinsip, cara kerja AB dan SB sama. Bedanya hanya pada sumber emosi atau perasaan yang digunakan. AB menggunakan emosi sedangkan SB menggunakan sensasi di tubuh fisik.
Bila misalnya klien merasa sakit kepala maka terapis meminta klien fokus pada rasa sakitnya. Kemudian terapis mensugestikan klien untuk meningkatkan perasaan sakit ini sedemikian rupa dan menggunakan rasa sakit ini sebagai jembatan untuk mundur ke masa lalu.
Ramai media memberitakan kecelakaan tragis di Tol Jagorawi Km 8+200, Cibubur, Jakarta Timur, pada 8 September 2013 dini hari, yang melibatkan AQJ (13), putra bungsu mantan pasangan suami istri Ahmad Dhani dan Maia Estianty. Kecelakaan ini mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia.
Saya tidak akan membahas mengenai kejadian kecelakaan ini. Artikel ini fokus pada “lupa ingatan” yang dialami AQJ pascakecelakaan seperti yang diberitakan salah satu media online. “Kondisi dia semakin membaik sesudah menjalani serangkaian operasi akibat kecelakaan. Bahkan, ia sudah bisa sedikit mengingat apa yang ada dalam pikirannya sebelum dirinya mengalami kecelakaan tersebut. Dia ingat cuma pengin nyalip. Tapi, sudah enggak bisa ngapa-ngapain. Dari situ dia sudah blank. Masuk tol tuh dia sudah blank," ucap Mita, personel duo The Virgin, seusai menjenguknya di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2013).
Tidak banyak yang bisa diingat oleh AQJ mengenai kejadian itu. Kemudian, ia dilarikan ke rumah sakit terdekat dari lokasi kecelakaan itu, Rumah Sakit Meilia Cibubur. Lalu, atas permintaan orangtuanya, ia dipindahkan ke RSPI.
"Dia bilang, 'Aku banyak lupa.' Kayak apa ya, orang enggak merasakan apa-apa, kayak enggak tahu apa-apa. Kerasa kayak orang mimpi saja, terus bangun," lanjut Mita.
Apa yang dialami oleh AQJ adalah amnesia akibat represi memori atas satu kejadian traumatik yang tidak bisa ditangani oleh pikiran sadar. Memori ini ditekan sedemikian rupa oleh pikiran bawah sadar sehingga tidak dapat diakses oleh pikiran sadar.
Amnesia adalah kondisi terganggunya daya ingat atau hilangnya memori. Penyebabnya bisa bersifat organik atau bersifat fungsional. Amnesia yang bersifat organik adalah kehilangan memori yang disebabkan oleh gangguan pada otak, seperti kecelakaan, menderita sakit yang mempengaruhi sel otak, dan penggunaan obat-obatan tertentu, biasanya obat penenang. Sedangkan amnesia yang bersifat fungsional disebabkan oleh faktor psikologis, seperti gangguan mental, sakit jiwa, stress akibat trauma, atau karena faktor pertahanan diri (defense mechanism) seperti menolak menerima dan mengakui adanya suatu keadaan yang traumatik.
Jenis Amnesia
Ada banyak jenis amnesia baik yang disebabkan oleh faktor organik maupun fungsional. Berikut ini adalah enam jenis amensia seperti yang saya tulis di buku The Miracle of MindBody Medicine:
1. Anterograde amnesia adalah ketidakmampuan untuk mengingat peristiwa yang terjadi setelah kejadian traumatik atau awal penyakit yang menyebabkan amnesia. Anterograde amnesia sering terjadi sehabis suatu peristiwa akut seperti trauma, serangan jantung, kekurangan oksigen, atau serangan epilepsi.
Mereka yang terkena anterograde amnesia mengalami kesulitan membentuk memori baru karena ada hambatan dalam mentransfer data yang ada di memori jangka pendek ke memori jangka panjang yang bersifat permanen. Mereka dapat mudah lupa kejadian yang baru mereka alami, nama atau wajah orang yang baru mereka jumpai, namun memori dari masa lalu dapat mereka ingat dengan mudah.
2. Retrograde amnesia adalah salah satu tipe amnesia yang paling sering dialami. Orang yang mengalami amnesia tipe ini mengalami kesulitan dan tidak mampu mengingat data yang berasal dari masa sebelum terjadinya amnesia. Namun mereka dapat mencipta, membentuk, dan mengingat memori mulai dari saat terjadinya amnesia dan masa sesudahnya. Retrograde amnesia dapat disebabkan oleh goncangan atau pukulan yang keras pada kepala akibat kecelakaan atau terjatuh. Amnesia tipe ini juga dapat disebabkan oleh pengunaan obat-obatan tertentu dalam jangka panjang atau karena stroke. Bagian dari otak yang menyimpan memori masa lalu rusak dan tidak dapat diakses sehingga mengakibatkan amnesia.
3. Emotional/hysterical amnesia adalah hilangnya ingatan pada memori atau kelompok memori tertentu. Hilangnya memori ini bukan karena faktor organik yaitu kerusakan otak namun disebabkan oleh pikiran bawah sadar melakukan represi atau menyembunyikan memori yang mengandung emosi negatif yang intens. Satu sifat unik amnesia ini yaitu ia hampir selalu dapat diatasi dengan menggunakan hipnosis atau hipnoterapi.
4. Posthypnotic amnesia adalah hilangnya memori karena pengaruh sugesti yang diberikan saat seseorang dalam kondisi hipnosis. Bisa meliputi ketidakmampuan mengingat peristiwa yang terjadi selama hipnosis atau informasi yang tersimpan di memori jangka panjang. Sugesti diberikan saat seseorang dalam kondisi hipnosis dan dijalankan setelah ia keluar dari kondisi hipnosis. Segmen memori yang tidak dapat diingat atau diakses bergantung pada sugesti yang diberikan.
5. Lacunar amnesia adalah hilangnya memori mengenai satu kejadian tertentu. Ini adalah jenis amnesia yang meninggalkan celah (lacuna) pada rekaman data di memori.
6. Transient global amnesia adalah hilangnya memori spontan yang bisa berlangsung antara beberapa menit hingga beberapa jam dan biasanya dialami oleh orang berusia paruh baya dan lanjut.
Dari uraian di atas tampak bahwa apa yang dialami oleh AQJ adalah anterograde amnesia yang disebabkan oleh pengalaman traumatik. Bila ini terjadi apa yang bisa atau perlu dilakukan untuk bisa membantu penderita agar bisa kembali mengingat kejadian itu?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas yang sangat perlu ditanyakan adalah untuk apa seseorang mengingat kembali kejadian traumatik? Apakah sekedar mengembalikan segmen memori yang terepresi, untuk mengatasi trauma (terapi), atau untuk tujuan penyidikan kepolisian?
Amnesia adalah satu bentuk pertahanan diri dan bertujuan untuk kebaikan diri individu. Memori yang terepresi mengandung emosi dengan intensitas yang sangat tinggi. Itulah sebabnya ia “disembunyikan” sedemikian rupa sehingga tidak bisa diakses. Saat memori berhasil diingat kembali maka muatan emosi ini juga akan dialami oleh individu. Pengalaman ini dapat mengakibatkan guncangan pada kondisi mental, gangguan kestabilan sistem psikis, dan berakibat sangat negatif.
Bila memang tidak diperlukan, dan selama tidak mengganggu, maka akan lebih baik membiarkan segmen memori ini “disembunyikan” di pikiran bawah sadar sampai seseorang lebih siap dan kuat untuk memrosesnya. Bila memang perlu segera diungkap maka ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati, menggunakan forensik hipnosis, dan tentu memerhatikan kesiapan kondisi fisik dan psikis individu.
Cara yang paling sering digunakan untuk mengungkap memori yang terepresi adalah dengan meminta klien mundur, dalam pikirannya, dan mengingat apa yang ia lakukan sebelum peristiwa traumatik. Dengan cara ini diharapkan klien dapat mengingat kembali peristiwa traumatik itu. Cara ini bisa berhasil namun bukan tanpa resiko.
Saya ingat beberapa tahun lalu saat saya membantu klien, sebut saja Yon, yang adalah korban selamat dari pengemboman hotel Ritz Carlton. Yon datang ke saya, dari Jakarta, setelah selama sekitar tiga bulan menjalani sesi terapi intensif namun tidak berhasil. Yon, yang adalah saksi mahkota, sempat diwawancarai oleh beberapa televisi nasional dan diminta menceritakan apa yang terjadi saat pengeboman itu.
Yon selalu mulai dengan cerita saat ia mendorong meja kecil, tempat meletakkan makanan, ke dalam restoran. Dan setelah itu tiba-tiba di dalam restoran ada suara ledakan sangat keras. Sampai di sini ia pasti langsung diam, pandangan matanya nanar, tubuhnya dingin dan kaku, tidak bisa digerakkan, ia tidak bisa bersuara. Butuh waktu rata-rata antara setengah jam sampai satu jam untuk Yon bisa kembali ke kondisi normal dan ia tidak bersedia melanjutkan ceritanya.
Apa yang terjadi? Saat menjawab pertanyaan wartawan, Yon kembali mengalami peristiwa ini, di dalam pikirannya, dan ia kembali “mengalami” (revivifikasi) kejadian ini. Dengan demikian setiap kali ia menceritakan kejadian ini, ia mengalami trauma ulang. Semakin lama kondisinya menjadi semakin parah karena trauma yang berulang. Menurut profesional yang menanganinya, Yon mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Selain mengalami stres ia juga tidak bisa melihat meja makan ukuran kecil, kerumunan orang banyak, pintu darurat, dan mendengar suara keras seperti mercon, guntur, atau suara sepeda motor yang digeber. Setiap kali melihat atau mendengar salah satu dari hal ini ia pasti langsung “hang” selama hampir setengah jam.
Apa yang saya lakukan untuk membantu Yon? Saya akan jelaskan di akhir artikel ini.
Mengungkap Data untuk Terapi
Dalam konteks terapi, data yang direpresi perlu diungkap agar dapat diproses sehingga tidak lagi mengganggu hidup klien. Tujuan utama, sebenarnya, adalah menetralisir emosi yang melekat pada memori. Saat emosi berhasil dinetralisir maka memori ini akan menjadi memori biasa yang tidak lagi mengganggu hidup klien. Klien dapat mengingat kejadian yang dulunya sangat traumatik hanya sebagai kenangan masa lalu sama seperti kejadian lainnya.
Untuk dapat mengakses memori yang terepresi dan memrosesnya dengan aman, ada beberapa kondisi yang perlu dipenuhi pada klien dan terapis. Di sisi klien, pertama, ia harus bersedia dibantu atas kesadarannya sendiri, tidak bisa atas rayuan, paksaan, atau ancaman. Kedua, klien siap secara fisik dan mental.
Dari sisi terapis, ia harus cakap melakukan hipnoterapi, khususnya dalam menggunakan berbagai teknik regresi, teknik disosiasi, penanganan abreaksi, dan teknik menembus screen memory.
Terapi sebaiknya dilakukan dalam kondisi deep trance untuk meminimalisir efek emosi terhadap tubuh. Saat klien diregresi dan melihat (hipermnesia) atau mengalami kembali (revivifikasi) kejadian traumatik maka secara otomatis pikiran dan tubuhnya akan masuk ke kondisi genting dan mengaktifkan sistem saraf simpatik (fight or flight). Sedangkan saat dalam kondisi deep trance atau relaksasi yang dalam maka yang aktif adalah sistem saraf parasimpatik. Sistem saraf ini tidak bisa aktif bersamaan karena dalam satu waktu hanya bisa satu saja yang aktif.
Saat memroses memori pengalaman traumatik sebaiknya dilakukan dengan disosiasi, jangan asosiasi, agar klien tidak mengalami trauma ulang. Bila dengan disosiasi klien masih merasakan emosi yang berhubungan dengan kejadian itu maka lakukan double dissocation atau bahkan triple dissociation.
Ada beberapa cara melakukan pemrosesan secara disosiasi. Pertama, klien diregresi kembali ke kejadian dan hanya menyaksikan kejadian. Kedua, sama dengan yang pertama namun klien menyaksikan kejadian menggunakan kesadarannya saat ini. Ketiga, sama dengan yang pertama namun klien menyaksikan kejadian menggunakan kesadarannya dari masa depan.
Double dissocation adalah kondisi di mana klien menyaksikan dirinya sedang menyaksikan kejadian (A melihat B melihat kejadian X, di mana A=B). Sedangkan triple dissociation adalah kondisi di mana klien menyaksikan dirinya sedang menyaksikan dirinya sedang menyaksikan kejadian (A melihat B melihat C melihat kejadian X, di mana A=B=C). Semakin banyak disosiasi maka semakin kecil kemungkinan klien mengalami kembali emosi yang berhubungan dengan kejadian.
Untuk keperluan terapi, terapis tidak berkepentingan untuk melakukan pemeriksaan kebenaran data atau informasi yang terungkap. Apapun yang diungkap klien diterima sebagai satu kebenaran. Yang penting klien sembuh dari pengalaman traumatiknya. Seringkali data yang terungkap sudah “terkontaminasi” oleh berbagai informasi yang disampaikan oleh orang di sekitar klien, pascakejadian, atau dari berbagai pemberitaan yang klien lihat, baca, atau dengar. Ini bisa terjadi karena pikiran bawah sadar merekam kejadian bukan apa adanya namun apa kita-nya. Artinya, memori ini bisa berubah, bertambah atau berkurang karena sifatnya yang dinamis dan rekonstruktif bergantung pada banyak faktor.
Setelah datanya berhasil terungkap maka tugas utama terapis adalah menetralisir emosi yang melekat pada memori ini menggunakan teknik yang sesuai dengan situasi dan kondisi klien. Dari pengalaman klinis menangani klien ditemukan bahwa emosi intens sangat sulit atau tidak bisa diatasi hanya dengan memberi sugesti. Untuk itu terapis perlu melakukan teknik intervensi yang tidak sekedar berbasis sugesti.
Mengungkap Data untuk Penyidikan
Bila tujuannya adalah untuk penyidikan maka perlakuannya berbeda. Sebaiknya operator yang mengajukan pertanyaan adalah hipnoterapis yang cakap melakukan regresi atau penyidik yang juga seorang hipnoterapis.
Syarat di atas sangat penting karena bila salah bertanya maka data yang keluar bisa salah. Kesalahan yang sering terjadi adalah operator melakukan leading bukan guiding. Selain itu yang sangat perlu diperhatikan adalah tekanan suara, pilihan kata, ekspresi atau mimik wajah saat bertanya, dan pengharapan operator karena akan terbaca oleh pikiran bawah sadar klien dan berpengaruh atas jawaban yang klien berikan.
Sebelum forensik dilakukan, klien harus menjalani tes kesehatan fisik dan mental dan dinyatakan siap. Semua proses direkam mulai dari awal hingga akhir, tanpa terputus, dengan beberapa kamera. Ada kamera yang khusus merekam suara dan wajah klien, suara dan wajah operator atau hipnoterapis atau penyidik, dan juga ada yang merekam keseluruhan ruangan yang digunakan untuk kegiatan forensik.
Sebagai hipnoterapis klinis, menurut hemat saya, sebaiknya usai diforensik klien juga perlu langsung diterapi. Alasannya, forensik dapat mengungkap memori yang sebelumnya disembunyikan oleh pikiran bawah sadar. Dengan terungkapnya memori ini maka klien dapat mengingat kembali kejadian traumatik. Tentu hal ini akan tidak baik bagi klien.
Bisa juga, setelah berhasil mendapatkan data yang dibutuhkan, operator kembali membuat klien “lupa” atau melakukan amnesia pada klien. Secara teknis ini bisa dilakukan namun tidak dianjurkan karena sama dengan operator memasang bom yang dapat meledak sewaktu-waktu.
Kembali ke pertanyaan di atas yang belum dijawab, “Apa yang saya lakukan untuk membantu Yon?”
Mengingat Yon telah berkali-kali mengalami trauma ulang karena diminta menceritakan apa yang terjadi, saya memutuskan untuk tidak mengakses memorinya. Yang saya lakukan adalah menggunakan teknik khusus, tanpa perlu mengakes memori, namun langsung mencabut emosi keluar dari segmen memori itu.
Hasilnya? Hanya dalam waktu sekitar satu jam saya berhasil membantu Yon mengatasi masalahnya. Usai terapi Yon pulang ke Jakarta dan langsung masuk kerja seperti biasa dan sama sekali tidak ada masalah.
Kemarin, saat dalam perjalanan pulang usai seminar “Pintar & Bijak Menghadapi Kanker” putri bungsu kami bertanya pada saya, “Pa, kenapa kalau terapi harus menggunakan bahasa Ibu?” Saya tidak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini mengingat usia putri bungsu kami yang masih belia, masih SMP kelas 2, dan juga tidak pernah ikut pelatihan hipnoterapi. Saya biasanya mendapat pertanyaan seperti ini dari alumni pelatihan hipnoterapi saya, bukan dari seorang anak remaja. Tentu saya kaget dan juga senang.
Saya memanfaatkan kesempatan baik ini untuk menerangkan tentang pikiran, proses tumbuh kembang anak, luka batin atau trauma, regresi, dan bahasa apa yang harusnya digunakan terapis bila klien mampu berkomunikasi fasih dalam beberapa bahasa. Walau usianya masih sangat muda untuk belajar atau tahu lebih banyak tentang hipnoterapi, saya yakin informasi yang masuk, lebih tepatnya dimasukkan, ke pikiran bawah sadarnya melalui uraian saya, suatu saat nanti pasti akan bermanfaat baginya. Dalam istilah teknis saya melakukan seeding.
Sebagai terapis tentu suatu saat kita pasti akan bertemu klien yang fasih bicara dalam beberapa bahasa. Saya pernah mendapat klien yang saat kecil tinggal di Indonesia. Ia pindah ke Singapore saat SMP dan selanjutnya ke Amerika hingga usai kuliah. Klien kemudian belajar bahasa Mandarin selama tiga tahun di Cina. Jadi, klien ini lebih fasih bahasa Inggris dan Mandarin daripada bahasa Indonesia.
Apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini agar terjalin rapport yang baik dengan klien dan dapat dilakukan terapi yang efektif?
Sebagai terapis, walau saya mampu bicara dalam beberapa bahasa, namun yang saya benar-benar fasih hanya dua, bahasa Indonesia dan Inggris. Dengan demikian saya tidak bisa menggunakan bahasa Mandarin untuk terapi. Dan seperti yang saya jelaskan di atas, klien lebih fasih bahasa Inggris dan Mandarin daripada bahasa Indonesia. Komunikasi awal via email antara saya dan klien juga dilakukan dalam bahasa Inggris. Klien mengisi intake form juga dalam bahasa Inggris.
Saat klien jumpa saya di AWG Institute, ia langsung menggunakan bahasa Inggris. Saya memutuskan untuk mengikuti klien dan menggunakan bahasa Inggris. Setelah selesai melakukan wawancara, menggali data yang saya butuhkan, saya memulai proses terapi. Semua saya lakukan dalam bahasa Inggris.
Sesuai dengan masalahnya, saya menggunakan teknik age regression untuk membawa klien mundur dan menemukan akar masalahnya. Regresi pertama membawa klien mundur ke usia 10 tahun. Saya langsung berganti bahasa dari Inggris ke Indonesia. Selanjutnya saya terus menggunakan bahasa Indonesia sampai saya berhasil membimbing klien menemukan akar masalahnya di usia 2 tahun.
Pertanyaannya adalah mengapa saya berganti bahasa saat klien mundur ke usia 10 tahun?
Ini adalah strategi terapi. Dari sesi wawancara saya tahu klien pindah ke Singapore saat masuk SMP di usia 12 tahun. Berarti, saat teregresi ke usia 10 tahun, ia masih di Indonesia dan bahasa yang ia gunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia, bukan Inggris.
Dengan menggunakan bahasa Indonesia saya bertujuan mempertahankan klien pada usia 10 tahun sebagai persiapan untuk regresi lanjutan. Alasan lain adalah dengan saya menggunakan bahasa Indonesia berarti yang benar aktif saat itu, menjawab pertanyaan dan berkomunikasi dengan saya, adalah Ego Personality (EP) anak atau Inner Child, bukan Diri klien yang dewasa.
Bila saya tetap menggunakan bahasa Inggris maka bisa terjadi saat teregresi ke usia 10 tahun, misalnya terjadi revivifikasi tipe 1 dan sifatnya komplit, maka klien tidak mengerti bahasa yang saya gunakan. Ia ke Singapore di usia 12 tahun dan menjadi fasih bahasa Inggris setelah lebih dewasa. Kemungkinan lain, saat klien teregresi ke usia 10 tahun dan saya tetap menggunakan bahasa Inggris maka klien akan mengalami progresi, maju kembali ke saat sekarang akibat bahasa yang saya gunakan.
Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah saya akan mengalami kendala saat melakukan teknik gestalt, misalnya berbicara dengan introject ibu, ayah, atau siapa saja yang terlibat di ISE (akar masalah), bila ternyata mereka tidak mengerti bahasa Inggris.
Penggunaan bahasa ibu sangat penting khususnya dalam proses abreaksi yang melibatkan ekspresi verbal. Tentu akan sangat beda rasanya bila kita mengungkap emosi, misal perasaan kesal, marah, jengkel, sakit hati, terluka, dan sebagainya, menggunakan bahasa ibu daripada bahasa asing. Ekspresi verbal menggunakan bahasa ibu membuat kita dapat benar-benar merasakan dan menghayati emosi sehingga proses abreaksi bisa berjalan lancar dan tuntas.
Dalam proses terapi yang menggunakan regresi dan revivifikasi, kondisi ideal adalah klien mengalami revivifikasi tipe 1 dan sifatnya parsial. Penggunaan bahasa yang tidak tepat dengan usia kronologis dan proses akuisisi bahasa dapat mengakibatkan klien yang semula sudah mengalami revivifikasi tipe 1, parsial, berubah menjadi revivifikasi tipe 2. Bila ini terjadi maka proses abreaksi tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan karena klien tidak dapat merasakan emosinya.
Bagaimana bila ternyata saat teregresi klien mundur ke usia di mana ia tidak bisa bahasa Indonesia, Inggris, atau Mandarin dan hanya bisa bahasa daerah atau dialek? Ini tetap dapat diselesaikan dengan kreatifitas dan teknik yang sesuai.
Usai melakukan proses abreaksi dan restrukturisasi pikiran bawah sadar, klien dibawa kembali ke masa sekarang. Di tahap ini saya kembali menggunakan bahasa Inggris karena berkomunikasi dengan Diri klien yang dewasa, bukan Inner Child.
Bagaimana bila misalnya klien adalah orang asing dan hanya bisa bahasa Inggris sedangkan terapis tidak bisa? Solusinya sangat mudah. Rujuk klien ke rekan sejawat yang fasih bahasa Inggris, gitu aja kok repot.
Aversion therapy (AT) adalah satu teknik modifikasi perilaku dengan cara menghubungkan kebiasaan atau perilaku yang hendak dimodifikasi, baik itu dikurangi atau dihentikan, dengan satu sensasi atau perasaan tidak menyenangkan baik di aspek mental, emosi, atau fisik.
Ada banyak bentuk AT, misalnya, mengoles jari anak dengan minyak atau zat tertentu dengan tujuan agar anak berhenti menggigit kuku atau mengisap jempolnya. Cara ini juga biasa digunakan ibu yang ingin menyapih anaknya.
Tujuan dari AT hanya satu yaitu menghentikan kebiasaan atau perilaku tertentu yang dianggap tidak baik atau merugikan. AT dapat diaplikasikan untuk mengatasi kebiasaan merokok, makan berlebih, minum alkohol, berjudi, pornografi, selingkuh, malas belajar, dan banyak kebiasaan atau perilaku lainnya.
AT juga digunakan dalam hipnoterapi dan dapat memberi hasil yang baik sampai batas tertentu. Namun penggunaan AT dalam hipnoterapi sebaiknya dilakukan dengan bijaksana dan cermat karena bila dilakukan tanpa perhitungan yang matang justru akan sangat merugikan klien. Saya tidak setuju dan tidak pernah menggunakan AT dalam praktik saya dan juga tidak diajarkan di pelatihan hipnoterapi yang saya selenggarakan. Saya yakin, dari pengalaman membantu klien selama ini, perubahan yang langgeng hanya bisa terjadi bila didasari dengan niat tulus, kesadaran, dan kebijaksanaan, bukan dengan paksaan atau ancaman. Setelah selesai membaca artikel ini Anda pasti mengerti maksud saya.
Berikut saya beri satu contoh aplikasi AT dalam hipnoterapi untuk menghentikan kebiasaan merokok.
Klien datang ke terapis dengan tujuan berhenti merokok. Saat wawancara klien menjelaskan semua alasan logis mengapa ia perlu berhenti merokok. Dan semuanya masuk di akal klien maupun terapis.
Berbekal keyakinan bahwa klien menunjukkan motivasi kuat untuk berhenti merokok, terapis melakukan AT. Setelah membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis yang dalam, terapis mulai memberi sugesti, kurang lebihnya seperti ini:
“Mulai sekarang dan seterus, setiap kali Anda ingin merokok, melihat rokok, mencium bau rokok, menghirup asap rokok, atau ditawari rokok oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, tanpa alasan yang jelas namun pasti Anda mulai merasa mual dan mencium bau rokok seperti bau ikan busuk. Anda sungguh merasa tidak nyaman. Dan semakin Anda bersikeras untuk tetap merokok maka perasaan mual Anda menjadi semakin kuat dan bau rokok menjadi sama baunya dengan ikan yang telah membusuk berhari-hari. Anda merasa jijik.
Sekarang bayangkan diri Anda ditawari rokok…atau bayangkan Anda mencium bau rokok… atau menghirup asap rokok… bayangkan… rasakan… tiba-tiba Anda merasa mual dan mencium bau ikan busuk yang membuat Anda sangat tidak nyaman…
Bila Anda tetap merokok, inilah yang pasti terjadi. Bayangkan diri Anda merokok… lihat dan rasakan asap rokok ini masuk ke paru-paru Anda… berubah menjadi racun mematikan….. masuk ke dalam darah dan menyebar ke seluruh tubuh Anda… membuat paru-paru Anda keracunan dan mulai timbul kanker…menyebar ke seluruh tubuh Anda… membuat Anda sangat sakit… menderita… dan akhirnya Anda mati dengan kondisi sangat menderita, menyedihkan, dan mengenaskan. Selain itu, dengan kondisi sakit ini, Anda juga merepotkan semua keluarga Anda, membuat mereka ikut menderita. Saat mati, Anda masuk neraka… api neraka membakar Anda selamanya karena Anda telah menyia-nyiakan hidup yang telah Tuhan berikan kepada Anda. Tentu Anda tidak ingin mati seperti ini, bukan?
Sekarang, bayangkan dan atau rasakan Anda berhenti merokok. Bayangkan dan rasakan tubuh Anda sehat… kuat… Anda bisa berumur panjang… bahagia…”
Dari sugesti di atas tampak bahwa terapis berusaha menghubungkan antara kebiasaan merokok dengan akibat negatif yang akan menimpa klien bila klien meneruskan kebiasaan ini.
Apakah ini akan berhasil? Jawabannya bisa ya… bisa juga tidak.
Ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan saat memberikan sugesti kepada klien. Pertama, motivasi klien. Bila klien datang dengan motivasi yang sangat kuat untuk berubah maka hanya dengan sugesti sederhana klien bisa langsung berubah. Kedua, kedalaman relaksasi pikiran. Semakin dalam (deep trance) semakin baik karena critical factor telah berhasil ditembus sehingga kemampuan analisis dan menolak sugesti menjadi sangat berkurang atau bahkan sudah tidak bekerja. Akibatnya, sugesti apapun yang diberikan akan langsung masuk ke pikiran bawah sadar, diterima, dan dijalankan. Ketiga, susunan kata atau semantik yang digunakan. Keempat, otoritas terapis di mata klien.
Bila terapinya berhasil, klien sembuh. Namun, bagaimana bila ternyata sugesti ini tidak bekerja seperti yang diharapkan? Atau, sugesti ini bekerja untuk beberapa saat, setelah itu klien kembali kepada kebiasaan lamanya? Bila ini yang terjadi, apa efek dari AT terhadap diri klien?
Sebelum saya menjelaskan apa yang mungkin terjadi pada diri klien bila AT gagal, terlebih dahulu saya akan menjelaskan mengapa AT bisa gagal dalam hipnoterapi.
Cara kerja pikiran bawah sadar berbeda dengan pikiran sadar. Saat suatu sugesti dimasukkan ke pikiran bawah sadar akan terjadi beberapa kemungkinan. Pertama, sugesti tidak dijalankan. Kedua, sugesti langsung dijalankan seperti yang diharapkan. Ketiga, sugesti dijalankan namun tidak maksimal.
Mengapa ini bisa terjadi?
Untuk ini kita perlu memahami apa sebenarnya perilaku. Perilaku, seperti yang saya tulis di buku Hypnotherapy for Children, adalah strategi yang telah teruji dan terbukti sangat efektif dan efisien, dari berbagai strategi yang telah dicoba oleh seorang anak, untuk bisa mendapatkan hal-hal yang anak inginkan dengan cepat, mudah, dan dengan tingkat keberhasilan yang paling tinggi.
Dengan demikian berarti perilaku punya fungsi yang spesifik untuk memberi apa yang kita inginkan. Dalam contoh di atas, klien merokok untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Seringkali saat ditanya alasannya merokok, klien akan menjawab bahwa ia merokok agar bisa berpikir jernih atau merasa tenang saat lagi stres.
Apakah alasan ini benar? Tidak. Seringkali alasan sesungguhnya klien merokok adalah untuk mendapat pujian, pengakuan, atau penerimaan dari kelompoknya. Dan tentunya awal klien merokok bukan saat ia dewasa namun saat masih remaja. Seiring waktu berjalan ia telah lupa alasan awal ini dan mulai membangun alasan baru yang menyatakan bahwa dengan merokok ia akan merasa tenang dan tidak stress.
Aversion Therapy (AT) tidak menyentuh alasan awal atau akar masalah. AT hanya menghubungkan satu kebiasaan atau perilaku yang hendak dikurangi atau dihentikan dengan perasaan atau sensasi yang tidak menyenangkan atau menyakitkan.
Harapannya, sesuai sifat pikiran bawah sadar yang lebih cenderung menghindari rasa sakit (pain) dan mengejar kesenangan (pleasure), klien akan berhenti melakukan tindakan atau perilaku yang tidak menguntungkan dirinya.
Namun, yang menjadi kendala adalah pemahaman akan pain atau pleasure di pikiran sadar dan bawah sadar ternyata berbeda. Apa yang dianggap pain oleh pikiran sadar bisa menjadi pleasure oleh pikiran bawah sadar. Ini disebabkan pikiran sadar dan bawah sadar bekerja dengan dua hukum yang berbeda.
Pain, bagi pikiran sadar, adalah hal-hal yang merugikan, menyakitkan, tidak menyenangkan, atau membahayakan. Pleasure adalah segala hal yang positif, menyenangkan, dan membawa kebaikan.
Pikiran bawah sadar punya pemahaman yang berbeda. Pain adalah segala sesuatu yang tidak ia kenal (unknown). Sedangkan pleasure adalah segala sesuatu yang ia kenal (known).
Jadi, walaupun sesuatu ini buruk menurut pikiran sadar, namun bila dikenal oleh pikiran bawah sadar maka ini adalah pleasure. Dan karena ini adalah pleasure sudah tentu pikiran bawah sadar akan berusaha keras mempertahankannya.
Hal lain yang dapat menghambat sugesti yang digunakan dalam AT adalah penolakan dari empat filter mental yang ada di dalam pikiran bawah sadar. Saat critical factor dari pikiran sadar menjadi nonaktif karena relaksasi pikiran, benar sugesti dapat dimasukkan dengan leluasa ke pikiran bawah sadar, namun sugesti ini tetap akan melewati empat filter mental di pikiran bawah sadar. Empat filter mental ini yaitu filter survival (keselamatan hidup), filter moral/agama, filter benar/salah, dan filter masuk akal/tidak.
Sugesti yang mengatakan bahwa bau rokok sama seperti bau ikan busuk cepat atau lambat akan dianulir oleh pikiran bawah sadar karena pernyataan ini tidak benar. Bila dianulir maka sugesti ini menjadi tidak berlaku. Akibatnya, klien akan tetap merokok.
Sugesti yang masuk ke pikiran bawah sadar akan mengalami tiga kemungkinan. Pertama, sugesti berjalan dengan baik, seperti yang diharapkan, dan klien sembuh. Kedua, sugesti sama sekali tidak dijalankan, klien tidak sembuh. Ketiga, sugesti jalan sebentar setelah itu berhenti dan klien kembali ke pola lamanya.
Pada kemungkinan pertama tidak akan timbul masalah. Masalah serius dapat muncul bila yang terjadi adalah kemungkinan kedua atau ketiga di mana klien tetap merokok atau sempat berhenti sebentar kemudian kembali merokok.
Di sinilah kemungkinan terburuk dapat terjadi. Dalam AT yang dilakukan kepada klien, terapis, seperti yang saya contohkan di atas memberi sugesti berikut:
“ …………….. bila Anda tetap merokok, inilah yang pasti terjadi. Bayangkan diri Anda merokok… lihat dan rasakan asap rokok ini masuk ke paru-paru Anda… berubah menjadi racun mematikan dan masuk ke dalam darah dan menyebar ke seluruh tubuh Anda… membuat paru-paru Anda keracunan dan mulai timbul kanker… menyebar ke seluruh tubuh Anda… membuat Anda sangat sakit… menderita… dan akhirnya Anda mati dengan kondisi sangat menderita, menyedihkan, dan mengenaskan. Selain itu, dengan kondisi sakit ini, Anda juga merepotkan semua keluarga Anda, membuat mereka ikut menderita. Saat mati, Anda masuk neraka… api neraka membakar Anda selamanya karena Anda telah menyia-nyiakan hidup yang telah Tuhan berikan kepada Anda.”
Terapis, disadari atau tidak, karena abai dan tidak memroses akar masalah atau alasan awal klien merokok, telah memasukkan satu program pikiran yang sangat destruktif ke pikiran bawah sadar klien. Akibatnya, saat klien tetap merokok, bagian dari sugesti yang bertujuan membuat klien takut atau jera sehingga berhenti merokok justru dijalankan dan menjadi realita klien. Bisa Anda bayangkan apa yang terjadi? Bila Anda adalah klien, apakah Anda bersedia mendapat sugesti seperti ini?
Beberapa waktu lalu saya kedatangan klien, anak muda usia 21 tahun, yang minta saya untuk membantunya berhenti merokok. Dalam sehari ia biasa menghabiskan tiga pak rokok. Ia minta diterapi sehingga dapat berhenti total. Menghentikan kebiasaan merokok, dengan hipnoterapi, sangatlah mudah.
Saya tentu tidak serta merta mengabulkan permintaannya. Semua penjelasan dan alasannya berhenti merokok masuk akal, sangat logis, dan bagus. Setelah membimbing klien ini masuk ke kondisi hipnosis yang dalam saya bertanya kepada pikiran bawah sadarnya apakah berkenan, diijinkan, atau dibolehkan bila saya membantu klien berhenti merokok. Ternyata ada satu Bagian Diri (Ego Personality), yang disebut Perokok, keberatan bila klien berhenti total. Menurut Perokok klien perlu tetap merokok karena dengan merokok klien dapat menjadi lebih rileks, tenang, dan bisa berpikir jernih saat ada masalah. Akhirnya saya melakukan negosiasi, disepakati, dan disetujui oleh Perokok bahwa dalam satu hari klien hanya boleh merokok maksimal enam batang. Dan dari hasil follow up beberapa hari kemudian klien menjelaskan bahwa benar dalam sehari ia merokok maksimal enam batang. Lebih sering dua atau tiga batang saja.
Bisa dibayangkan bila saya menggunakan aversion therapy. Besar kemungkinan akan terjadi seperti yang saya jelaskan di atas.
Satu hal yang sering terjadi bila terapis menggunakan AT adalah kondisi yang saya namakan dengan efek pembalikan atau bouncing effect. Bouncing effect adalah kondisi di mana perilaku klien menjadi semakin parah karena pikiran bawah sadar, lebih tepatnya ada Ego Personality, marah dan balik melawan sugesti yang diberikan terapis.
Keadaannya sama seperti bila kita menekan bola ke dalam air. Selama tekanan ke bawah, dalam hal ini sugesti yang diberikan kepada klien, tetap kuat menahan bola (baca: masalah) di dalam air, maka seolah-olah bolanya hilang karena tidak lagi tampak di permukaan. Namun saat tekanan melemah atau lepas maka bola akan melesat keluar dari dalam air dan melambung di udara.
Saya yakin, setelah membaca seluruh uraian paparan di atas, Anda kini pasti setuju dengan pendapat saya yang tidak setuju dengan penggunaan AT, khususnya dalam hipnoterapi.