The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA
Artikel ini diangkat dari diskusi dengan para rekan sejawat saya, hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, saat kami membahas topik hypnotic age regression, screen memory, dan teknik penanganan Ego Personality di kelas SECH tingkat lanjut (advanced).
Saya yakin saat membaca judul artikel ini pasti muncul pertanyaan di benak Anda, “Ah.. yang benar. Saya tidak pernah dengar, baca, atau tahu bila akar masalah bisa berasal dari masa depan. Akar masalah selalu berasal dari masa lalu. Jangan-jangan Pak Adi hanya bercanda.”
Pembaca, dalam membantu klien mengatasi masalah mereka ada sangat banyak teknik yang bisa digunakan, bergantung pada jenis masalah, cara penanganan, dan kebutuhan. Salah satu teknik yang biasa digunakan oleh hipnoterapis adalah hypnotic age regression atau yang biasa dikenal dengan regresi.
Regresi digunakan untuk mencari dan menemukan akar masalah atau ISE (Initial Sensitizing Event). Penjelasan lebih detil mengenai ISE (Initial Sensitizing Event) dapat Anda baca di artikel “Dalam Hipnoterapi Perlukah Menemukan ISE?”
Regresi dalam hipnoterapi lazimnya dilakukan dengan menuntun pikiran klien menyusuri garis waktunya, mundur ke masa lampau, untuk menemukan situasi, kejadian, atau peristiwa yang menjadi akar masalah yang dialami klien saat ini. Penelusuran ini biasanya tidak serta merta berhasil mencapai ISE. Biasanya, klien akan mundur ke dua atau tiga peristiwa dengan muatan emosi serupa, walau kejadiannya berbeda, yang disebut SSE (Subsequent Sensitizing Event), baru setelah itu mencapai ISE.
Dalam banyak kasus yang pernah saya tangani ada klien yang mundur tidak hanya ke masa kecilnya namun hingga ke masa saat ia dalam kandungan ibunya. Dan beberapa klien bahkan mengatakan, percaya atau tidak, terlepas dari sistem kepercayaan klien dan terapis tidak punya kepentingan untuk melakukan validasi data, mereka mundur hingga ke kehidupan lampau (past life).
Ada terapis yang percaya bahwa klien benar mundur hingga ke kehidupan lampau. Saya pribadi berpandangan, dan ini adalah sikap resmi lembaga saya, bahwa apapun yang dimunculkan oleh pikiran bawah sadar klien, khususnya mengenai kehidupan lampau, adalah metafora. Kami tidak berkepentingan untuk mengecek keabsahan data yang muncul. Bagi kami yang penting klien sembuh.
Dari uraian saya di atas dapat disimpulkan bahwa akar masalah terjadi di masa lalu. Namun, dan ini yang sangat menarik, dari beberapa kasus yang pernah kami tangani, ternyata akar masalah bisa berasal dari masa depan.
Ada dua situasi yang dikategorikan akar masalah berasal dari masa depan. Situasi pertama, klien mengalami hambatan menjalani kehidupannya karena khawatir, takut, ragu, dan atau cemas akan sesuatu di masa depan. Contohnya adalah wanita yang tidak bisa hamil karena ia khawatir tidak bisa memberikan penghidupan yang layak kepada anak-anaknya. Ada lagi klien yang mengalami “lumpuh mental” karena dikuasai ketakutan bahwa ia pasti mengalami kegagalan di masa depan.
Untuk kategori pertama dapat disimpulkan bahwa akar masalah bisa jadi bukan berasal dari masa depan. Terapis dapat melakukan teknik hipnoanalisis untuk mencari kejadian atau peristiwa di masa lalu dengan pemikiran bahwa ketakutan tidak bisa memberi penghidupan yang layak kepada anak atau ketakutan mengalami kegagalan di masa depan, pastilah tidak muncul dengan sendirinya. Dari pengalaman selama ini biasanya ada peristiwa di masa lalu yang terekam di pikiran bawah sadar yang membuat seseorang punya kecemasan atau ketakutan akan masa depan.
Untuk contoh kasus ini terapi bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, mencari dan menemukan akar masalah atau melakukan edukasi kepada klien tentang makna emosi yang ia rasakan dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini.
Namun bila telah dilakukan proses pencarian ke masa lampau dan tidak ditemukan penyebab munculnya ketakutan atau kecemasan dalam diri klien yang berhubungan dengan masa depannya barulah kasus ini disimpulkan sebagai akar masalah berasal dari masa depan.
Situasi kedua, saat terapis melakukan regresi klien bukannya mundur ke masa lalu namun malah melompat ke masa depan. Yang dimaksud masa depan dalam konteks ini bisa masa depan di kehidupan ini, dan dalam beberapa kasus bahkan di kehidupan yang akan datang.
Bisa anda bayangkan bagaimana reaksi terapis saat mendengar jawaban pikiran bawah sadar klien, saat klien diregresi, bahwa ia maju ke tahun 2117? Akan lebih membingungkan lagi bila klien menjelaskan bahwa apa yang ia alami di tahun 2117 ini mengakibatkan ia di kehidupannya yang lampau, yaitu di tahun 2013, saat terapi dilakukan, menjadi bermasalah.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah benar akar masalah (ISE) klien benar-benar berasal dari kehidupan di masa depan (future life)? Bagaimana terapis dapat memvalidasi hal ini?
Sebagai terapis kami tidak bisa dan tidak punya kepentingan untuk memvalidasi apakah benar akar masalah ini dari masa depan. Hal yang sama berlaku untuk akar masalah yang berasal dari kehidupan lampau.
Apapun akar masalahnya dan tidak peduli dari masa sumbernya kami punya satu prinsip dalam penanganannya. Dan selama ini, dengan berpegang teguh pada prinsip ini, kami berhasil membantu klien mengatasi masalah mereka .
Untuk bisa menangani akar masalah dari kehidupan lampau atau kehidupan akan datang terapis perlu memahami benar cara kerja, hukum, dan fungsi pikiran bawah sadar. Di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy saya mengajarkan tentang enam komponen dalam bahasa pikiran bawah sadar, dua belas hukum dan enam belas sifat pikiran bawah sadar.
Berdasarkan pemahaman akan hal ini kami menyimpulkan hal berikut:
Judul artikel ini berasal dari pertanyaan yang diajukan seorang rekan hipnoterapis melalui inbox. Ia bertanya, “Pak Adi, saya mohon penjelasan. Dalam beberapa artikel Pak Adi menjelaskan pentingnya menemukan ISE untuk menuntaskan suatu masalah. Dan saya juga pernah membaca artikel Bapak yang menjelaskan penanganan kasus tertentu dan Bapak tidak mencari ISE namun masalah klien juga berhasil diselesaikan tuntas. Ini yang benar yang mana?”
Saya perlu menjelaskan terlebih dahulu mengenai ISE agar pembaca yang awam dengan hipnoterapi dapat memahami penjelasan selanjutnya.
Suatu masalah tidak muncul dengan tiba-tiba. Tidak mungkin ada asap tanpa adanya api. Masalah atau simtom muncul setelah seseorang mengalami serangkaian kejadian atau peristiwa dengan tema atau muatan emosi yang sama atau serupa. Saya menamakan proses ini sebagai Efek Bola Saju.
Saat pertama kali bola salju kecil mulai menggelinding dari atas bukit maka ini belum menjadi masalah. Dalam proses ia berguling ke bawah, menuju ke lembah, bola salju ini akan mulai membesar, menggulung dan membawa serta berbagai materi yang kebetulan berada dalam lintasannya. Semakin lama bola salju ini menjadi semakin besar dan semakin besar dan membangun momentum yang juga semakin besar. Bila kita ingat pelajaran Fisika, Momentum = Massa X Kecepatan.
Semakin lama, massa bola salju ini semakin besar, ditambah dengan kecepatan yang semakin tinggi, maka momentumnya juga akan semakin bertambah. Saat mencapai momentum tertentu bola salju ini akan menjadi masalah serius.
Inilah yang terjadi di pikiran bawah sadar seseorang. Bola salju pertama, yang masih kecil, yang menjadi bibit bola salju raksasa, tidaklah berbahaya atau membuat masalah. Dalam terminologi hipnoterapi, bola salju pertama ini disebut dengan ISE atau Initial Sensitizing Event.
Materi-materi lanjutan yang dibawa oleh bola salju ini, saat menggelinding ke bawah bukit, disebut dengan SSE atau Subsequent Sensitizing Event.
Dari pengalaman saya selama ini sangat jarang terjadi ISE langsung menimbulkan masalah. Biasanya yang terjadi adalah ISE akan diikuti dengan beberapa SSE barulah kemudian muncul masalah.
Ada masalah yang muncul setelah ISE dan 1 SSE. Ada lagi yang ISE, SSE1, dan SSE2. Ada lagi ISE, SSE1, SSE2, dan SSE3. Bisa juga SSE-nya lebih banyak lagi.
Klien biasanya tidak ingat kejadian yang menjadi ISE masalahnya. Ia tidak ingat bisa karena memang lupa, karena kejadiannya sudah sangat lama. Bisa juga klien lupa karena pikiran bawah sadarnya, dengan alasan tertentu, menyembunyikan ISE sehingga tidak bisa diakses oleh pikiran sadar.
Berikut saya beri contoh proses terjadinya fobia kecoa yang dialami seorang klien saya. Klien ini, sebut saya Bu Rini, merasa sangat takut dan jijik dengan kecoa. Ia tidak tahu mengapa ia begitu takut dengan kecoa.
Dengan menggunakan teknik tertentu saya berhasil menemukan rangkaian kejadian yang membuat Bu Rini takut dan jijik pada kecoa. Ternyata, ISE-nya terjadi saat ia berusia dua tahun. Saat itu ia melihat ibunya menjerit ketakutan saat seekor kecoa keluar dari lubang avur di kamar mandi. Kejadian awal ini tidak serta merta membuat Rini kecil langsung takut pada kecoa.
Kejadian lanjutan, saat ia berusia lima tahun, ia melihat tantenya panik saat melihat kecoa. Saat usia delapan tahun, kembali ia melihat ibunya melompat ke atas kursi saat tahu seekor kecoa melintas di dekat kakinya. Apakah setelah melihat rangkaian kejadian ini Rini jadi takut kecoa? Belum.
Pada saat usia dua belas tahun, saat ia membuka lemari, seekor kecoa terbang dan hingga di wajahnya. Tentu saja Rini kaget sekali. Hal ini diperparah dengan ibunya yang ikut-ikutan panik dan berteriak. Mulai saat ini Rini menjadi takut dan jijik terhadap kecoa.
Masalah-masalah yang biasa klien alami terjadi dan muncul mengikuti alur di atas. Misalnya merasa diri bodoh, takut ditolak, tidak berani bicara di depan umum, takut sendiri / kesepian, tidak bisa merasakan emosi tertentu, dan sebagainya.
Nah, kembali ke pertanyaan yang menjadi judul artikel ini, “Dalam hipnoterapi perlukah menemukan ISE?” Jawabannya, “May…. may be yes, may be no” atau “Bisa ya… bisa tidak.” Semua bergantung pada intensitas emosi pada ISE, yang mendasari munculnya suatu masalah, intensitas emosi yang dirasakan klien saat bertemu terapis, otoritas hipnoterapis, dan teknik terapi yang digunakan.
Berikut saya berikan beberapa contoh. Ada teknik terapi yang tidak perlu menemukan ISE karena memang tekniknya tidak didesain untuk tujuan ini. Misalnya teknik terapi berbasis sugesti, baik yang bersifat langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Keefektifan teknik berbasis sugesti bergantung pada beberapa hal, antara lain, motivasi klien, tingkat kedalaman relaksasi pikiran, semantik (pilihan kata dan pemahaman klien), otoritas terapis yang memberi sugesti, dan kekuatan program yang telah lebih dulu ada di pikiran bawah sadar yang mampu menolak atau menghambat sugesti yang baru dimasukkan.
Selain teknik berbasis sugesti, teknik-teknik terapi berbasis NLP juga tidak perlu mencari dan menemukan akar masalah atau ISE. Teknik Hypno-EFT juga tidak perlu mencari ISE.
Saya yakin Anda pasti tahu teknik Hypno-EFT. Teknik ini sangat ampuh mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan emosi. Namun, ada satu kelemahan teknik ini yaitu kita harus benar-benar tahu emosi yang mendasari munculnya masalah.
Beberapa tahun lalu saya pernah memberi seminar di satu sekolah di Klaten. Salah seorang guru, sebut saja Bu Yuni, ternyata sangat takut dengan ular. Bahkan dengan ular mainan atau melihat gambar ular saja Bu Yuni bisa panik. Dan ini sering digunakan oleh murid-muridnya dan juga koleganya untuk menggoda Bu Yuni.
Saya menawarkan Bu Yuni untuk saya Hypno-EFT. Bu Yuni setuju. Intensitas emosi yang dirasakan Bu Yuni ada di skala 10. Saat mengurut sore-spot, intensitas ini turun menjadi 8. Setelah satu putaran, intensitas naik kembali menjadi 10.
Saya ulangi lagi prosesnya sampai tiga kali. Selalu intensitas yang tadinya turun ke 8 kembali naik ke 10. Dari pengalaman saya tahu bahwa pasti ada emosi lain yang mendasari munculnya ketakutan pada ular.
Saya melakukan regresi untuk menemukan ISE. Ternyata yang terjadi adalah ia, saat masih kecil, pernah dibuat kaget oleh kakak sepupunya yang melemparinya dengan mainan ular. Saat saya tanya apa yang ia rasakan, Yuni kecil menjawab bahwa ia merasa marah dan jengkel pada kakak sepupunya.
Setelah tahu emosi ini saya langsung meminta Bu Yuni buka mata dan meneruskan Hypno-EFT dengan tujuan menetralisir perasaan marah dan jengkelnya. Dalam sekejap perasaan ini hilang. Dan setelah perasaan ini hilang saya langsung meminta Bu Yuni melihat ular mainan. Apa yang terjadi? Semua ketakutannya hilang tak berbekas. Ia sembuh. Padahal sama sekali tidak menerapi ketakutannya terhadap ular.
Jadi, perasaan takut pada ular yang ia rasakan saat dewasa sebenarnya adalah kamuflase dari emosi lain. Bila emosi pada ISE tidak berhasil ditemukan maka Hypno-EFT tidak akan efektif. Untuk mengatasinya hal ini saya telah menyempurnakan kalimat Set Up yang digunakan dalam Hypno-EFT.
Ada klien lain yang saya bantu dengan teknik Ego State Therapy, yang merupakan bagian dari teknik EPT (Ego Personality Therapy). Klien ini sangat takut ditolak. Ketakutan ini membuat hidupnya susah. Saya berusaha melakukan negosiasi dengan Ego State atau Bagian Diri yang membuat ia takut ditolak. Setelah berhasil dinego Bagian Diri ini bersedia menghentikan “gangguannya” dan berganti peran mendukung hidup klien.
Namun saat saya melakukan uji hasil terapi, ternyata klien tetap merasa takut penolakan. Lho, kan tadi sudah selesai negosiasi. Apa yang salah ya? Ternyata ada “sesuatu” yang membuat Bagian Diri ini kembali ke peran sebelumnya. Setelah beberapa kali mencoba teknik Ego State Therapy dan tidak berhasil akhirnya saya memutuskan melakukan regresi untuk menemukan ISE. Barulah setelah saya memproses ISE dan SSE-nya masalah klien berhasil tuntas diselesaikan.
Apakah semua kasus yang ditangani dengan EPT harus diselesaikan dengan regresi? Tidak. Bila negosiasinya berhasil dan hasilnya bagus maka tidak perlu regresi. Namun Ego State Therapy juga memiliki keterbatasan. Terapis tidak boleh hanya mengandalkan satu teknik saja tapi perlu menguasai banyak teknik yang bisa digunakan sesuai situasi dan kondisi.
Teknik lain yang sering digunakan dalam melakukan terapi adalah teknik desensitisasi. Salah satu varian dari teknik ini adalah desensitization by object projection (DOP). Cara melakukan DOP adalah dengan meminta klien membayangkan masalahnya sebagai suatu objek konkrit. Objek ini selanjutnya diproses, bisa dikeluarkan dari tubuh klien, dibuat mengecil, menguap, berubah warna atau bentuk, dan menghilang. Teknik ini, secara statistik, hanya efektif dilakukan pada 10% klien yang sangat sugestif. Syarat lain agar teknik ini bisa bekerja maksimal yaitu otoritas terapis harus sangat tinggi di mata klien.
Bagaimana bila sudah menggunakan DOP masalah klien tidak bisa teratasi? Bila ini yang terjadi maka perlu dicari akar masalahnya (ISE).
Selain masalah di atas, teknik yang digunakan ternyata tidak berhasil mengatasi masalah klien sehingga perlu dilakukan regresi untuk menemukan ISE, hipnoterapis yang tidak terlatih biasanya akan mengalami kesulitan untuk menemukan ISE. Seringkali yang ditemukan adalah SSE yang oleh terapis disangka sebagai ISE.
Lalu, apa akibatnya bila ternyata proses terapi tidak berhasil menemukan ISE?
Bila misalnya rangkaian prosesnya adalah ISE, SSE1, SSE2, SSE3, dan proses terapi hanya dilakukan di SSE1, tanpa menyentuh ISE, maka ini dapat membuat klien sembuh untuk beberapa saat. Setelah itu pasti akan kambuh lagi karena masih ada ISE yang akan terus menggelinding membangun momentum lagi.
Namun, dalam beberapa kasus yang pernah saya tangani, karena alasan tertentu pikiran bawah sadar tidak bersedia mengungkap ISE dan saya hanya berhasil menemukan SSE1. Dalam situasi ini saya tetap memproses SSE1 sampai tuntas. Pemrosesan ini, tentunya dengan menggunakan teknik khusus, berhasil sekaligus menetralisir ISE dan klien sembuh.
Jadi, apakah perlu menemukan ISE? Jawabannya may… may be yes… may be no…..bergantung pada jenis kasus, situasi, kondisi, dan teknik yang digunakan.
Seorang calon klien mengeluhkan kondisinya yang sering pusing sebelah. Untuk mengetahui apa yang terjadi pada dirinya, ia banyak bertanya, banyak browsing internet, googling, dan justru membuat ia menjadi semakin bingung. Berikut beberapa pendapat “pakar” mengenai penyebab sakit kepalanya yang berhasil ia himpun:
Dokter : migraine, keseimbangan terganggu.
Sinshe : tekanan darah tidak stabil.
Akupunturis : aliran chi terhambat
Chiropractor : ada ruas tulang leher yang terganggu.
Ahli gizi : kurang asupan nutrisi tertentu
Energy healer : beberapa chakra kurang sehat, perlu dibersihkan dan diseimbangkan.
Loktang : diikuti atau ketempelan mahkluk halus yang jahat.
Dukun : kena santet.
Ahli Hongsui : hongsui-nya rumah kurang bagus, perlu dilakukan beberapa perombakan.
Penjual Kasur : tidurnya kurang lelap, perlu ganti kasur yang bagus.
Praktisi Neurofeedback : otaknya “overaroused”, perlu dibuat lebih rileks.
Terapis Past Life : ini karena akibat kejadian di kehidupan lampau / karma masa lampau.
Hipnoterapis : ada konflik dalam diri, emosi tidak stabil sehingga pusing.
Penjual Sandal Kesehatan : aliran darah kurang lancar, perlu pakai sandal kesehatan.
Psikolog : stres berlebih akibat tekanan pekerjaan.
Pakar Neuroscience : ada ketidakseimbangan neurotransmitter di otak.
Penjual Batu Perhiasan : Yin-Yang tidak seimbang, perlu memakai batu tertentu, yang sesuai dengan shio/zodiak.
Suhu : tahun ini jiong, perlu di-cisuak.
Hmm... ini yang benar yang mana ya?
Mendengar ceritanya saja saya juga mulai pusing. Jadi, mana yang benar? Saya jelaskan kepada calon klien ini bahwa masing-masing pendapat “benar” menurut masing-masing pakar. Mereka punya dasar pemikirannya sendiri. Dan masing-masing tentu punya solusi. Ini tidak bisa dicampur-aduk.
Lalu, bagaimana kita menilai mana yang benar? Ini sangat relatif dan subjektif. Saya menyarankan calon klien ini untuk melakukan pemeriksaan medis menyeluruh. Bila hasil pemeriksaan medisnya ternyata bagus, tidak ada masalah, berarti ini bukan masalah fisik tapi lebih karena faktor emosi/psikis atau faktor lain. Barulah dari sini dicari apa yang membuat ia sering pusing sebelah.
Saat ditanya apakah saya bisa membantu dirinya, saya jawab, “Saya hanya bisa membantu dengan menggunakan teknik hipnoterapi karena saya tidak menguasai “teknik” lainnya. Sebaiknya Anda ke dokter dulu. Bila memang tidak ada masalah barulah mencari terapis lain. Dan ini bergantung lagi sepenuhnya pada apa yang Anda yakini. Bila Anda yakin diri Anda “ketempelan” makhluk halus maka ini tidak bisa dengan hipnoterapi. Anda perlu cari orang "pintar" untuk membantu Anda. Belief Anda sangat menentukan hasil terapi.”
Saya sering mendengar pernyataan bahwa manusia termotivasi oleh dua emosi mendasar yaitu menghindari rasa sakit (PAIN) dan mengejar kesenangan (PLEASURE). Berdasar pemahaman ini, seorang rekan, menerapkan teknik Pain-Pleasure untuk mengatasi masalah enuresis (mengompol saat tidur) yang dialami anaknya yang berusia 5 tahun.
Apa yang dilakukan rekan ini?
Ia menunggu sampai pagi hari dan memeriksa apakah anaknya masih mengompol. Ternyata, seperti perkiraannya, anaknya masih juga mengompol. Dan tanpa banyak bicara rekan ini langsung menyiram anaknya dengan air dingin satu ember. Tentu saja anaknya kaget bukan main karena tidak menyangka akan mendapat guyuran air dingin.
Mengapa ia melakukan hal ini?
Menurutnya, si anak pasti akan menghindari rasa sakit (Pain) yaitu disiram air dingin. Dan untuk mengejar rasa senang (Pleasure) yaitu bisa bangun nyaman dan tidak disiram air dingin maka ia akan berhenti mengompol.
Apakah sesederhana ini solusinya?
Tentu tidak. Saya bisa menulis kisah ini karena rekan ini akhirnya menghubungi saya. Ternyata setelah disiram air dingin masalah anaknya malah bertambah. Kalau sebelumnya, masalah si anak hanya mengompol, sekarang ditambah lagi trauma dengan air.
Saat saya tanya dari mana ia belajar teknik “guyur air dingin seember” untuk mengatasi enuresis ia menjelaskan bahwa ia belajar teknik ini dari rekannya. Saat tanya lagi apakah rekannya sudah pernah mencoba teknik ini dan bagaimana hasilnya, ia menjawab tidak tahu.
Saya katakan bahwa pemahamannya tentang pain dan pleasure tidak tepat. Karena pemahamannya salah dan diaplikasikan menjadi teknik terapi maka hasilnya pasti juga salah atau tidak baik.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan Pain dan Pleasure dari perspektif ilmu pikiran?
Teori Pain dan Pleasure ini berasal dari psikologi Behaviorisme yang penelitiannya menggunakan hewan, bukan manusia. Hewan tidak bisa berpikir dan hanya bereaksi secara instingtif. Sedangkan manusia adalah makhluk yang sangat kompleks dan memiliki kemampuan berpikir. Tokoh yang sangat terkenal dalam aliran psikologi ini adalah BF Skinner dengan Operant Conditioning.
Rasa sakit (Pain) dan rasa senang (Pleasure) dipahami di dua level, level pikiran sadar dan bawah sadar. Di level pikiran sadar rasa sakit adalah sesuatu yang tidak menyenangkan atau mengakibat penderitaan. Sedangkan rasa senang adalah sesuatu yang menimbulkan rasa bahagia, aman, atau nyaman. Pain dan Pleasure ini dirasakan baik secara fisik maupun mental/emosi.
Di level pikiran bawah sadar lain pula ceritanya karena pain dan pleasure punya makna yang berbeda. Pain atau rasa sakit bukan sekedar penderitaan atau sakit yang dialami atau dirasakan seseorang. Pain, di level pikiran bawah sadar, lebih merujuk pada sesuatu yang tidak dikenal (unknown). Sedangkan bila sesuatu itu dikenal (known) walaupun mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan akan dimaknai sebagai hal yang menyenangkan atau pleasure.
Keluar dari zona kenyamanan (comfort zone), yang sebenarnya tidak nyaman, adalah penderitaan (pain) karena yang di luar itu tidak dikenal (unknown) oleh pikiran bawah sadar. Sedangkan sesuatu yang dikenal (known) oleh pikiran bawah sadar walaupun mengakibatkan penderitaan dimaknai sebagai pleasure.
Ini yang menjadi alasan mengapa ada orang yang tidak berani pindah kerja walaupun ia merasa tidak puas dengan karirnya sekarang. Walaupun merasa tidak puas ia merasa “nyaman” (pleasure) karena ia mengenal (known) hal yang tidak nyaman ini. Sedangkan kalau harus memulai karir baru adalah tidak menyenangkan (pain) karena tidak ia kenal (unknown).
Saya juga pernah bertemu dengan seorang wanita cantik, cerdas, dan punya karir yang bagus. Sudah delapan tahun ia menjalin kasih dengan pria yang keras, semaunya sendiri, dan suka melakukan kekerasan baik verbal dan fisik (abusive). Namun saat saya tanya mengapa ia tidak putuskan saja hubungan ini dan menjalin relasi baru dengan orang yang lebih bisa menghargai dirinya, ia memberi jawaban yang tanpa ia sadari namun secara gamblang menjelaskan kerja Pain dan Pleasure.
Wanita ini berkata bahwa ia telah pacaran selama delapan tahun. Ia sudah cukup mengenal pacarnya ini dan berharap suatu saat nanti pacarnya berubah. Menurutnya, usianya saat ini juga sudah tidak muda. Bila harus memulai relasi dengan pria lain maka ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit sampai ke komitmen untuk berkeluarga. Dan belum tentu pria baru ini akan lebih baik dari pacarnya saat ini. Bisa jadi lebih buruk. Yang lebih luar biasa lagi adalah sampai saat ini pacarnya belum bersedia memberi komitmen bahwa mereka akan menikah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang menyakitkan tapi dikenal dengan sangat baik oleh pikiran bawah sadar diberi makna sebagai Pleasure, bukan Pain.
Saya menulis artikel ini untuk menjawab pertanyaan beberapa rekan dan sebagai pemberitahuan sekaligus penjelasan kepada khalayak ramai.
Ceritanya begini. Akhir-akhir ini saya mendapat banyak pertanyaan dari calon klien, baik yang mengirim email langsung ke saya atau menghubungi AWG Institute, yang mengatakan mereka telah menjalani terapi dengan hipnoterapis alumnus pelatihan saya dengan sistem paket dan merasa belum mendapat hasil seperti yang diharapkan. Menurut calon klien ini ia telah menjalani 3 paket masing-masing terdiri 4 sesi terapi. Jadi, total 12 sesi terapi untuk kasus tidak percaya diri.
Ada lagi yang mengatakan bahwa ada hipnoterapis alumnus pelatihan saya yang memberi jaminan kesembuhan dengan pelayanan terapi sebanyak yang dibutuhkan klien. Intinya, klien membayar, di depan, sejumlah besar rupiah dan terapis memberikan pelayanan terapi sebanyak dan sesering yang diinginkan klien sampai klien sembuh total dan puas.
Ada calon klien yang mengatakan bahwa mereka telah menjalani terapi beberapa sesi dengan hipnoterapi alumnus pelatihan saya dan sama sekali tidak ada hasilnya dan kecewa karena alumnus ini mematok harga yang sangat tinggi, jauh di atas ketentuan lembaga, dan tidak profesional.
Dan masih ada lagi informasi lain yang disampaikan pada kami tentang "hipnoterapis" lulusan AWG Institute.
Saya sangat berterima kasih atas semua informasi yang disampaikan kepada kami karena ini penting sebagai bentuk kontrol sosial/masyarakat terhadap bentuk pelayanan hipnoterapi yang dilakukan oleh para hipnoterapis yang pernah belajar ke lembaga saya.
Dari penggalian lebih lanjut akhirnya diketahui bahwa para hipnoterapis yang dikeluhkan oleh para calon klien itu bukan hipnoterapis yang pernah belajar ke (lembaga) saya.
Berdasar informasi yang berhasil kami himpun, baik yang dilakukan AWG Institute dan dari para klien yang ditangani hipnoterapis lulusan AWG Insitute, ditemukan bahwa hipnoterapis itu, yang mengaku sebagai murid saya atau lulusan AWG Institute, sebenarnya adalah:
Saya perlu menjelaskan perbedaan antara Quantum Life Transformation workshop (3 malam 4 hari) dan Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy ( 9 hari = 100 jam).
QLT adalah pelatihan berbasis terapi yang bertujuan mengajar teknik self-healing. Berbagai teknik yang diajarkan di QLT hanya untuk diterapkan ke diri sendiri, BUKAN untuk diterapkan ke orang lain. Walaupun sudah jelas bahwa teknik terapi yang diajarkan di QLT workshop adalah untuk menerapi diri sendiri atau self-healing tetap saja ada peserta yang berani buka praktik.
Peserta QLT yang berani buka praktik ini modalnya hanya nekad, pemberian sugesti, dan Hypno-EFT. Ia sama sekali belum pernah belajar hipnosis atau hipnoterapi. Lebih luar biasa lagi peserta ini, walau sudah saya ingatkan untuk tidak melakukan terapi, tetap saja buka praktik. Dan yang sungguh luar biasa lagi, saat ia tidak berhasil mengatasi masalah klien, tanpa segan ia menghubungi saya dan minta waktu untuk konsultasi dan minta saran dan masukan untuk menangani kliennya. Sudah tentu permintaan ini saya tolak.
Pengetahuan mengenai pikiran, dasar teori, teknik terapi, dan yang lainnya yang diajarkan di QLT sudah tentu tidak sedalam yang diajarkan di SECH (d/h QHI). Jadi, mereka yang ikut QLT, walau sudah reseat berkali-kali, tetap TIDAK CAKAP untuk melakukan hipnoterapi atau menerapi orang lain. Mereka hanya cakap menerapi diri sendiri.
Jadi, bila Anda ada melihat foto seseorang bersama saya, dan ia mengaku sebagai murid saya, maka tanyakan apakah ia punya sertifikat C.Ht dari AWG Institute? Biasanya foto itu adalah foto saat ikut QLT atau pas saya mengadakan seminar singkat.
Bila Anda terlanjur datang ke tempat hipnoterapis yang mengaku sebagai alumnus pelatihan saya maka pastikan Anda melihat di ruang praktiknya ada sertifikat sebagai hipnoterapis yang dikeluarkan Adi W. Gunawan Instiute of Mind Technology atau yang dulu masih menggunakan nama Quantum Hypnosis Indonesia. Bila mereka tidak bisa menunjukkan sertifikat ini maka pasti bukan alumnus pelatihan saya.
Kami punya standar baku untuk melakukan hipnoterapi antara lain:
Sebagai hipnoterapis kami tentu punya keterbatasan. Tidak semua kasus dapat kami bantu atau sembuhkan. Ada juga yang telah menjalani beberapa sesi terapi namun belum mencapai hasil maksimal seperti yang diharapkan.
Itu sebabnya kami menetapkan standar terapi maksimal sebanyak empat sesi. Bila sampai empat sesi sama sekali tidak ada perubahan positif dalam diri klien maka terapi kami hentikan. Kami mundur dan menyatakan tidak sanggup membantu klien ini karena pengetahuan dan kecakapan kami belum mampu membantu klien mengatasi masalahnya. Klien disarankan untuk mencari terapis lain yang lebih kompenten.
Bila Anda ragu hipnoterapis yang akan membantu Anda adalah lulusan AWG Insitute atau bukan maka Anda bisa bertanya langsung ke AWG Insitute melalui email cs@adiwgunawan.com atau telpon 031 5461827 dan 5470437.
Dunia hipnosis dan hipnoterapi di Indonesia saat ini telah berkembang sangat pesat. Pemahaman masyarakat juga turut berkembang dengan semakin banyaknya publikasi, baik dalam bentuk buku, e-book, pelatihan, dan berbagai artikel yang dimuat di berbagai situs internet. Sungguh satu hal yang sangat menggembirakan.
Edukasi masyarakat yang telah terjadi sejauh ini telah berhasil mendorong masyarakat untuk menggunakan hipnoterapi sebagai sarana untuk mengatasi masalah mereka, khusus yang berhubungan dengan mental dan emosi.
Di sisi lain, dari diskusi saya dengan beberapa rekan, ternyata masih ada beberapa pandangan atau pemahaman yang kurang tepat mengenai hipnosis dan hipnoterapi.
Dalam kesempatan ini saya hanya akan mengulas satu saja mispersepsi ini.
Banyak orang yang berpandangan bahwa hipnosis sama dengan hipnoterapi, padahal sebenarnya berbeda. Hipnosis per se adalah satu kondisi kesadaran yang terdiri atas banyak level kedalaman. Dengan demikian hipnosis, bila berdiri sendiri, sebenarnya tidak bersifat terapeutik atau menyembuhkan, karena hanya berupa satu kondisi kesadaran.
Hipnosis bila digabungkan dengan teknik terapi, apapun tekniknya, disebut dengan hipnoterapi. Dengan demikian, hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dengan bantuan atau dalam kondisi hipnosis.
Ada perbedaan signifikan antara kemampuan membawa subjek / klien masuk ke kondisi hipnosis dan melakukan hipnoterapi. Orang yang mampu membawa subjek/klien masuk kondisi hipnosis yang dalam belum tentu cakap atau terampil melakukan hipnoterapi. Sebaliknya orang yang mampu dan cakap melakukan hipnoterapi, yang kita sebut sebagai hipnoterapis, pasti cakap membawa klien masuk kondisi hipnosis.
Membawa subjek ke kondisi hipnosis bukanlah hal yang sulit. Keterampilan ini dapat dipelajari dengan sangat cepat hanya melalui pelatihan singkat, meniru apa yang ditonton di Youtube, atau cukup dengan membaca skrip induksi yang telah disiapkan. Di Youtube bisa dijumpai banyak video, dalam bahasa Indonesia, yang menunjukkan cara melakukan induksi.
Pada prinsipnya ada sepuluh teknik dasar induksi. Enam di antaranya, Eye Fixation (Fiksasi Mata), Relaxation, Mental Misdirection, Mental Confusion, Loss of Equilibrium, dan Shock to Nervous System.
Dari keenam teknik dasar ini berkembang menjadi sangat banyak teknik induksi yang secara garis besar terbagi menjadi : instant induction (beberapa detik), rapid induction (sekitar empat menit), dan progressive relaxation (beberapa menit sampai 30an menit).
Seorang stage hypnotist, yang biasa tampil di panggung menghibur penonton, adalah seseorang yang sangat cakap dalam melakukan shock induction. Dalam sekejap ia mampu membawa subjek masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam.
Apakah stage hypnotist dapat melakukan hipnoterapi?
Bisa ya, bisa tidak. Bila stage hypnotist ini juga adalah seorang hipnoterapis maka ia bisa melakukan hipnoterapi. Namun bila ia hanya belajar sampai di level sebagai stage hypnotist maka ia tidak bisa melakukan hipnoterapi.
Jenjang pendidikan dalam dunia hipnosis/hipnoterapi diawali dengan sertifikasi sebagai CH atau certified hypnotist. Ini adalah jenjang paling dasar dan biasanya karirnya adalah menjadi stage hypnotist.
Berikutnya adalah C.Ht atau certified hypnotherapist. Ini adalah level pendidikan untuk menjadi seorang hipnoterapis yang mampu membantu klien mengatasi masalah yang berhubungan dengan aspek mental atau emosi. Dan yang paling tinggi adalah CCH atau certified clinical hypnotherapist.
Tentu, setiap level membutuhkan masa studi yang berbeda bergantung pada lembaga tempat seseorang belajar. Bahkan ada lembaga luar negeri yang memberi gelar CH secara gratis hanya dengan belajar on-line, seperti HMI (Hypnosis Motivation Institute).
Besar harapan saya setelah Anda membaca artikel ini Anda dapat membedakan antara orang yang cakap menghipnosis dan orang yang cakap melakukan hipnoterapi.
Pembaca, bayangkan anda memegang tube pasta gigi yang tertutup rapat. Apa yang akan terjadi bila Anda memencet keras tube pasta gigi ini? Di awal mungkin tidak ada perubahan atau pengaruh. Coba Anda lakukan lagi, pencet lebih kuat, semakin kuat, lebih kuat lagi. Apa yang terjadi? Cepat atau lambat pasta gigi di dalam tube akan mencari jalan keluar. Keluarnya bisa dari dasar tube atau dari samping. Intinya pasta akan mencari jalan keluar dengan membuat lubang melalui titik terlemah dari struktur tube.
Sekarang bayangkan tube adalah diri Anda. Bayangkan Anda di bawah tekanan dan mulai mengalami stres psikologis atau emosi. Anda tetap menutup diri dan tidak bersedia membuka tutup “tube” Anda. Semua Anda simpan atau pendam sendiri. Apa yang akan terjadi?
Cepat atau lambat tekanan ini pasti mencari jalan keluar. Bila tekanan ini tidak bisa keluar dari “tutup” di atas, dengan diungkapkan dan diselesaikan, maka ia akan mencari jalan keluar lainnya. Tekanan ini akan mencari titik terlemah pada “tube” (baca: sistem tubuh) Anda, bisa melalui sistem pencernaan, sistem saraf, sistem kekebalan tubuh, sistem hormon, otot-otot tubuh, atau pola tidur Anda. Saat tekanan “keluar” melalui sistem tubuh maka kita akan sakit.
Bila tekanan ini berhasil mencari jalan keluar dari “atas” maka ia akan menjadi permusuhan, kebencian, sikap agresif, curiga, marah, atau takut. Bila ditekan ke bawah ia akan menjadi sakit, depresi, adiksi, atau kecemasan.
Memahami Simtom
Tubuh berbicara kepada kita melalui simtom, baik melalui jenis simtom, pengaruh simtom terhadap diri kita, dan perubahan yang ia minta kita lakukan. Kata simtom, dalam bahasa Inggris “symptom”, berasal dari bahasa Yunani, syn yang artinya “bersama”, dan piptein yang artinya “jatuh”.
Dengan kata lain, gangguan kesehatan, kesulitan, atau masalah yang dialami seseorang sebenarnya tidak muncul tiba-tiba. Akar masalah bisa jadi telah berlangsung selama beberapa hari, bulan, atau bahkan tahun sebelum akhirnya “jatuh bersama” dan mengakibatkan munculnya simtom.
Pengalaman hidup kita memengaruhi perilaku, perasaan, sikap mental, dan kesehatan. Dengan menaruh perhatian baik pada sejarah simtom dan juga pengaruh/akibat yang ditimbulkannya, kita dapat mulai menemukan, pada level yang lebih dalam, penyebab yang seringkali sangat halus dan tidak kita sadari yang merupakan kunci untuk kesembuhan diri.
Simtom tidak pernah berdiri sendiri. Simtom terhubung ke masa lalu karena ia muncul akibat kejadian atau situasi yang dialami sebelumnya, dan terhubung dengan masa sekarang karena ia memengaruhi hidup kita saat ini.
Simtom membantu, atau lebih tepatnya memaksa, kita untuk kembali menjalin relasi dan mengenal perasaan yang terpendam. Simtom adalah pembawa pesan dari pikiran bawah sadar bahwa ada sesuatu yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius. Bila pesan ini tidak diperhatikan atau diabaikan maka simtom ini akan terus muncul dan berulang.
Trauma tidak berarti sakit atau selalu mengakibatkan munculnya penyakit. Yang menyebabkan penyakit adalah perasaan takut dan kecemasan akibat trauma yang tidak terungkap atau diselesaikan.
Melalui sakit / penyakit, tubuh menyampaikan pesan yaitu ada yang tidak seimbang (balance). Sakit bukanlah hukuman namun cara alamiah yang digunakan tubuh untuk menciptakan keseimbangan.
Tubuh memiliki kearifan yang luar biasa. Bila kita tanggap dan cermat mendengar pesan yang ia sampaikan maka kita dapat membawa tubuh kembali ke kondisi sehat, harmonis, dan seimbang.
Bila Anda sakit, tanyakan kepada diri sendiri, “Pesan apa yang ingin disampaikan tubuh kepada saya?” Dengan demikian sakit atau penyakit tidak dipandang sebagai sesuatu yang buruk tapi suatu undangan dan peluang untuk menjadi sadar, berubah, dan berkembang. Cara pandang ini menempatkan sakit sebagai sebuah panggilan dan tubuh sebagai sumber informasi yang sangat berharga.
Emosi, Stres, dan Persepsi Diri
Stres per se sifatnya netral, tidak baik dan juga tidak buruk. Yang membuat masalah adalah respon kita terhadap faktor yang mengakibatkan terjadinya stres. Respon setiap orang berbeda saat menghadapi tekanan. Ada yang tetap tenang. Ada yang menjadi panik, takut, dan cemas.
Mengapa bisa timbul reaksi yang berbeda dalam situasi yang sama?
Perbedaannya bergantung pada persepsi seseorang terhadap kemampuannya mengatasi stres. Bila seseorang memandang dirinya mampu mengatasi stres maka responnya akan tetap tenang. Sebaliknya bila ia memandang dirinya tidak mampu maka persepsi ini akan mengakibatkan munculnya berbagai simtom stres yang dirasakan di tubuh fisik. Persepsi ini bergantung pada proses tumbuh kembang setiap orang, khususnya pada aspek mental dan emosi.
Emosi yang direpresi, disangkal, atau diabaikan, yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk diungkap, atau tidak pernah mendapat pengakuan atau perhatian, adalah emosi yang paling membutuhkan perhatian kita. Setiap emosi yang direpresi, disangkal, atau diabaikan akan “tersangkut” di dalam tubuh.
Represi terjadi karena mungkin Anda dibesarkan dengan pola dan diajar untuk lebih mementingkan perasaan orang lain daripada perasaan Anda sendiri. Ada banyak emosi yang biasanya direpresi: perasaan terluka, malu, bersalah, dikhianati, marah, sakit hati, dendam, kecewa, benci, sedih, jengkel, tersinggung, takut, khawatir, kesepian, dan kepedihan.
Satu emosi yang paling sering direpresi adalah perasaan marah. Marah direpresi karena, menurut norma yang berlaku di masyarakat, tidak pantas untuk melepaskan perasaan ini di tempat umum atau kepada orang yang membuat Anda marah. Setiap kali Anda “menelan” perasaan ini berarti Anda mengabaikannya dan berpikir perasaan ini akan hilang dengan sendirinya.
Benar, perasaan ini akan “hilang” dan tidak lagi Anda rasakan, secara sadar. Namun jauh di dalam hati semua perasaan ini tetap berkobar dan menunggu waktu yang tepat untuk keluar dalam bentuk simtom. Emosi yang dikubur hidup-hidup tidak akan pernah mati atau padam.
Perasaan yang diabaikan juga akan meminta perhatian. Perasaan atau emosi ini seperti layaknya manusia akan menggunakan segala cara untuk bisa mendapat perhatian Anda. Salah satunya adalah dengan membuat Anda sakit.
Sayangnya, yang lebih sering terjadi, saat kita sakit, kita tidak mengerti bahwa ini adalah satu bentuk komunikasi dari tubuh yang membutuhkan perhatian serius. Kita berusaha untuk “menyembuhkan” sakit dan abai akan pesan yang ingin ia sampaikan, sehingga sakit yang sama akan muncul lagi.
Alasan kita mengalami sakit adalah karena kejadian, peristiwa, atau pengalaman di masa lalu, khususnya yang bermuatan emosi negatif yang intens, masih terus memengaruhi kita, baik sadar maupun tidak sadar.
Hal ini tampak jelas pada tubuh. Setiap detik ada tujuh juta sel darah merah yang mati dan digantikan dengan sel darah merah baru. Setiap tujuh tahun seluruh tubuh kita berganti dengan tubuh yang baru. Namun mengapa sel tubuh yang sakit, walau ia digantikan dengan sel yang baru, tetap saja sakit? Ini karena program internal-nya tidak berubah.
Solusinya adalah dengan mendengarkan dan memahami pesan yang disampaikan simtom dan menyadari, mengakui, menghargai, dan menerima keberadaan perasaan-perasaan yang terpendam atau membutuhkan perhatian. Saat perasaan itu didengar dan diproses maka ia tidak lagi perlu mengirim pesan dalam bentuk simtom. Dengan kata lain penyakit akan sembuh dan tidak akan kembali lagi.
Uraian detil dan lengkap mengenai penyakit psikosomatis saya tulis di buku The Miracle of MindBody Medicine : How to Use Your Mind for Better Health.
Hipnosis adalah satu kondisi kesadaran khusus di mana kemampuan tertentu dalam diri manusia mengalami peningkatan sementara kemampuan lainnya meredup di latar belakang. Hipnosis per se tidak bersifat terapeutik. Namun saat hipnosis digabungkan dengan jenis terapi lainnya ia dapat meningkatkan secara signifikan efek terapeutik yang dihasilkan.
Hipnosis adalah satu bentuk kesadaran yang meningkat (altered state of consciousness / ASC). Istilah ASC pertama kali digunakan oleh Arnold M. Ludwig (1966) dengan definisi berikut:
…..setiap kondisi mental yang disebabkan oleh faktor atau tindakan baik secara fisik, psikologis, atau farmakologis, yang secara subjektif dapat diketahui oleh individu itu sendiri (atau oleh pengamat yang objektif), di mana kondisi mental ini berbeda dengan kondisi kesadaran atau fungsi psikologis normal yang biasanya dialami oleh seseorang dalam keadaan sadar normal.
Ada banyak fenomena, pada aspek fisik dan mental, yang bisa muncul dalam kondisi hipnosis, baik muncul secara spontan atau sebagai akibat sugesti. Munculnya fenomena ini juga sangat dipengaruhi oleh tipe sugestibilitas serta kedalaman hipnosis yang berhasil dicapai pada satu waktu tertentu.
Beberapa contoh fenomena hipnosis antara lain perubahan persepsi (halusinasi positif / negatif visual, auditori, olfaktori, gustatori, dan kinestetik), pengaruh terhadap proses otonom dengan menggunakan sugesti dan imajinasi, pengaruh terhadap mood dan emosi, pengaruh pada kognisi, amnesia pascahipnosis, hipermnesia, regresi, revivifikasi, disosiasi, dan perubahan hubungan subjek-objek, dan distorsi waktu.
Sesuai judul artikel dalam kesempatan ini saya hanya akan membahas distorsi waktu. Sedangkan fenomena hipnosis lainnya akan dibahas di kesempatan lain.
Distorsi waktu adalah kemampuan individu mengalami waktu lebih lama atau lebih singkat dari lama waktu yang sesungguhnya (objective time (OT) / clock time (CT)). Dalam hal ini waktu sesungguhnya sama sekali tidak bertambah atau berkurang. Distorsi waktu terjadi karena persepsi kita terhadap waktu berubah akibat pengaruh kondisi hipnosis. Jadi, distorsi waktu adalah waktu subjektif yang dialami dan dirasakan oleh individu.
Secara teknis waktu subjektif disebut dengan experiential time (ET), atau seeming duration (SD), atau estimated personal time (EPT).
Distorsi waktu terjadi bila rasio ET/CT jauh lebih besar atau lebih kecil dari satu. Ada dua jenis distorsi waktu yang dibahas di artikel ini yaitu kontraksi waktu dan ekspansi waktu. Kontraksi waktu, waktu terasa lebih cepat dari waktu sesungguhnya, terjadi bila rasio ET/CT < 1. Sedangkan ekspansi waktu, waktu terasa lebih lama dari waktu sesungguhnya, terjadi bila rasio ET/CT > 1.
Distorsi waktu yang dibahas di artikel ini berbeda dengan regresi (age regression), klien mundur ke masa lalu, dan progresi (pseudo-orientation in time), klien maju ke masa depan. Walau regresi dan progresi juga adalah distorsi waktu, klien mundur atau maju menyusuri garis waktu, namun tujuannya dalam hipnoterapi bertujuan melakukan modifikasi dan (re)konstruksi konten pikiran bawah sadar untuk tujuan terapeutik.
Distorsi waktu sering kita alami dan adalah satu keniscayaan. Saat perhatian kita tercerap pada satu aktivitas atau pengalaman yang menyenangkan, misalnya sedang berdua dengan orang yang kita kasihi, nonton film, atau main game, waktu terasa (sangat) singkat. Kontraksi waktu juga terjadi saat kita bermimpi.
Sebaliknya saat kita berada dalam situasi atau pengalaman yang kurang menyenangkan, misalnya menunggu antrian atau sedang mengikuti pelajaran yang pengajarnya menyampaikan bahan ajar dengan monoton dan membosankan, waktu terasa (lebih) lama.
Saat terjadi distorsi waktu, kita sesungguhnya berada dalam kondisi hipnosis. Semakin dalam kondisi hipnosis yang berhasil dicapai maka semakin signifikan distorsi yang bisa dialami.
Saat pertama kali belajar hipnosis dan hipnoterapi saya cukup tergelitik untuk bertanya, “Apa yang menyebabkan terjadinya distorsi waktu? Bagaimana fenomena ini, dalam konteks hipnoterapi, bisa muncul dengan sendirinya? Mengapa yang lebih sering dialami klien adalah kontraksi waktu, bukan ekspansi waktu?”
Untuk bisa menjawab pertanyaan di atas saya membaca berbagai berbagai buku dan jurnal hipnosis dan hipnoterapi. Sebagai orang yang biasa berpikir kritis saya selalu ingin tahu dasar teori dalam menjelaskan fenomena. Saya tidak bisa serta merta menerima satu penjelasan apa adanya. Dengan mengetahui secara pasti apa yang terjadi di pikiran klien, saya bisa benar-benar yakin dan percaya diri dalam melakukan hipnoterapi.
Dulu di awal karir saya sebagai hipnoterapis klinis ada klien yang mengalami kontraksi waktu dan tidak jarang juga yang mengalami ekspansi waktu. Mengapa bisa terjadi perbedaan ini? Setelah saya teliti dengan saksama ternyata klien yang mengalami kontraksi waktu adalah mereka yang berhasil dibimbing masuk ke kondisi hipnosis yang dalam. Sedangkan yang mengalami ekspansi waktu adalah yang tidak berhasil masuk ke kondisi hipnosis yang dalam dan tampak agak sedikit kurang nyaman / gelisah karena proses terapi berlangsung agak lama.
Berbekal pengalaman ini saya mengembangkan teknik induksi yang mampu membimbing klien masuk dengan cepat dan mudah ke kondisi hipnosis yang (sangat) dalam. Sejak saat itu semua klien saya hanya mengalami kontraksi waktu. Yang lebih menarik lagi, dari pengalaman klinis, saya menemukan semakin dalam kondisi hipnosis maka semakin singkat waktu subjektifnya. Itu sebabnya sesi terapi yang biasanya berlangsung antara dua sampai tiga jam, seringkali dirasakan oleh klien dan juga saya sebagai terapis, hanya berlangsung lima belas sampai tiga puluh menit. Kontraksi waktu ini terjadi secara alamiah dan apa adanya tanpa saya memberi sugesti.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, “Bagaimana penjelasan ilmiah distorsi waktu?”
Dalam kondisi hipnosis, pikiran manusia memproses informasi dengan cara yang berbeda dari kondisi sadar normal. Informasi yang diproses, dalam satuan waktu tertentu, lebih sedikit dibandingkan dalam kondisi sadar normal. Klien dalam kondisi hipnosis menerima lebih sedikit input dari lingkungan sekitarnya. Mereka fokus hanya pada suara dan bimbingan terapis.
“Apa yang terjadi pada pikiran klien sehingga hanya fokus pada suara terapis?”
Untuk bisa menjawab pertanyaan ini saya akan menjelaskan sekilas mengenai GRO (generalized reality orientation). GRO adalah kerangka referensi internal yang stabil yang mengarahkan seseorang untuk dapat bernavigasi dengan baik dan terarah, dalam ruang dan waktu, bahkan saat ia tidak secara khusus dan saksama memerhatikan keadaan sekelilingnya (Shor,1959). Sedangkan Bruner (1973) menyatakan GRO adalah skema kognitif yang bekerja atau aktif di latar belakang kesadaran yang memungkinkan kita untuk pergi “melampaui informasi yang diperoleh” pada setiap momen untuk mempertahankan orientasi kita terhadap realita.
Penjelasan Shor dan Bruner akan lebih mudah dipahami dengan ilustrasi berikut. Saya yakin Anda pasti pernah mengendarai sepeda motor atau mobil menuju ke satu tempat. Ada kalanya Anda sadar sepenuhnya jalur yang Anda lalui. Di lain kesempatan, pikiran sadar Anda sibuk memikirkan hal-hal lain dan Anda tidak menyadari jalan yang telah Anda lalui. Namun Anda tetap dapat sampai di tujuan dengan selamat. Saat Anda sibuk memikirkan hal lain dan tetap berada dalam jalur jalan yang Anda lalui, ini semua adalah kerja GRO.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, GRO adalah fungsi pikiran yang mengawasi keadaan sekeliling. GRO tidak bekerja saat kita tidur. Dalam hipnoterapi, tingkat keaktifan GRO bergantung pada kedalaman hipnosis yang berhasil dicapai. Semakin dalam kondisi hipnosis, fungsi GRO semakin pudar. Klien yang baik adalah yang bersedia dan mampu melepaskan fungsi pengawasan GRO.
Saat klien berhasil mencapai kondisi hipnosis yang (sangat) dalam, GRO tidak lagi bekerja dan klien mengalami perubahan persepsi terhadap realita. Itu sebabnya klien tidak begitu menyadari atau responsif terhadap lingkungannya dan hanya fokus pada (suara) terapis. Klien masih tetap bisa mendengar suara yang berasal dari lingkungan namun tidak merasa terganggu. Bahkan ada yang tidak lagi bisa secara sadar mendengar suara dari sekitarnya.
Saat GRO tidak aktif, informasi yang masuk ke pikiran menjadi sangat berkurang dan mengakibatkan efisiensi pemrosesan informasi meningkat signifikan. Dari hasil penelitian diketahui klien dalam kondisi hipnosis yang lebih dalam memproses informasi lebih cepat daripada yang kurang dalam (Ingram dkk., 1979).
Secara objektif, dalam kondisi hipnosis, klien mampu memproses informasi dengan lebih akurat dan lebih fokus. Secara subjektif, informasi yang diproses dengan tingkat fokus yang tinggi menghasilkan pengalaman yang berbeda.
Waktu subjektif berhubungan dengan jumlah informasi yang diproses dalam satu waktu tertentu (Ornstein, 1970). Karena jumlah informasi yang diproses dalam kondisi hipnosis sangat berbeda dengan kondisi normal maka sangat wajar bila persepsi terhadap waktu juga ikut berubah. Klien dalam kondisi hipnosis kurang akurat dalam memprediksi rentang waktu, bisa lebih singkat (kontraksi waktu) atau lebih lama (ekspansi waktu). Klien cenderung salah memprediksi lama waktu (kontraksi waktu) hingga 40% (Bower & Brenneman, 1979).
Klien dalam kondisi hipnosis, karena mengalami kesulitan dalam orientasi waktu, akan menggunakan acuan eksternal sebagai referensi untuk menentukan rentang waktu. Acuan eksternal ini adalah sugesti yang diberikan terapis untuk menghasilkan efek distorsi waktu, mempercepat atau memperlambat waktu.
Manfaat Distorsi Waktu Dalam Hipnoterapi
Ada banyak manfaat distorsi waktu dalam hipnoterapi, bergantung pada pengalaman, pengetahuan, kebutuhan terapi, dan kreativitas terapis:
- Ratifikasi Kondisi Hipnosis
Ada klien perlu dibuat yakin bahwa ia telah masuk kondisi hipnosis. Klien tipe ini biasanya akan terus bertanya apakah ia telah masuk atau belum ke kondisi hipnosis. Bila ia tidak merasa yakin sudah berhasil dihipnosis maka pikiran sadarnya akan menganulir semua hasil terapi yang telah berhasil dicapai.
Saya menggunakan distorsi waktu untuk ratifikasi kondisi hipnosis. Di akhir sesi terapi klien saya sering kaget saat menyadari bahwa proses terapi telah berjalan selama tiga jam. Mereka sering berkata, “Wah… nggak terasa ya. Saya pikir baru 20 menit.” Dengan merasakan sendiri distorsi waktu maka klien menjadi benar-benar yakin bahwa mereka berhasil masuk kondisi hipnosis.
- Review Materi Pelajaran
Seringkali, untuk memantapkan pemahaman dan penguasaan terhadap materi pelajaran, kita melakukan pengulangan dengan melakukan review. Review ini dilakukan dalam kondisi sadar normal. Sudah tentu ini akan sangat menyita waktu bila materi yang akan diulang cukup banyak.
Salah satu cara mudah dan efektif untuk mengulang apa yang pernah dipelajari adalah melakukannya di pikiran bawah sadar dengan memanfaatkan distorsi waktu. Materi yang bila dipelajari dalam kondisi sadar normal membutuhkan waktu lama, misal sekitar 2 sampai 3 jam, dapat diselesaikan hanya dalam waktu beberapa menit dengan tingkat penguasaan dan pemahaman yang tinggi.
- Membangkitkan dan Menguatkan Kembali Emosi Positif
Dalam beberapa kasus yang pernah saya tangani, khususnya yang berhubungan dengan relasi suami istri, setelah luka batin atau emosi negatif berhasil diatasi maka saya akan membangkitkan dan menguatkan kembali perasaan cinta yang dulu pernah ada di hati klien terhadap pasangannya.
Saya melakukan regresi ke pengalaman indah saat masih pacaran atau di awal pernikahan, atau di kejadian mana saja yang membuat klien merasakan begitu mencintai dan dicintai pasangannya.
Saat perasaan cinta ini sudah mulai dirasakan kembali saya melanjutkan dengan sugesti untuk memperkuat perasaan ini dan meminta klien mengalami kembali semua perasaan ini bersama pasangannya. Namun kali ini saya memberi sugesti untuk distorsi waktu. Peristiwa yang sebenarnya berlangsung hanya beberapa saat, tidak lama, saya perpanjang waktunya, selama yang dibutuhkan, agar benar-benar dapat diresapi oleh klien. Cara ini bisa diaplikasikan untuk perasaan positif apa saja.
- Mempelajari dan Menguasai Keterampilan Baru
Pikiran tidak dapat membedakan antara hal yang riil dan imajiner. Untuk itu kita dapat berlatih, secara imajiner dalam kondisi hipnosis, dalam waktu subjektif yang lama, namun sesungguhnya hanya sebentar (clock time).
Setelah berlatih secara imajiner maka keterampilan baru ini perlu diintegrasikan seutuhnya dengan mempraktikkannya dalam kondisi riil.
- Untuk Manajemen Rasa Sakit
Secara umum distorsi waktu bekerja berdasar perasaan positif atau negatif yang dialami seseorang. Bila satu kegiatan membangkitkan perasaan suka atau positif maka waktu akan terasa berlalu dengan cepat (kontraksi waktu). Sebaliknya bila emosi yang menyertai suatu kegiatan atau situasi adalah emosi negatif maka waktu akan terasa berjalan sangat lambat.
Demikian juga dengan rasa sakit. Bila seseorang mengalami sakit, secara fisik, maka waktu akan terasa sangat lama. Misalnya, ia baru selesai menjalani operasi. Tentu perlu waktu agar luka bekas operasi bisa sembuh total.
Untuk membantu klien ini terapis dapat memberikan sugesti sehingga waktu yang lama terasa hanya sekejap. Dengan demikian penderitaan klien dapat berkurang signifikan.
Pembaca, walau kita belum pernah berjumpa namun saya cukup mengenal diri Anda. Saya bisa merasakan getaran pribadi Anda saat membaca artikel ini. Dari sini saya bisa “membaca” dan mendapat gambaran siapa diri Anda:
Anda suka dan nyaman saat bersama orang yang Anda sayangi. Namun kadang Anda juga ingin menghabiskan waktu sendirian, hanya dengan diri Anda. Sesekali Anda merasa frustrasi dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam hidup Anda yang tidak sejalan dengan yang Anda inginkan.
Dalam situasi tertentu Anda bisa kehilangan kesabaran dan menjadi marah. Anda ingin lebih banyak orang menghargai diri Anda apa adanya. Anda merasa berhak untuk menjadi lebih kaya dan bahagia. Anda menyadari bahwa untuk bisa lebih berhasil Anda hanya perlu lebih fokus dan konsisten dalam melakukan apa yang selama ini telah Anda lakukan.
Kadang Anda berfantasi untuk memiliki bentuk tubuh yang lebih indah sehingga orang lain akan tertarik atau kagum pada Anda. Di lain waktu Anda kesal dengan diri Anda karena tidak menggunakan waktu dengan baik sehingga banyak waktu terbuang percuma. Anda pernah mengalami konflik diri karena ada dua hal yang ingin Anda lakukan namun Anda tidak bisa atau merasa sulit memutuskan mana yang terbaik yang akan Anda lakukan.
Setelah membaca deskripsi di atas Anda pasti bertanya dalam hati, “Bagaimana Pak Adi bisa tahu tentang diri saya padahal kita belum pernah berjumpa?”
Hmm… inilah yang disebut dengan process suggestion. Jadi, apakah process suggestion?
Sebelum menjelaskan process suggestion saya terangkan sekilas mengenai sugesti, direct dan indirect suggestion.
Sugesti adalah komunikasi bermakna yang secara sengaja, terstruktur, dan sistematis dilakukan oleh seseorang, bisa disebut sebagai hipnotis, suggestor, operator, hipnoterapis, terhadap orang lain, yang disebut sebagai subjek, klien, atau suggestee, dengan tujuan membangkitkan respon secara sukarela di pihak subjek, yang mana respon ini tidak akan timbul tanpa adanya sugesti.
Direct suggestion adalah sugesti yang bersifat langsung, jelas, apa adanya, tidak membutuhkan penafsiran saat disampaikan kepada subjek. Contohnya: “Tutup mata Anda!”. Sedangkan indirect suggestion adalah sugesti yang bersifat tidak langsung. Contohnya: “Mata anda sudah menjalankan tugasnya dengan baik hingga saat ini. Apakah anda tidak merasa mata anda lelah karena terus bekerja? Berilah waktu mata anda istirahat sebentar”.
Bagi Anda yang ingin tahu lebih dalam mengenai sugesti saya menyarankan untuk membaca artikel “Direct vs Indirect Suggestion” dan “Memahami Sugesti Lebih Dalam”.
Process suggestion adalah salah satu bentuk sugesti yang paling ampuh dalam dunia hipnoterapi. Dalam process suggestion terapis secara sengaja memberi klien sugesti dalam bentuk ide-ide yang bersifat umum atau bahkan ambigu. Dalam hal ini klien “diundang” untuk mengisi “ruang kosong”, dalam sugesti, dengan pemikiran atau detil-detil yang dimunculkan sendiri oleh pikiran bawah sadar klien.
Process suggestion adalah satu bentuk sugesti yang bekerja berdasarkan respon pikiran subjek dalam menafsirkan, berdasarkan proyeksinya sendiri, apa yang dimaksud oleh terapis. Terapis membuat pernyataan (sugesti) yang bersifat umum sehingga pikiran subjek memutuskan bagaimana membuat sugesti ini sesuai dan sejalan dengan situasi kehidupannya, dan sugesti ini tampak sangat tepat dan personal untuk subjek.
Inilah yang terjadi di pikiran Anda saat membaca pernyataan saya tentang diri Anda di awal artikel ini. Saya sengaja membuat “ruang kosong” dalam pernyataan saya yang saya tahu pasti akan diisi dengan detil-detil yang dimunculkan atau dipilih pikiran bawah sadar Anda.
Setelah “ruang kosong” ini terisi maka pernyataan saya di atas, yang sebenarnya adalah satu bentuk sugesti (process suggestion), diterima sepenuhnya oleh pikiran bawah sadar Anda dan diyakini sebagai satu hal yang benar.
Prinsip ini juga digunakan dalam ramalan bintang (horoskop), tukang ramal, cold reading, dan sejenisnya. Biasanya tukang ramal hanya perlu sedikit kejelian untuk membaca bahasa tubuh, cara berpakaian, atau mengerti tipe kepribadian, dan setelah itu ia membangun dan mengembangkan process suggestion yang disampaikan kepada kliennya.