The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Teknik Terapi Abal-Abal

5 Mei 2019

Artikel ini ditulis dengan tujuan edukasi publik dan memberi pemahaman yang benar terkait proses dan teknik terapi, khususnya penanganan masalah perilaku dan emosi. 

Saya pernah menulis artikel membahas teknik terapi yang diklaim sangat efektif dan sangat cepat menyembuhkan masalah klien. Saking cepatnya, pengajar atau terapisnya, dalam publikasinya, mengatakan bahwa teknik terapinya mampu menyembuhkan klien hanya dalam sekejap atau sekedipan mata, adalah teknik pamungkas, lebih dahsyat daripada teknik terapi apapun yang pernah ada, termasuk hipnoterapi. Wow... sungguh hebat dan dahsyat. Namun, apakah benar seperti ini realitanya?

Sejatinya, penanganan masalah perilaku dan emosi hanya terbagi menjadi dua: menggunakan obat dan tanpa obat. Terapi menggunakan obat atau dikenal dengan farmakoterapi hanya boleh dilakukan oleh dokter atau psikiater. 

Terapi tanpa obat dilakukan dengan berbagai cara atau pendekatan, dan terbagi menjadi dua: tanpa memroses akar masalah dan memroses akar masalah.

 

Teknik Terapi Tanpa Memroses Akar Masalah

Ada sangat banyak cara atau teknik yang digunakan dalam upaya mengatasi masalah tanpa perlu memroses akar masalah, antara lain: doa, konseling, meditasi konsentrasi, rileksasi, curhat, pemberian sugesti, hipnoterapi berbasis sugesti, pengalihan, menekan/represi, kelompok pendukung (support group), ikhlas dan pasrah, meningkatkan kesadaran diri, teknik-teknik berbasis metafora, mengalami abreaksi, terapi berbasis energi, atau teknik berbasis supranatural. 

Demikian pula pendekatan terapi dalam psikoterapi seperti terapi kognitif perilaku atau CBT (Cognitive Behavioral Therapy) yang bertujuan membantu melatih cara berpikir atau fungsi kognitif dan cara bertindak (behavior) seseorang dalam mengatasi masalahnya. 

Teknik-teknik dalam NLP (neurolinguistic programming) juga tidak memroses akar masalah, yang dalam terminologi NLP disebut bebas konten (content-free), antara lain swish pattern, visual squash, reverse trigger, pengubahan submodalitas (submodality change), fast phobia cure, collapsing anchor, dan six step reframming, dan yang lain.

 

Teknik Terapi Memroses Akar Masalah

Salah satu modalitas terapi yang secara khusus mengatasi masalah perilaku dan emosi dengan memroses akar masalah adalah hipnoterapi berbasis hipnoanalisis. Hipnoterapi ini membutuhkan waktu antara 2 - 4 jam untuk satu sesi terapi. 

Proses hipnoterapi ini selalu diawali dengan wawancara mendalam yang dilakukan terapis pada klien, dilanjutkan dengan menuntun klien masuk ke kedalaman hipnosis tertentu, melakukan pencarian akar masalah, memroses tuntas akar masalah, melakukan uji hasil terapi, pengecekan final, dan pengakhiran terapi.

 

Ukuran Keefektifan

Terlepas dari apapun pendekatan, cara, strategi, atau teknik dan lama waktu yang dibutuhkan untuk menerapi, yang sudah tentu semua bertujuan baik adanya, satu hal paling penting adalah soal keefektifan. 

Teknik terapi dinyatakan efektif bila minimal memenuhi dua syarat berikut:

1. Hasil terapi bersifat segera. Klien langsung dapat merasakan perubahan positif dalam dirinya pascaterapi. Perubahan ini tidak berarti, walau tentu akan sangat baik bila, masalah klien berhasil disembuhkan tuntas hanya dalam satu sesi. Yang penting adalah klien mengalami perubahan positif signifikan. 

2. Perubahan positif ini tidak bersifat sementara (temporer) namun stabil dan bertahan dalam waktu lama. Kestabilan ini hanya diketahui dengan terapis melakukan tindak-lanjut (follow up) menanyakan perkembangan klien dalam rentang waktu satu minggu, dua minggu, dan satu bulan pascaterapi.

 

Teknik Terapi Abal-Abal

Saya banyak menemukan klaim dari terapis atau pengajar, baik di seminar, workshop, atau di flyer yang menyatakan bahwa teknik yang mereka ajarkan dapat langsung menyembuhkan klien, saat itu juga. 

Klaim ini perlu disikapi dengan pikiran terbuka dan tetap kritis. Bila memang apa yang dinyatakan oleh terapis atau pengajar ini adalah hal yang benar maka kita sangat perlu belajar tekniknya karena sangat bermanfaat.

Di sisi lain, kita perlu bersikap kritis dengan menanyakan beberapa hal berikut:

1. Apa saja kasus yang telah berhasil ia tangani dan sembuhkan menggunakan teknik ini? Ini bisa juga kita cek dengan memantau media sosial atau situs resminya. 

2. Berapa persen tingkat keberhasilannya?

3. Apakah ia melakukan tindak-lanjut dengan mengecek perkembangan klien pascaterapi? 

4. Bila ya, berapa lama kesembuhan yang terjadi pada klien bisa bertahan? 

5. Apakah ia bersedia mendemonstrasikan keefektifan teknik terapinya dengan melakukan live therapy menangani klien di depan kelas, dan berani memberi jaminan bahwa klien ini pasti bisa ia sembuhkan? 

Bila terapis atau pengajar hanya mengklaim tekniknya efektif berdasar kasus klien yang ia tangani, saat demo atau praktik di depan kelas, maka ini tidak valid. 

Mengapa tidak valid? Saya akan terangkan dari perspektif teori Ego Personality. Manusia bukan entitas tunggal. Di dalam diri kita ada Bagian Diri atau Ego Personality (EP) yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing.

Saat klien bermasalah, ini tidak berarti semua dirinya bermasalah. Klien bermasalah karena ada EP bermasalah, aktif mengendalikan diri klien. 

Saat klien diminta maju ke depan kelas untuk demo, bisa jadi EP bermasalah ini mundur ke latar belakang, tidak aktif. Bila ini yang terjadi, klien seolah sembuh. Apakah ini karena teknik terapi yang digunakan oleh terapis atau pengajar? Jawabannya, may... may be yes... may be no. Bisa juga klien pura-pura sembuh karena kasihan pada terapis, agar tidak malu karena gagal menerapi dirinya di depan kelas. 

Bila klien "sembuh" karena terjadi pergeseran EP, saat ia diterapi di depan kelas, maka saat klien kembali ke rumah, EP ini pasti akan aktif lagi dan masalah klien kembali muncul. 

Dengan demikian, satu-satunya cara untuk memastikan bahwa klien benar telah sembuh adalah dengan menggunakan waktu sebagai alat ujinya, untuk mengukur dan menentukan tingkat kestabilan kesembuhan pascaterapi. Dan ini sangat jarang ditanyakan peserta pelatihan kepada pengajar. 

Beberapa waktu lalu saya dihubungi hipnoterapis Singapore yang mengaku bisa menyembuhkan klien-kliennya yang sudah kritis, di rumah sakit, karena sakit berat seperti kanker. Hebatnya, ia mengklaim hanya butuh satu sesi untuk menyembuhkan klien-kliennya. 

Ia juga mengklaim bisa menyembukan beragam penyakit yang secara medis sangat sulit atau tidak bisa disembuhkan, menggunakan hipnoterapi. Bagian Diri saya yang pembelajar tentu sangat antusias mendapat kabar luar biasa ini. Saya sangat haus ilmu. Bila benar ia mampu melakukan yang ia sampaikan pada saya, saya tidak segan berangkat ke Singapore untuk berguru dan belajar padanya, walau dengan investasi yang sangat tinggi sekalipun. 

Namun, Bagian Diri saya yang akademisi dan ilmuwan, tetap mengutamakan pemikiran kritis dan logis. Saya bertanya tentang landasan teori dari teknik yang ia gunakan, bagaimana ia melakukan hipnoterapinya, tingkat keberhasilannya. Sayangnya, ia tidak bisa memberi saya jawaban yang memuaskan. 

Bila ia tidak bisa menjelaskan landasan teorinya, saya masih bisa maklum. Tidak semua fenomena bisa dijelaskan segera karena kurangnya penelitian di bidang ini atau belum ada teori yang sahih. Saya lebih mementingkan bukti empiris. 

Namun saat saya minta bukti hasil pemeriksaaan laboratorium yang klien-kliennya jalani sebelum dan sesudah terapi, ia sama sekali tidak bisa memberi satupun data yang saya minta. 

Teknik terapi yang tidak berhasil melewati dua syarat minimal di atas, menurut hemat saya, adalah teknik terapi abal-abal. 

Baca Selengkapnya

Tipologi dan Koridor Regresi Dalam Hipnoterapi Klinis

2 Mei 2019

Terapi dan penanganan masalah perilaku dan emosi, menggunakan pendekatan psikologis, sejatinya hanya terbagi menjadi dua: tanpa memroses akar masalah dan memroses akar masalah.

Pendekatan terapi tanpa memroses akar masalah, dilakukan antara lain dengan pemberian sugesti, teknik berbasis metafora, teknik-teknik NLP (neurolinguistic programming), konseling, berbagai pendekatan dalam psikoterapi (Wedding dan Corsini, 2014) seperti psikoanalisis, psikoterapi Alderian,  Rogerian, terapi perilaku emotif rasional, terapi perilaku, terapi kognitif, psikoterapi eksistensial, terapi Gestalt, psikoterapi interpersonal, terapi keluarga, dan psikoterapi positif.

Terapi perilaku dan emosi dengan memroses akar masalah dilakukan dalam hipnoterapi, menggunakan teknik yang sesuai, diawali dengan upaya mencari dan menemukan akar masalah, salah satunya dengan teknik regresi. Ada banyak teknik regresi dalam hipnoterapi. Semua bertujuan menuntun klien mundur, menyusuri garis waktu di dalam pikirannya, untuk mencapai akar masalah. Teknik-teknik regresi ini dikelompokkan menjadi dua, berbasis afek dan nonafek.

Teknik regresi berbasis nonafek antara lain teknik “Buku Kehidupan”, “Layar Komputer”, “Perahu Kehidupan”, “Karpet Ajaib”, “Terowongan Waktu”, “Kalender”, “Bola Kristal”, “Kotak Masalah”, “Ideomotor Magic”, dan masih banyak lagi. Intinya, teknik ini tidak menggunakan afek atau emosi sebagai bahan bakar yang mendorong klien begerak mundur ke masa lalunya.

Teknik regresi berbasis afek atau dikenal dengan jembatan afek (affect bridge) adalah prosedur hipnotik yang digunakan untuk melacak dan menemukan awal mula kejadian yang memunculkan emosi yang dirasakan di masa kini. Jembatan afek didasarkan pada fakta psikologis bahwa emosi atau perasaan dapat mengaktifkan, mengarahkan, atau meningkatkan daya ingat ( Watkins, 1971;Watkins & Barabasz, 2008; Yapko, 2012)

Bagaimana Melakukan Regresi Affect Bridge?

Dalam regresi affect bridge, klien dituntun mundur, dari waktu kini ke kejadian di masa lalu, menggunakan afek sebagai bahan bakar regresi. Caranya, afek di masa kini, yang dirasakan klien dan berhubungan dengan masalah, ditingkat intensitasnya dan semua aspek dari pengalamannya secara hipnotik dihapus. Klien selanjutnya diminta mundur, ke pengalaman paling awal saat afek ini muncul atau tercipta untuk pertama kali dalam hidupnya, dan dilanjut dengan revivifikasi spontan.

Klien bergerak mundur menyusuri garis waktu dan mendarat di satu peristiwa masa lalu. Di sini terapis meminta klien menceritakan apa yang terjadi dan apa yang klien rasakan. Selanjutnya terapis melakukan validasi untuk mengungkap apakah benar kejadian ini adalah kejadian paling awal atau ISE (initial sensitizing event), atau kejadian lanjutan atau SSE (subsequent sensitizing event). Bila ternyata kejadian ini adalah ISE maka proses regresi berakhir di sini. Namun bila kejadian ini bukan ISE, tapi SSE, maka regresi dilanjutkan menggunakan afek yang muncul pada kejadian ini, hingga mencapai ISE.

Saat mencapai ISE, terapis membantu klien melakukan rekonstruksi kejadian ini, dengan tujuan membantu klien mendapat pemahaman baru dan pembelajaran. Akhir dari proses ini adalah terjadinya pengalaman emosional korektif (corrective emotional experience) pada diri klien.

Pada satu kejadian biasanya klien mengalami lebih dari satu afek. Di sini sangat dibutuhkan kejelian terapis dalam menentukan emosi atau afek yang digunakan sebagai bahan bakar regresi lanjutan. Kekeliruan dalam menentukan afek mengakibatkan regresi yang menyimpang dari jalur seharusnya untuk mencapai ISE.

Berdasar prosedur validasi akar masalah, dalam regresi affect bridge, terdapat dua kelompok hipnoterapis. Pertama, hipnoterapis yang langsung menerima bahwa kejadian yang terungkap melalui regresi sebagai akar masalah, tanpa melakukan validasi (single affect bridge regression). Dan kedua, hipnoterapis yang melakukan validasi untuk memastikan bahwa hasil regresi adalah benar kejadian paling awal atau initial sensitizing event (ISE). Bila melalui proses validasi diketahui bahwa kejadian yang terungkap bukan ISE, melainkan subsequent sensitizing event (SSE), terapis akan mengulang regresi hingga berhasil menemukan ISE (serial-affect bridge regression) (Gunawan, 2017). Dalam praktik klinis, agak langka dijumpai dalam sekali regresi langsung berhasil ditemukan ISE. Biasanya, ISE dicapai melalui satu atau beberapa SSE. Para hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI)  menamakan proses sekali regresi langsung menemukan akar masalah sebagai jackpot.

Dalam praktik hipnoterapinya, para hipnoterapis AWGI menggunakan serial affect bridge regression, dan menemukan hal penting yang tidak dialami atau ditemukan oleh para hipnoterapis yang mempraktikkan single affect bridge regression atau yang hanya mengandalkan sugesti sebagai teknik intervensinya.

Proses menuju akar masalah, dalam regresi affect bridge, selalu melalui salah satu dari tiga cara: regresi tunggal afek tunggal (single regression single affect), regresi serial afek tunggal (serial regression single affect), dan regresi serial afek serial (serial regression serial affect).

Yang dimaksud dengan “regresi tunggal afek tunggal” adalah hanya ada satu regresi dengan satu afek dan langsung berhasil mencapai kejadian paling awal. Yang dimaksud “regresi serial afek tunggal” adalah terdapat lebih dari satu regresi, dimulai dengan regresi awal (initial regression) dengan afek tertentu, dan satu atau beberapa regresi lanjutan (subsequent regression) menggunakan afek yang sama atau serupa dengan afek pada regresi awal, hingga mencapai kejadian paling awal.

Yang dimaksud dengan “regresi serial afek serial” adalah terdapat lebih dari satu regresi, dimulai dengan regresi awal (initial regression) dengan afek tertentu, dan satu atau beberapa regresi lanjutan (subsequent regression), di mana minimal terjadi satu regresi lanjutan dengan afek yang berbeda dengan afek pada regresi awal, hingga mencapai kejadian paling awal.

Penelisikan lebih dalam pada tiga tipe regresi ini menunjukkan bahwa walau terdapat perbedaan afek yang mendasari regresi awal dan regresi lanjutan, proses regresi, bila dilakukan dengan tepat, akhirnya pasti berakhir pada kejadian paling awal yang menjadi asal muasal simtom yang klien alami.

Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti bagaimana tepatnya mekanisme di pikiran bawah sadar dalam menentukan jumlah kejadian yang menjadi penyebab munculnya simtom. Dari pengalaman praktik para hipnoterapis AWGI, dijumpai bahwa ada  klien yang hanya dengan sekali regresi affect bridge bisa langsung mencapai kejadian paling awal atau akar masalah. Namun yang lebih sering terjadi adalah dibutuhkan beberapa regresi affect bridge untuk mencapai kejadian paling awal.

Hal lain yang juga ditemukan, namun juga belum dapat diketahui dengan pasti adalah bagaimana pikiran bawah sadar menentukan hanya dibutuhkan kejadian tunggal (sufficient condition) sebagai akar masalah, dan bagaimana pikiran bawah sadar menentukan dan menautkan beberapa kejadian (necessary condition) sehingga menjadi rangkaian kejadian penyebab munculnya simtom.

Terlepas dari mekanisme di atas, yang masih perlu ditelisik lebih jauh, dan ini adalah bagian dari penelitian yang terus dilakukan secara kolektif oleh para hipnoterapis AWGI dan anggota AHKI (Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia), satu hal yang sudah pasti adalah terdapat koridor regresi di pikiran bawah sadar yang menghubungkan masa kini dan masa lalu, berujung pada kejadian paling awal yang menjadi akar masalah.

Baca Selengkapnya

Cara Mudah dan Pasti Meningkatkan Kinerja Perusahaan

23 Maret 2019

Dua hari lalu di Jakarta saya membawakan seminar Maximum Achievement with Mind Technology untuk sekitar 350an penyelia dari perusahaan publik yang saat ini sedang melakukan ekspansi masif, buka sembilan supermarket baru di berbagai kota di Indonesia.

Sebelumnya, target mereka adalah buka lima supermarket baru per tahun. Khusus untuk tahun ini, target dinaikkan menjadi sembilan, hampir dua kali lipat.

Pihak manajemen mengakui bahwa kenaikan target ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi tim mereka. Saya diundang hadir untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, motivasi, inspirasi, dan pola pikir yang memberdayakan para penyelia sehingga dapat mencapai target dengan sebaiknya.

Saya membawakan materi Maximum Achievement with Mind Technology mulai pukul 09.00 hingga 12.30. Semua peserta sangat antusias mengikut paparan materi. Bahkan ada yang protes karena merasa materinya terlalu cepat selesai, padahal saya bicara hampir empat jam nonstop.

Saat makan siang, saya sampaikan ke pihak manajemen bahwa seminar 4 jam ini adalah langkah awal. Untuk bisa memberikan pengaruh maksimal, perubahan mindset, peningkatan kinerja yang berkelanjutan, staf mereka perlu mengikuti workshop Maximum Achievement with Mind Technology yang berlangsung 3 malam 4 hari. Dan pihak manajemen setuju dengan saran saya. Mereka akan aturkan waktu untuk menyelenggarakan workshop ini.

Apa saja yang saya sampaikan di seminar 4 jam ini? Sangat banyak. Inti dari paparan saya dapat dinyatakan dalam formula berikut:

Kinerja = (Motivasi X Kompetensi)/Hambatan

Dari rumus di atas, tampak jelas bahwa untuk mencapai kinerja tinggi, butuh motivasi dan kompetensi tinggi dari para karyawan. Ada banyak cara meningkatkan motivasi dan kompetensi. Walau dua komponen ini berhasil dimaksimalkan, kinerja tidak serta merta meningkat. Masih ada satu faktor lagi yang sangat berpengaruh, hambatan.

Saat motivasi dan kompetensi tinggi, namun hambatan besar atau sangat besar, maka kinerja, mengikuti formula di atas, otomatis menjadi rendah. Sebaliknya, bila motivasi dan kompetensi tinggi, sementara hambatan rendah atau tidak ada, maka kinerja menjadi sangat tinggi.

Ada dua jenis hambatan: eksternal dan internal. Umumnya perusahaan fokus pada hambatan eksternal, seperti kompetitor, regulasi, atau kondisi pasar, karena ini paling mudah diamati. Yang paling sulit dan sesungguhnya paling besar dan masif pengaruhnya adalah hambatan internal, hambatan dalam diri staf atau karyawan yang sering tidak disadari atau diketahui.

Saat menunggu waktu panggilan masuk ke pesawat, di terminal 3 bandara Soetta, dalam perjalanan balik ke Surabaya, saya disapa oleh seseorang, “Halo Pak Adi. Masih ingat saya?” “Tentu ingat…Cokro,” jawab saya.

Cokro adalah kawan lama dan leader asuransi terkemuka di Indonesia. Kami hampir sepuluh tahun tak jumpa. Setelah bertegur saya, Cokro tanya yang saya lakukan di Jakarta, dan saya jelaskan bahwa saya baru selesai beri seminar di satu perusahaan. Diskusi berlanjut di dalam pesawat. Cokro kebetulan dapat kursi di samping saya.

Hambatan Internal

Sebagai seorang leader asuransi Cokro sepenuhnya sadar akan kendala yang biasa dialami para agen asuransinya. Banyak yang walau telah berusaha keras, tetap tidak bisa produksi atau berhasil closing. Para agen ini tentu telah dibekali berbagai pengetahuan tentang produk, cara presentasi, mengatasi dan menjawab penolakan, teknik komunikasi, mengenal kepribadian dan kecenderungan calon nasabah, dan masih banyak pengetahuan lainnya. Namun, walau telah memiliki semua yang dibutuhkan, tetap sangat banyak agen gagal dan tidak bisa mencapai target. Banyak yang akhirnya mengalami “muntaber” atau mundur tanpa berita. Ada juga yang mengalami “tetanus” atau tetap aktif tanpa bonus.

Cokro bertanya pada saya apa yang sebenarnya terjadi pada para agen, yang menghambat mereka sukses mencapai target, dari persepektif ilmu pikiran.

Saya jelaskan pada Cokro bahwa sejatinya semua orang ingin sukses. Namun yang menghambat mereka, dari pengalaman saya sebagai praktisi teknologi pikiran sejak tahun 2005 hingga saat ini, adalah hambatan internal atau yang disebut blocking. Ada dua jenis blocking: mental block dan emotional block. Blocking ini bisa terjadi pada target dan atau strategi.

Untuk lebih memperjelas maksud saya, saya memberi contoh yang terjadi di dunia asuransi. Contoh ini juga berlaku di bidang usaha lain, karena sebenarnya secara prinsip, sama.

Di awal tahun, setiap perusahaan pasti menetapkan target yang akan dicapai. Dan untuk mencapai target ini, ada serangkaian kegiatan yang perlu dilakukan oleh staf atau karyawan. Saya menyebutnya sebagai strategi. Jadi, ada target dan strategi.

Biasanya, saat target dinaikkan, karyawan merasa kurang nyaman, namun mereka tentu tidak berani mengutarakan hal ini pada pihak manajemen. Perasaan tidak nyaman ini bisa karena mereka tidak mau keluar dari zona nyaman atau bisa juga karena mereka memang merasa targetnya tidak realistis, menurut mereka, sehingga merasa sangat berat atau mustahil dicapai.

Dalam dunia asuransi, agen menetapkan target yang akan dicapai, misal omzet sekian banyak per tahun. Setelahnya, tentu mereka perlu melakukan aktivitas untuk bisa mencapai target ini, yaitu: buat daftar nama, menghubungi calon nasabah, melakukan presentasi, melakukan closing, dan minta referensi.

Untuk mengetahui apakah ada blocking pada target atau strategi, bisa dilakukan dengan mudah. Caranya, saya minta agen atau karyawan tutup mata dan membayangkan target, dan tanya bagaimana perasaan mereka. Bila mereka merasa nyaman, ini artinya tidak ada hambatan internal atau blocking. Namun, bila mereka merasa tidak nyaman, ini tandanya ada penolakan dari dalam diri mereka, ada blocking.

Perasaan tidak nyaman ini adalah indikator blocking dan dinyatakan dengan skala 0 hingga 10, di mana 0 berarti sama sekali tidak ada hambatan dan 10 adalah hambatan maksimal.

Demikian pula untuk mengetahui hambatan pada strategi. Saya minta mereka membayangkan melakukan aktivitas, misalnya membuat daftar nama, menelpon calon nasabah, melakukan presentasi, dan seterusnya. Pada setiap aktivitas ini saya akan memeriksa dan minta karyawan melaporkan perasaan mereka, nyaman atau tidak. Bila nyaman, berarti tidak ada hambatan. Bila tidak nyaman, ini artinya ada hambatan.

Sumber Hambatan Internal

Manusia punya dua pikiran, sadar dan bawah sadar. Perbandingan kekuatan pengaruh pikiran sadar (PS) dan pikiran bawah sadar (PBS) terhadap individu adalah 1 : 99.

Hambatan internal adalah program pikiran yang ada di PBS. Dengan demikian, saat PS ingin mencapai target dan PBS menolak target ini, apapun yang individu lakukan tidak akan bisa berhasil, karena kekuatan PBS adalah 99x lebih kuat dari PS.

Program pikiran yang menghambat terbentuk dari proses tumbuh kembang saat individu berusia 0 hingga 10 tahun, melalui interaksi dengan lingkungan.

Begitu program pikiran terbentuk dan tersimpan di PBS, ia akan terus berada di PBS hingga digantikan dengan program baru. Semua program bekerja di di bawah sadar. Dengan demikian, sangatlah sulit untuk bisa menyadari keberadaannya dan menggantinya dengan program yang mendukung pencapaian target atau kinerja.

Mengatasi Hambatan Internal

Perusahaan rutin menyelenggarakan pelatihan untuk memotivasi dan meningkatkan kompetensi karyawan. Umumnya perusahaan mengundang atau menggunakan jasa pembicara, baik dari perusahaan sendiri atau mengundang pembicara luar.

Ada dua format pelatihan yang biasa dibawakan pembicara: seminar dan workshop. Seminar biasanya berdurasi antara satu hingga tiga jam. Sementara workshop, lebih lama, bisa antara satu hingga beberapa hari.  

Apapun materi yang disampaikan pembicara, mereka selalu terbagi dalam dua kelompok. Pertama, pembicara yang mengajarkan perubahan berdasar kekuatan kehendak (will power) atau pikiran sadar, dan kedua, yang mengajarkan perubahan melalui proses pemberdayaan pikiran bawah sadar. Masing-masing pendekatan memiliki keunggulan dan keterbatasan.

Pembicara yang mengajarkan perubahan berbasis pikiran sadar biasanya membawakan materi dengan semangat tinggi, berapi-api, dan karyawan dimotivasi sehingga menjadi bersemangat. Perubahan yang terjadi, menurut banyak pimpinan perusahaan yang saya jumpai, hanya bertahan satu atau dua hari. Setelahnya, karyawan kembali ke pola lama.

Ada juga yang menggunakan outbound, berjalan di atas api, berjalan di atas pecahan kaca, menggunakan pendekatan pain (sakit) dan pleasure (rasa senang) di mana setiap peserta menggunakan karet gelang yang ditarik dengan sangat keras dan menjepret tangan mereka sendiri dengan tujuan menghilangkan blocking.

Pendekatan-pendekatan di atas, dari pengalaman selama ini, benar bisa menghasilkan perubahan dalam diri karyawan namun sifatnya temporer, tidak bertahan lama.

Perubahan baru bisa terjadi dengan sangat cepat dan bertahan lama (sustainable) bila perubahan dilakukan langsung di pikiran bawah sadar. Tidak banyak pembicara yang mampu melakukan hal ini karena untuk bisa melakukannya, butuh keahlian, kompetensi sangat tinggi dan spesifik. Saya kenal bebeberapa rekan pembicara dengan kompetensi ini. Namun, jumlah mereka bisa dihitung dengan jari.

Saya menyelenggarakan workshop Maximum Achievement with Mind Technology bagi karyawan, untuk meningkatkan kinerja, melalui pemberdayaan pikiran bawah sadar. Workshop ini sangat intens, berbasis terapi, berlangsung tiga malam empat hari. Peserta belajar tentang cara kerja pikiran, berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar, cara menemukan program yang menghambat diri mereka, menggantinya dengan program yang mendukung pencapaian target, berpikir dan merasakan emosi positif, kerjasama tim pada level vibrasi, dan masih banyak lagi.

Dan yang paling penting, mereka membawa pulang teknik pemberdayaan diri yang dapat mereka lakukan sendiri pascapelatihan. Dengan demikian, perubahan yang dicapai bersifat jangka panjang.

Bulan Agustus 2018 lalu, salah satu perusahaan bisnis jaringan, minta saya menyelenggarakan satu kelas khusus untuk para distributor mereka, berjumlah 84 orang.

Selama tiga malam empat hari saya mengajari pengetahuan, teknik, inspirasi, dan masih banyak lagi kepada para peserta. Hasilnya? Sangat luar biasa.

Dari salah satu pimpinan perusahaan ini, saya mendapat informasi bahwa, pascapelatihan, omzet bisnis khusus kelompok ini mengalami peningkatan sangat signifikan. Dan ini terus bertahan hingga akhir tahun 2018. Kelompok ini mencatatkan pertumbuhan bisnis dan juga pembagian bonus jauh di atas kelompok lain, yang belum ikut pelatihan. Melihat hasil yang sangat positif ini, perusahaan merekomendasi anggota mereka lainnya untuk ikut pelatihan ini.

Mengapa bisa terjadi capaian seperti ini?

Hambatan internal ternyata berkorelasi langsung dan berbanding terbalik dengan motivasi. Semakin besar hambatan internal, semakin kecil motivasi. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil hambatan internal, semakin besar motivasi. Dengan demikian, saat variabel hambatan internal berhasil diminimalisir dengan teknik yang tepat, motivasi meningkat, dan berakibat kinerja meningkat signifikan.

Sahabat saya, pimpinan kantor cabang pembantu satu bank swasta nasional, menerapkan prinsip yang saya jelaskan di atas dan berhasil mencapai target yang diberikan kantor pusat dengan mudah. 

Setiap tahun kantornya pasti berhasil mencapai dan bahkan melebihi target yang diberikan kantor pusat. Tahun lalu, saat ia diberi target untuk menyalurkan kredit pemilikan rumah sebesar 45 miliar dan kredit kendaran bermotor sebesar 8 miliar. Target yang berhasil dicapainya, KPR sebesar 112 miliar dan KKB sebesar 17 miliar. 

KCP yang ia pimpin adalah kelas B. Namun, berkat capaian yang sangat tinggi ini, ia minta ke kantor pusat untuk menaikkan status KCP-nya menjadi kelas A, dan disetujui. Tentu ini berimbas pula pada bonus kinerja yang diterimanya dan juga para stafnya. 

Baca Selengkapnya

Hipnotis, Hipnoterapis, dan Hipnoterapis Klinis

9 Februari 2019

Tiga istilah di atas kerap muncul di berbagai artikel yang mengulas hipnosis atau hipnoterapi. Lalu, apa bedanya?

Untuk mengerti dengan benar istilah di atas, perlu diketahui bahwa ada lima cabang ilmu hipnosis: hipnosis hiburan, hipnoterapi, hipnoanestesi, hipnosis forensik, dan hipnosis eksperimen.

Hipnotis adalah orang yang memelajari dan mempraktikkan hipnosis hiburan. Hipnoterapis adalah mereka yang mempraktikkan hipnoterapi. Pengetahuan dan kecakapan seorang hipnoterapis pasti lebih mumpuni daripada hipnotis.

Hipnoterapis bisa melakukan hipnosis hiburan. Sementara hipnotis tidak bisa melakukan hipnoterapi karena mereka memang tidak dilatih untuk ini. Dan hipnoterapis klinis adalah hipnoterapis yang telah mengikuti pendidikan tingkat lanjut.

Jadi, secara jenjang pendidikan dan tingkat kecakapan, paling awal adalah hipnotis, kemudian hipnoterapis, dan paling tinggi adalah hipnoterapis klinis.

Untuk menjadi hipnotis biasanya hanya perlu ikut pelatihan satu hari. Untuk menjadi hipnoterapis, ini bergantung lembaga atau pengajarnya. Ada yang dua hari, empat hari, dan saat ini, di Indonesia, paling lama adalah sepuluh hari pelatihan.

Hingga saat ini di Indonesia, sepengetahuan saya, hanya ada satu lembaga yang menyelenggarakan pendidikan hipnoterapi hingga ke jenjang hipnoterapis klinis. Untuk menjadi hipnoterapis klinis, lembaga ini mensyaratkan pesertanya telah ikut pelatihan hipnoterapis sepuluh hari atau 110 jam tatap muka di kelas. Ini tidak termasuk latihan dan praktik mandiri.

Setelahnya, mereka ikut lagi pelatihan selama sembilan hari atau 100 jam tatap muka di kelas. Dengan demikian, untuk menjadi hipnoterapis klinis, butuh pelatihan selama sembilan belas hari atau 210 jam.

Adapun gelar untuk masing-masing jenjang: CH (certified hypnotist), CHt (certified hypnotherapist), dan CCH (certified clinical hypnotherapist).

Khusus CCH, selain certified clinical hypnotherapist, juga ada yang menggunakan kepanjangan certified consulting hypnotist. Kepanjangan yang kedua ini digunakan oleh alumni NGH (National Guild of Hypnotist).

CCH versi NGH mensyaratkan lama pendidikan 75 jam tatap muka di kelas plus 25 jam melakukan tugas, praktik, atau baca buku.

Saat ini, saya menggunakan terminologi hipnoterapis dan hipnoterapis klinis untuk membedakan dua kelompok hipnoterapis. Hipnoterapis adalah praktisi hipnoterapi yang mengutamakan praktik hipnoterapi berbasis sugesti. Dalam praktiknya, hipnoterapis tidak mencari akar masalah. Lama proses terapi yang dilakukan hipnoterapis biasanya berkisar 30 menit hingga paling lama sekitar 1 jam.

Sementara hipnoterapis klinis adalah praktisi hipnoterapi yang mengutamakan mencari dan menemukan akar masalah melalui proses hipnoanalisis. Proses terapinya butuh waktu antara 2 jam hingga 5 jam, sekali jalan.

Baca Selengkapnya

Hipnoterapi Lewat Telpon?

30 Januari 2019

Saya dapat pertanyaan dari seorang sahabat, “Pak Adi, saya mau nanya bagaimana tanggapan bapak mengenai hipnoterapi yang dilakukan melalui telpon?”

Ini bukan pertanyaan baru bagi saya. Sejak awal saya praktik sebagai hipnoterapis klinis, saya sering diminta melakukan hipnoterapi melalui telpon. Apakah bisa hipnoterapi dilakukan melalui telpon?

Hipnoterapi terdiri dari dua kata, hipnosis dan terapi. Dengan demikian, hipnterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Kondisi hipnosis adalah kondisi kesadaran khusus, berbeda dengan kondisi sadar normal, dan secara umum dicapai melalui salah satu dari empat cara: heterohipnosis (hipnosis yang dilakukan seseorang ke orang lain), autohipnosis (hipnosis yang terjadi secara otomatis tanpa diinginkan atau disadari oleh individu), swahipnosis (hipnosis yang dilakukan seseorang pada dirinya sendiri) dan parahipnosis (kondisi hipnosis yang muncul karena pengaruh obat).

Saya menggunakan kata “secara umum” pada kalimat di atas karena sejatinya ada banyak cara lain untuk masuk kondisi hipnosis. Ini tidak saya bahas di sini agar kita fokus pada topik yang dibahas di artikel ini.

Kondisi hipnosis memiliki banyak kedalaman. Ada pakar menggunakan skala 1 – 5,  1 – 30, dan 1 – 50. Saya menyusun skala kedalaman hipnosis yang saya beri nama Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale dengan skala kedalaman mulai 1 – 40. Pada setiap kedalaman muncul fenomena fisik dan mental berbeda. Secara umum, kedalaman hipnosis dibagi menjadi empat kelompok: dangkal, menengah, dalam, dan ekstrim.

Teknik terapi dalam hipnoterapi bisa berupa apa saja. Intinya, bila suatu teknik digunakan pada klien dalam kondisi hipnosis maka ini adalah hipnoterapi. Teknik-teknik dalam hipnoterapi antara lain: sugesti, metafora, positive programmed imagery, regresi (ada sangat banyak teknik), inner-child, forgiveness, ego personality (ada banyak varian), abreaksi / katarsis, rewriting history, pemaknaan ulang, revisiting the future, dan masih banyak lagi.

Setiap proses hipnoterapi selalu butuh kondisi hipnosis. Kondisi hipnosis ini dicapai baik melalui induksi formal maupun nonformal. Intinya, tanpa kondisi hipnosis, terapi yang dilakukan, menggunakan teknik apapun, bukan hipnoterapi. Dan kedalaman hipnosis yang perlu dicapai klien, untuk terapi yang efektif dan efisien, sepenuhnya bergantung pada teknik yang digunakan. Ada teknik yang butuh kedalaman dangkal, menengah, dalam, dan ekstrim.

Apakah bisa hipnoterapi dilakukan lewat telpon? Jawabannya bisa, bergantung teknik yang digunakan. Bila yang dimaksud dengan hipnoterapi adalah kondisi hipnosis plus teknik sugesti, ini tentu sangat bisa.

Hipnoterapi berbasis sugesti, secara sederhana, hanya butuh tiga hal. Pertama, kedalaman hipnosis minimal menengah, dan lebih baik lagi dalam hingga ekstrim. Kedua, skrip sugesti yang disusun dengan cermat, mengikuti aturan baku penulisan skrip sugesti yang baik. Ketiga, kemampuan terapis menyampaikan sugesti dengan baik kepada pikiran bawah sadar klien. Ini semua bisa dilakukan lewat telpon dalam waktu relatif singkat, sekitar 15 – 30 menit.

Hipnoterapi, menurut hemat saya, tidak bisa atau tidak boleh dilakukan lewat telpon bila mengutamakan dan mengandalkan teknik-teknik hipnonanalisis, mencari akar masalah, menggunakan teknik abreaksi, regresi, ego personality, rewriting history, dan teknik-teknik lainnya, selain teknik sugesti.

Tentu akan sangat berbahaya bila misalnya klien mengalami abreaksi, tiba-tiba telpon terlepas dari genggamannya dan komunikasi dengan terapis terputus. Klien bisa terkunci di kondisi ini.

Demikian pula bila misalnya terjadi aktivasi ego personality (EP) yang sifatnya keras atau ganas, dan ini sering kami jumpai di ruang praktik, dan EP ini menolak berbicara dan memutus komunikasi dengan terapis. Bila EP ini tidak dinonaktifkan atau dinetralisir maka ia bisa terus aktif dan menguasai klien. Ini tentu sangat berbahaya. Proses terapi berbasis hipnoanalisis butuh waktu antara dua hingga lima jam. Ini tentu tidak bisa dilakukan lewat telpon.

Saya dan hipnoterapis AWGI tidak melakukan hipnoterapi lewat telpon karena alasan di atas. Dan dari pengalaman klinis kami, hipnoterapi yang mengutamakan mencari, menemukan, dan memroses tuntas akar masalah memang butuh waktu lebih lama, prosesnya lebih kompleks, namun sangat efektif dan hasil terapinya bertahan lama. Ini jauh lebih efektif daripada hipnoterapi yang hanya berbasis sugest.

Baca Selengkapnya

Sumber-Sumber Emosi

23 November 2018

Dulu, di awal saya mendalami dunia pikiran dan meditasi, saya mendapat wejangan dari guru saya, YM Sri Paññavaro Mahathera, “Batin manusia terdiri atas pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran. Dari keempat komponen ini yang menjadi provokator adalah perasaan.”

Saat itu, karena keterbatasan pemahaman, saya hanya menerima wejangan ini sebagai pengetahuan penting yang belum saya pahami secara mendalam. Seiring waktu berjalan, dengan semakin saya mendalami dunia pikiran, khususnya hipnoterapi klinis, kini saya mengerti benar kalimat singkat sangat sarat makna dari Beliau. 

Kita sering mendengar pernyataan bahwa manusia adalah makhluk rasional, logis. Benarkah demikian? Bisa ya, dan lebih sering tidak. Manusia sangat sulit untuk bisa benar-benar berpikir rasional dan logis.

Bila ditelaah dengan kaca mata kejujuran dan kesadaran, kita pasti sampai pada satu simpulan yaitu emosi memengaruhi setiap proses berpikir, berucap, bertindak, perilaku, dan pembuatan keputusan. Hanya orang-orang yang telah mengembangkan batin hingga ke taraf tertentu yang mampu memerdekan diri dari pengaruh dan sekaligus menjadi tuan dari emosinya. Dengan memahami begitu besar peran dan pengaruh emosi pada kualitas hidup, kita perlu tahu dari mana emosi berasal. 

Sejatinya, ada tiga jenis emosi: positif, netral, dan negatif. Tiga emosi inilah yang memberi warna pada setiap pengalaman hidup. Emosi adalah warna warni pada lukisan kehidupan kita. Indah atau tidaknya lukisan ini, sepenuhnya berpulang pada masing-masing kita.

Menurut René Descartes, ada enam emosi dasar yaitu cinta, benci, kagum, hasrat, bahagia, dan sedih. Sementara filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan ada lima emosi dasar: cinta, harapan, rendah hati, bahagia dan sedih. Dalam bukunya yang terbit tahun 1890, Principles of Psychology, William James, bapak psikologi Amerika, menyederhanakan emosi dasar menjadi empat: cinta, takut, sedih, dan marah. Setiap emosi, menurut James, adalah kombinasi dari keempat emosi dasar ini. 

Selama ini orang lebih mengenal emosi negatif sebagai sumber masalah. Emosi negatif, antara lain, marah, benci, kecewa, terluka, sakit hati, dendam, malu, kesepian, sedih, benci, terluka, perasaan bersalah, dan bosan. Emosi positif, seperti suka atau senang, sebenarnya juga dapat berakibat negatif karena dapat mengakibatkan adiksi atau kemelekatan.

Setiap insan terlahir dengan membawa emosi-emosi dasar. Namun, sumber emosi bukan hanya dari sini. Masih ada sumber-sumber lain yang sering kali tidak kita ketahui atau sadari. 

Emosi yang Berasal dari Ibu, Saat Dalam Kandungan

Pikiran bawah sadar (PBS) mulai aktif sejak terjadi pembuahan, terus aktif, dan hanya berhenti atau padam saat individu meninggal. PBS, sesuai fungsinya, merekam apapun yang dialami individu. Dengan demikian, janin dalam kandungan ibu akan merekam semua pengalaman hidup ibu, termasuk emosi yang ibu alami dan rasakan. Emosi ini, bisa positif, netral, atau negatif, tersimpan di PBS janin, menjadi milik janin, dan pasti memengaruhi hidupnya kelak.

Emosi Janin

Janin juga dapat mengalami emosi sebagai respon atas apa yang ibunya alami, rasakan, atau lakukan. Bila ibunya pernah berpikir tentang atau bahkan telah mencoba melakukan upaya aborsi, janin tahu, dan muncul emosi negatif intens dalam diri janin. Demikian pula bila misalnya ibu ribut dengan ayah, ibu atau ayah menolak kehadiran janin karena merasa belum siap punya anak atau karena jenis kelamin janin tidak seperti yang diharapkan. 

Sebaliknya, bila ibunya mengalami atau merasakan emosi positif, seperti senang, bahagia, haru, perasaan syukur, emosi-emosi ini semuanya juga dirasakan dan direkam oleh PBS janin.

Emosi Warisan

Emosi juga bisa berasal dari leluhur. Emosi warisan ini masuk ke dalam janin saat terjadi pembuahan. Emosi warisan ini bisa berasal hanya dari garis ibu atau hanya dari garis ayah, dan bisa dari keduanya. 

Emosi dari Donor

Pasien yang menerima transplantasi jantung melaporkan perubahan dalam diri mereka, terutama di aspek emosi. Dan setelah diteliti lebih lanjut, emosi ini adalah emosi yang berasal dari donor. Emosi ini tersimpan dalam bentuk sel memori di jantung, sehingga saat pasien menerima jantung, ia juga mendapat emosi yang tersimpan di jantung donor. 

Emosi dari Introject

Introject adalah perwujudan figur yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang, berdasar persepsi seseorang terhadap figur ini, dan “hidup” di PBS orang tersebut. Contoh introject antara lain sosok atau figur dari ayah, ibu, suami, istri, saudara, anak, tokoh agama, guru spiritual, dan lain-lain. 

Introject juga mempunyai emosi. Saat introject aktif dalam diri individu, ia berubah menjadi identofact dan mengendalikan diri individu. Emosi identofact juga dirasakan sepenuhnya oleh individu yang menjadi “induk”nya. 

Emosi dari EP Luar

Kami menemukan ada Ego Personality (EP) yang berasal dari luar diri individu. EP masuk sendiri atau dimasukkan oleh seseorang ke dalam individu. EP memiliki emosi, positif maupun negatif. Saat EP ini aktif, emosi yang ada dalam dirinya juga turut aktif dan dirasakan individu. Ini mirip dengan introject. Bedanya terletak pada proses terciptanya EP. 

Emosi dari Pemaknaan

Emosi, umumnya, muncul karena pemaknaan. Setiap kejadian sifatnya netral, sampai kita memberi makna pada kejadian ini. Ada tiga kemungkinan makna yang diberikan pada setiap kejadian: positif, netral, negatif. Makna selanjutnya memunculkan emosi yang sejalan dengannya. Makna positif memunculkan emosi positif. Makna netral memunculkan emosi netral. Dan makna negatif memunculkan emosi negatif.  

Makna yang diberikan pada suatu kejadian bisa menggunakan salah satu dari dua jalur: sadar dan tidak sadar. Yang dimaksud pemaknaan secara sadar adalah saat kita mengalami suatu kejadian, kita dengan tenang mengamati, menyadari apa yang terjadi, dan setelahnya dengan menggunakan kebijaksanaan memberi makna yang tepat. Ini adalah kondisi ideal yang menjadi idaman setiap orang. Namun, sejujurnya, tidak mudah untuk bisa melakukan hal ini. Yang paling sering terjadi adalah pemaknaan secara tidak sadar. Saya menyebutnya sebagai pemaknaan stimulus-respons atau otomatis. 

Pemaknaan otomatis terjadi karena kita menggunakan data yang ada di memori pikiran bawah sadar sebagai acuan. Data di memori ini adalah hasil pembelajaran, akumulasi pengalaman, dan terutama injeksi makna dari figur otoritas, terutama orangtua atau pengasuh utama. 

Dengan demikian, emosi yang kita alami atau rasakan, mayoritas adalah hasil pemaknaan yang mengacu pada pengalaman masa lalu. Kita tidak menyadari akan hal ini karena kerja pikiran bawah sadar 200.000 kali lebih cepat daripada pikiran sadar. Yang terjadi, saat kita mengalami sesuatu, seolah tanpa ada jeda, langsung muncul emosi. 

Diserap dari Orang Lain

Emosi juga bisa berasal dari luar diri kita. Sering, tanpa disadari, kita menyerap emosi yang berasal dari orang lain, saat kita berinteraksi dengan mereka, baik secara langsung atau melalui telpon. Saya yakin Anda pasti pernah jumpa seseorang dan setelahnya Anda merasa begitu positif, energi Anda melimpah ruah. Dan pernah juga, di lain waktu, Anda jumpa seseorang dan setelahnya Anda merasa sangat lelah, tidak nyaman, dan bahkan bisa sakit. Yang terjadi sebenarnya adalah Anda menyerap emosi yang dipancarkan oleh orang ini, dalam bentuk energi. 

Curhat adalah sarana pertukaran energi yang dahsyat. Saat seseorang curhat pada Anda, terutama hal-hal negatif, sebaiknya Anda hindari. Mengapa? Karena saat ia curhat, sebenarnya ia sedang memprojeksikan energi negatif dari dalam dirinya ke Anda. Bila tidak kuat, tubuh Anda akan menyerap dan menyimpan emosi negatif ini. Akibatnya, emosinya berpindah ke tempat Anda dan sekarang Anda yang bermasalah. Kondisi ini yang sering terjadi dan dialami oleh para terapis, psikolog, dokter, psikiater, konselor, dan mereka yang bergerak di bidang penyembuhan. 

Setelah Emosi Muncul

Saat suatu emosi muncul, ia akan mengendalikan seseorang dengan tingkat kekuatan sejalan dengan intensitasnya. Bila, misalnya, digunakan skala 0 hingga 10, di mana 0 artinya tidak ada intensitas sama sekali dan 10 adalah intensitas paling kuat, maka semakin tinggi intensitasnya semakin kuat daya pengaruh dan kendali emosi terhadap individu. 

Saat emosi muncul atau tercipta, ia akan diproses oleh sistem psikis kita. Bila emosi berhasil diproses tuntas, ia akan “hilang” dan tidak mengganggu. Namun bila karena sesuatu hal, khususnya emosi negatif, ia tidak berhasil diproses tuntas, akan muncul residu yang menetap atau tersimpan di lokasi tubuh tertentu. Residu ini selanjutnya akan memengaruhi kerja sel atau organ tempat ia menetap. Bisa terjadi, di satu lokasi (organ, otot, sel) menetap lebih dari satu emosi yang sama atau berbeda. Kondisi ini disebut nesting atau sarang. 

Lokasi emosi biasanya tidak hanya terpusat di satu lokasi. Dari temuan di ruang praktik, diketathui biasanya ada dua lokasi tempat emosi menetap: lokasi primer dan lokasi sekunder. Lokasi primer adalah wilayah tubuh yang paling jelas terasa saat emosi ini aktif. Sementara lokasi sekunder adalah lokasi-lokasi lain tempat menetap emosi yang sama, tapi hanya bisa dirasakan keberadaannya bila seseorang secara sadar melakukan pengecekan. Di manapun emosi menetap, ia selalu berpengaruh, baik positif maupun negatif.  

Untuk memahami peran dan pengaruh emosi pada manusia, saya sangat menyarankan Anda untuk menyaksikan film animasi, Inside Out. Film ini menceritakan bagaimana emosi-emosi dalam diri, Bahagia (Joy), Sedih (Sad), Takut (Fear), Jijik (Disgust), dan Marah (Anger) saling berinteraksi dan mengendalikan diri seseorang dalam menjalani hidup. 

Baca Selengkapnya

Rahasia Sukses Trading Saham atau Forex

25 September 2018

Ada banyak cara untuk sukses finansial. Bila mengacu pada Cashflow Quadrant Robert Kiyosaki, sejatinya ada empat cara menghasilkan uang yaitu sebagai Employee, Self-Employed, Investor, dan Business Owner. Setiap kuadran memiliki aturan dan paradigma berbeda. Untuk pindah kuadran, kita perlu belajar lagi, beradaptasi, dan taat mengikuti aturan main yang berlaku pada kuadran baru. Sukses di satu kuadran bukan jaminan sukses di kuadran lain.

Salah satu cara meraih sukses finansial adalah dengan trading saham atau forex. Ada dua tipe pemain di kuadran ini. Ada yang main saham atau forex hanya berbekal tekad dan yakin bisa dapat keuntungan, tanpa membekali diri dengan pengetahuan, teknik, strategi efektif. Tipe pemain seperti ini sebenarnya adalah penjudi. Penjudi tidak punya pengetahuan memadai, tidak punya trading plan, mereka mengandalkan trial and error. Karena hanya mengandalkan trial, mereka sering error dan mengalami rugi.

Tipe kedua, mereka yang menyiapkan diri dengan baik. Sebelum terjun ke dunia saham atau forex, mereka belajar dari trainer terbaik di bidang ini. Mereka ini disebut trader/investor.

Saya sering jumpa dua tipe pemain ini. Mereka datang jumpa saya, minta tolong untuk dibantu sukses dan kaya dari trading saham dan forex, menjadi Magnet Uang dan Keberuntungan. Untuk klien tipe pertama, saya sarankan mereka untuk belajar trading saham dan forex yang benar. Saya tidak bisa membantu mereka sukses bila mereka tidak tahu cara trading yang benar.

Yang menarik adalah bila jumpa klien tipe kedua. Mereka ini sudah menghabiskan banyak uang untuk belajar di berbagai workskhop trading saham dan forex, baik di dalam maupun luar negeri, namun tetap sulit untuk mendapat untung.

Apa yang sesungguhnya terjadi?

Di buku Quantum Life Transformation saya menjelaskan bahwa untuk sukses dibutuhkan dua komponen, God Factor dan Human Factor. Saya menuliskannya menjadi rumus: God Factor X Human Factor = Success. Saya tidak membahas God Factor karena ini di luar ranah keilmuan saya. Selain itu, relasi seseorang dengan Tuhan sifatnya sangat personal. Dalam kesempatan ini saya hanya akan membahas Human Factor yang terdiri atas BE dan DO.

BE meliputi kualitas diri, mindset, belief, value. DO adalah aktivitas yang orang lakukan untuk mencapai tujuan. Untuk sukses melakukan DO, seseorang butuh informasi, pengetahuan, dan keterampilan. Ini bisa diperoleh melalui pelatihan berkualitas dan disiplin mengikuti trading plan. Bila Anda telah melakukan DO dengan benar, konsisten, namun masih juga belum dapat untung, atau bahkan sering menderita kerugian, Anda perlu mulai menelisik BE.

Kondisi yang biasa saya temukan pada diri trader saham/forex yang mengakibatkan DO mereka tidak efektif antara lain:
- tidak memiliki goal jelas dan spesifik jumlah profit yang diinginkan. Dengan kata lain, mereka tidak menentukan berapa cukupnya. 
- tidak memiliki trading plan. 
-sudah punya trading plan, tapi tidak (bisa) disiplin menjalankan/mengikuti plan-nya. 
- takut rugi
- mau untung banyak dalam waktu singkat
- bisa untung, tapi hanya sedikit. 
- bila untung banyak, tidak lama kemudian, "salah" beli saham, dan mengalami rugi besar sehingga minus.
- terlalu banyak analisis sehingga tidak berani melakukan apapun (paralysis of analysis)
- kepercayaan (belief) yang tidak mendukung.

Semua kondisi di atas adalah simtom dari sesuatu yang lebih mendasar dan sangat jarang diketahui orang. Saya menamakannya sebagai Mental Block. Orang tidak tahu atau menyadari keberadaan Mental Block karena ia tersimpan dan bekerja di kedalaman pikiran bawah sadar (PBS) sehingga tidak diketahui pikiran sadar.

Mental block adalah program pikiran yang menghambat seseorang mencapai tujuan. Kekuatan Mental Block ini sangat luar biasa yaitu 99 kali lebih kuat dari pikiran sadar (will power).

Ada dua macam Mental Block: blocking pada goal dan strategi. Yang dimaksud dengan blocking pada goal adalah penolakan dari PBS terhadap goal atau target profit yang ditetapkan. Sementara blocking strategi adalah penolakan dari PBS terhadap strategi atau cara yang akan digunakan untuk mencapai goal.

Blocking bekerja sangat halus dan tidak disadari individu. Namun ada cara untuk memeriksa keberadaannya yaitu dengan memeriksa ke dalam diri, secara teliti dan jujur, apakah ada indikator berupa perasaan (emosi) tidak nyaman, atau sensasi tidak nyaman pada bagian fisik tertentu, atau suara hati (inner voice) yang berbicara atau mengatakan sesuatu yang negatif yang berhubungan dengan goal dan strategi.

Bila saat Anda menentapkan goal, membayangkan telah mencapai goal ini, menetapkan strategi, membayangkan melakukan strategi ini dan muncul salah satu, dua, atau bahkan ketiga indikator di atas, ini petunjuk ada Mental Block di PBS Anda.

Menemukan mental block adalah satu hal, mengatasinya adalah hal lain. Mental block tidak bisa diatasi hanya dengan berdoa atau berpikir positif, melakukan perencanaan matang, atau hal lain yang lazim orang lakukan. Butuh teknik spesifik untuk bisa mengatasi mental block dengan cepat dan tuntas.

Mengatasi Mental Block bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan penelusuran di PBS dan menemukan akar masalah. Kedua, tanpa perlu mencari akar masalah, namun menghilangkan emosi atau energi yang menjadi sumber kekuatan Mental Block.

Untuk bisa sukses trading saham atau forex, Anda perlu meningkatkan kualitas BE Anda. Caranya, pertama, Anda perlu menemukan dan mengatasi Mental Block. Selanjutnya, Anda perlu memrogram ulang PBS agar mendukung trading Anda dan menjadi Magnet Uang dan Keberuntungan.

Demikianlah adanya....
Demikianlah kenyataannya....

Baca Selengkapnya

Tepat dan Cerdas Memahami Abreaksi

13 September 2018

 

Hipnoterapi terbagi menjadi dua mazhab berdasar pendekatan terapi yang digunakan. Pertama, mazhab pantai timur Amerika, yang hanya mengutamakan dan menggunakan teknik terapi berbasis sugesti. Kedua, mazhab pantai barat yang sangat kaya teknik, menggunakan hipnoanalisis untuk menemukan akar masalah dan memrosesnya secara tuntas.

Hipnoterapis mazhab pantai timur melakukan proses terapi dengan menuntun klien masuk ke kedalaman hipnosis tertentu dan dilanjutkan dengan membacakan skrip sugesti. Skrip sugesti ini bisa bersifat umum dan spesifik. Hipnoterapis mazhab ini tidak dilatih untuk mencari dan menemukan akar masalah. Dengan demikian, mereka juga tidak mampu menangani, bila terjadi, luapan emosi klien dengan tepat, efektif, dan aman.

Sementara, dalam proses yang dilakukan para hipnoterapis mazhab pantai barat, sangat sering dijumpai akar masalah, dan kejadian-kejadian lanjutan pencetus simtom, berisi muatan emosi (sangat) intens. Emosi ini lekat pada memori traumatik dan sangat mengganggu klien. Untuk bisa melakukan rekonstruksi kejadian traumatik ini, agar klien sembuh, afek yang lekat pada memori harus dilepas dengan aman, nyaman, terkendali, menggunakan teknik yang sesuai dengan situasi, kebutuhan, dan kondisi klien. Pelepasan emosi ini dikenal dengan nama abreaksi atau katarsis.

Ada banyak definisi abreaksi, bergantung pemahaman masing-masing praktisi. Saya menggunakan definisi abreaksi yang dilansir oleh American Psychiatric Association:

An emotional release or discharge after recalling a painful experience that has been repressed because it was consciously intolerable. A therapeutic effect sometimes occurs through partial discharge or de-sensitization of the painful emotions and increased insight. (American Psychiatric Association, 1980, p. 1)

(Sebuah pelepasan atau pengeluaran emosi setelah mengingat kembali pengalaman traumatik yang selama ini direpresi, karena secara sadar sangat menyakitkan. Efek terapeutik kadang terjadi melalui pelepasan sebagian atau desensitisasi dari emosi-emosi menyakitkan dan meningkatnya wawasan.)

Abreaksi, bila berdiri sendiri, tidak terapeutik. Abreaksi terjadi karena klien mengakses pengalaman traumatik, yang sebelumnya telah ditekan sedemikian rupa sehingga ia lupa atau tidak lagi bisa mengakses memori ini secara sadar.

Saat klien, dalam proses hipnoterapi, mengakses kembali pengalaman traumatiknya, pada saat itu juga emosi yang lekat pada memori traumatik menjadi aktif. Penanganan abreaksi tidak tuntas mengakibatkan klien mengalami ulang trauma. Ini tentu sangat merugikan klien. Abreaksi terapeutik harus dilakukan dengan perencanaan matang, sistematis, terkendali, dan aman.

Untuk benar-benar mencapai hasil terapi maksimal, abreaksi hingga tuntas (exhaustive abreaction) perlu dilakukan di kejadian paling awal dan kejadian-kejadian lanjutan, yang ada dalam rangkaian pencetus simtom. Setelahnya, perlu diikuti dengan kerangka kerja bermakna (meaningful and appropriate cognitive framework) (Braun, 1986; Ross, 1989). Di AWGI, kami menyebutnya dengan rekonstruksi memori atau pengalaman emosi korektif.

Saat individu mengalami pengalaman korektif emosi, ia “menuntaskan” proses yang dulunya belum selesai dijalani, yang adalah inti neurosis repetitif, dan melepas kebutuhan akan keberlanjutan manifestasi simtom (Van der Hart, Brown, dan Van de Kolk, 1989)  

Menurut Putnam (1989) ada dua jenis abreaksi: abreaksi spontan dan abreaksi terkendali terapeutik. Yang dimaksud abreaksi spontan atau fenomena menyerupai abreaksi adalah ingatan pengalaman traumatik yang muncul tiba-tiba (flashback), mimpi buruk, dan ingatan detil lainnya tentang pengalaman traumatik yang muncul secara spontan, tidak terkendali, dan sebagian besar bersifat tak sadar dan menghambat atau mencegah terjadinya pelepasan emosi dari memori dan afek yang mengikuti flashback. Sementara abreaksi terkendali terapeutik dilakukan dengan sangat hati-hati, cermat, terukur, meliputi mengalami kembali pengalaman traumatik dan pelepasan emosi terkait, dan dilanjutkan dengan kerangka kerja bermakna.

Steele dan Colrain (1990) menganggap flashback sebagai abreaksi spontan, yang mereka definisikan sebagai mengalami trauma secara refleksif, tidak utuh, tidak terkendali, dan terpotong, yang sebagian besar kontennya terjadi secara nirsadar. Masih menurut mereka, resolusi sulit dicapai karena flashback dan fenomena lain yang menyerupai abreaksi tidak lengkap dan tidak terjadi kerangka kerja kognisi. Peterson (1991) menyatakan bahwa abreaksi spontan adalah lingkaran psikologis tanpa menawarkan penyelesaian, tetapi hanya mengulang dan mengulang apa yang telah terjadi.

Sementara Watkins (1949) menyatakan abreaksi adalah mengalami kembali secara emosi atau mengalami kembali pengalaman traumatik, dan dianalogikan sama dengan membuka bisul. Dikatakan seperti ini karena abreaksi melibatkan energi yang sangat besar dan pelepasan kecemasan.

Dua contoh kejadian yang sering dijumpai dalam interaksi sosial, yang melibatkan abreaksi adalah curhat dan revivifikasi. Curhat sebenarnya adalah tipe abreaksi spontan nonterapeutik. Saat seseorang menceritakan apa yang ia alami atau rasakan, pada saat yang sama terjadi pelepasan tekanan emosi. Setelahnya ia merasa lega, namun ini tidak menyelesaikan masalah karena tidak diikuti dengan kerangka kerja bermakna atau pengalaman korektif emosi.

Seringkali, saat curhat, individu secara spontan, di dalam pikirannya, mengalami kembali dengan semua indera, di saat ini, kejadian masa lalu. Kondisi ini, secara teknis disebut revivifikasi. Revivifikasi sering diikuti dengan terjadi luapan emosi dari kedalaman pikiran bawah sadar. Namun, sama seperti curhat, revivifikasi per se tidak terapeutik dan sering menyebabkan kondisi individu menjadi lebih parah karena mengalami trauma ulang tanpa resolusi.

Abreaksi saja tidak cukup untuk menyelesaikan trauma. Agar abreaksi efektif mengatasi trauma, ia harus dihubungkan dengan restrukturisasi kognitif, dan resolusi dilema yang ada dalam trauma (Steele,1989).

Hal ini sejalan dengan Fine (1991) yang menyatakan bahwa tujuan abreaksi adalah untuk memberi informasi, mendidik atau mendidik ulang, melepas afek yang ditekan, mencapai keberlangsungan konten memori, melepas trauma yang terperangkap dalam tubuh, dan membentuk ulang skemata kognisi dan kepercayaan.

Dengan demikian, dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa abreaksi adalah satu hal, dan resolusi trauma adalah hal lain. Resolusi trauma melibatkan dua faktor, abreaksi dan pengalaman korektif emosi.

Baca Selengkapnya

Teknologi di Balik The Heart Technique®

14 Agustus 2018

Antusiasme publik menyambut dan memelajari teknik swaterapi revolusioner The Heart Technique® (THT) sungguh luar biasa. Workshop THT di Jakarta, 30 Juli 2018, dihadiri 1.100 peserta. Sementara di Medan, 8 Juli 2018, dihadiri 1.300 peserta. Pada dua workshop ini kami dengan berat hati menolak banyak calon peserta karena kapasitas ruang sudah maksimal digunakan. Bahkan banyak yang memaksa datang di hari H, berharap bisa menggantikan peserta yang batal hadir.

Setelah dua workshop perdana ini, para Certified Trainer The Heart Technique® membawakan worskhop THT di berbagai kota di Indonesia, seperti Medan, Bogor, Lubuk Linggau, Jakarta, Purwokerto, Cilacap, Bali, dan akan terus berlanjut di kota-kota lainnya.

Yang lebih luar biasa lagi, saat peserta diminta mempraktikkan THT pada diri mereka, efek terapeutik langsung mereka alami saat itu juga. Ada yang berhasil mengatasi fobia, tidak percaya diri, perasaan bersalah, luka batin, kemarahan pada diri sendiri, marah pada orang lain, perasaan kecewa, terluka, dendam, merasa diri bodoh, dan masih banyak lagi.  

Publikasi The Heart Technique® yang viral di medsos menarik minat dan mendapat perhatian banyak pihak. Ada yang bertanya pada saya, di mana saya belajar teknik ini, siapa nama guru saya, apakah saya berafiliasi ke lembaga tertentu di luar negeri, apa landasan teori dan cara kerja THT, dan apakah ada penelitian tentang keefektifannya.

THT adalah teknik terapi revolusioner, sangat mudah dipelajari, sangat mudah dipraktikkan, dan sangat efektif mengatasi berbagai masalah perilaku dan emosi. Walau sangat mudah dipelajari dan dipraktikkan, sesungguhnya ilmu yang menjadi landasan terciptanya teknik ini cukup rumit.

Saya mencipta THT melalui perjalanan dan proses panjang. Protokol THT dirancang sedemikian rupa sehingga sangat mudah dipraktikkan oleh siapa saja tanpa harus mengerti hipnosis, hipnoterapi, cara kerja pikiran, atau trance. Sebelum diajarkan ke publik, THT telah diujicobakan selama satu setengah tahun kepada lebih dari 100 subjek/klien, terbukti efektif memberi hasil terapi positif dan konsisten, dengan tingkat keberhasilan di atas 95%.

Apa dasar pemikiran atau teori di balik THT? Mengapa THT bisa sangat efektif mengatasi beragam masalah perilaku dan emosi? Untuk memahami teknologi rumit di balik THT, berikut ini saya uraikan, secara ringkas, perjalanan belajar dan pemahaman yang saya peroleh dari pengalaman sebagai hipnoterapis klinis dan dari hasil memelajari berbagai literatur yang menjadi landasan terciptanya teknik revolusioner THT.

Pemahaman dari Perspektif Hipnoterapi Klinis

Di awal karir sebagai hipnoterapi klinis, tahun 2005, saya mendapat pemahaman bahwa kunci penyelesaian masalah ada pada penanganan emosi. Ini bermula dari membaca artikel yang ditulis oleh Joseph Breuer, menceritakan pengalamannya menangani kliennya, Bertha Pappenheim, yang diberi nama samaran Anna O. Selanjutnya, kisah ini ditulis ke dalam buku Studies on Hysteria (Sigmund Freud and Josef Breuer, 1895). Anna O, telah Breuer tangani banyak sesi namun mengalami perkembangan signifikan. Sampai suatu hari, Anna mengalami katarsis spontan, terjadi luapan dan ledakan emosi hebat. Setelah luapan emosi ini reda dan selesai, Anna sembuh dari histeria yang ia alami. Dari sini saya mencatat hal penting. Kunci penyelesaian masalah ada pada penanganan emosi secara tepat dan tuntas.

Pemahaman bahwa kunci penyelesaian masalah ada pada emosi, semakin kuat saat saya membaca buku Hypnotherapy of War Neuroses: A Clinical Psychologist's Casebook (John G. Watkins, 1949). Ini adalah buku pertama yang ditulis oleh Watkins, dan adalah buku klasik yang sangat sulit saya dapatkan saat itu. Saya butuh waktu cukup lama, berburu dan mencari buku ini hingga akhirnya mendapatkannya di salah satu toko buku bekas di Sydney, Australia.

Saya semakin yakin berada di jalur pemahaman yang benar setelah membaca lebih banyak pemikiran dan karya para pakar, khususnya terkait proses terapi menggunakan teknik abreaktif, seperti Gil Boyne, Gerald Kein, Randal Churchill, Charles Tebbetts, John G. Watkins, ‎ Richard P. Kluft, Frank W. Putnam Arreed F. Barabasz, dan Ciara C. Christensen.

Pemahaman inilah yang melandasi pemikiran saya saat menyusun Quantum Hypnotherapeutic Protocol® (QHP), protokol hipnoterapi klinis yang saya gunakan dalam praktik klinis, ajarkan dan digunakan semua hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology.  

Dalam QHP yang kami gunakan, untuk menyelesaikan masalah klien, kami selalu mencari kejadian paling awal yang menjadi penyebab masalah. Ini dilakukan dengan pemahaman bahwa tidak mungkin ada asap (simtom masalah) tanpa ada api (akar masalah). Dengan demikian, menurut protokol ini, saat api masalah berhasil tuntas dipadamkan maka asap (simtom masalah) juga sudah pasti hilang dengan sendirinya.

Saya kembali mendapat pemahaman penting saat membaca beberapa artikel jurnal, khususnya penanganan kasus menggunakan teknik abreaksi, seperti Efficacy of abreactive ego state therapy for PTSD: trauma resolution, depression, and anxiety (Christensen C, Barabasz A, Barabasz M, 2013 ), Efficacy of single-session abreactive ego state therapy for combat stress injury, PTSD, and ASD (Barabasz A, Barabasz M, Christensen C, French B, Watkins JG, 2013), keduanya dipublikasi di International Journal of Clinical Hypnosis.

Dalam proses terapi, untuk menemukan akar masalah, yang disebut ISE (Initial Sensitizing Event), terapis menuntun klien mundur, menggunakan teknik spesifik, menyusuri garis waktu di pikirannya, melewati satu atau lebih kejadian, disebut SSE atau Subsequent Sensitizing Event, sebelum akhirnya mendarat di kejadian paling awal. Kejadian-kejadian ini sebenarnya adalah memori spesifik dengan muatan emosi dan tersimpan di pikiran bawah sadar.

Pada setiap kejadian ini biasanya terkandung emosi dengan intensitas moderat, tinggi, dan bahkan sangat tinggi. Penyelesaian masalah dilakukan dengan merekonstruksi kejadian sedemikian rupa sehingga emosi yang muncul pada kejadian ini padam. Dengan padamnya emosi, secara otomatis terjadi resolusi trauma dan klien bisa memetik hikmah dari kejadian-kejadian ini untuk ia gunakan demi kebaikan hidupnya saat ini dan kemudian hari. Bila emosi tidak tuntas dipadamkan, terapi tidak maksimal. Klien dapat kambuh dan simtomnya muncul lagi.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kejadian yang sama, dialami oleh orang berbeda, menghasilkan dampak yang juga berbeda. Ada yang mengalami trauma, ada yang hanya kaget sejenak, dan ada yang sama sekali tidak terpengaruh.

Untuk satu kejadian terekam di otak sebagai memori traumatik butuh lima syarat. Pertama, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi. Kedua, kejadian ini bermakna bagi individu. Ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung. Keempat, individu merasa terperangkap, tidak bisa menghindar atau keluar dari kejadian ini, Kelima, individu merasa tidak berdaya.

Kejadian yang dimaksud pada poin pertama bisa berupa kejadian yang dialami secara langsung oleh individu, atau kejadian yang disaksikan tapi individu tidak terlibat atau mengalaminya, atau kejadian yang ia baca dan atau dengar dari media massa atau media sosial, atau kejadian yang ia dengar dari orang yang mengalami, atau bahkan bisa kejadian dalam mimpi.

Dari cerita proses terapi di atas dapat disimpulkan bahwa sejatinya akar dari segala akar masalah adalah emosi, bisa positif atau negatif, tapi biasanya negatif, yang lekat pada memori kejadian yang klien alami.

Pemahaman dari Perspektif Teori Ego Personality

Manusia bukan entitas tunggal. Dalam diri kita ada banyak Bagian Diri atau Ego Personality (EP) dengan peran, karakter, fungsi, kepribadian, tujuan, pola pikir, dan agendanya sendiri (Watkins dan Watkins, 1997; Emerson, 2003, 2006).

Setiap kejadian, terutama pengalaman dengan muatan emosi intens, baik positif maupun negatif, direkam dan menjadi bagian EP spesifik. Dengan demikian, saat akan melakukan terapi, untuk mengatasi masalah klien, EP yang memegang data ini harus aktif atau diaktifkan. Bila terapi dilakukan bukan pada EP yang tepat sasaran, pasti tidak efektif.  

Dalam satu saat hanya bisa ada satu EP yang aktif mengendalikan individu. EP ini disebut executive. Sementara EP lainnya, terutama yang bermasalah, tinggal di kedalaman pikiran bawah sadar, underlying, tidak disadari atau diketahui keberadaannya namun membuat masalah.

Untuk dapat menjangkau EP underlying, bisa dengan beberapa cara. Klien bisa dibawa “turun” masuk kondisi hipnosis dan baru setelahnya terapis mengakses EP ini. Cara lain, terapis menggunakan protokol tertentu, langsung minta bicara dengan EP yang hendak diproses. Namun cara ini biasanya tidak selalu berhasil. Salah satu cara efektif untuk mengakses EP adalah dengan menggunakan jalur memori dan emosi.

Pemahaman Motivasi

Sejatinya setiap individu memiliki dua jenis motivasi, dari pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Hidup berjalan baik bila motivasi dari kedua pikiran ini sejalan atau saling mendukung. Bila terjadi sebaliknya, saat motivasi pikiran sadar bertentangan dengan motivasi pikiran bawah sadar, hidup menjadi perjalanan yang melelahkan dan penuh masalah.

Dari berbagai literatur, diketahui bahwa pikiran bawah sadar mengendalikan diri individu antara 95% hingga 99%. Dengan demikian, perubahan atau transformasi diri dapat terjadi dengan sangat mudah bila motivasi perubahan berasal dari pikiran bawah sadar. Menggunakan teknik tertentu, hipnoterapis klinis yang cakap dapat mengakses pikiran bawah sadar dengan mudah dan membangkitkan motivasi perubahan dari pikiran bawah sadar. Hasilnya, perubahan diri terjadi dengan sangat mudah, lancar, menyenangkan, dan bertahan lama.

Pemahaman dari Fungsi Pikiran Bawah Sadar

Fungsi utama pikiran bawah sadar (PBS) adalah menjaga keselamatan hidup dan melindungi individu dari hal-hal yang ia, PBS, tahu, pikir, yakin, percaya, rasa, persepsikan sebagai hal yang merugikan atau membahayakan keselamatan dan kesejahteraan pikiran sadar dan atau tubuh fisik individu (Erickson,1977; Tebetts, 1987; Kein, 1998; Havens, 2005, Gunawan, 2008). PBS melindungi individu dengan cara yang ia pilih sendiri, tanpa bisa diintervensi pikiran sadar

Untuk mengatasi trauma, PBS klien perlu disiapkan, diedukasi, negosiasi, dirayu, diyakinkan, dan atau direedukasi sehingga mampu melihat dan memahami kondisi klien secara utuh menggunakan bingkai kearifan.

Bila hal ini berhasil dilakukan, PBS dengan senang hati melepas emosi yang selama ini mengganggu klien. Proses pelepasan emosi ini sama sekali tidak membutuhkan intervensi dari terapis atau klien. PBS melakukan sendiri dengan sukarela. Tentu, untuk mencapai kondisi ini, terapis perlu cakap dan terampil mengolah dinamika yang muncul atau dimunculkan PBS klien (Gunawan, 2010).

Pemahaman dari Perspektif Trauma dan Tubuh

Saya juga membaca buku-buku yang secara khusus membahas trauma, memori, emosi, energi emosi, dan pengaruhnya pada tubuh. Buku-buku ini antara lain Psychological Trauma (Bessel A. Van Der Kolk, 1987), Waking the Tiger: Healing Trauma (Peter A. Levine dan Ann Frederick, 1997), Healing Trauma: A Pioneering Program for Restoring the Wisdom of Your Body (Peter A. Levine, 2008), In an Unspoken Voice: How the Body Releases Trauma and Restores Goodness (Peter A. Levine dan Gabor Mate, 2010), The Body Bears the Burden: Trauma, Dissociation, and Disease (Robert Scaer, 2014), The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma (Bessel van der Kolk M.D, 2015), Trauma and Memory: Brain and Body in a Search for the Living Past: A Practical Guide for Understanding and Working with Traumatic Memory (Peter A. Levine Ph.D. dan Bessel A. van der Kolk M.D., 2015).

Dari buku-buku ini saya mendapat pemahaman bahwa saat makhluk, khususnya, hewan mengalami kejadian yang membuatnya stres, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, stres, atau biasa disebut sebagai entrofi, dikeluarkan dari tubuh. Secara alamiah hewan akan melakukan shaking atau gemetar pada tubuhnya, terutama pada tungkai. Proses shaking ini terus terjadi sampai entrofi berhasil tuntas dikeluarkan dari sistem tubuhnya. Kedua, bila karena sesuatu hal, hewan tidak bisa mengeluarkan stres dari sistem tubuhnya, stres ini tersimpan dalam bentuk energi yang menetap di bagian tubuh atau organ tertentu. Selama energi ini masih ada di dalam tubuh, ia akan mengganggu kerja tubuh, dan terutama menempatkan hewan ini senantiasa dalam posisi waspada penuh, gelisah, fight or flight (Levine dan Frederick, 1997).

Pada hewan, proses pelepasan atau pengeluaran energi stres, yang muncul karena kejadian traumatik, terjadi secara alamiah. Sistem tubuh hewan didesain sedemikian rupa sehingga secara otomatis mengeluarkan entrofi tanpa ia perlu melakukan upaya apapun. Namun tidak demikian halnya dengan manusia.

Saat manusia mengalami kejadian traumatik, muncul emosi negatif intens yang lekat pada memori kejadian, secara teknis disebut memori patologis. Emosi ini, bila tidak dinetralisir, akan tersimpan di dalam dirinya dalam bentuk energi (emotion = energy in motion), menetap di bagian tubuh atau organ tertentu. Selanjutnya, setiap kali memori ini muncul atau sengaja dimunculkan, emosi yang lekat padanya juga turut teraktivasi. Memori ini bisa dalam bentuk visual (gambar), suara (auditori), dan perasaan atau sensasi fisik tertentu.

Pemahaman dari Perspektif Neurosains

Memori kejadian, khususnya bermuatan emosi negatif intens, tidak memudar atau hilang seiring waktu berjalan seperti memori pada umumnya, bahkan setelah puluhan tahun kemudian. Memori masa lalu ini selalu hadir di masa sekarang (Van der Kolk, Weisaeth, dan van der Hart, 2007).

Memori traumatik dapat digambarkan sebagai jalur neuron menghubungkan reseptor-reseptor glutamat yang tercipta saat individu mengalami kejadian traumatik. Saat jalur neuron ini teraktivasi ulang oleh pemicu, individu mengalami kembali kejadian seolah-olah baru terjadi (revivifikasi). Ini dinamakan konsolidasi sinaptik. Aktivasi ulang jalur sinaptik neuron yang dikonsolidasi oleh glutamat, pada saat mengingat kembali kejadian traumatik, membuat jalur ini rentan untuk diputus (Nader, Schafe, dan LeDoux, 2000).

Emosi yang tersimpan dalam diri manusia tidak bisa lepas atau padam dengan sendirinya (Gunawan, 2014). Emosi ini akan menaikkan level keaktifan amigdala, bagian otak yang melakukan regulasi afek, memengaruhi mekanisme fight or flight. Saat amigdala over-aroused maka kondisi emosi individu menjadi tidak baik. Ia mudah cemas, mudah marah, takut, sedih berlebih, tidak stabil, dan bisa mengalami berbagai gangguan emosi lainnya (Feinstein, 2010).

Singkat cerita, amigdala yang over-aroused atau terlalu aktif mengakibatkan regulasi emosi tidak berjalan seperti seharusnya dan mengakibatkan klien mengalami masalah.  

(Energi) emosi ini juga dapat menyebabkan level serotonin di amigdala turun di bawah batas normal dan berdampak buruk pada kondisi mental individu. Energi ini memengaruhi kinerja organ tubuh dan dapat mengakibatkan beragam penyakit fisik.

Dari salah satu literatur yang saya pelajari, saya mendapat informasi berharga tentang penelitian selama 10 tahun yang dilakukan oleh tim peneliti Universitas Harvard, dipimpin Kathleen Hui, MD. Menurut Hui:

Functional MRI and PET (Positron Emission Tomography) studies on accupuncture at commonly used accupuncture points have demonstrated significant modulatory effects on the limbic system.

Dari hasil penelitian ini (The Harvard neuroimaging studies) diperoleh informasi penting yaitu stimulasi pada titik akupuntur spesifik mengirim sinyal yang mampu secara instan mengurangi level keaktifan amigdala. Dengan bahasa yang lebih sederhana, ada cara untuk “mendinginkan” amigdala yang “panas”. Saat amigdala kembali “dingin” maka regulasi emosi individu menjadi baik atau kembali normal.

Untuk “mendinginkan” amigdala, tentu langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengeluarkan (energi) emosi yang terperangkap di tubuh atau sistem psikis. Dan untuk bisa melakukan hal ini, emosi yang tersimpan di pikiran bawah sadar atau tubuh harus diaktifkan. Cara paling mudah untuk mengaktifkan emosi adalah dengan menggunakan jalur memori. Dari uraian di atas, emosi lekat pada memori kejadian. Saat memori aktif atau diaktifkan maka emosi juga turut aktif. Saat emosi aktif, ia membanjiri sungai energi, meridian. Dan pada saat inilah (energi) emosi dapat diproses dengan mudah.

Pemahaman dari Perspektif Sistem Meridian

Saat individu secara sengaja mengingat suatu pengalaman traumatik, maka ia sejatinya memilih dan mengaktifkan memori spesifik yang tersimpan di pikiran bawah sadar.

Pada memori ini lekat emosi dengan intensitas tertentu. Dan saat individu mengingat suatu kejadian, yang ia lakukan sebenarnya adalah menaikkan memori ini ke pikiran sadar. Di pikiran sadar, memori dan emosi menjalani proses berbeda. Memori, yang adalah narasi kejadian, masuk ke memori kerja pikiran sadar dan diketahui oleh individu. Sementara emosi, yang adalah energi, setelah “naik” ke permukaan, masuk ke sungai energi yang letaknya di bawah permukaan kulit. Sungai energi ini dikenal sebagai jalur meridian. Manusia memiliki dua puluh meridian, dua belas meridian utama dan delapan meridian “istimewa”.

Setiap meridian memiliki arah aliran energi alamiah yang spesifik. Ada meridian yang energinya mengalir dari bawah naik ke atas. Dan sebaliknya ada meridian yang arah aliran energi alamiahnya adalah dari atas ke bawah.

Kita dapat memengaruhi, menguatkan atau merilekskan meridian dengan melakukan penelusuran menggunakan telapak tangan, yang tentunya juga berisi energi, mengikuti atau berlawanan dengan arah aliran energi alamiah meridian.

Saat kita tahu ada emosi tersimpan di tubuh, maka emosi ini dapat dilepas dengan cara mengumpulkan emosi di kedua kepalan tangan, dilanjutkan dengan mengebas atau menghentakkannya ke lantai (Eden dan Feinstein, 2008). Sampai pada tahap tertentu, cara ini efektif. Namun, dari pengalaman kami, tidak semudah dan sesederhana ini prosesnya. Saya jumpa banyak klien yang sebelumnya telah mencoba mengatasi emosinya dengan cara ini, namun gagal.

Salah satunya adalah klien saya, usia 23 tahun, mengalami stres berat karena hampir di-DO oleh universitas tempatnya belajar. Menurut klien, ia mengalami gejala Parkinson karena kedua tangannya bergetar. Klien berusaha membuat tangannya stabil, tidak gemetar, dengan mengebas atau menghentak lengannya. Setelahnya, tangannya berhenti gemetar sejenak, kemudian kambuh lagi.

Saya sampaikan pada klien bahwa ia tidak bisa mengeluarkan entrofi dengan cara ini. Ada emosi intens dalam dirinya dan ini mengganggu fisiknya. Yang ia alami adalah hysterical tremor bukan Parkinson.

Saat seseorang mengingat kejadian traumatik, memori ini naik ke permukaan, diketahui oleh pikiran sadar, dan emosi, dalam bentuk energi, masuk ke jalur meridian. Emosi ini biasanya dirasakan di bagian tubuh tertentu, seperti di daerah dada, ulu hati, perut, punggung, leher, kepala, punggung, tangan, atau kaki. Biasanya hanya di satu bagian tubuh. Dari temuan di ruang praktik, saat kami memroses emosi klien, diketahui bahwa ada dua tempat emosi menetap di tubuh. Saya menyebutnya sebagai lokasi primer dan sekunder.

Lokasi primer adalah tempat, di tubuh, di mana emosi paling kuat dirasakan oleh individu. Lokasi sekunder adalah tempat emosi menetap tapi, sebelumnya, tidak dirasakan atau diketahui klien. Saat emosi ini diproses, barulah klien merasakan ada aliran energi (emosi). Aliran ini bisa dirasakan bermula dari kaki, tangan, lengan, atau bagian tubuh lain.

Emosi di lokasi primer mudah diproses. Sementara emosi di lokasi sekunder lebih sulit karena sering tidak diketahui keberadaannya. Untuk dapat mengakses emosi di lokasi sekunder dan melepaskannya, saya menggunakan teknik hipnoterapi klinis.

Upaya melepas atau mengeluarkan (energi) emosi yang terperangkap dalam tubuh dengan cara mengebas atau menghentak tangan dan kaki tidak efektif karena individu tidak bisa memastikan apakah emosi ini berasal dari kejadian paling awal (ISE) atau kejadian-kejadian lanjutan (SSE). Terapi hanya akan efektif dan tuntas bila (energi) emosi yang dilepas adalah keseluruhan (energi) emosi yang berasal dari ISE maupun SSE, baik yang tersimpan di lokasi primer maupun sekunder.

Your Body is Your Subconscious

Emosi memengaruhi tubuh melalui senyawa kimiawi otak, neuropeptida. Hal ini ditemukan oleh Candace B. Pert, Ph.D., melalui penelitiannya, dan ditulis ke dalam buku Molecules Of Emotion: The Science Behind Mind-Body Medicine, terbit tahun 1999. Dalam satu audio book-nya, dilansir tahun 2005, Pert menyatakan bahwa Your Body is Your Subconscious. Dasar pernyataan ini adalah hasil penelitian Beliau yaitu saat kita merasakan emosi tertentu, otak menghasilkan senyawa kimiawi neuropeptida, berisi informasi spesifik. Neuropeptida ini selanjutnya menyebar ke seluruh sel tubuh dengan membawa pesan ini. Saat tiba di sel tubuh, neuropeptida ini "docking" di reseptor sel, seperti flashdisk dimasukkan ke port USB laptop, dan mengunduh (download) informasi ke inti sel.

Dari penelitan Pert diketahui bahwa apapun yang kita pikirkan, alami, dan terutama rasakan, pasti berpengaruh pada tubuh fisik. Rasa atau emosi sejatinya adalah ranah pikiran bawah sadar. Dengan demikian, tubuh adalah cerminan dari kondisi pikiran bawah sadar.

Akhirnya, Tercipta THT

Berdasar uraian di atas, jelas sekali bahwa untuk mengatasi suatu masalah perilaku, dan terutama yang disebabkan oleh kejadian dengan muatan emosi intens, cukup kompleks. Dan ini bisa menggunakan banyak pendekatan. Setiap pendekatan tentunya memiliki landasan teori, teknik dan strategi turunannya masing-masing dengan segala keunggulan dan keterbatasannya.

Teknologi di balik The Heart Technique® mencakup semua hal yang telah dijelaskan di atas, ditambah beberapa hal lain yang tidak dijelaskan di sini karena bersifat sangat teknis.

Protokol THT terdiri atas lima tahap. Dan setiap tahap menggunakan pendekatan berbeda. Cara kerja THT, berdasar pemahaman yang diuraikan di atas, dalam mengatasi masalah klien, secara detil saya jelaskan di kelas pelatihan khusus untuk para Certified Trainer The Heart Technique®.

Anda bisa membaca testimoni para pengguna THT di TESTIMONI. Dan bagi Anda yang ingin belajar The Heart Technique®, ada dua pilihan cara. Pertama, Anda hadir dan belajar langsung di worskhop The Heart Technique®. Kedua, Anda belajar melalui modul The Heart Technique®, terdiri atas buku dan DVD. Modul THT bisa didapatkan di MODUL

Demikianlah adanya….

Demikianlah kenyataannya….

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List