The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Past Life Regression Kembali Makan Korban

29 Juli 2018

(Kisah ini ditulis atas ijin klien, untuk edukasi publik agar lebih hati-hati memilih hipnoterapis dan tidak jatuh korban berikutnya. Mohon dibaca sampai selesai. Dan silakan share.)

Seorang klien, sebut saja sebagai Indah, mengalami depresi akibat banyak masalah dan tekanan hidup, merasa dirinya bipolar, mengalami perubahan emosi dengan cepat, bisa merasa sedih dan tiba-tiba berubah gembira. Indah sudah beberapa hari sebelumnya sempat ada pikiran untuk bunuh diri. Indah tahu ia butuh pertolongan dan memilih dibantu hipnoterapis karena menghindari obat-obatan untuk mengatasi masalahnya.

Tanggal 5 Juli 2018 Indah menjalani terapi dengan seorang hipnoterapis di Jakarta, yang biasa melakukan past life regression (PLR) atau regresi kehidupan lampau. Hipnoterapis melakukan wawancara pada Indah. Dari hasil wawancara ini diketahui masalah Indah, menurut terapis, 80% karena orangtua. Untuk itu, terapis ingin tahu bagaimana relasi Indah dengan orangtuanya di kehidupan lampau dan memutuskan melakukan regresi kehidupan lampau pada Indah.

Indah sangat ingin mengatasi masalahnya dan patuh sepenuhnya pada permintaan, tuntunan, dan sugesti yang diberikan oleh terapisnya. Terapis memulai proses terapi dengan meminta Indah menarik dan mengembuskan napas, sambil memberi sugesti setiap kali Indah menarik napas, ia menjadi semakin rileks, masuk semakin dalam. Selanjutnya terapis minta Indah tutup mata dan memberi sugesti, “Mata Anda lengket, seperti ada lem perekat sangat kuat, tidak bisa dibuka. Mata Anda sangat lengket, tidak bisa dibuka.” Terapis juga minta Indah membayangkan dirinya menuruni tangga. Semakin turun, semakin dalam, semakin rileks. Ini adalah teknik deepening, bertujuan membawa klien masuk ke kondisi hipnosis yang (sangat) dalam (deep trance).

Setelahnya, terapis menuntun Indah mundur ke kehidupan lampau. Terapis bertanya pada klien apa yang ia lihat, di tahun berapa, pakai baju apa, siapa nama klien saat itu, dan apa kejadian yang ia lihat atau dirasa ia ingat. Klien menceritakan apa yang ia lihat atau rasa lihat, dan mengatakan mundur ke tahun 1773. Intinya, klien mendapat gambaran mengapa relasi ia dan keluarganya kurang baik. Di kehidupan lampau ini, klien dan orangtuanya (di kehidupan sekarang) adalah musuh.  Mereka berperang memperebutkan wilayah. Klien menang dan mengusir musuhnya. Jadi, kalau berdasar cerita ini, Indah adalah anak dari orangtua, yang adalah musuhnya di kehidupan lampau.

Kemudian terapis minta klien mundur lagi ke kehidupan lampau yang lain. Tiba-tiba klien melihat air, sungai besar. Klien sedang berenang dan merasa dirinya adalah ikan. Di kondisi ini, saat klien berada di kondisi sangat dalam, sedang mengalami pengalaman berenang sebagai ikan, tiba-tiba terapis membangunkan klien dengan perintah, "Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.”

Terapis membangunkan Indah dengan cepat karena ternyata klien berikutnya sudah datang. Indah dibangunkan tanpa ada hitungan naik, misal dari satu ke sepuluh, atau membayangkan naik tangga, atau sugesti bahwa perekat di matanya sudah dilepas. Singkatnya, terapis hanya memberi satu kalimat perintah untuk membawa klien keluar dari kondisi rileksasi yang sangat dalam, “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.”

Indah merasa tubuhnya sangat berat, seperti orang koma, tidak bisa buka mata. Ia bisa mendengar suara tapi tubuhnya kaku, susah digerakkan. Indah tidak bisa berpikir jernih. Tapi Indah memaksakan diri untuk membuka mata mengikuti perintah terapis.

Saat sudah buka mata, terapis berkata pada Indah, “Kamu sekarang sudah bukan di tahun 1700an.” Selanjutnya terapis minta Indah untuk hanya mencatat hal-hal positif yang terjadi di kehidupan lampau itu. Hal-hal negatif dibuang atau dilupakan. Caranya, setiap kali Indah mengembuskan napas, Indah diminta untuk membuang hal-hal negatif ini ke tanah atau bumi.

Indah bertanya pada terapisnya, "Kok saya masih setengah sadar ya, seperti lagi tidur berjalan dan mata saya dibuka susah." Terapis berkata bahwa kondisi Indah ini tidak apa-apa. Nanti Indah akan kembali ke kondisi normal.

Beruntung Indah pulang ke rumah, usai terapi, dijemput teman. Bisa dibayangkan betapa bahaya kondisi Indah bila ia pulang ke rumah menyetir sendiri mobilnya. Sepanjang perjalanan pulang dan juga sepanjang hari itu Indah merasa pikirannya kosong (blank), tidak bisa berpikir. Indah merasa dirinya seperti orang tidur tapi berjalan. Kesadaran Indah tidak pulih sepenuhnya. Ia merasa seperti sedang tidur. Badan dan batin Indah seperti terpisah, jalan sendiri-sendiri.

Malamnya, karena tidak tahan dengan kondisi ini, Indah menghubungi terapisnya dan menceritakan kondisi yang ia alami. Terapis hanya menyarankan Indah tarik napas dan kembali ke kesadaran semula, sambil ditambahkan sugesti bahwa sekarang ia adalah Indah. 

Hari demi hari, kondisi Indah tidak kunjung membaik. Indah telah menghubungi terapisnya tapi belum bisa dapat jadwal dan hanya disarankan tarik dan embuskan napas. Indah menjalankan saran terapis tapi tetap tidak ada perubahan. Terapisnya juga menyalahkan Indah karena saat sedang diterapi, Indah, kata terapisnya, tidak menuruti perintahnya, yaitu menarik dan membuang energi negatif.

Selama 11 hari Indah mengalami kondisi yang sangat mengganggu ini. Kesadarannya masih "tersangkut" di tahun 1700an. Menurut Indah, ia benar-benar ibarat penyelam (diver) yang dipaksa naik, sementara pikiran bawah sadarnya masih di dasar palung lautan.

Menurut Indah, ada dua sebab mengapa ia tersangkut, tidak bisa sepenuhnya keluar. Pertama,  saat terapis memberi perintah, “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula”, ia bingung. Kondisi semula yang mana yang terapis maksud. Indah tidak mengerti apakah ia diminta kembali ke tahun 1773 saat sedang perang ataukah diminta kembali ke tahun 2018. Kedua, cara terapis membangunkan dirinya salah. Terapis melakukan dengan cepat, secara tiba-tiba, tanpa mengikuti prosedur yang benar.

Setelah 11 hari menderita, kesadarannya tidak bisa pulih seperti semula, Indah akhirnya menghubungi hipnoterapis klinis, Ibu Widya Saraswati di Jakarta. Saat jumpa Ibu Widya, begitu duduk di kursi terapi, Indah langsung masuk deep trance, tanpa terapis melakukan apapun. Mulai jam 14.30 hingga 17.30, Indah menjalani sesi wawancara dan konseling dengan Ibu Widya. Selanjutnya, selama satu jam, mulai pukul 17.30 sampai 18.30, Ibu Widya menuntun Indah untuk keluar dari kondisi trance.

Ternyata tidak mudah membawa Indah keluar dari kondisi hipnosis sangat dalam, tempat kesadarannya tersangkut. Dibutuhkan upaya dan teknik khusus untuk membawa Indah keluar. Dua upaya pertama, tidak sepenuhnya berhasil membawa Indah keluar. Indah bisa naik namun tetap masih merasa tersangkut. Barulah pada upaya ketiga, Indah berhasil keluar sepenuhnya. Rupanya, ada Bagian Diri Indah yang merasa disalahkan oleh terapis yang melakukan regresi kehidupan lampau, karena Indah tidak bisa naik ke kondisi sadar normal.

Walau Indah berhasil keluar sepenuhnya, matanya masih kabur, kepala bagian belakang dan lehernya masih terasa sakit. Ibu Widya melanjutkan proses terapi, menangani rasa sakit ini. Setelahnya, barulah Indah bisa benar-benar pulih, segar sepenuhnya, sama seperti sebelum ia menjalani hipnoterapi dengan terapis pertama.

 

(Komentar dan penjelasan Adi W. Gunawan)

Hipnoterapi ibarat pisau sangat tajam digunakan untuk melakukan pembedahan psikis. Pisau ini bisa sangat bermanfaat dan juga sangat berbahaya bergantung pada kecakapan orang yang menggunakannya.

Kisah terapi yang diceritakan di atas adalah praktik hipnoterapi yang justru sangat merugikan klien. Alih-alih klien sembuh dari masalahnya, yang terjadi adalah justru muncul masalah baru.

Hipnoterapis yang diceritakan di atas, melakukan banyak kesalahan dalam konteks teknik, proses terapi, dan etik, antara lain:

1.   Terapis memutuskan melakukan regresi kehidupan lampau, bukan atas permintaan klien, tapi atas simpulannya sendiri bahwa masalah klien pasti ada hubungannya dengan kehidupan lampaunya. Ini adalah malapraktik berat karena terapis melakukan “Leading” bukan “Guiding”. Terapis melakukan therapist-centered bukan client-centered. Dari mana terapis tahu bila akar masalah benar ada di kehidupan lampau? Yang bisa mengungkap akar masalah klien adalah pikiran bawah sadar klien, bukan pikiran sadar terapis.

2.   Terapis secara tiba-tiba menghentikan proses terapi pada saat klien sedang di kondisi hipnosis dalam, tanpa menyelesaikan (akar) masalah. Ini ibarat dokter bedah sudah membuka perut pasien, lalu tiba-tiba pasien dibangunkan dan disuruh pulang tanpa menjahit dan menutup terlebih dahulu perut pasien. Ini sungguh berbahaya.

3.   Cara terapis menghentikan proses terapi sangat tidak etis. Terapis menghentikan terapi hanya demi menerima klien berikutnya, tanpa memikirkan kondisi dan keselamatan klien yang sedang duduk di kursi terapi.

4.   Cara terapis membawa klien keluar dari kondisi hipnosis salah. Terapis hanya memberi perintah, “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.”

Ada dua kesalahan terapis. Pertama, terapis hanya memberi perintah klien untuk kembali ke kondisi semula. Ini cara yang salah. Cara yang benar untuk mengeluarkan klien dari kondisi hipnosis (sangat) dalam, tidak bisa dan tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba. Prosedur baku dalam hipnoterapi, terapis melakukan emerging dengan membalik proses deepening secara perlahan. Bila untuk masuk ke kondisi hipnosis dalam, klien dituntun dengan hitungan 1 turun ke 10, atau menuruni tangga, maka untuk mengeluarkan klien, proses ini dibalik. Terapis harus menghitung naik dari 10 ke 1, atau minta klien membayangkan naik tangga. Proses naik ini dilakukan perlahan, tidak boleh buru-buru atau cepat. Semakin dalam klien, semakin perlahan naiknya.

Kedua, saat di awal, klien diberi sugesti tidak bisa buka mata. Lalu tiba-tiba diberi sugesti “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.” Perintah ini tidak dipahami oleh pikiran bawah sadar klien sehingga klien mengalami kondisi "tersangkut" dalam kondisi trance.

5.   Terapis tidak mengerti bahwa sugesti yang ia berikan di awal proses terapi, yaitu klien tidak bisa buka mata, selama sugesti ini belum dianulir atau diganti dengan sugesti lainnya maka sugesti ini tetap bekerja. Meminta klien menarik napas berulang kali dengan harapan klien keluar dengan sendirinya ke kondisi sadar normal, ini tidak selamanya berhasil. Yang seharusnya terapis lakukan, bila mendapat keluhan dari klien, adalah langsung minta klien untuk jumpa terapis guna menyelesaikan apapun yang belum terselesaikan dari proses terapi ini.

6.   Membawa klien keluar dari kondisi hipnosis, saat ia masih mengalami dirinya sebagai ikan yang berenang di sungai, bisa berakibat fatal. Ikan bernapas di dalam air. Saat ikan dibawa keluar dari air, ikan tidak bisa bernapas. Bisa terjadi, dan untungnya ini tidak terjadi, klien tiba-tiba tidak bisa bernapas. Ini sangat berbahaya karena saat ini yang aktif adalah trance-logic pikiran bawah sadar, bukan conscious logic pikiran sadar.

7.   Terapis tidak memikirkan keselamatan klien. Dalam kondisi kesadaran belum pulih sepenuhnya klien seharusnya tidak diijinkan pulang. Untung klien tidak menyetir mobil sendiri. Bisa dibayangkan apa yang bisa terjadi bila klien menyetir mobil sendiri balik ke rumah.

 

Apakah regresi kehidupan lampau (past life regression / PLR) bisa menyelesaikan masalah? Tentu sangat dan pasti bisa. Ini dengan catatan, benar akar masalah berasal dari past life dan terapis tahu cara menyelesaikan akar masalah ini.

Yang sangat sering terjadi, terapis melakukan regresi ke past life, dengan sengaja untuk menemukan akar masalah. Ini secara konteks terapi salah karena terapis melakukan leading bukan guiding. Dan setelah berhasil "menemukan" akar masalah, akar masalah ini tidak diproses. Terapis hanya berkata pada klien, "Sekarang Anda sudah tahu apa yang membuat Anda bermasalah", dan berharap dari sini masalah bisa selesai dengan sendirinya. Mencari dan menemukan akar masalah adalah satu hal. Mengetahui akar masalah, ini hal lain. Memroses tuntas hingga terjadi resolusi trauma adalah hal berbeda lagi.

Apakah benar kejadian yang dialami seseorang, saat diregresi ke kehidupan lampau adalah benar-benar kehidupan lampau? Tidak ada yang tahu. Yang bisa saya sampaikan, pikiran bawah sadar sangat cerdas. Bisa saja, ini benar data dari kehidupan lampau, bagi yang percaya ada kehidupan lampau. Bisa juga ini adalah kriptomnesia, yaitu klien sudah pernah membaca, melihat, mendengar, atau mendapat informasi tertentu sebelumnya, dan klien lupa informasi ini. Saat proses PLR, data ini keluar dan seolah-olah adalah kejadian di kehidupan lampau. Kemungkinan lain, kejadian yang klien alami, di kehidupan lampau, sesungguhnya adalah metafora yang sengaja dimunculkan oleh pikiran bawah sadar untuk menyelesaikan masalah klien.

Saya tidak menentang PLR. Saya mengajarkan teknik PLR dan mendemokan cara melakukannya di kelas SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy). Dalam menangani klien, saya menggunakan teknik hypnotic age regression. Dalam beberapa kasus, terjadi regresi spontan ke past life. Bagi saya, ini hal biasa saja, tidak ada yang istimewa atau luar biasa. Saya proses kejadian di “past life” ini sampai tuntas, terjadi resolusi trauma, dan klien sembuh.

Saya tidak setuju bila terapis secara sengaja melakukan PLR. Saya tidak setuju karena dua hal. Pertama, bila PLR dilakukan secara sengaja, ini adalah leading. Kedua, berkaitan dengan iman. Ada agama yang mengajarkan tentang past life dan kelahiran kembali. Ada yang secara tegas mengatakan tidak ada past life.

Bila klien, dengan iman yang menyatakan tidak ada past life, menjalani PLR, apakah ia bisa mundur ke “past life”? Jawabannya, bisa ya, bisa tidak. Semua bergantung pada klien.

Bila klien yang tidak percaya tentang past life, berhasil diregresi ke “past life”, dan saat ini ia dalam kondisi hipnosis sangat dalam, maka pengalaman ini diterima pikiran bawah sadar sebagai kebenaran, terekam dengan sangat kuat di memori. Bisa dibayangkan apa yang mungkin terjadi dengan klien?

Saran buat para Sahabat yang ingin mengatasi masalah dengan hipnoterapi, pastikan Anda dibantu hipnoterapis cakap, kompeten, dan menjalankan praktiknya dengan integritas. Ada banyak hipnoterapis cakap, andal, dan sangat mumpuni dalam membantu klien. Sebaliknya, ada banyak hipnoterapis yang sebenarnya tidak tahu apa yang ia lakukan ternyata salah dan berbahaya bagi klien.

 

Ini saya dapat pertanyaan dari Indah: Pak Adi, bila misalnya kondisi seperti seperti saya ini, apakah klien bisa kembali pulih dan sadar dari kondisi trance, kalau sudah benar-benar dalam begitu seperti yang saya alami di coma state, keluar ke kondisi sadar normal dengan sendirinya, tanpa bantuan terapis? Maksudnya, lama-lama bisa pulih sendiri, walau butuh waktu lama.

Berikut ini jawaban saya:

Kondisi yang Indah alami ini sebenarnya adalah kondisi yang sangat alamiah, normal, wajar, biasa. Kedalaman trance berlapis-lapis. Ada banyak skala kedalaman trance. Di AWGI, kami menggunakan skala Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, menggunakan angka dari 1 sampai 40. Angka 1 artinya sadar normal dan 40 adalah tidur. Antara 1 dan 40 ada lapisan-lapisan kesadaran dan kedalaman trance dengan fenomena yang sangat spesifik.

Kalau membaca kisah Indah, yang merasa tubuh berat, tidak bisa bergerak atau sulit digerakkan, mata sulit dibuka, maka Indah berada di kedalaman 35 (Catatonia). Ini lebih dalam dari level 33, yang biasa disebut kondisi Esdaile atau Coma State atau Plenary State. Di level 33 ini terjadi anestesi spontan di seluruh tubuh, tanpa perlu sugesti. Artinya, siapa saja bila masuk di level 33, pasti mengalami fenomena ini. Ini kalau di dunia medis, bisa digunakan untuk operasi tanpa obat bius. Bisa untuk melahirkan, operasi perut, amputasi, dll.

Di pelatihan SECH AWGI saya biasa menuntun peserta masuk bahkan ke kedalaman hingga 37, 38, dan 39. Di kedalaman ini subjek tidak lagi bisa merasakan tubuhnya. Pikiran sadarnya berhenti total, tidak bisa berpikir apapun, walau subjek berusaha untuk berpikir. Yang ada hanyalah pikiran tenang, hening, diam. Ini adalah kondisi hipnosis atau trance atau meditatif yang sangat dalam.

Bedanya, kalau di kelas pelatihan SECH, saya menjelaskan detil dulu kedalaman trance ini, apa yang akan terjadi, apa yang dirasakan subjek, dan setelahnya saya menuntun subjek keluar dengan prosedur yang benar. Tidak asal disuruh buka mata dan kembali ke kondisi semula.

Bila subjek dituntun masuk ke dalama ekstrim ini, TANPA dijelaskan terlebih dahulu apa yang akan terjadi, subjek bisa panik dan ketakutan, seolah tidak bisa keluar. Ketakutan atau panik ini justru bisa memperdalam kondisi trance. Semakin seseorang takut tidak bisa keluar trance, semakin besar kemungkinan ia TIDAK BISA keluar.

Ini terjadi karena hukum pikiran bawah sadar bekerja dengan cara berbeda dibandingkan dengan pikiran sadar. Di pikiran bawah sadar, berlaku trance-logic, bukan conscious-logic. Ini juga yang menyebabkan mengapa Indah tidak mengerti saat terapis memberi perintah, "Tarik napas dan kembali ke kondisi semula."

Jadi, sebenarnya, secara alamiah, subjek yang sudah dibimbing masuk ke kondisi deep trance dia PASTI akan keluar dengan sendirinya. Ini adalah kondisi alamiah kita setiap hari. Saat mau tidur, kita turun dari kondisi sadar normal ke kondisi tidur (tidak sadar). Saat bangun, kita naik dari kondisi tidur, perlahan-lahan, ke kondisi sadar normal.

Bedanya, kondisi Indah, ini tidak alamiah. Indah ada mendapat sugesti dari terapis, mata Indah lengket, tidak bisa dibuka. Juga ada sugesti, setiap tarik napas, Indah masuk semakin dalam dan semakin rileks. Sugesti-sugesti ini TIDAK PERNAH dicabut oleh terapis. Dengan demikian, sugesti ini justru menjadi semacam hypnotic seal atau segel hipnosis yang mencegah Indah keluar dari kondisi trance.

Ada hypnotic seal yang mencegah subjek masuk trance. Ada yang untuk mencegah subjek keluar trance. Ini bergantung kepiawaian si terapis. Dari kasus Indah, secara tidak sengaja atau tidak disadari, terapis memasang hypnotic seal yang mengakibatkan Indah sulit atau tidak bisa keluar dari trance.

Bila subjek dituntun dengan cara yang benar atau tepat, saat ia naik, keluar dari kondisi trance, sugesti mata lengket dll, ini secara otomatis dianulir oleh pikiran bawah sadar klien sehingga klien kembali ke kesadaran normal.

Demikianlah adanya....

Demikianlah kenyataannya.....

Baca Selengkapnya

Empat Faktor Penting dalam Pendidikan Terapis

10 Juni 2018

Dalam artikel Sepuluh Karakteristik Terapis Efektif  telah dijelaskan kualitas inti yang perlu dikembangkan untuk dapat menjadi terapis efektif. Selain ini, masih ada faktor penting lain yang juga berpengaruh signifikan terhadahap kualitas dan keefektifan seorang terapis, yaitu pendidikan yang ia jalani.

Dalam proses pendidikan, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keluaran dan kualitas terapis yang dihasilkan. Pertama, kualitas “bahan baku” calon hipnoterapis. Semakin baik kualitasnya maka semakin besar kans untuk menghasilkan hipnoterapis cakap, andal, efektif. Kualitas yang dimaksud tidak semata merujuk pada tingkat kecerdasan intelektual (IQ), tapi lebih pada kecerdasan emosi (EQ), kematangan kepribadian, nilai-nilai hidup (value), kepercayaan (belief), citra diri, dan alasan yang mendasari seseorang memutuskan menjadi terapis.

Faktor kedua adalah kualitas pengajar. Ini adalah aspek paling penting dalam proses mencipta terapis kompeten. Penelitian menunjukkan bahwa dalam setiap kasus yang diteliti, kualitas, kecakapan, dan kemampuan pengajar sangat menentukan dan memengaruhi kualitas terapis yang dihasilkan. Dengan kata lain, pengajar yang benar-benar cakap (high functioning) dapat membentuk, mengembangkan murid dengan kemampuan awal di bawah rata-rata menjadi terapis yang juga cakap dan andal menyerupai dirinya. Demikian sebaliknya, pengajar yang tidak cakap (low functioning) akan menghasilkan terapis tidak efektif, sama seperti dirinya, dan dapat merugikan klien (Rothstein, 1988).

Hipnoterapi dipelajari sebagai cabang ilmu psikologi dan dipraktikkan sebagai seni yang hidup, menelusuri pikiran bawah sadar klien, mencari dan menemukan akar masalah, melakukan rekonstruksi kejadian paling awal untuk mencapai resolusi demi kebaikan hidup klien. Untuk itu, seorang pengajar harus benar-benar menguasai landasan teori materi yang ia ajarkan, menguasai dengan sangat baik beragam teknik intervensi klinis yang telah terbukti dan teruji secara klinis efektif membantu klien mengatasi beragam masalah, dan ia adalah praktisi aktif, berpengalaman, dengan rekam jejak yang baik.

Banyak sekali pengajar hanya menguasai teori, bukan praktisi. Tentu saat mengajar, mereka hanya mengajarkan pengetahuan terapi, bukan cara melakukan terapi efektif. Ini sama seperti seorang “ahli” renang, yang tidak bisa berenang, mengajarkan cara berenang di kelas, tanpa praktik di kolam renang. Saat muridnya masuk ke kolam renang, mereka sudah pasti tidak bisa berenang. Dan saat murid minta petunjuk kepada pengajarnya, ia tidak bisa memberikan bimbingan praktik, tidak berani masuk ke kolam renang, dan hanya bisa memberi petunjuk dari samping kolam dengan mengacu pada buku atau teori.

Ketiga, kurikulum dan fokus program pendidikan. Yang dimaksud dengan konten dan fokus di sini adalah materi yang diajarkan, hasil apa yang ingin dicapai, apakah pendidikan bertujuan menghasilkan hipnoterapis kompeten, mampu melakukan terapi dengan benar, efektif, ataukah hanya sekedar menghasilkan hipnoterapis yang tahu tentang hipnosis dan hipnoterapi namun tidak kompeten dalam melakukan terapi. Di sini perlu dicermati jurang lebar yang memisahkan certified hypnotherapist dan qualified hypnotherapist. Seorang certified hypnotherapist belum tentu qualified melakukan hipnoterapi. Sertifikat, berapapun jumlah yang dimiliki terapis, tidak serta merta menjamin ia adalah terapis efektif.

Pada hampir semua pelatihan hipnoterapi, baik di dalam maupun luar negeri yang pernah saya ikuti atau pelajari kurikulumnya, konten dan fokus hanya pada teori, teknik, dan bila sempat, praktik. Jarang ditemukan ada pelatihan yang fokus mengembangkan variabel karakater terapis efektif, terdiri atas sepuluh aspek. Pengembangan karakter ini tentunya butuh waktu, tidak bisa dicapai melalui proses singkat. Selain itu, sangat jarang ada pengajar hipnoterapi melakukan live therapy di depan kelas, untuk menunjukkan bagaimana seharusnya terapi dilakukan dengan benar, tepat, efektif seperti yang ia lakukan di ruang praktik.

Keempat, modalitas pendidikan yang tidak tepat sasaran. Dalam proses pendidikan menjadi hipnoterapis, atau terapis secara umum, peserta harus, selain mendapat landasan teori, mendapat kesempatan melakukan banyak praktik di bawah supervisi pengajar cakap dan berpengalaman (high functioning). Program pelatihan yang melibatkan banyak pengalaman praktik meningkatkan kemampuan terapi peserta didik secara signifikan.

Saat terapis telah menjalani proses pendidikan dan mengembangkan sepuluh kualitas inti dengan baik, saat praktik membantu klien mengatasi masalah, terapis perlu menyadari bahwa ada empat faktor penting yang juga sangat memengaruhi dan menentukan keberhasilan terapi: klien (40%), relasi (30%), plasebo atau pengharapan (15%), dan teknik (15%).

Faktor klien meliputi beberapa hal, antara lain keinginan (willingness) dan kesiapan (readiness) untuk berubah, kepercayaan atau belief-nya, dukungan orang dekat, pasangan atau keluarga, dan juga lingkungan.

Sementara yang dimaksud dengan faktor relasi adalah relasi terapeutik, bukan relasi biasa, bukan sekedar membangun hubungan persahabatan antara terapis dan klien, atau umumnya disebut rapport. Relasi terapeutik adalah hubungan khusus antara klien dan terapis, berlandaskan rasa saling percaya dan menghargai, komitmen masing-masing pihak untuk melakukan upaya maksimal demi mencapai tujuan terapeutik. Komunikasi antara terapis dan klien diarahkan semata untuk mencapai tujuan terapeutik.

Faktor plasebo atau pengharapan juga memainkan peran penting dalam proses terapi. Pengharapan memainkan peran penting karena salah satu hukum pikiran menyatakan apa yang pikiran harapkan terjadi, cenderung menjadi kenyataan. Jadi, bila klien (sangat) berharap untuk bisa sembuh, tanpa memerhatikan faktor lainnya, kemungkinan ia sembuh sebesar 15%. Ini satu angka yang cukup besar.

Dan yang terakhir adalah faktor teknik yang dikuasai oleh terapis. Ada banyak terapis, karena tidak mengerti atau mengetahui pentingnya sepuluh kualitas inti dan empat faktor yang dijelaskan di atas, lebih fokus memelajari berbagai teknik dengan harapan dapat menjadikan dirinya terapis efektif. Realitanya tidak seperti ini. Justru banyak terapis gagal mencapai tujuan terapi karena lebih sibuk menjalankan peran sebagai mekanik, bukan penyembuh.

Bila terapi yang mereka lakukan belum berhasil memberi hasil seperti yang diharapkan, alih-alih menelisik ke dalam diri apa yang masih kurang, mereka justru menyalahkan teknik karena dianggap tidak efektif. Untuk itu, mereka belajar lagi teknik yang diyakini lebih efektif, dan setelah dipraktikkan, gagal lagi. Demikian seterusnya hingga akhirnya mereka “sadar” bahwa terapi bukanlah bidang yang “sesuai” untuk mereka, dan memutuskan berhenti menjadi terapis.

Baca Selengkapnya

Sepuluh Karakteristik Terapis Efektif

21 Mei 2018

Menjadi hipnoterapis klinis adalah dedikasi dan komitmen seumur hidup. Keputusan menjadi hipnoterapis klinis dibuat melalui pertimbangan matang, mendalam, dengan alasan tepat. Calon hipnoterapis juga perlu memutuskan akan menjadi hipnoterapis tipe apa dalam konteks keefektifan terapeutik: efektif rendah (low functioning), efektif menengah (average functioning), dan efektif tinggi (high functioning).

Tentu ada banyak variabel memengaruhi dan menentukan hasil terapeutik positif yang dicapai hipnoterapis. Variabel ini antara lain klien, terapis, populasi, lingkungan, institusi, dan lainnya. Dari sekian banyak variabel yang memengaruhi keefektifan terapeutik, ada satu variabel penting, berdasar temuan penelitian, berpengaruh signifikan, berkorelasi sangat kuat dan konsisten, yaitu variabel karakteristik atau kualitas inti pada diri terapis (Rothstein, 1988).

Kualitas inti dari terapis efektif adalah karakteristik unik dari masing-masing individu, dan tidak bisa di-teknik-kan. Karakteristik ini bersumber pada penghargaan pada hidup dan kehidupan sesama, dorongan tulus untuk melayani, rasa percaya diri dan kerendahan hati. Program pelatihan yang hanya fokus pada hal-hal teknis, seperti yang dinyatakan oleh Carkhuff & Berenson (1967) dan Egan (1977), akan semakin menjauhkan para calon terapis dari kesempatan untuk mengembangkan karakteristik ini.

Sepuluh kualitas inti yang harus ada dan dikembangkan dalam setiap individu untuk menjadi terapis efektif adalah 1) empati (empathy), 2) rasa hormat (respect), 3) apa adanya (genuineness), 4) kehangatan (warmth), 5) konkrit (concreteness), 6) konfrontatif (confrontiveness), 7) keterbukaan diri (self-disclosure), 8) kesegeraan (immediacy), 9) daya pengaruh (potency),  and 10) aktualisasi diri (self-actualization).

Tiga kualitas inti pertama, empati, rasa hormat, dan apa adanya, ditemukan dan ditulis dalam paper klasik Carl Roger berjudul “The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality Change” (1957).

Bergin (1966) melakukan kaji ulang banyak literatur, menemukan hal serupa, dan setuju dengan pendapat dan temuan Roger (1957).  Bergin (1966) menyatakan bahwa kemajuan terapeutik bervariasi sejalan dengan karakteristik terapis, seperti kehangatan, empati, kemampuan menyesuaikan diri, dan pengalaman. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Garfield (1974) dan Bath dan Calhoun (1977).

Pentingnya tujuh karakteristik lainnya, dalam diri terapis efektif, selain tiga pertama yang dinyatakan oleh Rogers (1957), dalam memengaruhi dan menentukan hasil terapi dinyatakan oleh Truax, Uhlig, dan Fargo (1968), Collingwood dan Renz (1969) Truax, Altman, dan Wittmer (1973), dan Fischer dan Knapp (1977).

Terkait pentingnya sepuluh kualitas inti yang perlu ada dalam terapis efektif, Traux (1970) dengan sangat gamblang dan tegas menyatakan:

The most clear-cut and striking body of evidence available concerning basic ingredients in effective counseling deals with central interpersonal skills. The effective counselor is first and foremost an expert in interpersonal relation.. spesializes techniques and expert knowledge are (clearly) secondary.

Empati tidak hanya melibatkan pemahaman terapis akan perasaan klien, juga mencakup kemampuan untuk secara akurat mengerti apa yang klien alami dan ungkapkan, dan juga mampu menyampaikan hal ini pada klien. Klien merasa aman, dipahami, diterima, tidak dihakimi, dan mengerti bahwa adalah hal wajar atau lumrah bila ia merasa apa yang ia rasakan. Saat klien merasa dimengerti, ia akan berani membuka diri dan mengungkap lebih banyak hal kepada terapis. Empati adalah kunci pembuka pintu relasi terapeutik antara terapis dan klien.

Dalam rasa hormat terkandung tiga komponen penting. Pertama, penghargaan akan kehormatan, harkat dan martabat, dan nilai sesama. Terapis bersikap netral, tidak terpengaruh oleh tampilan fisik atau cara berpakaian klien, dan juga tidak menghakimi klien atas tindakan yang telah ia lakukan di masa lalu.

Komponen kedua dalam rasa hormat adalah terapis menjunjung tinggi dan menghargai kehendak bebas (free will) klien untuk merasakan atau mengalami emosi tertentu, untuk terus memilih menderita, membuat kesalahan, atau bahkan pilihan klien untuk tidak mau dibantu pada aspek tertentu, padahal menurut pandangan terapis, sangat mendesak dan penting untuk diselesaikan. Terapis tidak melindungi atau mengambil alih masalah klien, atau mencoba memengaruhi atau mendominasi klien secara berlebih. Terapis membantu klien memahami konsekuensi dari setiap pilihan klien.

Dalam rasa hormat juga terkandung penghargaan akan kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya, dengan bantuan terapis. Terapis efektif memiliki pengharapan tinggi terhadap keberhasilan terapi yang dijalani klien. Terapis paham sepenuhnya bahwa sukses tidak terjadi secara kebetulan, namun berasal dari aplikasi prinsip-prinsip ilmiah yang telah teruji efektif. Terapis efektif mengerti bahwa rasa sakit atau penderitaan dapat menjadi sekutu dalam terapi, dan kegagalan adalah guru yang dapat memberi pelajaran penting untuk klien berubah dan bertumbuh. Dengan demikian, terapis tidak memperlakukan klien sebagai individu lemah atau sakit.

Rasa hormat adalah variabel fasilitatif paling mendasar. Bila terapis memiliki rasa hormat mendalam dan tulus pada klien, ia boleh kurang cakap dalam hal teknis namun tetap bisa efektif membantu klien. Sebaliknya, tidak peduli betapa hebat terapis menguasai teknik atau pengetahuan, bila ia tidak atau kurang memiliki rasa hormat, ia akan tidak efektif dan bahkan dapat memberi pengaruh buruk pada klien.

Yang dimaksud dengan “apa adanya” adalah terapis bebas menjadi diri sendiri, tidak berpura-pura atau palsu. Terapis tidak memainkan peran sebagai terapis tapi benar-benar bertindak sebagai terapis. Bersikap apa adanya tidak berarti terapis menceritakan semua yang ia pikir atau rasakan kepada klien. Bersikap apa adanya memiliki batas. Terapis tahu waktu yang tepat untuk menyampaikan hal yang klien perlu ketahui. Terapis tidak asal mengungkap masalah atau kesulitannya sendiri kepada klien karena ini akan berpengaruh negatif terhadap klien.

Karakteristik lain yang dimiliki terapis efektif adalah kehangatan. Terapis menyampaikan perhatian, pemikiran, dan perasaan mereka kepada klien baik secara verbal dan nonverbal dengan cara yang bersifat mendukung, menguatkan, dan meneguhkan klien. Terapis menjaga kontak mata, melihat dan menyampaikan secara verbal hal-hal positif dalam diri klien.

Karakteristik konkrit artinya kekhususan yang relevan. Terapis yang bersifat konkrit tidak akan melebar dan melakukan eksplorasi perasaan dan proses berpikir yang tidak relevan dengan tujuan terapi. Terapis konkrit fokus pada hal-hal pokok, melakukan eksplorasi dengan bertanya apa, di mana, mengapa, bagaimana, dan siapa yang terlibat dalam masalah klien, dan membantu klien memasuki area sensitif masalahnya. Dalam proses ini, bila difasilitasi dengan baik, klien sering mengalami abreaksi kuat dan mendapat pembelajaran atau hikmah yang bersifat terapeutik. 

Terapis efektif berani berbeda pendapat dan konfrontatif dengan klien. Konfrontatif di sini tidak berarti agresif atau bertujuan menyerang klien. Konfrontatif dalam konteks terapi maksudnya terapis berani menyampaikan ketidaksesuaian atau inkonsistensi antara ucapan dan tindakan, perbedaan antara niat dan perilaku klien. Terapis efektif melakukan konfrontasi dengan sikap terbuka, tulus, hangat, demi kebaikan klien, walau klien mungkin akan marah karena inkonsistensi mereka diungkap oleh terapis. Terapis efektif melakukan konfrontasi secara langsung dan konsisten dalam upaya membantu klien mereka dua puluh kali lebih banyak daripada terapis tidak efektif (Wolf, 1970).

Terapis umumnya dilatih untuk menjaga jarak, fokus hanya pada masalah klien, dan tidak boleh menceritakan pengalaman, pandangan, sikap, atau perasaannya pada klien. Terapis efektif, pada saat yang tepat, akan bercerita tentang diri mereka dengan tujuan memberi pelajaran, kekuatan, pemahaman, dan atau peneguhan pada klien. Banyak terapis diajarkan untuk diam dan tidak melibatkan diri dengan klien mereka. Jika terapis menjalani hidup seperti yang mereka lakukan di ruang terapi, diam dan tidak melibatkan diri, mereka akan berakhir sebagai klien (Carkhuff dan Berenson, 1967).

Walau terapis boleh mengungkap diri pada klien, namun ini tidak boleh menjadi ajang curhat terapis ke klien. Fokus perhatian harus tetap pada masalah dan diri klien. Keterbukaan diri yang terapis lakukan akan diterima klien dengan makna, “Kita selesaikan masalah ini bersama. Kita semua punya pengalaman, idealisme, pengharapan, pemikiran, dan perasaan serupa. Kita bisa saling terbuka. Ini aman dan baik adanya.”

Kesegeraan merujuk pada komunikasi di sini, saat ini, antara terapis dan klien, khususnya mengenai aspek interaksi dan relasi. Terapis memerhatikan benar perasaan atau pandangan klien terhadap diri terapis. Terapis berani dan mengundang klien untuk mengungkap perasaannya, apakah klien nyaman, percaya, atau tidak percaya terhadap terapis dan menyelesaikan ketidaknyamanan klien dengan segera.

Daya pengaruh adalah kekuatan kehadiran, vibrasi yang berasal dari terapis yang yakin, semangat, percaya diri, komit, tahu kemampuan yang ia miliki. Klien merasa aman dengan kehadiran terapis yang memiliki energi dan daya pengaruh positif dan kuat, bersedia membuka dan menelaah diri, dengan bantuan terapis, untuk menemukan solusi atas masalah mereka.

Terapis efektif adalah mereka yang bergerak mewujudkan potensi diri dan menjalani hidup secara efektif, positif, dan bernas. Terapis efektif memelajari prinsip mendasar tentang cara menjalani  dan menikmati hidup secara penuh, bahagia, seimbang, produktif, dan dapat menjadi contoh bagi klien-klien mereka. Mereka telah menyelesaikan konflik atau trauma besar dalam hidupnya, positif, dapat diandalkan, memiliki sikap dan mental positif, peka terhadap orang lain, penuh perhatian, dan empatik.

Individu yang telah mencapai aktualisasi diri belajar mengendalikan dan menguasai pikirannya sendiri dengan secara sadar membatasi diri dari hal-hal negatif, kenangan masa lalu yang tidak bermanfaat, dan fokus pada masa depan seperti yang mereka inginkan. Mereka tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan, tahu yang mereka inginkan, menjalani hidup dengan prinsip dan nilai-nilai spiritual mulia, dan mampu tetap bersikap tenang dan berpikir jernih walau sedang menghadapi masalah atau kesulitan.

Maslow (1968) menggambarkan invididu yang telah mencapai aktualiasi diri sebagai orang yang spiritual tapi tidak harus relijius, tidak menghakimi karena setiap individu harus menjadi hakim atas diri sendiri, dan memandang orang lain sebagai individu dalam jalur evolusi masing-masing.

Baca Selengkapnya

Hipnoterapi Mengalahkan Setan?

2 Mei 2018

Walau hipnoterapi telah berkembang pesat di Indonesia sejak tahun 2005 hingga saat ini, ternyata masih juga ada yang salah memahami esensi dan praktik hipnoterapi. Dulu ada yang berpikir hipnoterapi sama dengan gendam, menggunakan kuasa gelap, menguasai pikiran orang lain, subjek yang dihipnosis dalam kondisi tidak sadar, dan bisa diminta melakukan apa saja, bisa tersangkut atau tidak bisa keluar dari kondisi hipnosis, bisa lupa ingatan, dan masih banyak mispersepsi lainnya.

Banyak harapan dan permintaan dari para calon klien, yang karena berlandaskan pemahaman keliru tentang hipnoterapi, tidak dapat kami penuhi. Ada menantu yang minta saya menghipnosis mertuanya agar tidak cerewet dan patuh pada apapun permintaan dan kemauannya. Ada lagi yang minta saya membuktikan apakah suaminya selingkuh atau tidak. Dan yang lebih luar biasa, pernah ada yang minta saya “menghipnotis” rekan bisnisnya agar segera membayar utang, dan ini dilakukan dari jarak jauh.

Baru-baru ini saya dihubungi oleh orangtua calon klien, sebut saja sebagai Ibu Dian yang mengeluhkan kondisi anaknya, Budi, sebelas tahun. Menurut Bu Dian, anaknya ini lemah iman sehingga mudah dipengaruhi setan. Bu Dian minta saya untuk memperkuat iman anaknya agar dapat mengalahkan setan yang sering mengganggunya.

Ini satu permintaan menarik dan belum pernah saya jumpai sepanjang karir saya sebagai hipnoterapis klinis. Dan hal ini tentu membuat saya penasaran dan ingin tahu lebih lanjut. Saya putuskan untuk bertanya lebih jauh apa yang ia maksudkan dengan menguatkan iman untuk mengalahkan setan.

Ibu Dian menjelaskan bahwa Budi punya kebiasaan buruk yaitu ketagihan main game, nonton video porno, dan masturbasi. Saya tanya Bu Dian apa hubungan antara yang Budi lakukan dengan setan, dan mendapat penjelasan yang akhirnya membuat saya paham duduk persoalannya.

Dalam keyakinan Bu Dian, setan adalah makhluk yang senang menggoda manusia untuk melakukan hal-hal buruk dan menjauhkan manusia dari Tuhan. Menurut Bu Dian, apa yang Budi lakukan pasti karena bisikan atau godaan setan. Budi tidak kuat menolak atau melawan pengaruh setan. Selaku orangtua, Bu Dian sudah berulang kali menasihati dan mendoakan Budi agar bertobat dan berhenti melakukan hal-hal buruk. Budi mau mendengar nasihat Ibunya dan berubah paling lama sekitar satu minggu. Setelahnya ia kembali pada kebiasaan lama. Menurut Budi, ia benar-benar mau berhenti melakukan hal-hal buruk itu, namun tak mampu. Semakin ia berusaha berhenti, semakin tidak bisa. Ia merasa ada bisikan atau dorongan untuk melakukan dan mengulangi perbuatannya dan ia tak kuasa menolak. Bu Dian merasa frustrasi dan mau mencoba hipnoterapi untuk membantu anaknya.

Saya jelaskan pada Bu Dian bahwa hipnoterapi adalah cabang ilmu psikologi. Urusan iman dan setan adalah ranah agama, bukan hipnoterapi. Untuk itu saya sarankan ia jumpa dan konsultasi dengan pemuka agamanya. Tapi Bu Dian bersikeras dan yakin saya bisa membantu putranya karena ia mendapat informasi dari sahabatnya bahwa saya memiliki kemampuan khusus. Nah, lho?

Jadi begini ya. Hipnoterapi, seperti yang telah saya jelaskan adalah cabang ilmu psikologi. Saya menghindari membahas iman atau setan karena ini di luar ranah keilmuan dan kompetensi saya. Dan saya akan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Budi dari perspektif ilmu pikiran, khususnya hipnoterapi klinis.

Kita berhubungan atau kontak dengan lingkungan melalui enam indera: penglihatan, penciuman, perasa/pengecap, pendengaran, perabaan, dan pikiran. Melalui kontak ini muncul sensasi yang masuk ke pikiran. Selanjutnya pikiran, dengan daya imajinasinya, bisa netral, menguatkan, atau melemahkan, memberi makna senang (positif), netral, atau tidak senang (negatif). Mengikuti makna, muncul emosi senang (positif), netral, atau tidak senang (negatif). Selanjutnya data berupa narasi kejadian plus emosi yang lekat padanya disimpan di memori pikiran bawah sadar (PBS).

Data ini bisa bertumbuh menjadi program pikiran yang dorman (tidak aktif), lemah, kuat, atau sangat kuat bergantung beberapa hal, antara lain repetisi, level otoritas orang yang memasukkan program ke pikiran bawah sadar, dan atau intensitas emosi. Bila kontak sering terjadi, data menjadi semakin kuat. Demikian pula bila intensitas emosi yang lekat pada data (baca: memori kejadian) semakin intens, baik emosi positif atau negatif, ia menjadi semakin kuat. Sesuai dengan sifat dasar manusia, mengejar kesenangan dan menghindari penderitaan, maka bila tidak secara sadar dikendalikan, segala sesuatu yang memberi rasa senang pasti akan cenderung terus diulangi, sementara yang memberi rasa tidak senang pasti sedapat mungkin dihindari.

Dari perspektif ilmu pikiran, khususnya hipnoterapi klinis, manusia bukan entitas tunggal. Dalam diri kita ada banyak Bagian Diri yang, secara teknis, disebut Ego Personality (EP). EP ini bertindak sebagai manusia kecil di dalam diri setiap individu. Ia memiliki tujuan, fungsi, memori, emosi, logika pikir, karakter, kepribadian, atau peran spesifik bergantung pada alasan dan proses terciptanya. 

Jadi, pertanyaan paling mendasar pada kasus Budi adalah mengapa ia sampai melakukan yang ia lakukan?

Teorinya sebenarnya sangat sederhana. Tidak mungkin ada asap tanpa ada api. Untuk setiap akibat (baca: perilaku) pasti ada sebab. Sebab inilah yang sering tidak orang pahami sehingga muncul mispersepsi.

Kembali pada penjelasan saya di atas, perilaku Budi ketagihan main game, nonton video porno, dan masturbasi pasti ada sebabnya. Dari pengalaman dan temuan kami, anak umumnya main game sebagai upaya mengatasi kesepian, bisa karena kurang mendapat perhatian orangtua atau karena tidak punya teman. Saat anak pertama kali main game, muncul rasa senang. Bila pengalaman ini berulang, ia menjadi kesan yang sangat kuat terekam di PBS anak. EP yang memegang pengalaman ini tentunya akan mendorong anak untuk terus mengulangi. Demikian pula dengan nonton video porno dan masturbasi. Sekali anak terpapar dengan pornografi, ia pasti sangat terpengaruh dan cenderung akan terus mengulanginya.

Salah satu fungsi PBS adalah tempat menyimpan program pikiran yang bersifat stimulus respon. Maksudnya, saat ada stimulus atau pemicu maka memori atau program yang ada di PBS akan aktif dan selanjutnya memengaruhi dan mengendalikan individu. Stimulus bisa berasal dari luar maupun dalam diri, dari  pikiran. Saat anak merasa kesepian, PBS secara otomatis mengarahkan ia untuk main game, agar terhibur dan tidak lagi kesepian. Demikian pula saat anak melihat gawai, memori yang berhubungan dengan gawai terpicu dan menjadi aktif. Emosi yang lekat pada memori ini mendorong anak untuk mengulangi kesenangan main game. Sama halnya dengan pornografi. Tidak perlu stimulus dari luar diri. Hanya dengan mengingat kembali atau membayangkan apa yang telah ia tonton sebelumnya, dan biasanya diperkuat dengan imajinasi, ini saja sudah cukup untuk mengaktifkan memori dan akhirnya mendorong anak mengulangi yang ia lakukan. Perilaku ini mengalami penguatan berulang dan menjadi semakin kuat mencengkeram individu dan sangat sulit dikendalikan, menjadi kemelekatan atau adiksi.

Motivasi bertindak sering muncul dalam diri seseorang dalam bentuk suara hati yang seolah membisiki atau mendorong mereka melakukan sesuatu. Dari perspektif hipnoterapi klinis, ini adalah ulah EP, bukan setan. PBS, dalam hal ini EP, berkomunikasi dengan individu (pikiran sadar) melalui lima cara yaitu suara yang terdengar dari dalam hati, perasaan atau emosi, sensasi fisik, mimpi, dan intuisi.

Mengapa sulit untuk menghentikan kebiasaan ini?

Kebiasaan tersimpan di PBS dan PBS 95-99 kali lebih kuat dari pikiran sadar (PS). Saat orangtua menasihati anaknya, si anak secara sadar tentunya mau berubah. Nasihat orangtua sejatinya adalah sugesti yang masuk ke PBS. Masalahnya, di PBS telah ada EP atau program pikiran yang jauh lebih kuat menguasai anak dibanding dengan sugesti untuk berubah. Itu sebabnya berbagai upaya yang dilakukan untuk membantu anak berubah selalu menemui jalan buntu. Anak bisa menggunakan kekuatan kehendak (will-power) untuk berubah namun ini hanya bisa berlangsung sementara. Untuk mengalami perubahan yang bertahan lama yang perlu diproses adalah PBS bukan PS.

Untuk mengatasi masalah ini, hipnoterapis klinis akan memroses EP yang mendorong klien melakukan perilaku atau tindakan yang hendak dihentikan. Jadi, yang diproses hanya satu EP, bukan klien secara keseluruhan. Hipnoterapis akan bertanya tujuan EP melakukan yang ia lakukan, memberi edukasi, melakukan negosiasi agar EP berhenti melakukan yang ia lakukan, dan melakukan rekonstruksi kejadian paling awal yang membuat EP muncul.

Selanjutnya, menggunakan teknik cathexis alteration, hipnoterapis memperkuat EP yang mendukung klien, misalnya EP yang membuat klien rajin belajar, fokus, semangat, atau sejenisnya. Dengan demikian, usai terapi, masalah klien teratasi dan ia berubah menjadi pribadi yang lebih baik, seperti yang diharapkan.

Dari perspektif orang awam, yang tentunya tidak memahami apa yang kami lakukan, kesannya adalah dengan hipnoterapi kami dapat “mengalahkan” setan yang selama ini menjadi pembisik, penggoda, atau pendorong si anak melakukan suatu tindakan yang merugikan dirinya. Dengan anak menjadi kuat, tidak mudah tergoda, mereka menyimpulkan hipnoterapi dapat sekaligus menguatkan iman.

Setelah mendengar uraian saya, Bu Dian berkata, “Nah, benar kan seperti yang dikatakan teman saya. Pak Adi punya kemampuan khusus. Berarti, dengan hipnoterapi Pak Adi bisa menguatkan iman Budi sehingga kuat menghadapi bisikan atau godaan setan. Kapan saya bisa bawa anak saya jumpa Pak Adi?”

Lho….?

Baca Selengkapnya

Tubuh Anda Adalah Pikiran Bawah Sadar Anda

30 Maret 2018

Beberapa waktu lalu saya dapat pertanyaan dari seorang sahabat tentang trauma, “Pak Adi, ada yang mengatakan bahwa hipnoterapi tidak efektif menyembuhkan trauma, karena pada kasus tertentu, trauma tidak tersimpan di pikiran bawah sadar. Ada trauma yang tersimpan di otot atau saraf. Trauma seperti ini tidak bisa disembuhkan dengan hipnoterapi. Bagaimana pendapat Bapak?”

Pertanyaan sahabat ini membawa saya mundur ke masa awal saya mendalami hipnoterapi klinis. Saat itu, saya belajar memahami cara kerja pikiran, sadar dan bawah sadar, emosi, memori, trauma, psikologi klinis, dan neurosains dengan membaca sebanyak mungkin buku yang membahas topik ini. Dalam perjalanan pembelajaran ini, saya jumpa banyak buku dan nama besar di bidang terkait. Saya juga sempat belajar langsung kepada beberapa nama besar ini di Amerika. Pemikiran, penelitian, dan berbagai temuan yang mereka tulis ke dalam buku mencerahkan dan membantu meletakkan landasan pengetahuan yang saya gunakan dalam membangun teori, protokol, dan teknik-teknik intervensi klinis yang saya praktikkan dan ajarkan ke publik saat ini.

Pikiran, dalam hipnoterapi klinis, sejatinya terbagi menjadi tiga bagian: sadar, bawah sadar, dan nirsadar (Kappas, 1999). Masing-masing pikiran memiliki fungsi dan peran spesifik. Ada banyak tokoh dan penulis membahas tentang hal ini seperti Krebs (1957), Elman (1964), Hilgard (1965, 1968), Erickson dan Rossi (1981), Tebbetts (1985), Sheehan dan McConkey (1996), Banyan dan Kein (2001), McGill (2005), Watkins dan Barabasz (2008), Fromm dan Shor (2009), Wise (2009), Churchill (2012), dan masih banyak lagi.

Menurut para pakar ini, pikiran bawah sadar (PBS) selalu aktif, tidak pernah istirahat atau berhenti bekerja. PBS mencatat segala hal yang terjadi, dialami, dipikirkan, dirasakan, atau apapun yang terjadi pada individu, bahkan sejak ia masih dalam kandungan ibu. Di PBS tersimpan antara lain memori, kepribadian, kebiasaan, intuisi, emosi, dan program-program pikiran berbasis stimulus respon. Saat PBS berhenti bekerja maka pada saat itu pula kehidupan berakhir.

Tugas utama PBS adalah melindungi dan menjaga keselamatan individu, meliputi pikiran sadar dan tubuh fisik, dari hal-hal yang ia, PBS, rasa, pikir, persepsikan, yakin membahayakan atau merugikan individu. PBS juga mengendalikan fungsi-fungsi tubuh otonom seperti detak jantung, pernapasan, pencernaan, sistem kekebalan tubuh. Mengacu pada fungsinya ini, dari perspektif neurosains, PBS terletak di medulla oblongata.

Keterhubungan antara PBS dan tubuh sejatinya sangatlah erat. Sesungguhnya, apapun yang terjadi di PBS, dalam hal ini pemikiran dan emosi yang dirasakan individu, pasti, tanpa kecuali termanifestasi di tubuh fisik (Pert,1997, 2005).

Menurut Pert, saat individu mengalami emosi tertentu, otak akan menghasilkan senyawa kimiawi neuropeptida. Secara sederhana, neuropeptida dapat dianalogikan seperti flashdisk berisi informasi tentang pikiran dan emosi pada satu saat. Selanjutnya neuropeptida ini akan menyebar ke seluruh tubuh, menuju ke sel-sel tubuh. Pada dinding luar sel terdapat reseptor sebagai tempat “docking” neuropeptida. Setelah neuropeptida “docking” di reseptor, informasi yang ia bawa diteruskan ke bagian dalam sel hingga akhirnya mencapai inti sel dan memengaruhi kerja gen (Pert, 1997; Lipton, 2008).   

Peneliti di bidang trauma seperti Scaer (2005, 2007) dan Levine (2005, 2010) menyatakan bahwa saat individu mengalami pengalaman traumatik, ia bisa mengalami salah satu dari tiga kemungkinan berikut: fight (lawan), flight (lari), dan freeze (membeku). Ketiga respon ini melibatkan emosi intens. Bila emosi berhasil dikeluarkan dari sistem diri (psikis/tubuh), tidak akan muncul masalah. Namun bila emosi yang berasal dari pengalaman traumatik tidak berhasil sepenuhnya dikeluarkan, sisa emosi ini akan menetap di tubuh, mengganggu kerja tubuh, dan dapat mengakibatkan malfungsi atau sakit (Levine, 2000; Shapiro, 2006; Van der Kolk, 2014).

Emosi, dari pengalaman klinis dan temuan di ruang praktik kami, disadari atau tidak oleh individu, menetap di bagian tubuh tertentu. Hal ini tampak sangat nyata saat kami memroses trauma klien. Saat klien mengalami kembali kejadian dan emosi (revivifikasi), ia merasakan sensasi tertentu, bisa di dada, leher, kepala, perut, punggung, pundak, tangan, kaki, atau bagian tubuh lainnya, dalam bentuk tegangan otot, pusing, mual, pandangan mata kabur, kepala berdenyut, atau rasa sakit. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Pavek (1987) bahwa tubuh bereaksi terhadap sakit emosi seperti takut, kesedihan mendalam, malu, dan sebagainya, serupa dengan respon terhadap sakit fisik, dengan melakukan kontraksi. Rasa sakit, baik karena faktor fisik atau emosi, memicu kontraksi fisik otomatis yang dinamakan Auto-Contractile Pain Reflex (ACPR), bertujuan untuk meminimalisir gangguan agar tidak menyebar ke wilayah lebih luas. Dan ini sejalan dengan fungsi proteksi PBS (Gunawan, 2014).

Pada banyak kejadian, saat individu mengalami emosi negatif intens, ia cenderung menekan emosi atau perasaannya dan berharap ia akan hilang dengan sendirinya. Namun, pada kenyataannya, emosi tidak bisa hilang atau padam dengan sendirinya. Setiap emosi, menurut bapak Gestalt, Frederik S. Perls, butuh ekspresi (Smith, 2000). Ekspresi emosi mengarah keluar dalam bentuk pikiran, ucapan, atau tindakan. Namun saat ditekan ke dalam atau direpresi, emosi tetap akan diekspresikan, tapi kali ini melalui organ atau tubuh fisik, dalam bentuk gangguan fungsi organ atau sakit (Saphiro, 2006). Jumlah dan jenis gangguan fisik yang disebabkan oleh residu emosi yang menetap di tubuh fisik sangatlah beragam. Semua penyakit psikosomatis disebabkan oleh program pikiran dan emosi yang tersimpan di PBS. Dan karena emosi di PBS terhubung dengan tubuh fisik melalui neuropeptida maka emosi ini bisa menetap di bagian tubuh manapun. Untuk lebih detil mengenai hal ini, saya sarankan Anda membaca buku The Miracle of MindBody Medicine: How to Use Your Mind for Better Health.

Emosi negatif intens bersifat mengganggu kestabilan dan keseimbangan sistem psikis. Saat emosi negatif ini tidak bisa keluar atau berhasil dikeluarkan tuntas dari sistem psikis, PBS berupaya mengatasi masalah ini dengan mengirim pesan ke pikiran sadar. Pesan ini memiliki derajat intensitas berbeda. Pertama, PBS akan membuat individu merasa tidak nyaman, karena emosi negatif. Bila individu tidak menanggapi pesan ini, abai, atau tidak melakukan tindakan nyata untuk mengatasinya, pesan ditingkatkan menjadi sensasi fisik seperti rasa tidak nyaman, nyeri, atau leher kaku. Pada tahap selanjutnya, PBS akan meningkatkan pesan dan membuat individu merasa pusing atau nyeri kepala. Biasanya di tahap ini, individu akan melakukan pemeriksaan medis dan tidak akan ditemukan masalah apapun secara fisik. Tingkat selanjutnya, PBS akan membuat tangan individu mengalami tremor. Tremor ini sering salah dipahami sebagai parkinson. Dan bila semua pesan PBS tidak diperhatikan atau dihiraukan oleh individu, akhirnya PBS akan membuat individu mengalami kejang. Ini yang dikenal dengan psychogenic nonepileptic seizures atau PNES (Gunawan, 2015).

Dalam proses hipnoterapi klinis, terapis membantu klien mengeluarkan residu emosi dengan cara membimbing klien mengakses memori traumatik yang tersimpan di PBS, tentunya menggunakan teknik yang sesuai. Ini hanyalah langkah antara karena yang menjadi target sesungguhnya adalah emosi yang lekat pada memori ini. Saat memori aktif dan naik ke pikiran sadar, emosi yang lekat padanya akan lepas dan menjalani proses berbeda. Memori berisi narasi kejadian, disadari dan diketahui oleh pikiran sadar, sementara emosi akan dirasakan di tubuh fisik, di lokasi tertentu, bisa di dada, kepala, perut, punggung, pundak, tangan, kaki, atau bagian tubuh lainnya. Kesembuhan hanya bisa terjadi saat dan hanya bila terapi berhasil menetralisir emosi pada kejadian paling awal (Pavek, 1987; Banyan dan Kein, 2001; Kein, 2002; Sarno, 2006; Gunawan, 2008; Ronald, 2014).

Pada hampir semua kasus psikosomatis yang pernah kami tangani, di setiap organ atau bagian tubuh yang bermasalah selalu ada emosi menetap di sini. Mereka yang bermasalah pada sistem pencernaan, saat memori paling awal berhasil ditemukan, dan emosi yang lekat pada memori ini berhasil diaktifkan, merasakan sensasi tidak nyaman di bagian perutnya. Padahal dalam kondisi normal, klien tidak merasakan apapun di perutnya. Demikian pula yang sering sakit punggung, pusing atau nyeri kepala.

Kasus terkini yang terjadi pada klien saya, seorang wanita, berusia 40an, mengalami depresi dan berimbas ke tubuh fisik dalam bentuk tubuh lemas, tidak berenergi, sering mual, insomnia, kepala pusing, leher kaku, tangan dan kaki dingin, dan saraf kejepit. Saat berjalan ia merasa sakit sekali di sekujur kaki kanan. Ia telah ke dokter dan diberi obat. Klien menghubungi staff saya dan mendapat kabar bahwa jadwal saya sangat padat dan ia baru bisa jumpa saya empat bulan lagi. Namun di masa tunggu, tiba-tiba ada klien lain yang minta jadwal ulang dan akhirnya jadwal ini diberikan padanya.

Saat mengetahui mendapat jadwal lebih cepat, ia merasa kelegaan luar biasa karena ia yakin benar masalah emosinya pasti dapat saya bantu atasi, dan tiba-tiba saraf kejepitnya sembuh, padahal ia belum saya terapi. Ternyata, perasaan lega ini membuat otot yang tadinya tegang (spasme) yang mengakibatkan saraf kejepit, tiba-tiba lepas dan kembali normal.

Saat jumpa saya, di Intake Form klien mengisi emosi yang sedang ia rasakan dan alami adalah, pada skala 0 – 10, marah (10), benci (10), dendam (10), takut (10), kecewa (10), terluka (10), sakit hati (10), merasa kesepian (10), tersinggung (9), merasa tidak mampu (10), merasa ditolak (9), cemas (10), frustrasi (10), merasa kecil (9), merasa tidak berharga (10). Semua perasaan ini klien alami sejak Januari 2018.

Dalam proses terapi saya menggunakan teknik hipnoanalisis berbasis afek dan menemukan tiga kejadian lanjutan,SSE (subsequent sensitizing event) sebelum akhirnya mencapai kejadian paling awal atau akar masalah, ISE (initial sensitizing event). Semua emosi pada ISE dan tiga SSE saya proses tuntas dalam satu sesi terapi sehingga tidak ada lagi yang tersisa dalam sistem psikis klien. Hasilnya, tubuh klien langsung kembali sehat, sangat nyaman, seperti sebelum ia mengalami depresi.

Intinya, saat kejadian paling awal berhasil diidentifikasi dan diproses tuntas, termasuk menetralisir emosi pada kejadian ini, maka masalah klien dapat terselesaikan dengan mudah. Ada banyak teknik yang katanya dapat mengeluarkan emosi dari PBS atau tubuh, baik yang menggunakan sugesti, imajinasi, metafora, atau menggoncang-goncang tangan dan kaki, tidak efektif karena tidak mampu memroses emosi pada kejadian paling awal. Bila yang diproses adalah emosi pada kejadian paling awal maka apapun tekniknya, bila dilakukan dengan benar, hasilnya pasti sangat efektif.

Di pelatihan Quantum Life Transformation, di salah satu sesi, saya memberi tambahan teknik kepada para peserta untuk mengatasi emosi negatif dalam diri mereka. Saya minta seorang peserta maju ke depan, memilih satu kejadian yang pernah ia alami, yang ia tahu benar adalah kejadian tunggal yang menyebabkan emosi negatif dalam dirinya. Saya minta ia merasakan emosi yang menganggu dirinya dan memberi angka antara 0 hingga 10. Ia memberi nilai 8 pada intensitas emosi yang dirasakannya. Selanjutnya saya memberi sugesti ke PBS-nya, meminta ia mengambil posisi berdiri yang nyaman, fokus pada emosi negatif yang dirasakan dada dan perutnya, dan meminta ia meniatkan untuk mengalirkan energi emosi negatif ini ke kepalan tangan kiri dan kanan. Saya menuntun ia mengeluarkan energi emosi ini dalam bentuk hentakan tangan ke arah bawah sebanyak tiga kali. Hasilnya, dada dan perutnya langsung nyaman, lega.

Mengacu pada uraian di atas, pemikiran dan tulisan para pakar dan peneliti, baik di bidang hipnoterapi klinis maupun trauma, dan diperkuat dengan begitu banyak bukti temuan di ruang praktik kami, kami sepenuhnya yakin bahwa semua trauma, apapun bentuk dan penyebabnya, pasti terekam atau tersimpan di PBS, termasuk di sel-sel tubuh, dan juga tentunya di otot, saraf, organ, bahkan di gen. Dengan demikian, trauma yang tersimpan di saraf maupun otot tentu bisa dihilangkan dengan melakukan intervensi pada pikiran bawah sadar individu. Ketidakmampuan hipnoterapis mengatasi trauma yang, katanya tersimpan di otot atau saraf, bila ditelisik lebih jauh sebenarnya bukan karena hipnoterapi tidak efektif, tapi lebih karena ketidakmampuan hipnoterapis tersebut dalam menemukan dan memroses tuntas akar masalah klien. Demikianlah kenyataannya. 

Baca Selengkapnya

Menyembuhkan “Epilepsi” dengan Hipnoterapi Klinis

31 Januari 2018

Beberapa hari lalu saya kedatangan klien, sebut saja Budi, usia 20 tahun. Budi datang bersama kedua orangtuanya dengan harapan saya bisa membantu mengatasi masalahnya, sering kejang. Di Intake Form, Budi menulis masalahnya adalah epilepsi.

Sesuai protokol, saya melakukan wawancara pada kedua orangtua Budi terlebih dahulu. Karena menurut mereka ini adalah epilepsi, saya tentu tidak boleh gegabah. Epilepsi adalah kondisi serius yang harus ditangani oleh dokter, bukan hipnoterapis klinis tanpa latar belakang medis. Melalui wawancara, saya mendapat informasi penting tentang kejang yang Budi alami, kapan awal serangan kejang ini terjadi, frekuensinya, apa yang Budi alami saat kejang, bagaimana kondisi fisik dan atau emosi Budi sebelum terjadi serangan, berapa lama serangan ini berlangsung, obat apa yang Budi minum, pemeriksaan apa yang telah Budi jalani, dan bagaimana respon lingkungan terhadap kondisi Budi. 

Saya jelaskan hubungan antara emosi, pikiran bawah sadar, abreaksi, dan somatisasi. Emosi, khususnya emosi negatif, saat muncul dan dialami seseorang, tapi tidak bisa terekspresi dengan baik, tidak bisa keluar atau dikeluarkan dari sistem psikis, pasti akan memengaruhi tubuh.

Pikiran bawah sadar (PBS) akan memberi pesan khusus pada individu untuk membereskan emosi negatif melalui empat tahap. Pertama, individu akan merasa emosi atau perasaan tidak nyaman. Bila ini tidak segera diatasi, dan individu terus mengalami emosi negatif, maka PBS akan menaikkan “peringatan” ke level dua yaitu kepala pusing. Bila ini tetap tidak diatasi, level tiga adalah terjadinya reaksi fisik berupa tangan gemetar. Orang yang tidak paham kondisi ini umumnya berpikir mereka kena parkinson. Bukan, ini bukan parkinson tapi hysterical tremor. Saya pernah menangani klien usia 24 tahun yang mengalami tangan gemetar. Setelah emosi yang mengganggu dirinya berhasil dinetralisir, tangannya kembali normal. Level lima adalah kondisi sangat serius yaitu serangan kejang. Kunci dari penanganan masalah ini adalah emosi.

Menurut mereka, Budi pertama kali mengalami kejang saat kelas 5 SD, saat main game. Ini terjadi di rumah. Serangan ini berlangsung beberapa saat, sekitar lima menit, setelahnya Budi sadar kembali. Berikutnya, bila Budi sedang stres atau suasana hatinya tidak bagus, banyak tekanan karena tugas sekolah, atau bisa juga tegang akibat main game, terjadi serangan kejang.

Budi telah menjalani pemeriksaan MRI dan juga EEG. Menurut dokter yang menangani Budi, hasilnya normal, sama sekali tidak ada masalah. Sudah dua tahun terakhir Budi minum obat Depakote ER 500mg. Setelah mendapat penjelasan ini barulah saya putuskan menangani kasus ini. Bila hasil pemeriksaan medis menunjukkan memang ada masalah pada otak Budi, ini bukan ranah saya, tapi harus ditangani dokter.

Berdasar hal yang telah disampaikan oleh kedua orangtuanya, besar kemungkinan Budi mengalami Psychogenic Nonepileptic Seizures (PNES). Serangan PNES tampak serupa dengan kejang akibat epilepsi, namun ia bukan akibat gangguan pada listrik otak. Diperkirakan dari semua penderita epilepsi, 20-30% terdiagnosa mengalami PNES. Pada banyak penderita PNES sering dijumpai pengalaman traumatik di masa lalu mereka (Benbasdis, 2005).

Saya sampaikan pada orangtua Budi bahwa saya telah beberapa kali menangani kasus serupa dan berhasil dengan baik. Asalkan secara medis tidak ada masalah maka ini bisa dibantu dengan hipnoterapi klinis.

Selanjutnya saya menjumpai Budi yang sedang menanti di ruang tunggu, diikuti kedua orangtuanya. Saya jelaskan pada Budi bahwa ada teknik terapi berbasis meridian, yang bila dipraktikkan, bisa mencegah dan menghentikan serangan kejang sebelum mencapai titik maksimal.

Saya minta Budi rileks, tutup mata, dan mengingat saat ia terakhir kali mengalami serangan kejang, bulan lalu. Saya minta ia rasakan benar gejala awal serangan. Selang beberapa saat, Budi mulai merasa merinding di kedua tangan dan kakinya. Saya minta Budi meniatkan untuk meningkatkan level serangan ini. Jari-jari Budi mulai gemetar dan tubuhnya mulai terasa dingin. Saat serangan ini terus meningkat, saya langsung mempraktikkan teknik terapi yang dimaksud dengan menyentuh dua titik di tubuh Budi. Dalam waktu sekitar tujuh detik Budi mengatakan serangan ini mereda dengan sendirinya. Baik Budi maupun kedua orangtuanya bingung. Mereka bertanya, “Kok bisa ya, Pak? Biasanya kalau sudah begini pasti jadi. Ini tiba-tiba hilang tak berbekas.”

Saya jelaskan bahwa bila Budi bisa secara sengaja memunculkan serangan ini maka ia tentunya juga bisa memadamkannya. Budi punya kendali penuh atas dirinya. Saya mengajarkan teknik ini pada Budi untuk ia gunakan bila dibutuhkan.

Saya lanjut menerapi Budi di ruang praktik. Setelah melakukan wawancara mendalam, saya mulai lakukan hipnoanalisis di pikiran bawah sadar (PBS) untuk mendapat informasi mengapa Budi sampai mengalami kejang. Ternyata ada satu bagian diri atau EP (ego personality) Budi sengaja membuat Budi kejang. EP ini, menamakan dirinya sebagai Otak, melakukan ini karena merasa kesal pada Budi. Budi terlalu memaksakan dirinya, terutama main game. Saat tubuh Budi lelah, mata juga sudah terasa pedih, Budi tetap memaksa diri main game hingga larut malam dan bahkan dini hari. EP Otak sengaja “menghukum” Budi agar tidak melanjutkan perbuatannya. EP Otak mau Budi menjaga kesehatannya, hidup teratur.

Saat saya tanya ke EP Otak kapan ia pertama kali membuat Budi kejang, ia menjawab sejak Budi kelas 4 SD. Jadi, sebenarnya EP Otak ini telah memberi sinyal, berkomunikasi dengan Budi melalui simtom yang ia munculkan namun Budi tidak paham dan mengabaikannya.

Setelah dewasa, saat kuliah, Budi sering tidur dini hari karena main game. Dan besok pagi jam 07.30 Budi kuliah hingga sore jam 17.00. Pulang ke rumah, Budi main game sampai dini hari. Dan ini dilakukan hampir setiap hari. EP Otak marah dan membuat Budi kejang.

Untuk mengatasi hal ini saya melakukan edukasi pada EP Otak agar ia tidak lagi menghukum Budi. Saya minta Budi bicara langsung dengan EP Otak. Terjadi komunikasi yang cukup alot. Intinya, EP Otak bersikeras minta Budi mengatur hidup lebih baik. Bila tidak menuruti kemauannya, ia akan membuat Budi kejang. Akhirnya saya menengahi dan terjadilah diskusi tiga arah, saya selaku terapis, Budi, dan EP Otak.

Melalui proses negosiasi dan edukasi yang panjang, EP Otak bergeming dengan keputusannya, sama sekali tidak mau berubah. Untuk melunakkan hati EP Otak, saya menggunakan teknik tertentu, mengubah struktur pembentukannya, tentu tanpa disadari atau diketahui oleh EP Otak, dan setelahnya barulah ia melunak serta bersedia diajak diskusi secara konstruktif.

Akhirnya, berhasil dicapai kesepakatan antara Budi dan EP Otak. Budi boleh main game tapi maksimal sampai jam 23.00. Kalau belajar, maksimal sampai jam 24.00. Bila kesepakatan ini dilanggar Budi maka EP Otak akan memberi peringatan sampai tiga kali. Bila ini tidak diindahkan, EP Otak akan langsung melakukan serangan kejang. Sebaliknya EP Otak berjanji mendukung Budi sehingga lebih fokus, daya ingat semakin kuat, dan kemampuan menyerap materi yang ia pelajari juga meningkat pesat.

Untuk memastikan semua kesepakatan ini telah diterima, dimengerti, dan setuju dilaksanakan oleh para pihak, dalam hal ini Budi dan EP Otak, saya melakukan simulasi. Saya minta Budi sengaja melanggar kesepakatannya dengan EP Otak, dan benar, Budi mulai merasakan serangan, yang bila diteruskan pasti akan membuatnya kejang. Sebaliknya, saat Budi tetap memegang janjinya, EP Otak mendukungnya dalam proses belajar.

 

 

 

Baca Selengkapnya

Detraumatisasi, Neurosains, dan Hipnoterapi Klinis

3 Januari 2018

Hipnoterapi klinis, salah satu pendekatan dalam psikoterapi, sangat efektif mengatasi beragam masalah yang berhubungan dengan perilaku, mental, dan emosi (Barios, 2009). Hipnoterapi klinis, bila dipraktikkan dengan benar, mengikuti protokol yang sahih, mampu membantu klien mengatasi masalah, dari pengalaman klinis kami,  antara satu hingga maksimal empat sesi terapi.

Terkait keefektifan dan kecepatan hipnoterapi klinis mengatasi masalah hingga tuntas, dengan hasil terapi yang stabil hingga waktu lama, saya sengaja menghindari menggunakan kata permanen, ada tiga pertanyaan penting untuk dijawab. Pertama, “Apa yang membuat seseorang trauma, sementara yang lain mengalami hal sama, sama sekali tidak terpengaruh?” Kedua, “Apa yang terjadi di pikiran klien, khususnya pikiran bawah sadar, saat ia menjalani sesi hipnoterapi klinis sehingga bisa sembuh dengan cepat dan hasil terapi yang stabil, bertahan untuk waktu lama?” Dan ketiga, “Apa yang sebenarnya terjadi di otak klien saat ia menjalani sesi hipnoterapi klinis sehingga bisa sembuh dengan cepat?”

Jawaban pertanyaan pertama sudah saya jelaskan di artikel Memahami Trauma dan Penyebabnya dan Memahami Trauma dan Penyembuhannya dari Perspektif Hipnoterapi Klinis dan Neurosains. Pertanyaan kedua juga telah saya jawab dengan jelas dan gamblang dalam banyak artikel yang telah dipublikasikan di AdiWGunawan.com. Jawaban untuk pertanyaan ketiga dijelaskan di artikel ini.

Dalam artikel Memahami Trauma dan Penyebabnya dijelaskan suatu kejadian untuk dapat terekam di otak sebagai memori traumatik butuh lima syarat. Pertama, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi. Kedua, kejadian ini memiliki makna bagi individu. Ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung. Keempat, individu merasa terperangkap, tidak bisa menghindar dari kejadian ini. Kelima, individu merasa tidak berdaya. Bila kelima syarat ini terpenuhi, individu yang mengalami kejadian itu mengalami trauma dengan segala akibat bawaannya.

Apa yang Terjadi di Otak?

Pengalaman traumatik, yang terekam sebagai memori, sejatinya terdiri atas minimal empat komponen. Pertama, emosi atau perasaan. Kedua, komponen kognitif pikiran sadar yaitu konten mental yang kita pikirkan atau perhatikan, kita sadari keberadaan dan maknanya. Ketiga, komponen kognitif pikiran bawah sadar yaitu konten mental yang muncul karena terpicu oleh faktor internal atau eksternal, tidak kita sadari keberadaannya, namun mengakibatkan gejala fisik dan emosi. Keempat, komponen somatosensori yaitu sensasi yang dirasakan di tubuh fisik seperti sakit, tegang, kesemutan, perubahan temperatur kulit, hipersensitif terhadap sentuhan atau cahaya, dan sensasi lainnya. Dari keempat komponen ini, komponen emosi berperan sebagai perekat yang menyatukan komponen-komponen lainnya.

Bila disederhanakan, memori traumatik hanya terdiri atas dua komponen utama, narasi kejadian dan emosi. Setiap kali seseorang mengingat kembali kejadian traumatik, yang terjadi adalah ia secara sadar memilih dan mengaktifkan satu memori spesifik, dari sekian banyak memori di pikiran bawah sadar, dan “menaikkan” data ini ke memori kerja pikiran sadarnya. Pada memori traumatik ini lekat pula emosi intens yang turut aktif saat memori diaktifkan. Emosi ini selanjutnya memengaruhi tubuh melalui jalur somatosensori. 

Para peneliti awal trauma seperti Janet dan Freud menyatakan bahwa trauma membuat invididu, yang mengalaminya, mengalami fiksasi dan terkunci di masa lalu, dan dalam kasus tertentu menjadi obsesif dengan trauma. Janet mengamati perilaku dan perasaan para kliennya yang meliputi mimpi buruk, reaksi intens dan berlebih terhadap stimuli sederhana, rasa takut berlebih tanpa alasan jelas, dan kesedihan mendalam tanpa tahu apa penyebabnya. Mereka tersandera di masa lalu, tak berdaya untuk lepas dari situasi ini. Memori-memori kejadian ini tidak memudar atau hilang seiring waktu berjalan seperti memori pada umumnya, bahkan setelah puluhan tahun kemudian. Bagi para korban ini, masa lalu selalu hadir di masa sekarang (Van der Kolk, Weisaeth, dan van der Hart, 2007).

Mekanisme suatu kejadian disimpan dalam bentuk memori disebut konsolidasi. Konsolidasi adalah proses menstabilkan jejak memori setelah akuisisi awal. Konsolidasi kejadian bermuatan emosi intens terdiri atas dua tahap. Konsolidasi sinaptik di amigdala dan hipokampus yang terjadi dengan cepat dalam rentang waktu beberapa menit, melibatkan reseptor-reseptor glutamat, norepinefrin, kortisol, dan senyawa kimiawi lain. Selanjutnya, konsolidasi sistem terjadi saat memori ini menjadi independen, berdiri sendiri, lepas dari hipokampus, dalam rentang waktu beberapa minggu hingga bertahun-tahun kemudian. Memori-memori traumatik ini disimpan di korteks otak. Dan saat ini, proses ketiga, rekonsolidasi, sedang menjadi fokus penelitian, yaitu memori yang sebelumnya telah terkonsolidasi dapat dibuat labil lagi, melalui reaktivasi jejak memori. Pada kejadian yang bersifat traumatik, komponen emosi, konten sensori, dan konten kognitif terikat menjadi satu, menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Proses fundamental dalam pembentukan memori bergantung pada neurotransmiter glutamat dan reseptor-reseptornya. Glutamat adalah asam amino eksitator yang dibutuhkan untuk setiap pembelajaran baru dan menghubungkan materi baru dengan yang telah dipelajari sebelumnya (Rainine dan Ressler, 2009). Memori traumatik dapat digambarkan sebagai jalur neuron menghubungkan reseptor-reseptor glutamat yang tercipta saat individu mengalami kejadian traumatik. Saat jalur neuron ini teraktivasi ulang oleh pemicu, individu mengalami kembali kejadian seolah-olah baru terjadi (revivifikasi). Ini dinamakan konsolidasi sinaptik. Aktivasi ulang jalur sinaptik neuron yang dikonsolidasi oleh glutamat, pada saat mengingat kembali kejadian traumatik, membuat jalur ini rentan untuk diputus (Nader, Schafe, dan LeDoux, 2000).

Traumatisasi dari Perspektif Neurosains

Proses trauma berawal dari masuknya informasi, pengalaman atau kejadian yang dialami seseorang, melalui lima indra dan masuk ke otak untuk diproses lebih lanjut menggunakan dua jalur. Jalur pertama, informasi dari mata, telinga, kulit (sentuhan), dan lidah (pengecapan) masuk ke talamus. Talamus berperan sebagai kantor pos, mendistribusi informasi ke bagian otak yang sesuai untuk memrosesnya. Bila informasi yang masuk dipersepsi sebagai ancaman maka, dari talamus, ia langsung dikirim ke amigdala. Bila informasi awal dipersepsi bukan sebagai ancaman, ia akan dikirim ke korteks untuk dianalisis. Namun bila hasil analisis korteks menyatakan bahaya, informasi ini langsung dikirim ke amigdala melalui hipokampus.

Kedua, informasi dari indra penciuman, hidung, tidak melalui talamus, namun langsung dikirim ke accessory basal nucleus (AB) amigdala, bila informasi dipersepsi sebagai ancaman, dan ke korteks untuk dianalisis, bila tidak dipersepsi sebagai ancaman. Namun bila korteks menyatakan ini adalah ancaman, informasi langsung dikirim ke amigdala, melalui hipokampus, untuk ditindaklanjuti. Bau, stimulus yang dibawa oleh angin, digunakan sebagai informasi akan keberadaan predator dan ini butuh respon cepat sehingga tidak melewati talamus.

Amigdala, khususnya bagian kanan, berperan besar dalam mengendalikan respon emosi dan fisiologis, terdiri dari beberapa wilayah yang disebut nuclei. Ada lima nuclei: lateral nucleus (LA), basolateral nucleus (BLA), basomedial nucleus (BM), central nucleus (CE), dan accessory basal nucleus (AB). LA, BLA, dan AB membentuk kesatuan yang disebut basolateral complex atau BLC. BLC adalah tempat di mana informasi berbahaya atau mengancam keselamatan hidup memulai proses aktivasi tindakan dan emosi (Rainine dan Ressler, 2009).

Bagian korteks yang berperan melakukan evaluasi kondisi bahaya dan berpengaruh dalam proses traumatisasi adalah medial prefrontal cortex (mPFC). Ia memiliki hubungan timbal balik dengan amigdala. Saat BLC amigdala pertama kali merasakan emosi takut, ia akan menghambat dan mencegah mPFC agar tidak mematikan respon takut. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan tubuh dan pikiran untuk bersiap lari (flight) atau lawan (fight). Bila setelah dilakukan evaluasi oleh mPFC ternyata ancaman ini tidak benar atau signifikan maka mPFC segera mengirim sinyal inhibisi (hambatan) ke amigdala dan menekan respon takut tersebut. Dalam kondisi ketakutan atau kemarahan ekstrim, atau kondisi stres kronis, sinyal inhibisi yang dikirim oleh mPFC ini menjadi sangat lemah dan tidak lagi dapat memengaruhi amigdala.

BLC amigdala adalah tempat memroses komponen emosi dari memori, namun ia bukan tempat memori. BLC mengaktifkan CE dan wilayah otak lainnya, termasuk hipokampus dan medial prefrontal korteks (mPFC). BLC juga mengirim sinyal ke hipokampus (Strage dan Dolan, 2004), struktur penting di otak untuk proses encoding dan pengambilan kembali komponen kognitif. BLC adalah tempat di mana komponen sensori dan konteks kejadian memulai proses penggabungan/asosiasi.

Respon emosi terhadap ancaman bergantung pada BLC mengaktifkan bagian amigdala lainnya, central nucleus (CE). CE mengaktifkan dan mengkoordinir respon fisik (Tanimoto dkk, 2003) terhadap input sensori yang mengendalikan proses somatik, endokrin, dan autonomik. CE mengirim sinyal ke wilayah yang terlibat dalam fight atau flight, evaluasi bahaya, motivasi bertindak, kewaspadaan, orientasi, freeze (tubuh kaku), memori, dan persepsi sakit (Akmaev, Kalmillina, dan Sharipova, 2004).

Trauma dan Sakit Fisik

Rasa sakit fisik yang terjadi saat kejadian traumatik disimpan di memori otak. Hal ini pertama kali dijelaskan di akhir tahun 1800an oleh Charcot, Janet, Freud, dan Breuer yang meyakini bahwa stimuli dari pikiran bawah sadar dapat menyebabkan sakit di fisik dan simtom somatik lainnya. Mereka percaya bawah rasa sakit terekam bersama trauma psikologis namun terpisah dari kesadaran normal. Dengan demikian, rasa sakit hanya bisa dihilangkan bila pengalaman traumatik “dibawa naik” ke kondisi sadar normal sehingga diketahui dan diproses tuntas.

Sarno (2006) menyatakan simtom fisik muncul sebagai upaya mencegah kemarahan dan berbagai emosi negatif lain yang terekam di pikiran bawah sadar naik ke permukaan dan disadari individu. Ketidakmampuan mengekspresi emosi negatif intens bisa berasal dari rasa takut akan hukuman, perasaan tidak berdaya yang dipelajari, kebutuhan akan kendali, dan kebutuhan untuk terlihat atau tampil sebagai “orang baik”.

Bila dicermati, bagian tubuh yang sering sakit adalah punggung, leher, kepala, dan tungkai atas. Banyak juga yang mengatup rahang dan menggerinda giginya. Ini semua adalah wilayah otot yang digunakan saat marah. Sakit leher, punggung, dan sindroma sendi rahang (temporomandibular) kerap dijumpai dalam praktik klinis.

Saat seseorang mengalami trauma, misalnya tabrakan dengan mobil lain, ia tidak merasakan sakit fisik, walau sebenarnya tubuhnya, misal kepala, mengalami benturan atau luka. Ini adalah pengaruh CE amigdala. Pada CE amigdala terdapat pusat sakit yang disebut nociceptive amigdala. Di sini sinyal sakit yang berasal dari bagian otak lainnya dikelola. Pada saat invididu mengalami flight (lari), fight (lawan), atau marah, terjadi peningkatkan norepinefrin (NE) yang menghambat kerja nociceptive CE sehingga individu tidak bisa merasakan sakit.

Kejadian -> BLC -> NE meningkat -> nociceptive CE -> memengaruhi kesadaran -> sakit tidak dirasakan (tapi terekam di PBS)

Komponen somatik (fisik) dari trauma bisa berupa rasa sakit fisik, perasan terbakar, perubahan suhu tubuh, lemas tidak bertenaga, dan beragam simtom lain yang muncul di fisik.

Setelah kejadian kecelakaan dan individu mengingat atau melihat mobil yang sama atau serupa dengan mobil yang terlibat kecelakaan dengannya dulu, tiba-tiba muncul rasa sakit di kepala. Ini terjadi karena mobil, yang ia lihat atau ingat, menstimulasi BLC –> CE -> Sakit. Mobil tidak berbahaya atau mengancam sehingga batang otak tidak memproduksi norepinefrin dan individu merasa sakit, yang terekam di memorinya.

Traumatisasi dan Detraumatisasi dari Perspektif Neurosains

Merujuk pada uraian di atas maka proses traumatisasi, masuknya informasi ke otak hingga terekam sebagai memori traumatik, berlangsung sebagai berikut:  

Informasi -> talamus -> BLC amigdala -> muncul emosi takut atau marah defensif -> noerepinefrin (NE) dan kortisol di amigdala meningkat   -> Inhibisi mPFC -> informasi masuk ke amigdala -> lima syarat trauma terpenuhi -> reseptor glutamat di BLC amigdala terpotensiasi -> BLC mengikat komponen-komponen kejadian -> memori traumatik tercipta dan terekam di otak.

Potensiasi adalah meningkatnya jumlah dan kekuatan respon pascasinaptik yang diakibatkan oleh glutamat. Sinapsis, titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain, yang berhubungan dengan memori traumatik, yang ditemukan di BLC memiliki jumlah reseptor glutamat lebih banyak dari kondisi normal. Terapi paparan membuka reseptor-reseptor glutamat ini dan membuat jejak memori menjadi labil dan mudah dinetralisir (Rasolkhani-Kalhorn dan Harper, 2006).

Memori traumatik diaktifkan kembali oleh reseptor gulatamat overpotensiasi, alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolproprioninc (AMPA) (Harper dkk, 2009). Depotensiasi terjadi melalui reseptor-reseptor glutamat ini, bisa menggunakan beragam teknik salah satunya hipnoterapi klinis, menghilangkan reseptor aktif AMPA, mencegah neuron menumbuhkembangkan memori traumatik dan komponen-komponennya (Ronald, 2014)

Mengacu pada model di atas, untuk dapat menetralisir atau menyembuhkan memori traumatik, langkah pertama adalah mengaktifkan kembali memori ini, secara sadar atau sengaja, dengan cara mengingat kembali kejadiannya. Konten memori yang telah aktif ini akan masuk ke memori kerja dan selanjutnya mengaktifkan BLC amigdala. Aktivasi ini berhubungan dengan pelepasan glutamat di jalur khusus neuron BLC saat kejadian traumatik terekam (encoding) di memori otak. Proses penyembuhan trauma adalah dengan decoding, yaitu membalik proses encoding sehingga mencegah BLC mengirim sinyal ke CE, yang akan mengaktifkan locus coeruleus, di batang otak, menghasilkan norepinefrin untuk menyiapkan pikiran menghadapi kondisi genting, dan wilayah otak lain di mana komponen memori lainnya tersimpan.

Mengaktifkan memori adalah satu hal. Langkah selanjutnya, yang menjadi kunci penyembuhan trauma adalah menetralisir emosi pada kejadian paling awal. Tanpa menghilangkan emosi, yang adalah salah satu komponen penting trauma, klien akan kambuh dan simtom muncul kembali bisa dalam bentuk yang sama atau lain (Sarno, 2006).

Simtom trauma sejatinya tidak disebabkan oleh kejadian pemicu. Simtom bersumber dari residu energi yang terperangkap dalam sistem saraf dan sangat menganggu keseimbangan serta kesejahteraan tubuh dan pikiran. Residu ini terjadi karena individu tidak dapat menyelesaikan proses melewati atau keluar dari kondisi tak berdaya saat mengalami kejadian (Levine, 1997).

Dari dua pendapat di atas, Sarno (2006) dan Levine (1997), jelas sekali bahwa dalam proses detraumatisasi sangat penting menetralisir emosi yang lekat pada memori. Dan memori yang perlu diaktifkan, agar proses detraumatisasi dapat tuntas dilakukan, adalah memori paling awal (Ronald, 2014).

Proses detraumatisasi dengan hipnoterapsi klinis dari perspektif neurosains:

Aktivasi komponen emosi dari kejadian traumatik -> memori kerja -> hipokampus -> aktivasi reseptor BLC glutamat di amigdala -> restrukturisasi kejadian dengan hipnoterapsi klinis -> serotonin meningkat -> GABA meningkat -> depotensiasi reseptor glutamat di BLC -> keluaran amigdala menurun -> komponen emosi pada kejadian dinetralisir -> Trauma sembuh.

Kadar serotonin, sebagai neuromodulator, berkaitan erat dengan ketahanan seseorang terhadap trauma. Bila kadar serotonin meningkat, daya tahan terhadap trauma juga meningkat. Demikian pula sebaliknya. Bila kadarnya rendah, seseorang menjadi rentan terhadap trauma. Sementara GABA (gamma-aminobutyric acid) adalah asam amino inhibitor (penghambat) neuron lain dan bekerja berlawanan dengan glutamat.

Proses Hipnoterapi Klinis

Dari uraian di atas tampak bahwa proses hipnoterapi klinis memengaruhi dan mengakibatkan terjadinya depotensiasi reseptor glutamat di BLC. Tapi, bagaimana caranya?

Dalam hipnoterapi klinis, terapis membimbing klien untuk melakukan aktivasi komponen emosi dari kejadian traumatik dengan meminta klien mengingat dan merasakan kembali kejadian beserta emosinya. Informasi ini masuk ke memori kerja untuk diproses. Selanjutnya terapis menuntun klien menemukan awal mula kejadian pertama yang menjadi akar masalah klien, menggunakan teknik yang sesuai. Kejadian paling awal disebut initial sensitizing event (ISE). Di ISE akan dilakukan pengurasan emosi, bila terdapat emosi intens, hingga benar-benar tuntas, dan dilanjutkan dengan restrukturisasi kejadian dengan teknik partial atau complete rewriting history (Gunawan, 2017).

Bila rangkaian kejadian mengikuti alur normal maka saat klien mengalami revivifikasi, lima komponen trauma kembali muncul: kejadian, makna, kondisi senyawa kimiawi otak, perasaan terperangkap, dan perasaan tidak berdaya. Dalam proses hipnoterapi klinis dilakukan intervensi pada kelima komponen ini.

Klien mengalami kejadian yang sama namun dengan beberapa perubahan pada komponen atau alur cerita. Klien dituntun untuk memberi makna baru pada kejadian yang ia alami. Senyawa kimiawi otak tentu juga berbeda karena klien menjalani proses hipnoterapi dalam kondisi hipnosis dalam. Klien juga disiapkan untuk mengalami kejadian, dengan teknik tertentu skenario diatur sedemikian rupa sehingga ia tahu di depan apa yang akan terjadi, dan ini membuat klien tidak merasa terperangkap dalam situasi itu. Dan yang terutama, dalam diri klien tidak muncul perasaan tidak berdaya karena ego strength-nya telah mengalami penguatan.

Bila trauma telah berhasil diatasi, klien menjadi tenang, rileks, dan saat diminta mengingat kembali kejadiannya, bisa terjadi salah satu dari lima kemungkinan berikut:

1.     Klien bisa mengingat kejadian dengan jelas namun perasaannya datar, tidak lagi merasakan emosi negatif yang sebelumnya sangat mengganggu dirinya.

2.     Klien sulit atau tidak bisa mengingat kejadian.

3.     Klien bisa mengingat namun kejadiannya kabur dan tidak lengkap, muncul hanya sepotong-sepotong.

4.     Klien bisa mengingat kembali namun ia melihat kejadian itu dari kejauhan, sebagai pengamat atau disosiatif.

5.     Klien bisa mengingat kejadian. Namun peristiwa inti yang sebelumnya menyebabkan trauma menjadi kabur atau tidak ada, yang ada hanyalah detil peristiwa atau situasi yang berada di sekitar peristiwa inti. 

Baca Selengkapnya

Memahami Trauma dan Penyebabnya

18 Desember 2017

Setiap trauma pasti melibatkan emosi intens. Namun, tidak setiap kejadian dengan emosi intens mengakibatkan trauma. Kejadian sama, dialami dua individu, bisa mengakibatkan hasil beda. Yang satu mengalami trauma, sementara yang satu lagi sama sekali tidak terpengaruh. Lalu, apa faktor yang menentukan satu kejadian akan bersifat traumatik atau tidak? Pertanyaan ini sangat menggelitik rasa ingin tahu, membuat penasaran, dan tentu sangat butuh dijawab tuntas.

Kata “emosi” berasal dari bahasa Latin “emovere” yang berarti bergerak melewati atau keluar. Dengan demikian, emosi sejatinya merujuk pada tindakan aktif. Dalam bahasa aslinya, emosi sama sekali tidak mengandung makna kelekatan atau penolakan terhadap tindakan, namun emosi mengalir melalui atau keluar dari diri.

Emosi sangat memengaruhi hidup kita, baik disadari atau tidak. Ortony, Norman, dan Revelle (2005) menyatakan emosi dihasilkan pada tiga level: reaktif, rutin, dan reflektif. Emosi paling primitif adalah yang bersifat reaktif. Emosi ini telah ada dalam diri kita sejak lahir, dan berfungsi untuk memastikan kita bisa tetap selamat. Emosi ini adalah takut dan marah yang bersifat defensif, yang muncul sebagai respon terhadap hal-hal yang dipersepsikan sebagai ancaman. Emosi takut telah ada sejak lahir. Bayi lahir dengan membawa dua rasa takut, takut suara keras dan takut jatuh. Sementara marah muncul belakangan. Takut dan marah memiliki fungsi spesifik, dalam konteks keselamatan individu. Dua emosi dasar ini memberikan energi untuk lari atau melawan.

Emosi rutin adalah emosi yang kita alami sehari-hari, meliputi perasaan senang, bahagia, kagum, terganggu, malu, cemas, terinspirasi, berani, egois, bangga, sedih, kaget, marah, jengkel, kesal, takjub, dan yang lain. Emosi-emosi ini muncul, bertahan sebentar, lalu memudar, dan dilanjutkan dengan munculnya emosi lain. Emosi rutin tidak menyebabkan trauma. Mereka memberi warna kepada kehidupan yang kita jalani.

Emosi reflektif muncul sebagai hasil dari kerja bagian otak, lobus prefrontalis. Emosi reflektif meliputi marah, rasa bersalah, benci, kesedihan mendalam, cemburu, cinta, balas dendam, dan yang lain. Emosi reflektif, sama seperti emosi reaktif, berpotensi mengakibatkan trauma. Emosi reaktif dan reflektif menyebabkan perasaan tidak nyaman dan sedapat mungkin kita berusaha menghidarinya.

Takut muncul dalam berbagai situasi atau momen. Ada momen di mana kesadaran dan kewasapadaan kita terhadap lingkungan meningkat, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kita berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dalam situasi ini muncul rasa takut sebagai bentuk perlindungan diri terhadap sesuatu yang dirasa berbahaya. Bila ternyata tidak ada yang membahayakan diri, kita kembali pada kondisi normal, rasa takut hilang dengan sendirinya.

Takut juga muncul saat diri kita dalam bahaya, seperti sedang berhadapan dengan ular atau dikejar anjing liar. Takut menempatkan kita dalam mode lari (flight) untuk bisa menyelamatkan diri.

Takut tipe ketiga muncul di saat kita panik. Kita dibanjiri perasaan seolah kita akan meninggal, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ada perasaan kelebihan beban, tidak mampu.

Takut tipe keempat muncul saat kita berhadapan dengan situasi yang diyakini akan segera membuat kita meninggal. Kita masuk ke kondisi kesadaran lain. Waktu melambat, tubuh tidak lagi merasa sakit atau sensasi lain, dan menjadi tidak responsif, kaku, disebut thanatosis.

Setiap jenis takut berhubungan dengan ciri neurobilogis unik. Ciri ini terdiri atas hormon stres berbeda yang mengalir melalui otak dan tubuh, meningkatkan respons untuk keselamatan hidup.

Saat emosi dapat mengalir keluar secara alamiah atau mampu dialirkan keluar dari sistem diri dengan sengaja, maka tidak akan terjadi masalah. Masalah muncul saat emosi menumpuk dalam diri, biasanya melalui proses represi kronis, dan mewujud dalam bentuk simtom pada aspek kognisi, emosi, dan fisik.

 

Dua Sistem Keselamatan Hidup

Manusia memiliki dua sistem keselamatan hidup: aversive dan appetitive survival system. Emosi reaktif dan reflektif adalah bagian dari aversive survival system. Sistem ini mengaktifkan emosi takut dan marah saat individu berhadapan atau mengalami kejadian yang mengancam, di mana ia harus bisa lari lebih cepat atau lebih kuat sehingga bisa mengalahkan predator. Takut juga aktif untuk menghidarkan kita dari melakukan sesuatu yang menghasilkan rasa bersalah, malu, marah, dan emosi mengganggu lainnya.

Appetitive survival system memelihara keselamatan hidup dengan cara mendorong atau memotivasi kita untuk memenuhi kebutuhan fisik, mencari makan, minum, dan seks. Sistem ini memotivasi kita dengan menghasilkan perasaan lapar, haus, dan hasrat pemenuhan kebutuhan seks yang bertindak sebagai stresor. Semakin lama kebutuhan ini tidak terpenuhi, semakin besar stres yang dialami individu, semakin tinggi motivasinya. Kedua sistem ini saling terhubung untuk mencapai tujuan serupa, keselamatan dan kelanjutan hidup. Dengan demikian, tidak heran bila dalam gangguan yang melibatkan dorongan apetitif abnormal seperti adiksi atau makan kompulsif, sering ditemukan keberadaan emosi reaktif atau reflektif abnormal yang  berasal trauma.

 

Memori untuk Keselamatan Hidup

Selain lari (flight) dan lawan (fight), untuk menjaga keselamatan hidup di masa depan, kita sangat perlu mampu menghindari situasi serupa yang di masa lalu bersifat membahayakan atau mengancam. Dengan demikian, kita butuh kemampuan untuk merekam dan mengingat kembali, dengan cepat dan akurat, memori-memori tentang situasi ancaman ini.

Ada dua cara untuk mencapai tujuan ini. Pertama, kita perlu mengalami secara langsung, dan kedua, otak kita merekam informasi dari sumber lain. Proses ini melibatkan amydala dan hippocampus.

Salah satu cara paling cepat untuk menarik perhatian, membuat kita fokus, waspada untuk menghidari situasi yang mengancam adalah dengan melibatkan emosi. Di sinilah peran nyata amygdala dan hippocampus. Amygdala akan bertanya pada hippocampus, menggunakan data yang telah terekam di memori otak, apakah situasi, kondisi, hal, benda, atau apa saja yang individu temui, aman atau berbahaya. Saat hippocampus memberi jawaban bahwa ini adalah sesuatu yang dipersepsi mengancam atau berbahaya maka amygdala akan menyalakan alarm tanda bahaya, muncul emosi intens dalam diri individu yang menyiapkan dirinya lari atau lawan.

Pengalaman traumatik meninggalkan bekas mendalam dalam psikis individu, terekam dalam bentuk memori “khusus” di otak, dan mengakibatkan perilaku tak lazim, sakit berkepanjangan, sensasi fisik yang bersifat mengganggu kenyamanan hidup.

Pengalaman terekam sebagai pengalaman traumatik saat momen lari atau lawan, saat upaya menghindari atau menghilangkan ancaman tidak dapat dilakukan. Pada saat inilah senyawa kimiawi otak seperti norepinephrine, dopamine, dan cortisol meningkat drastis dan memengaruhi otak dalam merekam informasi.

 

Komponen Memori Traumatik

Setiap memori traumatik melibatkan minimal empat komponen. Pertama, emosi atau perasaan. Kedua, komponen kognitif pikiran sadar yaitu konten mental yang kita pikirkan atau perhatikan, kita sadari keberadaan dan maknanya. Ketiga, komponen kognitif pikiran bawah sadar yaitu konten mental yang muncul karena terpicu oleh faktor internal atau eksternal, tidak kita sadari keberadaannya, namun mengakibatkan gejala fisik dan emosi. Keempat, komponen somatosensori yaitu sensasi yang dirasakan di tubuh fisik seperti sakit, tegang, kesemutan, perubahan temperatur kulit, hipersensitif terhadap sentuhan, dan sensasi lainnya.  

Memori traumatik terbagi dua: memori traumatik (traumatic memory) dan memori traumatik disosiatif (dissociated traumatic memory). Memori traumatik adalah memori yang berisi narasi kejadian dan emosi yang lekat padanya dan dapat diaktifkan secara sadar. Sementara memori traumatik disosiatif adalah bentuk pikiran, perasaan, dan sensasi yang muncul dan dialami individu, tanpa aktivasi atau kendali secara sadar, biasanya terpicu oleh sesuatu hal yang seringkali tidak disadari oleh individu, dan muncul dalam bentuk kilas balik ingatan (flash back), mimpi buruk, pikiran intrusif/mengganggu, dan sensasi fisik.

 

Syarat Terjadi Trauma

Trauma selalu melibatkan emosi intens. Kita mengingat traumatisasi sebagai kondisi terperangkap dalam tindakan pelarian tak tuntas.

Suatu kejadian untuk dapat terekam di otak sebagai memori traumatik membutuhkan lima syarat. Pertama, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi. Kedua, kejadian ini memiliki makna bagi individu. Ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung. Keempat, individu merasa terperangkap, tidak bisa menghindar dari kejadian itu, Kelima, individu merasa tidak berdaya.

Yang dimaksud dengan kejadian adalah salah satu atau gabungan dari beberapa kemungkinan berikut: kita bisa mengalami sendiri, hanya menyaksikan, diberitahu baik oleh pihak kedua atau ketiga, membaca uraian kejadian, menonton siaran televisi, mengalami kejadian melalui mimpi, dan membayangkan kejadiannya di pikiran.

Contohnya, pada kecelakaan mobil. Kita bisa berada di dalam mobil, baik sebagai pengemudi atau penumpang, kita bisa menyaksikan terjadinya kecelakaan dan mendengar suara erangan atau rintihan kesakitan dari korban, melihat darah mengalir dari tubuh korban, atau kita bisa mendengar cerita orang mengenai kejadian itu, membaca kisah kecelakaan, menyaksikan tayangan video atau film kecelakaan, bermimpi mengalami kecelakaan, atau membayangkan mengalami kecelakaan, dan kita mengalami trauma.

Saya beberapa kali menangani klien yang takut naik pesawat karena ada rekan atau keluarga mereka yang mengalami kecelakaan pesawat dan meninggal. Ada klien yang karena sering membaca ulasan tentang kecelakaan pesawat ini, baik di media massa, tayangan televisi, dan melalui media sosial lainnya, turut menjadi trauma.

Trauma yang berasal dari cerita pihak kedua dan ketiga bisa terjadi karena pikiran kita mendramatisir kejadiannya. Ini jenis trauma yang dijumpai pada para pekerja sosial, terapis, pengacara, polisi, dan mereka yang rutin menangani trauma.

Pengalaman orang pertama tentu menghasilkan pengaruh emosi yang jauh lebih kuat daripada cerita orang ketiga, namun ini tetap perlu diwaspasi karena hasil penelitian menemukan para pekerja di bidang pemulihan trauma rentan terpengaruh dan perlu bersikap waspada terhadap risiko ini (Adams dan Riggi, 2008).

Komponen kedua untuk terjadi trauma adalah kejadian itu bermakna bagi individu. Makna muncul sebagai hasil dari kebutuhan bawaan akan kelekatan (attachment) pada hal-hal penting dalam hidup, dan pengalaman sebelumnya. Kelekatan yang dimaksud bisa berupa kelekatan pada hidup, pasangan, keluarga, orangtua, bagian tubuh, benda mati seperti rumah, mobil, cicin kawin, atau apa saja yang memiliki keterhubungan emosional intens dengan individu.

Makna juga bisa muncul berdasarkan pengalaman sebelumnya. Satu kejadian yang sebenarnya bersifat netral bisa memicu memori traumatik masa lalu dan mengakibatkan respon negatif. Terapis tidak dalam posisi untuk menentukan apakah suatu kejadian bermakna atau tidak bagi klien. Klien yang menentukan. Dengan demikian, dalam upaya menemukan kejadian traumatik, perlu diperhatikan hal-hal yang tampak sepele karena bisa saja hal ini justru merupakan penyebab trauma.

Komponen ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian. Ada lima senyawa kimiawi otak yang berperan dalam proses trauma, yaitu glutamate, dopamine, serotonin, norepinephrine, dan cortisol. Dalam kondisi normal, kelima senyawa kimiawi ini berperan sebagai neuromodulator, memengaruhi suasana hati, pemrosesan informasi, dan meningkatkan kerentanan kita terhadap trauma.

Saat stres akut, level dari senyata kimiawi ini meningkat drastis dan mengakibatkan informasi diproses secara berbeda. Tubuh kita disiapkan untuk –bertindak, perhatian kita menjadi fokus, kita siap bertindak, dan menyiapkan otak untuk menyimpan informasi yang akan segera masuk.

Dopamine meningkat saat kita mencari keberadaan predator. Saat kita harus melawan atau lari, epinephrine menyiapkan tubuh dan norepinephrine menyiapkan pikiran. Serotonin juga meningkat sedikit untuk mencegah tubuh mengalami beban berlebih. Glutamate terlibat dalam semua proses ini. Sekali individu mengalami trauma, di kemudian hari ia menjadi lebih rentan mengalami trauma lagi.

Komponen keempat, perasaan terperangkap. Menghindar dari situasi yang mengancam atau melawan sumber ancaman butuh gerak aktif. Upaya ini meliputi lari, mendorong, melompat, memukul, berenang, bersembunyi, memanjat, dan tindakan lainnya. Saat individu merasa tidak bisa bergerak, karena dikuasai rasa takut intens, situasi ini berpotensi besar menimbulkan trauma.

Persepsi terperangkap tidak perlu berlangsung dalam waktu lama, dan juga tidak perlu sampai disadari penuh. Perasaan terperangkap ini bisa dialami saat seseorang mengalami kecelakaan, saat jatuh, saat melintasi jembatan yang bergoyang, saat dituduh mencuri di depan umum, atau saat Anda diberitahu menderita kanker, baik itu benar atau salah diagnosis. Saat Anda mengalami kejadian dan tidak ada tempat untuk berlari atau bersembunyi, maka saat itulah perasaan diri terperangkap terjadi dan dialami.

Komponen kelima, perasaan tidak berdaya. Saat individu merasa terperangkap namun masih bisa memikirkan jalan keluar atau ada yang memberi jalan keluar, maka ia masih memiliki harapan. Potensi mengalami trauma menurun drastis. Saat individu merasa sama sekali tidak ada jalan keluar dari situasi yang ia alami, muncul perasaan tidak berdaya. Bila kelima komponen ini lengkap hadir, maka kejadian yang dialami individu direkam di otak sebagai kejadian traumaik. 

 

Kerentanan                                                          

Selain lima syarat di atas, kerentanan terhadap trauma sangat dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya. Kejadian yang tampak sepele dapat menjadi trauma karena ia meneruskan dan berkerja berdasar akumulasi pengalaman sebelumnya (Chemtob, Nomura, dan Abramovitz, 2008; Gunawan, 2014). Kerentanan terhadap trauma semakin meningkat bila individu terlalu berempati, berharga diri rendah, dan mengalami kesulitan dalam regulasi respon emosi.

Dalam hipnoterapi klinis, kejadian tunggal dengan emosi intens dapat menjadi trauma. Ada pula kejadian dengan emosi yang kurang intens, namun karena ia memiliki kesamaan atau kemiripan dengan kejadian yang sebelumnya pernah dialami individu, mengakibatkan muncul trauma.

 

Solusi Trauma

Ada tiga pendekatan mengatasi trauma: psikoterapi, psikofarmakologi, dan terapi psikosensori. Psikoterapi adalah upaya penyembuhan yang dilakukan dengan cara beromunikasi verbal dengan klien. Beberapa pendekatan dalam psikoterapi antara lain kognitif, kognitif perilaku, rasional/emotif, psikodinamik, psikoanalisis, sistemik (termasuk terapi keluarga). Psikofarmakologi adalah studi dan penggunaan zat kimia untuk mengubah suasana hati, sensasi, pemikiran, dan perilaku. Sementara terapi psikosensori adalah terapi dengan pendekatan tubuh-pikiran (body-mind).

Salah satu cara paling efektif, dalam psikoterapi, untuk mengatasi trauma adalah hipnoterapi klinis. Hipnoterapis, menggunakan teknik hipnoanalisis, menuntun klien menyusuri garis waktu, mundur ke masa lalu, melewati satu atau beberapa kejadian, dan akhirnya mencapai kejadian paling awal. Saat kejadian-kejadian ini diproses tuntas, emosi yang lekat pada setiap kejadian dinetralisir, tentunya menggunakan teknik yang tepat, maka memori kejadian menjadi netral, tidak lagi mengganggu hidup individu dan klien sembuh dari trauma. 

Baca Selengkapnya

Akar Masalah: ISE dan IEPCE

7 November 2017

Proses hipnoterapi, dalam upaya membantu klien mengatasi masalah, menggunakan dua pendekatan: tanpa memroses akar masalah dan memroses akar masalah.

Hipnoterapi tanpa memroses akar masalah dilakukan dengan memberi sugesti ke pikiran bawah sadar (PBS) klien, dengan tujuan menghilangkan simtom. Bila simtom hilang, masalah selesai. Bisa juga simtom tidak dihilangkan tapi dimodifikasi sehingga tidak lagi mengganggu hidup klien. Yang dimaksud dengan modifikasi di sini, bisa mengganti simtom dengan simtom lain yang lebih ringan, mengurangi intensitas simtom, mengurangi frekuensi munculnya simtom, atau mensugesti klien untuk mengalami kontraksi waktu sehingga simtom terasa hanya sekejap.  

Sementara pada pendekatan kedua, memroses akar masalah, butuh upaya yang lebih panjang dan menyeluruh, melibatkan proses mencari dan menemukan akar masalah, dan dilanjutkan dengan restrukturisasi kejadian paling awal.

Untuk menemukan akar masalah dibutuhkan teknik regresi yang sesuai agar informasi yang diungkap oleh PBS benar adalah kejadian paling awal. Di sini, selain teknik yang presisi juga butuh kecermatan dan kejelian terapis dalam menelisik jawaban yang diberikan PBS. Untuk itu terapis harus melakukan pengecekan, dengan teknik tertentu, guna memastikan kejadian yang diungkap PBS adalah benar kejadian paling awal.

Setiap simtom pasti memiliki akar masalah atau kejadian paling awal. Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI) mengembangkan dan mengajarkan teknik untuk menemukan dua jenis akar masalah yaitu ISE dan IEPCE.

ISE (initial sensitizing event) adalah kejadian paling awal, bisa berupa pengalaman traumatik, atau pengalaman nontraumatik dan berlaku sebagai bibit yang, bila mendapat dukungan kondisi yang sesuai, akan menjelma menjadi masalah.

ISE biasanya diperkuat satu atau beberapa kejadian lanjutan yang disebut SSE (subsequent sensitizing event), membangun momentum hingga akhirnya tercipta simtom. Kejadian yang memunculkan simtom disebut SPE (symptom producing event). Simtom dapat semakin menguat akibat kejadian lanjutan yang disebut SIE (symptom intensifying event). ISE, bila berupa kejadian traumatik, dapat langsung menjadi SPE. SSE juga bisa menjadi SPE.

Rangkaian kejadian mulai dari yang paling awal hingga menjadi simtom dan terus mengganggu klien hingga masa kini adalah:

ISE à SSE 1 à SSE 2 à SSE ? à SPE à SIE à NOW

Mengacu pada alur di atas, bila terapis hendak menemukan akar masalah (ISE) maka ia menuntun klien menelusuri garis waktu di PBS, mundur dari NOW, hingga akhirnya berhenti di ISE.

Teknik untuk membawa klien mundur ke masa lalunya disebut regresi. Ada sangat banyak varian teknik regresi. Namun dari sekian banyak teknik ini, AWGI hanya menggunakan satu teknik regresi yang telah teruji secara klinis sangat akurat, presisi, dan efektif mengungkap akar masalah. Teknik ini juga telah banyak diulas di jurnal, salah satunya, International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis.

Menemukan akar masalah (ISE) adalah satu hal, dan memrosesnya dengan benar sehingga terjadi resolusi trauma tuntas adalah hal lain. Ini adalah dua keterampilan berbeda. Hanya menemukan ISE tidak bersifat terapeutik. Dalam banyak kasus yang pernah saya tangani, klien telah menjalani hipnoterapi dan menurut terapisnya telah berhasil menemukan “akar masalah”. Akar masalah ini tidak diproses. Terapis hanya memberitahu klien, “Sekarang sudah tahu akar masalah Anda? Peristiwa ini yang membuat hidup Anda susah.” Proses ini tidak tuntas karena akar masalah tidak diproses dan sudah tentu masalah klien tidak teratasi dan bisa kontraproduktif. Emosi yang muncul dari kejadian ini bisa sangat mengganggu hidup klien dan membuat klien menjadi tidak stabil.

IEPCE (Initial EP Creation Event) berbeda dengan ISE. IEPCE adalah kejadian paling awal yang menyebabkan munculnya EP. Watkins dan Watkins (1997) menyatakan ada tiga cara EP tercipta. Namun, riset yang dilakukan team AWGI menemukan ada sepuluh cara.

Dari satu kejadian paling awal (IEPCE) bisa tercipta sekaligus satu atau lebih EP dengan karakter berbeda. EP bisa mendapat penguatan pada satu atau lebih kejadian lanjutan yang disebut EPSE (EP Strengthening Event) yang semakin memperkuat EP. Semakin kuat EP, semakin kuat pengaruhnya terhadap hidup klien.

Teori dan teknik EP yang dikembangkan AWGI berbeda dengan yang sering dipraktikkan praktisi teknik Ego State (ES). Dalam teknik ES, terapis melakukan edukasi atau negosiasi dengan ES yang membuat masalah. Setelah tercapai kesepakatan, terapi diakhiri. Cara ini, dari pengalaman kami kurang efektif karena masalah klien masih bisa muncul lagi.

Dalam teknik EP yang kami praktikkan, usai melakukan negosiasi, kami perlu menemukan IEPCE. Untuk menemukan IEPCE biasanya akan melewati beberapa EPSE. Proses restrukturisasi pada IEPCE akan sangat memengaruhi karakteristik EP dan menghasilkan efek terapeutik yang jauh lebih stabil. Tidak mudah memang untuk menemukan EPCE namun bisa dilakukan dengan teknik yang tepat.

Rangkaian kejadian mulai dari yang paling awal, muncul EP, muncul simtom, EP  menjadi semakin kuat, dan terus mengganggu klien hingga masa kini adalah:

IEPCE à SIMTOM à EPSE 1 à EPSE 2 à EPSE ? à NOW

Proses regresi EP mencapai IEPCE dan regresi mencapai ISE walau berbeda namun memiliki kesamaan. Regresi ke ISE sejatinya adalah regresi EP. Bedanya pada jalur yang digunakan.

Dalam beberapa kasus, setelah menemukan dan memroses IEPCE, klien tetap merasa tidak nyaman. Untuk itu, terapis perlu melakukan regresi lagi, mencapai IEPCE dan biasanya EP yang muncul berbeda. Kondisi ini mengakibatkan penanganan simtom atau masalah menggunakan teknik EP menjadi lebih kompleks.

Temuan kami, IEPCE tidak selalu sama dengan ISE, walau dalam beberapa kasus bisa terjadi ISE adalah IEPCE. SSE juga bisa menjadi IEPCE. Mekanisme pembentukan EP, relasi antara IEPCE dan ISE serta SSE masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Kendala kami, selaku hipnoterapis kami tidak boleh melakukan eksperimen pada klien untuk sekedar mencari tahu apakah benar ISE atau SSE adalah sama dengan IEPCE klien. Ini melanggar kode etik. Temuan yang saya tulis dalam artikel ini berasal dari hasil diskusi dengan para rekan sejawat hipnoterapis, menelaah banyak kasus terapi, dan menarik simpulan sementara. 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List