The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Hipnoterapis vs Genderuwo

20 Oktober 2017

Pengalaman terapi yang akan saya ceritakan kali ini benar-benar seru. Ceritanya begini. Seorang klien wanita, usia 40 tahun, sebut saja sebagai Ani, datang ke saya untuk minta tolong mengatasi masalah emosi dan juga sakit di leher sebelah kiri.

Soal emosi, ini karena relasi Ani dan suaminya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Mereka saling mencinta namun tidak saling memahami cara berkomunikasi dengan baik dan benar.

Akibatnya, ada banyak kejadian dan keributan dalam rumah tangga yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Semua emosi ini Ani tekan dengan harapan akan hilang dengan sendirinya. Saat Ani benar-benar marah, tapi ia tahan, tangannya sampai bergetar-getar dengan sendirinya. Sementara sakit di leher, menurut Ani, sudah ia rasakan mulai SMA. Ani juga mengalami sakit autoimun sehingga sendi-sendinya sakit.

Proses berikut ini dilakukan dalam kondisi hipnosis dalam dan Ani menutup mata. Untuk urusan emosi dengan suami, proses terapinya cukup alot, karena ada satu Bagian Diri atau Ego Personality (EP), berusia 8 tahun, merasa terluka dan tidak bersedia memaafkan suami Ani. EP ini menyatakan sudah bosan hidup dan mau mati. Sebagai terapis, saya sadar bila ada EP yang menyatakan seperti ini, ini kasus sangat serius, harus diproses tuntas.

Rapport dengan EP ini saya jalin dan pertahankan dengan tetap berlaku sabar, hormat, penuh kasih, menunjukkan empati mendalam atas apa yang EP ini alami dan rasakan. Setelah lima belas menit, akhirnya EP ini melunak dan bersedia saya bantu melepas semua emosi negatifnya terhadap suami Ani. Proses berlangsung alot karena EP masih berusia 8 tahun. Tentu dengan pola pikir, pemahaman, dan kebijaksanaan sesuai usianya.

EP yang fiksasi di usia 8 tahun ini, atas ijinnya, saya bantu tumbuhkan, menggunakan teknik khusus, menjadi EP dewasa agar bisa membantu Ani menjadi kuat dan bahagia menjalani hidup. Ini perlu dilakukan dengan sangat hati-hati menggunakan skrip yang telah disiapkan sebelumnya. Bila sampai salah kata, bisa berakibat sangat buruk bagi EP maupun klien.

Yang sangat menarik dan menantang adalah saat saya membantu Ani mencari akar masalah penyebab sakit di leher sebelah kiri. Menggunakan teknik hipnoanalisis, ada satu EP Ani memberitahu saya bahwa ada banyak yang mengikuti Ani. Menurut EP ini, yang menyebut dirinya sebagai Pelindung, ia berfungsi melindungi Ani dan sudah mengikuti Ani sejak ratusan tahun lalu.

Saya tanya apa maksudnya, Pelindung menjelaskan bahwa di dalam tubuh Ani ada banyak makhluk yang masuk dan menetap. Saya heran, bila fungsinya adalah melindungi Ani, lalu mengapa ia tidak mengeluarkan makhluk-makhluk ini dari tubuh Ani. Pelindung mengatakan bahwa dirinya kalah kuat. Ada satu makhluk yang sangat kuat dan ia tak kuasa menghadapinya.

Tiba-tiba tubuh Ani bergetar hebat, terutama tangan kanannya. Dan dari mulut Ani keluar suara keras diarahkan ke saya, “He… kamu jangan ikut campur urusan ini. Tidak usah ikut campur….”.

Saya tanya, “Anda ini siapa?” Suara ini dengan tegas dan kasar menjawab singkat, “Genderuwo.”

Saat saya minta ijin bicara dengannya, bukannya mengijinkan, ia malah marah besar. Genderuwo, menggunakan tangan dan jari telunjuk Ani, menunjuk muka saya sambil berkata, “Aku tidak takut sama kamu. Aku tidak mau bicara sama kamu. Aku tahu… kamu mau usir aku keluar dari badan Ani. Aku tidak mau keluar. Aku mau tetap tinggal di sini. Kalau aku tidak mau keluar, kamu mau apa?”

Genderuwo ini rupanya sudah siap konfrontasi dengan saya. Ia sama sekali tidak bersedia mendengar apapun yang saya sampaikan. Intinya, ia tidak mau keluar dari tubuh Ani. Ia dan kawan-kawannya masuk ke tubuh Ani karena, menurutnya, tubuh Ani bau harum akibat sering merasa sedih.

Cukup lama saya berusaha melakukan negosiasi, merayu, membujuk, memberi pengertian pada Genderuwo agar ia suka rela keluar dari tubuh Ani. Ia bergeming, tidak mau keluar. Saya menyadari situasi ini tidak baik untuk Ani. Semakin lama Genderuwo ini aktif, energi tubuh Ani akan semakin terkuras dan Ani menjadi semakin lemah. Semakin Ani lemah, semakin kuat Genderuwo menguasai diri Ani.

Setelah semua upaya dilakukan dan tidak berhasil, akhirnya saya memutuskan menggunakan teknik khusus untuk mengatasi situasi seperti ini. Usai saya jalankan teknik ini, pikiran bawah sadar Ani sendiri melakukan pembersihan menyeluruh dan mengeluarkan semua makhluk ini dari tubuhnya. Saya diam, menyaksikan, dan menunggu hampir 10 menit hingga akhirnya PBS menyatakan telah selesai melakukan pembersihan.

Apakah masalah sudah selesai? Belum.

Saya lanjut melakukan hipnoanalisis untuk menemukan akar masalah yang menyebabkan leher Ani sakit. PBS Ani menelusuri garis waktu dan mundur ke masa lalu, ke tiga kejadian berbeda. Pertama, Ani mundur ke usia 5 tahun.

Selanjutnya Ani mundur spontan ke kehidupan lampau, sebagai wanita berusia 70 tahun. Dan yang terakhir, ini adalah akar masalahnya, Ani mundur lagi, spontan, ke kehidupan lampau lainnya, seribu tahun lebih, sebagai wanita muda yang meninggal karena dibunuh suaminya, dibacok dengan parang di leher sebelah kiri. Sebelum dibunuh, Ani sangat ketakutan, tubuhnya gemetar, suaranya juga bergetar.

Penanganan dan penyelesaian kasus seperti ini, meninggal tragis dibunuh di kehidupan lampau, perlu ekstra hati-hati. Saat klien tahu bahwa ini adalah akar masalahnya, kasus ini tidak serta merta selesai dengan sendirinya. Ini baru langkah awal. Dibutuhkan resolusi trauma melalui rekonstruksi kejadian secara terstruktur, menetralisir emosi negatif yang terekam di PBS, pemaknaan ulang, rekonsiliasi dengan pelaku, pembelajaran dan memetik hikmah kejadian. Bila klien hanya tahu kejadiannya tapi tidak diproses, ini sama artinya klien kembali mengalami trauma, dibunuh. Bila ini tidak diproses, saat klien keluar dari kondisi hipnosis, ia telah mengalami mati dibunuh dua kali. Ini sangat berbahaya bagi kondisi mental dan emosi klien.

Setelah tiga kejadian ini diproses tuntas, saya melakukan pengecekan akhir guna memastikan bahwa semuanya telah benar-benar selesai, tidak lagi ada yang tersisa. Tidak terasa, proses terapi ini berlangsung sekitar empat jam.

Apakah benar di dalam tubuh Ani tinggal banyak makhluk? Bagaimana proses makhluk ini sampai bisa masuk ke tubuh Ani? Mengapa Genderuwo ini sangat kuat?

Bagi kami, hipnoterapis AWGI, ini bukan Gederuwo dalam arti sesungguhnya, tapi metafora yang dimunculkan PBS Ani. Gederuwo ini sebenarnya adalah manifestasi dari berbagai emosi negatif intens dalam diri Ani, yang selama ini ditekan, dan mewujud dalam satu EP. Sesuai teori EP yang kami kembangkan, kekuatan EP salah satunya ditentukan oleh intensitas emosi yang ia pegang.

Bagaimana dengan regresi hingga ke kehidupan lampau?

Yang dialami klien saya ini sifatnya spontan, tidak diarahkan. Kami, hipnoterapis AWGI, tidak dalam posisi dan berkepentingan melakukan validasi apakah benar klien mundur ke kehidupan lampau. Kami fokus pada apa yang diungkap oleh PBS klien. Apapun informasi yang terungkap, ini yang kami gunakan sebagai pintu masuk untuk menyelesaikan masalah klien secara tuntas.

Baca Selengkapnya

Mencabut Masalah Perlu Hingga ke Akarnya

20 Oktober 2017

Seorang klien, sebut saja sebagai Bagus, usia 43 tahun, menjumpai saya untuk mengatasi kebiasaan suka marah, bahkan untuk hal-hal sepele. Bila marah, emosi Bagus meledak, ia teriak, mengucapkan kata-kata kasar, membanting barang, dan bahkan bisa memukul diri sendiri.

Di sesi wawancara, Bagus cerita bahwa ia telah berusaha mengatasi masalah ini dengan jumpa psikiater, psikolog, pendoa, konselor namun belum memberikan hasil seperti yang ia harapkan. Ia juga telah mengikuti berbagai pelatihan, ia sebutkan nama pelatihan dan pengajarnya, baca banyak buku pengembangan diri dan buku-buku terapi. Ia juga telah mencoba teknik penyembuhan diri seperti EFT, teknik pelepasan emosi melalui senam atau kejut fisik, hingga hipnoterapi. Ia juga telah mencoba teknik swish pattern, collapsing anchor, mengubah submodalitas, pembersihan aura, cakra, dan masih banyak lagi. Intinya, menurut Bagus, ia telah mencoba hampir semua cara namun tetap belum berhasil mengatasi masalahnya.

Bagus bertanya pada saya mengapa semua cara yang ia telah ia coba belum bisa berhasil mengatasi masalahnya. Saya jawab, saya tidak bisa komentar karena bukan bidang keahlian saya. Yang saya tahu, setiap teknik punya kelebihan dan keterbatasan. Saya hanya bisa memberi jawaban pasti setelah melakukan hipnoanalisis pikiran bawah sadarnya.

Biasanya, bila klien telah mencoba sangat banyak cara untuk mengatasi masalahnya namun belum juga berhasil, ada dua kemungkinan penyebab. Pertama, pendekatan atau teknik terapi yang ia gunakan tidak efektif. Kedua, ia belum siap berubah. Saya secara khusus menyiapkan pikiran bawah sadarnya, bukan pikiran sadar, untuk berubah dengan mengajukan pertanyaan Priming the Subconscious for Change dan melakukan elaborasi mendalam.

Bagus merasa sangat yakin kemarahannya ini berasal dari masa kecilnya, kelas satu SD, saat ia dipukul oleh temannya, padahal ia tidak berbuat salah. Dan ketika kejadian ini diketahui gurunya, bukannya menegur teman yang memukulnya, guru justru memarahi dan menyalahkan Bagus. Ini membuat Bagus marah sekali pada gurunya tapi ia tidak berani mengungkapkan perasaannya.

Saat saya tanya dari mana ia tahu atau yakin akar masalahnya adalah kejadian di kelas satu SD ini, Bagus mengatakan bahwa setiap kali ia marah, yang muncul selalu memori ini. Dan terapi yang telah ia lakukan, selama ini, fokus pada upaya untuk mengatasi kejadian ini. Memang setelah terapi ia merasa lega, nyaman. Namun beberapa hari kemudian, kambuh lagi. Ia bingung dan frustrasi dengan keadaannya.

Setelah merasa cukup mendapat informasi dari sesi wawancara, saya mulai melakukan hipnoterapi pada Bagus. Saya membimbing Bagus untuk masuk ke kondisi hipnosis dalam (profound somnambulism). Ini adalah kedalaman yang menjadi syarat untuk bisa melakukan hipnoanalisis, regresi berbasis afek, revivifikasi, teknik Ego Personality, mengaktifkan trance-logic, dan teknik-teknik intervensi lainnya dengan efektif.

Dengan teknik hipnoanalisis, khususnya regresi, pikiran bawah sadar Bagus mundur menelusuri garis waktu, melewati rangkaian lima kejadian. Pertama, ia mundur ke usia 12 tahun saat ia dikeroyok tiga temannya karena salah paham.

Kemudian, di usia 10 tahun, di kejadian ia dituduh mencuri uang temannya dan dipukul ibunya karena merasa malu, padahal Bagus tidak melakukan hal ini.

Mundur lagi ke usia 7 tahun, saat kelas satu SD, saat ia dipukuli temannya dan setelahnya dimarahi guru. Ini kejadian yang Bagus dewasa ceritakan sering muncul saat ia marah. Dan ternyata ini bukan akar masalah. Kemudian Bagus mundur ke usia 2 tahun saat ia melihat kedua orangtuanya ribut besar.

Bagus sangat ketakutan dan kasihan pada ibunya. Bagus marah pada ayahnya dan merasa tidak berdaya karena tidak bisa membantu dan melindungi ibu.

Terakhir, ia mundur ke masa dalam kandungan, sebagai janin berusia 2 bulan. Di kejadian ini, ibunya merasa sakit hati, marah, dan ribut besar dengan ayah Bagus karena sering pulang malam dan berjudi. Dan yang lebih parah lagi, ayah Bagus mengadu pada ibunya, neneknya Bagus, dan si nenek ini ikut-ikutan memarahi ibunya Bagus. Ibu Bagus merasa tidak bisa menghadapi kedua orang ini akhirnya memendam perasaan marahnya. Dan tanpa ia sadari, kemarahan ini diserap oleh janin dalam kandungannya.

Saat Bagus lahir, tanpa ia sadari, di pikiran bawah sadarnya telah ada emosi marah yang cukup intens, yang berasal dari ibunya. Emosi ini mendapat penguatan lanjutan dari beberapa kejadian hingga akhirnya menjadi masalah, tanpa Bagus pernah tahu apa penyebabnya.

Untuk bisa benar-benar mengatasi masalah ini, saya membantu Bagus menyelesaikan satu demi satu kejadian, dengan cara menuntun dan mengarahkan Bagus mengeluarkan emosinya dengan cara yang aman, terkendali, hingga tuntas, dan melakukan rekonsiliasi dengan pelaku pada kejadian-kejadian ini.

Apakah sudah selesai sampai di sini? Oh, belum. Ini baru separuh jalan.

Untuk memastikan emosi pada lima kejadian ini, terutama pada kejadian paling awal, telah benar-benar tuntas teratasi, Bagus masih perlu melewati satu tahap lagi. Ini adalah tahap pemeriksaan final yang dilakukan pada pikiran bawah sadar untuk memastikan semua emosi negatif ini telah tuntas teratasi dan tidak ada Bagian Diri yang keberatan atas semua perubahan positif yang telah terjadi pada Bagus.

Ini tahap penting karena seringkali masih ada sisa emosi yang tidak lagi klien rasakan, karena telah sangat samar atau halus, dan bila tidak benar-benar bersih, ia bisa menjadi akar yang menumbuhkan kembali masalah serupa.

Usai terapi Bagus merasa sangat lega. Dan dalam sesi wawancara pascaterapi, Bagus menyatakan ia kini mengerti mengapa selama ini masalahnya tidak bisa tuntas teratasi. Ternyata, proses terapi yang ia lakukan selama ini bukan pada akar masalah. Dan ia sama sekali tidak menyangka kalau akar masalahnya berasal dari masa dalam kandungan. Total waktu yang dibutuhkan untuk terapi sekitar 3,5 jam.

Satu minggu kemudian Bagus memberi kabar bahwa ia sekarang sudah sangat nyaman. Ia tidak lagi mudah marah karena hal-hal sepele. Dan kalaupun marah, emosi marah atau kesal yang ia rasakan masih dalam batas yang wajar dan bisa ia kendalikan.

Baca Selengkapnya

Antara Kesaksian, Klaim, dan Evidence-Based

20 Oktober 2017

Di satu temu ilmiah yang saya hadiri, salah satu topik menarik yang dibahas adalah teknik terapi yang marak dipraktikkan oleh para penyembuh di Indonesia. Narasumber, doktor neurosains dan peneliti lulusan salah satu perguruan tinggi terkenal di Jepang, menyampaikan pesan agar kami, para peserta, perlu hati-hati agar tidak asal percaya begitu saja pada satu teknik yang diklaim efektif.

Ini menyegarkan kembali ingatan saya akan diskusi dengan guru hipnoterapi saya, Randal Churchill, kala saya menyelesaikan sertifikasi CCH (Certified Clinical Hypnotherapist) di San Fancisco sekian tahun lalu.

Randal berkali-kali mengingatkan pentingnya terapis bersikap kritis saat mencermati dan memelajari teknik terapi karena apa yang kami lakukan di ruang praktik sangat memengaruhi hidup klien. Randal menyebut teknik yang sebenarnya tidak efektif tapi diklaim atau dipublikasi gencar efektif sebagai teknik Brush Off.

Terkait teknik terapi, saya sering mendapat pertanyaan dari para Sahabat dan juga pembaca buku. Mereka umumnya ingin ikut pelatihan tertentu dan minta pendapat saya apakah teknik A atau B itu benar efektif.

Saya tentu tidak bisa memberi komentar karena tidak tahu atau memelajari teknik terapi yang dimaksud. Dan yang bisa saya berikan adalah petunjuk sebagai acuan untuk menilai kinerja suatu teknik terapi. Dan acuan ini juga saya gunakan untuk menentukan apakah suatu teknik benar efektif sehingga perlu dipelajari, terutama untuk menyeleksi pengajar di Amerika yang akan saya hadiri pelatihannya.

Pertama, ada teknik yang dinyatakan efektif hanya berdasar kesaksian atau testimoni klien. Untuk ini, kita perlu cek dan mencari tahu sudah berapa banyak klien yang berhasil sembuh dengan menggunakan teknik ini, dan apa saja masalah yang berhasil disembuhkan. Semakin banyak kesaksian, semakin beragam masalah yang berhasil disembuhkan dengan teknik ini, kita bisa semakin yakin.

Yang sering terjadi, hanya dengan kesaksian satu atau dua klien, terapis atau pengajar teknik ini langsung melakukan generalisasi bahwa teknik ini efektif untuk mengatasi berbagai masalah. Ini tentu tidak tepat. Satu atau dua kasus tidak serta merta boleh digunakan sebagai alasan melakukan generalisasi.

Ada lagi teknik terapi yang diklaim efektif oleh pengajarnya. Ini juga perlu dicermati dengan hati-hati. Klaim adalah pernyataan sepihak. Dan dasar klaim ini juga perlu ditanyakan dengan jelas.

Yang paling baik adalah teknik terapi yang telah diteliti dengan prosedur penelitian yang sahih dan evidence based, dan terutama telah dipublikasi di jurnal ilmiah. Ini yang paling kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kebiasaan bersikap kritis inilah yang membuat saya sangat hati-hati, selektif, dan tidak mudah percaya pada teknik terapi yang dinyatakan atau diklaim efektif. Dulu waktu belum memahami prinsip ini saya menghabiskan uang cukup banyak membeli berbagai video terapi dari luar negeri, masing-masing dinyatakan sangat efektif oleh si pengajar. Hasilnya? Kecewa berat. Banyak yang sama sekali tidak bisa digunakan.

Bagaimana bila ada teknik yang belum pernah diteliti tapi dinyatakan atau diklaim efektif?

Kembali pada prinsip di atas. Coba cek sudah berapa banyak klien yang berhasil disembuhkan dengan teknik ini. Semakin banyak, semakin baik. Walau teknik ini belum pernah diteliti dan dipublikasi di jurnal ilmiah, bila ia telah banyak menyembuhkan klien dengan beragam masalah maka teknik ini sangat layak untuk dipelajari dan dipraktikkan.

Kita juga perlu hati-hati dengan terapi yang dilakukan di atas panggung atau di depan orang banyak. Seringkali terapi ini berlangsung cepat dan di akhir terapi, terapis akan bertanya pada klien, "Bagaimana, sudah sembuh, kan? Sudah enak, nyaman?" Klien bisa saja menjawab, "Ya... saya sudah lebih nyaman sekarang."

Apakah teknik ini efektif? Belum tentu. Klien bisa menjawab demikian karena sungkan, kasihan, atau tidak ingin membuat malu terapis di depan orang banyak. Bisa juga klien telah benar sembuh.

Satu pertanyaan kunci yang sering orang lupa tanyakan, "Berapa lama perubahan ini bisa bertahan?"

Teknik terapi yang benar-benar efektif adalah yang mampu membuat perubahan positif dalam diri klien, tidak penting perubahan ini dicapai dalam waktu singkat atau perlu beberapa sesi, dan bisa bertahan (sangat) lama, stabil.

Dan tentu akan sangat mencerahkan bila saat suatu teknik terapi diajarkan, teknik ini juga langsung dipraktikkan dan terbukti mampu mengatasi masalah klien.

Inilah esensi terapi sebenarnya. Perubahan terjadi, secara positif, dan bertahan lama untuk kebaikan klien. Bila perubahan ini hanya sifatnya sesaat, tidak stabil, maka teknik ini tidak layak untuk dipelajari dan dipraktikkan.

Pertanyaan kunci untuk menilai suatu teknik efektif adalah dari hasil terapinya, "Does it HOLD?" (apakah hasilnya bertahan lama/stabil)

Demikianlah kenyataannya.....

Baca Selengkapnya

Fobia dan Cara Mengatasinya

11 Oktober 2017

Fobia, menurut American Psychiatric Association, adalah rasa takut irasional dan berlebih terhadap suatu objek atau situasi. Ada sangat banyak fobia. Seiring perkembangan jaman, muncul fobia-fobia baru seperti nomofobia atau ketakutan bila tidak memiliki akses atau kesempatan menggunakan telepon genggam. 

Fobia dikategorikan sebagai gangguan kecemasan karena rasa cemas adalah emosi paling dominan yang dirasakan penderitanya. Rasa cemas biasanya berlanjut menjadi rasa takut, yang bila tidak ditangani dengan benar bisa berubah menjadi serangan panik. Adapun simtom yang berhubungan dengan fobia meliputi antara lain sesak napas, mual, pusing, gemetar, detak jantung meningkat, pandangan menjadi kabur, tubuh menjadi dingin, atau berkeringat.

Penyebab Fobia

Saat bayi lahir, ia hanya punya dua rasa takut: takut suara keras dan takut jatuh. Dengan demikian, takut-takut lainya ia pelajari dari lingkungan dalam proses tumbuh kembangnya, termasuk fobia.

Setiap fobia pasti memiliki kejadian paling awal yang membuat anak menjadi sensitif terhadap sesuatu. Kejadian paling awal ini disebut ISE atau initial sensitizing event. Selanjutnya anak akan mengalami satu atau beberapa kejadian lanjutan yang disebut dengan SSE atau subsequent sensitizing event hingga akhirnya muncul simtom berupa rasa takut berlebih. Walau jarang terjadi, ISE bisa langsung menyebabkan terjadinya fobia dalam diri seseorang.

Dari pengalaman klinis dan temuan di ruang praktik, seringkali ISE adalah kejadian sepele. Saya pernah membantu seorang klien fobia kecoak. Saat dilakukan hipnoanalisis untuk mencari akar masalah, ditemukan kejadian paling awal yaitu saat ia berusia lima tahun, sedang mandi dan tiba-tiba ada seekor kecoak muncul, entah dari mana, dan membuatnya kaget. Usai kejadian ini ia belum takut kecoak. Klien mengalami beberapa kejadian lanjutan, yang berhubungan dengan kecoak, antara lain ia melihat ibunya panik dan berteriak saat ada kecoak, hingga akhirnya rasa takut ini menjadi sangat kuat dan menetap dalam dirinya, menjadi fobia.

Ada lagi klien, seorang pria, takut tikus. Kejadian paling awal adalah saat berusia tujuh tahun, malam hari, ia berjalan di kebun dan tidak sengaja menginjak tikus. Tikusnya menjerit kesakitan, klien kaget karena merasa ada yang kenyal di telapak kakinya. Sejak saat itu ia fobia tikus.

Ada juga anak yang belajar menjadi fobia dari orang tua, terutama ibunya. Saat anak berulang kali melihat perilaku ibunya yang merasa takut berlebih pada sesuatu, ia belajar dan menyerap perilaku ibu ke dalam dirinya. Dengan pengulangan, akhirnya fobia ibu juga tercipta dalam diri si anak. Rasa takut berlebih bisa terhadap serangga, binatang, orang, benda, situasi, atau apa saja.

Cara Kerja Fobia

Prinsip kerja fobia sebenarnya sederhana. Fobia adalah program pikiran yang tercipta melalui suatu proses. Ia selalu menautkan dan terdiri dari dua hal, pemicu dan emosi. Bila, misalnya, seseorang fobia jarum suntik, maka jarum suntik adalah pemicu yang akan mengaktifkan emosi tertentu, misalnya cemas, takut, atau ngeri. Pemicu ini bisa berupa sesuatu yang nyata, klien melihat langsung jarum suntik, atau hanya dalam imajinasi, gambar, atau mendengar cerita tentang jarum suntik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber masalah terletak bukan pada objek atau situasi, sebagai pemicu, tapi lebih pada emosi yang terpicu. Bila variabel emosi dapat dihilangkan maka tidak ada lagi yang bisa dipicu, klien sembuh. Pemicu ini bisa berupa gambar, suara, rasa, bau, sensasi fisik, atau perasaan yang terhubung dengan rasa takut atau cemas intens.

Mengatasi Fobia

Ada banyak cara mengatasi fobia. Dari semua cara ini, bila ditelisik lebih mendalam, sejatinya hanya terbagi menjadi dua kategori: memroses akar masalah dan tanpa memroses akar masalah.

Bila fobia diatasi dengan cara pertama, memroses akar masalah, maka terapis akan melakukan hipnoanalisis guna mencari dan menemukan kejadian paling awal penyebab fobia.

Saya pernah membantu klien fobia ular. Ternyata akar masalahnya sangat sederhana. Klien, saat berusia 5 tahun, sedang jalan di kebun, dan tiba-tiba jumpa bangkai ular. Klien kaget luar biasa. Saya memroses kejadian ini dan setelahnya klien langsung sembuh dari fobianya.

Ada banyak varian teknik mengatasi fobia tanpa memroses akar masalah atau sering disebut content free. Yang paling umum adalah desensitisasi. Bila fobia tercipta karena proses sensitisasi maka desentisasi membalik proses ini sehingga, diharapkan, fobia bisa hilang.

Dalam proses desensitisasi, klien dipertemukan dengan objek yang membuatnya takut, misal ulat. Ulat ini diletakkan agak jauh dari klien. Klien tentu merasa tidak nyaman. Namun, setelah beberapa saat, rasa tidak nyaman ini akan berkurang dan terus berkurang hingga ke level yang bisa ditolerir atau dikendalikan. Setelahnya, ulat ini semakin didekatkan pada klien. Proses ini terus diulangi dengan semakin mendekatkan objek pada klien hingga akhirnya objek berada di depan klien namun klien tidak lagi merasa takut.

Cara lain adalah flooding. Bila desensitisasi berusaha menghilangkan rasa takut secara gradual, flooding adalah kebalikannya. Klien langsung dihadapkan pada objek yang ia takuti. Bila fobia ulat, klien akan dihadapkan dengan banyak ulat. Bila fobia ketinggian, klien akan langsung dibawa ke tempat tinggi. Logika di balik teknik ini adalah saat klien dihadapkan pada objek fobia, emosi yang muncul dalam dirinya akan sangat intens. Namun emosi ini tidak bisa terus meningkat atau bertahan selamanya, karena sampai pada satu titik, energi yang dibutuhkan sebagai bahan bakar emosi akan habis. Dan pada saat inilah intensitas emosi mulai menurun hingga akhirnya dapat dikendalikan.

Fobia juga bisa diatasi dengan sugesti, baik melalui proses swahipnosis atau heterohipnosis. Ada beberapa variabel yang perlu diperhatikan agar sugesti bisa bekerja maksimal mengatasi fobia. Pertama, skrip sugesti disusun menggunakan struktur yang benar agar dapat memberi pengaruh maksimal ke pikiran bawah sadar klien. Ada empat belas aturan yang perlu diindahkan saat menyusun skrip sugesti. Kedua, kedalaman hipnosis yang dicapai klien harus sesuai untuk kebutuhan teknik ini, minimal profound somnambulism, lebih dalam lebih baik. Ketiga, cara terapis menyampaikan sugesti pada klien. Keempat, intensitas emosi karena fobia, dan tingkat resistensi dalam diri klien terhadap sugesti.

Terapi kognitif dan perilaku (CBT) juga masuk kategori ini. Demikian pula EFT (Emotional Freedom Technique) dan beberapa teknik terapi berbasis NLP seperti mengubah strategi, mengubah submodalitas, swish pattern, collapsing anchor, dan fast phobica cure.

Fobia akan sangat mudah diatasi bila bersifat lapis tunggal, bukan lapis banyak. Yang dimaksud lapis tunggal adalah bila rasa takut pada objek atau situasi tertentu bukan berupa terusan dari objek atau situasi lain. Bila fobia bersifat lapis banyak maka harus dilakukan penelusuran di pikiran bawah sadar untuk menemukan akar masalah agar bisa tuntas. 

Baca Selengkapnya

Saya Tidak Bisa Dihipnosis, Kata Siapa?

19 September 2017

“Pak Adi, saya ini sudah ke tujuh hipnoterapis. Tidak ada satupun yang bisa hipnotis saya. Semua hipnoterapis bilang saya tipe orang yang tidak bisa dihipnotis,” demikian kalimat pembuka yang diucapkan seorang klien saat duduk di ruang praktik saya, sambil menunjukkan wajah agak frustrasi.

“Pertama, saya mau luruskan penggunaan istilah. Yang benar adalah “dihipnosis”, bukan “dihipnotis”. Hipnosis adalah ilmu, sedangkan hipnotis adalah orang yang melakukan hipnosis. Hipnoterapis adalah orang yang melakukan terapi dengan bantuan atau dalam kondisi hipnosis,” jelas saya pada klien.

Cukup sering saya jumpa klien yang telah “shopping” ke beberapa terapis dan dikatakan tidak bisa dihipnosis. Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan rekan sejawat, hipnoterapis AWGI, mereka juga kerap jumpa klien yang oleh hipnoterapis lain dinyatakan tidak bisa dihipnosis. Apakah benar ada orang tidak bisa dihipnosis?

Untuk mengenali individu yang bisa mendapat manfaat maksimal dari hipnosis, dan untuk menyelidiki karakteristik kondisi hipnosis, selama lebih dari lima puluh tahun, para pakar dan peneliti telah mengembangkan sejumlah skala untuk mengukur dan menentukan responsiveness atau kesigapan (kecepatan dalam merespon) hipnotik. Namun, manfaat skala-skala ini, dalam konteks klinis, masih terus menjadi perdebatan hingga saat ini, khususnya aplikasi klinis dari hipnosis (hipnoterapi).

Pengukuran kesigapan hipnotik yang dinyatakan dalam skala-skala ini, dibuat terutama berdasar pada sejumlah perilaku konsisten yang muncul dalam kondisi hipnosis, seperti katalepsi, mata tertutup, amnesia, dan respon pascahipnosis. Tes yang diberikan pada individu juga terus mengalami revisi oleh pencipta skala ini, dan tes-tes ini masih terus dikembangkan. Skala-skala yang paling umum digunakan para peneliti dan klinisi, secara singkat, adalah sebagai berikut:

Stanford Hypnotic Susceptibility Scale (SHSS), Forms A, B, and C (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1959, 1962). Formulir A telah menjadi standar bagi skala-skala respon hipnotik lainnya. Formulir A dan B, berisi 12 tes, terutama menguji respon fungsi motorik. Formulir C mencakup lebih banyak tes guna mengukur fantasi dan distorsi kognisi.

Harvard Group Scale of Hypnotic Susceptibility, Form A (Shor dan Orne, 1962). Skala ini adalah adaptasi dari SHSS, Formulir A, dan digunakan untuk group.

Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility (SPS), Forms I and II (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1963). Penggunaan skala ini butuh waktu lebih lama daripada SHS, namun skala-skala ini lebih baik dalam mengenali individu dengan suseptibilitas tinggi. SPS juga menyediakan informasi diagnostik lebih banyak bagi peneliti yang ingin memilih individu dengan suseptibilitas moderat hingga tinggi dengan talenta hipnotik spesifik.

Stanford Hypnotic Clinical Scales for Adults (Hilgard dan Hilgard, 1975) dan Stanford Hypnotic Clinical Scale for Children (Morgan dan Hilgard, 1979). Skala-skala ini telah distandarisasi mengikuti SHSS dan dipersingkat untuk penggunaan klinis. Skala dewasa berisi lima item dan butuh waktu dua puluh menit pelaksanaan. Skala anak digunakan untuk anak usia enam hingga enam belas tahun.

Children’s Hypnotic Susceptibility Scale (London, 1963). Skala ini mengukur respon anak terhadap sugesti hipnotik. Ada juga formulir, untuk anak usia 5 – 12 tahun, dan 13-16 tahun. Skala ini terdiri atas 22 item dan butuh waktu sekitar satu jam untuk pelaksanaannya.

Barber Suggestibility Scale (Barber dan Glass, 1962). Skala ini digunakan, terutama, untuk tujuan eksperimen, meliputi delapan uji sugesti terstandarisasi dan butuh 10-12 menit pelaksanaan.

Creative Imagination Scale (Wilson dan Barber, 1978). Skala ini dirancang untuk memehuni kebutuhan akan uji sugesti permisif terstandarisasi untuk keperluan eksperimen dan klinis. Ia dapat diberikan kepada perorangan atau kelompok, dengan atau tanpa didahului induksi hipnotik, dan butuh waktu pelaksanaan sekitar 23 menit.

Hypnotic Induction Profile (HI) (Spiegel, 1973). HIP adalah skala pertama yang dirancang secara khusus untuk tujuan klinis. Ia berfungsi baik sebagai induksi maupun uji sugestibilitas yang dapat dilaksanakan hanya dalam waktu 5-10 menit.

Alman-Wexler Indirect Hypnotic Susceptibility Scale (Wexler, 1982). Tes ini berdasar pada Harvard Group Scale, namun tidak seperti skala-skala Harvard yang menggunakan bahasa langsung (direct), skala Alman-Wexler menggunakan bahasa tidak langsung (indirect).

Beberapa peneliti berusaha mencari korelasi antara kesigapan hipnotik dan variabel usia, jenis kelamin, dan kepribadian. Ternyata, tidak terdapat perbedaan signifikan antara pria dan wanita dalam hal kesigapan hipnotik (Weitzenhoffer dan Weitzenhoffer, 1958). London dan Cooper (1969) menemukan anak-anak lebih responsif dibandingkan orang dewasa. Sementara studi yang dilakukan Hilgard dan Morgan (1973) pada 1.232 subjek menemukan kesigapan hipnotik mencapai puncak pada usia antara 9 – 12 tahun dan menurun secara gradual setelahnya. Studi yang dilakukan di laboratorum menunjukkan korelasi positif antara kesigapan hipnotik dan kemampuan menghilangkan persepsi sakit melalui hipnosis (Evans dan Paul, 1970; Hilgard dan Hilgard, 1975). Peneliti lain menemukan korelasi positif antara kesigapan hipnotik dan keberhasilan terapi (Frankel, dkk., 1979; Mott, 1979).

Skala suseptibilitas hipnotik, dengan demikian, dipandang sebagai prediktor keberhasilan dalam seting klinis. Namun, banyak klinisi mempertanyakan asumsi ini. Salah satu poin penting yang masih menjadi perdebatan yaitu konsep hipnotisabilitas, mudah atau sulit seseorang masuk kondisi hipnosis, adalah sifat bawaan sejak lahir, bervariasi antara satu orang dengan yang lain, namun sifatnya konstan dalam diri seseorang (Morgan, Johnson, dan Hilgard, 1974). Implikasi serius dari konsep ini yaitu bila klien “tidak bisa dihipnosis” maka dengan sendirinya hipnosis tidak boleh digunakan untuk menerapi klien ini.

Walaupun benar bahwa individu dengan skor tinggi pada skala terstandarisasi adalah kandidat baik untuk penanganan menggunakan hipnosis, orang-orang yang mendapat skor rendah tidak seharusnya diabaikan. Beberapa pakar memandang hipnosis sebagai keterampilan (skill), bukan sifat bawaan (trait). Dari penelitian diketahui bahwa banyak metode bisa diterapkan untuk memodifikasi keterampilan ini, seperti meniru, instruksi, dan berlatih (Kinney dan Sachs, 1974; Diamond, 1977; Reilley, Perisher, Corona, dan Dobrovolsky, 1980). Gardner dan Olness (1981, p.25) menyatakan bahwa kemampuan seseorang mengalami hipnosis kini lebih tepat disebut sebagai “kemampuan merespon”, bukan “suseptibilitas”. Ini berimplikasi pada pemahaman bahwa sejatinya untuk mengalami kondisi hipnosis, kendali sepenuhnya ada dalam diri klien, bukan terapis. Bila kemampuan merespon dapat ditingkatkan, dan dari pengalaman kami, hipnoterapis AWGI, sangat bisa dan mudah dilakukan, maka tidak ada klien yang boleh disebut sebagai “tidak bisa dihipnosis” karena semua orang sebenarnya bisa masuk kondisi hipnosis, asalkan ia menginginkan dan mengijinkan.

Dalam seting eksperimen, penggunaan pengukuran respon hipnotik terstandar memberi informasi berharga perihal karakteristik hipnosis dan mengidentifikasi subjek yang paling responsif. Namun, satu hal yang sangat perlu diperhatikan, skor rendah pada skala hipnotisalibiltas tidak serta merta berarti hipnosis tidak efektif sebagai modalitas terapi.

Respon hipnotik juga sangat dipengaruhi oleh motivasi. Perry, Gelfand, dan Marcovith (1979) menemukan motivasi pasien adalah faktor paling penting yang menentukan keberhasilan intervensi menggunakan hipnosis untuk mengurangi kebiasaan merokok. Faktor motivasi klien untuk sembuh dari suatu masalah, situasi, atau kondisi yang mengganggu hidupnya tidak bisa muncul dengan kuat dalam eksperimen yang dilakukan di laboratorium universitas yang menggunakan mahasiswa sebagai subjek penelitian. Sudah tentu ini sangat memengaruhi skor yang dicapai saat menjalani tes terstandarisasi. Dan seperti yang dinyatakan oleh Crasilneck dan Hall (1975), “The only final reliable test of hypnotizability is a clinical attempt at induction, repeated several times (Satu-satunya tes akhir hipnotisabilitas yang dapat diandalkan adalah upaya induksi klinis yang dilakukan beberapa kali.)”

Tapi, mengapa hingga kini masih ada hipnoterapis suka melabel klien mereka “tidak bisa dihipnosis”?

Ada beberapa kemungkinan penyebab klien “tidak bisa dihipnosis”. Pertama, bila terapis berpegang pada hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium, seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa individu terbagi menjadi mudah, moderat, sulit, sangat sulit atau tidak bisa dihipnosis, maka pemahaman ini dengan sendirinya mewujud dalam praktik yang ia lakukan. Saat ia mengalami kendala menuntun kliennya masuk kondisi hipnosis, alih-alih mencari tahu mengapa ini terjadi atau menyesuaikan teknik induksi mengikuti karakter klien, terapis dengan cepat menyimpulkan bahwa kliennya masuk kategori tidak bisa dihipnosis. Dengan demikian, upaya induksi tidak perlu dilanjutkan. Kedua, terapis tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk melakukan hipnosis. Ini berkaitan erat dengan pendidikan hipnoterapi yang pernah ia jalani, dan akumulasi pengalaman yang telah ia kumpulkan melalui praktik hipnoterapi berkelanjutan. Ketiga, teknik induksi yang terapis gunakan tidak tepat. Keempat, dan ini adalah alasan paling utama klien tidak bisa masuk kondisi hipnosis, adalah klien tidak percaya, tidak nyaman dengan terapis, dan ada rasa takut, baik pada terapis atau pada proses hipnosis/hipnoterapi yang akan ia jalani. 

Baca Selengkapnya

Hipnosis dan Fenomenanya

3 September 2017

Hipnosis berkembang pesat di Indonesia sejak tahun 2004. Seiring perjalanan waktu, pemahaman awam tentang hipnosis saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan waktu dulu. Melalui edukasi konsisten yang dilakukan para pengajar hipnosis dan hipnoterapi, baik melalui pelatihan maupun berbagai publikasi di media sosial, kini banyak warga masyarakat telah memiliki pemahaman benar tentang hipnosis. Walau demikian, dalam beberapa kali perjumpaan dengan klien di ruang praktik dan juga saat seminar publik, masih juga ada mispersepsi tentang hipnosis.

Memahami hipnosis diawali dengan definisi yang benar. Saat berselancar di dunia maya, saya menemukan hal menarik terkait definisi hipnosis. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online atau daring (https://kbbi.web.id) mendefinisikan hipnosis sebagai keadaan seperti tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.

Kesalahan terkandung dalam definisi ini sangat mengganggu. Pertama, hipnosis adalah keadaan seperti tidur. Yang benar, hipnosis bukan tidur. Dalam kondisi hipnosis subjek tetap sadar sepenuhnya. Kedua, orang yang dihipnosis berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugesti. Yang benar, operator tidak bisa mengendalikan pikiran subjek. Ketiga, sujek menjadi tidak sadar sama sekali. Yang benar, dalam kondisi hipnosis, sedalam apapun, subjek tetap sadar.

Hal kurang tepat lainnya adalah penggunaan istilah “hipnotis”. Banyak yang menyamakan “hipnosis” dan “hipnotis”. Ini tampak dalam kalimat “Terapis menghipnotis klien” atau “Saya tidak takut dihipnotis.” Hipnosis adalah ilmunya. Sementara hipnotis adalah orang yang mempraktikkan atau melakukan hipnosis. Hipnoterapis adalah orang yang melakukan terapi di dalam atau dengan bantuan kondisi hipnosis. Ini sama seperti penggunaan kata “piano” dan “pianis”. Piano adalah alat musiknya, sementara pianis adalah orang yang memainkan piano. Dengan demikian, kalimat yang benar adalah “Terapis menghipnosis klien” atau “Saya tidak takut dihipnosis.”

Pemahaman lama, yang masih dipegang terapis tradisional, hipnosis adalah kondisi yang diciptakan atau dilakukan terapis pada klien. Dengan demikian, orang yang dihipnosis adalah objek, bukan subjek. Yang benar, terapis tidak bisa melakukan tanpa ijin klien. Semua hipnosis pada dasarnya adalah swahipnosis (self-hypnosis). Artinya, kemampuan untuk masuk dan keluar kondisi hipnosis adalah kemampuan bawaan (innate), ada dalam diri individu, tanpa perlu dipelajari secara khusus. Hipnoterapis modern paham benar bahwa setiap orang pasti bisa masuk kondisi hipnosis. Tugas terapis adalah menuntun klien, atas persetujuannya secara sadar, mengakses dan menggunakan kemampuan bawaan yang klien miliki, beralih dari kondisi sadar normal dan masuk ke kondisi kesadaran khusus, yang disebut kondisi hipnosis, atau dikenal dengan Altered State of Consciusness (ASC).

Pemahaman salah lainnya, hipnosis mampu menyembuhkan masalah klien. Dalam konteks klinis, hipnosis per se, tidak terapeutik. Kroger (1977) dengan tegas menyatakan pasien tidak diobati dengan hipnosis, tetapi dalam hipnosis. Hipnosis hanya satu kondisi kesadaran. Dalam kondisi inilah dilakukan “kerja” untuk membantu klien mengatasi masalahnya. Ini sama seperti pasien yang akan menjalani operasi. Sebelum dokter melakukan pembedahan, pasien perlu dibius terlebih dahulu. Bius, sendiri, tidak menyembuhkan pasien. Apa yang dokter lakukan atau kerjakan saat pasien dalam kondisi terbius inilah yang menyembuhkan pasien.

Suatu kondisi dapat dinyatakan sebagai hipnosis, menurut Hilgard (1992), bila terdapat tujuh ciri berikut: berkurangnya fungsi perencanaan, atensi dan inatensi menjadi selektif, produksi fantasi dan memori visual masa lalu meningkat, terdapat toleransi pada distorsi realitas dan berkurangnya pengecekan realita, terjadi peningkatan sugestibilitas, terjadi penerimaan atas alih peran, dan terdapat, paling tidak sedikit, amnesia atas atau yang terjadi selama dalam kondisi hipnosis.

Kondisi hipnosis bersifat tidak statis, tunggal, melainkan dinamis, mulai dari hipnosis sangat dangkal, dangkal, menengah, dalam, hingga sangat dalam. Hipnosis, bila digabungkan dengan psikoterapi, dapat membantu klien memahami penyebab simtom, dan mengurangi atau menghilangkan simtom ini. Dalam kondisi hipnosis, dengan bimbingan terapis, klien dapat dilatih untuk mengalami kembali pengalaman traumatik, memodifikasi gambaran mental yang mengganggu, memulai pola atau pertahanan diri baru yang lebih sehat dan fungsional (Pratt, Wood, dan Alman, 1988).

Hipnoterapis modern memahami hipnosis sebagai proses belajar di satu level baru, bukan sekedar kepatuhan pada sugesti yang dirumuskan oleh terapis. Pembelajaran yang terjadi di pikiran bawah sadar, tentunya difasilitasi oleh terapis, inilah yang memberdayakan klien mengatasi masalahnya. Tanggung jawab terhadap proses dan hasil terapi ada pada klien dan terapis. Terapi adalah upaya bersama dari dua individu, klien dan terapis, satu yang sadar ada masalah, ingin masalahnya diatasi, bersedia bekerjasama penuh, dan satu lagi memiliki kecakapan untuk membantu mengatasi masalah. Keduanya bekerjasama secara harmonis sebagai tim untuk mencapai tujuan yang sama, seperti sopir dan navigator. Klien adalah sopir dan terapis adalah navigator.

Pemahaman tentang kerja hipnoterapi bisa didapatkan dari dua jalur: eksperimen yang dilakukan di laboratorium dan ruang praktik. Celah di antara keduanya tampak semakin melebar dalam pengertian konsep yang bermanfaat untuk satu, tidak selalu bisa diterapkan di satunya. Contohnya, dari hasil eksperimen di laboratorium, subjek terbagi menjadi tiga kategori: sangat mudah, moderat, sulit dihipnosis. Sementara dalam konteks praktik klinis, siapa saja yang butuh mengatasi masalah pasti bisa dengan mudah masuk kondisi hipnosis.

Berdasar pengalaman klinis, saya menemukan bahwa klien masuk ke kedalaman hipnosis, sedalam yang ia butuhkan untuk mengatasi masalahnya, dan bertahan sedangkal mungkin untuk melindungi dirinya dari hal-hal yang ia rasa atau yakini merugikan dirinya.

Dalam konteks klinis, masing-masing terapis juga memiliki acuannya sendiri untuk mengukur kedalaman hipnosis yang dicapai kliennya. Ada yang menggunakan fenomena fisik, sementara lainnya lebih mengutamakan fenomena mental.

Fenomena Hipnotik

Orang yang pernah mengalami kondisi hipnosis biasanya mengalami dan mengenali fenomema sangat berbeda dengan yang mereka alami dalam kondisi sadar normal, namun sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata. Beberapa perilaku terjadi dalam kondisi hipnosis, walau tidak selalu. Beberapa fenomena rutin terjadi di hipnosis dangkal, dan beberapa sering terjadi di hipnosis menengah dan dalam. Berikut ini adalah beberapa fenomena yang terjadi dalam kondisi hipnosis:

Inhibisi Berhenti (Hipnosis dangkal hingga menengah). Inhibisi, yang dalam kondisi sadar normal ada dan bekerja dalam diri individu, dalam kondisi hipnosis memudar sehingga memungkinkan ekspresi emosi, pikiran, dan pendapat mengenai suatu perilaku menjadi lebih mudah.

Perubahan dalam kapasitas aktivitas sadar (Hipnosis dangkal hingga dalam). Dalam kondisi hipnosis, orang menjadi enggan memulai tindakan yang biasanya dengan mudha mereka lakukan. Contohnya, saat telepon berbunyi, biasanya orang akan langsung berdiri dan menjawab telpon ini. Dalam kondisi hipnosis, orang yang sama, mendengar telpon berdering namun kurang berminat atau enggan menjawabnya karena perhatiannya sedang terfokus ke hal lain.

Sugestibilitas (Hipnosis dangkal hingga dalam). Kemampuan berespon positif pada ide-ide, baik diberikan oleh diri sendiri atau orang lain meningkat. Sugestibilitas adalah sine qua non hipnosis. Meningkatnya penerimaan sugesti berhubungan dengan menurunnya aktivitas ego kritis dan meningkatnya aktivitas ego pengamat, membuat pikiran bawah sadar lebih mudah diakses.

Keterpisahan (Hipnosis dangkal hingga dalam). Fenomena ini adalah proses di mana persepsi akan posisi tubuh dalam ruang dan waktu mengalami perubahan. Orang bisa melihat dirinya sendiri dari satu tempat. Fenomena keterpisahan ini dapat digunakan untuk manajemen rasa sakit.

Disosiasi (Hipnosis menengah hingga dalam). Kemampuan melihat diri sendiri dari jarak aman dan menyenangkan, yang sebenarnya terutama adalah fenomena kognitif, secara teoritis memungkinkan proses disosiasi emosi terjadi. Dalam kondisi hipnosis, seseorang dapat mengalami kembali pengalaman negatif, dengan cara disosiasi, dan tidak merasakan emosi negatif atau rasa sakit.

Katalepsi (Hipnosis menengah hingga dalam). Katalepsi adalah satu bentuk kekakuan otot yang membuat tungkai dapat bertahan pada satu posisi tertentu dalam waktu lama.

Regresi usia (Hipnosis menengah hingga dalam). Mengalami kembali pengalaman masa lalu dapat terjadi dalam dua bentuk: revivifikasi komplit dan parsial. Tiap bentuk revivifikasi memiliki cara kerja dan manfaatnya sendiri.

Amnesia (Hipnosis menengah hingga dalam). Amnesia spontan bisa terjadi secara alamiah dalam kondisi hipnosis menengah hingga dalam.

Aktivitas Ideomotor (Hipnosis menengah hingga dalam). Aktivitas gerakan otot dan sistem saraf, di luar kendali pikiran sadar, sebagai respon terhadap bentuk pikiran dan emosi, digunakan terapis untuk bekomunikasi dengan pikiran bawah sadar.

Halusinasi, positif dan negatif (Hipnosis menengah hingga dalam). Halusinasi meliputi kelima indra. Halusinasi positif artinya sesuatu yang riil ada namun dipersepsikan menjadi tidak ada. Sementara halusinasi negatif artinya sesuatu yang riil tidak ada dipersepsikan menjadi ada.

Hipermnesia (Hipnosis menengah hingga dalam). Hipermnesia adalah peningkatan daya ingat secara signifikan sehingga mampu mengingat hal-hal yang tidak dapat diingat dalam kondisi sadar normal.

Distorsi waktu (Hipnosis menengah hingga dalam). Dalam kondisi hipnosis, waktu dapat berjalan sangat lambat atau sangat cepat, dan batas antara masa lalu, sekarang, dan masa depan menjadi kabur.

Fenomena-femonena ini tidak eksklusif terjadi dalam kondisi hipnosis. Banyak juga yang terjadi di kondisi kesadaran lainnya, misal amensia. Amnesia bisa terjadi saat kita jumpa seseorang yang kita kenal dan mengalami kesulitan mengingat namanya. Demikian pula dengan halusinasi positif. Fatamorgana adalah satu bentuk halusinasi positif yang terjadi di gurun pasir.  

Baca Selengkapnya

Hati-Hati dengan Sesat Pikir

20 Agustus 2017

Beberapa waktu lalu saya jumpa klien yang ingin dibantu mengatasi masalah emosi. Klien ini, sebut saja sebagai Budi, usia 37 tahun, marah pada sahabatnya, Arto. Budi telah dua tahun lebih memendam perasaan marah, kecewa, sakit hati, dendam, dan merasa dikhianati oleh Arto.  

Sesuai protokol terapi, saya mulai dengan memelajari intake form yang telah Budi isi dan lanjut dengan wawancara mendalam. Saya perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi, secara lebih detil, sehingga Budi marah besar pada Arto. Informasi ini dibutuhkan sebagai landasan penting dalam proses menentukan strategi yang akan saya gunakan untuk melakukan terapi di kedalaman kondisi hipnosis.

Ternyata, Budi marah karena secara tidak sengaja membaca status yang diunggah Arto di media sosial. Menurut Budi, Arto ini sengaja menulis status di media sosial dengan tujuan menyindir dan mempermalukan dirinya.

Saya tanya Budi apakah di status itu secara eksplisit ada menyebut namanya, Budi menjawab tidak. Tapi Budi yakin dan menyimpulkan bahwa yang dimaksud Arto adalah dirinya. Saya tanya lagi mengapa ia tidak melakukan tabayun atau klarifikasi dengan bertanya langsung pada Arto untuk meluruskan hal ini, Budi menjawab tidak perlu. Budi yakin sekali bahwa Arto memang bertujuan negatif pada dirinya. Dengan terus memelihara emosi-emosi negatif dalam dirinya, di beberapa kesempatan jumpa sahabat lainnya dan juga di media sosial, Budi menjelekkan Arto.

Pembaca, saya tidak akan masuk ke hal-hal teknis terkait terapi yang saya lakukan pada Budi. Dalam artikel ini saya fokus mengulas apa yang sebenarnya terjadi di pikiran Budi agar Anda tidak mengalami atau terjebak oleh sesat pikir yang Budi alami.

Dari Mana Munculnya Emosi?

Setiap kejadian, apapun itu, sejatinya netral, tidak baik dan tidak pula buruk. Kejadian ini menjadi “sesuatu” karena kita tidak melihatnya apa adanya, tapi apa kitanya. Begitu kita mengalami suatu kejadian, dengan sangat cepat kita memberi makna pada kejadian ini. Makna yang diberikan, hampir selalu terjadi secara spontan, bisa positif, netral, atau negatif. Makna selanjutnya memproduksi emosi. Mengikuti makna, muncul emosi positif, netral, atau negatif, yang selanjutnya mendorong respon perilaku. Emosi yang tercipta memiliki bobot atau intensitas yang menjadi sumber kekuatannya. Semakin tinggi intensitasnya, semakin kuat ia mengendalikan respon perilaku individu. Emosi adalah pendorong perilaku. Dengan demikian, bisa muncul tiga respon, positif, netral, atau negatif. Dari uraian di atas, dipahami bahwa setelah suatu kejadian diberi makna, muncul emosi yang memberi warna padanya.

Pengalaman hidup ini selanjutnya disimpan dalam bentuk memori di pikiran bawah sadar, tentu disertai emosi yang lekat padanya. Dan setiap kali Budi jumpa Arto atau mengingat “perbuatan tercela” Arto, yang terjadi adalah Budi secara sengaja memilih satu memori di pikiran bawah sadar dan “mengangkat” memori ini ke pikiran sadar sehingga menjadi aktif kembali.  

Saat memori ini aktif, emosi yang lekat padanya juga menjadi aktif. Bila ini sering diulang, dan inilah yang dilakukan oleh Budi, ia mengalami “dipermalukan” berulang yang “dilakukan” Arto. Kejadian riil hanya terjadi sekali. Namun kejadian yang sama terus berulang di pikiran Budi. Setiap kali memori ini aktif, emosi juga aktif, dan semakin lama menjadi semakin kuat. Budi semakin benci Arto.

Mengingat kembali kejadian bermuatan emosi negatif, dalam konteks hipnoterapi klinis, kami sebut sebagai pseudo-SSE. Pseudo-SSE terjadi karena salah satu atau gabungan dari hal berikut ini:

1. Individu secara sengaja dan berkala terus mengingat kejadian bermuatan emosi     (kejadian traumatik).

2. Individu secara sengaja dan berkala menceritakan kejadian bermuatan emosi (kejadian traumatik).

3. Individu secara sengaja atau tidak, terpicu memori traumatiknya. Ini bisa dengan kembali ke tempat yang mirip atau sama dengan tempat kejadian pengalaman traumatik, atau kembali jumpa pelaku.

4. Kilas balik ingatan (flashback) yang dilakukan pikiran bawah sadar sebagai bentuk komunikasi ke pikiran sadar. 

Semakin Budi mengingat-ingat kembali perbuatan Arto, semakin besar api emosi dalam dirinya, semakin ia benci sahabatnya. Dan respon perilaku Budi terhadap Arto tentu mengikuti emosi ini. 

Dari Mana Sumber Pemaknaan?

Manusia adalah makhluk kebiasaan dan tidak mau repot. Pemaknaan spontan, dilakukan pikiran bawah sadar menggunakan data yang ada di dalam memori. Data ini berasal dari akumulasi pengalaman hidup sejak lahir hingga masa kini.

Lebih jelasnya begini. Saat anak lahir, ia bisa dibilang tidak punya data di memori pikiran bawah sadarnya. Orang tua dan lingkungan, melalui interaksi dengan anak, memberi input data secara berkelanjutan. Data ini digunakan anak sebagai acuan guna menerjemahkan beragam kejadian yang ia alami, mana yang baik, mana yang buruk. Contohnya, wajah tersenyum umumnya mengadung makna ramah, senang. Wajah merengut artinya tidak senang atau marah.

Begitu data ini masuk ke pikiran bawah sadar, ia digunakan sebagai acuan untuk memberi makna pada kejadian yang mirip atau serupa di masa depan. Inilah yang dimaksud dengan kebiasaan dan tidak mau repot. Jadi, bila suatu saat nanti kita jumpa orang tersenyum maka secara otomatis kita memberi makna orang ini ramah, senang.

Sebenarnya kita tidak secara sadar memberi makna pada satu kejadian. Kita hanya menggunakan referensi yang tersimpan di pikiran bawah sadar dan melakukan “copy-paste” makna pada kejadian sebelumnya yang sama atau mirip dengan kejadian yang kita alami saat ini.

Yang menjadi masalah utama, referensi yang digunakan sebagai acuan untuk memberi makna ternyata salah atau tidak valid. Dan ini tidak kita sadari karena sudah menjadi ranah pikiran bawah sadar, kecuali secara sadar kita melakukan penelaahan secara cermat dan hati-hati pada proses pemaknaan. Jarang ada orang yang mau repot melakukan hal ini. Faktor lain, saat emosi sudah aktif, ia mencengkeram, membelenggu, dan melumpuhkan nalar.

Solusi

Sebenarnya, untuk menyelesaikan masalah Budi ini sangatlah mudah. Tidak butuh bantuan hipnoterapis atau konselor. Budi hanya perlu menghubungi Arto, bertanya dengan pikiran dan hati tenang, terbuka. Berdasar jawaban Arto, baru Budi memberi makna. Tapi, solusi ini sejak dari awal ditolak oleh Budi.

Dalam proses terapi, saya menelisik pikiran bawah sadar Budi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dari mana sumber pemaknaan ini, dan mengapa Budi begitu kuat menolak saat diminta melakukan klarifikasi.

Singkat cerita, ternyata Budi sebenarnya iri dan terancam dengan kemajuan bisnis Arto. Budi marah mengetahui bisnis Arto berkembang begitu pesat dan merasa cemas, lebih tepatnya takut kalah bersaing. Budi takut pangsa pasar bisnisnya akan tergerus oleh Arto.

Saya jelaskan pada pikiran bawah sadar Budi bahwa semua ketakutan ini tidak beralasan. Segmen pasar bisnis Budi dan Arto berbeda. Budi bermain di kelas menengah bawah sementara Arto bermain di kelas premium. Segmen pasar ini tidak mungkin bersatu. Dengan demikian, sebenarnya bisnis Budi sangat aman.

Saya mendapat resistensi dari pikiran bawah sadar Budi saat mendengar penjelasan ini. Saya lakukan penelusuran lebih lanjut untuk menemukan dari mana sumber rasa takut ini pertama kali muncul dalam hidup Budi. Setelah ditemukan, dilakukan resolusi pada kejadian paling awal, dan selesai.

Pikiran bawah sadar Budi akhirnya bisa menyadari kekeliruannya, menerima apa yang saya jelaskan. Dan saya sarankan, usai terapi, Budi menghubungi Arto dan bertanya langsung. Bila memang Budi salah paham, sebaiknya ia minta maaf dengan jujur dan tulus pada Arto.

Dan inilah yang Budi lakukan. Ternyata yang Arto tulis itu sama sekali bukan membicarakan Budi, tapi apa yang ia alami secara pribadi. Budi akhirnya minta maaf pada Arto. Relasi kedua sahabat ini kembali terjalin dengan baik. 

Baca Selengkapnya

Mengatasi Hambatan dalam Proses Induksi Hipnosis

17 Juli 2017

Hipnoterapi, sesuai namanya, terdiri dari dua komponen, hipnosis dan terapi. Dengan demikian, definisi hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Sebelum melakukan hipnoterapi, terapis perlu menuntun klien masuk kondisi hipnosis, mencapai kedalaman tertentu sesuai kebutuhan dan teknik intervensi yang digunakan, melalui proses yang dinamakan induksi.

Dengan demikian, sangatlah penting bagi hipnoterapis untuk mampu secara sadar dan cermat mengenali kondisi hipnosis yang dialami klien. Hal ini sejalan dengan Fromm (1987) yang menyatakan bahwa identifikasi kondisi hipnosis fundamental bagi praktik klinis dan juga untuk penelitian mengenai sifat-sifat hipnosis.

Menjadi hipnoterapis melibatkan integrasi kreatif kompetensi psikologis terapis dan kemampuan membangun dan mempertahankan relasi dengan setiap klien, setelah membangun motivasi, kerjasama, dan komitmen (Gilligan, 1987; Kane dan Olness, 2004), dan menemukan kombinasi yang tepat untuk membuka hati dan pikiran klien melalui konteks komunikasi efektif (Zeig, 2006).

Hipnoterapi sejatinya adalah upaya bersama, klien dan terapis, dalam menyiapkan pikiran bawah sadar menjalani dan menghasilkan perubahan terapeutik bagi klien. Dengan pemahaman ini, hipnoterapi butuh keseimbangan dan perlu dibangun atas dasar rasa saling percaya dan persetujuan secara sadar antara klien dan terapis. Hal ini medakan hipnoterapi dengan hipnosis yang dipraktikkan atau digunakan untuk pertunjukan hiburan (Hassan, 2012), atau oleh interogator CIA (Central Intelligence Agency) (Ross, 2007).

Proses induksi tidak selamanya berlangsung mulus atau mudah. Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya hambatan terdapat pada terapis dan klien. Hipnoterapis yang bersikap sangat kaku, otoriter, bersifat memaksa, atau tidak peka akan kondisi dan kebutuhan klien pasti akan mengalami masalah selama induksi (Fromm, 1980; Lazar dan Dempster, 1984; Yapko, 2013). Bila klien merasa dihargai, diundang untuk berpartisipasi aktif dalam proses permisif, kolaboratif, dan didasari penghormatan pada tujuan yang hendak ia capai, maka kecil kemungkinan muncul kendala dalam proses induksi (Fromm, 1980). Saat hipnoterapis bersikat lentur, penuh perhatian, tulus, terbuka, dan fokus pada kebaikan klien maka sangat tinggi peluang keberhasilan induksi dan terapi (Gunawan, 2010).

Sebelum membahas tentang faktor-faktor yang menyebabkan kendala dalam proses induksi, ada baiknya dibahas terlebih dahulu tentang hipnosis dan fenomenanya.

Hipnosis Sebagai Fenomena Alamiah

Trance atau kondisi hipnosis adalah fenomena alamiah dan sekaligus kondisi kesadaran khusus pada garis kontinum. Sebagai fenomena alamiah, trance dialami oleh setiap individu. Sebagai kondisi kesadaran khusus, trance adalah kondisi kesadaran dengan rentang lepas dari kondisi sadar normal hingga kondisi hipnosis sangat dalam. Setiap individu, dengan demikian, memiliki kemampuan alamiah untuk masuk dan keluar kondisi hipnosis. Berdasar pemahaman ini, saat melakukan induksi, yang sesungguhnya terjadi adalah terapis hanya membimbing klien mengakses dan menggunakan kemampuan alamiah yang telah dimiliki klien dan selanjutnya klien masuk kondisi hipnosis sendiri, bukan karena terapis melakukan sesuatu padanya (Gunawan, 2014).

Walau trance adalah fenomena alamiah, untuk bisa menuntun klien masuk kondisi hipnosis, terapis perlu memahami motivasi klien dan latar induksi dilakukan. Dalam latar klinis, tujuan utama klien adalah untuk mengatasi masalah, meningkatkan kualitas hidup, mengubah perilaku, sikap, atau pikiran disfungsional. Dalam latar laboratorium, motivasi subjek adalah karena rasa ingin tahu, ingin mengalami hal baru, berkontribusi pada riset atau belajar. Sementara di latar demonstrasi, motivasi subjek biasanya adalah belajar sambil melakukan atau praktik, bukan dari mengamati atau mendengar (Kane dan Olness, 2004). Dan di latar pertunjukan hiburan, tujuan subjek biasanya adalah untuk mendapat perhatian dari audiens dan mencoba sesuatu yang baru dan menantang (Gunawan, 2014).

Hipnosis Sebagai Fenomena Intrapersonal

Sebagai fenomena intrapersonal, trance dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, pemahaman individu akan kondisi hipnosis, termasuk kepercayaan tentang hipnosis, yang selanjutnya memengaruhi persepsi. Persepsi ini yang diterima klien sebagai realita dan kebenaran. Menurut Bandler dan Grinder (9175), kita tidak dapat memahami dunia luar diri apa adanya sehingga kita mencipta representasi internal, sebuah peta berdasar proses seleksi, generalisasi, dan distorsi. Namun seringkali kita lupa bahwa peta ini bukan teritori (Korzybski, 1958), sehingga kita menipu diri sendiri dengan menyatakan peta internal ini adalah realita eksternal dan memperlakukan kepercayaan ini sebagai fakta (Bateson, 1972).

Kedua, trance juga dipengaruhi oleh interpretasi individu terhadap kondisi kesadaran dan pengalaman yang ia alami. Seseorang bisa saja telah masuk kondisi hipnosis namun ia memberi makna beda dan bersikeras bahwa ia belum berhasil masuk. Ada juga yang mengatakan bahwa dirinya sangat mudah masuk trance atau sebaliknya, sangat sulit atau tidak mungkin bisa dihipnosis. Interpretasi ini tentunya dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya.

Ketiga, trance sangat dipengaruhi pengharapan atau ekspektasi. Saat individu berharap atau tidak berharap bisa masuk kondisi hipnosis maka pengharapan ini, melalui mekanisme bawah sadar, akan mewujud menjadi realita. Mekanisme ini disebut “self-fulfilling prophecy” (ramalan swawujud) dan pertama kali diungkap oleh sosiolog Robert K. Merton. Self-fulfilling prophecy menyatakan bahwa suatu keyakinan, benar atau salah, akan mendorong perilaku tertentu yang mengakibatkan keyakinan ini terwujud menjadi realita atau terbukti benar (Merton, 1948).

Hipnosis Sebagai Fenomena Interpersonal

Trance juga adalah fenomena interpersonal karena merupakan akibat dari relasi antara hipnoterapis dan klien (Watkins, 1999), dengan keterlibatan empatik satu dengan lainnya (Yapko, 2011). Relasi ini perlu dibangun atas dasar saling percaya, kerjasama, saling menghargai (Gunawan, 2012). Membangun dan menjaga kerjasama terapeutik sangat penting dalam setiap upaya psikoterapi dan wajib dalam hipnosis dan hipnoterapi. Tanpa rasa saling percaya dan kerjasama, sangat sulit untuk bisa mencipta suasana yang mampu memfasilitasi terjadinya dan pemanfaatan trance (Gilligan, 1987).

Takut

Para pakar sepakat bahwa salah satu penyebab utama munculnya hambatan dalam induksi adalah perasaan takut (Frauman, Lynn, dan Brentar, 1993; Weizenhoffer, 1989; Yapko, 2013). Rasa takut ini bisa terjadi hanya pada diri klien, pada terapis, atau keduanya. Rasa takut pada diri terapis terjadi karena ia tidak menguasai dengan baik dan benar teknik induksi yang digunakan, merasa tidak cakap, atau tidak percaya diri karena pengetahuan yang minim akibat pelatihan yang tidak memadai (Gunawan, 2014).

Perasaan takut dalam diri klien bisa muncul karena banyak hal. Di masa awal saya praktik sebagai hipnoterapis klinis, awal tahun 2005, perasaan takut klien didominasi oleh pandangan salah bahwa hipnoterapi melibatkan kuasa gelap, mantra, atau makhuk halus. Seiring waktu berjalan, dengan semakin maraknya publikasi dan edukasi tentang hipnosis dan hipnoterapi yang ilmiah, kini sudah sangat jarang dijumpai klien yang merasa takut karena hal di atas.

Dari interaksi dengan para klien selama ini, secara umum, dapat disimpulkan bahwa perasaan takut yang dialami klien antara lain berupa takut hilang kesadaran, mengungkap hal-hal yang menjadi rahasia pribadi, takut kehilangan kendali atas pikiran dan diri, takut dengan kondisi hipnosis karena seperti memasuki dunia atau dimensi lain, takut gagal atau tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis, takut tersangkut dan tidak bisa keluar dari kondisi hipnosis, takut hilang ingatan setelah menjalani terapi (Gunawan, 2014).

Mengatasi Takut

Sangat penting bagi terapis untuk mengatasi rasa takutnya dalam melakukan induksi. Bila rasa takut ini disebabkan karena pengetahuan yang minim, kurang berlatih, tidak yakin dengan teknik induksi yang digunakan, terapis bisa mengatasinya dengan belajar, menambah pengetahuan, dan rajin berlatih. Ketakutan lain yang dialami terapis adalah takut melakukan kesalahan. Untuk yang satu ini, terapis tidak perlu terlalu khawatir bila melakukan kesalahan kecil. Klien sebenarnya tidak tahu apakah teknik yang digunakan sudah benar atau tidak, atau terapis melakukan kesalahan atau tidak. Selama klien tahu terapis sungguh-sungguh fokus, tulus, dan memerhatikan kesejahteraan klien, mereka biasanya bisa memaklumi kesalahan kecil yang terjadi. 

Untuk mengatasi rasa takut dalam diri klien, sebelum dilakukan induksi terapis perlu menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan proses, kondisi hipnosis, bagaimana rasanya berada dalam kondisi hipnosis, bahwa klien tetap sadar sepenuhnya, bisa mendengar suara, klien tetap memegang kendali penuh atas pikiran dan dirinya, klien bisa buka mata kapanpun ia inginkan. Terapis juga bisa menceritakan pengalaman klien sebelumnya, tentunya yang dapat masuk ke kondisi hipnosis dengan mudah, dengan tujuan untuk membangun ekspektasi dalam diri klien. Menurut Weitzenhoffer (1989), hipnoterapis berpengalaman tahu benar bahwa saat klien sangat percaya satu metode dapat menghipnosis dirinya maka metode-metode induksi lainnya juga akan sama efektif.

Saat membimbing klien, dalam proses induksi, terapis perlu memberi sugesti pada klien secara bertahap. Saat satu sugesti diterima dan dijalankan oleh klien, ini membuka peluang dan memperkuat peluang sugesti berikutnya dijalankan. Kata-kata yang digunakan juga perlu sesederhana dan sejelas mungkin, tanpa klien perlu menafsirkan maknanya.

Sugesti Pascahipnotik dan Secondary Gain

Resistensi juga bisa terjadi akibat sugesti salah yang diberikan oleh hipnoterapis sebelumnya. Seorang rekan sejawat hipnoterapis pernah membantu klien yang tidak bisa masuk kondisi hipnosis. Setiap kali klien ini mendengar kata “rileks”, “nyaman”, “tenang”, tubuhnya menjadi tidak enak, merasa sakit, dan menjadi sulit fokus. Rekan sejawat ini sangat berpengalaman dalam melakukan terapi. Ia melakukan modifikasi teknik induksi tanpa menggunakan kalimat panjang, menghindari penggunaan kata-kata yang bisa memicu perasaan tidak enak dalam diri klien, dan fokus pada induksi berbasis pendekatan somato-psikis. Dengan cara ini ia berhasil menuntun klien masuk kondisi hipnosis dalam dan melakukan hipnosis forensik untuk mencari tahu apa yang telah dilakukan terapis sebelumnya.

Melalui penggalian data di pikiran bawah sadar klien akhirnya diketahui bahwa klien, sebelumnya, telah datang ke seorang hipnoterapis untuk minta bantuan meningkatkan kinerjanya. Klien merasa kurang motivasi untuk membangun bisnis lebih besar karena telah puas dengan apa yang ia capai. Oleh terapisnya, klien diberi sugesti, “Saat anda merasa puas, senang, tenang, atau nyaman maka tubuh anda menjadi sakit. Semakin anda merasa nyaman, puas, tenang, atau nyaman semakin tubuh anda menjadi sakit atau tidak enak.” Selanjutnya, rekan sejawat saya melakukan terapi untuk menetralisir sugesti salah yang diberikan terapis sebelumnya.

Resistensi klien untuk masuk kondisi hipnosis bisa juga diakibatkan oleh sugesti yang berfungsi sebagai segel hipnosis (hypnotic seal). Resistensi ini terjadi karena pikiran bawah sadar secara aktif menolak atau melawan upaya induksi mengikuti sugesti yang diberikan oleh terapis sebelumnya (Gunawan, 2010).

Ada juga klien yang datang ke terapis dengan tujuan gagal diterapi. Klien ini tidak sungguh-sungguh bermaksud mengatasi masalahnya. Yang ia tuju adalah kebanggaan karena telah menjumpai banyak hipnoterapis dan tidak ada satupun yang berhasil menghipnosis dirinya. Selanjutnya klien ini dengan bangga menceritakan pengalamannya kepada orang lain untuk mendapat perhatian. Kondisi ini disebut secondary gain.

Ambivalensi

Ambivalensi didefinisikan sebagai ketidaksesuaian antara niat sadar dan perilaku nirsadar yang berakibat pada tindakan-tindakan kontradiktif dalam diri. Contohnya, ada klien datang ke terapis dan secara sadar ingin dibantu mengatasi masalahnya dengan hipnoterapi. Namun ia mendominasi pembicaraan sehingga terapis tidak punya cukup kesempatan untuk melakukan yang ia minta. Ada juga klien yang ingin dibantu dengan hipnoterapi namun kekeh menyatakan ia tidak bisa dihipnosis (Erickson, Rossi, dan Rossi, 1976).

Ambivalensi menunjukkan keberadaan konflik internal pada klien. Ada satu bagian dalam diri klien yang ingin dibantu dan ada bagian lain yang menolak. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk mengatasi hal ini. Erickson menggunakan empat kursi di ruang praktiknya. Ia menghipnosis klien di kursi pertama, kedua, ketiga dan semuanya gagal. Kegagalan ini memberi kepuasan pada bagian diri yang yakin dirinya tidak bisa dihipnosis. Dan pada kursi ke empat, bagian diri yang ingin dibantu mendapat kesempatan untuk aktif dan klien akhirnya bisa masuk kondisi hipnosis dengan mudah.

Pendekatan kedua, ini yang biasa kami, para hipnoterapis AWGI, lakukan adalah mengaktifkan dan berbicara langsung dengan bagian diri yang merasa yakin dirinya tidak bisa dihipnosis. Kami melakukan edukasi, negosiasi, dan bila perlu terapi pada bagian diri ini sehingga ia bisa mengijinkan atau melepas keyakinan tidak bisa dihipnosis. Baru setelahnya terapis sesungguhnya dilakukan. 

Baca Selengkapnya

Penyakit Autoimun dan Hipnoterapi

2 Juli 2017

Penyakit autoimun hingga saat ini masih menjadi momok karena penyebabnya belum diketahui dan sulit disembuhkan. Yang kita ketahui adalah penyakit ini terjadi karena imun sistem yang seharusnya berfungsi mengenali dan menghancurkan benda asing, yang masuk ke dalam tubuh, yang dapat menyebabkan sakit seperti bakteri, virus, atau jamur patogen, ternyata menyerang sel atau jaringan tubuh sehat. Serangan ini mengakibatkan peradangan dan penyakit autoimun. Apa yang memicu imun sistem hingga menyerang sel atau jaringan tubuh hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Dalam literatur disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang besar kemungkinan menyebabkan terjadi penyakit autoimun yaitu terpapar bahan atau zat tertentu seperti merkuri, faktor keturunan, dan perubahan hormon. 

Berikut ini adalah beberapa penyakit yang teridentifikasi melibatkan mekanisme autoimun: acute rheumatic fever, Addison’s disease, ankylosing spondylitis, antiphospholipid syndrome, autoimmune alopecia, autoimmune hemolytic anemia, autoimmune polyglandular syndrome, autoimmune thrombocytopenic purpura, Behcet’s syndrome, celiac disease atau sprue, chronic fatigue immune dysfunction syndrome, dermatitis herpetiformis, dermatomyositis, diabetes mellitus type I, diffuse scleroderma, fibromyalgia syndrome, Goodpasture’s syndrome, Graves’ disease, Guillain-Barre syndrome, Hashimoto’s thyroiditis, Henoch-Schonlein purpura, autoimmune hepatitis, immune-mediated infertility, insulin-resistant diabetes mellitus, lupus erythematosus, microscopic polyangiitis, multiple sclerosis, myasthenia gravis, pemphigus foliaceus, pemphigus vulgaris, pernicious anemia, polyarteritis nodosa, polymyalgia rheumatica, polymyositis/dermatomyositis, psoriasis, psoriatic arthritis, Reiter’syndrome, relapsing polychondritis, rheumatoid arthritis, Sjogren’s syndrome, stiff-man syndrome, sympathetic ophthalmia, systemic lupus erythematosus, systemic necrotizing vasculitis, vitiligo, and Wegener’s granulomatosis. 

Dari sekian banyak penyakit autoimun di atas, yang paling sering dijumpai adalah rheumatoid arthritissystemic lupus erythematosus, diabetes tipe 1,multiple sclerosis (MS), Graves’ disease, dan psoriasis. 

Penyakit autoimun memiliki ciri khas berupa pola hilang-kambuh. Saat penyakit autoimun pertama kali dialami, banyak penderita mengalami remisi spontan dan sakitnya reda atau hilang dengan sendirinya. Tujuan dari semua upaya pengobatan saat ini adalah untuk menyingkat fase akut dan mengurangi intensitas inflamasi dan simtom yang muncul pada fase akut penyakit ini. Tujuan pertama pengobatan adalah untuk secepat mungkin membawa klien masuk ke tahap remisi sepenuhnya. Tujuan kedua pengobatan adalah untuk mempertahankan pasien pada kondisi remisi selama mungkin, idealnya seumur hidup mereka. 

Informasi penting dan menarik dari bidang psikoneuroimunologi sangat layak diperhatikan untuk memahami penyakit autoimun. Menurut psikoneuroimunologi, sistem saraf pusat dan imun sistem saling berkomunikasi secara teratur dan rutin. Di tahun 1970an, psikolog Robert Ader dan rekan sejawatnya, ahli imunologi Nicholas Cohen, keduanya dari University of Rochester School of Medicine, melakukan percobaan menggunakan tikus, berhasil menunjukkan bahwa respon imun sistem dapat dikondisikan (Ader dan Cohen, 1975). Selanjutnya, Ader dan Cohen (1981, 1982, 1985) memelajari sekelompok tikus yang mengalami lupus erythematosus. Ader mampu mengkondisikan tikus-tikus ini dan menurunkan keagresifan imun sistem mereka terhadap sel-sel tubuhnya sendiri, sehingga terjadi pengurangan inflamasi akut lupus secara signifikan.

Beberapa tahun kemudian, Olness dan Ader (1992) menggunakan model yang sama, berhasil membantu seorang anak perempuan penderita lupus, mengkondisikan imun sistemnya sehingga mengurangi jumlah kemoterapi yang semula direncanakan 12 kali turun menjadi hanya 6 kali, mencapai hasil pengobatan yang sangat baik dan bertahan lebih dari lima tahun.

Ader (2000) menyimpulkan bahwa sistem saraf pusat memengaruhi fungsi imun sistem. Sementara Dantzer (2001) dan Volmer-Conna (2001) menyatakan perilaku sakit yang berhubungan dengan infeksi akut sebenarnya adalah hasil dari komunikasi antara imun sistem dan otak, yang sebenarnya bersifat adaptif untuk kesembuhan dan keselamatan individu. 

Otak terhubung dengan imun sistem melalui jalur limbic-hypnothalamic-pituitary. Otak memengaruhi imun sistem dengan mengeluarkan neurotransmitter dan hormon yang mengaktifkan reseptor spesifik pada permukaan limfosit T dan B. Hal ini mengaktifkan mekanisme intraseluler tertentu yang dapat menekan atau meningkatkan kinerja imun sistem. Molekul spesifik yang disekresi oleh sistem saraf pusat untuk memengaruhi imun sistem disebut neuroimmunotransmitter.Imun sistem dan sistem saraf adalah satu kesatuan dengan tujuan bersama untuk menjaga dan memelihara identitas diri organisme hidup (Booth dan Ashbridge, 1993).

Membantu Penderita Autoimun dengan Hipnoterapi

Penelitian pengaruh pikiran dan emosi terhadap imun sistem diawali oleh George F. Solomon dari Stanford University, orang Amerika pertama yang memelajari interaksi antara pikiran dan imun sistem. Solomon di tahun 1960an mengobati pasien-pasien penderita rheumatoid arthritis dan ia mengamati para pasien ini kambuh saat mengalami stres. Ia berhipotesis bahwa imun sistem, melalui mekanisme yang belum diketahui saat itu, terpicu untuk menyerang sendi-sendi para pasien ini pada saat mereka mengalami stres. Ia selanjutnya mengajukan hipotesis bahwa imun sistem pasti sangat sensitif terhadap stres dan responsif pada emosi dan pikiran (Solomon dan Moss, 1964; Solomon, Levine, dan Kraft, 1968; Solomon, Amkraut, dan Kasper, 1974; Solomon,1981).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa imun sistem dipengaruhi oleh emosi yang dialami seseorang, baik emosi positif maupun negatif. Pengalaman hidup yang melibatkan emosi negatif seperti kesedihan mendalam, marah, terluka, persaan bersalah, dan depresi memengaruhi secara negatif dan menekan kinerja imum sistem dalam melawan bateri, virus, atau jamur pagoten (Ipsa, Devi, dan Ravindra, 2014; Kiecolt-Glaser dan Glaser, 2002). Sementara hal-hal seperti optimisme, kegembiraan, kebahagiaan, tawa-canda, nutrisi yang sesuai, cukup tidur, dan manajemen stres yan baik efektif meningkatkan fungsi dan kinerja imun sistem seperti yang dinyatakan oleh Cousins (1976), Rossi (1993), Dreher (1995), Ravics (2000), Carhnetski dan Brenman (2001), Klasing (2007), dan Lange, Dimitrov dan Born (2010).

Earnest Rossi (1986, 1990, 1993; Rossi dan Cheek, 1998) melaporkan bahwa pikiran dan imun sistem berkomunikasi melalui beragam mekanisme, dan penggunaan hipnosis dapat membantu memulihkan kondisi penderita penyakit autoimun. Menurut Rossi, saat penderita masuk ke kondisi hipnosis, mereka dapat berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar dan berbicara langsung kepada jaringan dan sel-sel tubuh melalui bahasa gambaran mental yang melibatkan ke lima indra.

Penurunan tingkat keparahan serangan akut penyakit autoimun dan peningkatan remisi dapat dicapai melalui hipnoterapi, yaitu dengan dengan mengurangi konflik emosi intrapsikis yang berhubungan dengan masalah kesehatan atau sakit (Cheek dan LeCron,1968).

Ada banyak teknik hipnoterapi hipnoterapi yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan klien. Teknik apapun yang mampu melakukan hal ini, juga dapat memberi kontribusi positif bagi regulasi positif imun sistem (Bowers dan Kelly, 1979). Sementara menurut Achterberg, McGraw dan Lawis (1981), pelatihan relaksasi dan praktik teratur relaksasi otot memiliki efek profilaktik dalam menunda dan besar kemungkinan bisa mencegah kambuhnya simtom rheumatoid arthritis.

Penelitian yang dilakukan Laidlaw, Booth, dan Large (1996) menunjukkan bahwa 32 dari 38 partisipan penelitian mampu mengurangi ukuran kulit yang memerah setelah menerima sugesti. Kiecolt-Glaser dan rekan sejawatnya (Kiecolt-Glaser, Marucha, Atkinson dan Glaser, 2001) menyatakan hipnosis dapat digunakan sebagai modulator disregulasi selular imun sistem. Brigham-Davis (1994) melaporkan bahwa gambaran mental dapat digunakan dan memberi efek terapeutik pada penderita systemic lupus erythematosus, scleroderma, reumathoid arthritis, multiple sclerosis, amyotrophic lateral sclerosis, chronic fatique, immune dysfuntion syndrome, fibromyalgia, dan myasthenia gravis.Strategi yang digunakan Brigham-Davis yaitu membantu klien memandang imun sistem sebagai sahabat yang mengasihi dan melindungi tubuh mereka. Brigham-Davis menekankan pentingnya keseimbangan antara sel T helper dan Tsuppressor agar imun sistem dapat berfungsi optimal.

Rasa sakit dan tidak nyaman yang disebabkan oleh penyakit autoimun juga dapat dikurangi dengan hipnoterapi dengan hasil yang baik sesuai laporan dari Van Pelt (1961), Millikin (1964), Crasilneck dan Hall (1975), Smith dan Balaban (1983) dan Torem (2007).

Berikut ini adalah teknik yang bisa digunakan dalam hipnoterapi untuk membantu penderita autoimun: relaksasi pikiran dan tubuh (mind-body relaxation), pemberian sugesti, penguatan ego (ego strengthening), ego state therapy, pemberi label baru (relabeling),  pemaknaan ulang (reframing), restrukturisasi, “kembali dari masa depan”, dan metafora terapeutik dengan gambaran mental simbolik terbimbing (Torem, 1987, 1992a, 1992b, 1993, 2007).

Penyakit Autoimun yang Pernah Kami Tangani

Dari perspektif ilmu pikiran, sangat erat keterkaitan antara pikiran, emosi, dan tubuh. Emosi, menurut hukum pikiran, selalu butuh ekspresi. Ekspresi ini bisa ke arah luar dalam bentuk ucapan atau tindakan. Atau bila emosi direpresi, tidak bisa keluar, maka ia akan diekspresi melalui organ, dalam bentuk sakit fisik. 

Bila sampai terjadi sakit fisik karena ekspresi emosi yang direpresi maka solusinya adalah mengeluarkan emosi ini dari sistem psikis, mengekspresikannya ke luar, dengan teknik atau cara yang tepat dan aman, sehingga tidak lagi mengganggu kesehatan. 

Kami pernah menangani klien penderita myasthenia gravis, fibromyalgia, psoriasis, ankylosing spondylitis ,dan lupus erythematosus. Walau gejala penyakit autoimun ini berbeda satu dengan yang lain, secara teknis terapi sebenarnya sama. Penyakit autoimun, dalam pemahaman kami, hipnoterapi klinis AWGI, adalah simtom yang diungkap oleh pikiran bawah sadar (PBS) dalam upaya menyampaikan pesan spesifik ke pikiran sadar. Akar masalah simtom ini, antara lain, bisa karena PBS menghukum individu atas kesalahan yang individu lakukan, bisa karena emosi negatif yang direpresi hingga akhirnya menumpuk di PBS dan diekspresikan melalui organ atau fisik, bisa karena perasaan bersalah, sugesti atau imprint dari figur otoritas, identifikasi, atausecondary gain.

Pada kasus myasthenia gravis, PBS klien memunculkan simtom dengan tujuan agar suami memberi perhatian pada klien. Rupanya klien merasa kurang mendapat perhatian dari suaminya. Dan yang menarik adalah saat terapis bertanya pada PBS klien dari mana PBS mendapat ide untuk memunculkanmyasthenia gravis dan mengapa bukan sakit lain, dengan lugas PBS menjawab bahwa ide ini ia dapat saat klien melakukan pemeriksaan darah di laboratorium. Saat itu klien membaca brosur tentang myasthenia gravis. Dan PBS klien mendapat ide untuk memunculkan simtom ini dalam diri klien agar suami lebih sayang dan perhatian.

Melalui proses hipnoterapi, terapis melakukan edukasi pada PBS klien dan akhirnya PBS setuju untuk menghilangkan simtom ini dan hingga saat ini klien terbebas dari simtom myasthenia gravis. 

Apakah klien sembuh? Kami, hipnoterapis klinis, tidak dalam posisi menyatakan demikian, karena ini adalah ranah medis. Yang bisa menentukan klien sembuh atau tidak adalah dokter. Kami hanya membantu menangani emosi atau program pikiran yang menyebabkan munculnya simtom. Dalam penanganan sakit fisik, prinsip yang kami, hipnoterapis AWGI, pegang teguh adalah hipnoterapi adalah terapi komplementer. Yang utama selalu adalah pengobatan yang dilakukan oleh dokter. 

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List