The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Pendulum dalam Hipnoterapi

11 Juni 2014

Pendulum adalah salah satu alat bantu dalam melakukan proses penggalian data pikiran bawah sadar. Pendulum, atau lebih mudah dipahami dengan istilah “bandul”, terbuat dari sebuah beban yang diikat dengan seutas benang. Beban ini bisa berupa cincin, pendan, baut kecil, batu, atau apa saja. Yang penting ukurannya kecil dan agak berat. Pendulum bekerja dengan dengan prinsip ideomotor respon yang langsung digerakkan pikiran bawah sadar.

Penggunaan pendulum untuk menggali data atau informasi dari pikiran bawah sadar hanya bisa dilakukan dengan menggunakan pertanyaan yang jawabannya “Ya”, “Tidak”, “Tidak tahu”, atau “Tidak bersedia menjawab”. Dengan demikian terapis harus benar-benar cakap dalam menyusun pertanyaan, bukan pernyataan. Pendulum tidak bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan yang sifatnya terbuka, misalnya, “Apa yang membuat klien sedih?”, karena pertanyaan ini membutuhkan jawaban panjang.

Cara menggunakan pendulum dalam penggalian data dari pikiran bawah sadar adalah sebagai berikut. Pertama, tentu terapis perlu menyiapkan atau membuat sebuah pendulum. Selanjutnya terapis meminta klien memegang, dengan ibu jari dan telunjuk, ujung benang yang digunakan untuk mengikat beban yang dijadikan bandul. Klien diminta duduk santai, meletakkan sikunya di meja sambil memegang ujung benang dan beban menggantung bebas sedikit di atas permukaan meja. Setelah posisinya nyaman dan tenang, minta klien untuk menatap atau fokus pada pendulum.

Terapis selanjutnya meminta klien berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar klien dan menunjukkan gerakan pendulum yang mewakili jawaban “Tidak”, “Ya”, “Tidak tahu” atau “Tidak bersedia menjawab”. Biasanya terapis akan memberi sugesti, dan klien mengulangi dalam hati, “Tunjukkan pada saya gerakkan yang mewakili jawaban ya.”

Sambil klien fokus menatap pendulum dan terus mengulangi kalimat sugesti, perlahan namun pasti pendulum akan bergerak ke arah tertentu yang mewakili jawaban “Ya”. Demikian pula untuk jawaban lainnya, seperti “Tidak” atau “Tidak tahu”.

Pedulum biasanya hanya bisa bergerak empat arah. Pertama, ke atas dan ke bawah. Kedua, ke kiri dan ke kanan. Ketiga, berputar searah jarum jam. Keempat, berputar berlawanan dengan arah jarum jam.

Misal untuk jawaban “Tidak” pendulum bergerak ke kiri dan ke kanan. Untuk jawaban “Ya”, pendulum bergerak ke atas dan ke bawah. Jawaban “Tidak tahu”, berputar searah jarum jam. Dan “Tidak bersedia menjawab”, berputar berlawanan dengan arah jarum jam. Pilihan gerakan ini sepenuhnya ditentukan oleh pikiran bawah sadar klien.

Sebelum melakukan penggalian informasi atau melakukan eksplorasi, terapis perlu menguji kebenaran jawaban pendulum. Biasanya terapis mengajukan pertanyaan yang klien tahu jawabannya pasti “Ya”, “Tidak”, atau “Tidak tahu”. Bila jawabannya benar, sesuai dengan arah gerakan yang telah ditentukan sebelumnya, barulah terapis boleh mengajukan pertanyaan lanjutan. Selama proses tanya jawab klien, bukan terapis, yang memegang pendulum dan fokus menatap pendulumnya. Terapis bertanya dan pikiran bawah sadar klien menjawab melalui gerakan pendulum.

Bagi orang awam yang tidak tahu cara kerja pikiran bawah sadar atau ideomotor respon, pendulum yang bisa bergerak “sendiri” terkesan mistis atau ajaib. Sebenarnya yang menggerakan pendulum adalah tangan klien sendiri. Pikiran bawah sadar akan menggerakkan tangan yang memegang pendulum, dengan gerakan yang sangat halus, samar, dan biasanya tidak terlihat mata. Jadi, pendulum bukan digerakkan oleh kekuatan tertentu di luar diri klien. Bila pendulum yang sama tidak dipegang namun digantung atau diikatkan pada satu benda tertentu maka pendulum tidak akan pernah bisa bergerak sendiri.

Ada beberapa pemahaman yang kurang tepat mengenai fungsi pendulum khususnya dalam konteks hipnoterapi dan ini perlu diluruskan. Ada terapis menggunakan pendulum untuk membaca atau mendeteksi akar masalah klien. Uniknya, yang memegang pendulum adalah terapis, bukan klien.

Gerakan pendulum dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar orang yang memegangnya. Jadi, bila terapis ingin tahu jawaban dari pikiran bawah sadar klien maka klien yang harus memegang pendulum, bukan terapis. Bila pendulum dipegang oleh terapis maka jawabannya tidak valid karena berdasar data yang ada di pikiran bawah sadar terapis, bukan klien.

Walau pendulum cukup efektif untuk eksplorasi bawah sadar saya tidak pernah menggunakannya dalam praktik hipnoterapi. Alasan utama adalah tidak praktis. Pendulum hanya bisa memberi jawaban “Ya”, “Tidak”, atau “Tidak tahu”. Ini tentu akan cukup merepotkan bila ada banyak informasi yang perlu digali.

Alasan lain, bila sudah tahu apa penyebab masalah klien, lalu apa yang akan dilakukan? Masalah tidak bisa diselesaikan dengan pendulum, harus menggunakan teknik lain.

Ada teknik ideomotor respon lain yang jauh lebih praktis dengan tingkat akurasi jawaban yang jauh lebih tinggi dibanding pendulum. Teknik ini yang saya sering gunakan dan juga ajarkan di kelas SECH.

Kendala lain dalam menggunakan pendulum atau teknik ideomotor respon yaitu jawaban yang diberikan akan salah bila yang menggerakkan pendulum adalah Ego Personality yang tidak kompeten. Ada perbedaan mendasar saat kita mengakses pikiran bawah sadar klien sebagai satu unit atau kesatuan dan per satu Bagian Diri.

Misal terapis menggunakan pendulum untuk membantu klien mencari benda yang hilang. Bila ternyata EP klien yang aktif saat itu adalah EP yang memang tidak tahu mengenai keberadaan benda ini maka apapun yang ditanyakan oleh terapis jawabanya pasti akan selalu “Tidak tahu”.

Contoh lain adalah misal terapis bertanya pada klien, yang sedang memegang pendulum, “Apakah sebaiknya klien bercerai dengan pasangannya?”, maka jawabannya bisa, “Ya”, bila EP yang aktif saat itu adalah EP yang marah pada pasangan. Lain halnya bila EP yang aktif adalah EP bijaksana yang mampu menimbang risiko dan untung rugi bila bercerai.

Dengan demikian, jawaban yang “benar” belum tentu benar karena bergantung EP mana yang sedang aktif pada saat itu dan yang mengendalikan pendulum. Terapis perlu jeli mengamati hal ini.  

Penggunaan pendulum tidak disarankan untuk meramal masa depan. Misal untuk meramal kondisi ekonomi atau politik, meramal pergerakan saham atau nilai tukar mata uang di masa depan.

Saya pernah mendapat pertanyaan dari seorang sahabat mengenai aplikasi pendulum untuk tahu pergerakan saham di masa depan. Sahabat ini dalam kondisi galau karena saham yang ia beli ternyata sedang turun. Ia ingin tahu apakah nanti sahamnya bisa naik atau terus turun. Bila terus turun maka ia akan segera melepas sahamnya.

Saya sampaikan padanya agar jangan pernah menggunakan pendulum untuk tujuan ini. Sahabat ini tahu cara menggunakan pendulum. Ia juga tahu cara menyusun pertanyaan yang benar. Namun yang tidak ia ketahui yaitu pendulum digerakkan oleh pikiran bawah sadar berdasar data yang ada di pikiran bawah sadar. Bukan dengan menarik data dari masa depan. Apalagi saat itu pikirannya lagi galau. Sudah tentu jawaban pendulumnya pasti tidak valid.

Ada yang mengatakan pendulum bisa digunakan untuk mencari tahu apakah pasangan seseorang selingkuh atau tidak. Apakah benar bisa seperti ini?

Menurut hemat saya tidak bisa. Justru ini sangat riskan. Bila misalnya jawaban, yang tidak valid, ini menyatakan bahwa pasangannya selingkuh maka ini bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga atau bahkan perceraian.

Bagaimana bila pendulum digunakan untuk mendapat jawaban apakah seseorang bisa sembuh atau tidak dari sakitnya?

 

Ini juga cukup riskan. Bila misalnya jawabannya bisa sembuh, ini tentu sangat baik. Bagaimana bila sebaliknya, pendulum menjawab tidak bisa sembuh? Jawaban ini akan menjadi sugesti diri dan akan terwujud dalam hidup klien. 

Baca Selengkapnya

Kesalahan Kecil yang Besar dalam Melakukan Regresi

1 Juni 2014

Regresi (hypnotic age regression) adalah proses membawa klien mundur ke satu masa atau kejadian di masa lalu dengan bantuan kondisi hipnosis. Ada regresi yang sifatnya diarahkan dan ada juga yang terjadi secara spontan.

Yang dimaksud dengan regresi spontan adalah klien mundur ke satu masa atau kejadian di masa lalu tanpa terapis secara sengaja membimbingnya mundur. Secara teknis dikenal dua jenis regresi spontan. Ada regresi spontan yang benar-benar spontan, tanpa diarahkan baik sengaja atau tidak oleh terapis. Regresi ini terjadi karena pikiran bawah sadar memandang penting untuk mengungkap informasi tertentu pada terapis. Ada juga regresi spontan yang terjadi karena terapis secara tidak sengaja atau lebih tepatnya kurang cermat dalam memilih semantik yang tepat saat terapi. Pikiran bawah sadar secara literal mengikuti semantik yang digunakan terapis dan membawa klien mundur ke kejadian atau pengalaman tertentu di masa lalu. Dari sisi eksplorasi dalam regresi dikenal dua jenis eksplorasi: vertikal dan horizontal.

Dalam artikel ini saya akan berbagi informasi penting mengenai sifat, proses, dan dinamika yang terjadi di pikiran bila terapi dilakukan dalam kondisi hipnosis yang dalam (deep trance) berdasar temuan penelitian kami.

Salah satu yang sangat perlu diperhatikan dan dicermati adalah pilihan semantik saat mengarahkan pikiran bawah sadar klien saat proses terapi. Semantik yang bila disampaikan pada klien saat ia dalam kondisi sadar normal, light trance, atau medium trance tidak berpengaruh ternyata sangat beda efeknya dalam kondisi deep trance.

Dari sisi cara kerja otak dapat dijelaskan sebagai berikut. Otak kanan bekerja dengan gambar, global, metafora, dan trance logic. Sedangkan otak kiri fungsinya menangani aspek bahasa, detil, berurutan, dan conscious logic.

Otak kanan membayangkan informasi yang masuk dan otak kiri memberi deskripsi verbal. Saat dalam kondisi hipnosis, apalagi hipnosis yang dalam (deep trance), di mana mata klien tertutup sehingga stimuli visual yang masuk ke dalam otak melalui kedua bola mata menjadi sangat minim, aktivitas dan fungsi otak kiri berkurang (sangat) drastis. Dengan demikian suara, lebih tepatnya semantik yang digunakan oleh terapis, berperan sebagai pengganti input verbal bagi otak kiri. Saat mendapat input verbal ini, otak kanan langsung membuat gambaran mental yang sesuai atau sejalan dengan intepretasi klien terhadap semantik yang digunakan terapis.

Satu kejadian menarik terjadi saat di kelas SECH saat para peserta berlatih mempraktikkan teknik regresi (hypnotic age regression). Setelah mendapat penjelasan detil cara melakukan regresi dan dilengkapi dengan skrip para peserta melakukan latihan praktik dengan rekannya.

Sebelum latihan, peserta A bertanya pada peserta B ingin diregresi ke pengalaman menyenangkan yang mana. B minta diregresi saat ia dan keluarga berlibur ke Alaska bulan September. Peserta A selanjutnya menginduksi B, dan berhasil mencapai kedalaman minimal profound somnambulism.

Selanjutnya A dengan menggunakan skrip yang telah diberikan meregresi B ke saat liburan di Alaska. Di sini A melakukan eksplorasi horizontal dan melakukan penggalian data pengalaman B. Kurang lebihnya seperti ini:

A: Anda sekarang di mana?

B: Lagi liburan sama keluarga.

A: Liburan di mana?

B: Di Alaska.

A: Senang ya liburan sama keluarga di Alaska?

B: Ya.. senang.

A: Apa yang membuat Anda memutuskan liburan ke Alaska?

(Pertanyaan ini benar tapi salah. Benar karena ini adalah kalimat tanya yang secara tata bahasa benar. Salah karena digunakan dalam konteks klinis di mana klien berada dalam kondisi deep trance dan sedang mengalami revivifikasi bukan hipermnesia dan mengakibakan hal yang tak terduga. Pertanyaan ini tanpa disadari telah membuat B teregresi spontan ke bulan Januari saat B dan keluarga sedang berunding ingin liburan ke mana. Di Januari inilah B dan keluarganya memutuskan akan liburan ke Alaska di bulan September. A tidak tahu atau tidak menyadari B telah mundur dari posisinya sedang liburan di Alaska, bulan September, ke Januari. A masih berpikir bahwa B sedang di Alaska.)

B:  Ya ini kami lagi rundingan satu keluarga. Ada beberapa pilihan mau liburan ke mana. Tapi setelah dirunding kami putuskan liburan ke Alaska.

(Di sini A masih tidak sadar atau tahu bahwa B telah mundur ke bulan Januari. A tidak tahu bila keputusan untuk liburan ke Alaska adalah keputusan bersama, bukan diputuskan oleh klien sendiri. Bila terapis tidak tahu maka hal ini bisa dimaklumi. Namun bila terapis berasumsi, ini tidak dibenarkan.)

A: Di Alaska dingin ya?

(Tanpa disengaja di sini A melakukan dua kesalahan. Ingat, dalam kondisi deep trance B mengalami revivifikasi bukan hipermnesia. Pertama, secara tidak sengaja A telah membawa B maju dari Januari, saat sedang berunding mau liburan ke mana, ke September saat sedang liburan di Alaska. Kedua, pertanyaan ini sifatnya leading yang yang tanpa disadari membuat B tiba-tiba merasa kedinginan. Padahal sebelumnya B tidak merasa dingin. Pertanyaan yang benar adalah, “Bisa ceritakan apa yang Anda rasakan saat di Alaska sekarang ini? Dan untuk membawa B maju ke bulan September, A perlu menyiapkan pikiran B lebih dulu, tidak langsung diminta maju.)

B: Ya… dingin.

(B merasa kedinginan dan agak menggigil. Pikiran bawah sadar B secara literal mengartikan dan melaksanakan kalimat sugesti yang terkandung di dalam pertanyaan yang diajukan A.)

Ada beberapa pertanyaan lagi yang secara tidak sengaja membuat B mundur ke masa sebelum liburan ke Alaska dan secara tiba-tiba mengalami progresi ke saat liburan di Alaska. B beberapa kali mundur dari September ke Januari dan maju dari Januari ke September. Ini semua terjadi tanpa disadari oleh A. Dan A tidak menyiapkan pikiran B untuk proses maju atau mundur ini. Sesuai protokol yang diajarkan di kelas SECH, untuk regresi dan progresi yang benar, pikiran klien perlu disiapkan dan dituntun. Dalam contoh di atas B mengalami maju mundur secara spontan, tanpa persiapan atau lebih tepatnya tidak disiapkan atau dituntun oleh A. Dan akibatnya B menjadi pusing.

Semantik yang sama tentu akan berbeda efeknya bila klien dalam kondisi light trance atau medium trance. Perbedaan mendasar adalah dalam kondisi deep trance pikiran yang aktif dan dominan adalah pikiran bawah sadar dan sangat literal. Klien mengalami revivifikasi, bukan sekedar hipermnesia. Efeknya tentu akan beda bila klien hanya hipermnesia. Saat mengalami hipermnesia klien hanya mengingat. Dengan demikian tidak akan jadi masalah bila klien ingatan klien lompat dari satu masa ke masa lain. Prosesnya sangat berbeda dengan revivifikasi.

Usai latihan kami membahas apa yang terjadi dalam pikiran B saat diregresi oleh A dan memberi saran, arahan, dan masukan kepada semua peserta apa yang perlu diperhatikan dan dicermati, terutama pilihan semantik, saat melakukan terapi atau regresi. Salah sedikit saja dalam hal semantik akan berakibat sangat serius bagi klien.

Hal yang tampak sangat sepele seperti yang diceritakan di atas ternyata berpengaruh sangat signifikan terhadap pikiran klien dan sangat memengaruhi proses dan hasil terapi.

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis klinis saya juga pernah mengalami kondisi di mana saya telah berhasil meregresi klien ke satu kejadian spesifik di masa lalunya, bisa ISE atau SSE, sempat saya lakukan eksplorasi horizontal, namun tiba-tiba klien diam, tidak bisa menjawab pertanyaan saya, dan emosi yang tadinya ia rasakan intens tiba-tiba hilang tak berbekas.

Semula saya berpikir ada penolakan dari pikiran bawah sadar klien sehingga enggan mengungkap apa yang terjadi. Kembali saya meregresi klien, hasilnya sama. Saya ulangi lagi... hasilnya tetap sama. Emosi yang semula intens tiba-tiba hilang dan klien diam tidak bisa menjawab.

Ternyata saat itu secara tidak sengaja saya menggunakan semantik yang salah sehingga klien yang sudah berada di ISE atau SSE, tiba-tiba mengalami progresi kembali ke masa sekarang saat diterapi. Kesalahan kecil ini, yang efeknya sangat besar, terjadi akibat saya tidak cermat menggunakan satu atau dua kata saja. Benar.. hanya salah menggunakan satu atau dua kata, bukan satu kalimat.

Berikut ini adalah penjelasan apa yang terjadi. Setelah klien, sebut saja sebagai Ibu Susan, 45 tahun, diregresi ke kejadian paling awal yang menjadi penyebab munculnya masalah (ISE), terjadi dialog berikut:

Terapis: Ceritakan apa yang terjadi?

Klien : (sambil menangis) Aku takut…. Papa ribut sama mama….teriak-teriak…

Terapis : Siapa yang teriak-teriak?

Klien : Papa….

Terapis : Terus….

Klien   : Mama nangis….

Terapis :  Bu Susan sedang di mana waktu papa ribut sama mama? Di kamar atau ada di ruangan papa dan mama berada?

Klien   : ………….(diam, tidak bereaksi. Wajahnya yang tadinya tegang dan takut tiba-  tiba menjadi datar. Tidak lagi tampak ada emosi.)

Terapis : Bu Susan, ceritakan apa yang terjadi kemudian?

Klien   : ………… (tetap diam dan tidak bereaksi)

Terapis : Bu Susan, ceritakan apa yang terjadi kemudian?

Klien  : Tidak ada apa-apa Pak.

(Di sini terapis melakukan kesalahan kecil yang besar walau tidak disengaja. Kesalahannya ada pada penggunaan panggilan “Bu Susan”. Saat teregresi ke masa kecil maka klien adalah anak kecil. Saat dipanggil sebagai “Bu Susan” maka secara otomatis klien mengalami progresi atau maju dari kejadian saat kedua orangtuanya bertengkar ke masa sekarang, sebagai wanita dewasa. Kata “Bu” Susan ini secara tidak sengaja mengakibatkan terjadinya progresi spontan. Dan ini tidak disadari oleh terapis. Itu sebabnya klien yang tadinya sedang mengalami emosi intens tiba-tiba tidak lagi merasakan emosinya. Ia telah menjadi Ibu Susan yang dewasa, keluar dari kondisi revivifikasi, dan hanya mengalami hipermnesia.)

Kalimat tanya “Di kamar atau ada di ruangan papa dan mama berada?” ini juga salah karena sifatnya leading bukan guiding. Dalam hal ini terapis telah berasumsi. Dan secara teknis hal ini tidak dibenarkan.

Terapis yang bingung dengan kondisi klien yang tiba-tiba tidak bisa lagi menceritakan apa yang terjadi dan tidak merasakan emosi apapun kembali melakukan regresi dan klien mundur ke kejadian yang sama.)

Terapis: Ceritakan apa yang terjadi?

Klien : (klien menangis lagi) Aku takut…. Papa sama mama ribut….

Terapis : Terus….

Klien    : Mama nangis….

Terapis : Waktu itu Bu Susan sedang di mana saat papa ribut sama mama?

Klien   : ………….(diam, tidak bereaksi. Wajahnya yang tadinya tegang dan takut tiba-  tiba menjadi datar. Tidak lagi tampak ada emosi.)

(Terapis melakukan dua kesalahan yang berakibat klien mengalami progresi dan keluar dari kejadian (revivifikasi). Kata “waktu itu” secara semantik memaksa pikiran klien untuk melepas revivifikasi dan berpindah ke kondisi hipermnesia. Kata “waktu itu” juga membuat klien mengalami progresi dari kejadian di masa kecil yang sedang ia alami kembali ke masa sekarang saat ia sedang diterapi. Kesalahan kedua, penggunaan kata “Bu Susan”. Penjelasannya sama seperti yang di atas.)

Pengalaman berharga ini baik yang saya dan para alumni AWGI alami saat melakukan terapi kami kumpulkan, teliti, telaah, pelajari, perbaiki, kembangkan, sempurnakan, dan diajarkan di kelas SECH saat ini. Itu sebabnya di setiap angkatan SECH selalu ada update dan penyempurnaan teknik atau semantik. Dengan demikian semakin hari pengetahuan yang didapat oleh para peserta SECH selalu semakin berkembang dan adalah berdasar hasil riset terkini.

Inilah beberapa contoh kesalahan kecil tapi besar yang pernah saya lakukan di awal karir saya sebagai hipnoterapis. Dan ini juga yang menjadi alasan mengapa Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology mensyaratkan pelatihan SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy) 100 jam tatap muka di kelas untuk menjadi hipnoterapis profesional. Ada begitu banyak hal yang harus diketahui, dipahami, dan dikuasai oleh hipnoterapis agar benar-benar cakap dan mampu melakukan hipnoterapi yang benar, efektif, dan efisien sesuai dengan standar lembaga AWGI.

Contoh di atas hanya membahas sebagian kecil dari teknik regresi. Ada begitu banyak hal yang perlu diketahui oleh hipnoterapis bila ia benar-benar ingin menguasai teknik regresi dan mampu mempraktikkannya dengan fasih, efektif, dan efisien. 

Materi yang juga dibahas secara mendalam dalam konteks regresi adalah semantik yang digunakan klien saat menceritakan pengalamannya. Dari analisis semantik klien, terapis dapat mengetahui dengan presisi di mana klien berada pada suatu saat. Apakah klien sudah mengalami regresi atau belum, apakah ia mengalami hipermnesia tipe 1 atau 2, atau revivifikasi tipe 1 atau 2? Apakah revivifikasi tipe 1 yang klien alami sifatnya complete atau partialDan dengan menggunakan semantik ini terapis dengan mudah menggeser kondisi kesadaran klien sehingga bisa berpindah dari hipermnesia ke revivifikasi dan sebaliknya, sesuai dengan kebutuhan terapi dan teknik yang digunakan. 

Saya butuh minimal setengah hari untuk mengajar teknik regresi secara lengkap dan mendalam. Ini belum termasuk waktu yang dibutuhkan untuk melakukan praktik di kelas dengan supervisi yang ketat oleh para asisten.

Baca Selengkapnya

Sehat atau Sakit oleh Pikiran Sendiri

22 Mei 2014

Saya sering menangani klien yang mengeluh sakit fisik namun telah dilakukan pemeriksaan medis menyeluruh ternyata tidak ditemukan masalah pada fisiknya. Beberapa waktu lalu ada klien yang mengeluh sulit tidur, sering mengalami panick attack, maag bermasalah, sering lemas, dan telah berobat ke luar negeri namun tetap tidak bisa sembuh. Dokter memberinya beberapa macam obat dan rutin diminum. Hasilnya, ia tetap  sakit.

Ada banyak klien saya yang secara teknis sehat namun menderita konsekuensi fisiologis akibat respon stres berulang yang secara perlahan namun pasti merusak tubuhnya. Ini disebut sakit psikosomatis dan saya menjelaskannya detil di buku The Miracle of MindBody Medicine.

Sebelum melakukan hipnoterapi untuk mengatasi perasaan cemas dalam diri klien saya pasti memberikan edukasi yang cukup lengkap dan menyeluruh bagaimana pikiran, lebih tepatnya emosi bisa sampai mengakibatkan tubuh sakit. Dan bagaimana membalik proses ini sehingga tubuh bisa kembali sehat. Berikut ini adalah ringkasan dari buku yang saya tulis dan uraian yang saya sampaikan pada kien di ruang terapi.  

Jadi, bagaimana tepatnya satu bentuk pikiran atau perasaan/emosi negatif mewujud dalam bentuk gangguan fisik yang kita sebut dengan penyakit psikosomatis?

Setiap bentuk pikiran dan emosi pasti berpengaruh pada tubuh. Pengaruh ini ada yang bisa langsung dirasakan dan ada juga yang butuh waktu tertentu, melalui proses akumulasi, baru terasa.

Saat seseorang merasakan atau mengalami emosi negatif seperti takut, cemas, khawatir, marah, benci, frustrasi, atau emosi negatif lainnya secara otomatis emosi ini memicu poros HPA (hipotalamus, pituitari, adrenal) dan otak mengartikannya sebagai situasi genting yang harus segera diatasi dengan mekanisme tertentu.

Emosi negatif mengaktifkan hipotalamus sehingga melepas corticotrophin-releasing factor (CRF) ke dalam sistem saraf. CRF menstimulasi kelenjar pituitari memproduksi prolactin dan hormon adrenocorticotropic (ACTH) yang menstimulasi kelenjar adrenal menghasilkan cortisol, yang selanjutnya bertanggung jawab membantu tubuh menjaga homeostasis saat otak mendapat sinyal ancaman atau bahaya, baik yang nyata atau hanya dalam imajinasi.

Saat hipotalamus aktif, ia juga mengaktifkan sistem saraf simpatik (respon lawan atau lari / fight or flight), menyebabkan kelenjar adrenal melepas epinephrine dan norepinephrine, yang mengakibatkan detak jantung dan tekanan darah meningkat dan memengaruhi respon fisiologis lainnya. Sekresi hormon-hormon ini mengakibatkan beragam perubahan metablisme di seluruh tubuh.

Pembuluh darah yang mengarah ke kedua lengan, kaki, dan gastrointestinal (saluran pencernaan yang panjangnya sekitar sembilan meter mulai dari mulut sampai anus, meliputi oropharing, esophagus, lambung, usus halus dan usus besar) menyempit atau mengalami konstriksi, sedangkan pembuluh darah menuju ke jantung, kelompok otot-otot besar, dan otak melebar, dengan tujuan utama mengalirkan lebih banyak darah ke organ yang akan membantu kita untuk melawan atau melarikan diri dari ancaman atau keluar dari situasi genting.

Dalam situasi genting seperti ini pupil mata melebar sehingga lebih banyak cahaya bisa masuk, pandangan menjadi lebih tajam dan terang. Metabolisme tubuh meningkat pesat dengan tujuan memberikan kita energi yang besar dengan memanfaatkan cadangan lemak tubuh dan melepas gula ke dalam aliran darah. Napas menjadi lebih cepat dan bronkus melebar, memungkinkan lebih banyak oksigen masuk, otot-otot tubuh menegang dan siap untuk lari dari ancaman atau bahaya.

Selanjutnya asam lambung meningkat sedangkan enzim pencernaan berkurang, dan sering mengakibatkan terjadi kontraksi esophagus (tabung berotot yang mengangkut makanan dari mulut ke lambung), diare, atau konstipasi.

Cortisol yang dihasilkan kelenjar adrenal menekan kerja sistem kekebalan tubuh untuk mengurangi radang pada luka yang mungkin terjadi akibat serangan musuh atau perkelahian. Seks berhenti total. Dalam kondisi genting atau bahaya seks adalah sesuatu yang tidak penting dan harus dihindari karena yang lebih penting adalah menyelamatkan diri.

Dalam situasi genting tubuh mengabaikan tidur, mencerna makanan, dan reproduksi, dan secara khusus hanya fokus pada upaya lari dari bahaya, bernapas, berpikir, menghantar oksigen, dan menghasilkan cukup energi agar kita bisa selamat. Fungsi pemeliharaan dan perbaikan tubuh berhenti.

Saat kita menghadapi ancaman atau bahaya yang nyata, semua perubahan tubuh yang dijelaskan di atas membantu kita untuk bisa segera melawan atau lari dari bahaya. Tetapi saat ancaman ini hanya ada dalam pikiran maka tubuh tidak bisa membedakannya dengan ancaman nyata, dan tetap menghasilkan respon yang sama.

Apapun yang kita rasakan, secara emosi, pasti juga kita rasakan di tubuh. Konsekuensi dari terlalu banyak stres atau emosi negatif yang tidak ditangani dengan baik, terlepas apapun penyebabnya, mengakibatkan beban dan tekanan yang semakin lama semakin membesar, mendesak, dan mengganggu keseimbangan sistem tubuh dan psikis dan berakibat buruk bagi kesehatan. Tubuh tidak tahu atau tidak peduli apa yang menyebabkan munculnya emosi negatif. Yang tubuh tahu yaitu ia mengalami stres.

Dan seiring waktu berjalan, saat respon stres ini terpicu berulang kali, respon alamiah yang sebenarnya sangat baik untuk keselamatan hidup akan berakibat sangat buruk bagi kesehatan kita.

Akibatnya, tubuh tidak bisa rileks dan akhirnya mulai “rusak” karena sistem kekebalan tubuh dan mekanisme perbaikan dan pemeliharaan tubuh tidak dapat bekerja dengan baik. Organ-organ menjadi rusak. Sel kanker yang secara alamiah ada di dalam tubuh dan selama ini tidak bisa berkembang karena dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh kini bisa berkembang bebas dan tumbuh menjadi tumor. Efek berkelanjutan dari kelelahan dan kerusakan kronis pada tubuh akhirnya membuat kita jatuh sakit.

Setelah klien tahu bagaimana pikiran dan emosi negatif yang ia rasakan memengaruhi kesehatannya, apa langkah selanjutnya?

Saya akan membantu klien mengatasi perasaan yang mengganggu hidupnya, yang membuat poros HPA klien aktif dan membuatnya sakit. Energi emosi yang terperangkap di dalam sistem diri, yang mendesak keseimbangan sistem sehingga keluar dari homeostasis, harus disalurkan keluar hingga benar-benar habis. Sistem saraf hanya tahu bahwa bahaya, baik nyata atau dalam pikiran, telah berlalu saat energi emosi ini telah habis.

Setelah berhasil mengatasi hal ini, tentunya dengan hipnoterapi klinis, saya mengajarkan klien melakukan relaksasi pikiran dan tubuh yang (sangat) dalam.

Mengapa relaksasi pikiran dan fisik?

Tujuannya untuk membalik proses yang telah klien alami sebelumnya. Klien sakit karena tubuhnya malfungsi akibat sistem saraf simpatiknya terlalu sering aktif. Untuk itu, saya mengajari klien mengaktifkan sistem saraf parasimpatiknya dengan teknik relaksasi. Kedua sistem saraf ini, simpatik dan parasimpatik, tidak bisa aktif bersamaan pada satu saat. Bila sistem saraf parasimpatik aktif maka sistem saraf simpatik nonaktif. Demikian sebaliknya.

Dengan melakukan relaksasi secara rutin, saat sistem saraf parasimpatik aktif, saat klien mengalami perasaan tenang, damai, bahagia, cinta, pengharapan, atau emosi positif lainnya, maka hipotalamus berhenti memicu respon stres, sistem saraf simpatik nonaktif, kadar adrenalin dan cortisol turun ke level normal, sistem kekebalan tubuh kembali aktif dan bekerja optimal. Tubuh kembali beroperasi normal, menjaga dan memperbaiki dirinya, melindungi dari sakit atau penyakit, dan mengatasi sakit yang sedang kita alami. Orang yang sehat dapat menjaga kesehatannya dan orang yang sakit bisa sembuh.

Uraian di atas dengan gamblang menjelaskan bagaimana pikiran dan emosi bisa membuat tubuh sakit dan juga bisa menyembuhkan.

Manfaat rileksasi pikiran dan tubuh telah diteliti secara mendalam oleh Herbert Benson dari Harvard Medical School. Benson memberinya nama respon relaksasi. Selama bertahun-tahun Benson meneliti ribuan pasiennya dan telah menerbitkan banyak hasil penelitiannya di jurnal medis.

Respon relaksasi diyakini sangat banyak manfaatnya untuk kesehatan. Hasil riset Benson secara tegas menyatakan bahwa respon relaksasi sangat baik dan efektif untuk mengatasi angina pectoris, aritmia, reaksi alergi pada kulit, kecemasan, depresi ringan hingga moderat, asma, herpes, batuk, konstipasi, diabetes melitus, sakit maag, pusing, kelelahan, hipertensi, infertilitas, insomnia, mual dan muntah saat hamil, tegang, bengkak pascaoperasi, PMS, radang sendi atau artritis reumatoid, efek samping dari sakit kanker, efek samping dari AIDS, dan semua bentuk sakit seperti sakit punggung, sakit kepala, sakit perut, sakit otot, sakit persendian, sakit pascaoperasi, sakit di leher, lengan/tangan, dan kaki.  

Ada banyak cara untuk melatih dan mengalami respon relaksasi. Anda bisa mendengar CD relaksasi, melukis, berkebun, menikmati musik, pijat, spa, atau apa saja yang membuat pikiran dan tubuh Anda rileks dan nyaman.

Dalam sesi terapi saya membimbing klien masuk ke kondisi rileksasi tubuh dan pikiran yang sangat dalam dan nyaman. Selanjutnya saya memasang anchor yang bisa digunakan klien untuk kembali ke kondisi ini dengan cepat dan mudah. Dengan demikian, setiap kali klien ingin masuk ke kondisi rileks yang perlu ia lakukan hanya mengaktifkan kembali anchor yang telah dipasang sebelumnya. Ini adalah salah satu cara yang paling mudah dan praktis untuk bisa mengalami respon relaksasi. 

Baca Selengkapnya

Hypno-Selling: Perlukah?

16 Mei 2014

Beberapa kali saya diminta perusahaan besar untuk memberi pelatihan hypno-selling pada para tenaga marketing dan sales mereka.

Saat saya tanya apa yang ingin dicapai dengan pelatihan hypnoselling, perusahaan menjawab, "Supaya penjualan meningkat.... supaya kalau sales kami menawari produk ke konsumen, si konsumen bisa terhipnosis dan pasti beli."

Walau perusahaan bersedia membayar fee yang tinggi untuk pelatihan ini, saya menolak dengan beberapa alasan penting dan mendasar. Pertama, hypnoselling bekerja tidak seperti yang dibayangkan orang. Umumnya orang berpikir yang namanya hypnoselling itu seperti yang di televisi. Subjek dihipnosis dan setelah itu apa saja yang disampaikan oleh hipnotis pasti akan dituruti dan dilakukan oleh subjek. Dalam hal ini, konsumen pasti membeli apapun produk yang ditawarkan. Pandangan ini juga mungkin terbentuk oleh informasi salah yang ditulis di satu buku dengan topik hypnoselling yang ada di pasaran.

Kedua, kalaupun bisa dilakukan seperti yang saya jelaskan di atas, ini namanya manipulasi. Saya tidak setuju dengan hal ini. Pengetahuan mengenai cara kerja pikiran mestinya digunakan untuk membantu sesama berkembang menjadi pribadi yang lebih baik, bukan untuk manipulasi dan keuntungan sepihak. Mengapa kita harus membuat seseorang membeli produk atau jasa yang sebenarnya tidak ia inginkan atau butuhkan? Bagaimana kalau posisinya dibalik, kita yang dibuat seperti itu. Bagaimana perasaan kita?

Ketiga, untuk menguasai teknik hipnosis dengan mata terbuka (waking hypnosis) butuh pengetahuan mendalam dan waktu yang tidak sedikit. Tidak mungkin hanya dalam pelatihan dua atau tiga jam, atau sehari, peserta sudah langsung menguasai dan mampu mempraktikkannya dengan cakap. Bahkan hipnoterapis yang cakap melakukan terapi belum tentu cakap melakukan hypnoselling.

Keempat, hypnoselling terdiri atas dua kata, hypnosis dan selling. Ini adalah dua hal yang berbeda. Untuk menguasai hypnoselling seseorang harus menguasai hipnosis dengan baik dan benar, hipnosis dengan mata terbuka, dan selling.

Selling atau penjualan meliputi banyak hal, antara lain, product knowledge, kemampuan presentasi atau menjelaskan produk atau jasa, kemampuan membangun rapport, menjalin komunikasi, sikap, rasa percaya diri, keyakinan, kemampuan mengatasi penolakan (handling objection), integritas, karakter, dan masih banyak hal penting lain.    

Kelima, sebagai trainer saya perlu jujur dan tahu diri. Saya memang sangat menguasai teknologi pikiran, khususnya hipnosis dan hipnoterapi. Saya juga suka dengan bidang pemasaran dan penjualan (marketing dan sales). Namun, saya belum punya rekam jejak (track record) aplikasi hipnosis dalam penjualan yang bisa menjadi dasar mengajar materi hypno-selling. Trainer yang baik, menurut hemat saya, adalah trainer yang walk the talk, not just talk the talk. Ini menyangkut integritas.

Demikian pula cara berpikir yang perlu dimiliki lembaga atau perusahaan yang ingin mengundang seorang trainer mengajar hypnoselling. Perusahaan perlu memeriksa rekam jejak si trainer apakah benar ia adalah seorang penjual dengan prestasi gemilang.

Hypnoselling Menurut Saya

Saya membagi penjualan menjadi dua bagian. Pertama, ini yang biasanya paling sulit dilakukan, menjual kepada diri sendiri. Kedua, menjual kepada orang lain.

Kesulitan terbesar dalam menjual adalah si penjual tidak bisa menjual produk atau layanannya kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain ia tidak sepenuhnya yakin, bangga, suka, senang, antusias dengan produk atau jasa yang ia jual. Bila ini terjadi maka apapun yang dilakukan untuk meningkatkan penjualan hasilnya tidak akan pernah bisa maksimal. Inilah yang saya sebut dengan mental block.

Mental block yang menghambat biasanya adalah kepercayaan (belief) yang tidak kondusif dan tidak mendukung keberhasilan penjualan seperti:

- Saya kan sarjana, masa jualan… malu-maluin aja.

- Tidak baik mengambil untung dari orang lain.

- Saya tidak punya bakat dalam menjual.

- Pasar sudah jenuh… saat ini susah kalau mau jualan…

- Terlalu banyak saingan.

- Target terlalu berat.

- Jualan adalah kerjanya orang kelas bawah.

- Saya takut ditolak.

- dll……

Untuk bisa meningkatkan penjualan maka mental block ini harus diatasi. Ini baru satu bentuk hambatan. Hambatan lain, yang sering tidak disadari adalah emotional block. Ini jauh lebih sulit untuk diatasi karena biasanya mengandung muatan emosi yang (sangat) intens. Aspek hambatan mental ini yang biasanya tidak atau kurang mendapat perhatian.

Setelah membereskan mental dan emotional block barulah kita belajar cara efektif menjual kepada orang lain. Perusahaan biasanya sangat banyak menghabiskan dana untuk melakukan pelatihan di aspek ini, mulai dari product knowldege, membangun rapport, komunikasi, mengatasi keberatan atau penolakan konsumen, teknik closing, dan masih banyak hal lain yang biasa diajarkan di pelatihan penjualan.

Untuk meningkatkan penjualan saya lebih menyarankan para penjual untuk menjual kepada diri sendiri dan selanjutnya menggunakan LOA untuk bertemu dengan konsumen yang memang butuh produk atau jasa yang mereka tawarkan. Bila ini terjadi maka tidak perlu susah payah untuk meyakinkan konsumen untuk membeli. Konsumen pasti akan membeli karena mereka membutuhkan produk atau jasa yang ditawarkan. Dengan demikian tidak terjadi manipulasi, tidak perlu harus menggunakan cara atau teknik komunikasi tertentu untuk membuat, lebih tepatnya memengaruhi dan “memaksa”, konsumen untuk membeli.

Dan inilah yang selama ini terjadi pada peserta Quantum Life Transformation (QLT). Saya tidak pernah mengajarkan teknik hypnoselling di QLT. Namun, usai pelatihan, ada begitu banyak alumni yang mengalami perubahan diri luar biasa. Selanjutnya karir atau bisnis mereka juga berkembang sangat pesat dengan begitu mudahnya.

Ada pengusaha di Jakarta yang omzet usahanya per bulan sekitar Rp. 60 juta. Setelah berhasil mengatasi mental block yang selama ini menghambat dirinya, ia berhasil menang tender sebesar Rp. 43 Miliar. Prestasi ini Beliau ceritakan kepada kami saat reseat QLT. Ada lagi agen properti yang dalam waktu 4 (empat) hari berhasil melakukan penjualan properti sebesar Rp. 28 Miliar. Baru-baru ini saya mendapat laporan dari salah satu alumnus QLT yang mengatakan ia dihubungi oleh calon klien dan terjadi deal bisnis yang cukup besar. Calon klien ini sudah ia “kejar” selama beberapa bulan. Namun agak sulit untuk “tembus”. Dan tanpa diminta atau disangka calon klien ini yang balik mengejar pengusaha ini.

Masih ada begitu banyak kisah lain yang semuanya menguatkan keyakinan saya bahwa kunci untuk sukses di penjualan adalah menjual kepada diri sendiri dan mengaktifkan LOA untuk jumpa klien atau konsumen yang butuh produk yang kita tawarkan. Jadi, apakah perlu belajar hypnoselling? Jawabannya saya kembalikan kepada anda.

Baca Selengkapnya

Memori Sifatnya Rekonstruktif, Bukan Reproduktif

6 Mei 2014

Ada klien yang bertanya, usai terapi, “Pak Adi, saya bingung. Saya sama sekali tidak menyangka kalau akar masalah saya adalah kejadian ini. Padahal saya tidak ingat ini pernah terjadi. Ini penjelasannya bagaimana ya Pak? Apa memori tadi itu benar atau hanya imajinasi saya saja?

Ada dua kemungkinan klien tidak ingat kejadian yang menjadi akar masalah. Pertama, kejadian traumatik, dengan muatan emosi intens, telah direpresi dan tersembunyi di kedalaman pikiran bawah sadar dengan tujuan agar klien tidak dapat mengingatnya. Dengan demikian kejadian itu seolah-olah tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi dan klien tidak punya “masalah”. Memori yang direpresi ini dapat muncul atau tergali kembali saat dilakukan hipnoanalisis dalam kondisi hipnosis yang dalam (deep trance).

Kedua, memori yang muncul tidak persis sama seperti kejadian yang sesungguhnya. Dalam konteks ini telah terjadi distorsi memori. Cara kerja memori tidak seperti yang selama ini orang awam bayangkan atau ketahui. Pendapat awam mengatakan bahwa memori, lebih tepatnya pikiran bawah sadar, merekam kejadian apa adanya seperti kamera (video recorder). Dan saat diputar ulang yang muncul adalah film persis sama dengan kejadiannya. Ini adalah pandangan yang salah.

Memori dapat dengan mudah mengalami distorsi. Informasi pascakejadian seperti fakta, ide, pandangan/opini, simpulan dapat masuk, menyatu, dan mengubah memori, mengakibatkan kontaminasi, penambahan, pengurangan, atau mendistorsi memori asli.

Memori palsu (false memory) atau yang juga dikenal dengan pseudomemori juga bisa tercipta karena pengharapan atau sugesti.

Terapis yang tidak terlatih atau terapis yang beroperasi berdasar sistem kepercayaan tertentu, misalnya, “Semua klien DID adalah korban pelecehan seksual”, “Memori bekerja seperti video recorder internal”, “Kesembuhan hanya dapat terjadi bila klien berhasil mengakses memori yang terpendam, menyelesaikan, dan mengintegrasikan pengalaman traumatik” adalah mereka yang paling mungkin mengacaukan antara fakta dan fiksi.

Melalui tekanan suara, kalimat tanya yang digunakan, dan pernyataan rasa percaya atau tidak percaya atas apa yang disampaikan klien, seorang terapis dapat secara tidak sengaja mendorong atau membuat klien menerima memori yang “muncul” sebagai hal yang nyata atau benar, dengan demikian memperkuat delusi klien atau bahkan menanamkan memori palsu ke pikiran bawah sadar klien.

Ada dua sumber informasi utama yang dapat mengakibatkan terciptanya pseudomemori. Pertama, kita semua sangat mudah terpengaruh oleh informasi yang diperoleh melalui buku, artikel di koran dan majalah, acara keagamaan (khotbah), kuliah, seminar, film, dan televisi.

Sumber kedua yang sangat kuat memengaruhi dan mengontaminasi memori dapat dijumpai dalam sugesti atau pengharapan dari figur otoritas yang dengannya klien ingin membangun relasi khusus, dengan kata lain, seorang terapis.

Bila terapis sangat antusias mengajukan berbagai pertanyaan yang sifatnya spesifik dan sugestif, mengungkap perasaan kaget, tidak nyaman atau tidak suka, rasa percaya atau tidak percaya, menyatakan pendapat, atau menjadi senang atau marah, maka klien akan merasa ada tekanan untuk membuktikan memorinya. Dengan kata lain, reaksi terapis dapat berfungsi sebagai katalis yang membentuk materi imajinatif menjadi sebuah memori konkrit.

Pembentukan pseudomemori semakin mudah terjadi bila klien dalam kondisi mental yang labil atau sangat sugestif. Salah satu kondisi yang membuat klien menjadi sangat sugestif adalah kondisi hipnosis yang (sangat) dalam.

Saat klien dalam kondisi hipnosis yang (sangat) dalam terapis sangat hati-hati dan cermat dalam memilih semantik yang tepat saat melakukan terapi agar tidak terjadi pseudomemori.

Dalam konteks klinis, hipnoanalisis bertujuan untuk mencari dan menemukan akar masalah bukan untuk mencari kebenaran atau akurasi suatu data. Apapun yang diungkapkan oleh pikiran bawah sadar adalah benar menurut pikiran bawah sadar klien dan terapis menerimanya juga sebagai satu kebenaran yang sifatnya terapeutik. 

Baca Selengkapnya

Hipnosis yang Tidak Disengaja Dan Refleks

29 April 2014

Kondisi hipnosis adalah kondisi alamiah yang pasti dialami setiap individu, baik disadari atau tidak. Sebenarnya tidak ada yang istimewa atau luar biasa yang dilakukan oleh hipnoterapis saat ia menghipnosis kliennya. Hipnoterapis yang paham benar cara kerja dan sifat pikiran memanfaatkan kemampuan alamiah klien masuk kondisi hipnosis dengan memberikan sedikit bimbingan atau arahan.

Salah satu faktor yang membuat seseorang masuk ke kondisi hipnosis dengan sendirinya adalah emosi. Saat seseorang sedang mengalami emosi yang intens maka pada saat itu pikiran bawah sadar mengambil alih kendali diri. Sama seperti dalam kondisi hipnosis, saat mengalami emosi yang intens, kita tetap sadar sepenuhnya, namun tanpa disadari kita masuk ke kondisi trance dan menjadi sangat sugestif. Dalam kondisi ini mungkin saja kita mengucapkan atau berpikir tentang sesuatu dan ucapan atau pikiran ini diterima pikiran bawah sadar dan dilaksanakan oleh pikiran sadar sebagai sugesti pascahipnosis. Di bawah pengaruh emosi yang intens, pikiran bawah sadar secara otomatis akan merekam setiap ucapan atau pikiran. Dengan penguatan yang berkelanjutan, melalui asosiasi (sama seperti sugesti pascahiposis) maka ide ini akan dilaksanakan dan menjadi realita kita.

Saat emosi intens maka aktivitas berpikir level tinggi, yang dilakukan oleh prefrontal cortex, menjadi sangat berkurang.

Kondisi mental yang dihasilkan oleh emosi sama dengan kondisi yang terjadi akibat induksi hipnosis, maka kondisi mental ini disebut dengan autohipnosis yang tidak disengaja (accidental autohypnosis)

Manusia terlahir dengan refleks tertentu dan ada juga refleks yang didapat melalui repetisi. Adalah memungkinkan untuk mendapatkan refleks tanpa repetisi atau pengondisian. Hal ini dapat terjadi bila ada emosi yang intens atau dalam kondisi hipnosis. Hipnosis dan kondisi emosi yang intens keduanya adalah kondisi mental di mana kata-kata dapat bertindak sebagai sinyal dan menghasilkan refleks baru tanpa membutuhkan repetisi.

Sugesti pascahipnosis sifatnya sama dengan suatu refleks yang dihasilkan dari proses pengkondisian (conditioned reflex) namun sinyal aktivasinya diberikan di masa depan. Misalnya, “Saat anda duduk mengerjakan soal ujian, anda akan merasa rileks, tenang, dan nyaman.”

Saat ada emosi maka tidak dibutuhkan repetisi untuk mengembangkan refleks. Semakin kuat suatu emosi maka semakin mudah refleks dihasilkan dan semakin permanen sifatnya.

 

 

Baca Selengkapnya

Memahami Emosi

21 April 2014

Emosi adalah faktor penggerak hidup. Setiap tindakan yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar selalu didorong oleh emosi tertentu. Gerakan (motion) dan emosi (emotion) keduanya berasal dari bahasa Latin “movere” yang artinya bergerak (to move).

Bertahun lalu saya pernah mendengar YM Sri Paññavaro Mahathera berkata, “Batin manusia terdiri atas pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran. Dari keempat komponen ini yang menjadi provokator adalah perasaan.”

Pendapat Beliau ini senantiasa saya ingat. Sekarang, sebagai orang yang mendalami teknologi pikiran dan khususnya hipnoterapis klinis, saya sampai pada simpulan yang sama. Semua tindakan seseorang, apapun itu, selalu didasari oleh satu atau beberapa emosi spesifik.   

Namun saya tidak berhenti hanya di sini. Cukup lama saya mengamati, memelajari, dan penasaran dengan emosi. Dalam konteks klinis, yang selalu membuat saya penasaran adalah mengapa emosi positif (misal: senang, bahagia, gembira) sulit dipertahankan, walau kita sangat ingin merasakan atau mengalaminya selama mungkin, sedangkan emosi negatif (misal: sedih, terluka, sakit hati, kecewa, marah, takut, cemas,) begitu sulit dilepas, walau kita telah berusaha melepaskannya? Apa yang menyebabkan hal ini?

Emosi positif usai kita alami secara otomatis mereda dan hilang. Sebaliknya emosi negatif, begitu muncul dan kita rasakan, biasanya bertahan cukup lama. Dan masih bisa muncul lagi bila terpicu oleh stimulus yang mirip dengan yang memunculkannya sebelumnya.

Sebagian besar pakar setuju dengan keberadaan emosi dasar, yang sangat kuat, yang menjadi sumber dari emosi-emosi lainnya. Walau belum berhasil dicapai konsensus mengenai emosi primer namun secara umum pembahasan mengenai emosi dasar selalu meliputi empat emosi berikut: takut, bahagia, sedih, dan marah.

Pemikir besar Rene Descartes menyebut ada enam emosi dasar yaitu cinta, benci, kagum, hasrat, bahagia, dan sedih. Sementara filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan ada lima emosi dasar: cinta, harapan, rendah hati, bahagia dan sedih. Dalam bukunya yang terbit tahun 1890, Principles of Psychology, William James, bapak psikologi Amerika, menyederhanakan emosi dasar menjadi empat: cinta, takut, sedih, dan marah. Setiap emosi, menurut James, adalah kombinasi dari keempat emosi dasar ini.

Banyak penulis dan terapis mendefinisikan emosi sebagai baik atau buruk, positif atau negatif. Ini kurang tepat. Setiap emosi sifatnya normal dan merupakan bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar. Setiap emosi mengandung pesan spesifik yang perlu dimengerti. Demi memudahkan pembahasan di artikel ini saya menggunakan “label” positif untuk emosi yang membuat kita merasa nyaman dan negatif untuk emosi yang membuat kita tidak nyaman.

Orang sering rancu antara ungkapan (expression) dan mengalami (experience) emosi. Mengalami emosi adalah apa yang dirasakan seseorang di dalam tubuhnya. Sementara ungkapan emosi adalah apa yang dilakukan seseorang karena mengalami emosi. Mengalami emosi melibatkan sensasi di dalam diri sedangkan ungkapan emosi melibatkan tindakan ke luar diri.

Ungkapan emosi meliputi gerakan, terjadi di bagian luar tubuh, dan menghasilkan sensasi fisik. Mengalami emosi melibatkan perasaan yang bisa dirasakan di tubuh fisik pada wilayah tertentu, yang berpusat pada torso (batang tubuh yang terdiri atas dada, punggung, dan perut) dan tidak melibatkan gerakan tubuh.

Emosi jarang muncul sendiri, mereka tidak berdiri sendiri, tapi berinteraksi dengan emosi lainnya. Umumnya beberapa emosi muncul dan pudar bersamaan. Dan yang lebih sering terjadi adalah satu emosi muncul terlebih dahulu lalu memicu emosi lainnya sambil emosi pertama ini memudar atau hilang.

Yang paling sering dijumpai atau dialami yaitu emosi takut, sedih, dan malu memicu marah. Ini terjadi karena emosi takut, sedih, dan malu sifatnya menyakitkan. Untuk menghindari rasa sakit akibat emosi-emosi ini pikiran bawah sadar mengaktifkan emosi lain yaitu marah yang sifatnya ekspansif dan menguatkan individu. Marah membuat kita lupa pada emosi yang menyakitkan.

Ada emosi yang sifatnya ekspansif, mendorong kita bergerak ke arah luar diri, berinteraksi dengan lingkungan, sedangkan lainnya bersifat kontraktif, menyebabkan kita menarik diri dari lingkungan.

Emosi yang sifatnya ekspansif antara lain bahagia, cinta, marah, percaya diri. Sedangkan emosi yang sifatnya kontraktif antara lain sedih, malu, rasa dikhianati, kesepian, dan takut. Emosi kontraktif juga mengkontraksi organ dan kelenjar di wilayah tubuh di mana emosi dirasakan.

Kontraksi yang disebabkan oleh emosi mencengkeram jaringan organ, menghambat aliran darah dan nutrisi, dan menghambat organ untuk berfungsi normal dan optimal. Kontraksi ini akan terus berlangsung selama emosi yang menyakitkan ini masih ada. Saat emosi ini hilang, kontraksi secara otomatis berhenti, dan organ kembali berfungsi normal.

Fritz Perls, bapak Gestalt, mengatakan bahwa emosi memiliki usia hidup yang meliputi satu kelahiran dan satu kematian, satu awal dan satu akhir. Emosi-emosi yang tidak terselesaikan akan tetap tinggal dan hidup di dalam diri kita, terus mengganggu hidup kita hingga mereka dialami secara penuh, menyeluruh, terpakai habis, dan selesai.

Di dalam diri kita tinggal dan hidup berbagai emosi tak terselesaikan (emosi negatif) yang berasal dari semua trauma yang pernah kita alami. Kita tidak lagi menyadari keberadaan mereka yang telah terbenam jauh di kedalaman pikiran bawah sadar, tetapi mereka tetap ada dan aktif memengaruhi setiap pikiran, ucapan, dan tindakan kita. Emosi ini terus hidup dan aktif walau kejadian yang menjadi pemicu munculnya emosi ini telah berakhir.

Emosi yang menyakitkan hanya bisa hilang bila ia dialami sepenuhnya, selengkapnya, hingga tuntas oleh individu. Cara lain adalah dengan memberikan pemaknaan baru pada kejadian awal yang menyebabkan munculnya emosi ini. Kendalanya adalah walau emosi awal telah berhasil dinetralisir, dengan pemaknaan ulang, ternyata masih ada kejadian lain dalam rangkaian peristiwa kehidupan seseorang yang mengandung emosi sejenis dan sifatnya memperkuat emosi sebelumnya. Ini juga perlu dinetralisir untuk dicapai hasil optimal dalam upaya mengatasi atau menghilangkan emosi yang mengganggu.

Semua emosi adalah baik, karena berfungsi untuk memberikan informasi, arah, dan motivasi yang akan membantu kita menciptakan suatu kehidupan yang bahagia. Emosi dihasilkan oleh pikiran bawah sadar dan merupakan dorongan untuk bertindak, sistem penuntun atau peringatan dini alamiah, dan adalah salah satu bentuk komunikasi dengan pikiran sadar.

Emosi atau yang umum disebut perasaan adalah bahasa pikiran bawah sadar yang sangat positif dan mengandung pesan atau makna spesifik dengan pemenuhan kebutuhan yang juga spesifik. Ketidakmengertian atau ketidaktahuan ini yang sering mengakibatkan seseorang mengalami kondisi tidak nyaman atau menderita saat mengalami emosi "negatif" tertentu. 

Emosi yang sering dialami seseorang adalah marah, rasa bersalah, takut, frustrasi, kecewa, sedih, kesepian, rasa tidak mampu, rasa bosan, dan stres. Bila dicermati, setiap emosi ini mengandung makna spesifik sebabai berikut:

- Marah = merasa diperlakukan tidak adil.

- Rasa bersalah = merasa telah memperlakukan orang lain tidak adil.

- Takut = sesuatu yang buruk akan terjadi (antisipasi).

- Frustrasi = apa yang telah dilakukan tidak memberikan hasil seperti yang diinginkan, perlu cara lain.

- Kecewa = apa yang diinginkan tidak bisa terwujud.

- Sedih = kehilangan sesuatu yang berharga.

- Kesepian = butuh interaksi / relasi bermakna.

- Rasa tidak mampu = ada yang salah dengan diri sendiri.

- Rasa bosan = kurang tantangan. 

- Stres = terlalu banyak hal yang ingin dilakukan dalam satu saat.

Bila Descartes menyatakan "I think therefore I am" (Cogito ergo sum) yang artinya “Aku berpikir maka aku ada”. Bagaimana bila saya mengusulkan “I feel therefore I am alive” atau “Saya punya perasaan maka saya hidup”.

Baca Selengkapnya

Memahami yang Milton Erickson Lakukan

13 April 2014

Milton Erickson adalah salah satu tokoh ternama dalam dunia hipnoterapi klinis. Erickson terkenal dengan kecermatan, kreativitas, dan keefektifan terapi yang ia lakukan. Satu hal menarik yang sangat tampak dalam berbagai kasus yang ia tangani yaitu Erickson menggunakan cara, pendekatan, atau teknik yang sangat unik. Sayangnya, ia tidak pernah secara khusus menulis atau membakukan berbagai teknik intervensi yang ia lakukan dan menjelaskan dengan detil dasar teori atau alasan di balik setiap teknik yang ia gunakan.

Bila dicermati dan didalami ternyata teknik yang Erickson gunakan punya pola konsisten. Apa yang dijelaskan di bawah ini adalah peta yang bisa digunakan untuk menentukan intervensi klinis pada masalah klien. Dengan menggunakan peta ini terapis akan mengerti mengapa Erickson melakukan apa yang ia lakukan.

Secara umum masalah meliputi 12 hal berikut ini. Bisa satu, dua, atau kombinasi dari beberapa faktor berikut ini:

1. Satu atau serangkaian perilaku.

2. Makna yang diberikan pada suatu kejadian atau situasi.

3. Frekuensi terjadinya keluhan.

4. Lokasi fisik tempat keluhan terjadi.

5. Tingkat sampai di mana keluhan bersifat tidak dapat dikendalikan.

6. Orang lain yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.

7. Siapa atau apa yang disalahkan.

8. Faktor lingkungan seperti pekerjaan, status ekonomi, tempat tinggal, dll.

9. Kondisi fisik atau perasaan yang terlibat.

10.Masa lalu.

11.Prediksi masa depan yang suram.

12.Pengharapan yang tidak logis.

Dua belas faktor di atas selain merupakan komponen penyusun masalah juga merupakan “pintu” untuk mengakses solusi bagi masalah itu sendiri.

Terapis membantu klien mengatasi masalahnya dengan mencari tahu komponen penyusun utama dan menetralisirnya dengan teknik intervensi yang sesuai.  

Dalam melakukan terapi atau troubleshooting masalah ada 4 langkah yang perlu dijalani oleh klien sebelum terapi dilakukan:

1.Klien menyadari bahwa ia punya masalah.

2.Klien  mengakui bahwa ia punya masalah.

3.Klien menerima bahwa ia punya masalah.

4.Klien secara sadar mau mengatasi masalah.

Bila empat langkah di atas telah dipenuhi maka langkah selanjutnya adalah :

1.Klien, bila perlu dengan bantuan terapis, mendefinisikan masalahnya  secara konkrit.

2.Investigasi mendalam upaya-upaya yang telah dilakukan klien untuk mengatasi masalah ini.

3.Definisi yang konkrit mengenai perubahan yang ingin dicapai.

4.Formulasi dan implementasi perencanaan untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan.

Masalah muncul karena klien mengalami sesuatu. Dari kejadian atau pengalaman itu akan muncul suatu emosi yang didasarkan pada pemaknaan yang diberikan pada saat kejadian atau pengalaman itu terjadi.

Emosi yang muncul ini, jika adalah emosi negatif, akan mulai mengganggu hidup klien dan dipersepsikan sebagai suatu masalah yang harus (segera) diatasi. Klien mulai melakukan upaya untuk mengatasi masalahnya. Namun, karena penanganan yang kurang tepat mengakibatkan kegagalan yang berulang dalam upaya memperbaiki keadaan.

Seiring dengan waktu berjalan, masalah menjadi semakin parah karena kini klien tidak saja tetap mengalami masalah yang belum berhasil diatasi, klien sekarang juga mengalami “bonus” masalah yaitu perasaan frustrasi.  Kondisi klien juga bisa menjadi semakin parah jika ekspektasi klien yang tinggi terhadap suatu proses terapi ternyata tidak berhasil dicapai.  

ME2   

Pada gambar di bawah ini tampak korelasi antarkomponen yang saling terkait yang menghasilakn satu masalah.  

ME3

Dari proses wawancara akan diketahui “pintu” mana yang akan digunakan sebagai jalan untuk mengatasi masalah klien.

Dari “pintu” ini akan diketahui apakah terapis perlu membantu klien melakukan hipnoterapi dengan induksi secara formal, melakukan waking hypnosis, ataukah hanya perlu memberikan konseling dalam kondisi sadar. 

Strategi untuk mengatasi masalah klien berdasar "pintu" yang telah diketahui tentu membutuhkan uraian panjang dan detil mengingat ada dua belas "pintu" yang akan dibahas. Ini akan dilakukan di lain kesempatan. 

Baca Selengkapnya

Daftar Literatur EGO STATE THERAPY

11 April 2014

Arenson,  G.  (2008).  Ego  State  Therapy  with  an  Abused  Child:  A  case  study. (Unpublished MEd dissertation). Johannesburg: University of Johannesburg.

Barabasz, A., Barabasz, M., & Watkins, J.G. (in press). Single-session manualized ego state therapy (EST) for combat stress injury, PTSD, and ASD, Part 2: The procedure. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 

Barabasz, A., Christensen, C., Barabasz, M., & Watkins, J.G. (2011). Ego state therapy manual: PTSD and ASD (research ed.). Self-published manuscript, Arreed Barabasz, Palouse, Washington. (Available from the first author.) 

Barabasz, A. (2008a). Abreaction and age regression in hypnoanalysis and ego state therapy. Plenary session address. German Annual National Hypnosis Congress, Milton Erickson Foundation Jahrestagung der Milton-Erickson-Gesellschaft fuer Klinische Hypnose, Bad Orb, Germany. 

Barabasz, A. (2008b). Keynote address: Ego-state therapy: Evocation of child-like affective states for trauma resolution. Fifth German-Nepal International Medical Conference,  HauptKongress,  Kathmandu,  Nepal. 

Barabasz, A., Barabasz, M., Christensen, C., Hasse, L., & Bruna, L (in press). Efficacy of single session ego state therapy for combat stress Injury, PTSD, and ASD. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 

Barnett, E., & Tkach, J. (2005). The rapid reintegration procedure: Effective ego- state hypnotherapy without hypnosis. Kingston, Ontario: Junica Publishing Company Ltd. 

Beahrs, J.O. (1982). Unity and Multiplicity: Multilevel Consciousness of Self in Hypnosis, Psychiatric Disorders and Mental Health. New York: Brunner/Mazel. 

Berne, E. (1961). Transactional Analysis in Psychotherapy. New York: Grove Press. 

Berne, E. (1966). Principles of Group Treatment. New York: Oxford University Press. 

Bergmann, U., & Forgash, C. (2000). EMDR and ego state treatment of dissociation. 

Workshop presented at the International Society for the Study of Dissociation Conference, San Antonio, TX. 

Brenman, M., Gill, M.M., & Hacker, F.J. (1947). Alteration in the state of ego in hypnosis. Bulletin of the Menninger Clinic, 11, 60. 

Bresler, D.E. (1990). Meeting an inner adviser. In: Hammond, D.C., Ed. Handbook of hypnotic suggestion and metaphors (pp. 318-320). New York: W. W. Norton & Company.

Brown (Eds.), Creative mastery in hypnosis and hypnoanalysis: A Festschrift for Erika Fromm (pp.255-261). 

Calnan, R. D. (1977). Hypnotherapeutic ego-strengthening. Australian Journal of Clinical Hypnosis, 5, 105-118. 

Carolusson, S. (1996) Marie: A Case of Dissociated Identity. In Peter, B. et al. (Ed.): Munich Lectures on Hypnosis and Psychotherapy. Hypnosis International Monographs nr 2. 

Carolusson, S. (1998) Hypnosis and Transference in the Treatment of Depression. Hypnos, vol. 25(2),  78-86. 

Celentano, C. (1992). The encapsulated maternal introject: In the service of survival. In E.V. Siegel et al. (Eds.), Psychoanalytic Perspectives on Woman: Current Issues in Psychoanalytic Practice, No. 4, 25-43. New York: Brunner/Mazel, Inc. 

Cohen-Posey, K. (2009). Empowering dialogues within: A workbook for helping professionals and their clients. New York: John Wiley & Sons. 

Curtis, J. (1996). Table talk: Metaphors for internal healing of ego states. Paper presented at the annual meeting of the International Society for the Study of Dissociation, San Francisco. CA. 

Carlisle, A. (1988). Dreams in multiple personality disorder and ego state conditions. 5th International Conference on Multiple Personality and Dissociated States, Chicago, IL. 

Christensen, C., Barabasz, A., & Barabasz, M. (in press). A placebo-controlled test of the effects of single-session ego state therapy for PTSD. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 

Crichton, E. (2007). Transactional Analysis: Ego States – What they are and how to diagnose them. Australian Journal of Clinical hypnotherapy and Hypnosis.; ProQuest Psychology Journals, 28(1), 28. 

Da Silva, J. (2010). The experiences of educational psychologists utilizing ego-state therapy with adolescents presenting with dissociation. (Unpublished MEd Psych dissertation) Johannesburg: University of Johannesburg. 

Da Silva, J & Fritz, E (2012). The experiences of educational psychologists who utilise ego-state therapy to address dissociation in adolescents. The South African Journal of Psychology. 42(2). Accepted and to be published in 2012. 

Degun-Mather, M. (2003). Ego state therapy in the treatment of a complex eating disorder. Contemporary Hypnosis, Vol 20(3), 165-173.

Deikman, A.J. (1982). The Observing Self: Mysticism and Psychotherapy. Boston, MA: Beacon Press. 

Dickey, T., Nungary, V., & Frederick, C. (1998). You must be present to win: Attentional training for the management of serious ego-state problems. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Ft. Worth, TX. 

Douglass, V. F. (1994). The relation of spontaneous amnesia, ego states, and hidden observers to post-hypnotically dissociated task interference. Australian Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 22, 147-152. 

Douglas, V.F. a. J.G. Watkins (1994). The relation of spontaneous amnesia, ego states, and hidden observers to post-hypnotically dissociated task interference. Australian Journal of Clinical and Experimental Hypnosis 22, 147-152. 

Edelstein,  M.  G.  (1982).  Ego  state  therapy  in  the  management  of  resistance. American Journal of Clinical Hypnosis 25, 15-20.

Emmerson, G. a. F. Farmer (1996). Ego-state therapy and menstrual migraine. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis 17 (1).

Emmerson, G. (1999). What lies within: Ego States and other internal personifications. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis. ProQuest Psychology Journals, 20(1), 13. 

Emmerson, G. (2003). Bringing resources to needs with hypnotic anchoring: accessing the best ego state for the job. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis. ProQuest Psychology Journals, 24(2), 88. 

Emmerson, G. (2003). Ego State Therapy. Williston, VT: Crown.

Emmerson, G. (2006). Advanced skills and interventions in therapeutic counseling.  Wales: Crown House Publishing.

Emmerson, G. (2007). Ego State Therapy. Wales: Crown House Publishing.

Emmerson, G. (1999). What lies within: Ego states and other internal personifications. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 20, 13- 22.  

Emmerson, G. (2000). Ego state therapy: Its development and progress in the 20th century. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 21, 1-11. 

Emmerson, G. (2000a). The resistance bridge technique: An ego state induction that locates the origin of the problem. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 21(1), 115-125.

Emmerson,  G.  (2002).  Couples  counselling:  An  ego  state  therapy  approach. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis,23(2), 130-140.

Emmerson, G. (2003). Bringing resources to needs with hypnotic anchoring: Accessing the best ego state for the job. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 24 (2), 88-97. 

Emmerson,  G.  (2003).  Ego  state  therapy.  Carmarthen,  Wales:  Crown House Publishing.

Emmerson, G. (2004). The expression, removal and relief method to resolve trauma. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 25(2), 77-84.

Emmerson, G. J. (2006) Advanced skills and Interventions in therapeutic counseling. Carmarthen, Wales UK: Crown House. 

Emmerson, G. (2006). Smoking cessation: Getting the ego-states to work together. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 27(2), 23-29.

Emmerson,  G.  (2011).  Ego  state  personality  theory.  Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 33(2), 5-23. 

Emmerson, G. (2011). Working with addictions using ego state therapy. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis,33(2), 24-39.

Emmerson, G. (2012). The vaded ego state and the invisible bridging induction. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis.

Emmerson, G.J., & Farmer, K. (1996). Ego-state therapy and menstrual migraine, The Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and  Hypnosis, 17, 7-14.

Fairbairn, W.R.D. (1954). An Object-relations Theory of Personality. New York: Basic Books. 

Federn, P. (1952). In E. Weiss, (Ed.), Ego psychology and the psychoses. New York: Basic Books. 

Federn, P. (1952). Ego psychology and the psychoses. New York: Basic Books

Federn, P. 1952.  Ego psychology and the psychoses, E. Weiss, (ed.), Basic Books, New York. 

Federn, P. (1952). Ego psychology and the psychoses. New York (Basic). (Dt. (1994): Ichpsychologie und die Psychoses. Frankfurt a.M. (Suhrkamp). 

Federn, P. (1928). Narcissism in the structure of the ego. International Journal of Psychoanalysis 9: 401-419.

Federn, P. (1927). Narcissism in the structure of the ego. (Read before the Tenth International Psychoanalytic Congress, Sept. 1, 1927). In Ego psychology and the psychoses, by Paul Federn, E. 

Weiss, Ed., New York: Basic Books, 1952a, pp. 38-59 

Federn, P. (1932). The ego feeling in dreams. Psychoanalytic Quarterly 1: 511-542.

Federn, P. (1943). The psychoanalysis of psychosis. Psychiatric Quarterly 17:3- 19,246-257,480-487. 

Federn, P. (1947a). Principles of psychotherapy in latent schizophrenia. American Journal of Psychotherapy 1: 129-147. 

Federn, P. (1947b). Discussion of J.N. Rosen “Treatment of schizophrenic psychosis by direct analytic therapy”. Psychiatric Quarterly 21, 25-28. 

Federn, P. (1956). Ichpsychologie und die Psychosen. Bern/Stuttgart (Huber).

Forgash, C. (2005). Deepening EMDR treatment effects across the diagnostic spectrum: Integrating EMDR and ego state work. Two-day workshop presentation, New York. (Available on DVD from www.advancedeductionalproductions.com). 

Forgash, C., Copeley, M., (2007). Healing the heart of trauma and dissociation with EMDR and ego state therapy. New York. Springer. 

Forgash, C. (2009). The Treatment of Health Problems of Complex PTSD Clients: an EMDR/Ego State Treatment Plan. EMDR Europe Conference. Amsterdam. 

Forgash, C. (2007). Pre-conference Workshop. Treating Complex Trauma: An Integrated EMDR and Ego State Therapy Approach. EMDR Europe Conference. Paris.

Forgash,C. (2007). Deepening EMDR Treatment Effects Across the Diagnostic Spectrum: Integrating EMDR and Ego State Work. Two Day Workshop Presentation. Phoenix, AZ. Available In DVD Format. www.advancededucationalproductions.com 

Forgash, C. (2006). EMDR and Ego state Work, EMDR Europe Conference. Istanbul.

Forgash, C. (2006). Integrating EMDR and Ego State Treatment: Addressing Dissociation and PTSD in Adult Sexual Abuse Survivors and their Negative Impact on Physical  Health. ISSD Conference. Los Angeles. 

Forgash, C. (2004). Treating Complex Posttraumatic Stress Disorder with EMDR and Ego State Therapy.EMDR Practitioner.Retrieved July 18, 2007, from  http://www.emdr-europe.org/ 

Forgash, C. (2004). Integrating EMDR and ego state therapy in the treatment, ISSD Conference. Chicago.

Forgash, C. (2003). Workshop: Treating Survivors of Overwhelming Trauma Who Present with Pre-existing PTSD and Dissociative Disorders: an EMDR/ Ego State Approach. ISSD Conference. New Orleans 

Forgash, C. (2003) First International Congress of Ego State Therapy, Germany.Workshop: EMDR/Ego State Work in Trauma Response Situations: Working with Survivors of the World Trade Center Tragedy. 

Forgash, C., & Knipe, J. (2001). Safety-focused EMDR/ego state treatment of dissociative disorders. Workshop presented at the EMDR International Association Annual Conference, Austin,TX. 

Fourie, A. M., & Roets, H. E. (2003). Ego state therapy as treatment for severe stomach pains after sexual intercourse: A case presentation. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis 24(2), 67-76. 

Fourie, A.M. (2008). Discovering The Essential Self By Means Of Unconscious Resources: A Psycho Educational Approach, Unpublished Doctoral Dissertation, Pretoria, University of South Africa. 

Fraser, G. (1991). The dissociative table technique: A strategy of working with ego states in dissociative disorders and ego state therapy. Dissociation, 4, 205-213. 

Frederick, C. (1990). The rapid treatment of obsessive compulsive disorder with ego state therapy: A case study. Presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. & 5th European Congress of Hypnosis in Psychotherapy and Psychosomatic Medicine, Constance, Germany. 

Frederick, C., & Phillips, M. (1992). The use of hypnotic age progression as interventions with acute psychosomatic conditions. American Journal of Clinical Hypnosis, 35, 89-98. 

Frederick, C. (1992). Heidi and the little girl: The creation of helpful ego states for the management of performance anxiety. 12th International Congress of Hypnosis, Jerusalem, Israel & Hypnos: 20, 49-58. 

Frederick, C. (1992). Bringing up baby: A developmental approach to the management and maturation of child ego states. Presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Las Vegas.

Frederick, C., & McNeal, S. (1993). From strength to strength: Inner strength with immature ego states. American Journal of Clinical Hypnosis, 35, 250-256. 

Frederick, C., & Kim, S. (1993). Heidi and the little girl: The creation of helpful ego states for the management of performance anxiety. Hypnos, 20, 49-58.

Frederick, C. (1993a). Pools and wellings: The resolution of refractory intermittent depression with ego-state therapy. Hypnos, 20, 221-228. 

Frederick, C. (1993b). Mind over matter: Ego-strengthening techniques for GP’s. Part I. Scottish Medicine, 13, 14. 

Frederick, C. (1993c). Who’s afraid of the big bad wolf: Ego-state therapy for panic disorder with and without agoraphobia. Presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, New Orleans, Louisiana, March, 30, 1993. 

Frederick, C. (1993a). Ego-strengthening techniques. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. & McNeal, S. (1993) From strength to strength: Inner Strength with immature ego states. American Journal of Clinical Hypnosis, 35, 4. 

Frederick, C. (1993a). Ego-strengthening techniques. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C., & Phillips, M. (1994). Hypnosis and memory. Unpublished workshop handout. 

Frederick, G. (1994). Ego state therapy. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1994). Informed consent for hypnosis. Unpublished document. 

Frederick, C. (1994). Reconstructing the patient’s history in psychodynamic hypnotherapy: Tradition and practice. Unpublished workshop handout. 

Frederick. C. (1994). The safety of the therapist: Aspects of the hypnotherapeutic relationship. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Philadelphia, PA. 

Frederick, C. (1994). Silent partners: The hypnotherapeutic relationship with non- verbal ego states. Hypnos 21, 141-149. 

Frederick, C. (1994). Symptom removal. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1994). When weight means wait: The hypnotherapeutic treatment of eating disorders induced by PTSD. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Philadelphia. 

Frederick, C. (1994). Functionaries, janissaries, and daemons: Some approaches to the management of malevolent ago states. Presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Philadelphia.

Frederick, C. (1994). The safety of the therapist: Aspects of the hypnotherapeutic relationship. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Philadelphia. 

Frederick, C. (1994). Silent partners: The hypnotherapeutic relationship with non- verbal ego states. Hypnos, 21, 141-149. 

Frederick, C., & Phillips, M. (1994). Hypnosis and memory. Unpublished workshop handout. 

Frederick. C., Scopelli, R., Van Auken, P., & Sorum, J. (1994). MPD on a budget: Treating severe dissociative disorders in a public outpatient clinic. Presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis. Philidelphia. 

Frederick, G. (1994). Ego state therapy. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1994). Informed consent for hypnosis. Unpublished document. 

Frederick, C. (1994). Reconstructing the patient’s history in psychodynamic hypnotherapy: Tradition and practice. Unpublished workshop handout. 

Frederick. C. (1994). The safety of the therapist: Aspects of the hypnotherapeutic relationship. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Philadelphia, PA. 

Frederick, C. (1994). Silent partners: The hypnotherapeutic relationship with non- verbal ego states. Hypnos 21, 141-149. 

Frederick, C. (1994). Symptom removal. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1995). A holographic approach to holism. Journal of Interprofessional Care, 9, 9-13. 

Frederick. C. (1995). Ideodynamic healing and the mins-molecule-gene connection. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1995). Ideomotor signals: Getting started. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1995). Summoning the healing messenger of time: Hypnotic age progressions for psychosomatic and psychiatric emergencies. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, San Diego, CA. 

Frederick, C. (1995). The internal family and the external family: Perspectives on family systems aspects of ego state therapy. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, San Diego, CA.

Frederick, C. (1995). A holographic approach to holism. Journal of Interprofessional Care, 9, 9-13.

Frederick. C. (1995). Ideodynamic healing and the mins-molecule-gene connection. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1995). Ideomotor signals: Getting started. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1995). Summoning the healing messenger of time: Hypnotic age progressions for psychosomatic and psychiatric emergencies. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, San Diego, CA. 

Frederick, C. (1995). The internal family and the external family: Perspectives on family systems aspects of ego state therapy. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, San Diego, CA. 

Frederick, C. (1996). Functionaries, janissaries, and daemons: A differential approach to the management of malevolent ego states. Hypnos, 23, 37-47. 

Frederick, C. (1996). Hypnotic facilitation of new identity formation. Unpublished workshop  handout. 

Frederick, C. (1996). Liberating Sisyphus: Ego state therapy in the treatment of obsessive-compulsive disorder revisited. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. 

Frederick, C. (1996). Memory, trauma, and dissociation. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1996). Stress diathesis model. Unpublished workshop handout.

Frederick, C. (1996). Resolving overwhelming positive transferences in the therapeutic relationship with dissociative disorder patients. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. 

Frederick, C. (1996). The activation of positive or helpful ego states. Unpublished workshop  handout. 

Frederick, C. (1996). The facilitation of ideomotorically activated positive age regression. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1996). With a little help from our friends: Ago states as resources for ego-strengthening. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL.

Frederick, C. (1996). Functionaries, janissaries, and daemons: A differential approach to the management of malevolent ego states. Hypnos, 23, 37-47. 

Frederick, C. (1996). Hypnotic facilitation of new identity formation. Unpublished workshop  handout. 

Frederick, C. (1996). Liberating Sisyphus: Ego state therapy in the treatment of obsessive-compulsive disorder revisited. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. 

Frederick, C. (1996). Memory, trauma, and dissociation. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1996). Stress diathesis model. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1996). Resolving overwhelming positive transferences in the therapeutic relationship with dissociative disorder patients. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. 

Frederick, C. (1996). The activation of positive or helpful ego states. Unpublished workshop  handout. 

Frederick, C. (1996). The facilitation of ideomotorically activated positive age regression. Unpublished workshop handout. 

Frederick, C. (1996). With a little help from our friends: Ego states as resources for ego-strengthening. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Orlando, FL. 

Frederick, C. (1997). Resolving overwhelming positive transferences in the hypnotherapeutic relationship with post-traumatic patients. Hypnos, 24, 82-93. 

Frederick, C. (1999). Who is the dreamer? The countransference trance in ego state therapy. Presented at the 41st Annual Conference of ASCH, Atlanta, Georgia & the European Conference on Psychotherapy in Psychosomatic Medicine and Psychotherapy, Amsterdam, The Netherlands.

Frederick, C. (2003). Making possible the impossible in Ego State Therapy I. Workshop delivered at the First World Congress of Ego State Therapy, Bad Orb, Germany. 

Frederick, C. (2003). Making possible the impossible in Ego State Therapy II. Workshop delivered at the First World Congress of Ego State Therapy, Bad Orb, Germany. 

Frederick, C. (2005). Selected topics in ego state therapy. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 53, 339-429.

Frederick C. (2007). Ausgewählte Themen in Ego State Therapie. Hypnosis: Zeitschrift für Hypnose und Hypnotherapie 2 (1+2) . 

Frederick C. (n.d). The Chambered Nautilus: When Growth Patterns in Hidden Ego States Interact with Transference/Counted-Transference Fields. Hypnos 31, 75-82. 

Frederick, C. (n.d). The Hypnotherapeutic Relationship with the  Terminally  Ill Patient: an overview. Hypnos 25, 145-152. 

Frederick, C. (n.d). Liberating Sisyphus – Hypnotically Facilitate Therapy for Obsessive-Compulsive Disorder. Hypnos 29, 99-105. 

Frederick, C., Hartman, W. & Phillips, M. (n.d). The Foundation for Ego State therapy. Retrieved 8 September 2009 from www.milton-erickson- institut.de/dateien/fest.pdf. 

Frederick, C., & Phillips, M. (1995). Decoding mystifying signals: Translating symbolic communications of elusive ego states. American Journal of Clinical Hypnosis, 38, 87-96. 

Frederick, C., & Phillips, M. (1996). Decoding mystifying signals: Translating symbolic communications of elusive ego-states. American Journal of Clinical Hypnosis, 38, 87-96 & (Presented at the Annual Meeting of the American Society of Clinical Hypnosis. New Orleans, 1993). 

Frederick, C., & Phillips, M. (1996). Decoding mystifying signals: Translating symbolic communications of elusive ego-states. American Journal of Clinical Hypnosis, 38, 197-196. 

Frederick, C. and McNeal, S. (1993). From strength to strength: Inner strength with immature Ego states. American Journal of Clinical Hypnosis, 35, 250-256.


Frederick, C. & McNeal, S. (1999). Inner strengths: Contemporary psychotherapy and hypnosis For ego-strengthening. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
 

Frederick, C., & Morton, P. (1998). Welcome to Oz: Ideodynamic healing and ego states. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Ft. Worth, TX. 

Frederick, C., & Morton, P. (1998). Welcome to Oz: Ideodynamic healing and ego states. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Ft. Worth, TX.

Frederick, C. & Johnston, R. (2002). A matter if substance: Ego state therapy for the morbidly obese. Paper delivered at the Annual Meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, March 24, 2002. Indianapolis, Indiana. 

Fritzsche, Kai und Woltemade Hartman, (2010): Einführung in die Ego-State- Therapie, Carl-Auer-Verlag. 

Fromm,  E.  (1968). Transference  and  countertransference  in hypnoanalysis. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 16, 77-84.

Fromm, E. (1972). Ego activity and ego passivity in hypnosis. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 20, 238-251. 

Gainer, M. J. (1997). Ego state therapy for pain control. Paper presented at the 14th International Congress of Hypnosis. San Diego, CA. 

Gainer, M. J. & Torem, M. S. (1993). Ego state therapy for self-injurious behaviour. American Journal of Clinical Hypnosis, 35, 257-266.

Gainer, M.J. (1993). Somatization of dissociated traumatic memories in a case of reflex sympathetic dystrophy. American Journal of Clinical Hypnosis, 36(2), 124-131. 

Ginandes, C. (2006). Six players on the inner stage: Using ego state therapy with the medically ill. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 54(2), 113-129. 

Goodman, L. a. J. Peters (1995). Persecutor alters and ego states: Protectors, friends, and allies. Dissociation 8: 91-99. 

Greaves, G.B. (Oct 1980). Multiple personality: 165 years after Mary Reynolds. The Journal of Nervous and Mental Disease, 168(10), 577-596. 

Guse, T. (2009). Facilitating flourishing in therapists by using psychological strengths in ego state therapy. Paper presented at the 18th International Society of Hypnosis Congress, Rome, Italy. Guse, T. (in press) Enhancing lives: A positive psychology agenda for hypnosis. South African Journal of Psychology. 

Guse, T, & Fourie, G. (2008). Eliciting psychological strengths through hypnosis: an experiential introduction. Workshop presented at the 4th European Conference on Positive Psychology, Opatija, Croatia. Guse, T. & Fourie, G. (in press). Facilitating psychological well-being through hypnotherapeutic interventions. In M.P. Wissing (Ed.) Well-being research in South Africa. Dordrecht: Springer.  

Hartland, J. (1956). The value of “ego strengthening” procedures prior to direct symptom removal under hypnosis. American Journal of Clinical Hypnosis, 8, 89-93.

Hartland, J. (1971). Further observations on the use of ego-strengthening techniques. American Journal of Clinical Hypnosis, 14, 1-8. 

Hartman, D., & Zimberoff, D. (2003). Ego state s in heart-centred therapies. Journal of Heart Centred Therapies, 6,(1), 47-92.  

Hartman,  W.  (1995).  Ego  State  Therapy  with  Sexually  Traumatized Children. Pretoria: Kagiso.  

Hartman, W. (1995). Ego state therapy with sexually traumatized children. Pretoria, South Africa: Kagiso. Doctoral dissertation. University of Pretoria. 

Hartman, W. The Utilization of Ego State Patterns of Self-Expression in the Treatment of Aphonic Conversation Reactions. Hypnos 28, 4-10. 

Hartman, W. (1997). Advanced techniques of Ericksonian utilization. The use of symptom words, figures of speech and sequences in guiding ego states associations. Presented at the Meeting of the International Society of Hypnosis, San Diego, California, June 1997. 

Hartman, W. (n.d). Ego State Therapy – Then and Now. Hypnos 29, 52-58.

Hartman, W. (2002). Ego state therapy then and now: Towards a naturalistic utilization approach. Hypnos: Swedish Journal of Hypnosis in Psychotherapy and Psychosomatic Medicine, 29(2), 52-58. 

Hartman, W. (2005).The resourceful self in hypnotic ego state therapy with children: A neo-Ericksonion approach. Paper delivered at “Kindertagung - 5. Workshoptagung”, Heidelberg, Germany.  

Hartman, W. (n.d). Ericksonian Utilization: The Use of Guiding Ego State Associations. Hypnos 24, 206-212. 

Hartman, W, Reddemann, L, Schmidt, G. (n.d). Ich bin viele - Multiple Ich-Prozesse und wie man sie nutzen kann – Einführung in die Ego State Therapie, MP3 Auditorium Netzwerk, Jokers 

Hartmann, H. (1958). Ego Psychology and the Problems of Adaptation. New York: International Universities Press. 

Henry, W.P., Schacht, T.E., & Strupp, H.H. (1990). Patient and therapist introject, interpersonal process, and differential psychotherapy outcome. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 58, 768-774. 

Hilgard, E. R. (1986). Divided consciousness: Multiple controls in human thought and action. New York: Wiley. 

Holopainen, D, and Emmerson, G, J. (2002). “Ego State Therapy and the Treatment of Depression”, Australian Journal of Clinical Hypnotherapy & Hypnosis, 23, 89-100.  

Hunter, R. (2005). Hypnosis for Inner conflict resolution: Introducing parts therapy. Wales: Crown House Publishing Limited

Hunter, R. (2007). Client-centred parts therapy. Australian Journal of Clinical Hypnotherapy and Hypnosis, 6(4), 22-27.

Jung, C.G. (1959). The Archetypes and the Collective Unconscious. Princeton, NJ: Princeton University Press 

Klemperer, E. (1968): Past ego states emerging under hypnoanalysis. Springfield, IL (Thomas). 

Klemperer, E. (1965). Past ego states emerging in hypnoanalysis. J. Clin. & Exp. Hypn.13, 132-143. 

Kobut, H. (1977). The Restoration of the Self. New York: International Universities Press. 

Laurence, J. R. R., & Perry, C. (1981). The "hidden observer" phenomenon in hypnosis: Some additional findings. Journal of Abnormal Psychology, 90, 334-344. 

Leeb, W. A, Trenkle, B. & Weckenmann,M.F. (2011). Metaphern und Ego-States – hypnosystemisch in Der Realitätenkellner, Hypnosystemische Konzepte in Beratung, Coaching und Supervision, (Hrsg.), 355-363, Carl Auer,.

Lemke, W. (2005). Utilizing hypnosis and ego state therapy to facilitate healthy adaptive differentiation in the treatment of sexual disorders. American Journal of Clinical Hypnosis, 47(3), 179-189. 

Malmo, C. (1990). Recreating equality: A feminist perspective to ego-state therapy. In C. Malmo, & T. A. Laidlaw, (Eds.), Healing voices: Feminist approaches to therapy with women (pp.288-319). San Francisco, CA: Jossey-Bass. 

Malmo, C. (1991). Ego-state therapy: A model for overcoming childhood trauma. Hypnos 28: 39-44.

Malcolm, N. (1996). Fear of flying – The use of ego state therapy – Two case studies. Hypnos, 23, 202-205. 

McNeal, S. (1993). Coming together: Hypnoanalytic techniques for facilitating the Integration process in psychotherapy. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, New Orleans, LA.

McNeal, S. (1999). Inner Strength Revisited. European Congress on Hypnosis. Amsterdam; August 14 – 19, 1999 

McNeal, S. (1999). De fences or de open range. Paper presented at the annual meeting Of the American Society of Clinical Hypnosis, Atlanta, GA. 

McNeal, S. (2001) Strangely compatible bedfellows: Self-soothing, EMDR, and ego states.Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Reno, NV. 

McNeal, S. (2002). Perchance to dream: Ego states and dreams. Hypnosis International Monographs, 6, 79-89. 

McNeal, S. (2003). A character in search of character: Narcissistic  personality disorder and Ego state therapy. American Journal of Clinical Hypnosis, 45, 233-243. 

McNeal, S. (2003). From the passive to the active voice: Ego state therapy for Characterological passivity. Paper presented at the annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis, Alexandria, VA. 

McNeal, S. (2004). Ego state therapy and healthy narcissism. Paper presented at the Annual meeting of the American Society of Clinical Hypnosis. Anaheim, CA. 

Baca Selengkapnya

Tampilan : Thumbnail List