The only hypnotherapy school in Indonesia approved by American Council of Hypnotist Examiners (ACHE), USA

Artikel


Konstruksi Diri

9 April 2014

It's better to build children than repair adults.

Adalah impian setiap orangtua untuk bisa membesarkan anak yang percaya diri, cakap, mampu, bertangggung jawab, mandiri, cerdas dan bahagia. Orangtua menempuh sangat banyak cara untuk bisa memberikan stimulasi pada otak anak sehingga, diharapkan, anak bisa menjadi cerdas atau bahkan jenius.

Banyak orangtua, khususnya para ibu, setelah mendengar dari berbagai sumber, yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, ramai-ramai menyekolahkan anak mereka sedini mungkin. Ada yang mengikutkan anak mereka di baby-class, baik yang menggunakan pengantar bahasa Indonesia maupun yang full bahasa Inggris. Bahkan ada yang sudah memberikan les pelajaran bahasa Mandarin dan Inggris pada anak mereka yang baru berusia 3 tahun.

Ada lagi yang menggunakan CD audio tertentu untuk menstimulasi otak anaknya agar bisa terjadi banyak koneksi sel otak. Cara lain yang juga sangat sering digunakan adalah mengajar bayi, yang masih sangat kecil, dengan menggunakan flash card. Semua ini dengan harapan membuat anak menjadi cerdas dan bahkan jenius.

Pembaca, tahukah anda bahwa jenius tidak semata-mata diukur dengan hasil tes IQ? Memang, dalam dunia psikologi, dengan menggunakan tes IQ, kita bisa mendapatkan skor tertentu yang menunjukkan tingkat kecerdasan. Bila menggunakan skala Weschler seseorang disebut jenius bila skornya 141 atau lebih.

Namun, apakah hanya ini cara kita mengukur kejeniusan seseorang? Bagaimana bila saya mengusulkan satu definisi bahwa jenius adalah mengenal dan mengembangkan potensi diri yang telah ada di dalam diri kita hingga ke titik optimal untuk mencapai keberhasilan hidup.

Pembaca, tahukah anda bahwa anak cerdas sebenarnya memiliki ciri berikut: 

1. Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya)

2. Rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan

3. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berpikir logis dan kritis

4. Mampu belajar / bekerja secara mandiri

5. Ulet menghadapi kesulitan

6. Mempunyai tujuan yang jelas dalam setiap kegiatannya

7. Cermat / teliti dalam mengamati

Untuk bisa membantu anak berkembang menjadi anak yang cerdas, percaya diri, bahagia, bertanggung jawab, cakap, dan mampu maka kita perlu benar-benar memperhatikan proses dan waktu konstruksi diri anak. 

Setiap anak lahir dengan membawa pola psikis bawaan (predetermined psychic pattern). Pola psikis bawaan ini berfungsi untuk mengembangkan fondasi sukses anak, pada level psikis, sebagai persiapan untuk mempelajari hal-hal penting yang akan digunakan dalam hidup anak kelak. 

Pola psikis bawaan ini terdiri atas:

1.    Hukum Kerja

2.    Hukum Kemandirian

3.    Kekuatan Perhatian

4.    Pengembangan Kemauan

5.    Pengembangan Kecerdasan

6.    Pengembangan Imajinasi / Kreativitas

Hukum Kerja

Yang dimaksud dengan kerja, di sini, adalah kegiatan yang dilakukan oleh anak untuk mengembangkan konsentrasi, motorik kasar, motorik halus, kebiasaan, dan konsep diri. Orang dewasa menyebutkan “kerja” ini dengan istilah “bermain”. 

Saya menggunakan istilah kerja, untuk menjelaskan “bermain” yang dilakukan anak, guna memberikan pemahaman pada orangtua betapa pentingnya proses ini bagi seorang anak. Orangtua umumnya memandang “bermain” sebagai satu kegiatan yang memang secara alamiah suka anak lakukan. Padahal, saat melakukan “bermain” ada begitu banyak hal yang terjadi dalam diri anak yang tidak diketahui orangtua. 

Saat anak bekerja maka anak sedang menggunakan lingkungannya untuk meningkatkan kemampuan dirinya, melatih dirinya, mengembangkan potensi laten dalam dirinya, menyempurnakan dirinya. Hal ini tampak sangat jelas saat anak mulai belajar memegang sesuatu. Saat pertama kali hendak menyentuh atau memegang objek tertentu anak pasti akan mengalami kesulitan. Hal ini terjadi karena koordinasi antara mata dan motor masih belum bagus. Dengan melakukan pengulangan, terus menerus berusaha untuk memegang atau menyentuh, akhirnya anak berhasil. Dalam hal ini anak sebenarnya bekerja demi proses, bukan hasil akhir. 

Ditinjau dari nerusains, saat anak terus menerus mengulang satu tindakan maka ia membentuk koneksi antarneuron di otaknya. Semakin banyak neuron yang saling terkoneksi, semakin baik. Pada tahap awal kehidupan, dorongan untuk melakukan sesuatu, misalnya memegang benda yang ada di sekitarnya, diarahkan oleh insting, bukan oleh kehendak sadar.

Dalam melakukan kerja anak harus diberi kesempatan untuk melakukannya sendiri dengan upaya maksimal. Orangtua tidak boleh membantu anak. Dengan melakukannya sendiri, walaupun tampak susah payah, saat anak berhasil, maka akan membangun dan membetuk konsep diri yang baik. 

Seringkali orangtua yang tidak sabar melihat anaknya melakukan sesuatu, misalnya mengikat tali sepatu, tanpa persetujuan anak langsung mengikatkan tali sepatu anak. Orangtua beralasan anak lama baru bisa menyelesaikan kerja ini. Orangtua secara tidak sadar telah mengirim pesan kepada anak, “Kamu nggak bisa melakukan hal ini.”

Ini juga terjadi saat anak tidak dilatih untuk makan sendiri, mandi sendiri, pakai baju sendiri, menyiapkan peralatan tulis/sekolah sendiri, dll. 

Banyak orangtua yang tidak mau repot, apapun alasannya, menyuapi anak yang sebenarnya bisa makan sendiri, atau minta pembantu/suster menyuapi anak. Padahal, bila anak dilatih, diberi kesempatan untuk memegang sendok dengan benar, dan belajar makan sendiri, dalam waktu singkat anak pasti mampu melakukannya. 

Tindakan orangtua yang kesannya ingin memudahkan hidup anak, ingin membantu anak melakukan sesuatu, ternyata bertentangan dengan Hukum Kerja. Akibatnya... tentu sangat tidak baik untuk anak. 

Hukum Kemandirian

Banyak orangtua yang mengeluh anak mereka tidak mandiri. Sebenarnya ketidakmandirian anak terjadi akibat pola asuh yang salah. Orangtua sendiri yang mengakibatkan anak mereka tidak mandiri. Cara kita membantu anak untuk bisa menjadi mandiri adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk memilih apa kerja (permainan) yang akan ia lakukan dan berikan kesempatan anak untuk bekerja (bermain) sendiri. 

Saat anak memilih sendiri melakukan kerja tertentu maka saat itu anak telah mengembangkan kemauannya (sendiri) dan energinya diarahkan melakukan sesuatu yang konstruktif dalam memgembangkan disiplin diri. Dalam hal ini anak juga perlu diberi kebebasan dan diajarkan mengenai hal yang baik dan buruk. 

Kekuatan Perhatian

Dengan melakukan kerja maka anak juga mengembangkan kekuatan konsentrasi. Tidak mungkin anak bermain tanpa konsentrasi pada objek yang ia pilih untuk bermain. Dengan terus bekerja dengan menggunakan objek (mainan) tertentu anak mengembangkan konsentrasinya dan menggantikan impuls ketertarikan yang bersifat primitif dengan ketertarikan yang bersifat intelektual. 

Orangtua atau lingkungan sebaiknya memberikan anak banyak pilihan untuk bekerja sehingga eksplorasi diri yang anak lakukan bisa lebih beragam dan maksimal. 

Sayangnya, tren saat ini, anak-anak lebih banyak diberi mainan gadget yang mana sangat tidak baik untuk mengembangkan kekuatan perhatian dan interaksi sosial. Konsentrasi anak pada gadget justru melemahkan kemampuan konsentrasi mereka pada hal lain.

Idealnya, mainan yang digunakan anak untuk bekerja haruslah mainan atau objek yang dapat dimanipulasi dan melibatkan seluruh indera, tidak hanya mata dan pendengaran namun juga, terutama, indera perabaan. Intinya, kerja yang melibatkan stimulasi sensori.

Saya pernah mengamati salah satu murid PG Sekolah Anugerah Pekerti, yang saat itu berusia sekitar 3 tahun, mampu melakukan kerja, bermain menggunakan satu alat tertentu, dengan konsentrasi penuh selama 1 jam tanpa berhenti. Anak ini memindahkan 100 (seratus) butir kelereng dari satu wadah dan menempatkan setiap kelereng ini, dalam urutan dan posisi tertentu, di sebuah papan yang telah disiapkan. Ia melakukannya satu demi satu, dengan penuh perhatian, hati-hati, dan cermat. 

Usai menempatkan semua kelereng ini di tempatnya ia melanjutkan dengan mengembalikan semuanya, juga dengan penuh perhatian, satu demi satu, hingga semua kelereng yang tadinya ada di atas papan berpindah ke dalam wadah. 

Pengembangan Kemauan

Kemauan berkembang melalui tiga tahap. Pertama, melalui dorongan kerja dengan pengulangan kegiatan yang bersifat tidak sadar. Contohnya adalah saat anak bermain, misalnya cuci tangan. Anak akan melakukan “cuci tangan” ini mulai dari membuka keran air, membasahi tangannya, menyabuni tangan, membilas tangan yang telah disabuni, menutup keran, dan akhirnya mengeringkan tangan dengan menggunakan lap. 

Setelah satu siklus ini selesai anak akan berhenti sejenak, beberapa detik dan setelah itu kembali mengulangi proses yang sama dari awal hingga selesai. Demikian selanjutnya, anak melakukan hal yang sama berulang kali tanpa bosan. 

Saat anak melakukan kerja dan pengulangan ini anak sebenarnya sedang mengembangkan disiplin diri dan kekuatan untuk mentaati siklus kerja. Anak disiplin memulai hingga mengakhiri proses cuci tangan dengan lengkap. Anak taat dalam menjalankan proses ini. Manfaat positif terjadi di dalam diri anak. Orangtua yang tidak mengerti hal ini biasanya akan marah atau menegur anak karena dipandang melakukan hal yang tidak ada manfaatnya. 

Pengembangan Kecerdasan

Inilah rahasia yang tidak diketahui kebanyakan orangtua. Upaya yang dilakukan orangtua untuk mengembangkan kecerdasan anak, sejak masih kecil sekali, baik itu dengan menggunakan flash card, CD audio, menyekolahkan anak sejak usia dini sekali, dan berbagai cara lain tidak akan membuahkan hasil maksimal. 

Mengapa? Karena kecerdasan anak berkembang berdasarkan pada kemampuan sensorial. 

Yang dimaksud dengan kemampuan sensorial adalah kemampuan untuk mengenali panjang, lebar, tinggi, warna, berat, temperatur, bau, rasa, dan tekstur. Dengan bahasa yang lebih sederhana kecerdasan anak berkembang sejalan dengan stimulasi yang ia dapatkan melalui kelima inderanya. Dan yang paling besar pengaruhnya adalah stimulasi melalui indera perabaan, sentuhan, dan segala sesuatu yang menggunakan tangan atau jari. 

Saat anak masih kecil jari-jari tangannya berfungsi sebagai keyboard yang digunakan untuk memprogram otaknya. Pada ujung jari tangan terdapat begitu banyak saraf yang mampu menerima sangat banyak input. Input ini merangsang sel otak atau neuron untuk menumbuhkan akson sehingga terjadi koneksi dengan sel otak lain. Semakin banyak koneksi yang terjadi maka anak menjadi semakin cerdas. 

Bisa anda bayangkan apa yang akan terjadi pada anak yang hanya diberi mainan NDS atau PS? Kecerdasan anak ini tidak akan berkembang optimal karena minimnya stimulasi sensorial yang ia alami atau dapatkan dari lingkungannya. 

Pengembangan Imajinasi / Kreativitas

Untuk membantu mengembangkan imajinasi dan atau kreativitas anak membutuhkan kekuatan konsentrasi dan kebebasan. Anak harus punya banyak pengalaman dengan benda nyata. Anak juga harus mendapat kesempatan untuk melakukan manipulasi objek konkrit. 

Satu contoh. Anak bisa berimajinasi dengan kreatif bahwa sebuah kotak karton adalah mobil. Dari mana imajinasi atau kreativitas ini muncul? Karena anak telah punya pengalaman dengan mobil sungguhan. Mobil sudah ada di database memorinya. Tanpa adanya mobil (yang konkrit) yang pernah ia temui dalam hidupnya maka akan sangat sulit atau bahkan mustahil bagi anak untuk bisa membayangkan kotak karton sebagai mobil. 

Untuk semakin membantu mengembangkan imajinasi dan kreativitas anak maka orangtua bisa sering-sering membacakan cerita pada anak, khususnya di malam hari saat anak akan tidur. Anak juga perlu berinteraksi dengan alam. 

Misalnya anak pernah melihat burung di alam. Maka anak bisa membayangkan dirinya sebagai burung dan terbang bebas di angkasa. 

Dalam proses tumbuh kembang anak juga mengalami enam periode sensitif yang bersama dengan pola psikis bawaan membantu anak berkembang. 

Enam Periode Sensitif terdiri atas:

1. Sensitif terhadap keteraturan (0 – 2 thn)
2. Belajar melalui lima indera
3. Sensitif terhadap objek berukuran kecil (2 – 2 ½ thn)
4. Sensitif terhadap koordinasi gerakan/berjalan (2 - 4 thn)
5. Sensitif terhadap bahasa (1 – 3 thn)
6. Sensitif terhadap aspek sosial kehidupan (2 ½ - 6 thn) 

1. Sensitif Terhadap Keteraturan (0 – 2 thn)

Pada periode ini anak sangat membutuhkan konsistensi keteraturan di lingkungan. Anak perlu tinggal di rumah yang sama, di kamar yang sama, diasuh oleh pengasuh yang sama, dengan cara yang sama dan rutinitas yang sama. 

Kebutuhan akan keteraturan ini sangat mudah dilihat saat anak diajak ke menginap di kamar, selain kamar yang biasa ia gunakan. Biasanya anak tidak akan tidur sampai larut malam dan merasa gelisah sambil melihat-lihat sekeliling ruangan. 

Bila periode sensitif terhadap keteraturan tidak terakomodasi dengan baik maka di kemudian hari akan timbul efek negatif dalam diri anak:
- anak tidak mampu menyesuaikan diri dan tidak mampu membentuk gambar mental dari dunia di sekitarnya 
- anak akan merasa tidak aman (insecure) dan tidak percaya diri

2. Belajar Melalui Lima Indera

Saat masih kecil anak sangat membutuhkan kesempatan dan kebebasan untuk bisa belajar dan melakukan penjelajahan terhadap lingkungannya melalui kelima inderanya. Artinya anak butuh bisa menggunakan mata, telinga, hidung, penciuman, dan perabaannya untuk belajar dan mengenal diri dan lingkungannya. 

Bila anak tidak mendapat kesempatan belajar melalui lima indera maka di kemudian hari akan mengalami:
- anak akan mengalami kesulitan belajar
- anak suka memberontak karena pengembangan kemauan yang terhambat karena tidak mendapat kesempatan bekerja dengan material di lingkungannya.
- anak akan sulit berkonsentrasi
- anak akan sulit membuat perbandingan dan penilaian.

3. Sensitif Terhadap Objek Berukuran Kecil (2 – 2 ½ thn)

Ada masa di mana anak sangat tertarik dengan objek atau benda berukuran kecil seperti semut, ulat, butir beras, kacang hijau, atau apa saja yang berukuran kecil. Yang sebenarnya terjadi dalam diri anak adalah proses penyempitan fokus pandang mata, dari yang lebar menjadi sangat sempit. 

Selama ini anak melihat dunia di sekitarnya menggunakan sudut pandang yang lebar. Saat anak tertarik melihat objek berukuran kecil, misalnya semut hitam, maka pada saat itu anak, secara tidak sadar, melatih kemampuan fokusnya, dari fokus yang melebar menjadi fokus yang sangat sempit dan presisi, dan juga melatih konsentrasinya. 

Efek negatif bila periode sensitif ini tidak terakomodasi dengan baik: maka di masa depan anak akan mengalami:
- rasa ingin tahu anak akan hal yang baru kurang berkembang.
- Anak kurang cermat dalam pengamatan dan ini akan mempengaruhi kemampuan belajarnya.
- Anak bisa menjadi sangat pasif. 

4. Sensitif Terhadap Koordinasi Gerakan/Berjalan (2 - 4 thn)

Usia antara 2 hingga 4 tahun adalah usia di mana anak sangat aktif bergerak. Anak berlari, berjalan, naik turun tangga, memanjat pohon atau teralis jendela, melakukan gerakan berputar atau rolling dengan tak kenal lelah. Orangtua dan lingkungan yang tidak memahami hal ini cenderung akan memberikan anak label hiperaktif. Apakah benar anak hiperaktif? Belum tentu. Yang sering kali terjadi adalah anak overactive alias sangat aktif. 

Aktifnya anak dalam melakukan berbagai gerakan ini adalah dorongan dari dalam dirinya untuk menyempurnakan koordinasi otot-otot besar, menyempurnakan motorik kasar yang ia gunakan dalam bergerak, berlari, dan atau berjalan. 

Bila anak tidak mendapat kesempatan melatih koordinasi, karena batasan atau larangan orangtua atau lingkungan, maka anak akan besar dengan kemampuan motorik yang kurang optimal. Hal ini akan sangat tampak saat anak berolahraga, menari, atau melakukan aktivitas fisik lain yang membutuhkan keterampilan dan koordinasi otot yang baik. 

5. Sensitif Terhadap Bahasa (1 – 3 thn)

Anak umumnya mulai belajar bicara saat usia 1 tahun. Untuk mengembangkan kecakapan bahasa anak maka orangtua atau lingkungan perlu memberikan stimulasi bahasa secara terus menerus kepada anak, bisa dengan mengajak anak bicara, membacakan cerita, atau bernyanyi, bukan nonton tv atau video.

Satu hal yang harus sungguh-sungguh diperhatikan orangtua dalam menstimulasi kecakapan bahasa anak yaitu sebaiknya hanya menggunakan satu bahasa utama, sebaiknya bahasa ibu, untuk komunikasi. Banyak orangtua yang terlalu berambisi mengajari anak beberapa bahasa sekaligus, misalnya bahasa Inggris, Mandarin, dan bahasa Indonesia. Bila ini dilakukan maka anak akan mengalami rancu bahasa dan akan sulit berkomunikasi dengan baik dan lancar. 

Menurut Vygotsky idealnya anak punya satu bahasa yang sangat ia kuasai sebagai alat komunikasi dan membangun kemampuan abstraksinya. Baru setelah itu anak belajar bahasa lain. Bahasa yang sebaiknya dikuasai anak adalah bahasa Indonesia. Bahasa lainnya boleh diberikan namun hanya sebagai stimulasi saja. Kalau anak bisa, baik. Tidak bisa, juga tidak apa-apa. 

Bila anak tidak terstimulasi dengan baik pada masa ini maka berakibat buruk pada kemampuan berbahasanya. Sekali kemampuan ini tidak berkembang maka tidak akan ada kesempatan lagi untuk memperbaiki keadaan ini. Akibatnya anak akan kurang peka terhadap bunyi bahasa, menjadi kurang percaya diri, dan akan berakibat buruk pada konsep dirinya karena anak tidak mampu mengungkapkan dirinya. 

Beberapa kali saya dimintai bantuan untuk menerapi anak yang mengalami kesulitan bahasa. Ada anak yang sudah berusia 5 tahun tapi masih belum bisa bicara lancar. 

Dalam sesi wawancara dengan ibunya saya menemukan bahwa anak ini sejak bayi diasuh oleh suster. Ibu dan ayahnya sibuk berbisnis sehingga tidak sempat mengurusi anak. Suster yang merawatnya pendiam, jarang bicara, dan setiap hari anak diberi tontonan Cartoon Network. Dan yang lebih luar biasa lagi anak ini disekolahkan di sekolah yang mengajarkan tiga bahasa.

Tidak banyak yang bisa saya lakukan dalam hal ini selain menyarankan ibunya untuk memberikan stimulasi bahasa sebanyak mungkin kepada anaknya dan harus hanya menggunakan bahasa Indonesia. 

6. Sensitif Terhadap Aspek Sosial Kehidupan (2 ½ - 6 thn)

Dalam proses tumbuh kembang anak membutuhkan teman bermain untuk interaksi sosial dan mengembangkan kecakapan komunikasi. Melalui interaksi sosial ini anak belajar untuk mengenali anak lain, belajar menyampaikan keinginannnya, belajar untuk menghargai rekan, belajar berbagi, menghormati, dan menyayangi. 

Bila anak tidak boleh atau tidak mendapat kesempatan bermain dengan anak lain, maka anak akan merasa kesepian, rewel, dan tidak nyaman sehingga akan menuntut sangat banyak perhatian dari orangtua. Anak juga bisa menjadi sulit bergaul, merasa tidak aman dan tidak nyaman dengan hadirnya orang lain di sekitarnya. 

Saat ini anak lebih banyak hidup dalam dunianya sendiri, ditemani gadget. Anak jarang bermain yang melibatkan anak lain.

Baca Selengkapnya

Abreaksi: Perlukah dan Mengapa?

5 April 2014

Abreaksi (abreaction) adalah kondisi di mana muatan emosi dari pikiran bawah sadar meluap atau meledak keluar dalam bentuk ucapan atau perilaku tertentu. Ada abreaksi yang sifatnya “keras” di mana luapan emosi ini keluar dengan begitu deras dan subjek menangis, berteriak, memukul, meninju, meremas, mengeram, mencakar, dan bahkan menendang. Ada juga abreaksi yang sifatnya “lunak” di mana klien hanya menangis perlahan. Walau perilaku abreaksi berbeda namun yang terjadi setelah abreaksi umumnya adalah subjek merasakan kelegaan atau plong. Ini yang disebut dengan katarsis.

“Penemuan” abreaksi sebagai teknik terapi secara tidak sengaja terjadi saat Jospeh Breuer (1842-1925), sejawat dan kolega Sigmund Freud, menangani pasien histerikal, Anna O., yang masalahnya berawal dari ketakutan hebat saat mengetahui ayahnya mengalami abses paru. Walau Breuer telah melakukan berbagai upaya dengan menggunakan hipnosis, kondisi Anna, semakin hari semakin memburuk. Ia menjadi semakin menderita akibat simtom fisik yang ia alami dan kondisi kesadaran kesadaran yang berubah-ubah.

Secara tidak sengaja, suatu hari, Breuer menginduksi Anna, dan ia dengan bebas bicara dan mengungkapkan emosi yang mengganggunya selama ini. Usai mengungkapkan emosinya Anna mengalami perasaan lega serta tidak lagi mengeluhkan kondisinya seperti sebelumnya.

Suatu sore, saat hawa sedang sangat panas, Anna merasa sangat haus, namun  saat akan minum, ia tidak bisa menelan air yang sudah ada di dalam mulutnya. Selama enam minggu berikutnya ia mengatasi rasa hausnya hanya dengan makan buah, terutama melon.

Di salah satu sesi hipnosis, Anna, dengan penuh kemarahan bercerita bahwa ia melihat seorang pengasuh anak membiarkan seekor anjing minum dari gelas. Anna merasa jijik sekali. Saat itu Anna tidak protes atau menegur pengasuh ini. Usai mengeluarkan perasaannya tiba-tiba Anna minta minum dan langsung bisa minum dengan normal.

Melalui proses hipnosis yang cukup panjang akhirnya Anna berhasil mengungkap berbagai kejadian yang menjadi penyebab histeria yang ia alami dan akhirnya sembuh.

Hasil yang dicapai Breuer sangat penting dalam konteks hipnoterapi karena ia mengubah pendekatan terapi kala itu yang hanya berupaya menghilangkan simtom melalui sugesti menjadi mencari dan menemukan akar masalah.

Freud sangat terkesan dengan hasil terapi dan kerja Breuer hingga di tahun di 1895 mereka menerbitkan buku berjudul Studien über Hysterie. Dari buku inilah muncul teori yang menyatakan bahwa neurosis disebabkan oleh pengalaman traumatik (akar masalah) di masa lalu.

Mereka menyatakan, “We found at first to our greatest surprise, that the individual hysterical symptoms immediately disappeared without returning if we succeeded in thoroughly awakening the memories of the causal process with its accompanying affect, and if the patient circumstantially discussed the process in the most detailed manner and gave verbal expression to the affect.

(Kami semula sangat terkejut saat menemukan bahwa simtom histerikal yang dialami individu segera hilang, tidak kembali lagi, bila kami berhasil secara menyeluruh memunculkan kembali memori yang menjadi akar masalah beserta emosi yang menyertainya, dan bila pasien secara tidak langsung mendiskusikan kejadiannya dengan sangat detil dan mengungkap secara verbal emosi yang ia rasakan).

Namun sungguh disayangkan, Freud akhirnya meninggalkan hipnosis karena merasa bahwa kemajuan terapeutik yang berhasil dicapai melalui abreaksi sifatnya temporer. Dari berbagai literatur tidak ada satupun yang menyatakan bahwa Freud melakukan abreaksi berulang untuk menguji kesimpulannya. Jadi, yang Freud lakukan adalah abreaksi tunggal yang memang secara klinis kurang optimal dalam mengatasi masalah.

Seiring waktu berjalan hipnosis/hipnoterapi mengalami perkembangan sangat pesat. Ada banyak temuan riset yang dilakukan oleh para pakar dan praktisi seperti Pierre Janet (1907), Wilhelm Reich (1949), Lowen (1975), Rolf (1978), khususnya yang berkaitan dengan abreaksi dan teknik penanganan abreaksi,

Salah satu pengguna aktif terapi abreaksi hipnotik adalah William Brown (1920). Brown menerapi ribuan kasus neurosis akibat perang dan melakukan pencatatan detil terhadap setiap kliennya. Ia menyimpulkan bahwa lepasnya emosi yang selama ini tertekan atau terpendam di pikiran bawah sadar mengakibatkan segmen kepribadian yang tadinya mengalami disosiasi kini bisa kembali terintegrasi.

Menurut Brown penting untuk melakukan abreaksi secara intensif, berkelanjutan hingga benar-benar tuntas, dan mengulangi abreaksi beberapa kali. Ia juga menyatakan, usai pelepasan emosi, penting untuk memberi dukungan dan penguatan bagi klien, serta memberi makna pada kejadian agar hilangnya simtom sifatnya permanen.

Saat perang dunia kedua, John G. Watkins (1949) menyempurnakan dan menggunakan teknik abreaksi di U.S. Army’s Welch Convalescent Hospital di Daytona Beach, Florida, untuk membantu menyembuhkan tentara yang mengalami gangguan emosi akibat perang di Italia dan Perancis. Watkins menjelaskan tekniknya di buku Hypnotherapy of War Neuroses.

Alexander dan French (1946) menekankan pentingnya klien mengalami pengalaman emosional korektif (corrective emotional experience) dalam bentuk mengalami kembali peristiwa yang menjadi sumber masalah, melepas emosi pada peristiwa itu, dan pemahaman baru melalui pemaknaan, baik melalui analisis transferensi dan dalam kondisi hipnotik.

Tidak semua abreaksi, dari pengalaman klinis dan temuan kami, sifatnya terapeutik. Hal ini tampak dari berbagai kisah nyata saat seseorang mengalami abreaksi, baik yang hebat atau ringan, dan setelahnya untuk sementara waktu merasa lega. Namun beberapa saat kemudian kembali mengalami masalah yang sama.

Teknik penanganan abreaksi yang kami kembangkan di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology selain berdasar pada teori pikiran bawah sadar dan hasil riset kami juga terutama didasarkan pada pemikiran Helen H. Watkins.

Agar dapat menghasilkan efek terapeutik yang permanen maka beberapa syarat berikut perlu dipenuhi:

1. abreaksi harus dilakukan di kejadian paling awal dari rangkaian kejadian yang mengakibatkan munculnya gangguan emosi dan perilaku.

2. abreaksi harus dilakukan secara tuntas dan menyeluruh sehingga semua emosi yang terkandung di dalam memori kejadian awal lepas semuanya.

3. klien perlu dibantu untuk bisa mendapatkan pemaknaan atau hikmah dari kejadian yang dulunya ia alami.

4. perlu dilakukan rekonstruksi memori sehingga yang tersimpan di pikiran bawah sadar klien, usai terapi, adalah memori positif dan menyenangkan.

Dalam konteks memori, rekonstruksi yang dilakukan dapat mengakibatkan salah satu dari dua kemungkinan. Pertama, memori lama yang telah terhapus tidak lagi dapat diakses (Loftus, 1979). Ini dikenal dengan The Memory Alteration Hypothesis. Kedua, memori lama dan baru keduanya ada di pikiran bawah sadar dan keduanya dapat diakses (Bekerian dan Bowers, 1983; Christiaansen dan Ochalek, 1983). Ini dikenal dengan The Memory Coexistence Hypothesis.

Tidak jadi masalah apakah klien ingat memori awal atau versi yang telah dikoreksi, selama empat poin di atas telah dilakukan dengan baik dan benar, maka saat ia keluar dari kondisi hipnosis perubahan yang telah terjadi selama proses terapi tetap berlaku.

Rekonstruksi memori ini akan sangat efektif memengaruhi klien bila dilakukan dalam kondisi relaksasi pikiran yang (sangat) dalam (deep trance) karena di kedalaman inilah terapis dapat menggunakan trance logic pikiran klien secara optimal. 

Baca Selengkapnya

Yang Klien Perlu Tahu Sebelum Menjalani Hipnoterapi

30 Maret 2014

Saat ini kesadaran masyarakat untuk mendapat bantuan profesional guna mengatasi masalah yang berhubungan dengan pikiran, emosi, dan perilaku sudah semakin meningkat. Pemahaman akan hipnoterapi, khususnya hipnoterapi klinis, juga sudah semakin meningkat. Masyarakat sudah semakin memahami apa sebenarnya hipnoterapi klinis, apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan dengan hipnoterapi klinis.

Tentu ini adalah satu kabar yang sangat menggembirakan karena hipnoterapi klinis adalah salah satu modalitas terapi yang telah teruji secara klinis sangat efektif membantu mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan emosi dan perilaku.

Beberapa waktu lalu AWGI dihubungi oleh salah satu calon klien yang ingin menerapikan dirinya untuk mengatasi masalah kecemasan yang telah mengganggu hidupnya selama hampir dua tahun. Seperti biasa, calon klien bertanya banyak hal seputar hipnoterapi dan kami menjelaskan dan menjawab dengan detil setiap pertanyaannya.

Ada beberapa pertanyaan menarik yang kerap ditanyakan oleh calon klien. Pertanyaan ini, dari simpulan kami, muncul karena pemahaman yang kurang pas mengenai sifat dan layanan hipnoterapi secara umum.

Berikut saya berikan beberapa penjelasan penting guna menambah wawasan dan  pemahaman mengenai layanan hipnoterapi klinis yang disediakan lembaga Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology.

Saya ingin menerapikan anak/pasangan/rekan/kolega yang bermasalah. Apakah bisa?

Hipnoterapi tentu bisa membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi. Namun ada syarat penting yang perlu dipenuhi. Klien harus bersedia menjalani sesi konseling dan atau terapi atas kesadaran atau keinginannya sendiri, tidak bisa atas perintah, paksaan, ancaman, atau rayuan orang lain. Hipnoterapi tidak bisa dilakukan tanpa ijin dari klien.   

Apakah klien bisa dihipnoterapi supaya lupa seseorang atau satu pengalaman traumatiknya?

Ini adalah pertanyaan yang umum kami jumpai. Hipnoterapi tidak bisa membuat orang lupa satu kejadian. Yang bisa dilakukan adalah kami memroses emosi yang ada pada satu kejadian. Setelah emosi ini berhasil diproses klien dapat tetap mengingat kejadian itu namun tidak lagi terpengaruh. Selain itu, hipnoterapi hanya bisa dilakukan atas ijin dan keinginan klien. Tanpa ijin klien terapi tidak mungkin dan tidak akan bisa dilakukan.

Apakah hipnoterapi bisa digunakan untuk mengungkap rahasia seseorang?

Ini adalah pandangan yang salah mengenai hipnosis atau hipnoterapi, mungkin akibat sering menyaksikan acara di tv. Kami beberapa kali dihubungi suami atau istri yang minta pasangannya dihipnosis dan dicek apakah selingkuh atau tidak. Ada lagi perusahaan yang kehilangan uang dalam jumlah besar dan merasa yakin salah satu karyawannya yang mencuri uang perusahaan dan minta agar karyawan ini dihipnosis dan dicek apa benar ia mencuri atau tidak.

Ini tidak bisa dilakukan. Hipnosis hanya bisa dilakukan atas ijin klien. Bila tidak, klien bisa menolak dan berbohong karena selama dalam kondisi hipnosis klien sebenarnya sadar sepenuhnya dan tetap memegang kendali atas pikiran dan tubuhnya.

Tayangan di televisi yang lebih ditujukan untuk hiburan telah memberi “pemahaman” yang salah tentang hipnosis. Bila apa yang dilakukan di televisi itu benar, bisa mengungkap atau membongkar rahasia seseorang walau orang itu tidak bersedia, maka kita tidak perlu KPK. Cukup bawa orang yang disangka sebagai koruptor ke hipnotis yang di tv itu, minta ia menghipnosis tersangka dan dengan mudah semua rahasia akan terbuka. Dengan demikian kerja aparat penegak hukum akan menjadi sangat ringan. Sekali lagi, yang di tv itu hanya untuk hiburan dan banyak rekayasanya.

Apakah ada jaminan kesembuhan?

Hipnoterapi adalah kontrak upaya, bukan kontrak hasil. Sesuai dengan kode etik kami tidak pernah dan tidak boleh menjanjikan kesembuhan kepada klien. Sama seperti professional healer lainnya yang bekerja dengan sangat profesional seperti dokter, psikolog, psikiater, atau konselor tidak boleh memberikan janji atau jaminan kesembuhan. Kesembuhan dan keberhasilan terapi ditentukan oleh kerjasama antara klien dan terapis.

Bila dokter membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan fisik maka hipnoterapis klinis membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi atau perilaku. Dengan kata lain hipnoterapis klinis adalah “dokter” pikiran. 

Apakah ada masa garansi?

Pertanyaan ini sering membuat kami tersenyum. Klien bukan barang atau benda mati tapi adalah manusia yang sangat dinamis dan kompleks. Hipnoterapis tidak boleh memberikan garansi. Misalnya, setelah diterapi, terapis memberikan masa garansi selama, misalnya dua minggu. Bila dalam kurun waktu dua minggu ini ternyata klien masih merasa kurang nyaman maka klien bisa minta terapi lagi dengan gratis karena masih dalam masa garansi. Hipnoterapis berlaku sama seperti dokter, psikolog, psikiater, atau konselor yang tidak pernah memberikan masa garansi.

Apakah ada hipnoterapis yang memberikan garansi? Saya tidak tahu. Yang pasti, berdasar kode etik lembaga kami, pemberian garansi ini tidak boleh dan tidak profesional. 

Apakah ada atau boleh diberlakukan sistem paket?

Dalam organisasi kami tidak diperkenankan untuk memberlakukan sistem paket. Sama halnya praktik dokter, saya belum pernah bertemu atau menemukan dokter yang memberlakukan sistem paket. Misalnya, pasien sakit batuk pilek dan berobat ke dokter. Dokternya berkata, “Kalau sekali jumpa saya tarifnya Rp. 250.000. Ini ada pahe, paket hemat. Anda jumpa saya 5 kali dan saya hitung hanya Rp. 1.000.000 saja, bayar di muka.”

Aturan yang berlaku dalam organisasi kami yaitu kami meminta komitmen klien untuk menjalani terapi maksimal sampai 4 (empat) sesi. Ini hanya komitmen. Bila ternyata dalam satu atau dua sesi klien sudah merasa nyaman dan masalahnya sudah teratasi maka terapi tidak perlu diteruskan.

Komitmen ini sekaligus merupakan pesan ke pikiran bawah sadar klien untuk all out menjalani sesi terapi. Bila sampai empat sesi klien tidak berhasil dibantu mengatasi masalahnya maka terapis akan mundur dan menyarankan klien untuk minta bantuan terapis lain yang lebih kompeten.

Dari pengalaman kami, bila sampai empat sesi klien belum juga berhasil dibantu mengatasi masalahnya maka hanya ada dua kemungkinan. Pertama, klien tidak niat sembuh atau tidak all out. Kedua, terapisnya tidak kompeten untuk mengatasi masalah klien. Dalam situasi seperti ini tidak ada gunanya meneruskan terapi karena bila diteruskan akan tidak baik untuk klien.

Terapis, dalam setiap sesi terapi, melakukan upaya maksimal membantu klien berdasar pengetahuan dan pengalamannya. Terapis tidak diperkenankan dengan sengaja memperpanjang sesi terapi demi mendapat keuntungan finansial. 

Apakah ada diskon professional fee?

Saat ini, pertanyaan seperti ini sudah sangat jarang terjadi. Dulu, sangat sering. Ada calon klien yang menawar professional fee. Saya tidak tahu apa yang ada di benak calon klien ini saat berusaha dengan segala cara menawar fee seorang terapis. Ada yang menawar separoh, lalu karena tidak bisa, menaikkan lagi tawarannya. Klien berkata, “Di tempat lain harga terapinya cuma segini lho, masa di tempat Anda lebih mahal. Apa tidak bisa dibuat sama saja dengan yang di sana?”

Kami memandang situasi ini sebagai kesempatan emas untuk memberikan edukasi kepada calon klien. Kami selalu mengatakan bahwa hipnoterapis klinis adalah profesi yang sejajar dengan dokter, psikiater, atau profesional lain yang bergerak di bidang penyembuhan. Bila dokter membantu menyembuhkan masalah yang berhubungan dengan fisik maka hipnoterapis klinis membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan pikiran, emosi, dan perilaku.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa apa yang kami lakukan ini adalah hal yang sangat serius dan kami memperlakukan klien dan diri kami juga dengan sangat serius. Kebijakan kami yaitu fee tidak untuk ditawar. Hipnoterapis profesional menetapkan fee sesuai dengan pengalaman dan kompetensinya.

Pengalaman klinis kami menyatakan bahwa saat klien mulai menawar fee terapis, apalagi sampai minta terapi gratis, maka biasanya hasil terapi tidak akan bisa maksimal. Ada satu Bagian Diri klien yang tidak bersedia “membayar harga” untuk berubah.

Tentu, terapis juga perlu cermat dan bijak untuk tahu kondisi klien yang sesungguhnya. Untuk klien yang benar-benar tidak mampu maka, sesuai dengan kebijakan masing-masing, terapis dapat memberi potongan harga dan juga bila perlu menggratiskan layanan terapinya. Ini tentu bergantung situasi dan kondisi di lapangan. 

Kebiasaan menawar fee ini tidak berhubungan dengan status sosial ekonomi calon klien namun lebih pada mindset. Pernah ada satu rekan sejawat saya yang merasa kasihan dengan kondisi orangtua klien anak yang memang tidak mampu. Usai terapi, rekan ini menggratiskan fee-nya. Ternyata ibu dari klien ini dengan tegas berkata, “Pak, walau saya orang kurang mampu tapi saya tidak perlu dikasihani. Saya tetap akan bayar ongkos terapi. Saya mau kasih pelajaran sama anak saya bahwa semua ada harganya. Bahwa anak saya dibantu dan berubah, ini juga ada harga yang harus dibayar. Saya harap Bapak terima uang saya.” 

Baca Selengkapnya

Keragaman dan Keunikan Praktik Hipnoterapi Indonesia

22 Maret 2014

Baru-baru ini saya dapat email dari seorang sahabat FB yang telah menjalani sesi hipnoterapi dan minta saya memberi komentar atau pendapat. Saya katakan bahwa saya tidak dalam kapasitas untuk memberi komentar mengenai terapi yang dilakukan terapis lain.

Pertanyaan seperti ini memang sering saya dapatkan. Dan selama ini saya konsisten tidak bersedia memberi komentar. Dari berbagai kisah tentang proses terapi yang saya dengar atau baca tampak bahwa praktik hipnoterapi di Indonesia cukup beragam dan unik, bergantung pada latar belakang masing-masing terapis , lembaga tempat mereka belajar, dan mendapat sertifikasi.

Berikut ini adalah beberapa “varian” dalam praktik hipnoterapi yang saya ketahui baik dari kisah sahabat FB, dari klien-klien yang kami tangani, dan dari hasil penelusuran di berbagai situs internet. Terlepas dari apapun varian yang bisa dijumpai dalam hipnoterapi semuanya tentu punya satu tujuan yang sama yaitu membantu klien mengatasi masalahnya dengan cepat, mudah, menyenangkan, dan dengan hasil terapi yang permanen.

Varian 1. Hipnoterapi yang sepenuhnya mengandalkan sugesti.

Dalam varian ini seorang hipnoterapis akan menggali apa masalah klien yang ingin diatasi. Setelah mendapat cukup informasi, langkah selanjutnya adalah menyusun skrip sugesti yang sesuai. Ini tentu butuh waktu dan kecermatan. Setelah menyusun skrip, terapis akan membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis, semakin dalam semakin baik, dan selanjutnya membaca skrip terapi.

Saat terapis membaca skrip, saat proses terapi, biasanya juga direkam. Rekaman ini yang selanjutnya didengarkan oleh klien di rumah berulang kali dengan tujuan memperkuat efek terapeutik dari skrip. Dengan demikian, diharapkan, klien sembuh dari masalahnya.

Varian 2. Hipnoterapi yang digabung dengan akupuntur.

Penggunaan akunpuntur di sini lebih untuk merilekskan klien. Setelah klien rileks terapis melanjutkan dengan teknik hipnoterapi yang sesuai untuk membantu klien. Ada yang melanjutkan dengan pemberian sugesti atau teknik lainnya.

Varian 3. Hipnoterapi yang digabung dengan tarot.

Untuk bisa melakukan varian ini hipnoterapis perlu cakap di dua bidang, yaitu hipnoterapi dan membaca kartu tarot. Biasanya sebelum melakukan terapi, terapis akan menggunakan kartu tarot untuk “membaca” kondisi klien. Hasil bacaan ini digunakan sebagai dasar atau acuan melakukan terapi. Terapinya bisa berupa pemberian sugesti dalam kondisi mata terbuka (waking hypnosis), pemberian saran, masukan, dan langkah yang perlu klien lakukan untuk mengatasi masalah. Hal-hal yang disampaikan oleh terapis dengan mudah menembus faktor kritis dan masuk ke pikiran bawah sadar klien karena klien memandang terapis sebagai figur dengan otoritas yang (sangat) tinggi. Terapis juga bisa menghipnosis klien dan memroses masalah di pikiran bawah sadar berdasar hasil bacaannya.

Varian 4. Hipnoterapi yang dilakukan sambil bicara santai.

Jenis hipnoterapi ini biasa disebut dengan conversational hypnotherapy atau hipnoterapi yang dilakukan sambil diskusi atau ngobrol santai. Terapis tidak melakukan induksi formal untuk membawa klien masuk kondisi hipnosis. Melalui serangkaian teknik yang diterapkan dengan cermat, sistematis, dan hati-hati terapis mampu membawa klien masuk kondisi hipnosis, dalam kondisi mata terbuka, dan selanjutnya menanamkan sugesti tertentu, tentunya yang bersifat terapeutik, ke pikiran bawah sadar klien tanpa klien sadari atau ketahui.

Varian 5. Hipnoterapi yang digabung dengan NLP

Ini adalah salah satu varian yang cukup banyak dijumpai. Hipnoterapis yang juga menguasai teknik terapi berbasis NLP menggabungkan hipnoterapi dan NLP dan menyebut tekniknya sebagai hipno-nlp.

Varian 6. Hipnoterapi yang digabung dengan terapi energi

Masuk dalam kelompok ini adalah hipnoterapi yang digabung dengan praktik energi seperti Reiki, buka aura, totok aura, pembersihan aura, atau otak-atik cakra dan medan energi tubuh. Ada terapis yang setelah mencoba melakukan hipnoterapi pada kliennya dan tidak berhasil selanjutnya berusaha menarik keluar energi negatif di dalam tubuh klien yang diyakini sebagai sumber masalah.

Saya pernah mendapat cerita ada terapis yang gagal menarik keluar energi negatif  dari dalam diri klien, mengakibatkan kondisi klien menjadi semakin parah, akhirnya menyimpulkan bahwa klien dikuasai makhluk halus. Terapis selanjutnya menggunakan ritual tertentu untuk mengeluarkan “makhluk halus” ini.

Varian 7. Hipnoterapi yang digabung dengan analisis tulisan tangan (graphology)

Varian ini menggunakan analisis tulisan tangan untuk “membaca” kondisi klien. Ada terapis yang mengklaim mampu menemukan akar masalah hanya dengan melakukan analisis tulisan tangan. Dari temuan ini terapis meregresi klien ke kejadian tertentu, yang diyakini sebagai akar masalah, dan melakukan resolusi trauma.

Varian 8. Hipnoterapi yang digabung dengan hitungan nama dan tanggal lahir

Dalam hipnoterapi ini terapis menganalisis kemungkinan masalah klien berdasar nama klien, nama pasangan, dan tanggal lahir. Dari sini terapis akan “tahu” apa yang menjadi penyebab masalah klien dan menentukan solusinya.

Varian 9. Hipnoterapi berbasis Ego Personality

Hipnoterapi jenis ini secara ekslusif berusaha menyelesaikan masalah klien dengan mengakses dan memroses Ego Personality (EP) atau Bagian Diri yang membuat masalah. Melalui reedukasi atau negosiasi antara terapis, dalam hal ini mewakili klien, dan EP, yang bisa berlangsung cukup alot, akhirnya EP bersedia mendukung hidup klien dan berhenti memunculkan simtom atau masalah.

Varian 10. Hipnoterapi yang menggunakan pendulum

Penggunaan pendulum adalah untuk berkomunikasi langsung dengan pikiran bawah sadar. Setelah membimbing klien masuk kondisi hipnosis terapis bertanya pada pikiran bawah sadar klien dengan pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan salah satu dari tiga kemungkinan berikut: “Ya” , “Tidak”, atau “Tidak bersedia menjawab”.  Setelah menemukan sumber masalah klien, terapis melanjutkan dengan teknik hipnoterapi yang sesuai.

Varian 11. Hipnoterapi yang fokus dengan teknik PLR (past life regression)

Dalam varian ini semua sumber masalah klien diyakini berasal dari kehidupan lampau. Terapis meregresi klien mundur ke kehidupan lampau klien, mencari, menemukan, dan membereskan akar masalah.

Varian 12. Hipnoterapi yang menggunakan prosedur hipnoanalisis

Dalam hipnoterapi ini suatu simtom atau masalah diyakini mempunyai akar masalah. Terapis, dengan teknik tertentu, mencari, menemukan, dan memroses akar masalah ini hingga tuntas.

Teknik yang umumnya digunakan untuk menemukan akar masalah adalah hypnotic age regression atau biasa disebut regresi dengan beragam variannya. Selain teknik regresi, hipnoterapi jenis ini juga menggunakan beragam teknik lain untuk menuntaskan masalah klien.

Saya yakin masih ada banyak varian hipnoterapi selain yang telah saya sebutkan di atas. Varian mana yang paling baik atau efektif? Saya tidak dalam kapasitas memberi penilaian. Tujuan saya menulis artikel ini hanya untuk memberikan informasi mengenai apa saja yang terjadi dalam dunia hipnoterapi di Indonesia yang saya ketahui atau jumpai.

Saya pribadi dan para hipnoterapis alumni AWG Institute hanya menggunakan varian no 12. Berhubung saya hanya bisa yang ini maka saat ada sahabat yang bertanya pada saya mengenai varian lainnya, saya tidak bisa komentar.

Mana varian yang paling sesuai untuk klien? Ini semuanya bergantung pada klien. Ada klien yang khusus mencari terapis yang mempraktikkan varian 11 yaitu yang menggunakan past life regression. Ada klien yang senang dan percaya dengan energi dan mencari hipnoterapis dengan keahlian ini. Semua berpulang pada masing-masing klien. 

Baca Selengkapnya

Cerdas dan Bijak Memahami Regresi Dalam Hipnoterapi

16 Maret 2014

Secara sederhana, kata “regresi” berarti mundur, urutan berbalik ke belakang. Dalam dunia psikologi, regresi, seperti yang dinyatakan oleh Anna Freud, adalah mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) di mana seseorang, karena mengalami kejadian dengan muatan stres yang tinggi, berbalik ke tahap perkembangan perilaku sebelumnya. Regresi dalam hipnoterapi adalah peristiwa di mana klien di dalam pikirannya mundur menyusuri garis waktu internal ke satu waktu atau kejadian spesifik di masa lalunya. 

Ditinjau dari intensitas keterhubungan dan kedalaman keterlibatan diri dalam kejadian yang dialami klien dikenal ada dua jenis regresi dalam hipnoterapi. Yang pertama, hipermensia yaitu klien mengingat dengan jelas satu kejadian spesifik. Kedua, revivifikasi yaitu klien bukan sekedar mengingat tapi mengalami kembali, di masa sekarang, kejadian tertentu di masa lalu sama seperti ia mengalaminya dulu. Setiap jenis regresi punya manfaat yang berbeda dan aplikasinya perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan terapi. Secara teknis dikenal dua tipe hipermnesia dan dua tipe revivifikasi yang masih terbagi lagi ke dalam dua subtipe. 

Bila ditinjau dari proses dan faktor penyebab terjadinya dikenal ada sepuluh tipe regresi yaitu directive regressionnondirective regression, spontaneous regression, emotionally induced regression, recreational regression, past life regression, wannabe regressiontherapist-led regressiontherapist-forced regression, dan Ego Personality-based regression. 

Directive regression adalah regresi di mana klien mundur ke masa lalu ke satu kejadian atau waktu spesifik mengikuti bimbingan terapis. Masuk dalam tipe regresi ini antara lain regresi dengan kalender, regresi menggunakan usia, regresi kenangan indah atau kejadian spesifik.

Nondirective regression adalah regresi ke satu waktu atau kejadian spesifik namun tidak ditentukan atau secara sengaja diarahkan oleh terapis. Masuk dalam tipe regresi ini adalah regresi dengan teknik buku kehidupan, karpet ajaib, lorong waktu, sungai kehidupan, ideomotor, affect bridgesomatic bridge.  

Nondirective regression sebenarnya juga adalah directive regression. Bedanya, dalam directive regression klien mundur ke waktu atau kejadian spesifik yang ditentukan oleh terapis sedangkan dalam nondirective regression klien mundur, tetap dengan bimbingan terapis, namun pikiran bawah sadar klien yang menentukan akan mundur ke waktu atau kejadian mana yang relevan untuk menyelesaikan masalah. 

Spontaneous regression adalah regresi yang terjadi secara spontan, tanpa diarahkan oleh terapis. Dalam hal ini pikiran bawah sadar klien yang membawa klien mundur ke waktu atau kejadian spesifik. Spontaneous regression belum tentu membawa klien ke awal mula kejadian yang menjadi penyebab masalah atau yang lazim dikenal dengan istilah initial sensitizing event (ISE). Terapis perlu cermat melakukan validasi. 

Spontaneous regression terjadi karena pikiran bawah sadar mencoba mengeluarkan ”tekanan” emosi dari pengalaman traumatik masa lalu karena merasa situasinya memungkinkan (aman) dan ada orang/terapis yang bisa membantu. Dalam kondisi normal, dengan tujuan melindungi pikiran sadar, pikiran bawah sadar merepresi emosi ini sedemikian rupa sehingga tidak bisa naik dan tidak diketahui oleh pikiran sadar. 

Emotionally induced regression adalah regresi yang menggunakan perasaan atau emosi sebagai jembatan (affect bridge) yang menghubungkan simtom klien di masa sekarang dengan kejadian awal di masa lalu yang menjadi penyebabnya. Teknik ini tidak dianjurkan untuk hipnoterapis pemula kecuali bila ia mendapat pelatihan cara menangani ledakan emosi/abreaksi dan resolusi trauma. 

Recreational regression adalah regresi ke kejadian menyenangkan di masa lalu dengan tujuan untuk menikmati kembali emosi positif yang dulu pernah dirasakan atau dialami, misalnya saat ulang tahun waktu kecil, liburan, bulan madu, menerima penghargaan, atau pengalaman menyenangkan lainnya. Untuk memperkuat efek perasaan yang dirasakan klien sebaiknya klien mengalami revivifikasi, bukan sekedar hipermnesia. 

Past life regression adalah regresi ke kehidupan lampau, bisa ke satu atau beberapa kehidupan sebelum kehidupan saat ini. Ada terapis atau klien yang meyakini benar keberadaan kehidupan lampau. Ada juga yang menganggap “kehidupan lampau” ini sebagai metafora yang sengaja dimunculkan oleh pikiran bawah sadar dengan tujuan tertentu. Salah satu varian dari PLR adalah life between lives regression. 

Wannabe regression adalah regresi ke kehidupan lampau di mana klien menjadi seseorang yang ia inginkan atau yang ia yakini sebagai dirinya. Sebelum menjalani regresi ini klien sudah punya keyakinan atau merasa bahwa dulunya ia adalah seseorang atau tokoh tertentu misalnya sebagai raja, jenderal, putri bangsawan, sastrawan, atau soulmate dari seseorang. 

Therapist-led regression adalah bentuk regresi yang diarahkan oleh terapis dengan teknik leading, baik secara sengaja atau tidak dan mengakibatkan munculnya false memory. Hipnoterapis yang tidak menguasai teknik regresi dengan benar biasanya tanpa disadari, karena kesalahan dalam semantik yang digunakan, melakukan regresi ini. Idealnya, regresi dilakukan dengan prinsip membimbing (guiding) dan tidak boleh mengarahkan (leading). 

Therapist-led regression sering terjadi karena terapis, saat melakukan wawancara dengan klien, bisa berasumsi atau menyimpulkan, bahwa satu kejadian spesifik di masa lalu adalah akar masalah klien. Dengan bekal “data” ini terapis langsung meregresi klien ke kejadian itu. 

Berdasar informasi yang saya terima dari beberapa klien yang pernah kami tangani, ada hipnoterapis yang menggunakan analisis tulisan tangan (graphology) untuk menentukan akar masalah (ISE). Ada juga terapis yang menggunakan informasi yang didapatkan di sesi wawancara, menghubungkan informasi ini dengan pendapat ahli tertentu, dan sampai pada simpulan kejadian mana yang menjadi akar masalah. ISE diputuskan atau ditetapkan oleh terapis bukan diungkap oleh pikiran bawah sadar klien. 

Dari temuan kami sejauh ini, menemukan akar masalah dengan cara di atas tidak akurat dan sepenuhnya bersifat leading bukan guiding. Terapis yang melakukan regresi jenis ini biasanya tidak dapat menuntaskan masalah klien karena memroses “ISE” yang salah. Bila beruntung, regresi ini bisa secara kebetulan berhasil mencapai ISE. Namun, seringkali tidak bisa. 

Dari diskusi dengan beberapa rekan, ada yang tidak setuju dengan pernyataan saya di atas dan tetap yakin bahwa ISE bisa ditemukan hanya dengan analisis tulisan tangan dan wawancara. Saya bisa memaklumi dan setuju dengan ketidaksetujuan ini. Saya tidak dalam kapasitas dan kepentingan untuk mengubah keyakinan mereka. Yang saya sampaikan di sini adalah apa yang saya dan para hipnoterapis alumni Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology temukan di ruang praktik saat membantu klien mengatasi masalah mereka. Kejadian yang oleh terapis sebelumnya dinyatakan sebagai ISE ternyata sama sekali bukan ISE, bukan pula SSE. 

Dalam beberapa kasus, ada ISE yang terungkap di sesi wawancara. Klien biasanya akan ditanya kejadian paling awal yang bisa ia ingat yang menjadi pencetus simtom yang ia alami. Kejadian ini tervalidasi sebagai ISE setelah terapis melakukan regresi dan pikiran bawah sadar klien membawa klien mundur ke kejadian yang ternyata sama dengan yang telah disampaikan di sesi wawancara. Yang perlu diperhatikan di sini yaitu pikiran bawah sadar yang mengungkap ISE, bukan terapis yang menentukan. Terapis hanya mengecek kebenaran data hasil wawancara dengan yang terungkap saat regresi. 

Therapist-led regression mirip dengan recreational regression. Perbedaannya terletak pada tujuan yang ingin dicapai. Bila recreational regression bertujuan untuk mengalami kembali perasaan positif dari kejadian di masa lalu makatherapist-led regression adalah regresi yang diarahkan oleh terapis dengan tujuan menemukan ISE. 

Therapist-forced regression berbeda dengan therapist-led regression. Bila dalam therapist-led regression terapis menemukan, lebih tepatnya menetapkan, akar masalah (ISE) klien setelah melalui serangkaian upaya tertentu, misalnya dengan analisis tulisan tangan atau wawancara mendalam, maka therapist-forced regression adalah regresi ke akar masalah di mana terapis memaksa klien mengakui adanya akar masalah di satu waktu tertentu. 

Berikut diberikan dua contoh agar menjadi jelas. Ada orang yang mengaku sebagai terapis dan membantu klien mengatasi masalah mereka. Terapis ini selalu menyimpulkan, siapapun kliennya dan apapun masalahnya, bahwa akar masalah klien berawal saat klien di dalam kandungan ibunya. Menurut terapis ini klien adalah anak yang tidak diinginkan dan ditolak oleh orangtuanya, sehingga mengalami luka batin yang menjadi penyebab masalahnya. Di sini terapis memaksakan ISE kepada klien. 

Contoh lain, dan ini adalah kejadian nyata, ada terapis yang berusaha mencari akar masalah dengan teknik regresi sederhana yaitu klien, misalnya berusia 45 tahun, dibawah mundur ke usia sebelumnya, tahun demi tahun. Terapis bertanya ke pikiran bawah sadar klien apakah akar masalah muncul di usia 45 tahun dan dijawab tidak. Kemudian mundur lagi ke usia 44 tahun, 43 tahun, demikian seterusnya hingga usia 1 tahun, lanjut ke usia 11 bulan, 10 bulan, terus hingga ke usia 1 bulan. Sampai di sini terapis tetap belum bisa menemukan akar masalah. 

Selanjutnya, dengan frustrasi terapis meregresi klien ke dalam kandungan dan dengan tegas berkata kepada klien, “Saat ini Anda adalah bayi di dalam kandungan Ibu Anda. Saat di dalam kandungan Anda pasti pernah sakit. Sekarang ceritakan Anda pernah sakit apa selama dalam kandungan Ibu Anda?” Terapis mengulangi sugesti ini beberapa kali dan berharap klien akan mengungkap pernah sakit apa. 

Di sini tampak jelas bahwa terapis memaksa klien mengakui bahwa saat di dalam kandungan klien pernah mengalami sakit tertentu. Sakit ini diyakini oleh terapis sebagai akar masalah klien. 

Ego Personality-based regression dilakukan dengan mengakses ego personality / Bagian Diri tertentu dan selanjutnya meregresi klien, dengan bantuan EP ini, ke satu kejadian atau waktu spesifik, bisa dengan menggunakanaffect bridge atau cognitive bridge. Ditinjau dari perspektif teori Ego Personalitysemua terapi, apapun jenis atau teknik yang digunakan, selalu mengakses ego personality tertentu. 

Satu hal penting yang perlu dicermati oleh terapis yang melakukan regresi berbasis EP yaitu hasil regresi biasanya tidak mencapai akar masalah (ISE) tapi EPCE. ISE berbeda dengan EPCE. ISE bisa sekaligus sebagai EPCE. EPCE bisa juga adalah SSE atau SPE. Proses terapi menggunakan regresi berbasis EP memang tidak bertujuan menemukan ISE tapi EPCE dan perlu diproses adalah EPCE, bukan ISE. 

Pentingnya Menemukan Akar Masalah

Dalam upaya membantu klien mengatasi masalahnya, sangat penting bagi terapis yang menggunakan teknik regresi untuk bisa membantu klien menemukan akar masalah atau ISE. Resolusi trauma yang dilakukan bukan di ISE akan membuahkan hasil tidak maksimal dan sering mengakibatkan klien kambuh (relapse).   

Kesulitan menemukan akar masalah sering disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

- relaksasi pikiran yang dicapai klien masih kurang dalam sehingga pikiran sadar klien masih aktif menganalisis dan melakukan intervensi.

- terapis tidak menguasai teknik regresi dengan baik.

- teknik regresi yang dikuasai terapis tidak sesuai untuk menemukan akar masalah.

- terapis tidak melakukan validasi ISE.

- terapis tidak bertanya dengan cara yang benar: semantik yang digunakan tidak sesuai, intonasi dan tekanan suara yang tidak tepat sehingga memengaruhi pikiran bawah sadar klien memberikan jawaban seperti yang diharapkan terapis, bukan jawaban yang sebenarnya.

- pengharapan terapis yang berlebih untuk menemukan ISE dan ini terbaca oleh pikiran bawah sadar klien sehingga memberi jawaban yang tidak akurat karena ingin menyenangkan terapis. 

- terapis menggunakan teknik regresi berbasis EP namun salah mengakses EP sehingga hasil regresi tidak valid. 

Baca Selengkapnya

Masalah Saat Ini yang Tidak Terselesaikan

10 Maret 2014

Hipnoterapi sebagai salah satu modalitas terapi yang telah terbukti secara empiris dan klinis sangat efektif membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi atau perilaku tetap memiliki keterbatasan. Artikel ini bertujuan menjelaskan kesulitan penanganan masalah emosi atau perilaku klien yang disebabkan oleh masalah saat ini yang tidak terselesaikan atau unresolved present issue.

Charles Tebbetts dalam bukunya yang telah menjadi buku klasik dalam dunia hipnoterapi, Miracles on Demand, menyatakan ada tujuh psikodinamika simtom atau alasan/sebab seseorang mengalami masalah. Tujuh psikodinamika ini adalah menghukum diri sendiri (self-punishment), pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan (unresolved past experience), konflik internal (internal conflict), masalah saat ini yang tidak terselesaikan (unresolved present issue), keuntungan tersembunyi (secondary gain), identifikasi, dan imprint.

Salah satu dari tujuh psikodinamika simtom yang dari pengalaman kami cukup sulit diatasi adalah “masalah saat ini yang tidak terselesaikan”.  

Apa yang dimaksud “masalah saat ini yang tidak terselesaikan”?

“Masalah saat ini yang tidak terselesaikan” adalah masalah yang dialami seseorang, terjadi atau berawal dari masa lalu, berlanjut hingga masa sekarang, dan bisa berlanjut hingga ke masa depan. 

Ada banyak contoh kasus yang masuk kategori “masalah saat ini yang tidak terselesaikan”. Beberapa di antaranya:

- anak yang merasa tidak nyaman di sekolah karena sikap guru atau karena mengalami perundungan (bullying). Guru atau temannya tidak mau berubah sehingga selama anak sekolah di tempat yang sama ia akan mengalami masalah yang berulang.

- menantu yang merasa tidak cocok atau tertekan dengan sikap mertua dan mereka tinggal serumah. Atau bisa juga sebaliknya mertua yang tidak tahan dengan sikap menantu.

- pasangan berselingkuh dan tidak bersedia mengakhiri hubungan dengan selingkuhannya.

- anak yang mengalami tekanan dari orangtua untuk secara konsisten berprestasi gemilang di sekolah padahal anak tidak punya kapasitas untuk hal ini.  

- salah melakukan investasi, terjerat utang, dan dikejar debt collector.  

- perasaan tertekan di tempat kerja karena sikap atasan atau lingkungan kerja yang tidak kondusif namun tidak bisa pindah ke perusahaan lain.

Intinya, seseorang mengalami masalah yang terus berlanjut dari hari ke hari tanpa ada penyelesaian atau ia tidak dapat menyelesaikan masalah ini karena tidak mampu atau di luar kendalinya.

Hipnoterapi bisa mengatasi emosi atau gangguan perilaku yang disebabkan oleh masalah yang dialami klien hingga saat ia jumpa terapis. Usai terapi, masalah klien sudah tuntas ditangani. Namun, karena ini adalah “masalah saat ini yang tidak terselesaikan” maka saat klien kembali ke lingkungannya ia akan terpapar lagi pada situasi, kejadian, atau pengalaman (stresor) yang menyebabkan perasaan tidak nyaman yang tadinya sudah berhasil diatasi di sesi terapi kembali muncul. Dengan kata lain klien mengalami trauma ulang.

Terapis, dengan menggunakan teknik tertentu, bisa membantu meningkatkan daya tahan mental dan emosi klien sehingga kuat bila mengalami kembali kejadian yang sama. Namun, dari pengalaman klinis, hal ini sulit dipertahankan untuk waktu yang lama bila klien kembali terpapar pada stresor yang sama dan berulang yang membuatnya tidak nyaman seperti sebelum jumpa terapis. Ada klien yang bisa bertahan hanya beberapa hari. Ada yang beberapa minggu. Tidak pernah ada yang bisa bertahan seterusnya.

Idealnya, solusi terbaik untuk mengatasi “masalah saat ini yang tidak terselesaikan” adalah dengan meniadakan stresor. Saat stresor berhasil dihilangkan maka “masalah saat ini yang tidak terselesaikan” secara otomatis berubah menjadi “pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan”. Dengan demikian penanganannya menjadi lebih mudah.

Sesuai sifat dari “masalah saat ini yang tidak terselesaikan” maka klien akan kembali terpapar pada stresor yang sama dan stresor ini karena sesuatu sebab tidak bisa dihilangkan.

Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini?

Ada beberapa alternatif solusi. Pertama, meningkatkan toleransi stres klien sehingga klien menjadi lebih tahan dan kuat. Kemampuan dan kecepatan meningkatkan toleransi stres bergantung pada karakter dasar klien. Kedua, klien meningkatkan kesadaran diri sehingga mampu memandang dan memberi makna baru pada stresor sebagai satu peluang untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Ketiga, klien mendapat dukungan dari orang di sekitarnya sehingga beban yang tadinya ia rasakan sangat berat atau tidak dapat diatasi kini menjadi lebih ringan. 

Baca Selengkapnya

Alasan Saya Menolak Terapi di Luar Kota

4 Maret 2014

Saya sering mendapat email atau inbox dari rekan-rekan saat tahu saya akan ke satu kota tertentu untuk seminar. Rekan ini minta waktu bertemu untuk terapi. Ada yang mau menerapikan diri sendiri, ada yang untuk keluarga, dan ada juga yang untuk rekannya.

Beberapa waktu lalu saat ke Jakarta untuk memberi seminar saya mendapat telpon dari seorang kawan lama. Kawan ini menceritakan kondisi istrinya dan minta waktu bertemu di malam hari agar istrinya dapat diterapi. 

Dengan berat hati saya selalu menolak permintaan rekan-rekan ini. Saya sebenarnya sangat ingin bisa membantu. Dan di sisi lain saya perlu selalu bekerja profesional dengan memegang teguh Kode Etik Hipnoterapis Klinis yang menjadi acuan kami di Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI). 

Salah satu kode etik ini menyatakan bahwa terapis dan klien harus komit untuk melakukan, bila dibutuhkan, sampai empat sesi terapi. Ini adalah komitmen minimal karena dalam kasus tertentu bisa terjadi dibutuhkan lebih dari empat sesi terapi untuk menuntaskan masalah klien. Bila klien dan terapis tidak bisa memberikan komitmen ini, apapun alasannya, maka terapi tidak boleh dilakukan.

Mengapa tidak boleh?

Ketentuan komitmen empat sesi ditetapkan dengan pertimbangan bahwa ada banyak hal yang bisa terjadi dalam sesi terapi. Bisa saja hal yang tampak sederhana, di permukaan, ternyata setelah masuk ke pikiran bawah sadar, ditemukan akar masalah yang kompleks yang tidak bisa diselesaikan hanya dalam satu sesi terapi. Contohnya, pernah ada kasus wanita fobia ulat bulu setelah digali akar masalahnya ternyata ia dulu pernah mengalami pelecehan seksual. Siapa yang menyangka kalau ternyata fobia ulat bulu adalah simtom dari satu pengalaman yang sangat traumatik.

Bila terapis atau klien, karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan sesi selanjutnya maka proses yang belum selesai ini akan sangat tidak baik bagi kondisi klien. Sering terjadi emosi klien menjadi labil dan mengakibatkan kondisinya menjadi bertambah parah. Ini ibaratnya kita melakukan operasi, membuka perut pasien, dan tidak menutup kembali dengan rapat. Dan saat terjadi infeksi, karena jahitannya bermasalah, pasien ini tidak ditangani lebih lanjut. Sudah tentu ini akan sangat merugikan pasien.

Saya juga sempat mendapat tawaran dari seseorang yang ingin mengundang saya ke kotanya untuk melakukan hipnoterapi. Ia berencana “memasarkan” pelayanan hipnoterapi saya di kotanya dengan memasang iklan dan woro-woro di media setempat menawarkan hipnoterapi klinis. Saya diminta datang dan dijadwalkan selama seminggu penuh menangani klien. Rencananya terapi akan dilakukan di kamar hotel mewah yang mereka sewa untuk keperluan ini.

Sudah tentu keinginan ini saya tolak dengan beberapa pertimbangan. Pertama, kalau tawarannya saya terima maka fokus saya bergeser, bukan untuk membantu sesama namun sudah lebih mengarah pada bisnis atau keuntungan finansial semata. Kedua, ini sudah tentu melanggar kode etik. Saya tidak bersedia melakukan terapi di kamar hotel karena selain suasananya tidak kondusif juga untuk menghindari persepsi yang tidak baik apalagi bila kliennya wanita. Satu-satunya tempat dan posisi yang paling nyaman untuk klien, bila diterapi di kamar hotel, bukan duduk di kursi hotel tapi berbaring di ranjang. Ini tentu sangat tidak baik untuk proses terapi.

Walau banyak yang kecewa karena saya tidak bersedia melakukan hipnoterapi saat keluar kota namun saya bergeming dengan prinsip dan keputusan ini. Saya memahami sepenuhnya harapan rekan-rekan ini. Dan solusi yang selalu saya tawarkan adalah menjalani hipnoterapi dengan hipnoterapis lulusan AWG Institute di kota tempat tinggal mereka atau di kota terdekat, atau ke klinik saya di Surabaya.

Prinsip saya adalah bila melakukan sesuatu saya harus melakukannya benar sejak dari awal. Do it right from the beginning.

Baca Selengkapnya

Mengapa Anak Mengalami Kesulitan Belajar?

1 Maret 2014

Ada satu asumsi yang salah mengenai proses belajar. Pada umumnya kita berasumsi bahwa bila guru mengajar maka murid pasti belajar. Benarkah demikian? Tentu saja tidak. Mengajar merupakan satu proses. Belajar juga satu proses tersendiri. Di antara mengajar dan belajar terdapat jurang pemisah yang cukup lebar. Tugas kita sebagai orangtua dan pendidik adalah menyediakan jembatan penghubung sehingga terjadi koneksi antara mengajar dan belajar. 

Asumsi adalah menerima sesuatu sebagai hal benar tanpa memeriksa atau memastikan kebenarannya. Jadi, kalau kita berpikir dan bertindak hanya berdasar asumsi maka jadinya ya seperti sekarang ini. Guru dan orangtua frustrasi karena telah mengajar dengan sungguh-sungguh sedangkan murid atau anak tidak mengerti dan belum bisa menyerap apa yang diajarkan. Guru dan orangtua frustrasi, murid atau anak depresi.

Jurang pemisah ini terutama karena guru/orangtua tidak mengerti gaya belajar. Gaya belajar adalah cara yang dirasa paling menyenangkan dan mudah dalam menyerap suatu informasi. Sebenarnya ada lima cara untuk belajar yaitu belajar berdasar indera penglihatan (visual), indera pendengaran (auditori), gerakan/perabaan (kinetetik), indera penciuman (olfaktori), dan indera rasa (gustatori). Lima jalur masuk informasi ini adalah kelima indera kita. Sebenarnya ada satu lagi yaitu melalui pikiran kita. 

Setiap jalur punya karakteristik sendiri. Pada umumnya yang paling sering digunakan hanya tiga jalur yaitu visual, auditori, dan kinestetik. 

Anak yang visual belajar melalui penglihatan. Anak yang auditori senang belajar dengan membaca sambil mengeluarkan suara atau malah tidak boleh ada suara sama sekali. Sedangkan anak kinestetik senang belajar sambil bergerak. Kombinasi yang umum terjadi adalah visual-auditori, visual-kinestetik, dan auditori-kinestetik.

Anda pasti pernah menemukan anak yang tidak bisa duduk diam saat belajar. Tipe ini adalah tipe kinestetik. Atau mungkin anak anda suka sekali belajar bila anda membacakan materinya. Tipe ini adalah tipe auditori. Dan ada juga yang bisa duduk dan belajar dengan tenang. Yang ini tipe visual. 

Untuk lebih jelas mengenai gaya belajar dan aplikasinya dalam proses pembelajaran saya menyarankan anda membaca buku saya Born to be a Genius dan Genius Learning Strategy. 

Singkat kata belajar menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dan merupakan proses yang cukup menyakitkan bagi kebanyakan anak karena tiga hal berikut:
1. Karena kita tidak tahu proses belajar yang benar
2. Karena kita tidak pernah belajar, diajar, atau mengajarkan cara belajar yang benar
3. Karena gaya mengajar tidak sejalan dengan gaya belajar

Tiga Level Sistem Belajar

Proses belajar yang kita lakukan sebenarnya terdiri dari tiga level:

1. Sistem Diri (Self System), meliputi aspek relevansi, kemampuan, dan emosi.

2. Sistem Metakognisi (Metacognitive System), meliputi aspek penetapan goal pribadi,           keputusan untuk terus maju, dan bekerja dengan penuh semangat.

3. Sistem Kognisi (Cognitive System), meliputi aspek memproses informasi untuk menyelesaikan tugas.

Setiap proses belajar selalu terjadi dengan urutan seperti di atas, dimulai dengan Sistem Diri, kemudian ke Sistem Metakognisi, dan baru akhirnya ke Sistem Kognisi.

Sebelum saya teruskan saya ingin mengajukan satu pertanyaan untuk anda, ”Pernahkah anda bertemu dengan anak, atau mungkin anak anda sendiri, yang sulit menghafal suatu materi pelajaran, misalnya IPS atau kosakata bahasa Inggris, namun anak yang sama mampu menghafal nama semua pemain sepak bola, plus nomor punggung, dari tim sepak bola kesayangannya?” 

Atau anda mungkin pernah bertemu dengan anak yang mengalami kesulitan menghafal materi pelajaran tertentu namun ia mampu menghafal materi pelajaran lain dengan mudah dan cepat? 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal otak yang digunakan, untuk menghafal materi pelajaran dan nama pemain sepak bola, adalah sama. Logikanya, kalau otaknya sama maka seharusnya anak bisa menghafal semua materi pelajaran, kan?

Masalah muncul karena dalam proses belajar aspek paling penting yaitu Sistem Diri (Self System) seringkali terabaikan. Mungkin anda, guru atau orangtua, justru baru tahu mengenai hal ini sekarang. 

 

SISTEM DIRI (Self System)

Semua proses belajar dimulai di Sistem Diri. Sistem ini meliputi tiga aspek yaitu relevansi, kemampuan, dan emosi. Apa hubungannya dengan proses belajar? Oh, sangat erat. 

Mari kita lihat relevansi. Mengapa anak sulit belajar? Karena anak merasa bahwa apa yang ia pelajari tidak ada gunanya bagi hidupnya. Dengan kata lain anak tidak melihat relevansi bahan ajar dengan hidupnya. Contohnya? Misalnya anak diminta menghafal nama menteri kabinet. Otak anak akan sangat sulit menyerap informasi ini karena anak berpikir, ”Untuk apa sih saya harus menghafal nama-nama orang yang saya nggak kenal. Trus... kalau sudah bisa dihafal apa gunanya untuk saya?”

Kasusnya akan berbeda bila ia menghafal nama pemain sepak bola atau nama bintang sinetron. Mengapa bisa berbeda? Karena teman-temannya juga punya hobi sama. Nonton sepak bola atau sinetron. Jadi, kalau pas diskusi mengenai ”pelajaran” sepak bola atau ”pelajaran” sinetron si anak bisa terlibat aktif dan memiliki pengetahuan di ”pelajaran” ini. Menghafal nama pemain sepak bola atau artis sinetron sangat relevan bagi hidupnya. Anda jelas sekarang?

Aspek kedua adalah kemampuan. Saat anak merasa tugas yang diberikan terlalu berat, atau anak merasa tidak mampu karena tidak tahu caranya, atau anak merasa waktu yang tersedia untuk mengerjakan tugas itu tidak cukup, atau apapun alasannya sehingga membuat anak merasa tidak mampu atau tidak berdaya, akan mengakibatkan turunnya motivasi dan anak tidak akan mau belajar. Lha, buat apa belajar kalau materinya ”sulit” untuk dikuasai atau dikerjakan? Saya menulis kata sulit dalam tanda kutip karena bisa jadi memang materi pelajarannya benar-benar sulit atau sulit itu hanya dalam persepsi si anak saja. Kalau perasaan tidak mampu ini terus dialami anak maka akan terjadi yang disebut dengan ”learned helplessness” atau ”ketidakberdayaan yang dipelajari”.

Aspek ketiga yaitu emosi. Proses belajar haruslah menjadi perjalanan yang menyenangkan bagi anak. Namun yang terjadi saat ini adalah lebih banyak anak yang stress, merasa takut, atau mengalami trauma akibat proses belajar yang tidak berpihak pada anak. Anak sering mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan. Anak sering mengalami emosi negatif. Akibatnya, belajar menjadi kegiatan yang dihindari, kalau tidak boleh dikatakan dibenci, oleh anak. 

Apabila anak mengalami pengalaman menyenangkan, mengalami kegembiraan, tantangan positif, mendapat pujian, dan rasa ingin tahu yang tinggi saat belajar maka secara otomatis anak ingin mengulangi lagi pengalaman positif ini. Inilah sumber motivasi belajar intrinsik. Kepuasan belajar, perasaan diri mampu, bisa, puas karena dapat menguasai bahan ajar adalah reward paling berharga untuk hasil kerja keras anak. Dengan demikian anak tidak perlu dimotivasi dengan sogokan atau reward yang tidak perlu. 

Hal yang sama berlaku untuk kita, orang dewasa. Tidak ada satupun orang yang ingin mengalami kembali kejadian atau pengalaman yang menyakitkan. Kita semua selalu ingin merasa senang dan bahagia. Ini adalah motivasi hidup yang paling mendasar.

Intinya, bila anak merasa materi yang akan dipelajari tidak relevan atau berguna untuk hidupnya, anak merasa sulit atau tidak mampu, dan ada muatan emosi negatif pada pengalaman belajar, maka pikiran anak, lebih tepatnya pintu gerbang pikiran bawah sadar, akan langsung menutup. Akibatnya, belajar bisa dilakukan namun informasi tidak bisa masuk ke memori dan tidak terjadi internalisasi. 

Sistem Metakognisi (Metacognitive System)

Setelah Sistem Diri berjalan dengan baik maka secara otomatis Sistem Metakognisi juga akan baik. Sistem Metakognisi meliputi aspek penetapan goal pribadi, keputusan untuk terus maju, dan bekerja dengan penuh semangat. 

Anak yang telah timbul semangat belajarnya karena merasa materi yang dipelajari relavan, ia merasa mampu, dan menyukai bahan ajar dengan sendirinya akan belajar dengan semangat yang tinggi. 

Dengan bekal semangat yang tinggi anak akan bekerja keras, dengan hati riang gembira, dan belajar untuk mencapai target pembelajaran yang telah ditetapkan. Walaupun mengalami hambatan si anak akan maju terus. 

Sistem Kognisi (Cognitive System)

Sistem Kognisi, yang meliputi aspek memroses informasi untuk menyelesaikan tugas, adalah hal yang dilakukan anak saat belajar. Aktifitas ini yang selama ini dikenal dengan ”belajar”. 

Inilah sistem yang terlihat dari luar. Anak duduk belajar atau membaca materi pelajaran. Namun, dari penjelasan sebelumnya, sistem ini hanyalah lanjutan dari dan dipengaruhi oleh dua sistem sebelumnya yaitu Sistem Diri dan Sistem Metakognisi. 

Dari penjelasan di atas tampak bahwa apabila kedua sistem terdahulu, Sistem Diri dan Sistem Metakognisi, tidak berjalan dengan baik maka secara otomatis Sistem Kognisi akan terpengaruh. Dengan kata lain akan mengalami kesulitan belajar. 

Contoh kesulitan belajar yang umumnya dialami anak adalah rasa bosan, stress, mengantuk, tidak fokus, sulit konsentrasi, sulit menyerap informasi, mudah lupa, dan masih banyak keluhan lain.

Pada tahap inilah, saat anak belajar, barulah kita bisa mengajarkan teknik-teknik belajar seperti teknik menghitung cepat, teknik mencatat dengan mind mapping, teknik menghapal (dengan segala variannya), teknik membaca cepat, atau teknik-teknik lainnya. Semua teknik ini tidak akan bisa memberikan hasil maksimal bila kedua sistem yang mendasari kerja sistem kognisi tidak berjalan baik. 

Ini juga menjawab pertanyaan dan kebingungan banyak orangtua mengapa anaknya sudah dileskan di berbagai kursus atau bahkan dileskan pada guru sekolahnya sendiri tapi prestasi akademiknya tetap tidak bisa meningkat signifikan. 

Bahkan pernah ada satu kasus di mana anak mendapat bocoran soal, soal ujiannya persis sama dengan soal bocoran ini, tapi hasil ujian anak tidak bisa lebih dari 70. Lho, kok bisa begini? Ini karena adanya mental block besar dalam diri anak. 

 

 

Mental Block

Apa sih mental block itu? Mental block adalah kepercayaan yang bersifat menghambat kita dalam menggunakan potensi diri secara optimal. Untuk mudahnya begini. Pernahkah anda mendengar anak berkata ”Belajar itu sulit dan membosankan”, ”Saya nggak bisa bahasa Inggris”, ”Saya bodoh matematika”, ”Matematika hanya untuk anak yang otaknya encer”, ”Nilai IPS saya selalu jelek”, dan masih banyak ungkapan negatif lainnya? 

Setiap pernyataan di atas mencerminkan kepercayaan (belief) anak terhadap dirinya sendiri dan kemampuannya di bidang tertentu. Pada saat anak menerima hal ini sebagai suatu kebenaran maka pada saat itu pula telah tercipta mental block dalam diri anak. 

Lalu, apa pengaruh mental block terhadap prestasi anak? Sungguh dahsyat pengaruhnya. Anak dengan mental block seperti ini digaransi akan mengalami kesulitan belajar. 

Dari pengalaman saya membantu dan menangani anak ”bermasalah” saya sampai pada satu simpulan penting. Tidak ada seorangpun yang bodoh. Yang ada adalah anak yang ”diprogram” menjadi anak yang bodoh. Kalau saya boleh lebih keras berbicara tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang ”dipaksa” menjadi bodoh. 

Anda mungkin bingung dan bertanya, ”Apa maksudnya anak ”diprogram” atau ”dipaksa” menjadi bodoh?”. 

Penjelasan singkatnya seperti ini. Misalnya, anak diajar matematika dan anak tidak mengerti. Ada banyak faktor yang membuat anak tidak mengerti. Misalnya karena gaya mengajar guru tidak sama dengan gaya belajar anak. Sebab lain, karena proses belajar dasar-dasar matematika yang salah. Anak tidak diajar secara konkrit, tapi langsung dihajar (bukan diajar, lho) dengan pendekatan yang bersifat abstrak. 

Penjelasan lebih detil sebagai berikut. Jean Piaget, filsuf dan psikolog perkembangan dari Swiss, membagi perkembangan kognisi menjadi beberapa tahap berdasarkan usia:

0 – 2 thn tahap Sesori Motor
2 – 7 thn tahap Pra Operasi
7 – 12 thn tahap Operasi Konkrit
12 – 15 thn tahap Operasi Formal

Apa jadinya bila materi pelajaran diberikan kepada anak kita ternyata tidak sesuai dengan usia dan perkembangan kognisinya? Ya sudah tentu akan berakibat negatif. 

Saat anak masih di sekolah dasar, usia 7 – 12 tahun, materi pelajaran seharusnya lebih bersifat konkrit, bukan abstrak. Nah, khusus di bidang matematika, anak biasanya mengalami kesulitan karena materi pelajaran diajarkan tanpa mengindahkan kebutuhan anak belajar secara konkrit. 

Apa maksudnya? Coba kita lihat bagaimana anak kita belajar konsep angka dan jumlah. Cara yang benar adalah anak dikenalkan dengan benda konkrit yang ia kenal. Misalnya kelereng, sendok, bola, permen, sedotan minuman, pensil, atau kerikil. Nah, saat mengajar angka 1, 2, 3, dan seterusnya, harusnya ada benda yang bisa anak pegang dan manipulasi. Dengan demikian proses belajarnya benar yaitu konkrit. Angka, yang abstrak, masuk ke pikiran anak melalui benda konkrit. 

Bila menggunakan benda konkrit maka anak bisa belajar menggunakan tiga gaya belajar sekaligus, visual, ia melihat bendanya, auditori, ia mendapat penjelasan dari gurunya, dan kinestetik, ia bisa memegang bendanya. Bila ini yang terjadi dijamin anak pasti fokus belajarnya.

Dari konkrit, setelah konsepnya dimengerti, barulah kita bergeser ke semi abstrak. Yang dimaksud dengan semi abkstrak adalah kita mengajar anak dengan menggunakan gambar, misalnya dengan kartu. Di kartu, selain ada angka juga ada gambar. 

Setelah itu barulah kita bergeser ke abstrak yaitu hanya menggunakan angka saja. Jadi proses belajar yang benar adalah dari konkrit, semi abstrak, ke abstrak. 

Salah satu kesulitan terbesar anak dalam belajar matematika adalah saat mereka harus mengerjakan soal cerita. Wah... ini sungguh menjadi momok bagi anak. 

Sebagai sesama orangtua dan pendidik saya bisa memahami kesulitan anak. Mengapa anak mengalami kesulitan? Lha, bagaimana bisa mengerjakan soal cerita kalau dasar matematikanya saja belum kuat dan kemampuan linguistik anak masih kurang. Celakanya lagi banyak guru, yang karena hanya mengikuti buku paket, memberikan soal cerita pada anak SD kelas 2. Anak kita tidak bisa mengerjakan soal bukan karena bodoh namun secara perkembangan kognisi, kemampuan logika berpikir, dan kemampuan bahasa memang belum bisa. Biar dipaksa dengan memberikan les atau pelajaran tambahan anak tetap akan mengalami kesulitan. 

Apa akibatnya bila anak langsung belajar dengan pendekatan abstrak? Anak pasti bingung dan tidak mengerti. 

Selanjutnya anak yang tidak mengerti, tidak menguasai dasar matematika, tidak menguasai konsep dengan benar, diberi ujian. Hasilnya? Ya sudah tentu nilainya jelek. Nilai yang jelek ini kalau terjadi berkali-kali, ditambah lagi dengan ”pujian” yang didapat anak dari guru dan orangtua yang hanya mementingkan nilai tapi tidak mementingkan proses, akhirnya mengkristal menjadi kepercayaan yang menyatakan ”Saya tidak bisa matematika. Saya memang bodoh matematika”. 

Begitu kepercayaan ini terbentuk dan diterima pikiran bawah sadar anak maka ia akan mengarahkan anak untuk mewujudkanya menjadi suatu realita. Hasilnya? Anak benar-benar menjadi bodoh matematika. Nah inilah yang dinamakan mental block.

Ini contoh matematika. Bagaimana dengan pelajaran lain? Sama saja. Ada anak yang trauma dengan pelajaran yang mengutamakan hapalan. Anak tidak bisa menghapal karena tidak diajarkan strategi menghapal yang benar. 

Dan yang lebih menyedihkan lagi, seringkali guru meminta jawaban yang persis sama dengan catatan atau yang ada di buku. Saya beberapa kali menangani anak yang frustrasi karena tidak bisa menjawab persis seperti yang diminta gurunya. Anak ini sampai remedi 5X tetap tidak bisa. 

Adalah lebih penting untuk mengajar anak mengerti daripada sekedar tahu dengan cara menghapal. Saat ini hanya dengan melakukan Googling anak bisa dapat informasi sangat banyak. Yang penting anak merasa senang belajar. Bila ia merasa senang maka dorongan untuk mengulangi pengalaman menyenangkan, ini yang disebut motivasi, akan membuat anak menguasai materi dengan bbaik

Anak adalah ANUGERAH dari Tuhan yang dipercayakan kepada kita, orangtua dan pendidik. Dan tugas utama kita, selaku orangtua dan pendidik, adalah memberikan kasih sayang, pendidikan, dukungan, bimbingan, rasa aman, sehingga anak tumbuh dengan budi PEKERTI yang baik dan benar sebagai bekal kehidupannya kelak, sehingga mampu menjalani hidup penuh makna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, dan bagi masyarakat. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bertaqwa dan bermanfaat bagi orang lain. 

Membaca penjelasan saya sejauh ini, apa simpulan Anda? Anak kita memang bodoh ataukah mereka dipaksa atau dibuat bodoh? 

Baca Selengkapnya

Menyiapkan Sukses Anak dengan Vaksin Stres

1 Maret 2014

Setiap orangtua pasti paham benar pentingnya vaksin untuk kesehatan anak. Sejak lahir hingga usia tertentu bayi/anak rutin diberi vaksin. Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu.

Vaksin biasanya adalah berupa bibit penyakit yang telah dilemahkan atau dimatikan dan dimasukkan ke dalam tubuh dengan tujuan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi spesifik. Pemberian vaksin tidak akan mengakibatkan tubuh menjadi sakit namun justru menguatkan. Dengan demikian di kemudian hari bila anak terpapar virus atau bakteri tertentu, yang mana ia telah atau pernah diberi vaksinnya, anak akan tetap sehat karena sistem kekebalan tubuhnya bisa mengatasi virus atau bakteri ini.

Manusia terdiri atas tubuh dan pikiran. Selama ini orangtua pasti ingat untuk memberi vaksin untuk kesehatan tubuh fisik. Lalu, bagaimana dengan vaksin pikiran? Apakah ada vaksin pikiran? Bila ada, bagaimana bentuknya, siapa yang memproduksi vaksin ini, berapa dosis aman yang bisa diberikan pada anak?

Memahami Stres

Berbeda dengan yang dipahami kebanyakan orang, tidak semua stres berakibat buruk. Secara teknis kita mengenal empat jenis stres yaitu eustres, distres, hiperstres, dan hipostres.

Faktor yang menyebabkan stres disebut stresor. Stresor dapat berupa faktor internal atau eksternal atau stimuli yang mengakibatkan stres, seperti faktor fisik, biologis, lingkungan, situasi, kejadian, peristiwa, dan spiritual.

Eustres adalah stres jangka pendek yang memberikan kekuatan. Eustres adalah jenis stres yang bersifat menantang namun masih dapat dikendalikan. Eustres justru meningkatkan antusiasme, kreativitas, motivasi, dan aktivitas fisik. Eustres adalah stres positif yang terjadi saat kita membutuhkan motivasi dan insprasi.

Saat mengalami eustres kita memandang atau merasa suatu kejadian atau situasi sebagai peluang, dan ada pengharapan positif, menantang namun menyenangkan. Dengan demikian kita punya pilihan.

Distres adalah stres yang dipandang atau dirasa terlalu berat dan sulit untuk diatasi. Kita merasa situasi atau kejadian yang dialami sebagai sesuatu yang membingungkan dan tidak ada harapan untuk mengatasi atau mengubahnya. Individu yang mengalami stres ini merasa atau percaya dirinya terperangkap dan tidak bisa meninggalkan atau keluar dari situasi ini, merasa tidak berdaya dan frustrasi.

Ada dua tipe distres yaitu stres akut dan kronis. Stres akut adalah stres yang intens yang muncul dan hilang dengan cepat. Stres kronis adalah stres yang berlangsung dalam waktu yang lama, bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Dan ini adalah jenis stres yang paling destruktif.

Hiperstres terjadi bila seseorang didorong melampaui kemampuannya untuk bertahan dan mengatasi tekanan. Hiperstres muncul sebagai akibat dari kondisi beban berlebih (overload) atau bekerja terlalu keras. Saat seseorang mengalami hiperstres, bahkan hal kecil saja dapat memicu respon emosi yang sangat kuat. Hal yang tampak sepele dapat membuat seseorang yang mengalami hiperstres "meledak", marah besar, atau menangis hebat. 

Hipostres adalah kebalikan dari hiperstres. Hipostres terjadi saat seseorang merasa hidupnya monoton, tidak ada tantangan dan membosankan. Orang yang mengalami hipostres sering gelisah dan tidak bersemangat, apatis.

Informasi detil pengaruh stres terhadap kesehatan dapat Anda baca di buku saya The Miracle of MindBody Medicine terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Stres, Otak, dan Pembelajaran

Dari uraian singkat di atas mengenai stres tampak bahwa manusia membutuhkan stres, dalam batas dan kadar tertentu, untuk bisa berkembang. Dan memang demikianlah kita dirancang. Penelitian di bidang neurosains memvalidasi hal ini.

Otak bersifat plastis, senantiasa berubah mencerminkan lingkungan tempat individu berada. Dengan kata lain, arsitektur otak menjelaskan dan adalah refleksi dari lingkungan yang membentuknya. Lingkungan ideal untuk perkembangan otak adalah lingkungan yang kaya stimulasi, penuh tantangan terkendali, dan kompleks yang meningkatkan pembelajaran dan pertumbuhan otak. Sebaliknya lingkungan yang buruk adalah lingkungan miskin stimulasi dan tanpa tantangan.

Lingkungan awal tempat anak hidup dan kualitas relasi interpersonal dengan pengasuh utamanya terekam dengan sangat kuat di otak anak melalui proses pembentukan jaringan neuron yang selanjutnya memengaruhi otak dalam memroses memori, emosi, dan ikatan emosi anak dengan orang lain.

Hasil penelitian pada otak hewan yang dibesarkan dalam lingkungan kaya stimulasi menunjukkan perbedaan signifikan, lebih banyak neuron, lebih banyak koneksi antarneuron, lebih banyak pembuluh darah kapiler, dan lebih banyak aktivitas mitokondria, dibandingkan hewan di lingkungan miskin stimulasi. Lingkungan kaya stimulasi ini memberikan stres positif, eustres, yang memicu pertumbuhan neuron dan jaringan neuron di otak.

Stres ektrim atau berlebih menghambat proses belajar dan pertumbuhan otak. Stres yang ringan hingga moderat sangat baik menstimulasi hormon pertumbuhan neuron dan mengakibatkan meningkatnya produksi sel otak di wilayah yang terlibat dalam proses belajar.

Otak yang sehat dan bekerja optimal adalah otak yang terus bertumbuh dan wilayah otak yang mengatur/mengendalikan fungsi emosi, kognisi, sensasi, serta perilaku semakin terintegrasi.

Dalam proses tumbuh kembang, anak perlu dipapar pada stres yang berulang, terukur, aman, dalam konteks interpersonal yang mendukung. Dengan demikian semakin lama tingkat toleransi stres anak menjadi semakin meningkat. Regulasi emosi yang fleksibel dan seimbang semakin mendorong keberlanjutan kemampuan otak untuk mengatasi situasi atau kejadian yang membangkitkan emosi yang intens, dan memungkinkan terjadinya pembelajaran berkelanjutan dan integrasi berbagai wilayah dan fungsi otak. 

Keberhasilan mengatasi tantangan (baca: stres) yang dialami dalam hidup akan membuat individu semakin mampu menghadapi dan mengatasi tantangan atau stres lanjutan yang semakin berat dan kompleks. Ini semua memacu pertumbuhan dan integrasi jaringan neuron.

Faktor genetik walau berpengaruh namun tidak terlalu besar dalam pertumbuhan dan perkembangan jaringan neuron. Masih dari data riset, diketahui bahwa 70% dari stuktur genetik individu "ditambahkan" setelah kelahiran.

Kondisi Anak 

Anak-anak saat ini sangat sering mengalami stres berlebih. Stres pertama akibat perlakuan orangtua yang seringkali, karena tidak mengerti proses tumbuh kembang yang benar, menggunakan parameter yang salah untuk mengukur perkembangan anak. Ada orangtua yang menuntut anak untuk disiplin, mandiri, bersikap baik dan manis, tidak boleh rewel, padahal anak masih sangat kecil. Intinya, orangtua menuntut anak untuk sudah bisa atau mampu mencapai kondisi sikap, mental, atau emosi di atas usia anak.

Salah satu penyebab stres berlebih pada anak, dari temuan dan pengalaman klinis kami, adalah orangtua tidak memberikan perhatian dan kasih sayang yang seharusnya anak terima. Ada suami dan istri yang hanya siap menjadi papa dan mama namun tidak siap menjadi orangtua. Orangtua tipe ini, disadari atau tidak, melakukan pemiskinan emosi anak. Mereka sibuk bekerja, sibuk sendiri, tidak mengisi tangki cinta anak secara berkala. Semua ini mengakibatkan stres pada anak yang tampak dalam simtom perilaku anak.

Sumber stres lainnya adalah sekolah. Beban akademik yang cukup tinggi, kurangnya waktu bermain, tekanan dari sekolah dan orangtua pada anak agar mencapai prestasi yang baik semuanya akan memengaruhi anak dan dapat berakibat sangat buruk.

Belum lagi orangtua yang suka membandingkan anak dengan anak temannya. Biasanya bila dilakukan pembandingan maka yang dibandingkan selalu kelemahan atau kekurangan anak dengan kelebihan anak lain. Orangtua lalu “memotivasi”, lebih tepatnya menuntut, anak untuk bisa semakin meningkatkan prestasi dengan belajar lebih keras, ikut les macam-macam. Orangtua tipe ini akan sangat bangga bila anaknya bisa meraih prestasi gemilang walaupun anak belum tentu senang dengan capaian ini.

Mencermati hal ini, apa hal terbaik yang bisa kita, selaku orangtua, lakukan untuk anak-anak kita?

Saat anak mengalami kendala atau masalah, baik itu di rumah atau di sekolah, ini adalah stres. Stres ini bisa eustres atau distres. Stres ringan yang sebenarnya baik untuk anak, eustres, bisa dengan cepat berubah menjadi distres bila anak merasa tidak mampu, tidak berdaya, atau tidak bisa mengatasinya. Sebaliknya, distres dapat berubah menjadi eustres bila anak mendapat dukungan dari kedua orangtuanya.

Mengapa distres bisa berubah menjadi distres? Ingat, distres adalah stres yang dialami individu di mana ia merasa atau percaya dirinya terperangkap dan tidak bisa meninggalkan atau keluar dari situasi ini, merasa tidak berdaya dan frustrasi. Saat orangtua turut campur, memberi dukungan, membantu mengarahkan solusi maka perasaan tidak berdaya ini berganti dengan harapan pasti. Distres berubah menjadi eustres. Di sinilah dibutuhkan pendampingan berkelanjutan dari orangtua sampai anak benar-benar kuat.

Ada banyak kasus yang pernah saya tangani, klien anak atau remaja yang mengalami perasaan tertekan, frustrasi, insomnia, mimpi buruk tiap malam, tidak semangat hidup, mogok sekolah, ternyata mereka dulunya sekolah di luar negeri saat usia masih sangat muda. Ada yang masih usia enam tahun sudah di sekolahkan di Singapore. Ada yang SMP sudah dikirim ke luar negeri.

Anak-anak ini ternyata mengalami hambatan, tekanan, atau masalah yang sebenarnya normal, biasa-biasa saja, namun karena tidak ada tempat curhat, tidak ada yang mendengar, tidak ada yang bisa memberi dukungan, saran, bimbingan, atau solusi, akibatnya mereka masuk ke tahap learned helplessness.

Satu kondisi yang juga sangat tidak baik bagi anak adalah hipostres. Di sini anak benar-benar dilindungi oleh orangtua. Anak tidak boleh stres sama sekali. Semua masalah mereka ditangani oleh orangtua.

Ada anak yang ribut dengan temannya di sekolah, saat pulang cerita ke ibunya, yang marah dan tidak terima justru ibunya. Padalah si anak sudah baikan dengan temannya. Besoknya, si ibu mencari teman anaknya dan melabrak teman ini di sekolah. Ada lagi anak yang PR-nya banyak tapi orangtua yang sibuk membantu mengerjakannnya. Ini tentu sangat tidak mendidik.

Saya ingat dulu salah satu putri kami pulang sekolah dengan kondisi lututnya terluka. Saat ditanya apa yang terjadi putri kami menjelaskan bahwa ia didorong oleh salah satu temannya.

Saya sarankan agar ia lebih hati-hati kalau jumpa teman ini dan bila mau didorong lagi saya sarankan putri kami untuk bersikap tegas dan melawan, jangan hanya diam. Kalau perlu laporkan temannya ke wali kelas atau kepala sekolah. Urusan anak biarlah anak yang selesaikan. Orangtua tidak perlu ikut-ikut.

Anak perlu diberi atau diijinkan mengalami stres yang terkontrol. Orangtua perlu mendampingi anak saat ia mengalami atau menjalani “pelatihan” stres ini. Bila anak mampu mengatasi stresnya maka ini akan sangat baik. Ia tahu ia bisa, mampu, cakap, dan kompeten. Berikutnya bila mengalami stres dengan kadar yang sama maka ia pasti bisa mengatasinya sendiri.

Vaksin stres perlu diberikan pada anak secara bertahap. Sama seperti berlatih beban. Saat masih baru berlatih, kita menggunakan beban yang ringan. Semakin lama otot kita menjadi semakin kuat dan terlatih dan beban bisa semakin ditingkatkan.

Demikian pula vaksin stres. Bila diberikan pada waktu dan dosis yang sesuai akan melatih otot mental anak sehingga semakin lama semakin kuat. Otot mental ini akan sangat besar manfaatnya bagi anak saat ia dewasa kelak, saat menghadapi berbagai masalah yang mungkin terjadi dalam hidupnya, saat mengatasi tekanan pekerjaan, saat melakukan goal setting dan bekerja keras mewujudkan impian-impiannya.

Salah satu contoh vaksin stres adalah dengan mengijinkan anak merasa kecewa karena permintaannya tidak dikabulkan. Tidak semua permintaan anak harus atau perlu dikabulkan. Biasanya, orangtua yang permisif, atau yang merasa bersalah karena tidak bisa memberi waktu pada anaknya, berusaha menebus rasa bersalahnya dengan memberikan anak apapun yang anak inginkan. Berbagai kemudahan ini justru membuat anak rentan terhadap stres di kemudian hari.

Baca Selengkapnya
Tampilan : Thumbnail List